it takes three
FOURTH story from cc deepest darkest desire prompts:
- hai tiba2 kepikiran pwp ot3 tapi bingung siapa dom/topnya (yg jelas ada syoun, swoo, wseok) sebenernya cuma A makes B and C rub against each other until they cry and come pokoknya A is taking control. dia pacaran sama salah satunya. dan yg satunya mergokin mereka lagi enak jadilah diajak ikutan soalnya kinda open relationship juga. idk if it’s possible tapi kalo ada rimming + degradation kink + sex toys boleh banget hehe thank you! love, 🍒
- This is a prompt(?), Well, kind of Threesome with the top caught 2 subs desperately fucking into each other in double ended dildo The pairing is up to you, i hope you have fun, if you ended up writing this ;)
A/N
halo. tangan gue pegel banget. ini lama banget bikinnya karena gue siput. useless info, DDD gue bikin kalo ada sesuatu yang bikin happy. kali ini, yang bikin happy itu seungwoo, wooseok sama seungyoun post story comeback satu sama lain. HAHAHA. yaudah jadinya bertiga deh. voilà!
anyway,
TAGS graphic description of sex, usage of vulgar words (penis, anal, sperma), threesome, mild degradation, double-ended dildo, dirty talk, pet names, grinding against each other, frotting, overstimulation, come eating, blowjob, facial, voyeurism (kinda), nipple play, fingering, rimming, bareback sex, sandwich (aka yg tengah masuk dan dimasukin), spanking, cumming untouched, creampie, double penetration.
NOTES 1. buat prompt pertama, instead of B/C mergokin A sama B/C, gue bikin A yang mergokin B dan C. 2. ini dom!wooseok x sub!seungwoo & seungyoun. dom sub ya. kalo ditanya who tops and bottoms... i’ll answer with: yes.
TOTAL WORDS: 6,407 WORDS
kalo ada komentar, tanggapan, kritik, saran, argumen dll bisa mention, DM atau drop ke CC gue as usual ya. selamat membaca, semoga kalian suka ♥️
Pintu terbuka. Wooseok melepas sepatu dan meletakkannya di rak, kemudian menggantungkan mantelnya. Pekerjaan hari ini melelahkan, tidak berbeda dengan hari-hari biasa. Untung kali ini jalanan tidak padat, sehingga kakinya tidak tersiksa karena menginjak pedal.
Ada dua sepatu loafers di rak—miliknya dan Seungyoun, kekasihnya. Hal ini berarti Seungyoun sudah sampai lebih dulu di rumah. Bukan hal yang jarang, karena jarak tempat kerja Wooseok lebih jauh.
Ia berjalan ke arah ruang tamu yang biasanya sudah dihuni kekasihnya dengan TV menyala. Namun kali ini berbeda, ruangan itu sunyi senyap tanpa tanda kehidupan sedikitpun.
Alis Wooseok mengerut. Di mana Seungyoun?
“Youn?” panggilnya sambil menuju koridor melalui kamar. Mungkin kekasihnya itu lelah dan jatuh tertidur.
“Youn—”
Itu bukan suaranya.
“Ngh—aah—”
Kaki Wooseok berjingkat, melangkah dalam diam namun cepat. Seraya kamarnya semakin dekat, suara yang terdengar semakin keras. Suara saru yang erotis.
“A—ah, gerakin.”
“Aah! Hng—ah!”
Akhirnya ia sampai di depan pintu kamar. Tanpa berbasa-basi lagi ia membukanya, berusaha sepelan mungkin dalam lekas.
Oh.
Tidak ada yang bisa menyiapkan Wooseok untuk melihat hal yang terpampang di depannya. Rasanya ia seperti bermimpi.
Tepat di hadapannya ada kasur. Bukan itu fokusnya—namun yang di atasnya.
Seungyoun dan “teman” mereka—alias friend with benefits—Seungwoo, sedang berhadapan satu sama lain. Tidak ada sehelai kain pun yang melekat di badan. Kaki mereka dilebarkan ke samping, tangan bertumpu dengan siku.
Pemandangan yang paling mengejutkan adalah presensi double ended dildo yang tertanam di anal masing-masing. Menghubungkan mereka berdua, timbul dan hilang seiring pinggul yang digerakkan.
“Hhng, Woo ... cepetin—hngh!” Seungyoun merintih sebelum perkataannya selesai, mukanya sudah memerah dihiasi ekspresi penuh nikmat.
“Yo—Youn, hhah, ah—”
Keadaan Seungwoo tidak lebih baik. Mulutnya terbuka sedikit, mengeluarkan desahan erotis yang bersahutan dengan Seungyoun. Pinggulnya bergerak maju mundur, menikmati tiap inci benda di dalam rektumnya.
Sudut bibir Wooseok tertarik membentuk senyuman. Sepertinya kedua insan ini begitu tenggelam dalam nikmat sampai tidak mendengarnya masuk ruangan.
Ah, sepertinya ini waktunya memberi kejutan.
“Aah, ah...“
“Asyik banget liat kalian main berdua.”
Seketika gerakan mereka terhenti. Dua pasang mata langsung bertemu milik Wooseok, membelalak. Bunyi napas yang terkesiap bisa terdengar dalam sekejap.
Wooseok kini menyeringai. Tangannya ia lipat di dada seraya menyandarkan bahunya di daun pintu.
“Kenapa? Lanjut dong, kakak kan lagi nonton.”
Seungyoun dan Seungwoo melihat satu sama lain, napas mereka memburu. Kemudian Seungyoun menoleh untuk menatap Wooseok lagi, mengerjap beberapa kali sebelum bersuara.
“Wooseok—”
“Kakak, Seungyoun.”
Memang yang paling muda di sini adalah Wooseok. Namun mulai dari saat ia masuk tadi, permainan sudah dimulai. Dalam dinamik mereka, Wooseok selalu jadi pengendalinya. Menjalankan permainan.
Satu-satunya yang perlu dilakukan Seungyoun dan Seungwoo adalah menurut. Oh, dan menikmati jalannya permainan. Melepas diri mereka sepenuhnya kepada Wooseok.
Bunyi pintu tertutup terdengar seraya Wooseok melangkah lebih dekat. Ia melepas dasi yang tersemat di kemeja, kemudian menyentuhkan ujungnya ke penis Seungyoun yang masih tegang. Sentuhan itu seringan bulu, menimbulkan rasa menggelitik yang semu. Ia juga melakukannya pada Seungwoo, membuat kedua pemuda itu mendesah pelan.
“Ka—kakak, kita bisa jelasin.”
“Nggak perlu jelasin. Kasih liat kakak aja,” ucap Wooseok pelan, melempar dasinya ke lantai. Ia mengecup bibir Seungyoun, lalu mendekati Seungwoo dan mengusap pipi pemuda itu.
“Halo, Seungwoo. Lama nggak ketemu. Kakak kangen.”
Seungwoo tersenyum, mata bambinya menatap Wooseok dengan lembut. “Kangen kakak juga,” jawabnya.
Wooseok mengecup bibir Seungwoo singkat, kemudian beranjak dan mengambil kursi. Ia duduk di sebelah tempat tidur dan menyilangkan kakinya.
“Nah, lanjutin kegiatan kalian,” titahnya sambil melepas dua kancing teratas di kemeja.
Kedua pemuda di kasur hendak bergerak lagi, namun Wooseok memotong mereka terlebih dahulu.
“Nuh-uh,” ia menggeleng, “ganti posisi, sayang. Hands and knees.”
Tanpa basa-basi lagi Seungwoo dan Seungyoun pun mengeluarkan dildo itu, lalu berbalik badan. Kini lutut mereka menjadi tumpuan.
Seungyoun memasukkan dildo ke analnya terlebih dahulu, kemudian disusul Seungwoo. Kini pantat mereka nyaris bersentuhan dengan mainan yang terbenam jauh dalam lubang masing-masing.
