CerealBunny

-Keseleo

“Apa kan aku bilang, hati-hati.”

Sunoo mendengus. Menatap nyalang pacarnya sendiri.

Keduanya sedang berjalan bersama untuk pulang, namun si ceroboh Sunoo berlari dan terjatuh dengan kaki yang terkilir karena terpental.

Iya gimana nggak, jalannya mundur sih. Nggak liat batu besar pas Ni-ki lagi sibuk natap handphone.

Ni-ki yang tak habis pikir melihatnya.

Sebenernya yang lebih muda siapa sih??

“Sana, sana aku nggak butuh bantuan!” serunya, ngambek.

Menghela nafasnya, Ni-ki lalu maju ke depannya, meluruskan kaki Sunoo dan memijatnya sedikit.

“Aduh!! Sakit!” teriak Sunoo sambil memukul pundak Ni-ki.

“Beneran keseleo kaki kamu”

Sunoo melotot. “Kamu kira ini becanda?!”

Terkekeh, Ni-ki lalu berjongkok di hadapan Sunoo.

“Ayo naik, nanti aku gendong.”

Sunoo menatap pundak Ni-ki tak yakin.

“Serius? Emang kuat?”

Ni-ki mendengus.

“Kalau nggak kuat, aku nggak bakal nawar” ucapnya.

Sunoo mengerucutkan bibirnya, sebelum akhirnya memutuskan untuk naik ke pundak Ni-ki.

“Udah kan?”

“Udah”

Berdiri, Ni-ki lalu berjalan. Keduanya terdiam sepanjang perjalanan.

“Besok nggak usah kemana-mana ya”

Sunoo mendengus. “Iyalah, kaki aku kayak gini. Mana bisa”

Tersenyum, Ni-ki lalu berjalan masuk ke halaman rumah Sunoo.

“Aku berat nggak?”

Ni-ki bergumam.

“Nggak sih, ringan banget.”

Tersenyum, suasana hati Sunoo lebih senang mendengar itu. Kian memeluk erat leher Ni-ki.

Membuat sang empunya ikut tersenyum.

Tok tok

Ni-ku mengetuk pintu rumah Sunoo, memperlihatkan sosok mamanya yang langsung keluar.

“Eh? Kenapa kalian pulang keadaannya gini?” tanya Mama Sunoo bingung.

“Maaf ya tan, nggak bisa jaga Sunoo. Kakinya terkilir tadi di jalan” ucap Ni-ki tak enak hati.

Mama Sunoo mengangkat kedua alisnya, menatap putra semata wayangnya yang sedang meringis.

“Dia lari?”

“Iya... “

“Owalahhh, gapapa atuh. Sunoo emang gitu, suka lari terus jatuh. Tenang, ini bukan pertama kali.”

“Mamaaaaa” rengek Sunoo sebal.

Ni-ki spontan tertawa mendengar hal itu.

“Sini, Mama gantian bantu Sunoo” tawar Mama Sunoo, meraih lengan Sunoo.

Kembali berjongkok, Sunoo perlahan turun dari pundak Ni-ki.

“Langsung pulang” ucap Sunoo yang kini sudah dibantu mamanya untuk berdiri.

Ni-ki mengangguk. “Tante, Ni-ki pamit pulang duluan. Maaf udah ngerepotin” ucapnya, menyalim tangan mama Sunoo.

Mama Sunoo tersenyum, melirik Sunoo. “Hati-hati di jalan!” seru Sunoo, membuat Ni-ki berbalik lalu mengangguk-anggukan kepalanya.

“Ayo masuk” ucap Mama Sunoo, menutup pintu.

Membopong badan Sunoo, Mama Sunoo berdecak.

“Kamu nambah berat? Kok susah banget Mama bantu”

Sunoo spontan menatap mamanya tak percaya.

“Mama kok ngomong gituuu”

Mama Sunoo berdecak kagum seketika. “Pacar kamu kuat banget ya bisa bawa kamu yang berat banget.”

“Mamaaaa, jahat!”

-Date

Sunoo mengutuk Ni-ki dalam hati, hadeh ini udah jam 9, ngapain dia manggil jalan malam-malam gini.

“Mau kemana? “

Sunoo tersenyum, menatap mamanya yang baru pulang kerja di depan pintu.

“Mau ke rumah Jake, Ma”

Mama Sunoo hanya menghela nafasnya.

“Inget rumah ya, ampir tiap hari ke rumah Jake mulu, sepupu kamu itu lama-lama eneg main ama kamu terus.” ucap Mama Sunoo, sambil melepas sepatu tingginya.

Sunoo spontan berdecak. “Mama ih, anak sendiri malah bilang gitu. Mama sih, sibuk mulu Sunoo kan kesepian. “

Membeku, Mama Sunoo menatap Sunoo.

“Maaf ya...”

“Nggak kok Ma, gapapa Sunoo ngerti. “

Tersenyum, keduanya lalu berpelukan singkat.

“Btw, ada cowok nunggu di depan, ganteng”

Sunoo membelalak, menatap tak percaya sang ibu.

Mama Sunoo tersenyum jahil kearahnya, mencolek pipi putranya. “Jangan boong deh, pacarmu kan?”

“Nggak ah Ma, anak SMP dia. ” ucapnya merona.

Tertawa, Mama Sunoo kian gencar menggoda Sunoo.

“Walaupun muda tapi bisa ngambil hati kamu, Mama salut.”

Sunoo mendorong mamanya pelan. “Mama keatas deh, tidur yaa... Istirahat yang banyak. “

Tertawa, Mama Sunoo lalu berjalan keatas tangga.

“Kalau libur, panggil main kesini. Ngomong sama Mama, mau diinterogasi. “

“Ishh, udah udah... Sunoo pergi dulu ya”

“Jangan pulang telat! Kalau mau ke rumah Jake, terus kemalaman, tidur aja disana. Mama kunci pintu jam 12”

Sunoo tersenyum, melempar ciuman lewat tangan kearah mamanya.

