longlivecsy


FOURTH story from cc deepest darkest desire prompts:

  1. hai tiba2 kepikiran pwp ot3 tapi bingung siapa dom/topnya (yg jelas ada syoun, swoo, wseok) sebenernya cuma A makes B and C rub against each other until they cry and come pokoknya A is taking control. dia pacaran sama salah satunya. dan yg satunya mergokin mereka lagi enak jadilah diajak ikutan soalnya kinda open relationship juga. idk if it’s possible tapi kalo ada rimming + degradation kink + sex toys boleh banget hehe thank you! love, 🍒
  2. This is a prompt(?), Well, kind of Threesome with the top caught 2 subs desperately fucking into each other in double ended dildo The pairing is up to you, i hope you have fun, if you ended up writing this ;)

A/N

halo. tangan gue pegel banget. ini lama banget bikinnya karena gue siput. useless info, DDD gue bikin kalo ada sesuatu yang bikin happy. kali ini, yang bikin happy itu seungwoo, wooseok sama seungyoun post story comeback satu sama lain. HAHAHA. yaudah jadinya bertiga deh. voilà!

anyway,

TAGS graphic description of sex, usage of vulgar words (penis, anal, sperma), threesome, mild degradation, double-ended dildo, dirty talk, pet names, grinding against each other, frotting, overstimulation, come eating, blowjob, facial, voyeurism (kinda), nipple play, fingering, rimming, bareback sex, sandwich (aka yg tengah masuk dan dimasukin), spanking, cumming untouched, creampie, double penetration.

NOTES 1. buat prompt pertama, instead of B/C mergokin A sama B/C, gue bikin A yang mergokin B dan C. 2. ini dom!wooseok x sub!seungwoo & seungyoun. dom sub ya. kalo ditanya who tops and bottoms... i’ll answer with: yes.

TOTAL WORDS: 6,407 WORDS

kalo ada komentar, tanggapan, kritik, saran, argumen dll bisa mention, DM atau drop ke CC gue as usual ya. selamat membaca, semoga kalian suka ♥️


Pintu terbuka. Wooseok melepas sepatu dan meletakkannya di rak, kemudian menggantungkan mantelnya. Pekerjaan hari ini melelahkan, tidak berbeda dengan hari-hari biasa. Untung kali ini jalanan tidak padat, sehingga kakinya tidak tersiksa karena menginjak pedal.

Ada dua sepatu loafers di rak—miliknya dan Seungyoun, kekasihnya. Hal ini berarti Seungyoun sudah sampai lebih dulu di rumah. Bukan hal yang jarang, karena jarak tempat kerja Wooseok lebih jauh.

Ia berjalan ke arah ruang tamu yang biasanya sudah dihuni kekasihnya dengan TV menyala. Namun kali ini berbeda, ruangan itu sunyi senyap tanpa tanda kehidupan sedikitpun.

Alis Wooseok mengerut. Di mana Seungyoun?

“Youn?” panggilnya sambil menuju koridor melalui kamar. Mungkin kekasihnya itu lelah dan jatuh tertidur.

Youn—”

Itu bukan suaranya.

Ngh—aah—

Kaki Wooseok berjingkat, melangkah dalam diam namun cepat. Seraya kamarnya semakin dekat, suara yang terdengar semakin keras. Suara saru yang erotis.

A—ah, gerakin.

Aah! Hng—ah!

Akhirnya ia sampai di depan pintu kamar. Tanpa berbasa-basi lagi ia membukanya, berusaha sepelan mungkin dalam lekas.

Oh.

Tidak ada yang bisa menyiapkan Wooseok untuk melihat hal yang terpampang di depannya. Rasanya ia seperti bermimpi.

Tepat di hadapannya ada kasur. Bukan itu fokusnya—namun yang di atasnya.

Seungyoun dan “teman” mereka—alias friend with benefits—Seungwoo, sedang berhadapan satu sama lain. Tidak ada sehelai kain pun yang melekat di badan. Kaki mereka dilebarkan ke samping, tangan bertumpu dengan siku.

Pemandangan yang paling mengejutkan adalah presensi double ended dildo yang tertanam di anal masing-masing. Menghubungkan mereka berdua, timbul dan hilang seiring pinggul yang digerakkan.

“Hhng, Woo ... cepetin—hngh!” Seungyoun merintih sebelum perkataannya selesai, mukanya sudah memerah dihiasi ekspresi penuh nikmat.

“Yo—Youn, hhah, ah—”

Keadaan Seungwoo tidak lebih baik. Mulutnya terbuka sedikit, mengeluarkan desahan erotis yang bersahutan dengan Seungyoun. Pinggulnya bergerak maju mundur, menikmati tiap inci benda di dalam rektumnya.

Sudut bibir Wooseok tertarik membentuk senyuman. Sepertinya kedua insan ini begitu tenggelam dalam nikmat sampai tidak mendengarnya masuk ruangan.

Ah, sepertinya ini waktunya memberi kejutan.

“Aah, ah...“

“Asyik banget liat kalian main berdua.”

Seketika gerakan mereka terhenti. Dua pasang mata langsung bertemu milik Wooseok, membelalak. Bunyi napas yang terkesiap bisa terdengar dalam sekejap.

Wooseok kini menyeringai. Tangannya ia lipat di dada seraya menyandarkan bahunya di daun pintu.

“Kenapa? Lanjut dong, kakak kan lagi nonton.”

Seungyoun dan Seungwoo melihat satu sama lain, napas mereka memburu. Kemudian Seungyoun menoleh untuk menatap Wooseok lagi, mengerjap beberapa kali sebelum bersuara.

“Wooseok—”

Kakak, Seungyoun.”

Memang yang paling muda di sini adalah Wooseok. Namun mulai dari saat ia masuk tadi, permainan sudah dimulai. Dalam dinamik mereka, Wooseok selalu jadi pengendalinya. Menjalankan permainan.

Satu-satunya yang perlu dilakukan Seungyoun dan Seungwoo adalah menurut. Oh, dan menikmati jalannya permainan. Melepas diri mereka sepenuhnya kepada Wooseok.

Bunyi pintu tertutup terdengar seraya Wooseok melangkah lebih dekat. Ia melepas dasi yang tersemat di kemeja, kemudian menyentuhkan ujungnya ke penis Seungyoun yang masih tegang. Sentuhan itu seringan bulu, menimbulkan rasa menggelitik yang semu. Ia juga melakukannya pada Seungwoo, membuat kedua pemuda itu mendesah pelan.

“Ka—kakak, kita bisa jelasin.”

“Nggak perlu jelasin. Kasih liat kakak aja,” ucap Wooseok pelan, melempar dasinya ke lantai. Ia mengecup bibir Seungyoun, lalu mendekati Seungwoo dan mengusap pipi pemuda itu.

“Halo, Seungwoo. Lama nggak ketemu. Kakak kangen.”

Seungwoo tersenyum, mata bambinya menatap Wooseok dengan lembut. “Kangen kakak juga,” jawabnya.

Wooseok mengecup bibir Seungwoo singkat, kemudian beranjak dan mengambil kursi. Ia duduk di sebelah tempat tidur dan menyilangkan kakinya.

“Nah, lanjutin kegiatan kalian,” titahnya sambil melepas dua kancing teratas di kemeja.

Kedua pemuda di kasur hendak bergerak lagi, namun Wooseok memotong mereka terlebih dahulu.

“Nuh-uh,” ia menggeleng, “ganti posisi, sayang. Hands and knees.”

Tanpa basa-basi lagi Seungwoo dan Seungyoun pun mengeluarkan dildo itu, lalu berbalik badan. Kini lutut mereka menjadi tumpuan.

Seungyoun memasukkan dildo ke analnya terlebih dahulu, kemudian disusul Seungwoo. Kini pantat mereka nyaris bersentuhan dengan mainan yang terbenam jauh dalam lubang masing-masing.

“Kak Wooseok, b—boleh, boleh gerak?” tanya Seungwoo pelan. Ia menoleh ke samping, menatap Wooseok penuh harap.

Wooseok mengangguk. “Boleh.”

Mereka pun mulai bergerak. Memaju-mundurkan pinggul, merasakan gesekan dildo di dinding rektum. Menikmati sedikit rasa perih dari bibir anal yang regang.

“Aah- ngh, kak—hng!”

“Hhh, ah- ah! Ngh—”

Desahan mereka bersahutan satu sama lain, kian sintal seiring napas yang tersengal. Terkadang pantat mereka bertemu, menimbulkan suara kecipak yang menggema di ruangan.

Wooseok sendiri sudah membuka ritsleting celananya, menstimulasi penisnya sendiri. Ia melihat ekspresi mereka yang dibasuh nafsu. Air muka penuh nikmat, dengan pipi dan bibir yang memerah serta alis yang berkerut. Manis sekali.

Sebentar.

Lho?

Ia tidak sengaja melihat remote kecil di samping tempat tidur, terbengkalai di atas nakas. Remote control itu hanya mempunyai dua tombol dengan simbol gelombang frekuensi tinggi dan rendah. Ah, ini pasti untuk dildo itu.

“Ini apa, ya?” tanyanya pura-pura polos sambil mengangkat remote itu. Seungwoo dan Seungyoun menoleh, lalu membelalak lagi saat melihat benda yang dipegang Wooseok.

“Kak, itu—aah! Ngh—hhah!”

Perkataan Seungyoun tidak sempat terselesaikan, karena Wooseok langsung menekan tombol naik berkali-kali. Suara menderu yang berasal dari getaran dildo di anal mereka langsung terdengar jelas. Dari angka digital yang tertera di remote, ini adalah intensitas tertinggi ketiga dari total lima.

“Emang kalian tuh ya. Kakak tinggal sehari langsung kayak gini. Suka banget jadi bandel? Enak diginiin?” tanyanya sambil menaikkan intensitas jadi empat.

“Ah—hng, mmh—ahn!”

Wooseok mendengus geli saat melihat kedua pemuda itu langsung ambruk. Lutut mereka yang gemetar tidak lagi bisa menahan badan masing-masing.

“Wooya, gimana rasanya, sayang?”

“Aah, ah, en—enak, kak,” jawab Seungwoo dengan tidak jelas, liur terlalu banyak berkumpul di rongga mulutnya.

“Kalau kamu, Younie?”

Seungyoun menoleh dengan mata yang berair, mukanya mengernyit sedemikian rupa. “Rasanya, hhh—enak, kak—ahh! Ngh!”

“Sekarang kalian berdua gerak.” Wooseok pun menekan tombol naik lagi. Sekarang getaran dildo itu begitu cepat sampai Wooseok bisa melihatnya samar-samar. Pasti nikmat sekali untuk kedua insan di depannya.

Omong-omong soal itu, Seungwoo dan Seungyoun tidak langsung bergerak. Alih-alih mereka berbaring dengan lemah, muka menempel di kasur.

Wooseok berdecak. “Tadi kan kakak suruh gerak. Kok nggak ada yang nurut? Apa nggak mau keluar?”

Dengan itu Seungwoo dan Seungyoun langsung bangkit—bertumpu dengan tangan dan lutut, lalu menggerakkan pinggul. Gerakan mereka tanpa ritme, benar-benar berantakan dan terlihat kepayahan. Dildo itu menekan prostat mereka berulang kali, membuat keduanya merasakan nikmat tanpa henti.

“Aah, kakak—hhah, hng ....”

Erangan dan desahan kian keras seiring gerakan yang tidak beraturan itu. Pre-cum mereka menetes ke kasur, membasahi sprei dan membuat genangan.

Wooseok menyelipkan penisnya kembali ke dalam boxer, lalu beranjak berdiri. Ia menurunkan getaran dildo itu sampai berhenti sepenuhnya, membuat Seungyoun dan Seungwoo menghembuskan napas lega.

“Sini, lepas dulu mainannya,” ucapnya, dengan perlahan mengeluarkan dildo itu dari anal masing-masing.

Setelah menaruh mainan itu di nakas, Wooseok kembali menghampiri dua pemuda yang terbaring lemas di kasur.

“Kasian, kalian belum klimaks ya tadi?” tanyanya jahil. Mereka hanya menggeleng sambil mengatakan belum dengan suara pelan.

“Ya udah,” lanjutnya, “kalian balik badan sekarang.”

Mereka pun menurut, mengubah posisi menjadi duduk. Penis mereka terlihat menyedihkan—merona dan basah oleh pre-cum, begitu tegak sampai hampir menyentuh pelvis masing-masing.

“Nah, sekarang kalian gesek-gesekan sana sampe keluar.”

Mata mereka membelalak, menatap Wooseok dengan tatapan tidak percaya. Wooseok sendiri hanya tersenyum.

“Oh, iya. Kalian baru boleh keluar pas kakak izinin.”

Dengan ragu-ragu mereka pun mendekati satu sama lain. Seungyoun menaiki paha Seungwoo, membuat penis mereka bersentuhan.

Mereka mulai bergerak pelan, menggesek penis masing-masing. Seungyoun mencengkeram bahu Seungwoo seraya ia menggerakkan pinggulnya maju-mundur.

“Aah—hng, Wooya—”

“Younie, mmh!”

Perlahan gerakan mereka semakin berantakan, mengejar klimaks masing-masing. Wooseok hanya menatap dengan muka datar. Ia suka melihat dua pemuda itu kepayahan.

“Kak, hiks, bo—boleh keluar, nggak?” tanya Seungyoun dengan suara pecah. Air mata sudah rebas ke pipinya, membasahi kulit putih itu.

“Iy—iya, kak,” sahut Seungwoo, suaranya jauh lebih kecil. Ia sendiri juga sudah menangis. Bibirnya bergetar karena menahan isakan yang ingin keluar.

Wooseok bergumam sejenak. “Hmm ... boleh nggak ya?” tanyanya retoris.

“Pantes nggak ya, kalian? Nakal gini, hm?”

“Kak—Kak Seok, please, hiks, please—”

Please, kak—nggak, hiks nggak kuat ...”

Ah, pertahanannya runtuh juga. Air mata memang membuyarkan segalanya. “Ya udah, boleh.”

Tepat setelah ia memberi izin Seungyoun dan Seungwoo langsung klimaks. Cairan mereka tumpah ke torso masing-masing, menghiasnya dengan benang-benang putih kental. Tubuh keduanya tersentak disertai erangan tertahan.

Beberapa detik berlalu sampai akhirnya mereka melemas. Keduanya ambruk ke belakang, berbaring di punggung mereka. Dada mereka naik turun dalam usaha untuk menstabilkan napas.

Wooseok kembali berdiri, menyentuh penis Seungwoo dengan lembut.

“Ah—uh, kak, udah,” pinta Seungwoo dengan suara kumur-kumur, badannya berusaha mengelak dari sensasi overstimulation yang mendera.

Wooseok melirik pemuda yang paling tua itu, kemudian menyapu sperma yang ada di perut dan penis Seungyoun dengan tangannya. Ia menunjukkan telapaknya yang kini lengket dengan cairan putih di depan Seungwoo.

“Makan dulu, sayang,” ucapnya, lalu menyodorkan tangan ke mulut Seungwoo. Pemuda itu langsung menjulurkan lidah, menjilat dan menelan cairan milik Seungyoun tersebut hingga habis.

Cup.

Setelah selesai, Wooseok mendekatkan mukanya dan mengecup bibir Seungwoo. Memagut yang lebih tua dalam cumbu, melesakkan lidahnya dan merasakan cairan Seungyoun di dalam. Ia pun melepas pagutan itu setelah beberapa saat, tersenyum saat melihat tatapan Seungwoo yang sudah berkabut.

“Pinter, Wooya,” pujinya. Seungwoo hanya membalasnya dengan senyuman lebar sampai matanya menyipit.

Ia pun beralih ke arah Seungyoun, menampung sperma Seungwoo di tangannya seperti tadi.

Seungyoun menoleh, mukanya merona dan berderai air mata. “Kak—hhh, Kak Wooseok, please, aaah ...”

Pemuda itu langsung membuka mulutnya. Wooseok hanya tertawa kecil sambil mengulurkan tangannya, membiarkan Seungyoun menjilat cairan di tangannya sampai tidak bersisa.

“Mau cium juga, cantik?” tanyanya. Seungyoun mengangguk antusias, yang langsung disambut Wooseok dengan ciuman panas. Ia menghisap dan menggigit bibir itu pelan, kemudian kembali memasukkan lidahnya. Memastikan cairan Seungwoo terasa di seluruh sudut dan celah mulut Seungyoun.

Wooseok mengakhiri ciuman itu dengan kecupan di cupid’s bow Seungyoun, kemudian memuji Seungyoun sebagaimana tadi pada Seungwoo.

Wooseok pun berjalan menjauh dari kasur, menanggalkan seluruh pakaiannya. Penisnya yang masih tegang langsung terlihat jelas, pembuluhnya timbul dengan kepala bersemburat merah muda. Ia mengocok penisnya sedikit, mendesah kala sengatan nikmat menjalar ke seluruh tubuhnya.

“Kak Wooseok?” cicit Seungwoo.

Bisa dilihat di depannya Seungwoo dan Seungyoun menatapnya lekat, mata mereka berkilat penuh nafsu.

“Hm?”

Seungyoun menjilat bibirnya, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. “Mau—mau nyobain kakak juga,” pintanya pelan.

“Nyobain apa?”

“P—penisnya kakak,” jawab Seungwoo.

Wooseok memutar bola matanya. “Tadi udah kakak bantuin, sekarang masih minta lagi? Rakus banget kalian.”

Kedua pemuda itu terdiam, hanya mengeluarkan suara rengekan kecil dari tenggorokan. Mereka menunduk malu, namun Wooseok tahu kata-katanya hanya membuat mereka semakin nafsu.

“Lantai, kalian berdua. Sekarang.”

Seungyoun dan Seungwoo langsung bergerak saat mendengar perintah Wooseok. Mereka turun dari tempat tidur, bersimpuh di lantai dengan mulut terbuka dan lidah menjulur. Mata mereka menatap ke atas, berharap.

Wooseok mendekati mereka, memelankan tempo tangannya. Kemudian ia menyentuhkan ujung penisnya ke lidah mereka berdua silih berganti.

“Ayo, katanya mau cobain kakak,” katanya sambil tersenyum, kemudian mengangguk. Sontak penisnya langsung dihujani dengan sensasi basah dan hangat, membuatnya mematung seketika.

Baik Seungwoo dan Seungyoun menstimulasi penisnya dengan antusias. Menjilati ereksinya dari pangkal hingga ujung, mengulum kepalanya bergantian. Pre-cum yang mengalir bercampur dengan saliva keduanya, membuat penis tersebut terlihat berkilau dan basah. Tangan mereka mengenggam batangnya lembut, sesekali mengenai pembuluh yang sensitif.

“Enak banget, ya?” tanyanya, mengelus rambut kedua pemuda di bawah.

“Mm—mh, ah, mmm ...”

“Hm—hng, ah—”

Suara mereka bersahutan, seperti desahan di kasur tadi. Wooseok ingin tertawa melihat keduanya. Seperti orang lapar saja. Mendesah dan bergumam, menjilat dan mengulum. Malah terkadang bibir dan lidah mereka saling menyentuh.

Beberapa saat kemudian Wooseok merasakan tekanan di pelvisnya, tanda bahwa klimaksnya sudah dekat. Ia mencengkeram rambut Seungwoo dan Seungyoun, merematnya sampai sedikit tertarik.

“Ngh—cantik-cantiknya kakak,” ucapnya sambil menggerakkan pinggul, mengejar pelepasannya sendiri.

Kedua pemuda di bawahnya tetap antusias memuaskan penisnya, menunggu dengan mata berbinar dan mulut terbuka.

“Aah—”

Akhirnya Wooseok pun mencapai klimaksnya—menyemburkan sperma ke mulut Seungyoun dan Seungwoo, menodai bibir dan dagu mereka.

Wooseok melirik ke bawah, kemudian berlutut dan memegang belakang kepala kedua pemuda itu.

“Seneng ya disembur gini,” katanya sambil menyeringai, “cumdump pribadi kakak.”

Ia mendorong pelan, mengarahkan mereka untuk maju. Seungwoo dan Seungyoun langsung menyentuhkan bibir mereka, mencumbu satu sama lain.

Kecupan basah itu berlangsung beberapa saat. Lenguhan dan desahan pelan mengiringi seraya mereka memperdalam ciuman, merasakan cairan Wooseok yang bercampur dengan saliva.

Senyuman kecil kembali terpatri di wajah Wooseok kala melihat ekstasi dalam ekspresi kedua pemuda itu. Berciuman dengan intens, bertukar rasa, sampai liur mengalir ke dagu dan leher.

“Kak Seok, kak, hhh ...” cicit Seungyoun, menatapnya dengan mata berkilau.

“Kenapa, sayang?”

“M—mau,” kekasihnya menelan ludah, “mau liat kakak sama Wooya ...”

Wooseok mengangkat alisnya. “Liat kakak sama Wooya ngapain?”

“Liat ... kakak setubuhin Wooya ...”

“Oh?” Wooseok mendengus geli, menoleh ke arah Seungwoo. “Gimana menurut kamu, Wooya?”

Seungwoo melirik ke arahnya. Ia mengangguk, tersenyum malu-malu.

“Wooya kangen disentuh kakak.”