“Kak Wooseok, b—boleh, boleh gerak?” tanya Seungwoo pelan. Ia menoleh ke samping, menatap Wooseok penuh harap.
Wooseok mengangguk. “Boleh.”
Mereka pun mulai bergerak. Memaju-mundurkan pinggul, merasakan gesekan dildo di dinding rektum. Menikmati sedikit rasa perih dari bibir anal yang regang.
“Aah- ngh, kak—hng!”
“Hhh, ah- ah! Ngh—”
Desahan mereka bersahutan satu sama lain, kian sintal seiring napas yang tersengal. Terkadang pantat mereka bertemu, menimbulkan suara kecipak yang menggema di ruangan.
Wooseok sendiri sudah membuka ritsleting celananya, menstimulasi penisnya sendiri. Ia melihat ekspresi mereka yang dibasuh nafsu. Air muka penuh nikmat, dengan pipi dan bibir yang memerah serta alis yang berkerut. Manis sekali.
Sebentar.
Lho?
Ia tidak sengaja melihat remote kecil di samping tempat tidur, terbengkalai di atas nakas. Remote control itu hanya mempunyai dua tombol dengan simbol gelombang frekuensi tinggi dan rendah. Ah, ini pasti untuk dildo itu.
“Ini apa, ya?” tanyanya pura-pura polos sambil mengangkat remote itu. Seungwoo dan Seungyoun menoleh, lalu membelalak lagi saat melihat benda yang dipegang Wooseok.
“Kak, itu—aah! Ngh—hhah!”
Perkataan Seungyoun tidak sempat terselesaikan, karena Wooseok langsung menekan tombol naik berkali-kali. Suara menderu yang berasal dari getaran dildo di anal mereka langsung terdengar jelas. Dari angka digital yang tertera di remote, ini adalah intensitas tertinggi ketiga dari total lima.
“Emang kalian tuh ya. Kakak tinggal sehari langsung kayak gini. Suka banget jadi bandel? Enak diginiin?” tanyanya sambil menaikkan intensitas jadi empat.
“Ah—hng, mmh—ahn!”
Wooseok mendengus geli saat melihat kedua pemuda itu langsung ambruk. Lutut mereka yang gemetar tidak lagi bisa menahan badan masing-masing.
“Wooya, gimana rasanya, sayang?”
“Aah, ah, en—enak, kak,” jawab Seungwoo dengan tidak jelas, liur terlalu banyak berkumpul di rongga mulutnya.
“Kalau kamu, Younie?”
Seungyoun menoleh dengan mata yang berair, mukanya mengernyit sedemikian rupa. “Rasanya, hhh—enak, kak—ahh! Ngh!”
“Sekarang kalian berdua gerak.” Wooseok pun menekan tombol naik lagi. Sekarang getaran dildo itu begitu cepat sampai Wooseok bisa melihatnya samar-samar. Pasti nikmat sekali untuk kedua insan di depannya.
Omong-omong soal itu, Seungwoo dan Seungyoun tidak langsung bergerak. Alih-alih mereka berbaring dengan lemah, muka menempel di kasur.
Wooseok berdecak. “Tadi kan kakak suruh gerak. Kok nggak ada yang nurut? Apa nggak mau keluar?”
Dengan itu Seungwoo dan Seungyoun langsung bangkit—bertumpu dengan tangan dan lutut, lalu menggerakkan pinggul. Gerakan mereka tanpa ritme, benar-benar berantakan dan terlihat kepayahan. Dildo itu menekan prostat mereka berulang kali, membuat keduanya merasakan nikmat tanpa henti.
“Aah, kakak—hhah, hng ....”
Erangan dan desahan kian keras seiring gerakan yang tidak beraturan itu. Pre-cum mereka menetes ke kasur, membasahi sprei dan membuat genangan.
Wooseok menyelipkan penisnya kembali ke dalam boxer, lalu beranjak berdiri. Ia menurunkan getaran dildo itu sampai berhenti sepenuhnya, membuat Seungyoun dan Seungwoo menghembuskan napas lega.
“Sini, lepas dulu mainannya,” ucapnya, dengan perlahan mengeluarkan dildo itu dari anal masing-masing.
Setelah menaruh mainan itu di nakas, Wooseok kembali menghampiri dua pemuda yang terbaring lemas di kasur.
“Kasian, kalian belum klimaks ya tadi?” tanyanya jahil. Mereka hanya menggeleng sambil mengatakan belum dengan suara pelan.
“Ya udah,” lanjutnya, “kalian balik badan sekarang.”
Mereka pun menurut, mengubah posisi menjadi duduk. Penis mereka terlihat menyedihkan—merona dan basah oleh pre-cum, begitu tegak sampai hampir menyentuh pelvis masing-masing.
“Nah, sekarang kalian gesek-gesekan sana sampe keluar.”
Mata mereka membelalak, menatap Wooseok dengan tatapan tidak percaya. Wooseok sendiri hanya tersenyum.
“Oh, iya. Kalian baru boleh keluar pas kakak izinin.”
Dengan ragu-ragu mereka pun mendekati satu sama lain. Seungyoun menaiki paha Seungwoo, membuat penis mereka bersentuhan.
Mereka mulai bergerak pelan, menggesek penis masing-masing. Seungyoun mencengkeram bahu Seungwoo seraya ia menggerakkan pinggulnya maju-mundur.
“Aah—hng, Wooya—”
“Younie, mmh!”
Perlahan gerakan mereka semakin berantakan, mengejar klimaks masing-masing. Wooseok hanya menatap dengan muka datar. Ia suka melihat dua pemuda itu kepayahan.
“Kak, hiks, bo—boleh keluar, nggak?” tanya Seungyoun dengan suara pecah. Air mata sudah rebas ke pipinya, membasahi kulit putih itu.
“Iy—iya, kak,” sahut Seungwoo, suaranya jauh lebih kecil. Ia sendiri juga sudah menangis. Bibirnya bergetar karena menahan isakan yang ingin keluar.
Wooseok bergumam sejenak. “Hmm ... boleh nggak ya?” tanyanya retoris.
“Pantes nggak ya, kalian? Nakal gini, hm?”
“Kak—Kak Seok, please, hiks, please—”
“Please, kak—nggak, hiks nggak kuat ...”
Ah, pertahanannya runtuh juga. Air mata memang membuyarkan segalanya. “Ya udah, boleh.”
Tepat setelah ia memberi izin Seungyoun dan Seungwoo langsung klimaks. Cairan mereka tumpah ke torso masing-masing, menghiasnya dengan benang-benang putih kental. Tubuh keduanya tersentak disertai erangan tertahan.
Beberapa detik berlalu sampai akhirnya mereka melemas. Keduanya ambruk ke belakang, berbaring di punggung mereka. Dada mereka naik turun dalam usaha untuk menstabilkan napas.
Wooseok kembali berdiri, menyentuh penis Seungwoo dengan lembut.
“Ah—uh, kak, udah,” pinta Seungwoo dengan suara kumur-kumur, badannya berusaha mengelak dari sensasi overstimulation yang mendera.
Wooseok melirik pemuda yang paling tua itu, kemudian menyapu sperma yang ada di perut dan penis Seungyoun dengan tangannya. Ia menunjukkan telapaknya yang kini lengket dengan cairan putih di depan Seungwoo.
“Makan dulu, sayang,” ucapnya, lalu menyodorkan tangan ke mulut Seungwoo. Pemuda itu langsung menjulurkan lidah, menjilat dan menelan cairan milik Seungyoun tersebut hingga habis.
Cup.
Setelah selesai, Wooseok mendekatkan mukanya dan mengecup bibir Seungwoo. Memagut yang lebih tua dalam cumbu, melesakkan lidahnya dan merasakan cairan Seungyoun di dalam. Ia pun melepas pagutan itu setelah beberapa saat, tersenyum saat melihat tatapan Seungwoo yang sudah berkabut.
“Pinter, Wooya,” pujinya. Seungwoo hanya membalasnya dengan senyuman lebar sampai matanya menyipit.