“Dah Ma, sayang Mama”

Mama Sunoo menggelengkan kepalanya, ikut tersenyum bahagia saat melihat anak tunggalnya.

***

“Udah malam, ngapain kesini?” desak Sunoo, cemberut.

Ni-ki tersenyum manis, tangannya terulur dan menarik tangan Sunoo mendekat.

“Jangan senyum kayak gitu” gumamnya.

Hati gue nggak kuat! Batin Sunoo.

“Ayo ke taman bentar” panggil Ni-ki, kini menarik Sunoo lembut.

“Mau apa sih?”

“Hm? Mau ngabisin waktu bareng lo”

Sunoo menggaruk rambutnya gusar.

“Ya kenapa?”

Ni-ki terkekeh. “Gue kangen.”

Sunoo membeku di tempat, nyawanya sudah hilang entah kemana.

Pasrah, akhirnya Sunoo membiarkan Ni-ki memimpin jalan.

Kini keduanya berjalan melewati jalan setapak, berjalan saling berpegangan tangan layaknya mau menyebrang jalan.

SEPANJANG JALAN KENANGAN KITA BERGANDENGAN TANGAN

Itu lagu yang berputar-putar di otak Sunoo sekarang.

Mengerjap, Sunoo menatap pundak Ni-ki.

“Mau pake aku kamu atau gue lo aja?”

Sunoo tersentak saat mendengat suara Ni-ki.

“Terserah.” balasnya.

Ni-ki melirik Sunoo, menyeringai. “Aku kamu aja deh,”

Tersenyum, Sunoo mengangguk.

“Nggak dingin?” tanya Ni-ki.

“Nggak”

Bohong. Sunoo udah gemetaran karena dingin!

Namun Ni-ki tiba-tiba berhenti di tengah jalan.

“Aku dingin” ucapnya.

Sunoo mengerjap, ikut berhenti.

Maju satu langkah, Ni-ki lalu memeluk Sunoo, menyalurkan kehangatan kepadanya.

Membeku, Sunoo dapat merasakan hatinya yang berdangdut ria.

Sunoo dapat merasakan pipi Ni-ki yang berada di pundaknya, bersandar nyaman. Merasakan setiap hembusan nafasnya di ceruk leher Sunoo.

AKHHHH SUNOO MAU TERIAK, LARI, BERGULING, KAYANG DI JALAN AJA

Hatinya, kasian hatinya.

“Nggak kasian ama hati akuu” rengek Sunoo pelan sekali.

“Hm?”

“Kucing! Ada kucing imut!”

Berlari, Sunoo melepas pelukan Ni-ki dan mendekati kucing liar yang lewat.

Tersenyum miring, Ni-ki tak bisa menyembunyikan senyumannya saat melihat tingkah Sunoo saat malu.

Sunoo begitu menggemaskan di matanya.

-14 Days

“Suster, kata dokter Heeseung saya ditugaskan untuk rawat pasien lain?”

Suster tersebut mengangguk, memberikan data-data pasien tersebut ke tangannya.

“Kim Sunoo, kanker stadium 4” gumam Sunghoon, membaca riwayat data kesehatan Sunoo.

“Hidupnya nggak bakal lama lagi” lanjutnya.

“Dokter Heeseung sudah memperkirakan bahwa pasien tersebut hanya akan bertahan selama 14 hari”

Mengangguk, Sunghoon lalu meraih jas putihnya, bangkit dari kursinya.

“Saya mau cek pasiennya, pimpin saya ke ruangannya.”

“Baik dok”

Sunghoon melangkah keluar ruangannya, berjalan mengikuti suster, dan berhenti di ruangan Chamber 5. Ruangan VIP.

Membuka pintu, Sunghoon disuguhkan pemandangan seorang pemuda berkulit pucat sedang menonton kartun.

“Halo Sunoo” sapa suster tersebut.

Sunoo spontan memalingkan wajahnya, tersenyum lebar saat bertemu suster yang selalu menemaninya untuk berghibah ria.

“Halo suster!” serunya bersemangat.

Sunghoon sempat tersentak di tempat, heran sendiri dengan keceriaan anak satu ini.

Biasanya orang yang sudah tahu kapan ia akan pergi lebih kelihatan pasrah.

“Ini siapa Sus?” tanya Sunoo, menghancurkan lamunan Sunghoon.

Berdeham, Sunghoon lalu berjalan lebih dekat ke bangsal Sunoo.

“Saya dokter Sunghoon, untuk kedepannya saya yang akan menangani kamu.”

Sunoo mengerjap, lalu tersenyum cerah.

“Dok, hidup Sunoo nggak bakal lama. Dokter nggak usah repot-repot coba sembuhin Sunoo”

Sunghoon membelalak. Kaget.

Mana ada orang mengatakan hal tersebut sambil tersenyum cerah?!

“Sebagai gantinya dokter Sunghoon bikin bahagia Sunoo saja selama 14 hari kedepan. Gimana?” tawar Sunoo.

Senyuman tipis terbit di wajah Sunghoon.

“Tapi saya bakal tetap berusaha buat nyembuhin kamu.”

Sunoo menghela nafasnya.

“Yaudah deh, temenin Sunoo terus yaa”

Mengangguk, Sunghoon mengiyakan ucapan Sunoo.

Dia tak pernah tahu, bahwa ini cuma awal. Awal dari kisah mereka.

-Ayo nikah

“Hadehhhh”

Sunghoon mengernyitkan dahinya, menatap Jake heran.

Pasalnya keduanya sedang berada di restoran, dan Jake yang datang terlambat malah mendesah lelah sesampainya di meja.