“Kakak selalu kangen,” balas Wooseok, kemudian berjalan ke kasur dan berbaring. “Sini, sayang. Younie, kamu juga,” lanjutnya sambil menepuk tempat di sebelahnya.

Seungwoo dan Seungyoun pun mengikutinya, menaiki kasur dan berbaring di sisi kiri dan kanan Wooseok.

Tanpa menunggu lagi Wooseok langsung beringsut ke atas Seungwoo, menumpukan tangannya di samping kiri dan kanan. Ia memagut Seungwoo dalam ciuman lagi, merasakan sisa dirinya di bibir montok itu. Lidahnya sesekali masuk, menggoda Seungwoo sampai pemuda itu merengek.

Sesaat kemudian pagutan itu lepas dan Wooseok beralih ke leher jenjang pemuda itu. Ia jilat dan hisap, sesekali disertai gigitan. Membuat tanda kemerahan yang mencolok di kulit porselen itu, termasuk di atas tato-tatonya.

“Hhh, ah—ng, Kak Seok—aah, cepetan ...“ rengek Seungwoo sambil merengkuh kepala Wooseok, menekan saat yang lebih muda mencapai dadanya. Sengatan nikmat langsung menyerangnya, menjalar jauh ke penisnya yang sudah tegang lagi.

“Hm?” gumam Wooseok sambil mengulum salah satu puting, sesekali menghisapnya seperti hendak menyusu. Tangan satunya ia gunakan untuk mencubit dan memilin sisi satunya.

Desahan kecil terdengar dari samping mereka, yang tentunya berasal dari Seungyoun. Pemuda itu kini duduk, tangannya mengocok penisnya pelan.

Wooseok melepas kulumannya sejenak, menoleh ke arah kekasihnya. “Younie, nggak boleh keluar, ya. Jangan nakal sama kakak.”

Seungyoun langsung mengangguk, bibirnya sedikit mencebik. Ia harus menurut, kalau tidak Wooseok tidak akan memberi ampun.

“Wooya, lebarin kakinya cantik,” ucap Wooseok seraya beringsut ke bawah.

“Mmm,” gumam Seungwoo, membuka kakinya ke samping hingga lubang analnya yang berwarna pink menggoda terlihat jelas. “Kak Seok, langsung—hng, langsung masukin aja, please.”

Wooseok tersenyum miring, menggelengkan kepala. “Sabar, ya? Nanti kakak puasin kamu.”

“Mm-hm ... jangan lama-lama.”

“Iya, sayang.”

Ia beringsut ke bagian bawah, kemudian memosisikan mulutnya di depan bibir anal Seungwoo yang berkedut. Minta diisi, mungkin.

Perlahan ia kecup cincin yang merona itu, mengisapnya sedikit. Lalu perlahan ia jilat dan akhirnya—sambil melebarkan lubang itu dengan jempol—memasukkan lidahnya.

Liang Seungwoo hangat, disertai rasa stroberi artifisial yang berasal dari lubrikan. Ia menggerakkan lidahnya kesana kemari, menusuk-nusuk lubang tersebut dengan lembut.

“Mmh, kak—ah! Ah!” desah Seungwoo penuh nikmat, melebarkan kakinya lagi. Lidah Wooseok terasa aneh di dalamnya, namun tetap enak dan membuat desahannya semakin melengking.

Beberapa saat berlalu, dan Wooseok mengeluarkan lidahnya. Ia menjilat lubang itu sekali lagi, kemudian menegakkan diri.

“Wooya, mau jari kakak juga?”

Seungwoo mengangkat kepala, mengangguk dengan cepat. “Ma—mau!”

“Sepengen itu ya? Kamu bakal terima apa aja asal dimasukin?”

“Hu-um!”

“Jadi penisnya kakak nggak usah? Jari aja?”

“Nggak!” kini Seungwoo menggeleng. “Mau—mau penisnya Kak Seok ju-juga.”

Wooseok terkekeh. “Beneran rakus ternyata. Apa aja dipengenin.”

Setelah menuangkan lubrikan yang diambil dari nakas, Wooseok menyusupkan telunjuknya ke dalam anal Seungwoo. Tidak lama kemudian jari tengah juga ikut masuk, melebarkan lubang itu dengan gerakan menggunting.

Akhirnya jari itu bertambah menjadi tiga, kali ini dengan tempo yang cepat dan stimulasi yang intens pada prostat Seungwoo.

“Kak Seok—hng! Ah, ah—hhh, ah!”

Badan Seungwoo meronta kesana kemari, kakinya gemetaran berusaha tetap melebar. Prostatnya benar-benar terus dihujam tanpa henti, membuat pikirannya berkabut dan rasa nikmat memenuhi tubuhnya.

“Kayaknya ini udah cukup. Gimana, Wooya? Mau penisnya kakak sekarang?” tanya Wooseok sambil mengeluarkan jarinya.

Seungwoo melebarkan kakinya lagi sampai lututnya hampir menyentuh dada. “Iya, kak, please—hng, nggak tahan—”

“Kapan terakhir kali kamu tes?” tanya Wooseok lembut sambil membuka bungkus kondom.

“Dua minggu kemarin, negatif—ah, kak, nggak usah pake.”

Wooseok mengerutkan alis. “Kamu yakin? Kakak juga negatif, sih.”

“Mmm. Kangen kakak ...”

“Udah berapa kali bilang kangen ini?”

“Beneran—mmh!”

Perkataan Seungwoo terhenti saat Wooseok menempelkan penis ke bibir analnya. Tidak didorong, hanya digesekkan saja.

“Kaaaak!” rengek Seungwoo tidak sabar.

“Kok kamu jadi berani gini, Wooya?”

“Uh ...” bibir Seungwoo mencebik, alisnya mengerut. Ia hendak bicara lagi, namun mengurungkan niatnya. Kalau ia terus meminta, bisa-bisa malah tidak diberi.

Wooseok mendengus geli, mendecakkan lidahnya. Ia pun mendorong penisnya masuk, melenguh saat sensasi hangat dan basah menyambutnya. Tidak lama kemudian pinggulnya mulai bergerak maju mundur, bergerak dengan tempo yang lumayan cepat.

“Ah—Wooya, sempit banget ini,” ucap Wooseok sambil menghujam berulang kali, memastikan penisnya terus mengenai prostat yang lebih tua.

Seungwoo menanggapinya dengan suara serak. “Hhh, ah—Kak Seok gede banget—hhah!”

“Gede, ya? Enak dong?”

“Ngh—hhng, enak, enak—”

Wooseok menoleh ke samping, melihat Seungyoun yang mukanya sudah merona dan napasnya terengah. Bibirnya merah berkilau karena dijilat dan digigiti, penisnya tegak di selangkangan. Kekasihnya sendiri sedang menatap lekat ia dan Seungwoo seraya jarinya masuk ke dalam lubang sendiri.

“Suka liatnya, Younie?”

Seungyoun tersentak, tersadar dari lamunannya. Mulutnya membuka-tutup sebelum akhirnya menjawab dengan suara.

“Suka, kak.”

“Wooya cantik, ya?”

“Iya, kak.”

“Suaranya merdu, ya?”

“Merdu, kak.”

Wooseok tersenyum simpul. Ia mempercepat tempo pinggulnya dan mendorong lembut kepala Seungwoo ke samping. Sekarang Seungyoun bisa melihat dengan jelas wajah Seungwoo yang basah oleh air mata dan liur serta matanya yang setengah tertutup.

“Kamu mau cobain Wooya juga?”

“Hh—hng,” Seungyoun mengerjap, matanya beralih ke Wooseok lagi. Pada saat yang sama Seungwoo mendesah keras, penisnya menumpahkan pre-cum ke torsonya.

“Mau? Wooya enak, lho.”

Seungyoun akhirnya mengangguk, gerakannya agak kaku. Matanya berkilau seraya ia merangkak mendekat.

“Boleh, Kak Seok?”

“Boleh.”

Wooseok pun mengeluarkan penisnya, lalu menarik Seungyoun untuk menggantikan posisinya. Ia kemudian meletakkan dagu di bahu Seungyoun, berbisik di telinga kekasihnya.

“Younie, kakak masukin kamu, ya?”

Badan Seungyoun kaku seketika. Wooseok bisa melihat bulu kuduknya berdiri. Ia mengecup daun telinga Seungyoun, mengelus pinggangnya, kemudian berbisik lagi.

“Mau nggak, ngerasain lubangnya Wooya sambil dimanjain kakak?”

“Hng, Younie mau,” ucap Seungyoun, mengangguk lagi.

“Anak baik.”

Wooseok pun mendorong lembut pinggul Seungyoun, seraya kekasihnya itu giliran memasuki Seungwoo. Desahan nikmat terdengar dari keduanya saat ereksi itu masuk sepenuhnya, kembali mengisi lubang hangat tersebut.

“Kakak masukin, ya.”

Seungyoun kemudian mencondongkan badan ke depan, bertumpu di kasur. Kini Wooseok yang memasukkan penisnya ke anal Seungyoun. Liang yang basah dan hangat itu menjepit penisnya sedemikian rupa, seakan hanya muat untuknya.

“Ah! K—kak, hhng!”

Ia menyentakkan pinggul ke depan, membuat Seungyoun terdorong juga. Pemuda itu mendesah saat penisnya masuk lebih dalam lagi sampai pelvisnya menyentuh perineum Seungwoo.

Wooseok pun mengulang gerakan itu, mempercepat temponya. Dinding anal Seungyoun beradu dengan penisnya, berkedut dan memijat ereksinya sedemikian rupa.

Di bawah mereka berdua, Seungwoo sendiri sudah kepayahan. Ia terus mendesah pendek-pendek, badannya turut bergerak seiring dorongan dari Wooseok dan Seungyoun.

“Younie, kamu yang gerak sekarang,” ujar Wooseok sambil menurunkan ritmenya.

“Hng—kak, ah—ahn!”

Seungyoun pun mulai memaju-mundurkan pinggulnya, menstimulasi Wooseok dan Seungwoo bersamaan. Sensasi bertubi-tubi langsung ia rasakan, dari liang hangat Seungwoo sampai penis Wooseok yang memenuhi rektumnya sendiri.

Gerakannya tidak stabil, terlampau pelan untuk Wooseok. Mungkin ia tidak terbiasa dengan berbagai sensasi dalam saat yang bersamaan.

Plak!

“Aah—kh!” pekik Seungyoun, badannya tersentak ke depan saat tamparan Wooseok mendarat di pantatnya.

Wooseok memegang pinggang Seungyoun erat. “Gerak yang bener, Younie. Pelan banget, nggak bisa ya?”

“Hng—bisa kak, ah—”

Seungyoun pun bergerak lagi, kini dengan tempo yang lebih cepat. Suara kecipak dari kulit bertemu kulit pun menggema di ruangan, diiringi desahan dan geraman.

“Ngh—‘nak, Younie, kuh, Youn—” racau Seungwoo tidak jelas, sedikit terisak.

Tangan Seungwoo berada di samping kiri kanannya. Tanpa sadar tangannya mengepal, membuka lagi, lalu mengepal kembali. Begitu terus berulang-ulang, seperti sedang meremas sesuatu.

Wooseok melirik ke bawah, melihat tangan Seungwoo yang terus membuka dan menutup. Ia mendengus geli. Kebiasaan Seungwoo saat sedang dimanjakan kembali lagi.

“Younie.”

“Hh—hm?” sahut Seungyoun dengan napas terengah, sibuk menggerakkan pinggul.

“Pegang tangannya Wooya, sayang.”

Seungyoun pun menyelipkan jarinya di antara milik Seungwoo, menggenggam tangan yang lebih tua. Kini Seungwoo ganti meremas-remas tangan Seungyoun, merasakan genggaman erat yang bagai jangkar.

Sambil bergerak, Seungyoun menunduk dan mengecup bibir Seungwoo, kemudian bertanya.

“Wooya—enak?”

Seungwoo mengerjap beberapa kali, menyebabkan air mata turun ke pipinya. “Enak—ah, enak banget, Younie—”

“Rasanya Wooya gimana, Younie?” kali ini Wooseok yang bertanya.

“Hng, Wooya—” Seungyoun menatap Seungwoo dengan intens, namun bibirnya membentuk senyum. “—Wooya anget, hhh—sempit. Enak.”

Tatapan Wooseok melembut melihat kedua orang tersayangnya. Ia tidak bisa melihat Seungyoun, namun ada kilauan mata Seungwoo yang berkaca-kaca, berkabut karena nikmat, namun juga disertai binar untuk Seungyoun di hadapannya. Hal itu cukup membuatnya tahu bahwa Seungyoun membalas dengan binar yang sama pula.

Kalau diibaratkan sebuah kotak pandora, mungkin hati Wooseok sebagian besar terisi oleh cinta. Lalu yang membuka adalah kedua orang di depannya, mengisi hari-hari Wooseok sendiri dengan kasih sayang.

Mungkin cintanya cukup untuk mereka.

Wooseok menghujam Seungyoun dengan keras, membuat kekasihnya memekik terkejut. Ia kemudian menyamakan ritmenya dengan Seungyoun, berangsur-angsur mempercepatnya.

“Hhah—ah, kak! Ngh—Kak Seok!” desah Seungyoun, pinggangnya bergerak tidak karuan—berusaha menyamai ritme Wooseok.

Seungwoo membelalak saat tempo hujamannya semakin kencang. Prostatnya terkena berkali-kali tanpa jeda, mengirimkan sengatan nikmat yang mencapai ubun-ubun.

Pikirannya sudah benar-benar kabur. Kini yang bisa ia rasakan hanyalah penis Seungyoun yang terus menggempur analnya, semakin lama terasa semakin besar saja. Penisnya sendiri sedari tadi tidak disentuh, namun terus mengeluarkan pre-cum. Klimaksnya mungkin tidak lama lagi.

“Wooya? Mau keluar, sayang?” tanya Wooseok, menyandarkan dagunya di bahu Seungyoun.

“Hhh, kh—kuh, hhng ...”

Butuh waktu sejenak bagi Seungwoo untuk memproses pertanyaan itu. Mulutnya hanya bisa mengeluarkan suara tidak koheren, disertai liur yang tumpah ke dagu.

Wooseok mendengus geli. Bola mata Seungwoo sudah tidak fokus, mengerling ke kanan dan kiri, terkadang berbalik ke arah kelopak mata sehingga hanya bagian putih saja yang terlihat. Menjawab pun sudah tidak bisa.

“Wooya, jawab kakak.”

“Mau—hhah ...”

Ia mengangguk puas, lalu beralih ke Seungyoun. “Younie, mau keluar?” tanyanya lagi, kini sambil mengecup tengkuk kekasihnya itu.

Seungyoun menatap Seungwoo di bawahnya—begitu cantik, dengan mata berkilauan dan bibir basah yang terus mengeluarkan suara erotis. Pipi pemuda itu basah oleh air mata. Terkadang bibirnya tertarik membentuk senyum penuh ekstasi. Rambutnya yang menyebar bagai surai di bantal membuatnya terlihat sangat cantik.

Hal ini membuatnya semakin tidak terkendali. Belum lagi Wooseok yang menggempur tanpa ampun, memanjakannya dengan penis yang mencapai titik ternikmatnya.

“Hhng, ah—mau, mau,” jawabnya dengan susah payah. Ia sendiri tidak yakin apakah yang diucapkannya bisa terdengar.

“Kalo gitu gerak lebih kenceng. Kalian boleh keluar kapan aja,” tutur Wooseok.

Beberapa menit ke depan ruangan hanya terisi oleh suara lenguhan dan desahan. Seungyoun bergerak terus menerus, sesekali dibantu Wooseok yang tiba-tiba menyentak.

“Ah, ah, ah—ngh, hng—!!” Tidak lama kemudian Seungwoo orgasme, badannya membusur ke atas dan kakinya yang terangkat gemetaran. Cairan ejakulasinya menyembur ke perut, sebagian bahkan mencapai dadanya. Mukanya sudah tidak karuan—bola matanya berbalik ke atas, mulutnya menganga tanpa suara.

Ia tetap berkelojotan untuk beberapa saat, kemudian merengek karena overstimulation yang kembali mendera.

“Younie—kh, Kak Seok, cepetan ...” katanya manja, mukanya merengut.

Wooseok mendengus geli, tangannya merengkuh pinggang Seungyoun dengan erat. Ia pun meningkatkan temponya, menggempur Seungyoun dan mengejar pelepasannya sendiri.

“A—ah!”

Seungyoun yang kaget otomatis berjengit ke depan, memekik saat sensasi yang intens menyergap tubuhnya. Wooseok tidak memberikan jeda sedikitpun, membuat Seungyoun semakin kepayahan—dan klimaksnya semakin mendekat.

“Younie, keluar bareng kakak ya?” ucap Wooseok seraya menempelkan torsonya ke punggung Seungyoun. Gerakannya mulai tidak beraturan.

“Mmh—hhng, iya,” jawab Seungyoun dengan suara pecah. Rasa tertekan di pelvisnya semakin besar.

“Ayo, sayang.”

Cengkeraman Wooseok di pinggangnya kian kencang, dan kali ini Seungyoun benar-benar sudah tidak bisa berpikir. Fokusnya hanya pada satu hal—mencapai pelepasannya.

Ia menatap Seungwoo di bawahnya, yang membalas dengan sorot mata sayu—namun disertai senyuman yang begitu manis.

“Younie,” bisik Seungwoo pelan, dan itulah batas terakhirnya.

Orgasme menerpa Seungyoun dengan dahsyat, menjalar ke seluruh tubuh mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tubuhnya menjadi kaku seketika, melengkung ke belakang sehingga menyentuh dada Wooseok. Ia menggenggam tangan Seungwoo begitu erat sampai buku-buku jarinya memutih.

Spermanya tumpah ke dalam lubang hangat Seungwoo, membuat pemuda itu mendesah pelan kala cairan hangat memenuhi analnya.

“—Kh!” Wooseok pun menyusul sesaat kemudian. Ia menanam penisnya dalam-dalam sampai pelvisnya menyentuh pantat Seungyoun, menyemburkan cairan ejakulasi ke liang milik kekasihnya.

Seungyoun langsung ambruk di atas Seungwoo, napasnya tersengal-sengal. Rektumnya terasa begitu penuh karena cairan yang mengisinya.

Mereka terdiam untuk beberapa saat, mengatur napas dan menenangkan diri. Kemudian Wooseok menarik penisnya keluar, membuat Seungyoun mendesah kala liangnya yang penuh tiba-tiba kosong.

“Hhg—uh,” Seungyoun sendiri kemudian mengeluarkan penisnya dari anal Seungwoo. Lubang itu kini dihiasi cairan putih yang sedikit mengalir keluar.

Ia meraih ke belakang, merasakan bibir analnya sendiri. Ah, cairan Wooseok juga mengalir ke paha bagian dalamnya.

Wooseok memegang pinggang Seungyoun, mendorongnya lembut agar berbaring di samping Seungwoo. Ia sendiri memposisikan diri di sebelah Seungwoo, sehingga pemuda itu berada di tengah.

“Ada yang sakit, sayang?” tanyanya sambil membersihkan sisa cairan di perut Seungwoo dengan tisu.

Seungwoo tersenyum polos, belum terlalu turun dari euforianya. “Nggak ... Younie gimana?”

“Nggak ada,” balas Seungyoun, melingkarkan tangannya di pinggang Seungwoo—beradu dengan milik Wooseok.

“Bagus,” tutur Wooseok, mengecup bibir Seungwoo lembut dan mengelus lengan Seungyoun. Ia juga merapikan rambut mereka yang berantakan.

“Kakak ambilin minum dulu ya.”

Mereka mengangguk, dan Wooseok pun pergi keluar menuju dapur. Ia mengambil botol minum besar berisi air mineral dan dua gelas, kemudian melangkah kembali ke kamar.

Sesampainya di ruangan, ia melihat Seungwoo dan Seungyoun berhadapan satu sama lain, berpelukan erat. Kaki mereka saling menimpa sehingga sulit untuk melihat di mana mulai dan berakhirnya.

Ia menuangkan air ke gelas yang dibawa tadi. “Wooya, Younie, minum dulu.”

“Mm-hm.”

Gelas itu ia sodorkan ke kedua pemuda yang kink menegakkan badan. Mereka meneguk air itu, melepas dahaga yang sedari tadi menempel di tenggorokan. Wooseok sendiri minum langsung dari botolnya, menghilangkan haus dan membasahi mulutnya yang kering.

Saat selesai ia meletakkan gelas milik Seungwoo dan Seungyoun di nakas. Ia hendak naik kembali ke tempat tidur—namun berhenti saat ia bertemu tatapan kedua pemuda di depannya.

Tatapan itu lekat, penuh harap. Entah apa yang membuat mereka seperti itu.

Mungkin nafsu lagi.

“Kenapa?” tanyanya datar.

“Mmm ... Kak Seok,” cicit Seungwoo, “ma—mau lagi ...”

Wooseok mengangkat satu alisnya. “Mau apa?”

“Main ...”

“Kamu doang?” tanya Wooseok, “Younie?”

Seungyoun menjilat bibir, melirik malu-malu. “Mau, kak.”

“Gantian atau giman—”

“Berdua.”

Alis Wooseok kini mengerut. “Maksudnya?”

“Masukin kakak. Berdua.”