Ia pun beralih ke arah Seungyoun, menampung sperma Seungwoo di tangannya seperti tadi.
Seungyoun menoleh, mukanya merona dan berderai air mata. “Kak—hhh, Kak Wooseok, please, aaah ...”
Pemuda itu langsung membuka mulutnya. Wooseok hanya tertawa kecil sambil mengulurkan tangannya, membiarkan Seungyoun menjilat cairan di tangannya sampai tidak bersisa.
“Mau cium juga, cantik?” tanyanya. Seungyoun mengangguk antusias, yang langsung disambut Wooseok dengan ciuman panas. Ia menghisap dan menggigit bibir itu pelan, kemudian kembali memasukkan lidahnya. Memastikan cairan Seungwoo terasa di seluruh sudut dan celah mulut Seungyoun.
Wooseok mengakhiri ciuman itu dengan kecupan di cupid’s bow Seungyoun, kemudian memuji Seungyoun sebagaimana tadi pada Seungwoo.
Wooseok pun berjalan menjauh dari kasur, menanggalkan seluruh pakaiannya. Penisnya yang masih tegang langsung terlihat jelas, pembuluhnya timbul dengan kepala bersemburat merah muda. Ia mengocok penisnya sedikit, mendesah kala sengatan nikmat menjalar ke seluruh tubuhnya.
“Kak Wooseok?” cicit Seungwoo.
Bisa dilihat di depannya Seungwoo dan Seungyoun menatapnya lekat, mata mereka berkilat penuh nafsu.
“Hm?”
Seungyoun menjilat bibirnya, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. “Mau—mau nyobain kakak juga,” pintanya pelan.
“Nyobain apa?”
“P—penisnya kakak,” jawab Seungwoo.
Wooseok memutar bola matanya. “Tadi udah kakak bantuin, sekarang masih minta lagi? Rakus banget kalian.”
Kedua pemuda itu terdiam, hanya mengeluarkan suara rengekan kecil dari tenggorokan. Mereka menunduk malu, namun Wooseok tahu kata-katanya hanya membuat mereka semakin nafsu.
“Lantai, kalian berdua. Sekarang.”
Seungyoun dan Seungwoo langsung bergerak saat mendengar perintah Wooseok. Mereka turun dari tempat tidur, bersimpuh di lantai dengan mulut terbuka dan lidah menjulur. Mata mereka menatap ke atas, berharap.
Wooseok mendekati mereka, memelankan tempo tangannya. Kemudian ia menyentuhkan ujung penisnya ke lidah mereka berdua silih berganti.
“Ayo, katanya mau cobain kakak,” katanya sambil tersenyum, kemudian mengangguk. Sontak penisnya langsung dihujani dengan sensasi basah dan hangat, membuatnya mematung seketika.
Baik Seungwoo dan Seungyoun menstimulasi penisnya dengan antusias. Menjilati ereksinya dari pangkal hingga ujung, mengulum kepalanya bergantian. Pre-cum yang mengalir bercampur dengan saliva keduanya, membuat penis tersebut terlihat berkilau dan basah. Tangan mereka mengenggam batangnya lembut, sesekali mengenai pembuluh yang sensitif.
“Enak banget, ya?” tanyanya, mengelus rambut kedua pemuda di bawah.
“Mm—mh, ah, mmm ...”
“Hm—hng, ah—”
Suara mereka bersahutan, seperti desahan di kasur tadi. Wooseok ingin tertawa melihat keduanya. Seperti orang lapar saja. Mendesah dan bergumam, menjilat dan mengulum. Malah terkadang bibir dan lidah mereka saling menyentuh.
Beberapa saat kemudian Wooseok merasakan tekanan di pelvisnya, tanda bahwa klimaksnya sudah dekat. Ia mencengkeram rambut Seungwoo dan Seungyoun, merematnya sampai sedikit tertarik.
“Ngh—cantik-cantiknya kakak,” ucapnya sambil menggerakkan pinggul, mengejar pelepasannya sendiri.
Kedua pemuda di bawahnya tetap antusias memuaskan penisnya, menunggu dengan mata berbinar dan mulut terbuka.
“Aah—”
Akhirnya Wooseok pun mencapai klimaksnya—menyemburkan sperma ke mulut Seungyoun dan Seungwoo, menodai bibir dan dagu mereka.
Wooseok melirik ke bawah, kemudian berlutut dan memegang belakang kepala kedua pemuda itu.
“Seneng ya disembur gini,” katanya sambil menyeringai, “cumdump pribadi kakak.”
Ia mendorong pelan, mengarahkan mereka untuk maju. Seungwoo dan Seungyoun langsung menyentuhkan bibir mereka, mencumbu satu sama lain.
Kecupan basah itu berlangsung beberapa saat. Lenguhan dan desahan pelan mengiringi seraya mereka memperdalam ciuman, merasakan cairan Wooseok yang bercampur dengan saliva.
Senyuman kecil kembali terpatri di wajah Wooseok kala melihat ekstasi dalam ekspresi kedua pemuda itu. Berciuman dengan intens, bertukar rasa, sampai liur mengalir ke dagu dan leher.
“Kak Seok, kak, hhh ...” cicit Seungyoun, menatapnya dengan mata berkilau.
“Kenapa, sayang?”
“M—mau,” kekasihnya menelan ludah, “mau liat kakak sama Wooya ...”
Wooseok mengangkat alisnya. “Liat kakak sama Wooya ngapain?”
“Liat ... kakak setubuhin Wooya ...”
“Oh?” Wooseok mendengus geli, menoleh ke arah Seungwoo. “Gimana menurut kamu, Wooya?”
Seungwoo melirik ke arahnya. Ia mengangguk, tersenyum malu-malu.
“Wooya kangen disentuh kakak.”
“Kakak selalu kangen,” balas Wooseok, kemudian berjalan ke kasur dan berbaring. “Sini, sayang. Younie, kamu juga,” lanjutnya sambil menepuk tempat di sebelahnya.
Seungwoo dan Seungyoun pun mengikutinya, menaiki kasur dan berbaring di sisi kiri dan kanan Wooseok.
Tanpa menunggu lagi Wooseok langsung beringsut ke atas Seungwoo, menumpukan tangannya di samping kiri dan kanan. Ia memagut Seungwoo dalam ciuman lagi, merasakan sisa dirinya di bibir montok itu. Lidahnya sesekali masuk, menggoda Seungwoo sampai pemuda itu merengek.
Sesaat kemudian pagutan itu lepas dan Wooseok beralih ke leher jenjang pemuda itu. Ia jilat dan hisap, sesekali disertai gigitan. Membuat tanda kemerahan yang mencolok di kulit porselen itu, termasuk di atas tato-tatonya.
“Hhh, ah—ng, Kak Seok—aah, cepetan ...“ rengek Seungwoo sambil merengkuh kepala Wooseok, menekan saat yang lebih muda mencapai dadanya. Sengatan nikmat langsung menyerangnya, menjalar jauh ke penisnya yang sudah tegang lagi.
“Hm?” gumam Wooseok sambil mengulum salah satu puting, sesekali menghisapnya seperti hendak menyusu. Tangan satunya ia gunakan untuk mencubit dan memilin sisi satunya.
Desahan kecil terdengar dari samping mereka, yang tentunya berasal dari Seungyoun. Pemuda itu kini duduk, tangannya mengocok penisnya pelan.
Wooseok melepas kulumannya sejenak, menoleh ke arah kekasihnya. “Younie, nggak boleh keluar, ya. Jangan nakal sama kakak.”
Seungyoun langsung mengangguk, bibirnya sedikit mencebik. Ia harus menurut, kalau tidak Wooseok tidak akan memberi ampun.
“Wooya, lebarin kakinya cantik,” ucap Wooseok seraya beringsut ke bawah.
“Mmm,” gumam Seungwoo, membuka kakinya ke samping hingga lubang analnya yang berwarna pink menggoda terlihat jelas. “Kak Seok, langsung—hng, langsung masukin aja, please.”