“Kenapa lo?”

Jake menyibak rambutnya ke belakang. Pusing.

“Biasa, abis diceramah mama.”

Sunghoon tersenyum miring, tau betul masalah mantan adik tingkatnya tersebut.

“Kenapa? Kali ini apa lagi?”

Jake mendengus, tangannya kini terangkat. “Mama nyuruh gue nikah secepatnya.”

Mendengar itu Sunghoon tertawa ngakak.

“Heh diem ya kak, gue masih 26 tahun. Sedangkan kak Sunghoon udah 28 tahun tapi belum nikah-nikah juga.”

Sunghoon mendengus.

“Gue masuk akal ya dek, gue dokter. Prioritas gue nyawa orang, bukan nikah”

Jake melotot kearah Sunghoon. “Kak, gue perawat, kita kerjanya di tempat yang sama. Ini nggak adil namanya, “

“Dahlah, terus lo sekarang gimana?” tanya Sunghoon, mengambil gelas yang cukup jauh dari genggaman.

Jake mengedikkan bahunya, menatap perjuangan Sunghoon.

“Gue bantu.” ucapnya sebelum meraih gelas dan menuangkan air putih, menyodorkannya kepada Sunghoon.

Jake lalu melipat kembali tangannya. Menatap Sunghoon minum. Namun dia sadar sesuatu yang mengganjal, akhirnya mengerutkan dahinya.

“Kenapa kemejanya kusut?” tanyanya.

Sunghoon menyeka ujung mulutnya.

“Gue lupa setrika kemeja karena sibuk”

Jake berdecak.

“Kebiasaan dari kuliah, ceroboh mulu. Bukannya minggu lalu udah gue bantu setrika kemeja-kemeja kak?”

Sunghoon menghela nafasnya. “Itu kan minggu lalu dek, sekarang udah minggu yang berbeda.”

Jake hanya mampu geleng-geleng kepala.

“Nanti gue singgah lagi, terus setrika kemeja stok 1 bulan biar kak nggak ribet lagi. “

Sunghoon terdiam, kini gantian melihat Jake yang menyeruput air putih.

“Yaudah, lo nikah aja sama gue”

Byurrrr

“Nyet! Muka gue! Jorok lo!” Sunghoon berseru, kena semburan air dari Jake.

Panik, Jake cepat-cepat mengambil tisu dan menyeka wajah Sunghoon.

“Ya maaf, situ sih ngomongnya ngelantur kayak karet. “

Sunghoon menggelengkan kepalanya.

“Gue ajaknya serius loh”

Jake mengerjap bingung.

“Ha? Nyet?”

“Gue rasa kita cocok kok, lagipula lo butuh pasangan hidup kan? Dimana lagi lo bakal ketemu pasangan hidup kayak gue?” ucapnya setengah menyombongkan diri.

Menatapnya lempeng, Jake menolak keras pemikiran tersebut.

“Nggak kak, gue nggak mau menikah sama kak. “

Sunghoon tersenyum miring, menganggap ucapan Jake sebagai tantangan.

“Terserah, tapi gue tetep nggak bakal nyerah.”

“Heh, nggak bakal harmonis kehidupan kita kalau sehari-hari natap satu sama lain. “

Terkekeh, Sunghoon lalu mengabaikan ucapan Jake.

Sudah mantap, dia akan menikahi Jake.

-Masih ingat

7 Desember 2020

Sunghoon menatap lama kertas yang berada di tangannya, wajahnya masih datar namun tak ada yang tahu isi hatinya.

Ia tersenyum singkat. “Besok ulang tahun gue, nyet”

Bangkit dari kasurnya, Sunghoon lalu mulai berjalan meraih tasnya sebelum siap pergi ke sekolah.

Perjalanannya tak jauh, namun hari ini langkah Sunghoon melambat saat dia menemukan sesuatu di kotak surat.

Surat berwarna putih dengan pita hitam.

“Hari ini naik bus lagi. Kursi kedua paling ujung dari belakang.” gumam Sunghoon membaca isi surat tersebut.

Tersenyum, Sunghoon lalu kian memacu langkahnya. Hari ini dia akan bermain teka teki lagi sebelum bisa bertemu sahabatnya.

Shim Jake.

Tepat saat menunggu di halte, sebuah bus yang tak asing berhenti di depan Sunghoon.

Ini adalah bus yang sering dinaikinya bersama Jake setiap pergi sekolah saat SMP.

Sunghoon masuk, dengan cepat mencari kursi kedua paling ujung belakang.

Menahan senyumnya, Sunghoon yang baru saja duduk lagi-lagi menemukan surat di saku kursi depannya.

“Sampai ketemu di sekolah.”

Itu isi suratnya.

“Pagi Hoon” sapa Jay, teman sebangkunya sesampainya di kelas.

Namun Sunghoon malah sibuk mengedarkan pandangannya, jaga-jaga kalau Jake lewat.

“Ck gue nyapa lo cuekkin, nunggu siapa lo?”

Sunghoon diam.

Jay menatapnya curiga, sebelum akhirnya Sunghoon berdecak.

“Jangan bilang ke bunda gue lagi nyari Jake.”

Wajah Jay memias seketika. Namun bibirnya tak bisa membuka suara.

“Lo masih waras kan?”

“Masih.”

Saat istirahat, Sunghoon berlari ke tempat kesukaan Jake saat sedang lowong.

Perpustakaan.

Sunghoon berpikir keras dimana Jake menaruh hint lagi untuknya.

Sebelum akhirnya dia melangkah ke rak buku dimana semuanya berisi buku-buku matematika, pelajaran kesukaan Jake.

“Dapat.” ucapnya senang saat mendapat surat lagi dari sela-sela rak.

“Sampai ketemu di jalan pulang”

Sunghoon hanya menggelengkan kepalanya.