Wooseok mematung di tempat, mencerna perkataan Seungyoun itu. Mereka memang sering bereksperimen dengan berbagai hal, tak terkecuali kegiatan ini. Namun sudah lama sejak mereka melakukannya—dan waktu itu pun dengan Seungwoo sebagai pihak yang dimasuki, bukan Wooseok.

Namun ini menantang. Sungguh, Wooseok ingin tahu rasanya mengendalikan mereka dengan dirinya sebagai pihak yang menerima.

Seringai muncul di sudut bibirnya. Ah, ia jadi semangat lagi.

“Oke, boleh.”

Setelah berkata seperti itu ia pun menghampiri nakas, mengambil botol lubrikan, kemudian menaiki kasur. Matanya menatap tajam kedua pemuda di depannya.

“Kalian nggak boleh nyentuh diri sendiri, ya. Have fun nontonin kakak,” ucap Wooseok sambil tersenyum. Ia ingin tertawa melihat sorot mata Seungwoo dan Seungyoun yang seperti ingin membantahnya, namun tidak bisa. Mereka tidak berdaya.

Dengan itu Wooseok pun menyamankan diri di dipan, menyandarkan punggung di bantal. Kakinya ia lebarkan sampai lututnya hampir menyentuh dada, menyebabkan lubangnya terpampang jelas.

Ia tidak melepaskan matanya dari Seungwoo dan Seungyoun seraya menggerakkan jarinya dengan gerakan melingkar di bibir analnya. Kemudian jari tengahnya yang sudah berbalut lubrikan pun ia masukkan perlahan, melesak ke dalam lubang sempit itu.

“Ah—hng,” desahnya pelan kala intrusi jarinya menyebabkan dinding anal yang sensitif itu berkedut. Dengan pelan jari itu ia keluarkan, lalu dimasukkan lagi, berulang-ulang.

Setelah beberapa saat—yang terasa lama—Wooseok menambahkan jari telunjuknya. Seketika sensasi sakit bercampur nikmat langsung menyergapnya. Rasanya sempit sekali, entah bagaimana penis Seungyoun dan Seungwoo akan muat nanti.

Persetan. Ia harus bisa.

Seraya menggerakkan dua jarinya seperti menggunting, ia pun buka suara.

“Lubang kakak sempit banget, lho,” godanya, “Pas buat manjain penis kalian.”

Desahan lemah langsung terdengar dari Seungwoo dan Seungyoun. Suara pelan itu terdengar seperti permohonan. Seperti keputusasaan.

Ah, Wooseok senang mempermainkan mereka seperti ini.

“Dikit lagi, ya,” lanjutnya, kemudian menambahkan jari manisnya. Sekarang liangnya benar-benar diregangkan. Sambil bernapas dalam-dalam Wooseok berusaha merilekskan ototnya, melebarkan analnya sebisa mungkin.

Ia mempercepat tempo tusukan jarinya, terkadang mengganti arah dan sudut untuk mencari titik nikmatnya.

Sekejap kemudian Wooseok mengenai prostatnya, membuat sekujur tubuhnya menjadi tegang karena nikmat yang menggelitik di mana-mana.

“Ngh—ah!” desahnya sambil mempercepat gerakan, menghujam titik nikmatnya terus-menerus. Penisnya sendiri sudah kembali tegang, meneteskan pre-cum ke perut.

Wooseok melirik Seungwoo dan Seungyoun di tengah kegiatannya. Ia melihat tatapan mereka yang hanya berfokus padanya seorang, berkabut dan sedikit berair. Tangan mereka mengepal di sisi kiri dan kanan—berusaha tidak menyentuh diri sendiri.

Karena merasa iba—dan persiapannya ia rasa cukup—Wooseok pun mengeluarkan jarinya. Kini liangnya sudah licin dan basah.

“Younie, kamu tiduran sini. Sebentar ya, Wooya.”

“Mmm.”

Seungyoun beringsut ke tempat yang ditepuk Wooseok, berbaring telentang. Ia menggenggam penisnya sendiri, menstimulasinya sedikit.

Wooseok merangkak ke atasnya, kemudian memegang penis Seungyoun dengan tangannya sendiri. Ia mengangkat pantatnya, satu tangan bertumpu di kasur.

“Kak—ah, mmh ...” rintih Seungyoun saat Wooseok mulai merendah, merasakan dinding hangat yang kembali menyelimuti penisnya. Wooseok terus menurunkan badan sampai akhirnya ia duduk di paha Seungyoun—penis itu sudah masuk sepenuhnya.

Setelah menyesuaikan diri, Wooseok pun mulai bergerak. Ia meletakkan tangannya di bahu Seungyoun, pinggulnya naik-turun, menghujam dirinya sendiri dengan penis kekasihnya. Suara kecipak karena kulit yang beradu kembali terdengar.

“Ngh—ah, Kak Seok—ah!” pekik Seungyoun saat tangan Wooseok turun dan meremas dadanya. Putingnya dicubit dan dipilin berulang kali.

Wooseok menoleh ke belakang seraya bergerak, mengerling ke arah Seungwoo. Sorot mata pemuda itu sayu, napasnya memburu.

Ia tersenyum menggoda, mengerjapkan mata. “Wooya, sini,” panggilnya.

Seungwoo pun beringsut mendekat, memiringkan kepala penuh tanya. Wooseok hanya mengangkat pantatnya sedikit sehingga hanya kepala penis Seungyoun yang berada dalam analnya.

“Jari kamu, cantik. Siapin kakak.”

Wooseok melanjutkan gerakannya seraya Seungwoo melumuri jari dengan lubrikan. Tak lama kemudian jari telunjuk Seungwoo pun masuk, beradu dengan penis Seungyoun.

Jari itu bergerak masuk dan keluar seirama dengan gerakan Wooseok, melebarkan liang sempit itu. Selang waktu sebentar jari tengahnya ikut masuk.

“Aah—ah, hng—” Seungyoun menggeliat sedikit, intrusi jari Seungwoo di sebelahnya terasa aneh namun nikmat.

“Kenapa, Younie?” tanya Wooseok dengan napas terengah, masih sibuk bergerak. “Jarinya Wooya enak ya?”

“Hhh—iya, ah ...”

Wooseok tersenyum simpul. “Kalo penisnya Wooya, gimana?”

Mata Seungyoun membulat, tangannya mencengkeram pinggang Wooseok erat. “Enak. M—mau,” balasnya singkat.

Kekehan terdengar dari mulut Wooseok. “Ya udah. Wooya, kamu masukin kakak juga.”

Seungwoo memosisikan diri di belakang Wooseok, kakinya di samping kaki kiri dan kanan Seungyoun. Wooseok mengangkat pantatnya lagi sampai penis Seungyoun sedikit keluar, menoleh ke belakang.

“Masukin, sayang,” ucapnya lembut.

Penis Seungwoo perlahan-lahan masuk ke lubang Wooseok yang masih terisi ereksi Seungyoun. Alisnya berkerut, menahan hasrat untuk segera menghujam ke dalam Wooseok. Tidak, ia harus sabar. Harus jadi anak baik.

“Uuh, Kak Seok—hng, sempit—” keluhnya seraya mendorong penisnya sedikit demi sedikit.

“Terus, Wooya.” Wooseok berucap, merilekskan otot analnya sebisa mungkin agar muat. Rasanya sakit karena dindingnya dipaksa untuk melebar sedemikian rupa. Namun ada sengatan nikmat yang menyertai—dan itulah yang ia cari.

Seungyoun merengek di bawah mereka. “Kak Seok—uh—hhah, mau gerak!”

“Hush,” satu tangan Wooseok mengelus pipinya. “Sabar, Younie.”

“Hhng ...”

Akhirnya setengah dari penis Seungwoo masuk, tidak bisa didorong lagi. Wooseok menghela napas panjang. Ia menurunkan pinggulnya sedikit, mengangkatnya, kemudian turun lagi dengan cepat.

“Aah—hng! Kak—ahh!”

Desahan Seungwoo dan Seungyoun langsung terdengar pada saat yang bersamaan. Penis mereka beradu, menyentuh satu sama lain dalam liang hangat Wooseok. Sensasi yang terasa benar-benar berbeda dari saat biasa.

Wooseok mempercepat temponya diiringi Seungwoo dan Seungyoun yang turut bergerak. Kepalanya mendongak dan tubuhnya melengkung, merasakan prostatnya digempur tanpa henti.

“Ngh—aah, kalian berdua besar banget—” desahnya sambil menggoyangkan pinggul. Matanya sudah mengerjap berulang kali karena nikmat yang terus datang.

“Hhh, ah, Kak Seok—Kak Seok ...” Seungwoo mencengkeram pinggangnya, menghujam bergantian dengan Seungyoun. Jika penisnya masuk, maka milik Seungyoun sedikit keluar. Begitu pula sebaliknya.

Tangan Seungwoo ditarik Wooseok agar pemuda itu menunduk sampai dada dan punggung mereka bersentuhan. Dengan itu Seungwoo bisa melihat ekspresi Seungyoun yang terbasuh nikmat di balik bahu Wooseok.

Seungyoun menangkup tangan Wooseok yang kini kembali meremas dadanya. “Kak Seok, hng—ah!”

Sudut bibir Wooseok tertarik membentuk senyuman. Mereka berdua benar-benar sudah tidak bisa berpikir.

“Keenakan, hm? Cuma manggil nama kakak doang dari tadi,” katanya seraya mengetatkan otot analnya, menjepit kedua penis itu dengan kencang. “Kakak sempit dan anget banget, kah? Saking enak dan mentoknya kalian nggak bisa mikir?”

“Kak—hngh, jangan dikencengin—”

“Gini?”

“A—ah!”

Gerakan mereka semakin liar setelahnya, merasakan ejakulasi yang mendekat. Seungyoun dan Seungwoo menusuk ke dalam saat Wooseok merendahkan badan, membuat mereka bertemu di tengah-tengah.

“Hhah—ah, Younie, Wooya, bareng sama kakak ya? Isi kakak sampe penuh, ya?”

“Kuh—kak, ah, ngh!”

Wooseok mempercepat gerakannya, berusaha menghujam sedalam mungkin. Tubuhnya sudah terasa panas dan dingin dalam waktu yang bersamaan, sensasi nikmat bertubi-tubi menimpanya. Ia pun meraih ke bawah, mengocok penisnya sendiri, menambah sensasi itu.

“M—mau, ah, Kak Seok, mau keluar,” ucap Seungwoo dengan suara serak, menyandarkan dahi di punggung Wooseok. Ia memeluk dari belakang, tangannya melingkar melewati torso.

Seungyoun di bawahnya mengangguk lemah, cengkeraman tangannya yang berada pinggang Wooseok mengencang.

Wooseok mengangguk, tersenyum lembut. “Boleh keluar—kalian berdua.”

Sekejap kemudian gerakan mereka berhenti dengan satu hentakan terakhir. Wooseok terduduk di pangkuan Seungyoun, dengan penis keduanya tertanam dalam-dalam.

Ia bisa merasakan sperma menyembur ke dalam liangnya, menodai dinding analnya dengan cairan hangat. Wooseok sendiri klimaks tidak lama kemudian, cairannya mengenai perutnya dan Seungyoun.

“Hhah—aah, ah ...” suara napas yang tersengal-sengal terdengar dari Seungwoo dan Seungyoun yang melemas. Orgasme kali ini tidak sekuat sebelumnya, namun tetap membuat badan merinding dan gemetaran.

Setelah beberapa lama Wooseok pun memutuskan untuk bangkit. Ia mendorong Seungwoo lembut, membuat pemuda itu mundur, kemudian mengangkat badannya.

“Duh,” rintihnya kala kedua penis itu keluar dari analnya, menyisakan rasa hampa yang aneh dan cairan yang mengalir ke pahanya.

Ia meraba bibir analnya yang basah, kemudian terkekeh. “Kalian bener-bener kepenuhan ngisinya.”

Seungyoun hanya tersenyum lemah seraya menarik Seungwoo untuk berbaring di sebelahnya. Wooseok menunduk, mengecup bibir mereka satu persatu. Mengapresiasi kedua orang tersayangnya.

“Sayang-sayangnya kakak. Makasih ya udah muasin kakak hari ini.”

“Makasih juga, kak,” sahut Seungwoo, yang diikuti anggukan setuju dari Seungyoun. Sorot mata keduanya begitu lembut, penuh kasih sayang untuk Wooseok.

Hatinya sekali lagi terenyuh.

Wooseok pun pergi ke dapur dengan kaki yang gemetar, mengisi mangkuk dengan air hangat dan beberapa handuk kecil. Saat kembali ke kamar ia memutuskan untuk tidak mengganti sprei yang—ternyata—tidak terlalu kotor.

“Bersih-bersih dulu, terus minum,” katanya sambil menyodorkan handuk hangat pada Seungwoo dan Seungyoun. Ia sendiri juga membersihkan sisa-sisa cairan di tubuh, termasuk yang mengalir dari analnya.

Setelah selesai handuk itu diletakkan di keranjang laundry, kemudian ia bergabung kembali di kasur. Mengambil posisi di tengah Seungwoo dan Seungyoun, yang langsung melingkarkan tangan dengan aman di perutnya.

“Wooseokie, harusnya tadi kita aja yang ambil air,” ucap Seungwoo, mengerucutkan bibirnya.

Wooseok tertawa kecil. “Nggak usah, kak. Aku kan masih bisa jalan.”

“Tapi kamu terus yang ngurusin kita, Seok,” kali ini Seungyoun yang berbicara. “Sekali-sekali kamu yang tiduran.”

“Iya, iya,” balas Wooseok dengan nada menyerah. Seungwoo dan Seungyoun hanya tersenyum lebar, lalu menghujaninya dengan kecupan di pipi dan dahi.

Mereka terdiam sejenak, sampai akhirnya Wooseok angkat suara lagi.

“Oh iya. Siapa yang beli dildo itu, sih?”

Seungyoun nyengir canggung. “Kita berdua sih, Seok. Tadi itu pas lagi ‘main’ mau kirim foto pas udah gerak sedikit. Eh, kamunya keburu dateng.”

“Kirain emang mau ninggalin aku. Udah mainnya sama Kak Seungwoo, lagi. Kita kan udah lama nggak main sama-sama.”

Kecupan lembut kembali mendarat di dahinya. “Masa kamu ditinggal, Seok? Nggak mungkin lah,” tutur Seungwoo.

“Ya ... siapa tau, kan?”

“Nggak ih.”

Wooseok menatap Seungwoo lekat. Melihat fiturnya yang tegas dan binar matanya yang cantik. Mengamati senyumnya yang manis dan merasakan sentuhannya yang lembut.

Sebetulnya sudah lama ia memendam rasa untuk pemuda ini. Bukan berarti cintanya untuk Seungyoun surut—rasa itu malah bertambah kuat setiap harinya.

Namun, dengan hadirnya Seungwoo, hatinya terasa penuh. Ada warna yang tadinya ia tidak sadari keberadaannya. Pun Seungyoun—Wooseok bisa melihat bagaimana senyum yang diberi untuk Seungwoo sama dengan yang ditujukan pada dirinya. Menatap Seungwoo dengan sorot mata yang sama, penuh kekaguman dan rasa sayang.

Penuh cinta.

Ia kemudian mengalihkan pandangan ke Seungyoun. Polarisnya selama beberapa tahun terakhir. Pelipur lara, tempat bernaungnya. Tempatnya mendaratkan pelukan kala ia butuh rengkuhan aman.

Insan yang setiap hari membuat Wooseok merasa ia jatuh cinta lagi, untuk pertama kali.

Mungkin mereka telah menemukan bagian yang selama ini tidak mereka sadari. Ruang untuk satu pujaan hati lagi. Untuk berbagi rasa setiap hari.

Wooseok menatap Seungyoun, bertanya tanpa bicara. Tatapannya dibalas dengan penuh arti. Seungyoun sedikit mengerling—mencari keraguan, namun Wooseok tidak punya itu. Ia yakin. Ia hanya perlu keyakinan dari Seungyoun. Lagipula, mereka sudah membicarakan ini berkali-kali.

Seungyoun pun tidak ragu.

Keputusannya sudah bulat. Saatnya menyatakan apa yang terpendam.

“Kak Seungwoo,” bisiknya pelan. “Ada sesuatu yang mau kita omongin.”

Seungwoo mengangkat alis. “Apa?”

“Kakak kan udah ... lama hubungan sama kita. Udah tau luar dalemnya juga ...”

“Iya ...”

Wooseok menggigit bibir. Di belakangnya, Seungyoun mengeratkan pelukan, kemudian menyandarkan diri di bahu Wooseok. Kekasihnya itu menatap Seungwoo sambil tersenyum lembut, kemudian bicara.

“Nah, selama itu ... aku sama Wooseok—um, jadi naruh perasaan ke kakak. Kayak, kita udah omongin ini berulang kali. Awalnya takut, tapi ternyata perasaan kita ke satu sama lain dan ke Kak Seungwoo itu sama.”

Seungwoo terdiam. Matanya membulat, mengedip berulang kali. Berusaha mencerna kata-kata Seungyoun.

“Um—” ia berdeham, “—jujur ya, jujur, kakak juga sama.”

Kali ini Wooseok dan Seungyoun yang terdiam. Tubuh mereka menegang, menunggu kata-kata selanjutnya.

“Kakak juga dulu—uh, sampe kayak bingung sendiri gitu. Takut ngancurin hubungan kalian—”

“Nggak, kak,” potong Wooseok, “emang aku sama Youn pernah berantem gara-gara ini. Tapi akhirnya kita nyadar kalo kita sama-sama suka Kak Seungwoo.”

Seungwoo menghela napas. “Tapi kakak nggak mau nyakitin kalian.”

“Kita nggak mau nyakitin Kak Seungwoo juga,” ucap Seungyoun, “semuanya terserah kakak. Tapi kita udah ngomongin terus, dan ... ini yang bener-bener kita rasain.”

“Nggak apa-apa, kalo kakak nggak mau. Mau gini terus juga boleh. Aku sama Youn cuma ngerasa perlu aja nyatain, karena—um—kita sayang, sayang banget sama kakak,” sambung Wooseok.

“Jadi—” Seungyoun menelan ludah, “Kak Seungwoo, mau nggak jadi pacar aku sama Wooseok?”

Harapan tumbuh di kalbu Wooseok, bersamaan dengan kupu-kupu yang beterbangan di perutnya. Ia sungguh menginginkan ini. Kalbunya tidak bisa dibohongi.

Seungwoo menarik dan menghembuskan napas beberapa kali. Alisnya berkerut karena berpikir keras.

Kemudian ia menutup mata, dan saat ia membukanya, ada keyakinan juga dalam sorot mata itu. Senyuman muncul di bibirnya—senyuman yang melelehkan hati Wooseok dan Seungyoun. Senyuman yang membuat perasaan mereka membuncah tiap kali melihatnya.

Tangan Seungwoo mendarat di pinggang Wooseok, menggenggam lengan Seungyoun yang berada di bawahnya.

“Kakak mau jadi pacar kalian.”

Wooseok tersenyum lebar, bersamaan dengan Seungyoun yang tertawa lega. Akhirnya penantian mereka selesai. Ada cinta baru yang sedang bertumbuh lagi. Ada hari-hari bersama Seungwoo yang bisa dinanti.

Seungwoo beringsut maju, mengecup bibir Wooseok, kemudian mencium bibir Seungyoun. Tidak perlu kata-kata lagi, semuanya bisa dirasakan dalam cumbu yang diberi.

Malam itu, pelukan hangat di bawah selimut rasanya sangat berarti.

“Makasih ya, kak.”

Rengkuhan itu mengerat antara satu sama lain.

“Kita sayang kakak.”

Begitu aman. Seperti rumah nyaman. Menyimpan berjuta rasa.

“Makasih juga, Wooseok, Seungyoun. Kakak sayang kalian.”

fin.

Fuck.

“Astaga ... “

“Aduh!”

Hangyul dan Jinhyuk menatap satu sama lain, kemudian melihat sosok yang sedang berkutat di meja rias. Bukan meja rias asli, sih. Hanya sebuah cermin berukuran besar disandarkan ke dinding dan dua lampu belajar yang diletakkan di karpet. Yah, bahkan tidak ada mejanya.

Mereka menonton dalam diam dan sedikit geli melihat sosok itu—Seungyoun—mengumpat dan menggerutu sambil merias wajahnya sendiri. Ya, setelah beberapa hari berlalu, Seungyoun akhirnya mau keluar dari studio, selimut hangat dan hoodie milik Jinhyuk yang dicurinya.

Sebenarnya ia hanya keluar karena ingin menghadiri ball—ia belum pernah pergi ke acara seperti itu. Namun, karena penata riasnya sedang dalam keadaan radio silence, jadinya ia harus mendandani diri sendiri. Mau bagaimana lagi, acara di klub ini sangat penting, dan ia harus menghadirinya.

Setelah bersusah payah akhirnya riasan Seungyoun selesai. Usahanya membuahkan hasil, wajahnya sekarang cantik nan apik. Mata bergaris hitamnya dihias eyeshadow bernuansa pink, ungu dan biru khas bendera biseksual, pipinya merona seperti orang flu dan bibirnya merah menggoda.

“Siapapun tolong lemparin bra sama pads gue dong,” katanya setelah selesai memakai cincher di kamar mandi.