Wooseok tersenyum miring, menggelengkan kepala. “Sabar, ya? Nanti kakak puasin kamu.”
“Mm-hm ... jangan lama-lama.”
“Iya, sayang.”
Ia beringsut ke bagian bawah, kemudian memosisikan mulutnya di depan bibir anal Seungwoo yang berkedut. Minta diisi, mungkin.
Perlahan ia kecup cincin yang merona itu, mengisapnya sedikit. Lalu perlahan ia jilat dan akhirnya—sambil melebarkan lubang itu dengan jempol—memasukkan lidahnya.
Liang Seungwoo hangat, disertai rasa stroberi artifisial yang berasal dari lubrikan. Ia menggerakkan lidahnya kesana kemari, menusuk-nusuk lubang tersebut dengan lembut.
“Mmh, kak—ah! Ah!” desah Seungwoo penuh nikmat, melebarkan kakinya lagi. Lidah Wooseok terasa aneh di dalamnya, namun tetap enak dan membuat desahannya semakin melengking.
Beberapa saat berlalu, dan Wooseok mengeluarkan lidahnya. Ia menjilat lubang itu sekali lagi, kemudian menegakkan diri.
“Wooya, mau jari kakak juga?”
Seungwoo mengangkat kepala, mengangguk dengan cepat. “Ma—mau!”
“Sepengen itu ya? Kamu bakal terima apa aja asal dimasukin?”
“Hu-um!”
“Jadi penisnya kakak nggak usah? Jari aja?”
“Nggak!” kini Seungwoo menggeleng. “Mau—mau penisnya Kak Seok ju-juga.”
Wooseok terkekeh. “Beneran rakus ternyata. Apa aja dipengenin.”
Setelah menuangkan lubrikan yang diambil dari nakas, Wooseok menyusupkan telunjuknya ke dalam anal Seungwoo. Tidak lama kemudian jari tengah juga ikut masuk, melebarkan lubang itu dengan gerakan menggunting.
Akhirnya jari itu bertambah menjadi tiga, kali ini dengan tempo yang cepat dan stimulasi yang intens pada prostat Seungwoo.
“Kak Seok—hng! Ah, ah—hhh, ah!”
Badan Seungwoo meronta kesana kemari, kakinya gemetaran berusaha tetap melebar. Prostatnya benar-benar terus dihujam tanpa henti, membuat pikirannya berkabut dan rasa nikmat memenuhi tubuhnya.
“Kayaknya ini udah cukup. Gimana, Wooya? Mau penisnya kakak sekarang?” tanya Wooseok sambil mengeluarkan jarinya.
Seungwoo melebarkan kakinya lagi sampai lututnya hampir menyentuh dada. “Iya, kak, please—hng, nggak tahan—”
“Kapan terakhir kali kamu tes?” tanya Wooseok lembut sambil membuka bungkus kondom.
“Dua minggu kemarin, negatif—ah, kak, nggak usah pake.”
Wooseok mengerutkan alis. “Kamu yakin? Kakak juga negatif, sih.”
“Mmm. Kangen kakak ...”
“Udah berapa kali bilang kangen ini?”
“Beneran—mmh!”
Perkataan Seungwoo terhenti saat Wooseok menempelkan penis ke bibir analnya. Tidak didorong, hanya digesekkan saja.
“Kaaaak!” rengek Seungwoo tidak sabar.
“Kok kamu jadi berani gini, Wooya?”
“Uh ...” bibir Seungwoo mencebik, alisnya mengerut. Ia hendak bicara lagi, namun mengurungkan niatnya. Kalau ia terus meminta, bisa-bisa malah tidak diberi.
Wooseok mendengus geli, mendecakkan lidahnya. Ia pun mendorong penisnya masuk, melenguh saat sensasi hangat dan basah menyambutnya. Tidak lama kemudian pinggulnya mulai bergerak maju mundur, bergerak dengan tempo yang lumayan cepat.
“Ah—Wooya, sempit banget ini,” ucap Wooseok sambil menghujam berulang kali, memastikan penisnya terus mengenai prostat yang lebih tua.
Seungwoo menanggapinya dengan suara serak. “Hhh, ah—Kak Seok gede banget—hhah!”
“Gede, ya? Enak dong?”
“Ngh—hhng, enak, enak—”
Wooseok menoleh ke samping, melihat Seungyoun yang mukanya sudah merona dan napasnya terengah. Bibirnya merah berkilau karena dijilat dan digigiti, penisnya tegak di selangkangan. Kekasihnya sendiri sedang menatap lekat ia dan Seungwoo seraya jarinya masuk ke dalam lubang sendiri.
“Suka liatnya, Younie?”
Seungyoun tersentak, tersadar dari lamunannya. Mulutnya membuka-tutup sebelum akhirnya menjawab dengan suara.
“Suka, kak.”
“Wooya cantik, ya?”
“Iya, kak.”
“Suaranya merdu, ya?”
“Merdu, kak.”
Wooseok tersenyum simpul. Ia mempercepat tempo pinggulnya dan mendorong lembut kepala Seungwoo ke samping. Sekarang Seungyoun bisa melihat dengan jelas wajah Seungwoo yang basah oleh air mata dan liur serta matanya yang setengah tertutup.
“Kamu mau cobain Wooya juga?”
“Hh—hng,” Seungyoun mengerjap, matanya beralih ke Wooseok lagi. Pada saat yang sama Seungwoo mendesah keras, penisnya menumpahkan pre-cum ke torsonya.
“Mau? Wooya enak, lho.”
Seungyoun akhirnya mengangguk, gerakannya agak kaku. Matanya berkilau seraya ia merangkak mendekat.
“Boleh, Kak Seok?”
“Boleh.”
Wooseok pun mengeluarkan penisnya, lalu menarik Seungyoun untuk menggantikan posisinya. Ia kemudian meletakkan dagu di bahu Seungyoun, berbisik di telinga kekasihnya.
“Younie, kakak masukin kamu, ya?”
Badan Seungyoun kaku seketika. Wooseok bisa melihat bulu kuduknya berdiri. Ia mengecup daun telinga Seungyoun, mengelus pinggangnya, kemudian berbisik lagi.
“Mau nggak, ngerasain lubangnya Wooya sambil dimanjain kakak?”
“Hng, Younie mau,” ucap Seungyoun, mengangguk lagi.
“Anak baik.”
Wooseok pun mendorong lembut pinggul Seungyoun, seraya kekasihnya itu giliran memasuki Seungwoo. Desahan nikmat terdengar dari keduanya saat ereksi itu masuk sepenuhnya, kembali mengisi lubang hangat tersebut.
“Kakak masukin, ya.”
Seungyoun kemudian mencondongkan badan ke depan, bertumpu di kasur. Kini Wooseok yang memasukkan penisnya ke anal Seungyoun. Liang yang basah dan hangat itu menjepit penisnya sedemikian rupa, seakan hanya muat untuknya.
“Ah! K—kak, hhng!”
Ia menyentakkan pinggul ke depan, membuat Seungyoun terdorong juga. Pemuda itu mendesah saat penisnya masuk lebih dalam lagi sampai pelvisnya menyentuh perineum Seungwoo.
Wooseok pun mengulang gerakan itu, mempercepat temponya. Dinding anal Seungyoun beradu dengan penisnya, berkedut dan memijat ereksinya sedemikian rupa.
Di bawah mereka berdua, Seungwoo sendiri sudah kepayahan. Ia terus mendesah pendek-pendek, badannya turut bergerak seiring dorongan dari Wooseok dan Seungyoun.
“Younie, kamu yang gerak sekarang,” ujar Wooseok sambil menurunkan ritmenya.
“Hng—kak, ah—ahn!”
Seungyoun pun mulai memaju-mundurkan pinggulnya, menstimulasi Wooseok dan Seungwoo bersamaan. Sensasi bertubi-tubi langsung ia rasakan, dari liang hangat Seungwoo sampai penis Wooseok yang memenuhi rektumnya sendiri.