Sepulang sekolah, Sunghoon yang pertama keluar, tak memedulikan teriakan Jay.

“Hoon! Gue lapor bunda nih!”

Miris, cuma dianggap angin halu.

Melewati jalan setapak, Sunghoon menatap matahari yang sedang terbenam.

Teringat jalan ini yang selalu mereka lewati saat pulang sekolah,

“Lo suka banget gandeng tangan gue sambil ngoceh panjang lebar tentang sekolah. Sengaja pulang nggak naik bus supaya bisa lama-lama bareng gue.” terkekeh, Sunghoon tak habis pikir dengan tingkah Jake.

Langkahnya pelan, namun otaknya berputar-putar mengingat semua kenangan indah bersama Jake.

Sesampainya di rumah, Sunghoon menghela nafasnya. Tadi tidak jadi ketemu Jake, soalnya Sunghoon lupa.

Jake suka pulang lebih lama. Palingan sengaja dia pulang nggak sama-sama.

“Masih suka kerjain gue ya”

Sunghoon menaruh tasnya di kamar, menatap kamar putih luasnya.

Merebahkan diri di kasur, Sunghoon menatap langit-langit kamarnya.

“Kalau saat-saat begini yang gue punya cuma lo Jake”

Sunghoon lagi-lagi tersenyum, mengingat beberapa memori indah yang pernah mereka habiskan di rumah kosong nan sepi ini.

Menutup matanya, Sunghoon membiarkan dirinya tertidur.

“Sunghoon...”

“Hoon...”

“Jake?”

Mata Sunghoon mengerjap, bayangan seseorang yang ingin ditemuinya perlahan berubah menjadi wajah ibunya.

Ibu Sunghoon tersenyum kearah Sunghoon.

“Bunda” ucap Sunghoon.

“Selamat ulang tahun sayang”

Ibu Sunghoon menarik dirinya dalam pelukan hangat, memeluknya erat.

“Makasih bunda” melepaskan pelukan tersebut, keduanya lalu saling melemparkan senyuman.

“Bun...”

“Iya?”

Ibu Sunghoon meraih rambut Sunghoon, mengelusnya penuh kasih sayang.

“Jangan marah ya kalau Sunghoon mau nanya sesuatu.”

“Iya sayang”

“Jake belum datang?”

Tangan ibu Sunghoon spontan berhenti, wajahnya pucat saat mendengar nama itu.

“Jake... Jake udah nggak ada sayang”

Kerongkongan ibu Sunghoon terasa pahit seketika, anaknya masih mengingat sosok yang telah lama hilang di kehidupannya.

“Tapi Sunghoon masih terima surat dari Jake” ucap Sunghoon.

Ibu Sunghoon menggelengkan kepalanya, tangisnya pecah seketika.

“Berhenti nak, jangan siksa diri kamu terus. Jake sudah tak ada, surat-surat itu selalu kamu taruh sehari sebelum ulang tahunmu.”

Terisak, ibu Sunghoon tak bisa menahan tangisnya. Sudah 2 tahun lamanya Jake pergi, namun Sunghoon masih sama.

Masih mengira Jake masih hidup.

Sunghoon menatap datar ibunya.

“Bunda keluar dulu ya, Sunghoon mau baca surat terakhir dari Jake, kado ulang tahun dari dia.”

Ibu Sunghoon menggelengkan kepalanya.

“Cukup nak, cukup. Jake sudah pergi 2 tahun yang lalu! Di hari ulang tahun kamu karena kecelakaan mobil! Sadar nak!”

Sunghoon bersikeras menolak ucapan tersebut, malah menarik ibunya keluar dari kamarnya.

“Nanti kita bicara lagi, bunda. Bunda selalu sibuk kan?”

Brak!

Pintu ditutup begitu saja, membiarkan ibu Sunghoon menangis di depan pintu kamar Sunghoon.

Berjalan, Sunghoon mengambil kembali surat terakhir Jake di hari ulang tahunnya.

'Hai Hoon, selamat ulang tahun. Dah nggak kerasa ya, udah umur 15 tahun aja lo. Kita sering-sering main teka teki di ulang tahun lo ya! Seru soalnya!

Gue nggak punya banyak, tapi kenangan kita cukup kan buat ngusir kekosongan lo dikala orang tua lo sibuk?

Ingat pesan gue ini.

Di saat lo ingat gue, gue akan selalu ada di samping lo. Selalu.

Sekali lagi, selamat ulang tahun bespren!'

Sunghoon menyeka wajahnya.

“Gue masih ingat Jake, gue masih ingat lo. Gue tahu lo masih disini.”

Sekilas, Sunghoon melihat sosok 15 tahun Jake, tersenyum lebar kearahnya.

Senyuman favorit Sunghoon.

“Gue tahu lo ada. Gue selalu ingat.”

Memeluk surat tersebut, Sunghoon kini menutup matanya.

Tak akan ada yang berubah, Jake masih ada. Dan selama dia masih hidup, akan selalu begitu.

-Kakak kelas aneh

Namaku Jake, 17 tahun. Baru naik kelas 11, dan kini sedang dilanda kebingungan.

Dikarenakan lelaki lain.

Namanya Sunghoon, kakak kelasku. Lelaki aneh yang sering muncul di saat-saat tertentu.

“Nih, buat kamu. Diminum”

Kak Sunghoon menyodorkan minuman kesukaanku di meja kantin.

Aku terkejut, sedangkan dua temanku, Sunoo dan Jungwon malah menatapku heran.

Sebelum kami menatap kepergiannya, melihat ia duduk di meja dengan kumpulan teman-temannya yang lainnya.

Mereka bersiul, menggoda kak Sunghoon heboh.

“Heh, itu kak Sunghoon kan? Si kakak band?” bisik Sunoo kepadaku.