Hangyul langsung melempar bra dan sumpalan yang ada di sofa. Seungyoun pun memakainya, menyumpal dada dengan pads busa agar terlihat berisi. Selanjutnya, ia mengenakan wig panjang dan gaun bernuansa ungu dan pink dari Byungchan. Sarung tangan putih yang mencapai atas siku dan kalung juga ia pasang.

Sekarang transformasi dirinya sudah selesai. Ia terlihat begitu elegan dan manis, seperti putri kerajaan asli.

“Youn, sini,” panggil Jinhyuk. Begitu mereka dekat, ia langsung menyematkan tiara di kepala Seungyoun. Senyuman lembut terpatri di wajahnya. Setidaknya satu hari ini ia bisa menjadi putri.

“Gimana?” tanyanya pelan, menatap malu-malu.

Jinhyuk tersenyum. “Cantik,” ucapnya sambil merapikan rambut Seungyoun.

Mereka membantunya memakai sepatu hak, kemudian menuntunnya ke luar apartemen. Kali ini mobil Hangyul yang dijadikan kendaraan ke klub.

“Kalian kayak bodyguard gue,” kata Seungyoun sambil duduk di jok belakang. Ia melirik Jinhyuk yang memakai crop top hitam dan ripped jeans, kemudian beralih ke Hangyul yang mengenakan set tuksedo tanpa kemeja; dengan dada yang bertabur body glitter.

Hangyul terkekeh dari balik setir. “Dari dulu kali.”

“Iya juga ya.”

Seungyoun melihat lampu jalanan yang temaram, menghela napas panjang. Ia pasti akan bertemu Seungwoo nanti. Entah hatinya siap atau tidak.

Semoga Luizy Dynasty cukup kuat untuk menopangnya nanti.

Sesampainya di klub, mereka memberi ID ke penjaga dan langsung masuk. Suasana di dalam begitu gemerlapan, dengan runway di tengah, lampu disko, serta kerumunan yang ramai.

Hangyul langsung memisahkan diri karena hendak bertemu Yohan. Maka Jinhyuk dan Seungyoun berjalan ke arah kerumunan berdua, bergabung dengan orang-orang setelah mengambil minuman yang diedarkan.

Sekarang sudah berlangsung beberapa kompetisi, dan sebentar lagi akan ada kompetisi female figure performance, yang akan diiringi musiknya oleh Seungyoun serta DJ dari klub.

Ia pun berpisah dengan Jinhyuk, berjalan ke samping runway di mana rekannya sudah menunggu. Di tempat itu terdapat mikrofon dan DJ mixer.

“Hai, Luizy ya?” seorang perempuan cantik menyapanya saat ia mendekat. Ia mengenakan baju seperti tentara kerajaan bernuansa hitam dan emas.

Seungyoun tersenyum simpul, menyalami wanita itu. “Iya, ini aku. Kamu yang bernama Moon?” tanyanya.

Yes. Aku akan jadi DJ di sampingmu malam ini, jadi mohon bantuannya, ya. We’re gonna have so much fun.”

“Mohon bantuannya juga,” jawab Seungyoun sambil duduk di kursi depan mikrofon.

So, Luizy, kamu musisi juga kan?” tanya Moon sambil mengutak-atik mejanya.

“Yup.”

“Gimana rasanya ... jadi musisi queer di luar sana?” tanya Moon, matanya berkilau penasaran.

Seungyoun tertawa kecil. “Aku selalu terbuka kalau aku biseksual, sih. Pasti ada yang namanya hujatan, bahkan aku pernah dibilang straight dan cari sensasi aja karena kurang pamor.”

“Oh, yikes,” Moon mengernyit. “Terus gimana?”

Well ... aku nggak ada waktu buat ladenin itu. Jadi ya udah, tetep bikin musik aja. Pasti bakal ada yang mau terima kok.”

“Wow. Keren banget, sih. Makasih udah bertahan,” ucap Moon dengan tulus, yang dibalas Seungyoun dengan senyuman lebar.

“Kalau kamu gimana, Moon? How’s life?” ganti Seungyoun yang bertanya.

Moon menghentikan kegiatannya, lalu duduk di sebelah Seungyoun. Ia menghela napas panjang, tersenyum tipis.

“Aku trans woman, Luizy.”

Mata Seungyoun melebar. Ia sangat jarang berinteraksi secara langsung dengan insan yang transgender. Ini adalah hal baru untuknya.

“Oh ... “ ia manggut-manggut, “Must be hard, huh?

Well ... aku nabung lama banget buat operasi. Terus pas ngalamin body dysphoria, parah banget, rasanya kayak jadi gila. Kalo soal persekusi nggak usah ditanya lagi deh. Dari dikatain sampe dipukulin, semua ada.”

Seungyoun menghela napas dalam. “Tapi sekarang udah mendingan, kah?”

“Kalo dibandingin sama dulu sih pasti. Aku udah operasi, dapet kerjaan juga. Ball kayak gini beneran penyelamat,” jawab Moon, senyumnya melebar.

You survived it all, though. That’s all that matters, right? The present.

Damn right..”

Obrolan mereka akhirnya terhenti karena kompetisi akan segera dimulai. Kategorinya menggabungkan penampilan menari, lip sync, dan runway bak model.

Juri-juri sudah duduk di tempat masing-masing, dan MC memulai acara. Seungyoun menyanyikan lagu-lagu yang ada di setlist diiringi musik dari Moon.

Peserta dari house lain mulai tampil, berjalan sepanjang runway sambil menari dan memamerkan busana bertema bangsawan mereka. Ada yang menggunakan teknik vogue, duck walk, sampai akrobat.

“Dan sekarang, dari House of Reign—”

Akhirnya wakil dari House of Reign—house yang dikepalai Priscilla—pun muncul, dan penonton bersorak kencang. Bahkan, ada yang membungkuk dan bersujud layaknya melihat ratu sungguhan.

She’s beauty, she’s grace, Your Serene Majesty—

Wakilnya itu, tentu saja Empress Han.

Ia memakai mantel yang menutupi seluruh badan. Sambil berjalan mantel itu dilepas, menampakkan bodysuit merah modifikasi kimono yang belakangnya menyeret ke lantai, kaki jenjangnya diperlihatkan. Wajahnya dirias dengan tegas, bernuansa merah juga. Rambutnya disanggul khas bangsawan China dengan berbagai ornamen, menjulang tinggi—membuat presensinya semakin megah. Ia membawa kipas besar yang senada.

Walaupun tadi Seungyoun merasa tidak akan bisa melihat Seungwoo, ternyata sebaliknya yang terjadi. Ia tidak bisa melepas tatapan dari jelita itu, yang berjalan tegas melalui runway sambil sesekali mengibaskan kipas dan berputar sensual. Ia nyaris bisa mendengar sepatu hak tingginya berketuk-ketuk di lantai.

Seungyoun berusaha keras untuk tetap fokus bernyanyi, mengiringi gerakan Seungwoo. Gerakannya begitu tegas, namun lembut. Terkadang ia melakukan dip hingga split, membuat penonton semakin riuh. Badannya begitu lentur dan gemulai, meskipun ketajamannya tidak hilang.

Empress Han pun akhirnya kembali dari ujung runway, membentangkan kain di bagian belakang layaknya jubah. Seraya ia melangkah, ia melewati Seungyoun yang masih mengiringi dengan suaranya.

Lalu seperti berbulan-bulan yang lalu, tatapan mereka bertemu. Lagi-lagi waktu seperti berhenti. Memberikan momen yang begitu menggetarkan hati.

Kembang api kembali menyala dalam diri Seungyoun. Ternyata, selama ini perasaannya tidak surut. Mungkin hanya tertimpa badai yang sengkarut.

Kali ini, yang bertatapan tidak hanya Luizy Dynasty dan Empress Han—namun juga Seungyoun dan Seungwoo sendiri.

Mungkin ia sedikit rindu dengan senyuman dan tawa yang merdu.

Momen itu akhirnya berakhir. Empress Han memberikan pose final, meniupkan ciuman ke penonton yang sudah semi-bersimpuh kepadanya. Kemudian, ia menghilang ke kerumunan.

Seungyoun menyelesaikan lagunya. Ia menghela napas panjang, merasakan atmosfer yang menyelimuti ruangan. Riuh, megah, meriah. Namun hatinya terasa gundah.

“Liatinnya lama banget,” celetuk Moon di sebelahnya, tersenyum jahil.

Ah, ketahuan.

“Sejelas itu kah?”

“Yep. Nggak salah sih, semua orang emang nyembah dia. Tapi aku tahu caranya bedain tatapan orang.”

“Gitu ya ...” ucap Seungyoun, “kita emang deket. Tapi, ya, lagi ada masalah aja.”

Tangan Moon mendarat di bahunya. Ia menoleh, menerima tatapan yang tulus dari wanita itu.

“Tadi kamu bilang yang penting itu waktu sekarang kan, Luizy?”

“Iya.”

Senyuman Moon mengembang. “Kalau gitu, coba lupain dulu yang udah berlalu. Nggak ada yang namanya undo. Tapi kamu bisa kontrol saat ini juga. The present.”

Seungyoun ikut tersenyum, dan untuk pertama kalinya malam ini, hatinya terasa ringan. Ada sesuatu dari kata-kata Moon yang meyakinkannya. Mungkin sang puan sudah berpengalaman.

“Bener, sih. Makasih, Moon.”

“Sama-sama.”


Setelah semua kompetisi selesai, ada tenggang waktu di mana juri akan menilai sehingga orang-orang mendapat waktu luang. Seungyoun sendiri berpamitan dengan Moon karena jam tampilnya sudah selesai.

Ia pun berjalan melalui lautan orang-orang, mencari entah Hangyul atau Jinhyuk. Mereka bilang masih di dalam klub, jadi Seungyoun memicingkan mata untuk mencari sosok-sosok itu.

Selama mengitari klub ia bertemu dengan beberapa orang. Mulai dari Ren, yang sedang membagikan kondom dan memberinya satu (“Gue nggak mau main malem ini!” “Udah ambil aja just in case!”), Priscilla yang menyelamatinya karena penampilan yang sukses, sampai diberi buket oleh salah satu drag mother, Lady Dada.

Ia sudah melihat Hangyul dan Yohan saat bahunya bertubrukan keras dengan seseorang. Orang itu lebih pendek dari Seungyoun, namun lebih kekar dengan tato yang menghiasi lengannya.

“Eh, liat-liat dong!” omel orang itu. Ia mengusap bahunya sambil lalu.

“Maaf,” gumam Seungyoun, kemudian melanjutkan berjalan. Ia bersungut-sungut. Lengannya juga sakit, tahu. Memangnya yang mau mengomel orang itu saja?

“Youn!” sapa Hangyul saat dirinya menghampiri. Yohan melambai sejenak, sedang merapikan wig pirangnya.

“Hai,” balasnya. “Jinhyuk mana?”

Yohan mengangkat bahu. “Terakhir gue liat nemenin Wooseok. Tapi abis it—eh itu dia.”

Speak of the devil and he shall appear.” Hangyul berucap seraya Jinhyuk dan Wooseok mendatangi mereka. Wooseok memakai baju semi-armor seksi yang mirip dengan Dejah Thoris, karakter putri dari Mars.

“Udah selesai shift, Youn?” tanya Jinhyuk saat mereka sampai.

Seungyoun mengangguk. “Tinggal nunggu pengumuman aja. Kalian udah kelar tampilnya juga, kan?”

“Yup. Tapi tadi gue sama Wooseok kepikiran mau ngajak kalian hangout bareng. After party gitulah, di tempat gue. Mau gak?”

“Bareng siapa aja?” Yohan mengangkat alisnya.

“Berenam aja. Sama Seungwoo juga,” jawab Wooseok, tersenyum simpul.

Hati Seungyoun mencelos. Ia tidak siap bertemu Seungwoo secara langsung, tidak setelah mereka bertatapan dengan intens tadi. Seketika rasa percaya dirinya di samping runway tadi sirna.

Hangyul mengangguk. “Boleh, sih. Lo gimana, Youn?”

“Um, gue ... liat nanti, deh,” Seungyoun meringis. “Takutnya ada kerjaan.”

Sahabatnya itu hanya tersenyum miring. Ah, iya. Ia tidak pandai berbohong.

Tiba-tiba, Wooseok menepuk bahunya. Seungyoun menoleh, yang disambut bisikan dari temannya itu.

“Gue tau lo lagi ada masalah sama Seungwoo,” tutur Wooseok, “mendingan kelarin aja nanti. Lo nggak mau ngulur kan? Nggak enak di kalian berdua.”

Seungyoun mengerutkan alis, berpikir sejenak. Benar, meskipun ia takut berhadapan lagi dengan pemuda itu, masalah ini harus segera selesai. Waktunya menurunkan ego masing-masing.

“Oke, nanti gue dateng,” tukasnya dengan mantap. Teman-temannya yang lain menatap heran. Wooseok hanya nyengir.

Pengumuman pemenang akhirnya dilakukan. Wooseok memenangkan sex siren, lalu Yohan mendapat tempat kedua di kategori runway. Mereka berdua langsung ke runway untuk menerima hadiah.

“Untuk kategori terakhir—Vogue Femme, pemenang kita adalah ... Her Royal Highness, the one and only ... Empress Han!”

Penonton menyambut dengan meriah saat Empress Han berjalan ke runway dengan anggun. Ia menerima uang tunai dan piala besar, kemudian memberikan speech singkat.

“Terima kasih, semuanya. Aku cuma mau ngingetin kalau kita semuanya di sini merayakan diri sendiri. Jadi, jangan ada yang berkecil hati, kalian semua berarti. Aku cinta kalian semua!”

Seungyoun bertepuk tangan, senyuman tanpa sadar mengembang di wajahnya. Empress Han—Seungwoo—memang tampil dengan totalitas, mempesona dari ujung kepala sampai kaki. Tidak heran jika ia menang.

Wooseok dan Yohan menghampiri mereka lagi, kali ini menggiring Seungwoo bersama mereka. Mendadak Seungyoun langsung kaku lagi. Ia tidak bisa menentukan apakah ia siap atau tidak.

“Selamat, sayang,” tutur Hangyul, merangkul Yohan kemudian mencium dahinya. Yohan langsung memeluk kekasihnya itu sambil berterima kasih. Jinhyuk sendiri menyelamati Wooseok kemudian mengelus kepalanya lembut.

Sedangkan Seungwoo ... tersenyum kala diselamati teman-temannya, lalu berdiri dengan canggung. Seungyoun melirik sedikit, dan mata mereka langsung bertemu. Ah, sial. Atmosfernya begitu berbeda.

Tetapi, Seungyoun rindu.

Rindu bertatap lembut dengan manik cokelat itu.

“Gue sama yang lain de-drag dulu, terus kita berangkat ke rumah Jinhyuk ya? Seungwoo jadi ikut kan?” tanya Yohan.

Seungwoo mengangguk, nyaris tidak terlihat. “Iya.”

“Seungyoun, mau ikut de-drag?”

“Nggak, gue di rumah Jinhyuk aja nanti.”

“Oke.”

Dengan itu Yohan, Wooseok dan Seungwoo pun berlalu ke belakang panggung untuk menghapus riasan, sedangkan Seungyoun, Hangyul dan Jinhyuk memilih untuk ke bar sebelum menuju parkiran.

Hangyul memesan soda untuk mereka bertiga, sudah cukup minum untuk malam ini.

“Lo nggak apa-apa, Youn?” tanyanya.

“Iya.” Seungyoun mengangguk sambil menghabiskan minuman.

“Tenang aja. It will be over.”

Yeah,” Seungyoun mengerjap, melihat embun di botol kacanya. “It will be over.”


Perjalanan ke rumah Jinhyuk tidak memakan waktu lama. Sialnya, Seungyoun harus duduk di samping Seungwoo dengan gaunnya yang mengembang. Ia bahkan harus mencengkeram tulle-nya agar tidak memakan tempat.

Akhirnya mereka sampai setelah terdiam selama perjalanan. Seungyoun langsung melepas gaun, wig dan menghapus make up, menghembuskan napas lega saat pinggangnya yang dijepit cincher akhirnya bebas.

Ruang tamu sudah penuh suara saat ia kembali, penuh obrolan dan keributan teman-temannya. Ada Jinhyuk dan Yohan yang sedang meletakkan chinese takeout di meja, Hangyul yang terkapar di sofa, dan Wooseok yang berjibaku dengan botol dan gelas minuman.

Seungwoo? Duduk di karpet sambil sesekali melihat ponselnya. Tatapannya seringkali mengarah ke bawah. Sendu, mungkin.

Malam itu dihabiskan dengan menonton berbagai film, diiringi seruan dan perdebatan yang sebetulnya tidak penting. Seungyoun sendiri bergabung, ikut mengobrol dengan yang lain—tetapi interaksinya dengan Seungwoo tetap nihil.

Terkadang mereka bertemu tatap, namun sayangnya hanya sebentar saja. Duduknya pun tidak berdekatan.

Seungyoun menghela napas panjang. Sepertinya ia sudah kehilangan kesempatan.

Beberapa jam kemudian intensitas obrolan mereka belum juga berkurang. Seiring pikiran yang ringan karena alkohol yang diminum—tapi masih cukup sadar—obrolan jadi semakin ramai. Namun posisinya sudah jauh berbeda. Kini Hangyul dan Yohan sudah berpelukan di sofa, sedangkan Jinhyuk berbaring di paha Wooseok.

Suasana semakin canggung saja antara dirinya dan sosok di ujung ruangan. Pada suatu saat Seungwoo beranjak untuk keluar, mengatakan bahwa ia ingin mengambil barang yang tertinggal di mobil Hangyul.

Ia tidak kembali setelah beberapa lama, dan entah sudah berapa kali Seungyoun melirik ke arah pintu.

“Samperin aja, Youn,” ucap Jinhyuk. Sahabatnya itu menatapnya lekat, meyakinkannya. Wooseok di atasnya ikut mengangguk.

“Oke.” Seungyoun memantapkan hati. Sekarang atau tidak sama sekali. Ia beranjak dari duduknya, berjalan ke arah pintu.

Seungwoo langsung terlihat saat ia membuka pintu. Pemuda itu sedang berdiri di teras, bersandar di pilar dekat tangga pintu masuk. Asap mengepul di sekitarnya. Itu bukan kabut karena dingin, melainkan asap rokok.

“Udah berapa batang?” tanya Seungyoun saat ia cukup dekat. Seungwoo menoleh, matanya melebar sedikit. Jarinya menjepit sebatang rokok yang masih panjang.

“Dua, 8 sama 9 setengah inci,” jawab Seungwoo, lalu kembali mengisap rokoknya.

Seungyoun mengerutkan alisnya, kemudian tersadar. “Bisa-bisanya lo,” keluhnya sambil mengeluarkan bungkus rokoknya sendiri dan menyalakan sebatang.

Sejak beberapa bulan lalu, Seungwoo dan Seungyoun memang suka bercengkrama di luar sambil merokok seperti ini. Memang keduanya tidak bisa dialihkan dari selintingan itu. Namun intensitas Seungyoun jauh lebih jarang, karena profesinya yang melibatkan suara.

Seungwoo mendengus geli. “Hampir sebungkus kayaknya? Nggak ngitung gue.”

“Jangan banyak-banyak lah, gue kan udah bilang.”

“Hmm.”

Keheningan menerpa mereka, canggung dan mengganjal. Pikiran Seungyoun berkecamuk dengan berbagai hal. Kejadian minggu lalu, penyesalannya, rasa sukanya. Benar-benar seperti pusaran yang membawa banyak hal.

Ia menatap langit malam yang gemerlap, kemudian melirik Seungwoo dari sudut matanya. Rasanya salah bila tensi ini tidak diperbaiki. Seungwoo adalah seseorang yang penting baginya selama beberapa bulan terakhir, dan walaupun terdengar egois, ia tidak ingin melepasnya begitu saja karena masalah ini.

“Seungwoo.”

“Ya?”

Seungyoun menatap pemuda itu, lalu berkata dengan banyak perasaan yang membuncah.

“Maaf.”

Keadaan sunyi sejenak. Malam terdiam stagnan, seakan menyediakan waktu untuk mereka.

“Maaf,” ucap Seungyoun lagi, “maaf udah sembarangan cium lo kemarin. Gue salah dan gegabah. Maaf, Seungwoo.”

Seungwoo terdiam sejenak. Mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap yang mengepul.

“Nggak apa-apa,” tutur Seungwoo halus. “Gue juga minta maaf. Lo pasti jadi bingung, ditinggal tanpa penjelasan gitu.”

It’s okay, I understand.”

Senyuman tipis muncul di wajah Seungwoo. “Gue nggak pernah ada niat nyakitin lo.”

“Gue juga.” Kini senyuman itu berbalas.

Seungwoo mengulurkan tangannya, mukanya melembut. Matanya berbinar tulus. “Baikan, ya?”

“Baikan.”

Seungyoun menyambut uluran itu. Mereka bersalaman singkat, mengakhiri gundah dalam kalbu. Berdamai dengan kejadian yang lalu.

Alih-alih kembali ke dalam, mereka memilih untuk tetap di luar. Duduk di teras sambil membicarakan hal-hal yang terlewat, sekalian mendalami hati satu sama lain.