Gerakannya tidak stabil, terlampau pelan untuk Wooseok. Mungkin ia tidak terbiasa dengan berbagai sensasi dalam saat yang bersamaan.
Plak!
“Aah—kh!” pekik Seungyoun, badannya tersentak ke depan saat tamparan Wooseok mendarat di pantatnya.
Wooseok memegang pinggang Seungyoun erat. “Gerak yang bener, Younie. Pelan banget, nggak bisa ya?”
“Hng—bisa kak, ah—”
Seungyoun pun bergerak lagi, kini dengan tempo yang lebih cepat. Suara kecipak dari kulit bertemu kulit pun menggema di ruangan, diiringi desahan dan geraman.
“Ngh—‘nak, Younie, kuh, Youn—” racau Seungwoo tidak jelas, sedikit terisak.
Tangan Seungwoo berada di samping kiri kanannya. Tanpa sadar tangannya mengepal, membuka lagi, lalu mengepal kembali. Begitu terus berulang-ulang, seperti sedang meremas sesuatu.
Wooseok melirik ke bawah, melihat tangan Seungwoo yang terus membuka dan menutup. Ia mendengus geli. Kebiasaan Seungwoo saat sedang dimanjakan kembali lagi.
“Younie.”
“Hh—hm?” sahut Seungyoun dengan napas terengah, sibuk menggerakkan pinggul.
“Pegang tangannya Wooya, sayang.”
Seungyoun pun menyelipkan jarinya di antara milik Seungwoo, menggenggam tangan yang lebih tua. Kini Seungwoo ganti meremas-remas tangan Seungyoun, merasakan genggaman erat yang bagai jangkar.
Sambil bergerak, Seungyoun menunduk dan mengecup bibir Seungwoo, kemudian bertanya.
“Wooya—enak?”
Seungwoo mengerjap beberapa kali, menyebabkan air mata turun ke pipinya. “Enak—ah, enak banget, Younie—”
“Rasanya Wooya gimana, Younie?” kali ini Wooseok yang bertanya.
“Hng, Wooya—” Seungyoun menatap Seungwoo dengan intens, namun bibirnya membentuk senyum. “—Wooya anget, hhh—sempit. Enak.”
Tatapan Wooseok melembut melihat kedua orang tersayangnya. Ia tidak bisa melihat Seungyoun, namun ada kilauan mata Seungwoo yang berkaca-kaca, berkabut karena nikmat, namun juga disertai binar untuk Seungyoun di hadapannya. Hal itu cukup membuatnya tahu bahwa Seungyoun membalas dengan binar yang sama pula.
Kalau diibaratkan sebuah kotak pandora, mungkin hati Wooseok sebagian besar terisi oleh cinta. Lalu yang membuka adalah kedua orang di depannya, mengisi hari-hari Wooseok sendiri dengan kasih sayang.
Mungkin cintanya cukup untuk mereka.
Wooseok menghujam Seungyoun dengan keras, membuat kekasihnya memekik terkejut. Ia kemudian menyamakan ritmenya dengan Seungyoun, berangsur-angsur mempercepatnya.
“Hhah—ah, kak! Ngh—Kak Seok!” desah Seungyoun, pinggangnya bergerak tidak karuan—berusaha menyamai ritme Wooseok.
Seungwoo membelalak saat tempo hujamannya semakin kencang. Prostatnya terkena berkali-kali tanpa jeda, mengirimkan sengatan nikmat yang mencapai ubun-ubun.
Pikirannya sudah benar-benar kabur. Kini yang bisa ia rasakan hanyalah penis Seungyoun yang terus menggempur analnya, semakin lama terasa semakin besar saja. Penisnya sendiri sedari tadi tidak disentuh, namun terus mengeluarkan pre-cum. Klimaksnya mungkin tidak lama lagi.
“Wooya? Mau keluar, sayang?” tanya Wooseok, menyandarkan dagunya di bahu Seungyoun.
“Hhh, kh—kuh, hhng ...”
Butuh waktu sejenak bagi Seungwoo untuk memproses pertanyaan itu. Mulutnya hanya bisa mengeluarkan suara tidak koheren, disertai liur yang tumpah ke dagu.
Wooseok mendengus geli. Bola mata Seungwoo sudah tidak fokus, mengerling ke kanan dan kiri, terkadang berbalik ke arah kelopak mata sehingga hanya bagian putih saja yang terlihat. Menjawab pun sudah tidak bisa.
“Wooya, jawab kakak.”
“Mau—hhah ...”
Ia mengangguk puas, lalu beralih ke Seungyoun. “Younie, mau keluar?” tanyanya lagi, kini sambil mengecup tengkuk kekasihnya itu.
Seungyoun menatap Seungwoo di bawahnya—begitu cantik, dengan mata berkilauan dan bibir basah yang terus mengeluarkan suara erotis. Pipi pemuda itu basah oleh air mata. Terkadang bibirnya tertarik membentuk senyum penuh ekstasi. Rambutnya yang menyebar bagai surai di bantal membuatnya terlihat sangat cantik.
Hal ini membuatnya semakin tidak terkendali. Belum lagi Wooseok yang menggempur tanpa ampun, memanjakannya dengan penis yang mencapai titik ternikmatnya.
“Hhng, ah—mau, mau,” jawabnya dengan susah payah. Ia sendiri tidak yakin apakah yang diucapkannya bisa terdengar.
“Kalo gitu gerak lebih kenceng. Kalian boleh keluar kapan aja,” tutur Wooseok.
Beberapa menit ke depan ruangan hanya terisi oleh suara lenguhan dan desahan. Seungyoun bergerak terus menerus, sesekali dibantu Wooseok yang tiba-tiba menyentak.
“Ah, ah, ah—ngh, hng—!!” Tidak lama kemudian Seungwoo orgasme, badannya membusur ke atas dan kakinya yang terangkat gemetaran. Cairan ejakulasinya menyembur ke perut, sebagian bahkan mencapai dadanya. Mukanya sudah tidak karuan—bola matanya berbalik ke atas, mulutnya menganga tanpa suara.
Ia tetap berkelojotan untuk beberapa saat, kemudian merengek karena overstimulation yang kembali mendera.
“Younie—kh, Kak Seok, cepetan ...” katanya manja, mukanya merengut.
Wooseok mendengus geli, tangannya merengkuh pinggang Seungyoun dengan erat. Ia pun meningkatkan temponya, menggempur Seungyoun dan mengejar pelepasannya sendiri.
“A—ah!”
Seungyoun yang kaget otomatis berjengit ke depan, memekik saat sensasi yang intens menyergap tubuhnya. Wooseok tidak memberikan jeda sedikitpun, membuat Seungyoun semakin kepayahan—dan klimaksnya semakin mendekat.
“Younie, keluar bareng kakak ya?” ucap Wooseok seraya menempelkan torsonya ke punggung Seungyoun. Gerakannya mulai tidak beraturan.
“Mmh—hhng, iya,” jawab Seungyoun dengan suara pecah. Rasa tertekan di pelvisnya semakin besar.
“Ayo, sayang.”
Cengkeraman Wooseok di pinggangnya kian kencang, dan kali ini Seungyoun benar-benar sudah tidak bisa berpikir. Fokusnya hanya pada satu hal—mencapai pelepasannya.
Ia menatap Seungwoo di bawahnya, yang membalas dengan sorot mata sayu—namun disertai senyuman yang begitu manis.
“Younie,” bisik Seungwoo pelan, dan itulah batas terakhirnya.
Orgasme menerpa Seungyoun dengan dahsyat, menjalar ke seluruh tubuh mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tubuhnya menjadi kaku seketika, melengkung ke belakang sehingga menyentuh dada Wooseok. Ia menggenggam tangan Seungwoo begitu erat sampai buku-buku jarinya memutih.