Jungwon mengurut kepalanya. “Temennya kak Jay dan gengnya.” balas Jungwon berbisik.

Aku mengelus dadaku, dia punya circle pertemanan yang famous.

Namanya Sunghoon, anak band sekolah. Sekaligus produser musik di bandnya, posisinya bassist.

“Pulang bareng.”

Lelaki macam dia suka datang di saat yang tepat, seperti superhero dadakan.

Seperti saat ini.

Aku yang tak jadi dijemput mama akhirnya mau tak mau naik bersamanya.

“Pegangan” ucapnya.

Tanganku terangkat untuk memegang ujung kemejanya, namun suara dengusan terdengar.

Dan tanpa aba-aba, dia menarik tanganku melingkarnya ke perutnya.

“Yang bener.”

Aku hanya mampu menghela nafas.

Dan kami pun pulang.

“Jangan lupa makan” itu katanya, sambil menyodorkan tas penuh makanan di atas mejaku.

Semua teman-temanku terngaga, menatapku tak percaya.

Menatap kak Sunghoon yang dengan cuek meninggalkan kelas.

“Lo jadian ama kak Sunghoon?!”

“Jake, gila! Gebetannya kakak femes!”

“Bagi donggg”

“Kasih kenalan sama temen-temennya dong!”

Hadeh.

Lucunya, dia nggak banyak ngomong. Cuma buka mulut kalau perlu.

“Dingin, dipake.”

“Hmm, makasih kak”

Aku menatap sweater abu-abu tersebut, dengan perlahan menggapai sweater yang disodorkan.

Namun tangannya dengan telaten malah membantuku untuk memakai sweater tersebut.

“Makasih kak” ucapku lagi, sebelum beralih membaca buku.

Kak Sunghoon bergumam, sebelum akhirnya kembali tidur menikmati AC perpustakaan.

Duduk di sampingku.

Aku di sisi lainnya menggigit bibir, mulai gatal ingin bertanya sesuatu kepadanya.

“Aku sebenarnya siapanya kak sih?”

Setelah beberapa detik, aku melihat kak Sunghoon akhirnya kembali duduk dengan benar.

Kak Sunghoon melirik kearahku. Dia menatapku lama, lalu mengedikkan bahunya.

“Pacar aku.” jawabnya.

Aku mengerjap.

Gimana katanya?

“Maksudnya kak?” tanyaku lagi, sumpah ini membingungkan.

Kak Sunghoon tersenyum miring, membuat hatiku lagi-lagi tak tenang.

“Kamu pacar aku.” ini sebuah pernyataan.

Menipiskan bibir, aku lalu mulai berani menatap lama matanya.

“Ini hari pertama kita pacaran kan?”

Mata kak Sunghoon melebar, namun pertanyaanku lantas dijawab dengan anggukan acuh tak acuh.

Kak Sunghoon memalingkan wajahnya, walaupun sebenarnya aku tau dibalik sana dia sedang tersenyum.

Tersenyum tipis, aku akhirnya kembali membaca dengan hati yang lebih tenang dan senang.

“Tapi serius bener suka aku kan?”

Aku meliriknya.

Sedangkan kak Sunghoon hanya diam, kini tangannya beralih mengambil tangan kiriku.

Memegangnya erat.

“Pernah liat aku nggak serius?” tanyanya, menatapku lekat.

Aku membeku.

Ampunilahhh kak Sunghoon bikin jantungku mau keluar aja.

Kami berada di sana untuk waktu yang cukup lama, hanya aku bersamanya.

Duduk di perpustakaan, aku yang membaca dan dia yang sibuk menatapku yang membaca.

Dengan tangan kami yang bertautan.

-Berjalan seiringan

Sunghoon mengedarkan pandangannya, tangan kanannya terangkat memperlihatkan kamera mininya, mengambil beberapa jepretan dengan benda tersebut.

“Hoon, gue kesana ya”

Sunghoon lantas berbalik, menatap Jake yang menunjuk taman bagian kanan. Matanya berbinar, langsung pergi tanpa mendengar jawaban dari Sunghoon.

“Ngapain nanya kalau udah pergi aja. ” gumam Sunghoon, menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

Namun langkahnya perlahan mengikuti Jake, memastikan anak orang tersebut tak melangkah terlalu jauh.

Suara tawa Jake memenuhi taman yang kebetulan sepi tersebut. Lelaki itu sedang sibuk bermain dengan beberapa kupu-kupu yang sekedar melintas dan singgah di depannya.

Sunghoon tak habis pikir, ada orang seperti Jake? Yang sudah dewasa namun hatinya masih seperti anak-anak.

Baginya, Jake adalah orang yang baik. Terlalu baik untuk berada di dunia ini, itu sebabnya Jake selalu menjadi objek penjagaan Sunghoon. Padahal kan, yang lebih tua beberapa hari adalah Jake, namun dia terlalu polos untuk dijadikan kakak.

Bersembunyi di antara tiang dan semak-semak, Sunghoon tanpa sadar mengarahkan lensa kamera kearah Jake. Mengambil beberapa foto dari Jake.

“Lucu juga ya” gumam Sunghoon. Namun sedetik kemudian Sunghoon menampar pipinya sendiri.

“Sadar bodoh, sadar.” geramnya sendiri.

“Loh Sunghoon? Kenapa nampar diri sendiri?” Jake yang sempat melihat aksi Sunghoon lalu membulatkan matanya, menarik tangan Sunghoon.

Sunghoon menggelengkan kepalanya, tersenyum tipis.

“Nggak Jake, ayo kita pulang. Udah sore”

Mengangguk ragu, Jake lalu mengikuti langkah Sunghoon. Keduanya mengemasi barang-barang mereka.

“Sunghoon”

Berbalik, Sunghoon mengangkat sebelah alisnya.