“Pas kita ciuman itu, gue tiba-tiba lepasin karena gue inget masa lalu gue,” ucap Seungwoo.

Seungyoun menoleh, tidak mengatakan apapun. Mendengarkan dengan saksama apa yang diucapkan.

“Belum lama gue ada mantan yang—yah, jelek lah perlakuannya. Jadi gue nggak bisa reaksi yang bener,” lanjutnya, “in fact, dia belakangan nyoba hubungin gue lagi. Lo inget kan kiriman cokelat sama telepon yang bunyi-bunyi terus?”

“Iya.”

“Itu dia. Gue bener-bener stres. Udah mana bakal ada ball, pusing banget.”

Seungwoo beringsut mendekatinya sampai bahu mereka menempel. Mencari rasa aman dalam sentuhan berbalut kain.

“Maaf ya, Youn. Gue panik gara-gara flashback, malah jadi nyakitin lo.”

“Nggak apa-apa, Woo. Gue ngerti kok.”

Setelah kembali diam beberapa saat, Seungwoo angkat bicara lagi.

“Youn.”

“Hm?”

How do you feel about me?

Seungyoun mengira ia akan terkejut, jantungnya berdebar keras atau panik. Nyatanya tidak, ia malah merasa tenang. Jawabannya sudah jelas selama ini. Mutlak, pasti.

“Gue suka sama lo,” jawabnya perlahan, “suka lo, as in lo. Pribadi lo yang manapun, gue suka.”

“Kenapa?”

“Kalo ditanya kenapa, ya ... banyak. Gue sayang, sayang banget sama lo. Tapi ini kayak—aduh, apa ya? Besar banget gitu, Woo. Sukanya. Bukan cuma suka satu dua hal dari lo. Gue suka lo, secara keseluruhan.”

Tanpa peringatan apa-apa, Seungwoo menyandarkan kepala di bahu Seungyoun. Ia tidak bergeming, hanya merasakan hangatnya presensi insan di samping. Memberi tempat untuk bersandar, secara kiasan dan harfiah.

“Gue juga suka sama lo,” bisik Seungwoo, seakan itu rahasia yang begitu penting. “Perasaan gue ke lo cukup besar buat gue simpulin jadi rasa suka.”

Kali ini, Seungyoun baru berdebar. Otaknya langsung kacau seperti kartun Spongebob yang kebakaran. Ia berusaha keras agar badannya tidak tegang, agar Seungwoo tidak menyadarinya. Sial, efek alkohol tadi juga sudah menghilang.

Seungwoo berbisik lagi—kali ini suaranya lebih kecil. “Tapi gue nggak tau bisa bangun hubungan dulu apa nggak, Youn. Gue nggak yakin sanggup nanggung status itu. I need to heal.

Seungwoo khawatir. Seungyoun juga. Tetapi seperti apa yang ia selalu rasakan, samudra Seungwoo begitu luas. Dalam, dengan palung yang berkelok-kelok. Selama ini mungkin Seungyoun baru menyentuh permukaannya saja.

Ia tidak marah sama sekali. Hatinya pun tidak menciut. Karena ia bisa mendengar kesungguhan dari perkataan Seungwoo, walaupun dibalut keraguan dan rasa takut.

Ia tahu dan ia mengerti.

Ia harus mengerti.

Karena rasa sayang dibangun dalam pengertian.

“Nggak apa-apa, gue bakal tetep di sini kok. Nemenin lo. Sebagai apa pun itu,” tuturnya. Menuruti kata hati, yang telah ada sejak lama.

Seungwoo menghela napas. “Jangan kasih gue janji, Youn.”

“Gue bukan ngasih janji. Gue ngasih pernyataan.”

“Nanti kalo lo pergi juga, gue nggak tau bakal gimana.”

“Nah, itu.”

“Apa?”

Seungyoun menyandarkan kepalanya di atas kepala Seungwoo. Menutup matanya seraya senyum mengembang.

“Gue pasti nggak akan pergi.”

“Nih, upeti,” Hangyul meletakkan plastik berisi es krim dan keripik titipan Seungyoun sebelum dirinya menuju tempat Jinhyuk.

Ia duduk di seberang Seungyoun dan Jinhyuk. Mereka berada di karpet disertai bantal lembut dan, untuk Seungyoun, selimut tebal yang membalutnya sampai kepala.

“Oke. Cerita, Youn,” suruhnya sambil mengangguk.

Seungyoun merengut. “Harus banget gue ulang lagi?”

“Oh, iya dong. Harus.”

Helaan napas dalam terdengar sebelum Seungyoun membuka mulutnya. “Ya ... gue sama Seungwoo kan udah deket berapa bulan belakangan, dan ya, gue suka sama dia. Cuma belakangan dia emang agak off gitu, sering minta maaf dan spacing out, plus kayaknya makin jarang tidur.

“Gue pun baru nyadar dia sering banget kasih afeksi dan skinship ke gue, tapi pas gue balikin dia agak flinch gitu. Kalo soal kemarin ... yah, itu beneran heat of the moment banget sih, dan dia juga bales ciuman gue. Tapi ya gimana, guenya juga salah karena nggak liat-liat dulu,” jelas Seungyoun.

Hangyul menggumam. “Hmm ... gimana ya. Dia cerita nggak kalo lagi telponan sama lo?”

“Nggak,” Seungyoun menggelengkan kepala. “Kalo gue tanya dia kenapa, dia bilang nggak penting. Akhirnya gue alihin topik aja, gue nggak mau jadi nosy.

“Ini menurut gue ya,” Jinhyuk angkat bicara sambil membuka kemasan es krim. “It takes two to tango, lo tau itu kan. Lo berdua ada andil dalam bikin momen itu kejadian—Seungwoo tiba-tiba narik diri tanpa alesan jelas, dan lo berusaha nahan dia. Kalo dibilang salah, ya nggak juga. Cuma, coba pikirin deh, dia nggak akan bales ciuman lo dari awal kalo dia nggak mau.”

Seungyoun mengangguk. Benar juga, ia ingat mereka berdua bergerak untuk menyentuhkan bibir. Tidak ada paksaan, kemauan sendiri. Kecupan itu bertahan selama beberapa saat, dengan mereka tenggelam dalam sensasinya. Lagipula ia juga tahu Seungwoo benar-benar sadar.

“Nah, jadi kayak—apa ya, mungkin dia inget sesuatu di tengah itu yang bikin berhenti. Gara-gara itu, dia jadi panik,” lanjut Jinhyuk.

Hangyul kemudian melanjutkan. “Namanya orang panik kan nggak bisa mikir jernih. Lo pun juga bingung tiba-tiba dia gitu, jadi nggak bisa reaksi yang kalem juga. Itu momen yang rentan, Youn. Vulnerable. And when people are vulnerable, they tend to become hostile. That’s their defense mechanism. Karena itu satu-satunya cara biar nggak keliatan lemah pas pikiran lagi kacau, iya nggak sih?”

“Iya,” sahut Seungyoun, akhirnya mengerti—bahwa reaksi mereka berdua didasari usaha untuk membentengi diri sendiri.

“Pasti Seungwoo punya alesan kok, Youn. Cara satu-satunya ya ngomong. Emang susah, tapi kita kan tau dia orang baik. Lo orang baik juga. Tapi lagi, ujung-ujungnya kan kita manusia, nggak ada yang namanya baik mutlak.”

Jinhyuk menariknya dalam pelukan, mengelus kepalanya lembut. “Udah, ya? Ini masalah yang bisa selesai, kok.”

Rasa panas kembali terasa di mata Seungyoun. Ia menyandarkan kepalanya ke ceruk leher Jinhyuk, balas merengkuh seraya air mata kembali meleleh ke pipinya. Ia bisa merasakan Hangyul beringsut, memeluknya juga dari belakang. Mereka menjadi pelindung dirinya untuk beberapa saat, memperbolehkan kerentanan dalam hatinya untuk bebas.

Sahabat-sahabatnya. Ia begitu beruntung.

“Udah, ya? Kita nonton Golden Girls lagi yuk?” bujuk Jinhyuk setelah isakannya selesai.

Hangyul menggerutu dari belakang. “Eh, gue udah susah payah dari rumah ke sini, belanja pula. Nonton Taxi, dong!”

Seungyoun berbalik badan, alisnya bertaut. “Enak aja! Gue yang sedih, Golden Girls lah!”

“Lo udah nonton dua season, Youn! Gak capek apa liat janda-janda?!”

“Daripada nontonin supir taksi!”

“Bagusan itu, lah!”

“Ngibul lo!”

Jinhyuk mengurut kening. Ia sayang, sayang sekali pada dua sahabatnya ini. Tetapi seringkali migrain-nya kambuh karena mereka.

Hangyul dan Seungyoun berhenti berdebat saat mereka melihat TV menyala.

“Hyuk! Kok nyetel Fresh Prince sih!”

“Kasih gue remote-nya!”

“NGGAK!”

A/N: chapter ini banyak timeskipnya. maaf kalo bingung, tapi proses mereka mengakrabkan diri ada dalam bentuk rutinitas, jadi nggak terlalu gue tulis.

⚠️: panic attack abis adegan lepas korset.


Hari, minggu dan bulan berlalu seperti angin musiman. Dari saat terik matahari masih menyengat kulit sampai daun cokelat berguguran ke rumput, kehidupan Seungyoun terus berjalan tanpa henti. Dalam kurun waktu yang cukup panjang itu pun ia semakin familiar dengan perona pipi dan sepatu hak tinggi. Pun terbiasa memakai bulu mata palsu, memulas gincu dan gaun mekar yang lucu.

“Eh, maaf Youn!”

Seungyoun mengerjapkan matanya, melihat eyeliner yang terlihat tumpul dan berantakan alih-alih lancip. Sepertinya tangan Seungwoo terpeleset saat membuat garis hitam itu.

“Nggak apa-apa, santai aja,” jawabnya ringan.

Seungwoo membalur kapas dengan micellar water lalu menghapus eyeliner itu dengan hati-hati. “Youn, aduh maaf banget, gue gak fokus tadi,” ucapnya sambil mendecakkan lidah.

“Seungwoo, nggak apa-apa. Lo udah minta maaf kayak lima kali selama sejam terakhir,” ujar Seungyoun sambil mendengus geli. Ya, hari ini Seungwoo banyak meminta maaf atas suatu hal yang bahkan bukan salahnya. Seperti terlambat menghampiri Seungyoun di lobi, lupa memesan makanan, sampai kejadian barusan.

Setelah diperhatikan, sebenarnya Seungwoo memang sering meminta maaf. Mau kesalahan sekecil apapun, ia tetap berulang kali mengatakan maaf. Tidak apa-apa, itu hal yang baik. Namun Seungyoun kadang heran dengan intensitasnya yang melebihi orang biasa. Entah, mungkin Seungwoo pribadi yang sensitif.

“Maaf, maaf,” ulang Seungwoo sambil membenarkan bentuk eyeliner itu.

“Seungwoo.”

“Oh iya.”

Setelah melalui proses yang berbelit, make up Seungyoun hari ini selesai. Seperti biasa ia akan tampil di bar, memenuhi kuotanya untuk minggu ini.

Mereka pun turun lewat lift ke lobi. Sebelum itu, Seungwoo berjalan ke arah kotak pos berjejer yang berada di sudut ruangan—karena tadi resepsionis bilang ada paket untuknya.

Seungyoun mengikuti di belakang, lalu tertegun saat melihat Seungwoo hanya terdiam setelah membuka kotak posnya.

“Kenapa, Woo?” tanyanya, “lo dikirimin apa?”

Seungwoo baru menjawab setelah jeda beberapa detik. “Ini,” katanya sambil mengambil barang di dalam—sekotak cokelat yang dibungkus apik dengan pita dan sebuah amplop putih.

“Dari siapa?”

Amplop itu ternyata berisi secarik kertas, dan Seungwoo membacanya dalam diam. Ia kemudian memasukkan surat itu kembali ke dalam amplop. Pandangan matanya kosong seraya ia menghela napas panjang.

Seungyoun mengernyit. “Seungwoo, are you okay?

Seketika Seungwoo mengerjap, tersadar dari lamunannya. Ia menggeleng, kemudian mengembalikan barang-barang itu ke dalam kotak pos.

“Nggak apa-apa. Cuma hadiah dari orang aja,” katanya sambil berjalan ke pintu keluar. Seungyoun mengekor di belakangnya.

Secret admirer lo?” goda Seungyoun saat mereka melangkah beriringan ke tempat parkir.

Seungwoo hanya mendengus, mengerling ke arahnya lalu mempercepat langkah. “Yuk, nanti telat,” ucapnya.

Tatapan Seungyoun mendarat pada punggung berbalut turtleneck hitam itu. Rasanya punggung itu tidak setegak biasanya.

Kali ini, Seungwoo terlihat agak ringkih.


Ponsel di meja rias itu terus berdering.

Seungyoun mengerling ke arah Seungwoo yang sedang menghapus dandanan setelah tampil di klub. Hari ini ia tidak ada jadwal di bar, jadi ia memilih untuk datang ke klub dan menonton Seungwoo seperti biasa, serta menemaninya di ruang rias. Lagipula, mereka sudah sering pulang-pergi bersama karena tempat tinggal yang berdekatan.

“Seungwoo, nggak mau angkat teleponnya?” tanyanya sambil menoleh dari sofa.

“Nggak, bukan hal penting kok,” jawab Seungwoo sambil berdiri. “Youn, bisa tolong lepasin iketan korsetnya nggak?”

“Bentar, bentar.”

Seungyoun bangkit dari duduknya dan membantu Seungwoo melepas korset penuh sesak itu. Dengan cepat matanya bertemu dengan kulit putih seperti porselen, dihiasi garis-garis merah bekas korset dan garter belt yang terlalu ketat.

Helaan napas lega terdengar dari orang di hadapannya, napasnya kembali lapang. Sekarang di tubuhnya hanya tersisa pantyhose saja.

Seungyoun melihat pantulan Seungwoo di cermin—wajahnya kini terlihat polos karena make up tegas yang telah sirna. Matanya terlihat gelap, bukan hanya karena maskara yang meleleh, namun juga disebabkan kantung mata.

Seungyoun hendak kembali ke sofa saat ponsel di meja berdering lagi. Samar-samar bisa ia lihat nomor yang menghubungi—hanya nomor saja, tidak ada nama.

Ia kemudian melirik Seungwoo, yang masih terdiam sambil memegang korset tadi. Tarikan napas Seungwoo semakin dalam. Semakin bising terdengar, seperti orang sesak. Bahunya ikut naik turun saat ia mengambil udara.

“Seungwoo?” panggilnya pelan. Seungwoo tidak bergeming. Ia tetap diam di tempat dengan badan yang kaku.

Pemuda yang ia panggil itu duduk di kursi, menunduk sambil memegang kepalanya sendiri. Tarikan napas Seungwoo kini bergetar dan kian cepat.

Seungyoun kembali mendekati Seungwoo, hendak memegang bahunya. Namun dengan cepat tangannya itu ditepis. Ia kontan terdiam di tempat, membatu—tidak tahu harus berbuat apa.

“Maaf, maaf,” cicit Seungwoo, tetap merunduk hingga ekspresinya tidak terlihat.

Isakan tertahan terdengar pilu di telinga Seungyoun. Sesekali Seungwoo terbatuk, bahkan terdengar seperti tercekik. Rasanya menohok hati, berat di sanubari. Baru kali ini Seungwoo benar-benar melunak di hadapannya. Suara yang mendayu kini mendecit, pundaknya rapuh alih-alih tegak.

Setelah Seungwoo menerima kiriman beberapa hari lalu, sebenarnya Seungyoun menyadari perubahan dalam diri pemuda itu. Slokinya lebih sering terisi dan kukunya tidak rapi—mungkin karena digigiti. Namun Seungyoun hanya bisa diam dan mungkin memberi distraksi. Karena ia tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam pikiran Seungwoo.

Melihat hal seperti ini rasanya menyakitkan bagi Seungyoun. Bukan hanya karena kesedihan Seungwoo melilit hati, tetapi karena Seungyoun sendiri tidak tahu cara menolongnya.

Akhirnya Seungwoo mengangkat kepala, dan saat itulah Seungyoun melihat mukanya. Matanya merah dengan air mata yang menuruni pipi. Bibirnya merah karena digigit, serta mukanya merona karena menahan tangis. Rambutnya mencuat ke mana-mana karena diremat.

“Maaf, Youn,” ujar Seungwoo dengan suara serak, menatap Seungyoun dari cermin.

Seungyoun membalas tatapan itu, mulutnya membentuk senyum tipis. “Nggak apa-apa, Woo,” balasnya.

Ia terdiam canggung di tempat, menunduk ke lantai yang beralas karpet beludru. Keadaan hening untuk beberapa saat. Suara yang ada hanyalah napas Seungwoo yang berangsur stabil.

“Youn.”

Sorot mata mereka bertemu lagi. Lalu Seungwoo berdiri, merentangkan tangannya. Seungyoun langsung menyambutnya dan memeluk pemuda itu.

Mereka terdiam seribu kata, hanya merengkuh dalam sunyi. Seungyoun merasakan napas Seungwoo yang masih belum sepenuhnya tenang. Dagunya ia letakkan di bahu Seungwoo, seraya tangannya meraba punggung dengan tulang belakang yang begitu terasa.

Wanna talk about it?” tanyanya pelan.

Seungwoo menggeleng. “Nggak.”

“Oke.”

Maka mereka tidak bicara tentang kejadian tadi. Seungyoun hanya fokus menenangkan debar jantung yang masih berpacu. Memeluk sampai Seungwoo tenang dulu.


Perasaan memang rumit. Besarnya bisa hanya sekelumit atau setinggi bukit. Tidak terkecuali untuk Seungyoun.

Ia mengenali Seungwoo. Mungkin belum cukup lama untuk mengetahui asam garamnya. Namun cukup untuk mengetahui bahwa ia telah menaruh rasa.

Seungwoo bisa membuatnya tertawa sampai menangis. Obrolan mereka selalu menarik hingga keduanya menghabiskan berjam-jam untuk bercengkrama saja. Senyumannya manis, matanya selalu berkilau seperti bintang polaris. Penampilannya sebagai Empress Han selalu membuatnya terpana dan terhipnotis.

Dari itu semua, Seungyoun tidak bisa bilang ada hal spesifik yang menggerakkan hatinya. Mungkin ia jatuh cinta karena Seungwoo dan Empress Han adalah pribadi yang begitu kuat dan autentik. Mungkin juga karena hal-hal kecil yang mereka lakukan dan bicarakan selama ini. Entahlah.

Perasaan ini membuat batinnya bergejolak. Ya, sudah lama sejak ia menemukan tambatan hati. Tetapi Seungyoun tidak mau membebani Seungwoo, walaupun keinginannya untuk menyampaikan perasaan sudah meledak-ledak.

“Halo?”

Youn, gue mau minta maaf buat yang tadi.

Seungyoun menjepit ponsel di antara bahu dan telinganya sambil memasak daging di panci. “Maaf kenapa?” tanyanya.

Ia bisa mendengar Seungwoo menghela napas berat. “Panic attack depan lo.

“Nggak perlu minta maaf, Woo, gue juga pernah gitu kok.”

Nggak, gue tetep minta maaf,” kata Seungwoo bersikeras, “itu nggak akan keulang lagi.

“Seungwoo, gue nggak akan pernah menghakimi lo cuma karena lo ngalamin sesuatu yang manusiawi.”

“ ... Maaf.

Giliran Seungyoun yang menghela napas. Ia tersenyum tipis walau Seungwoo tidak akan bisa melihatnya.

“Gue maafin.”

Makasih, Youn.

“Sama-sama. Oh, Seungwoo?”

Ya?

Seungyoun menjilat bibirnya. Rasa sukanya bukan hanya sekelebat saja. Ia tidak bodoh. Perasaannya terpupuk dan tumbuh seiring hal yang mereka lalui bersama. Mungkin tidak bisa dibilang suka dan duka, tapi hal itu membuat Seungyoun menyadari bahwa sukanya itu bukan sekadar lewat saja.

Seungyoun? Kok diem?

Seungwoo, gue suka sama lo.

Ia sudah membuka mulutnya, namun sadar sepersekian detik sebelum bersuara. Bodoh, Seungyoun. Mana ada tiba-tiba bilang seperti itu. Seperti remaja baru puber saja.

“Lo bakal tidur malem ini?” tanya Seungyoun pada akhirnya.

Nggak kayaknya. Mau kerja.”

“Kerja terus.”

Kekehan terdengar dari seberang. Mungkin tidak terdengar seriang biasanya. Namun tetap saja, itu suara yang sudah akrab di telinga Seungyoun. Tertambat kuat di memorinya.

“Gue temenin, ya? Gue juga mau kerja,” lanjutnya.

Gue juga mau habisin waktu malam sama lo.

Oke, Youn.

Seungyoun tersenyum lembut. Studionya belakangan tidak sepi lagi. Malam ini pun tidak berbeda. Ia bersama Seungwoo lagi.

“Oke, Woo.”


Seungyoun bertepuk tangan dengan keras setelah para drag queen di klub selesai tampil di panggung. Beberapa hari belakangan ini ia sibuk menulis lagu dan menjadi produser untuk rekan sesama artisnya, jadi sulit untuk keluar studio. Sebenarnya, mungkin ia bisa bertahan hidup hanya karena Hangyul, Jinhyuk dan Seungwoo yang sering mengiriminya makanan.