Spermanya tumpah ke dalam lubang hangat Seungwoo, membuat pemuda itu mendesah pelan kala cairan hangat memenuhi analnya.
“—Kh!” Wooseok pun menyusul sesaat kemudian. Ia menanam penisnya dalam-dalam sampai pelvisnya menyentuh pantat Seungyoun, menyemburkan cairan ejakulasi ke liang milik kekasihnya.
Seungyoun langsung ambruk di atas Seungwoo, napasnya tersengal-sengal. Rektumnya terasa begitu penuh karena cairan yang mengisinya.
Mereka terdiam untuk beberapa saat, mengatur napas dan menenangkan diri. Kemudian Wooseok menarik penisnya keluar, membuat Seungyoun mendesah kala liangnya yang penuh tiba-tiba kosong.
“Hhg—uh,” Seungyoun sendiri kemudian mengeluarkan penisnya dari anal Seungwoo. Lubang itu kini dihiasi cairan putih yang sedikit mengalir keluar.
Ia meraih ke belakang, merasakan bibir analnya sendiri. Ah, cairan Wooseok juga mengalir ke paha bagian dalamnya.
Wooseok memegang pinggang Seungyoun, mendorongnya lembut agar berbaring di samping Seungwoo. Ia sendiri memposisikan diri di sebelah Seungwoo, sehingga pemuda itu berada di tengah.
“Ada yang sakit, sayang?” tanyanya sambil membersihkan sisa cairan di perut Seungwoo dengan tisu.
Seungwoo tersenyum polos, belum terlalu turun dari euforianya. “Nggak ... Younie gimana?”
“Nggak ada,” balas Seungyoun, melingkarkan tangannya di pinggang Seungwoo—beradu dengan milik Wooseok.
“Bagus,” tutur Wooseok, mengecup bibir Seungwoo lembut dan mengelus lengan Seungyoun. Ia juga merapikan rambut mereka yang berantakan.
“Kakak ambilin minum dulu ya.”
Mereka mengangguk, dan Wooseok pun pergi keluar menuju dapur. Ia mengambil botol minum besar berisi air mineral dan dua gelas, kemudian melangkah kembali ke kamar.
Sesampainya di ruangan, ia melihat Seungwoo dan Seungyoun berhadapan satu sama lain, berpelukan erat. Kaki mereka saling menimpa sehingga sulit untuk melihat di mana mulai dan berakhirnya.
Ia menuangkan air ke gelas yang dibawa tadi. “Wooya, Younie, minum dulu.”
“Mm-hm.”
Gelas itu ia sodorkan ke kedua pemuda yang kink menegakkan badan. Mereka meneguk air itu, melepas dahaga yang sedari tadi menempel di tenggorokan. Wooseok sendiri minum langsung dari botolnya, menghilangkan haus dan membasahi mulutnya yang kering.
Saat selesai ia meletakkan gelas milik Seungwoo dan Seungyoun di nakas. Ia hendak naik kembali ke tempat tidur—namun berhenti saat ia bertemu tatapan kedua pemuda di depannya.
Tatapan itu lekat, penuh harap. Entah apa yang membuat mereka seperti itu.
Mungkin nafsu lagi.
“Kenapa?” tanyanya datar.
“Mmm ... Kak Seok,” cicit Seungwoo, “ma—mau lagi ...”
Wooseok mengangkat satu alisnya. “Mau apa?”
“Main ...”
“Kamu doang?” tanya Wooseok, “Younie?”
Seungyoun menjilat bibir, melirik malu-malu. “Mau, kak.”
“Gantian atau giman—”
“Berdua.”
Alis Wooseok kini mengerut. “Maksudnya?”
“Masukin kakak. Berdua.”
Wooseok mematung di tempat, mencerna perkataan Seungyoun itu. Mereka memang sering bereksperimen dengan berbagai hal, tak terkecuali kegiatan ini. Namun sudah lama sejak mereka melakukannya—dan waktu itu pun dengan Seungwoo sebagai pihak yang dimasuki, bukan Wooseok.
Namun ini menantang. Sungguh, Wooseok ingin tahu rasanya mengendalikan mereka dengan dirinya sebagai pihak yang menerima.
Seringai muncul di sudut bibirnya. Ah, ia jadi semangat lagi.
“Oke, boleh.”
Setelah berkata seperti itu ia pun menghampiri nakas, mengambil botol lubrikan, kemudian menaiki kasur. Matanya menatap tajam kedua pemuda di depannya.
“Kalian nggak boleh nyentuh diri sendiri, ya. Have fun nontonin kakak,” ucap Wooseok sambil tersenyum. Ia ingin tertawa melihat sorot mata Seungwoo dan Seungyoun yang seperti ingin membantahnya, namun tidak bisa. Mereka tidak berdaya.
Dengan itu Wooseok pun menyamankan diri di dipan, menyandarkan punggung di bantal. Kakinya ia lebarkan sampai lututnya hampir menyentuh dada, menyebabkan lubangnya terpampang jelas.
Ia tidak melepaskan matanya dari Seungwoo dan Seungyoun seraya menggerakkan jarinya dengan gerakan melingkar di bibir analnya. Kemudian jari tengahnya yang sudah berbalut lubrikan pun ia masukkan perlahan, melesak ke dalam lubang sempit itu.
“Ah—hng,” desahnya pelan kala intrusi jarinya menyebabkan dinding anal yang sensitif itu berkedut. Dengan pelan jari itu ia keluarkan, lalu dimasukkan lagi, berulang-ulang.
Setelah beberapa saat—yang terasa lama—Wooseok menambahkan jari telunjuknya. Seketika sensasi sakit bercampur nikmat langsung menyergapnya. Rasanya sempit sekali, entah bagaimana penis Seungyoun dan Seungwoo akan muat nanti.
Persetan. Ia harus bisa.
Seraya menggerakkan dua jarinya seperti menggunting, ia pun buka suara.
“Lubang kakak sempit banget, lho,” godanya, “Pas buat manjain penis kalian.”
Desahan lemah langsung terdengar dari Seungwoo dan Seungyoun. Suara pelan itu terdengar seperti permohonan. Seperti keputusasaan.
Ah, Wooseok senang mempermainkan mereka seperti ini.
“Dikit lagi, ya,” lanjutnya, kemudian menambahkan jari manisnya. Sekarang liangnya benar-benar diregangkan. Sambil bernapas dalam-dalam Wooseok berusaha merilekskan ototnya, melebarkan analnya sebisa mungkin.
Ia mempercepat tempo tusukan jarinya, terkadang mengganti arah dan sudut untuk mencari titik nikmatnya.
Sekejap kemudian Wooseok mengenai prostatnya, membuat sekujur tubuhnya menjadi tegang karena nikmat yang menggelitik di mana-mana.
“Ngh—ah!” desahnya sambil mempercepat gerakan, menghujam titik nikmatnya terus-menerus. Penisnya sendiri sudah kembali tegang, meneteskan pre-cum ke perut.
Wooseok melirik Seungwoo dan Seungyoun di tengah kegiatannya. Ia melihat tatapan mereka yang hanya berfokus padanya seorang, berkabut dan sedikit berair. Tangan mereka mengepal di sisi kiri dan kanan—berusaha tidak menyentuh diri sendiri.
Karena merasa iba—dan persiapannya ia rasa cukup—Wooseok pun mengeluarkan jarinya. Kini liangnya sudah licin dan basah.
“Younie, kamu tiduran sini. Sebentar ya, Wooya.”
“Mmm.”
Seungyoun beringsut ke tempat yang ditepuk Wooseok, berbaring telentang. Ia menggenggam penisnya sendiri, menstimulasinya sedikit.
Wooseok merangkak ke atasnya, kemudian memegang penis Seungyoun dengan tangannya sendiri. Ia mengangkat pantatnya, satu tangan bertumpu di kasur.
“Kak—ah, mmh ...” rintih Seungyoun saat Wooseok mulai merendah, merasakan dinding hangat yang kembali menyelimuti penisnya. Wooseok terus menurunkan badan sampai akhirnya ia duduk di paha Seungyoun—penis itu sudah masuk sepenuhnya.