Jake tersenyum, segera berdiri di sebelahnya. “Jalan bareng dong, jangan sendiri-sendiri ih, nggak enak ditinggal”

Bergumam, Sunghoon lalu berjalan beriringan dengan Jake, melangkah bersama melewati jalanan sepi karena hari mulai malam.

Jake menipiskan bibirnya, ragu-ragu membuka suara. “Btw, gue liat sesuatu di kamar abang lo”

Sunghoon penasaran.

“Liat apa?”

“Foto polaroid, banyak. Semuanya isinya gue” jawab Jake.

Tersentak, Sunghoon mengigit bibirnya.

“Lo yang foto kan?”

Skakmat. Sunghoon mati kutu, diam tak bersuara.

“Hm”

Jake tertawa pelan. “Abang lo yang nyuruh?”

Sunghoon mengangguk kaku, bukan. Itu kemauannya sendiri.

“Jay ngerepotin lo ya? Maaf ya,” ucap Jake tak enak.

“Nggak kok, gue juga mau.”

Jake menghentikkan langkahnya, menatap Sunghoon yang ikut berhenti.

“Nggak sadar ya, dikit lagi lo bakal jadi adik ipar gue. Tinggal nunggu 1 bulan, kita bakal pindah status dari sahabat jadi ipar”

Sunghoon menelan ludah susah payah, hatinya kian tak rela saat mengingat kembali fakta tersebut.

“Jake” tahan Sunghoon, meraih tangan Jake.

Jake mengerjap. “Hm?”

Menarik nafasnya panjang, Sunghoon menatap Jake lekat. Dia ingin Jake tahu, bahwa kata-katanya serius.

“Ingat kata-kata gue ini. Kita dari dulu selalu berjalan barengan tapi nggak pernah bersisian. Mungkin di mata lo kita selalu dekat, tapi nyatanya kita jauh. Kita nggak pernah sejalan. Lo nggak pernah peka sama perasaan gue dari awal.”

Jake membulatkan matanya, dia mengerti arah pembicaraan Sunghoon. Menghela nafasnya, Jake lalu menjauh dari Sunghoon.

“Gue udah tau dari lama Hoon, tapi namanya hati kita nggak bisa bohong kan? Gue bahagia sama Jay, dan sebagai sahabat gue lo bisa terima itu kan? Biarin gue milih Jay dan bahagia sama dia” menatapnya nanar, Jake melangkah satu langkah maju.

Sunghoon menghembuskan nafasnya.

“Padahal dari awal gue yang selalu ada kan? Jauh sebelum bang Jay ada, lo udah ada sama gue. Jauh sebelum Jay sadar cinta lo, gue udah duluan cinta lo.”

Mendengar itu Jake spontan menutup matanya, tak kuat untuk mendengar ucapan Sunghoon.

Sebuah kenyataan pahit, bahwa selama ini Jake tahu perasaan Sunghoon. Namun tetap memilih untuk tak memilih dia.

Berbalik, Jake tersenyum miris.

“Di mata gue kita bakal selalu sama. Lo sahabat gue, kita dari kecil ambil langkah pertama bersama, selalu bareng hingga besar. Tapi hati gue nggak sejalan ama hati lo. Nggak akan pernah Hoon,”

Sunghoon menggigit bibirnya, hatinya hancur. Hancur berkeping-keping sudah tak berbentuk.

Apa gunanya selalu ada, jika dia memilih yang jauh disana?

Apa gunanya menjadi yang pertama, jika dia menjadikan kamu opsi terakhir.

Tin! Tin!

“Jake, Sunghoon! Ayo naik”

Sebuah mobil berhenti di samping mereka, sosok Jay keluar dari mobilnya dan merangkul Jake.

“Sayang, ayo pulang” ajak Jay.

Jake merunduk, tak menatap Sunghoon yang jelas-jelas sedang menatapnya dengan tatapan terluka.

“Gue mau nginap di rumah kak Heeseung, bang Jay” ujar Sunghoon, masih belum melepaskan tatapannya dari Jake.

Jay mengerutkan dahinya, merasa ada yang aneh dari keduanya.

“Yaudah ayo pulang Jake”

Jake mengangguk, sebelum akhirnya Jay membukakan pintu mobil untuknya.

“Oh iya bang”

Baik Jay dan Jake mengadah, menatap Sunghoon.

“Selamat ya atas pernikahannya, maaf baru bisa kasih selamat.” ucapnya, berusaha tersenyum lalu pergi.

Jay melirik Jake yang tiba-tiba langsung masuk dalam mobil dan menangis tersedu-sedu. Kalap, Jay langsung menarik Jake dalam pelukannya membiarkan Jake melampiaskan semuanya.

Jake masih sahabat Sunghoon, dan menyakitinya adalah kesakitan terbesar baginya.

Berjalan menjauh, Sunghoon menghela nafasnya. Menghirup banyak-banyak oksigen, membiarkan angin malam membuatnya dingin.

Di balik tembok, Sunghoon luruh sepenuhnya sambil memeluk tubuhnya sendiri.

“Selamanya bukan gue buat lo Jake, sampai kapan pun.”

Sunghoon menangis, ditemani bulan sebagai saksi mata di malam itu.

-Gara-gara dedek

“Jay, lo bakal ikut balapan hari ini?”

Sunghoon menepuk pundak Jay, membuat dirinya mengalihkan pandangan.

“Boleh”

“Emang lo bisa? Nggak jemput si dedek dari tempat lesnya?” Sunghoon bertanya-tanya, biasanya Jay skip karna harus jemput Jungwon dari tempat lesnya.

Jay mengambil sebatang rokok, menyalakannya lalu menaruhnya dalam mulut.

Menghisap lalu menghembuskan kepulan asap.

“Jungwon udah pulang diantar mamanya tadi sore.” jawabnya.