“Nih, drinks.” Jinhyuk datang ke meja besar itu, membawa botol-botol soju. Di belakangnya ada Hangyul dengan tiga sloki di tangan.

Thanks,” ujar Seungyoun, kemudian langsung menuang alkohol itu ke slokinya dan meneguk satu shot.

Hangyul dan Jinhyuk juga melakukan hal yang sama, diikuti dengan obrolan ringan di antara mereka bertiga.

“Album lo gimana, Youn?” tanya Hangyul seraya menambah sojunya.

Seungyoun menggumam. “Tinggal satu-dua lagu lagi sih. Tapi gue pending dulu, soalnya ada proyek collab itu kan.”

“Oh iya.”

“Lo gimana, Gyul?”

“Gimana apanya?”

Seringai muncul di wajah Seungyoun. “Pindahannya, lah.”

Jinhyuk terbahak di antara mereka berdua. “Iya, anjir. Lo nggak bilang-bilang sekarang satu apartemen sama Yohan. Kalo tau kan gue jadi bisa ngetok dulu pas mau mampir.”

“Lho, emangnya mereka ngapain?” tanya Seungyoun. Ia tidak bisa hang out dengan sahabat-sahabatnya beberapa minggu terakhir, jadi tidak tahu apa saja yang mereka lakukan.

“Kan dia udah serumah sama pacarnya nih,” Jinhyuk menunjuk Hangyul, “terus nggak ngasih tau kita. Waktu itu gue mampir, mau ngasih oleh-oleh dari mama. Ya udah, Hangyul bukain pintu kan.”

“Terus?”

“Pake kaos doang. Kayaknya punya Yohan. Hickey di mana-mana. Terus Yohannya di sofa belakang, lagi berusaha nutupin diri.”

Wajah Hangyul langsung merah padam disertai tawa Seungyoun yang meledak. Ia langsung mendorong Jinhyuk sampai pemuda itu ambruk ke sofa tempat mereka duduk.

“Kayak, gue sih nggak apa-apa, ya. Kalian mau kawin sebanyak apa juga gue gak peduli,” lanjut Jinhyuk, “tapi kasih tau bisa kali, Gyul. Itu masih pagi, gue nggak perlu ngerasa kayak stepmom mergokin anaknya lagi puber.”

“Bangsat,” umpat Hangyul, namun senyumannya mengembang mendengar candaan Jinhyuk. “Lo udah kelamaan sendiri kayaknya.”

“Lho, kok jadi ke gue. Gue tuh pelan-pelan.”

“Bilang aja Wooseok nggak mau serius dulu.”

“Hush,” Jinhyuk ganti mendorong Hangyul. “Kita berdua emang open relationship, bego. Dikekang tuh nggak enak.”

Seungyoun menengahi mereka berdua. “Udah, Hyuk. Hangyul kan tujuannya udah pengen tinggal di suburbs sama Yohan, punya dua anjing sama satu mobil SUV.”

“Nah, itu Seungyoun tau. Gue kan bukan tipe-tipe kayak lo yang keluyuran sana sini. Ada hati yang dijaga, bro.”

Jinhyuk tersenyum lebar. “Iya, Gyul. Dan itu hal yang bagus kok. Eh, tapi seru lho kemarin gue sama Wooseok ketemu cowok gemes banget di bar, namanya Sejin, terus kita—”

“Udah, Hyuk, gue nggak perlu detail,” potong Seungyoun sambil meringis.

Hangyul tertawa geli, lalu mengalihkan tatapannya ke arah Seungyoun. “Kalo lo, Youn?”

“Kalo gue apanya?”

“Seungwoo.”

Seungyoun terdiam sejenak. Seungwoo. Setiap nama itu disebut, rasanya seperti ada kembang api meletup-letup di kalbu. Percakapan mereka beberapa hari belakangan lebih panjang dari biasanya. Mungkin ini hanya dirinya saja, namun sepertinya Seungwoo sedang mencari distraksi. Butuh seseorang untuk mengalihkannya dari apapun itu yang sedang mengganggu.

Ia sebetulnya senang Seungwoo mempercayainya untuk menjadi tempat cerita. Namun, bukan berarti Seungyoun tidak terpengaruh. Kembang api di sanubarinya semakin riuh tiap itu terjadi.

“Seungwoo ... ya ... nggak ada apa-apa, sih. Kita biasa aja,” ujar Seungyoun.

Jinhyuk memutar bola matanya. “Lo dari dulu bad liar banget.”

“Ya ... gimana,” Seungyoun mengedikkan bahu. “Gue bohong kalo gue bilang nggak suka sama dia. But there are things here and there, you know.

“Ya, ngerti kok,” sahut Hangyul, “tapi apa lo pengen dia tau, Youn?”

Sejak dulu, Seungyoun selalu menjadi yang blak-blakan dalam hal percintaan. Saat ini pun inginnya menggebu-gebu untuk segera menyatakan apa yang dipendamnya. Tetapi kembali lagi, ada situasi dan kondisi.

Tetapi, ia ingin. Sangat ingin Seungwoo tahu.

“Pengen, sih.”

“Ngomong, lah. Eh, minumnya satu shot aja, Youn?”

Seungyoun tersenyum tipis. “Nanti, deh. Iya, gue udahan minumnya, habis ini harus nyetir.”

Jinhyuk meliriknya. “Nganterin Seungwoo?”

“Yup.”

“Sekalian modus lo ya?” goda sahabatnya itu.

Ia hanya membalas dengan dorongan pelan di bahu Jinhyuk.

“Ada-ada aja lo.”

Tidak sepenuhnya salah, sih. Ia memang selalu ingin menghabiskan waktu dengan Seungwoo.


“Lo nggak perlu terus-terusan nganterin gue lho, Youn.”

Mata Seungyoun beralih sejenak dari jalanan ke arah Seungwoo, kemudian kembali melihat depan. “Gue kan emang lagi di klub, Woo. Lagian belakangan gue nggak sempet nganterin lo.”

“Gue nggak enak.”

“Lo ngomong gitu lagi, lain kali gue pake wedges bukan high heels.”

“Nggak!” Seungwoo langsung menyambar, menatap sengit. “Wedges itu penghinaan, ya. Tebel, kayak balok gabus. Jelek banget, siapa sih yang nemuin—”

Seungyoun tergelak melihat Seungwoo yang berapi-api. Ia melirik lagi, melihat wajah pemuda yang sedang mengernyit itu. Agak sulit melihat ekspresi sebenarnya karena lampu jalanan yang remang. Bukan berarti ia tidak bisa melihat cantiknya insan di sebelah, sih.

“Ya udah, jangan ngomong gitu lagi ke gue ya, Woo?” pintanya lembut.

Seungwoo terdiam, kukunya menggaruk kutikula sendiri. Kebiasaannya saat sedang gugup, setelah Seungyoun amati.

Mobil berhenti di lampu merah. Seungyoun menoleh ke sampingnya, melihat pemuda yang sedang menunduk.

“Seungwoo?”

“Ah—iya,” sahut Seungwoo, kembali mengerjap. Tersadar dari lamunan seperti waktu itu. Ia melirik Seungyoun, kemudian tersenyum. Agak getir, tidak mencapai matanya.

Seungyoun mengangkat alisnya, mencari jawaban. Menatap Seungwoo lekat-lekat.

“... Iya, Youn.”

Good.

Mata Seungwoo berkilau terkena lampu jalanan. Cantik seperti biasa, walaupun ada sendu di dalamnya.

Tatapan Seungyoun beralih ke tangan Seungwoo yang masih mengorek kutikulanya. Perlahan ia menggerakkan satu tangannya, menangkup tangan Seungwoo lembut.

“Jangan digarukin terus, nanti jari lo abis,” ucapnya pelan sambil menjalankan mobil kembali karena lampu sudah hijau. Namun saat ia ingin menarik tangannya untuk memegang setir, Seungwoo malah menggenggamnya.

Tangan Seungwoo terasa agak dingin. Jarinya membalut milik Seungyoun dengan rapi, pas sekali. Membuat sengatan-sengatan listrik menjalar ke seluruh tubuh sang pengemudi.

Seungyoun hanya mengerling ke arah pemuda di sebelahnya, kemudian balik melihat jalan raya. Ia mengelus pelan tangan Seungwoo dengan jempolnya. Mencoba memberi sedikit rasa yang dipendam.

Perjalanan berlanjut dalam diam diiringi lagu dari stereo mobil, sampai akhirnya mereka sampai di lobi apartemen Seungwoo. Pegangan tangan mereka terlepas seraya Seungyoun menarik rem.

“Makasih udah nganterin, Youn,” ujar Seungwoo sambil tersenyum tipis.

“Sama-sama,” balas Seungyoun.

Telapak tangan Seungwoo mengelus pipinya, sebuah gestur yang sudah akrab ditemui. Tanpa memproses terlebih dahulu Seungyoun menyambut sentuhan itu—ia memegang pergelangan tangan Seungwoo dengan lembut.

Sorot mata mereka bertemu lagi untuk kesekian kalinya. Untuk sepersekian detik, Seungyoun merasakan sensasi tenggelam lagi. Seakan masuk ke pusaran air, terbawa arus, jauh ke dasar. Semua karena orang di hadapannya saja.

Ia melepas pegangannya, namun tangan Seungwoo masih bertengger di pipinya. Kini tangannya terasa hangat. Mungkin karena tadi bergenggaman dengan Seungyoun.

Seungyoun menatap lekat wajah Seungwoo, memperhatikan matanya yang seperti bambi, hidungnya yang sempurna bagai hasil pahatan, dan—akhirnya—bibirnya. Bibir tebal yang menurutnya sangat indah dan cantik, membentuk senyuman paling manis.

Ia kembali bertemu tatap dengan Seungwoo yang membalasnya dengan intens. Tanpa ia sadari, jarak mereka mendekat, membuat napasnya semakin terasa berat.

Ada jeda yang terasa seperti satu masa. Selama itu, yang ada di kepala Seungyoun hanyalah perkataan Hangyul tadi.

Apa lo pengen dia tau, Youn?

Kemudian bibir mereka bertemu. Bersentuhan dengan rapat, dengan napas yang berhembus kencang. Lalu seiring matanya menutup, ia memagut bibir Seungwoo—mengecup lembut, merasakan sensasi tiada tara saat kecupan itu dibalas. Kini hanya ada mereka berdua di momen ini. Lambat, menyalurkan segala rasa. Mengecap satu sama lain, untuk pertama kali, tanpa sedikitpun kata.

Seungyoun hendak memperdalam ciuman itu ketika ia merasa Seungwoo melepas bibir dan sentuhan tangannya. Ia membuka mata, dan apa yang ia lihat bukanlah tatapan bahagia atau sejenisnya—melainkan sorot mata yang ketakutan.

Muka Seungwoo mengernyit, alisnya bertaut penuh frustasi. Ia menatap Seungyoun dengan nanar, napasnya terengah.

“Seungwoo?” tanya Seungyoun pelan.

“Uh—” Seungwoo menelan ludah, “Kita harusnya ngg—kita—maaf, Youn. Maaf.”

Seungyoun membuka mulutnya, namun tidak ada suara yang keluar. Pikirannya berkecamuk. Ia tidak tahu maksud Seungwoo.

“Ap—”

Seungwoo mengangkat kedua tangannya, napasnya kian cepat. “Maaf, gue nggak bisa. Nggak bisa, Youn,” katanya, lalu membuka pintu mobil dan berbalik badan untuk keluar.

“Seungwoo, gue nggak ngerti—” Seungyoun meraih ke depan, memegang pergelangan tangan Seungwoo.

“Nggak!” seru Seungwoo, menepis Seungyoun dengan keras. Ia langsung keluar dari mobil, menatap Seungyoun dengan mata yang berkaca-kaca.

Seungyoun hanya terdiam, tangannya jatuh ke pangkuan.

“Maaf, Youn,” bisik Seungwoo lirih, “maafin gue.”

Kemudian tanpa berkata apapun lagi Seungwoo berjalan ke dalam lobi. Meninggalkan Seungyoun tanpa melihat ke belakang sedikitpun.

Kalau dulu merasakan berhentinya waktu adalah hal yang menyenangkan, sekarang adalah sebaliknya untuk Seungyoun.

Dinginnya AC mobil menembus hingga tulangnya. Menjalar ke seluruh nadi dan saraf tubuh. Roda-roda di otaknya seakan berhenti bergerak. Rasanya seakan ia baru saja lompat dari tebing tinggi dan jatuh ke batuan karang.

Setir mobil digenggam Seungyoun dengan erat seraya ia menggerung ke jalan raya. Badannya bekerja dengan otomatis, pikirannya entah ke mana.

Bodoh, Seungyoun.

Siapa yang janji ke diri sendiri tidak ingin membebani? Orang yang sama dengan yang mengingkari.

Setitik air mata jatuh ke pipinya. Isakannya tidak ada, tangisnya tanpa suara. Tidak, ia bahkan tidak pantas menangis. Seseorang yang bodoh dan egois tidak boleh menangis.

Hari, minggu dan bulan berlalu. Cukup lama sampai Seungyoun bisa merasakan perubahan yang berarti.

Cukup lama, namun menghancurkannya hanya sejenak. Sekelebat, sekelumit. Merusak sesuatu yang telah menjadi bukit.

Maaf, Seungwoo.

Maaf.

Percuma. Tidak ada yang mendengarnya.


⚠️ metode tucking, which means hiding your dick to make your nether region looks flat just like a woman’s. jadi ada bahasa eksplisit kayak penis & testikel, please be careful ya.


Apartemen di depannya cukup besar, namun bukan berupa gedung megah yang ditempati orang-orang borjuis. Tidak, apartemen ini sama seperti miliknya. Diperuntukkan kepada orang-orang yang mencari tempat tidur, bukan tempat berlibur.

Pesan dari Seungwoo mengatakan ia akan menunggu di lobi. Tak lama kemudian Seungyoun pun sampai di situ, melangkah ke dalam ruangan yang dihiasi meja resepsionis dan beberapa sofa.

Ia baru akan mengirim pesan ke Seungwoo bahwa ia telah sampai saat bahunya ditepuk pelan.

“Ah!” pekik Seungyoun. Dengan cepat ia menoleh ke belakang—melihat orang yang membuatnya terperanjat, kemudian langsung kehilangan kata-kata saat bertatapan dengan sang pelaku.

Orang itu adalah pemuda yang sepantaran dengannya. Parasnya begitu tampan dengan sorot mata teduh dan kulit yang putih tanpa cela. Rasanya ia sedang melihat boneka porselen.

“Seungyoun?” pemuda itu memanggil namanya, dan ia langsung tersadar. Matanya membelalak.

“Seungwoo?” tanyanya ragu-ragu.

Seungwoo tersenyum. “Yup. Gue.”

“Oh, maaf, gue sempet kaget tadi. Kirain siapa tiba-tiba nepuk gue,” ucap Seungyoun sambil meringis. Tidak, ia tidak sepenuhnya bohong. Ia memang terkejut, namun bukan hanya karena ditepuk.

Wajah Seungwoo yang tidak dipulas make-up terlihat berbeda. Pun rambut aslinya yang pendek alih-alih wig panjang dan bergelombang.

Parasnya begitu tampan, jauh lebih lembut. Ada aura maskulin yang menguar, namun tetap terlihat cantik. Setelah dilihat lagi, sebetulnya Seungyoun bisa mengenali fitur yang khas: hidung mancung, rahang tegas dan bibir tebal.

Mungkin tadi ia begitu kaget, makanya tidak langsung sadar. Atau mungkin Seungwoo hanya terlalu mempesona dalam tampilan apapun. Entahlah.

“Nggak apa-apa, lo kan belum pernah lihat gue nggak dandan,” kata Seungwoo enteng. “Ya udah, langsung aja yuk?”

Seungyoun mengangguk, dan mereka pun menaiki lift ke lantai lima tempat kamar Seungwoo berada. Kamar itu berukuran sedang dengan dapur dan kamar mandi dalam serta ruang makan kecil.

“Maaf ya, kamar gue berantakan.”

“Nggak kok, studio gue lebih ngeri lagi. Hangyul sampe bilang gue harus ketemu Marie Kondo. Padahal nggak se-berantakan itu,” keluh Seungyoun.

Seungwoo tertawa renyah—suara yang belakangan menjadi favorit Seungyoun. “Emang berantakan gimana sih?”

“Ya ... kadang gue lupa buang bungkus makanan.”

“Youn. Itu jijik.”

“Iya ya,” cengiran muncul di wajah Seungyoun. Seungwoo hanya memutar bola matanya.

Mereka memasuki ruangan kecil yang ternyata merupakan semacam walk-in wardrobe, di mana Seungwoo menyimpan semua perlengkapan drag-nya. Terdapat pakaian yang digantung rapi, sepatu yang berderet serta wig berwarna-warni. Meja rias dengan peralatan make up lengkap berada di pinggir.

Seungyoun melihat sekeliling dengan mata berbinar. “Oh wow,” ucapnya sambil sedikit menganga.

Senyuman tersungging di wajah Seungwoo kala melihat Seungyoun yang melihat lemarinya seperti anak kecil di toko permen. Ia pun menggiring Seungyoun ke meja rias, menyuruhnya untuk duduk di kursi. Rambut Seungyoun didorong ke belakang dan dimasukkan ke wig cap.

“Oke, Youn, jadi pertama gue bakal bersihin muka lo dulu, terus kita bikin base. Habis itu bagian mata, contour dan highlight, bibir, baru wig. Gimana?” tanyanya sambil mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan.

Seungyoun mengangguk. “Sounds good.”

Ia melihat wajahnya di cermin. Wajah yang akan berubah total sebentar lagi. Memunculkan personanya yang baru.

Seungwoo pun mulai bekerja—membersihkan wajah Seungyoun dengan skincare dan menyemprotkan primer, lalu membiarkannya menyerap. Proses kemudian berlanjut ke foundation, di mana Seungyoun merasa seperti kanvas yang sedang dibalur cat putih agar bisa ditimpa warna.

Musik mengalun pelan dari ponsel Seungwoo sementara mereka berproses dan bercengkrama. Seungyoun menutup mata sementara Seungwoo membubuhkan eyeshadow di kelopaknya.

“Lo tinggal di deket sini, Youn?”

Suara Seungwoo yang begitu dekat membuat Seungyoun tersentak. Ia tidak menyangka jarak mereka sedekat itu.

“U—um, kayak empat blok dari sini, sih. Apartemen gue yang gedung gede di pusat kota.”

“Oh, lo macet-macetan dong tiap hari?” Seungwoo terkekeh sambil memulas bagian sudut.

“Sumpah ya. Kayaknya gue tua di jalan deh,” jawab Seungyoun sambil mendengus.

“Sama, sih. Dulu pas gue masih pake mobil rasanya leg day setiap hari. Abis mobilnya gue jual, gue ganti motor aja. Lebih enak nyelip-nyelip. Liat atas, Youn.”

“Bener sih, apalagi kalo lagi buru-buru.”

“Masa ya, dulu tuh gue pernah telat banget ke klub, jadinya gue ngebut pake motor di jalan in drag. Oke, sekarang tutup mata lagi.”

Seungyoun terbahak. “Serius tuh? High heels and all?

“Iya! Berasa apaan gue pake rok pendek sama sepatu hak terus motoran! Untung wig gue nggak lepas di jalan, kan nggak lucu kalo tiba-tiba terbang gitu.”

“Astaga jelek banget—HAHAHAHAHA!”

Tawa Seungyoun kian keras karena bayangan wig terbang jatuh ke jalan. Ia harus meminta Seungwoo untuk berhenti karena begitu geli.

“Udah, udah. Sekarang diem—diem, Youn!” seru Seungwoo sambil ikut tergelak. “Gue mau pakein eyeliner. Diem!”

Dengan susah payah, Seungyoun menghentikan tawanya dan berusaha tegak kembali. Seungwoo menatapnya tajam—namun sambil tersenyum dan kembali menyuruhnya diam.

Rasa geli yang tadi tidak terkontrol langsung hilang saat Seungyoun menutup matanya lagi. Karena harus teliti, wajah Seungwoo lebih dekat lagi dari sebelumnya. Ia bisa merasakan presensi pemuda itu di hadapannya, sesekali berhenti untuk melihat hasil kerjanya.

Seungyoun berusaha bernapas sepelan mungkin. Terkadang ia disuruh membuka mata, membuatnya ingin meledak kala melihat Seungwoo yang sedang fokus. Ia bahkan bisa melihat bulu mata lentiknya dengan jelas.

Cantik. cantik sekali.

“Selesai! Lo boleh buka mata sekarang.”

Saat Seungyoun melihat cermin, rasanya seperti baru melakukan operasi. Matanya terlihat lebih besar karena efek eyeshadow dan eyeliner lancip yang mempertegas pinggirnya. Glitter berkilau di kelopak dan bagian bawah membuatnya terlihat gemas.

“Wow.” Hanya itu yang bisa Seungyoun katakan. Ia sibuk mengedipkan matanya, melihat detail setiap warna.

Seungwoo tertawa kecil. “Bulu matanya nanti aja ya, terakhir. Sekarang kita contour dulu. Sihirnya belum selesai,” katanya antusias.