Setelah menyesuaikan diri, Wooseok pun mulai bergerak. Ia meletakkan tangannya di bahu Seungyoun, pinggulnya naik-turun, menghujam dirinya sendiri dengan penis kekasihnya. Suara kecipak karena kulit yang beradu kembali terdengar.
“Ngh—ah, Kak Seok—ah!” pekik Seungyoun saat tangan Wooseok turun dan meremas dadanya. Putingnya dicubit dan dipilin berulang kali.
Wooseok menoleh ke belakang seraya bergerak, mengerling ke arah Seungwoo. Sorot mata pemuda itu sayu, napasnya memburu.
Ia tersenyum menggoda, mengerjapkan mata. “Wooya, sini,” panggilnya.
Seungwoo pun beringsut mendekat, memiringkan kepala penuh tanya. Wooseok hanya mengangkat pantatnya sedikit sehingga hanya kepala penis Seungyoun yang berada dalam analnya.
“Jari kamu, cantik. Siapin kakak.”
Wooseok melanjutkan gerakannya seraya Seungwoo melumuri jari dengan lubrikan. Tak lama kemudian jari telunjuk Seungwoo pun masuk, beradu dengan penis Seungyoun.
Jari itu bergerak masuk dan keluar seirama dengan gerakan Wooseok, melebarkan liang sempit itu. Selang waktu sebentar jari tengahnya ikut masuk.
“Aah—ah, hng—” Seungyoun menggeliat sedikit, intrusi jari Seungwoo di sebelahnya terasa aneh namun nikmat.
“Kenapa, Younie?” tanya Wooseok dengan napas terengah, masih sibuk bergerak. “Jarinya Wooya enak ya?”
“Hhh—iya, ah ...”
Wooseok tersenyum simpul. “Kalo penisnya Wooya, gimana?”
Mata Seungyoun membulat, tangannya mencengkeram pinggang Wooseok erat. “Enak. M—mau,” balasnya singkat.
Kekehan terdengar dari mulut Wooseok. “Ya udah. Wooya, kamu masukin kakak juga.”
Seungwoo memosisikan diri di belakang Wooseok, kakinya di samping kaki kiri dan kanan Seungyoun. Wooseok mengangkat pantatnya lagi sampai penis Seungyoun sedikit keluar, menoleh ke belakang.
“Masukin, sayang,” ucapnya lembut.
Penis Seungwoo perlahan-lahan masuk ke lubang Wooseok yang masih terisi ereksi Seungyoun. Alisnya berkerut, menahan hasrat untuk segera menghujam ke dalam Wooseok. Tidak, ia harus sabar. Harus jadi anak baik.
“Uuh, Kak Seok—hng, sempit—” keluhnya seraya mendorong penisnya sedikit demi sedikit.
“Terus, Wooya.” Wooseok berucap, merilekskan otot analnya sebisa mungkin agar muat. Rasanya sakit karena dindingnya dipaksa untuk melebar sedemikian rupa. Namun ada sengatan nikmat yang menyertai—dan itulah yang ia cari.
Seungyoun merengek di bawah mereka. “Kak Seok—uh—hhah, mau gerak!”
“Hush,” satu tangan Wooseok mengelus pipinya. “Sabar, Younie.”
“Hhng ...”
Akhirnya setengah dari penis Seungwoo masuk, tidak bisa didorong lagi. Wooseok menghela napas panjang. Ia menurunkan pinggulnya sedikit, mengangkatnya, kemudian turun lagi dengan cepat.
“Aah—hng! Kak—ahh!”
Desahan Seungwoo dan Seungyoun langsung terdengar pada saat yang bersamaan. Penis mereka beradu, menyentuh satu sama lain dalam liang hangat Wooseok. Sensasi yang terasa benar-benar berbeda dari saat biasa.
Wooseok mempercepat temponya diiringi Seungwoo dan Seungyoun yang turut bergerak. Kepalanya mendongak dan tubuhnya melengkung, merasakan prostatnya digempur tanpa henti.
“Ngh—aah, kalian berdua besar banget—” desahnya sambil menggoyangkan pinggul. Matanya sudah mengerjap berulang kali karena nikmat yang terus datang.
“Hhh, ah, Kak Seok—Kak Seok ...” Seungwoo mencengkeram pinggangnya, menghujam bergantian dengan Seungyoun. Jika penisnya masuk, maka milik Seungyoun sedikit keluar. Begitu pula sebaliknya.
Tangan Seungwoo ditarik Wooseok agar pemuda itu menunduk sampai dada dan punggung mereka bersentuhan. Dengan itu Seungwoo bisa melihat ekspresi Seungyoun yang terbasuh nikmat di balik bahu Wooseok.
Seungyoun menangkup tangan Wooseok yang kini kembali meremas dadanya. “Kak Seok, hng—ah!”
Sudut bibir Wooseok tertarik membentuk senyuman. Mereka berdua benar-benar sudah tidak bisa berpikir.
“Keenakan, hm? Cuma manggil nama kakak doang dari tadi,” katanya seraya mengetatkan otot analnya, menjepit kedua penis itu dengan kencang. “Kakak sempit dan anget banget, kah? Saking enak dan mentoknya kalian nggak bisa mikir?”
“Kak—hngh, jangan dikencengin—”
“Gini?”
“A—ah!”
Gerakan mereka semakin liar setelahnya, merasakan ejakulasi yang mendekat. Seungyoun dan Seungwoo menusuk ke dalam saat Wooseok merendahkan badan, membuat mereka bertemu di tengah-tengah.
“Hhah—ah, Younie, Wooya, bareng sama kakak ya? Isi kakak sampe penuh, ya?”
“Kuh—kak, ah, ngh!”
Wooseok mempercepat gerakannya, berusaha menghujam sedalam mungkin. Tubuhnya sudah terasa panas dan dingin dalam waktu yang bersamaan, sensasi nikmat bertubi-tubi menimpanya. Ia pun meraih ke bawah, mengocok penisnya sendiri, menambah sensasi itu.
“M—mau, ah, Kak Seok, mau keluar,” ucap Seungwoo dengan suara serak, menyandarkan dahi di punggung Wooseok. Ia memeluk dari belakang, tangannya melingkar melewati torso.
Seungyoun di bawahnya mengangguk lemah, cengkeraman tangannya yang berada pinggang Wooseok mengencang.
Wooseok mengangguk, tersenyum lembut. “Boleh keluar—kalian berdua.”
Sekejap kemudian gerakan mereka berhenti dengan satu hentakan terakhir. Wooseok terduduk di pangkuan Seungyoun, dengan penis keduanya tertanam dalam-dalam.
Ia bisa merasakan sperma menyembur ke dalam liangnya, menodai dinding analnya dengan cairan hangat. Wooseok sendiri klimaks tidak lama kemudian, cairannya mengenai perutnya dan Seungyoun.
“Hhah—aah, ah ...” suara napas yang tersengal-sengal terdengar dari Seungwoo dan Seungyoun yang melemas. Orgasme kali ini tidak sekuat sebelumnya, namun tetap membuat badan merinding dan gemetaran.
Setelah beberapa lama Wooseok pun memutuskan untuk bangkit. Ia mendorong Seungwoo lembut, membuat pemuda itu mundur, kemudian mengangkat badannya.
“Duh,” rintihnya kala kedua penis itu keluar dari analnya, menyisakan rasa hampa yang aneh dan cairan yang mengalir ke pahanya.
Ia meraba bibir analnya yang basah, kemudian terkekeh. “Kalian bener-bener kepenuhan ngisinya.”
Seungyoun hanya tersenyum lemah seraya menarik Seungwoo untuk berbaring di sebelahnya. Wooseok menunduk, mengecup bibir mereka satu persatu. Mengapresiasi kedua orang tersayangnya.