Sunghoon hanya mengangguk.

“Yok Jay, ikut balap. Bang K lagi butuh Ace buat ngalahin geng seblah.” Heeseung berjalan kearah mereka, mendorong Jay.

“Yoo” jawab Jay seadanya, menatap sekelilingnya.

Lapangan luas, yang hanya dikelilingi para anggota geng motor.

“Anjir, Clara noh. Sikat?”

Heeseung bersiul, menyikut kedua pundak Sunghoon dan Jay. Menunjuk seorang perempuan berpakaian mini yang berkedip genit kearah mereka.

Sunghoon hanya menatap Clara dengan pandangan tak minat.

“Skip, nggak demen ama cabe-cabean.”

Jay spontan terkekeh mendengar itu. Sedangkan Heeseung hanya menggelengkan kepalanya.

“Jadi lo udah ikut Jay dong. Demen ama yang gemes-gemes.”

Sunghoon hanya tersenyum miring, malah teringat si pemuda bernama Jake si sepupu Jungwon.

“Gue duluan.”

Berjalan pergi dari tempat itu, Sunghoon menaiki motornya dan melaju pergi entah kemana.

“Aneh ya tu anak, baru aja kemarin dikenalin ama Jake. Udah kesemsem aja.” ujar Heeseung tak habis pikir.

Jay yang masih sibuk dengan rokoknya terkejut saat merasakan handphonenya yang bergetar. Merogohnya, Jay segera membuang rokoknya dan membalas pesan yang masuk.

Senyuman terbit di wajahnya, Jay langsung menatap Heeseung.

“Seung, bilangin bang K gue ganti si Ni-ki aja. Gue ada urusan penting”

Heeseung mengerjap heran. Loh?!

Tak menunggu balasan, Jay langsung berjalan cepat kearah motornya dan menyalakannya.

“Woy! Penting banget nyet?!”

Jay memakai helmnya.

“Penting banget.” balasnya.

Setelah itu, Jay pergi dari lapangan tersebut. Meninggalkan Heeseung yang malah cengo di tempat.

-Bukan prioritas

“Hoon, temenin aku ke toko buku dulu yuk...” bujuk Jake, memegang ujung kemeja Sunghoon.

Sunghoon yang baru saja selesai berlatih di dance roomnya menghela nafas. Dia kelelahan.

“Jake, maaf ya... Aku nggak bisa”

Jake mengerjap lama, menatap tak percaya.

“Ada alasan apa lagi kamu?”

“Aku cuma lagi capek.”

Jake memelas. “Tapi cuma bentar kok Hoon, nggak bakal lama deh. Janji.”

“Tapi Jake perjalanannya yang jauh, aku harus pulang dulu buat ganti baju, belum lagi aku harus balik lagi buat latihan.” Sunghoon bersikeras.

“Hoon-”

Sunghoon berdecak keras. “Kalau aku bilang nggak! Ya nggak! Ngerti nggak sih?! Aku lagi capek!”

Nafas Jake tercekat, terdiam lama menatap Sunghoon yang kini sedang kembang kempis karena tersulut emosi.

“Aku nggak tau kamu siapa lagi. Minggu lalu kamu janji bakal luangin waktu buat aku, kalau kamu pikir cuma kamu yang stress, mikir lagi.”

Sunghoon menggigit bibirnya, mengadah untuk menatap wajah nanar Jake.

“Aku juga lagi capek sama sibuk buat olimpiade. Aku dateng buat berusaha luangin waktu buat kamu, sampai kapan kamu baru bakal sadar Hoon? Kalau selama ini aku berusaha buat ada untuk kamu.”

Mata Jake berkaca-kaca, berusaha menahan airmatanya yang kini siap untuk jatuh.

“Aku disini Hoon, prioritasin kamu. Sesibuk apapun aku, kamu prioritas aku. Tapi kamu apa? Bukan aku prioritas kamu. ” tunjuk Jake kepada dirinya sendiri.

Sunghoon terdiam. Kerongkongannya serasa pahit, dia seketika merasa bersalah.

“Dahlah, aku pulang. Aku capek.”

Mengambil tasnya, Jake berjalan melewati Sunghoon.

“Oh iya satu lagi. Jangan hubungin aku lagi, kita putus.”

***

Jake menatap kesal jalanan, menghentak-hentakkan kakinya sepanjang jalan ke rumah.

Alasan mengapa mereka bertengkar hari ini, ya sederhana. Beda prioritas.

Jake sibuk dengan olimpiade Fisikanya sementara Sunghoon yang sedang sibuk dengan lomba dancenya, saling mengabaikan satu sama lain.

“Dahlah, pacar kayak Sunghoon nggak ada romantisnya. Bikin kesel melulu. Udah mau tiga tahun pacaran masih aja nggak berubah, udah bukan prioritas!” seru Jake kesal, mencak-mencak sendiri.

Berjalan lebih cepat, Jake menatap sekelilingnya. Langkahnya memelan saat melihat taman bermain.

Taman bermain saksi dimana Sunghoon pertama kali menembaknya.

Saat itu masih kelas 10, Jake dan Sunghoon baru saja pulang dari sekolah. Dari masa PLS, keduanya memiliki banyak kejadian yang selalu mengharuskan mereka untuk selalu bersama.

Dari sama kelompok, teman terlambat, jadi sekelas lalu duduk satu tempat duduk.

Jake dan Sunghoon begitu dekat, layaknya ada magnet yang melekat diantara keduanya.

Ada sebuah koneksi tak kasat mata.

Hari itu, Sunghoon berdiri di hadapannya yang sedang bermain ayunan.

Berjanji padanya, bahwa Jake akan selalu menjadi prioritasnya. Dan Jake percaya, bahwa Sunghoon juga merupakan prioritasnya.

Bodohnya Jake untuk percaya.