Seungyoun tersenyum. “Let’s get it, then.”

Seluruh wajah Seungyoun pun mulai dipulas. Ada dari concealer serta highlight di bagian bawah mata, dagu dan dahi. Kemudian tulang pipi, hidung dan rahang diberi contour agar semakin tegas.

Blush-nya gue kasih kayak orang mabuk, gimana?” tanya Seungwoo sambil mengangkat kuas tebal dan palet blush.

“Boleh, biar nanti pas gue mabuk beneran dikira normal,” jawab Seungyoun sambil nyengir. Blush itu pun dipakaikan Seungwoo ke seluruh area pipi dan ujung hidungnya, menimbulkan rona mencolok. Kini Seungyoun terlihat seperti sedang mabuk dan menderita flu—tapi tidak apa-apa, itu intensinya.

Setting powder pun dipakaikan agar make up-nya tidak mudah luntur, dan highlight berkilau dibubuhkan pada tulang pipi. Seungwoo juga menambahkan gambar hati berwarna hitam yang apik di bawah matanya.

Seungwoo tersenyum lebar melihat riasan yang hampir jadi tersebut. Ia pun mengambil tiga lipstik cair dan menyodorkannya pada Seungyoun.

“Pilih satu.”

Seungyoun bergumam, melihat warna masing-masing lipstik dengan teliti. Akhirnya ia memilih lipstik berwarna merah muda slash bata yang lumayan lembut namun masih terang.

“Ini aja.”

Alright! Diem lagi ya, kalo nggak lo kayak badut ntar. Buka mulut lo dikit.”

Lipstik itu pun mendarat di bibirnya, dikendalikan oleh tangan Seungwoo yang memulas dengan presisi. Alisnya berkerut karena konsentrasi dan lidahnya mengintip sedikit dari mulutnya. Seungyoun harus mengendalikan dirinya sekuat tenaga agar tidak mencubit pipi Seungwoo saat itu juga. Sesekali jari Seungwoo menepuk-nepuk bibirnya untuk meratakan warna, membuat Seungyoun ingin menyublim saja.

Akhirnya siksaan itu pun berakhir setelah lipstik dan bulu mata palsu dipasang. Seungwoo menjauh untuk melihat keseluruhan muka Seungyoun.

“Gimana?”

Seungyoun mematut-matut dirinya di cermin. Kalau saat riasan matanya selesai tadi ia merasa berbeda, kali ini benar-benar lebih ekstrim lagi. Ia terlihat seperti boneka dengan mata besar, pipi merona dan bibir merah. Ia mengerjapkan matanya berulang-ulang, melihat bulu mata lentik yang seperti mengepak tiap kali naik turun.

“Woo,” ucapnya pelan.

“Ya?”

“Gue suka banget. Makasih, ya. Duh, sumpah nggak tau mau ngomong apa, speechless banget ini.”

Seungwoo terdiam sejenak, menjilat bibirnya. Kemudian ia terkekeh sambil ikut melihat cermin dari belakang Seungyoun.

“Belum selesai, lho. Bentar ya.”

Ia pun pergi ke rak penuh wig, kemudian mengambil satu. Wig itu berwarna cokelat, panjang dengan gelombang besar-besar yang memberi kesan elegan.

Dengan cekatan Seungwoo memasang wig itu di kepalanya, memastikan selotip yang ada sudah kencang dan semua bagiannya menempel. Sekarang transformasi Seungyoun—bagian muka—sudah sempurna.

Seungwoo terdiam sejenak. Ia terpaku pada bayangan Seungyoun di cermin, dengan riasan lengkap dan wig yang menjuntai.

“Kenapa, Woo?”

“Ah, nggak, um—” Seungwoo berdeham, memegang bahu Seungyoun.

“Ada yang salah?” tanya Seungyoun khawatir. Apakah ia terlihat aneh dengan wig tersebut?

Kini Seungwoo menggeleng. “Bukan! Uh. Lo ... lo cantik banget, Youn.”

Giliran Seungyoun yang terdiam. Syukurlah ada blush yang menghalangi pipinya, kalau tidak, mukanya sudah terlihat seperti kepiting rebus secara alami. Ia sering memuji Seungwoo cantik, karena ia benar-benar takjub akan paras rupawan itu. Namun untuk menerima pujian itu kembali, rasanya aneh. Rasanya seperti kupu-kupu beterbangan di perutnya dan sengatan listrik di tulang belakangnya.

“Makasih, ini karena lo juga,” ucap Seungyoun pada akhirnya dengan tulus. Ia tersenyum dengan bibir bergincu merahnya. Iya, Seungwoo benar. Ia cantik sekali.

“Sama-sama, Youn. Eh, sebentar. Gue lupa!” Seungwoo menepuk dahinya, kemudian mengambil selotip besar dari laci meja.

Seungyoun menatap heran. “Kenapa?”

“Oke ... jadi gini. Lo kan habis ini harus pake baju. Terus lo bakal pake boots tinggi yang nyampe paha.”

“Iya.”

“Nah, terus kaki lo kan berarti nggak pake celana.”

“Hu-um.”

“Jadi ... lo harus tucking.”

Roda-roda di pikiran Seungyoun berhenti. Oh, iya, ia juga harus tucking. Alias menyembunyikan penisnya sendiri dengan selotip dan pantyhose agar terlihat rata seperti selangkangan wanita.

“Oh ... oke ... gue tau sih caranya,” balas Seungyoun canggung, “tapi gue pastiin, ini gue selotip melingkar ke ... belakang, kan? Jadi gue—lewat—lewat sela-sela kaki gitu?”

Seungwoo mengangguk. “Yup. Nggak usah terlalu kenceng soalnya toh bakal ketutupan pantyhose. Tapi—uh, jangan lupa buat, you know, testikelnya dipindah dulu. Ngerti kan maksud gue?”

“Iya, ngerti kok.” Tuhan. Ini canggung sekali.

“Lo udah cukur kan?”

“Udah.”

“Oke. Nih, ini medical tape kok. Gak sakit ... kalo lo bener pakenya,” ucap Seungwoo sambil menyerahkan selotip di tangannya.

“Woo! Jangan nakut-nakutin gue!” seru Seungyoun. “Gue ke mana, nih?”

“Gue tinggal di sini aja. Goodluck, kalo bingung teriak aja.”

Seungyoun bisa merasakan wajahnya memanas. “Oke.”

Seungwoo pun keluar, menyisakan Seungyoun sendiri. Ia pun membuka kemeja dan celananya, kemudian mulai mempraktekkan apa yang telah ia pelajari.

Ternyata lumayan sulit, namun akhirnya ia sukses melakukan tucking. Rasanya agak aneh, namun tidak sakit. Ia pun memakai dalaman kemudian melapisinya dengan pantyhose berwarna kulit.

Ia melihat dirinya. Bagus. Rata. Seperti wanita.

“Seungyoun, udah selesai belum?”

“Udah!”

Pintu terbuka dan Seungwoo kembali masuk. Pemuda itu menghentikan langkahnya, lalu berseru. “Katanya udah selesai!”

Seungyoun mengernyit. “Ya, emang udah!”

“Lo belum pake baju!”

Keadaannya sekarang memang masih telanjang dada—dengan tato yang terpampang jelas—namun sudah memakai pantyhose. Sudah selesai, kan?

Seungwoo melempar sweater hitam berukuran besar yang bertuliskan BOYS WHATEVER CATS FOREVER ke arahnya. “Pake buruan!” katanya sambil merengut.

“Iya, iya!”

Dengan cepat dan berhati-hati agar wig dan make up-nya tidak terkena, Seungyoun pun segera memakai sweater yang panjangnya mencapai pahanya itu. Kemudian ia mengenakan rok pendek yang berwarna hitam pula.

Sebagai langkah terakhir, ia dibantu Seungwoo memakai boots kulit yang mencapai paha. Seungyoun pernah memakai sepatu hak tinggi, namun itu tebal. Ini berbeda—haknya lancip dan kecil, membuat kakinya benar-benar berjinjit. Seungwoo menuntunnya untuk beberapa saat, melatihnya untuk berjalan.

Setelah ia cukup menguasai diri untuk berjalan sendiri, mereka pun berjalan ke luar dan bersiap untuk pergi.

“Lo setuju kan kita ke bar aja?” tanya Seungwoo sambil mengenakan loafers-nya. Ia tidak merias diri hari ini, cukup mengenakan kemeja satin dan celana bahan yang membuat dirinya terlihat menawan. Tatonya terlihat dari balik kerah, menambah kesan seksi.

Seungyoun mengangguk. “Yup. Hangyul sama Jinhyuk nanti ke sana.”

Alright. Satu hal lagi, Youn.”

“Apa?”

“Nama lo siapa?”

Ah, iya. Nama drag-nya.

“Gue milih nama Luizy, karena itu pseudonym gue pas masih jadi produser doang. Tapi, setelah dipikir-pikir, gue mau honor lo juga, Woo. Lo bener-bener ngebantu gue.”

“Oke ... jadi?”

“Jadi, gue putusin nama gue Luizy Dynasty. Karena seorang Empress pasti memimpin sebuah dinasti, kan?”

Seungwoo tersenyum lembut. Matanya berkilau kala tatapan mereka bertemu.

Welcome to the world, Luizy Dynasty,” ucapnya.

Seungyoun ikut tersenyum. Luizy Dynasty muncul ke permukaan, dan ia jauh lebih percaya diri serta berani daripada Seungyoun atau Woodz. Luizy Dynasty adalah pribadi yang bangga jadi diri sendiri dan tidak ragu untuk melawan arus. Kali ini, Seungyoun merasa ada bagian dari dirinya yang hidup. Bagian yang selama ini tidak disadari keberadaannya. Bagian dirinya yang begitu cantik luar dalam, lembut namun tegas, dan mempunyai pesona tidak terkira.

Seungwoo mengeluarkan ponselnya. “Youn, walk for me?” tanyanya.

Sure, why not?

Musik kembali bergema dari ponsel Seungwoo seraya ia merekam. Seungyoun pun berjalan dengan percaya diri seiring tempo musik, membuat boots-nya berketuk-ketuk.

Cover girl, Put the bass in your walk! Head to toe, Let your whole body talk!

“Cantik,” ucap Seungwoo setelah ia merekam.

You too, Seungwoo,” balas Seungyoun. Kali ini ia tidak ragu-ragu.

Karena baik Seungyoun atau Luizy Dynasty, dua-duanya sungguh mengagumi Seungwoo.


Mereka berdua menaiki mobil Seungyoun ke bar milik istrinya Priscilla (yang bernama asli Jo Kwon. Ternyata ia sudah berkeluarga juga) yang berlokasi di dekat apartemen Seungwoo. Bar itu inklusif dengan orang dari berbagai kalangan sebagai pelanggan, tanpa memandang status atau golongan apapun.

Sesampainya di sana mereka langsung masuk, disambut oleh penampilan live music yang ternyata sedang diisi oleh Hangyul dan Yohan. Yohan memainkan gitar dan sesekali berharmonisasi, sedangkan Hangyul bernyanyi dengan suara lembutnya. Yohan berada dalam dandanan drag simpel, hanya wig yang dibentuk jadi ponytail dan gaun berwarna cerah.

Seungyoun dan Seungwoo menghampiri meja bundar yang sudah dihuni oleh Wooshin—atau Wooseok—dan Jinhyuk. Kedua orang itu terlihat sedang mengobrol santai. Wooseok kali ini tidak dalam drag seperti Seungwoo, hanya memakai kaus dan celana jeans.

“Hai,” sapa Seungyoun begitu mereka duduk.

Jinhyuk membelalak saat melihatnya. “Gila. Seungwoo, lo beneran kasih dia jampi-jampi, ya?”

“Nggak!” sahut Seungwoo sambil tergelak, “Gue cuma kasih bedak!”

“Tapi Youn, sumpah,” Jinhyuk menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan lembut, “you look really really good.”

Seungyoun tersenyum, menepuk bahu sahabatnya itu. “Makasih. That means so much.”

Wooseok menopang dagu sambil meminum lemonade-nya. “Nama lo siapa, Youn?”

“Luizy Dynasty.”

That’s a nice name. Okay, Luizy, I will buy you a drink,” ucap Wooseok, kemudian benar-benar memanggil pelayan untuk memesan minuman. Seungyoun hanya bisa terkekeh sambil berterima kasih.

Tidak lama kemudian Hangyul dan Yohan selesai tampil dan bergabung bersama mereka. Obrolan kecil dengan berbagai topik terus berlanjut.

“Youn, lo cantik kayak gini,” ujar Hangyul sambil memakan garlic bread yang baru datang.

Seungyoun mengangkat alis. “Emang biasanya gue nggak cantik?”

“Ya, kondisi lo kan biasanya dekil, kurang tidur, koloran ... cantik lo kealingan daki.” Hangyul mencibir, yang disambut jitakan mesra dari Seungyoun.

Yohan terbahak melihat Hangyul yang mengaduh kesakitan. “Lo cakep kok, Youn. Lagian Hangyul juga jarang mandi.”

“Kamu kok nggak mihak aku, sih?!” tukas Hangyul sambil merengut. Yohan hanya mengelus kepalanya dengan gemas.

Beberapa saat kemudian Seungwoo menepuk bahunya. “Panggung kosong, tuh. Mau duet nggak?” tawarnya.

Seungyoun berpikir sebentar. Ia merasa nyaman dan percaya diri dalam tampilan dan suasana sekarang ini. Lagu akan membuat hari ini lengkap untuknya.

“Ayo.”

Mereka pun melangkah berdua ke panggung, memutuskan lagu kemudian mengambil posisi. Seungyoun memegang gitar, sedangkan Seungwoo memegang mikrofon. Di depan Seungyoun ada mikrofon juga, namun dengan stand agar bisa mengakomodasinya selagi memetik gitar.

“Halo, semuanya,” sapa Seungwoo kepada pelanggan di bar tersebut. “Hari ini aku tampil seperti biasa, tapi aku bawa teman. Perkenalkan, Luizy Dynasty.”

Semua orang bertepuk tangan, menyambut Seungyoun dengan antusias. Seungyoun tersenyum simpul, kemudian memperkenalkan dirinya.

“Halo, semuanya. Aku Luizy, dan kali ini aku mau nyumbang satu lagu, boleh?”

Ia disambut dengan anggukan dan seruan setuju. “Semoga menikmati, ya!” ucapnya, lalu mulai bermain gitar.

For a long time after the alarm rings When I woke up late I was worried about Being late again on weekends

Mereka berdua bernyanyi bergantian, sesekali melakukan harmonisasi bersama. Terkadang Seungyoun melirik ke arah Seungwoo, yang dibalas dengan intensitas yang sama.

I'm happy, I'm happy Today is the same as yesterday But I feel a little happier today

Because of you, because of you You might not know how I feel I make a small smile Even for a while Because of you

Kali ini, rasa tenggelam itu kembali, namun tidak menyesakkan. Alih-alih ia merasa lapang dan ringan, presensi Seungwoo menenangkan di sebelahnya. Suara mereka bergaung nyaring di telinganya, menjadi sebuah fokus, seakan suara lainnya lenyap.

I practice my handwriting many times I'll write your name And put it on the pot When I water the plant

I feel like my love will start soon

Lagu pun selesai, dan tepuk tangan kembali mengiringi salam penutup mereka. Seungyoun tersenyum ke arah Seungwoo, dan ia bisa melihat kilau yang memantul di mata pemuda itu.

Sesampainya di meja mereka, ada seorang pria dengan baju kasual bercengkrama dengan yang lain. Ia menyapa Seungwoo dengan sumringah, kemudian menepuk-nepuk bahunya.

“Luizy, ya? Aku Jo Kwon—atau yang biasa kamu kenal sebagai Priscilla,” pria itu—Jo Kwon—menyodorkan tangan, dan Seungyoun langsung menyalaminya.

“Seungyoun saja. Senang bertemu denganmu, aku sangat menikmati personamu di panggung,” ucap Seungyoun.

Jo Kwon tersenyum simpul. “Aku juga sangat menikmati penampilanmu tadi, Seungyoun. Apa kamu musisi full time?

“Iya, tapi masa promosiku sebentar lagi selesai.”

“Hoo, begitu ... sebetulnya aku berpikir, jika kamu sudah tidak sibuk, apakah kamu mau tampil di sini? Tentu saja akan ada bayaran yang memadai.”

Seungyoun mengangkat alisnya. Ini kesempatan yang bagus juga untuk exposure sekalian melepas penat. “Apakah aku mendapat jam kerja tertentu?”

“Tentu saja, namun kamu bisa mengatur harinya. Fleksibel kok, semisal kamu mau seminggu atau dua minggu sekali juga bisa,” jelas Jo Kwon.

“Boleh, sih. Aku akan mengatur jadwalnya dulu, dan mengontakmu kalau sudah selesai, bagaimana?” tanyanya.

Jo Kwon mengangguk. Ia mengeluarkan kartu nama dari saku, kemudian memberikannya pada Seungyoun. “Di situ tertera nomorku, kamu bisa menghubunginya kalau sudah mengambil keputusan. Santai saja, ya, kami akan selalu terbuka untukmu.”

“Siap.”

Setelah menyimpan kartu nama itu, Seungyoun kembali duduk bersama yang lain dan melanjutkan obrolan. Sepertinya ia akan menerima tawaran itu. Lumayan untuk mengisi waktu dan penghasilan tambahan.

Lagipula, ia ingin sering-sering bertemu dengan Seungwoo.


“Makasih udah dianterin, Youn,” kata Seungwoo sambil melepas seatbelt-nya. Mereka sudah sampai di depan apartemen Seungwoo.

Seungyoun mengangguk mantap dari kursi pengemudi sambil menarik rem tangan. “Anytime, Woo.”

“Lo bakal nerima tawaran Jo Kwon, nggak?”

“Hu-um,” Seungyoun menggumam, “kayaknya iya. Seminggu sekali palingan, mumpung gue udah longgar dan banyakan di studio lagi.”

“Lo mau tampil in drag atau biasa aja?”

“Dua-duanya sih.”

Seungwoo tersenyum tipis. “Kalo gitu, misalnya lo mau drag, bilang aja ya? Nanti gue yang dandanin. Sekalian ngajarin lo kalo mau dandan sendiri.”

“Lo baik banget sih,” ujar Seungyoun, ikut tersenyum. Tangannya meremat-remat setir di genggamannya. “Boleh banget. Nanti gue kabarin, ya?”

“Oke, gue tunggu ya.”

“Yup. See you, Woo.”

Seungwoo pun membuka pintu, hendak keluar, namun berhenti dan berbalik. Tanpa peringatan apapun, ia mengusap pipi Seungyoun dengan tangannya—lembut, sentuhannya seringan bulu.

See you, cantik,” katanya singkat, tersenyum jahil lalu langsung keluar mobil.

Seungyoun hanya bisa melongo. Ia meraba pipinya, masih merasakan sentuhan jari lentik Seungwoo di kulitnya tadi. Badannya langsung terasa panas dingin.

Cantik, katanya.

Senyum terpatri di wajah Seungyoun kala ia melihat pantulan dirinya—Luizy Dynasty—di kaca spion.

Benar kata Seungwoo. Kamu cantik, Seungyoun.


buat kana. ♥️


“Aku capek!”

Seungyoun baru sempat membuka pintu, belum merespon sama sekali—namun Jimin sudah menghambur ke dalam dan ambruk ke karpet di lantai.

Kekasihnya itu baru saja pulang dari pekerjaannya di luar negeri. Menjadi artis dengan popularitas selangit memang mempunyai risikonya sendiri. Jam kerja yang padat, proyek yang tidak habis-habis, dan yang paling utama, kesulitan untuk menjalin hubungan dan bertemu pujaan hati.

Sebagai orang dengan profesi yang sama, Seungyoun pun merasakan hal itu juga. Ia belakangan sibuk mempersiapkan album barunya. Maka dari itu, melepas rindu hanya bisa dilakukan lewat layar.

“Kak?” panggilnya kepada sosok yang terkapar bagai orang tewas di lantai. Jimin hanya menggumam pelan tanpa gerakan sedikitpun.

Ia berjongkok di sebelah kekasihnya. “Kak Jim,” ucapnya sambil menepuk-nepuk bahu Jimin, “bangun, lantainya dingin.”

“Nggak mau.”

“Nanti pegel-pegel.”

“Sekarang juga udah pegel.”

Seungyoun menghela napas. Ia mengerti Jimin memang lelah dan ingin segera tidur saja. Namun jika dibiarkan, nanti saat bangun badannya lebih pegal lagi. Selain itu pasti bad mood seharian dan minta dipeluk terus. Bagian peluknya sih, ia tidak akan menolak. Tetapi lebih enak berpelukan dari sekarang di kasur yang nyaman, kan?

Ia mengguncang bahu kekasihnya kali ini. “Kak, bangun ...”

Jimin hanya melirik ke arahnya sambil mendengus. “Aku bentar lagi tidur ini, Youn.”

Oke. Waktunya memakai jurus andalan.

Seungyoun mengerucutkan bibirnya, merengut seakan-akan sedang merajuk. “Kalo Kak Jim tidur gak pelukan dong malem ini? Aku kan kangen.”