“Sayang-sayangnya kakak. Makasih ya udah muasin kakak hari ini.”
“Makasih juga, kak,” sahut Seungwoo, yang diikuti anggukan setuju dari Seungyoun. Sorot mata keduanya begitu lembut, penuh kasih sayang untuk Wooseok.
Hatinya sekali lagi terenyuh.
Wooseok pun pergi ke dapur dengan kaki yang gemetar, mengisi mangkuk dengan air hangat dan beberapa handuk kecil. Saat kembali ke kamar ia memutuskan untuk tidak mengganti sprei yang—ternyata—tidak terlalu kotor.
“Bersih-bersih dulu, terus minum,” katanya sambil menyodorkan handuk hangat pada Seungwoo dan Seungyoun. Ia sendiri juga membersihkan sisa-sisa cairan di tubuh, termasuk yang mengalir dari analnya.
Setelah selesai handuk itu diletakkan di keranjang laundry, kemudian ia bergabung kembali di kasur. Mengambil posisi di tengah Seungwoo dan Seungyoun, yang langsung melingkarkan tangan dengan aman di perutnya.
“Wooseokie, harusnya tadi kita aja yang ambil air,” ucap Seungwoo, mengerucutkan bibirnya.
Wooseok tertawa kecil. “Nggak usah, kak. Aku kan masih bisa jalan.”
“Tapi kamu terus yang ngurusin kita, Seok,” kali ini Seungyoun yang berbicara. “Sekali-sekali kamu yang tiduran.”
“Iya, iya,” balas Wooseok dengan nada menyerah. Seungwoo dan Seungyoun hanya tersenyum lebar, lalu menghujaninya dengan kecupan di pipi dan dahi.
Mereka terdiam sejenak, sampai akhirnya Wooseok angkat suara lagi.
“Oh iya. Siapa yang beli dildo itu, sih?”
Seungyoun nyengir canggung. “Kita berdua sih, Seok. Tadi itu pas lagi ‘main’ mau kirim foto pas udah gerak sedikit. Eh, kamunya keburu dateng.”
“Kirain emang mau ninggalin aku. Udah mainnya sama Kak Seungwoo, lagi. Kita kan udah lama nggak main sama-sama.”
Kecupan lembut kembali mendarat di dahinya. “Masa kamu ditinggal, Seok? Nggak mungkin lah,” tutur Seungwoo.
“Ya ... siapa tau, kan?”
“Nggak ih.”
Wooseok menatap Seungwoo lekat. Melihat fiturnya yang tegas dan binar matanya yang cantik. Mengamati senyumnya yang manis dan merasakan sentuhannya yang lembut.
Sebetulnya sudah lama ia memendam rasa untuk pemuda ini. Bukan berarti cintanya untuk Seungyoun surut—rasa itu malah bertambah kuat setiap harinya.
Namun, dengan hadirnya Seungwoo, hatinya terasa penuh. Ada warna yang tadinya ia tidak sadari keberadaannya. Pun Seungyoun—Wooseok bisa melihat bagaimana senyum yang diberi untuk Seungwoo sama dengan yang ditujukan pada dirinya. Menatap Seungwoo dengan sorot mata yang sama, penuh kekaguman dan rasa sayang.
Penuh cinta.
Ia kemudian mengalihkan pandangan ke Seungyoun. Polarisnya selama beberapa tahun terakhir. Pelipur lara, tempat bernaungnya. Tempatnya mendaratkan pelukan kala ia butuh rengkuhan aman.
Insan yang setiap hari membuat Wooseok merasa ia jatuh cinta lagi, untuk pertama kali.
Mungkin mereka telah menemukan bagian yang selama ini tidak mereka sadari. Ruang untuk satu pujaan hati lagi. Untuk berbagi rasa setiap hari.
Wooseok menatap Seungyoun, bertanya tanpa bicara. Tatapannya dibalas dengan penuh arti. Seungyoun sedikit mengerling—mencari keraguan, namun Wooseok tidak punya itu. Ia yakin. Ia hanya perlu keyakinan dari Seungyoun. Lagipula, mereka sudah membicarakan ini berkali-kali.
Seungyoun pun tidak ragu.
Keputusannya sudah bulat. Saatnya menyatakan apa yang terpendam.
“Kak Seungwoo,” bisiknya pelan. “Ada sesuatu yang mau kita omongin.”
Seungwoo mengangkat alis. “Apa?”
“Kakak kan udah ... lama hubungan sama kita. Udah tau luar dalemnya juga ...”
“Iya ...”
Wooseok menggigit bibir. Di belakangnya, Seungyoun mengeratkan pelukan, kemudian menyandarkan diri di bahu Wooseok. Kekasihnya itu menatap Seungwoo sambil tersenyum lembut, kemudian bicara.
“Nah, selama itu ... aku sama Wooseok—um, jadi naruh perasaan ke kakak. Kayak, kita udah omongin ini berulang kali. Awalnya takut, tapi ternyata perasaan kita ke satu sama lain dan ke Kak Seungwoo itu sama.”
Seungwoo terdiam. Matanya membulat, mengedip berulang kali. Berusaha mencerna kata-kata Seungyoun.
“Um—” ia berdeham, “—jujur ya, jujur, kakak juga sama.”
Kali ini Wooseok dan Seungyoun yang terdiam. Tubuh mereka menegang, menunggu kata-kata selanjutnya.
“Kakak juga dulu—uh, sampe kayak bingung sendiri gitu. Takut ngancurin hubungan kalian—”
“Nggak, kak,” potong Wooseok, “emang aku sama Youn pernah berantem gara-gara ini. Tapi akhirnya kita nyadar kalo kita sama-sama suka Kak Seungwoo.”
Seungwoo menghela napas. “Tapi kakak nggak mau nyakitin kalian.”
“Kita nggak mau nyakitin Kak Seungwoo juga,” ucap Seungyoun, “semuanya terserah kakak. Tapi kita udah ngomongin terus, dan ... ini yang bener-bener kita rasain.”
“Nggak apa-apa, kalo kakak nggak mau. Mau gini terus juga boleh. Aku sama Youn cuma ngerasa perlu aja nyatain, karena—um—kita sayang, sayang banget sama kakak,” sambung Wooseok.
“Jadi—” Seungyoun menelan ludah, “Kak Seungwoo, mau nggak jadi pacar aku sama Wooseok?”
Harapan tumbuh di kalbu Wooseok, bersamaan dengan kupu-kupu yang beterbangan di perutnya. Ia sungguh menginginkan ini. Kalbunya tidak bisa dibohongi.
Seungwoo menarik dan menghembuskan napas beberapa kali. Alisnya berkerut karena berpikir keras.
Kemudian ia menutup mata, dan saat ia membukanya, ada keyakinan juga dalam sorot mata itu. Senyuman muncul di bibirnya—senyuman yang melelehkan hati Wooseok dan Seungyoun. Senyuman yang membuat perasaan mereka membuncah tiap kali melihatnya.
Tangan Seungwoo mendarat di pinggang Wooseok, menggenggam lengan Seungyoun yang berada di bawahnya.
“Kakak mau jadi pacar kalian.”
Wooseok tersenyum lebar, bersamaan dengan Seungyoun yang tertawa lega. Akhirnya penantian mereka selesai. Ada cinta baru yang sedang bertumbuh lagi. Ada hari-hari bersama Seungwoo yang bisa dinanti.
Seungwoo beringsut maju, mengecup bibir Wooseok, kemudian mencium bibir Seungyoun. Tidak perlu kata-kata lagi, semuanya bisa dirasakan dalam cumbu yang diberi.
Malam itu, pelukan hangat di bawah selimut rasanya sangat berarti.
“Makasih ya, kak.”
Rengkuhan itu mengerat antara satu sama lain.
“Kita sayang kakak.”
Begitu aman. Seperti rumah nyaman. Menyimpan berjuta rasa.
“Makasih juga, Wooseok, Seungyoun. Kakak sayang kalian.”
—fin.