“Mau main ayunan” gumam Jake, lalu melangkah ke ayunan.

Mengayun pelan, Jake menatap kakinya yang perlahan di udara.

Taman sepi saat itu karena hari sudah menjelang malam.

Sekelebat memori melintas di kepalanya. Potongan-potongan kenangan yang pernah dibuatnya bersama Sunghoon.

Kenangan indah yang sayang tak bisa lagi diulang.

Setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.

“Kangen Sunghoon...” bisiknya pada dirinya.

Namun, seperti takdir, sepasang sepatu berhenti di depannya.

Jake tak berani mengangkat kepalanya. Karena dia tahu siapa orang tersebut.

“Maaf.”

Jake diam.

“Maaf, aku lupa sama janji aku sendiri. Maaf, kalau aku bikin kamu capek. Maaf, karena kamu udah bukan prioritas.”

Sunghoon menatap lekat kepala Jake yang menunduk.

“Tapi hati aku nggak pernah berubah. Masih sama, masih sayang sama kamu. Pikiran aku ada di tempat lain, tapi hati aku selalu tertuju ama kamu. Kamu prioritas hati aku.”

Merunduk, Sunghoon lalu berjongkok di hadapan Jake mencoba menatap wajahnya.

“Aku bener-bener minta maaf. Aku mohon jangan putusin aku, dunia aku serasa berhenti seketika saat kamu bilang kalimat itu. Aku mohon Jake, aku bener-bener memohon sama kamu.” ujar Sunghoon putus asa.

Luluh, Jake yang sedari tadi menahan tangisannya akhirnya mengeluarkan semua sakit hatinya, menerjang Sunghoon dengan pelukan.

Bruk!

Keduanya terjatuh di tanah, dengan posisi dimana Jake memeluk erat leher Sunghoon.

“Hiks! Kamu jahat, kamu bener-bener jahat!” Isaknya.

Sunghoon mengangguk, mengelus rambut Jake dan punggungnya.

“Iya aku jahat, aku jahat Jake.”

“Tapi aku masih sayang, huaaaa gimana dong”

Singhoon hampir dibuat tertawa mendengar hal tersebut.

Setelah 5 menit, keduanya terdiam cukup lama. Sunghoon menunggu Jake tenang dalam pelukannya.

“Udah?”

Jake mengangguk.

Keduanya lalu berpindah posisi, kini duduk. Saling berhadap-hadapan.

Mengelus pipi Jake, Sunghoon lalu menghapus bekas airmatanya dengan jempolnya.

“Aku dimaafin nggak?”

Jake menghela nafasnya lalu cemberut.

“Aku bakal maafin, asal kamu mau jadi pacar aku lagi.”

Ucapan tersebut lantas dibalas Sunghoon dengan tawa pelannya.

“Aku bakal senang hati ngelakuin itu Jake. Dan kali ini, aku bakal banyak berubah buat kamu.”

“Gapapa kok kalau prioritas kamu berubah.”

Mengangkat kedua alisnya, Sunghoon bingung seketika.

Jake mengulum senyumnya. “Asal prioritas hati kamu tetap aku, kali ini aku bakal ngerti.”

Tersenyum, Sunghoon lalu maju dan mengecup dahi Jake penuh kasih sayang.

“Itu udah pasti.” bisiknya.

-Sunkissed

“Jangan ngelamun, nanti kesambet.”

Sunoo mengedarkan pandangannya, menatap sinis Ni-ki yang kini menatapnya lekat.

“Aku lagi menikmati pemandangan ya, bukan ngelamun.”

Ni-ki terkekeh, mengangguk asal lalu duduk bersebelahan dengan Sunoo di atas kursi kayu.

“Kamu ngapain duduk disini? Bukannya lebih enak di dalam aja? Lagipula, temen-temen kita pasti nunggu di dalem.”

Bergumam lama, Ni-ki lalu mengedikkan bahunya. Selimut kecil yang berada di tangannya kini berpindah ke bahu Sunoo.

Membungkusnya agar pacarnya tak masuk angin.

“Pacar aku itu kamu, bukan mereka. Kamu disini sendirian, disini dingin. Kita ke villa buat ngabisin waktu lebih banyak bareng, bukan main sendiri.”

Sunoo tersenyum malu-malu, menyenggol perut sang pacar dengan sikutnya perlahan.

“Kamu lucu deh, katanya lebih suka main daripada duduk natap langit.”

Tersenyum, Ni-ki lalu mengangkat tangan kanannya, merangkul Sunoo dalam pelukan hangatnya.

“Aku cuma suka natap langit bareng kamu.” ucapnya membuat pipi Sunoo memerah.

“Kenapa?”

Ni-ki mendengus. “Belum jelas?”

Mengerjap, Sunoo menatapnya bingung.

“Aku suka kamu. Otomatis apapun yang kamu suka bakal aku suka juga. Kamu suka natap langit sore, aku pun bakal suka. Semua yang ada di diri kamu aku suka. Semuanya” lanjutnya.

“Aku juga suka kamu.” cicit Sunoo memeluk balik Ni-ki erat.

“Aku lebih suka kamu.”

“Aku!”

“Aku.”

Sunoo cemberut, berdecak. “Nggak. Pokoknya aku yang lebih suka, sayang, cinta kamu.”

Mendengar itu Ni-ki spontan tertawa, dengan gemas mencium pipi Sunoo beberapa kali.

“Dah ah, geliii” Sunoo tertawa geli.

“Yaudah, berarti kita sama-sama lebih suka, sayang sama cinta.”

Keduanya melemparkan senyuman lebar, menikmati senja di sore hari bersama.

“Oh iya aku lupa nanya.”

Sunoo melirik Ni-ki. “Apa?”

“Kamu bentar tidur bareng aku kan?”

“HEH”