Jimin mengedip satu kali, dua kali. Kemudian ia tersenyum tipis. “Iya juga ya.”

“Iya kan?! Udah ayo ganti baju lah, kak.”

“Aku gak bawa baju ... “

“Dipikir di sini nggak ada baju punya kakak?”

“Oh iya ... “

Jimin akhirnya bangkit perlahan-lahan seperti orang tua yang lemah otot. Ia meregangkan badan sejenak, kemudian langsung berjalan ke arah kamar mandi. Ya, setelah sekian lama berkunjung ke sini, rumah ini serasa milik sendiri.

Ia menerima handuk yang disodorkan Seungyoun, kemudian masuk ke kamar mandi.

“Youn?” panggilnya sebelum menutup pintu.

Seungyoun menoleh. “Iya, kak?”

“Nggak mau gabung?”

Kaus dan celana bersih menimpa muka Jimin. Pelakunya tentu saja Seungyoun yang sudah merona merah seperti udang rebus.

“Sakit!”

“Aku udah mandi!” pekik Seungyoun, alisnya menukik tajam.

Jimin hanya terkekeh, kemudian langsung menutup pintu.

Senyuman kecil mengembang di wajah Seungyoun. Masa rindunya selesai hari ini. Ia bisa berpelukan dengan nyaman lagi di rumah sampai pagi.

Setelah selesai bebersih, Jimin langsung bergabung dengan Seungyoun di tempat tidur dengan selimut lembut. Ia memposisikan diri agar Seungyoun bisa menempatkan kepala di ceruk lehernya.

Tangan Seungyoun melingkar di pinggang kekasihnya itu. Ia bernapas dengan pelan, menghirup aroma kelapa dan bunga mimosa dari sabun yang barusan dipakai.

“Kak Jim,” gumamnya.

“Ya?”

“Kangen.”

Jimin tertawa pelan, dan saat melirik ke atas Seungyoun bisa melihat matanya menyipit membentuk bulan sabit. Ah, paras favoritnya. Senyuman yang selama ini hanya bisa ia lihat secara virtual kini nyata di hadapannya.

“Aku kangen juga, Youn,” balas Jimin sambil mengecup puncak kepala Seungyoun penuh sayang. Jari-jarinya meniti helai rambut Seungyoun yang baru diwarnai.

“Besok-besok aku udah free, kok,” lanjutnya.

Seungyoun tersenyum lebar, mengeratkan pelukannya. “Oke,” jawabnya singkat.

“Oke doang?” tanya Jimin geli. “Udah ngantuk ya?”

“Tadi Kak Jim juga ngantuk!”

“Iya, iya.”

Mereka terdiam untuk beberapa saat. Seungyoun bisa merasakan kelopak matanya semakin berat. Rasa hangat dari rengkuhan kekasihnya membuat kantuk semakin cepat melanda.

“Kak Jim?” cicitnya.

“Hm?”

“Nyanyiin lullaby boleh nggak?”

Kecupan kembali mendarat di kepalanya. “Boleh, dong.”

Jimin pun mulai bersenandung pelan, menyanyikan Promise dengan suara lembut dan agak serak. Menidurkan Seungyoun dan mengantarkannya ke alam mimpi.

I want you to be your light, baby, you should be your light,

So you won’t hurt anymore, so you can smile more,

I want you to be your night, baby, you could be your night,

I’ll be honest with you tonight.


Seungyoun membuka matanya perlahan, beradaptasi dengan cahaya yang masuk dari sela-sela tirai. Ia merasakan presensi orang di sebelahnya, sempat bingung sesaat—kemudian tersadar bahwa itu Jimin yang masih tertidur pulas. Rengkuhannya masih sama erat, sih. Seperti takut Seungyoun akan hilang.

Beberapa saat kemudian Jimin ikut terbangun. Ia tersenyum lembut, terdiam seribu kata sambil menatap pujaan hatinya. Wajahnya begitu polos karena baru bangun tidur, disertai rambut yang mencuat kesana kemari dan mata yang membentuk garis.

“Aku gak nyadar aku tidur,” ucap Seungyoun pelan sambil nyengir.

Jimin mendengus. “Ya jelas. Aku baru buka mulut kamu udah gak sadar.”

“Aku jadi gak denger Kak Jim nyanyi, tau.”

“Ya, terus?”

Cengiran Seungyoun kian lebar. “Nyanyi lagi, dong!”

“Youn, aku baru bangun ... “

“Tapi aku kan gak denger!”

“Ya salah sendiri langsung tidur!”

Pagi itu dihabiskan dengan perang bantal dan gulat macam WWE—namun juga diiringi kecupan dan pelukan yang manis.

Dunia selalu berputar, dan Jimin serta Seungyoun adalah orang yang harus selalu mengikuti kencangnya rotasi. Namun pagi ini dan beberapa hari ke depan nampaknya akan berbeda. Karena mereka bisa melepas rindu dan melupakan eksistensi waktu.

fin.

A/N: gue sebetulnya ragu-ragu mau pake hips don’t lie atau nggak. tapi di pikiran gue udah pas banget, maka jadilah. maaf kalo agak cringe ya huhuhu. semoga gak cultural appropriation juga karena ada belly dancing. tolong koreksi gue kalau salah yaaw.

selamat membaca!


Beberapa minggu sudah berlalu sejak Seungyoun mengunjungi klub malam itu untuk pertama kali. Setiap dua kali seminggu Hangyul dan Jinhyuk menariknya ikut menonton penampilan drag queen yang tidak akan membuat bosan. Sebetulnya ia tidak ditarik juga, karena dirinya sendiri ingin menonton lagi dan lagi.

Malam ini pun tidak jauh berbeda. Setelah siang hari yang penuh kesibukan karena promosi musiknya, ia menanti malam untuk melepas letih. Menjadi penonton yang menikmati panggung gemerlapan.

Setelah memarkirkan mobilnya di lot Seungyoun langsung memasuki klub yang telah ia hafal itu. Kedua sahabatnya tidak perlu mengarahkannya lagi, karena tempat ini sudah familiar.

Lampu yang berkelip dan lagu ber-bass tinggi langsung menyapanya saat melangkah ke dalam. Ia melewati orang-orang yang sedang asyik berdansa dan bercengkrama, menuju meja bar yang sudah dihuni banyak orang. Segelas scotch menjadi pilihannya untuk malam ini. Rasa hangat yang pas untuk kerongkongannya yang kering.

Cointreau, ya,” ucap Hangyul kepada bartender seraya duduk di sebelahnya.

Seungyoun melirik sahabatnya itu. Ah, kurang satu.

“Jinhyuk mana?”

“Cari parkir. Gue bareng dia tadi.”

“Ooh.”

Ponsel Seungyoun bergetar di sakunya. Ia melihat notifikasi yang muncul, mengira itu dari Jinhyuk atau temannya yang lain. Tetapi tidak, pesan yang baru masuk adalah dari Twitternya. Spesifiknya, dari Empress Han yang harusnya sedang bersiap untuk tampil.

Your Serene Majesty 👑 just saying nanti nggak usah ke panggung. we’re not performing on stage :)

Alis Seungyoun mengerut. Kalau tidak di panggung, tampilnya di mana?

Ah, bodoh. Tentu mereka akan tampil di bawah. Membaur dengan penonton dan mengelilingi ruangan. Pantas saja di depan panggung tidak seramai biasanya.

“Gyul, ini nanti mereka nggak perform di panggung?” tanyanya untuk memastikan.

Hangyul mengangguk. “Mereka ada occasional performance yang fokus ke penonton. Jadinya semacem bikin panggung di tengah kerumunan. Biasanya diumumin lewat sosial medianya Priscilla.”

“Ooh, oke.”

“Kenapa, lo dikasih tau ya sama Dame lo itu?” sahut Jinhyuk yang tadi sudah sampai dan duduk di sebelah mereka.

“Berisik,” cibir Seungyoun, “tapi iya.”

Beberapa saat kemudian, Priscilla melangkah ke atas panggung. Ia mengangkat mikrofonnya, lalu mulai menyapa semua penonton.

“Selamat malam, semuanya! MC favorit kalian—aku, Priscilla Reign, kembali lagi malam ini untuk melempar lelucon dan mengenalkan penampilan anak-anakku.”

Penonton dari segala penjuru menyambut dengan antusias. Priscilla tertawa, kemudian melanjutkan lagi.

“Sudah lama sejak kita melakukan penampilan di tengah penonton—aku yakin kalian juga menantikannya—tapi aku ingatkan, no touching the queens! Alright? Baiklah, tanpa basa-basi lagi, akan kupersembahkan karya malam ini. Please welcome, our queens!

Ladies up in here tonight No fighting We got the refugees up in here (no fighting) No fighting Shakira, Shakira

Tepuk tangan riuh mengiringi lagu Hips Don’t Lie yang mulai mengalun dari speaker. Berbondong-bondong para ratu yang memakai kostum khas showgirl keluar dari pintu dekat panggung ke tengah kerumunan orang.

I never really knew that she could dance like this She make a man wants to speak Spanish ¿Cómo se llama? (Sí), bonita (sí) Mi casa, su casa (Shakira, Shakira)

Seungyoun bisa melihat Empress Han—dengan bodysuit berjumbai-jumbai merah menyala—berlenggak lenggok dengan cepat seperti seseorang yang sedang menari salsa. Bedanya ia tidak berpasangan, hanya menyelip melewati penonton dengan gemulai seperti yang lain.

Oh, baby, when you talk like that You make a woman go mad

Lagu terus berlanjut seraya semua penampil menyebar kesana kemari, menggerakkan pinggul dengan sensual. Lengan mereka melambai pelan, meraba pinggang, merentang ke arah samping, kemudian disatukan di atas kepala.

So be wise (sí) and keep on (sí) Reading the signs of my body (uno, dos, tres, cuatro)

Mereka bergabung di tengah-tengah, membuat lingkaran di tengah kerumunan. Kemudian dengan koreografi yang seirama mereka menarikan bagian chorus. Melangkah ke kanan, kiri, membuat lingkaran kemudian menghadap diri masing-masing, dan berbalik badan.

I'm on tonight You know my hips don't lie (no fighting) And I'm starting to feel it's right All the attraction, the tension Don't you see, baby, this is perfection?

Setelah chorus selesai, mereka kembali menyebar. Seungyoun bisa melihat Empress Han, Bunny Babe dan Wooshin di bagian massa yang berbeda.

Hey, girl, I can see your body moving And it's driving me crazy And I didn't have the slightest idea Until I saw you dancing (yeah)

Bunny Babe langsung menghampiri Hangyul dan menari, sesekali memegang bahu kekasihnya sambil tersenyum lugu. Hangyul sendiri nyengir melihat tingkah polah pasangannya.

Beberapa saat kemudian Bunny Babe pergi, meninggalkan Hangyul dengan tepukan pelan di ujung hidung kekasihnya itu.

Musik pun berlanjut, dan Seungyoun menemukan dirinya ikut berdendang dengan melodi yang cepat. Tak lama kemudian sosok yang ia nanti datang, melangkah dengan sepatu hak yang berkilau.

Baila en la calle de noche Baila en la calle de día

Empress Han berhenti tepat di depannya, lalu menari sambil menatapnya tajam. Bibir merahnya membentuk senyuman tipis. Pinggulnya bergoyang erotis. Bajunya yang terbuka memperlihatkan perutnya yang berbentuk seperti gabungan milik Aphrodite dan Adonis. Sesekali ia berputar, mengibaskan rambut panjang yang menuruni punggungnya.

Rasa tenggelam dalam air itu kembali lagi—kini hanya ada insan di hadapannya, menunjukkan keindahan yang tiada tara. Seungyoun menatap balik, tenggelam dalam sorot mata itu.

I never really knew that she could dance like this She make a man wants to speak Spanish

Ah, persetan.

¿Cómo se llama? Bonita, mi casa, su casa,” ucap Seungyoun tanpa suara, menirukan lirik. Seringai muncul di sudut bibirnya.

Oh baby, when you talk like that—you know you got me hypnotized.” Kini giliran Empress Han yang menyinkronkan mulut dengan lirik lagu. Tangannya turun dari atas kepala, meraba dada, perut, kemudian pahanya sendiri.

So be wise, and keep on reading the signs of my body,” lanjutnya, kemudian berhenti sebentar dari koreografi. Lalu secepat kilat tangannya meraih ke depan dan menggelitik bawah dagu Seungyoun dengan lembut.

Badan Seungyoun langsung kaku seketika. Sebelum ia bisa bereaksi, sentuhan itu langsung menghilang, dan Empress Han pergi dengan kedipan mata yang jahil.

Roda-roda di otaknya berhenti bergerak. Walau hanya sekelebat, sensasinya membekas dan terasa tidak akan hilang. Barulah setelah susah payah menyusun pikirannya kembali ia sepenuhnya sadar.

Sial. Ia benar-benar tenggelam dalam pesona orang itu. Mungkin kali ini tidak ada yang bisa menariknya ke permukaan. Atau, ia memang tidak mau.

Sepanjang bagian bridge dan rap semua penampil berkelompok lagi di tengah, melakukan gerakan seragam yang sama dengan Shakira dalam penampilannya. Belly dance yang ditarikan hampir sama gemulainya dengan penari asli.

Chorus pun mengalun lagi. Kali ini bukan Bunny Babe atau Empress Han yang menghampiri, namun Wooshin.

Ia bisa melihat jelita itu langsung menghampiri Jinhyuk. Mulutnya mengatakan sesuatu—can I sit?—yang disambut anggukan Jinhyuk. Tanpa menunggu lagi Wooshin langsung duduk di pangkuan sahabatnya itu, memegang bahunya sambil bergoyang seksi.

I'm on tonight, my hips don't lie And I'm starting to feel you, boy Come on, let's go, real slow Baby, like this is perfecto (no fighting)

Jinhyuk hanya bisa menatap Wooshin lekat-lekat, badannya kaku seperti Seungyoun tadi. Wooshin sendiri tersenyum sambil menirukan lirik, kemudian meniupkan ciuman manis seraya beranjak dari pangkuan Jinhyuk.

Musik pun berakhir, dan semua penampil berpose kemudian membungkukkan badan. Tepukan tangan mengiringi mereka semua disertai sorakan dan siulan yang tidak kalah riuh.

Seungyoun sendiri sibuk bertepuk tangan sambil tersenyum lebar, sampai ia melihat Jinhyuk yang menatap kosong.

“Hyuk, lo nggak apa-apa? Wooshin nggak macem-macem kan?” tanyanya.

Jinhyuk menghela napas. “Ini gue hidup berdasarkan sheer will doang. Sebetulnya gue udah mati.”

Seungyoun meringis. “That bad?

That bad.

Yah, ia tidak bisa menghibur juga, sih. Karena keadaannya masih sama. Masih tidak bisa pulih dari keindahan yang tadi berada di depan matanya.

Oh, iya. Mereka kan sudah membuat janji untuk bertemu. Entah bagaimana caranya agar Seungyoun bisa menatap Empress Han setelah ini. Sepertinya ia akan langsung mendidih di tempat.


“Nunggu lama, ya?”

“Ah, nggak. Gue kan juga nyantai dari tadi.”

Empress Han—atau kini Seungwoo, duduk di samping Seungyoun masih dengan pakaian lengkap. Rambutnya membingkai wajah dan jatuh menyusuri bahu serta punggung. Namun, ia memakai mantel panjang berwarna hitam di luarnya. Mungkin untuk menangkal dinginnya klub.

Ia sendiri berada di sisi lain dari tempatnya tadi agar tidak diganggu Hangyul dan Jinhyuk. Lepas dari mereka saja sulit. Berbagai tuduhan dilayangkan kepadanya—mau hook up, tebar pesona, dan hal-hal lainnya. Dasar manusia-manusia bejat.

“Gue kayak lagi mau transaksi sama kartel,” ucap Seungyoun setelah melihat tampilan Seungwoo.

Orang di depannya tergelak. Suara tawanya ringan dan memikat. Menarik sekali. Matanya juga menyipit sampai berbentuk eye-smile yang manis.

Well, aren’t you?” tanya Seungwoo balik, kemudian memesan kepada bartender. “Gue yang biasa ya. Lo mau minum apa, Seungyoun?”

Scotch on the rocks. Lo beneran traktir gue nih?”

“Iya lah. Gue udah macem-macem depan lo tadi, anggap aja ini permintaan maaf.”

Seungyoun memutar bola matanya. “Kan guenya juga nggak nolak.”

Still. Pas tampil gue sih percaya diri aja. Sebetulnya sekarang gue malu,” balas Seungwoo sambil nyengir.

“Lo aja malu, gimana gue. Tadi gue jadi patung lagi.” Seungyoun meneguk minumannya, melepas dahaga yang sedari tadi bersarang di kerongkongan.

“Iya juga.”

Beberapa saat setelahnya dihabiskan mereka berdua dengan mengobrol dari topik satu ke topik lainnya. Mulai dari Seungwoo yang sudah mendengarkan musik Seungyoun dari karya-karyanya di Soundcloud, aesthetic drag Seungwoo yang mengambil inspirasi dari kerajaan Asia Timur, sampai proses produksi single POOL kemarin.

Seiring mereka bercengkrama, Seungyoun jadi tahu bahwa Seungwoo biasanya bekerja sebagai koki di bistro yang ramai saat siang hari. Kemudian saat shift-nya berakhir barulah ia pergi ke klub untuk tampil. Sebagai profesi dari rumah, Seungwoo juga merupakan desainer untuk kostum-kostum pentas. Kostum milik Wooshin dan Bunny Babe pun ia bantu dalam rancangannya.

Seungyoun juga menceritakan kisahnya sendiri—awalnya berminat dalam musik sedari masih sekolah menengah, lalu mulai membuat cover di kamar tidurnya semasa kuliah. Selain itu ia juga pernah ikut konser penyanyi R&B favoritnya sebagai artis pembuka, dan akhirnya bisa membangun reputasi sebagai artis independen yang punya banyak melodi.

Soal pendidikan, Seungwoo sendiri juga sudah lulus kuliah jurusan tata busana. Maka dari itu ia masuk ke dunia belakang panggung. Drag sendiri salah satunya ia lakukan karena kegemarannya membuat suatu karya seni dengan diri sendiri sebagai kanvas.

Dari cara Seungwoo bercerita, Seungyoun tahu bahwa ada hal lain yang membuatnya terjun ke dunia pentas ini. Mungkin baik, mungkin juga buruk. Tetapi ia melihat juga kesungguhan Seungwoo dalam menjalani pentas demi pentas. Karena seni memang tempat untuk mengekspresikan diri, walaupun tidak benar-benar menjadi pribadi yang hakiki.

Seungwoo meminum martini keduanya, lalu bertanya. “Apa yang bikin lo tertarik sama drag, Seungyoun?”

“Hmm, apa ya.” Seungyoun bergumam, mencoba menyusun kata-kata, “sebagai queer, gue selalu kagum sama hal-hal yang bisa dibuat. Kayak, apa ya—itu efek membebaskan diri dalam satu aspek nggak, sih? Sebagai orang yang nggak ikut kodrat dari masyarakat, keterbukaan buat explore banyak hal juga tumbuh, gitu.”

“Betul, betul.”

“Nah, gue pertama kali liatnya itu drag king di Pride beberapa tahun lalu. Keren banget sih, soalnya baru pertama kali gue liat penampilan yang all out dan khas masing-masing pribadi banget. Udah kayak musik aja, setiap orang ada warnanya.”

Seungwoo mengangguk. “Gue juga pertama kali liat queens di klub. Terus kan selain fishy queens yang beneran mirip cewek, ada juga yang mencolok banget gitu sampe keliatan kayak lukisan hidup. Gue suka dari situnya, sih. Terserah mau jadi mirip perempuan, atau kayak lukisan perempuan. Hal yang penting adalah ekspresi lo itu bisa memuaskan jiwa lo sendiri.”

“Gue tertarik banget sih buat cobain drag kapan-kapan. Apalagi habis liat lo ... dan yang lain,” ujar Seungyoun.

Terutama lo, Seungwoo.

Mata Seungwoo kembali menyipit seraya ia tersenyum. “Kalo gitu, mau coba sama gue nggak, kapan-kapan?”

Drag, gitu? Nggak ah, lo sibuk.”

“Kalo sore gue longgar, kok. Misalnya lo lagi nggak ada gig, kita bisa janjian, dan gue bisa bantu lo menemukan persona tersembunyi lo,” balasnya sambil terkekeh.

Seungyoun membelalak. Seungwoo terdengar sungguh-sungguh. Memang dirinya sudah ingin mencoba drag sejak lama. Ia sendiri menganggap dirinya cantik baik sebagai pria atau wanita, namun drag? Itu adalah level lain yang ingin dicapainya suatu waktu.

Dan fakta bahwa Seungwoo ingin membantu mewujudkannya sangat berarti.

“Serius lo?”

“Iya, serius. Nanti dari make up sampe wig dan pakaian bisa gue pinjemin dulu. Eh, tapi nanti kalo fans dan media ngeliat lo gimana? Kalo diberitain macem-macem kan nggak lucu.”

“Gue kan artis independen, jadi yang kena batunya gue sendiri. Lagian gue udah openly queer dari dulu kok, udah biasa sama persekusi.”

“Sama, sih.”

Sorot mata Seungwoo agak meredup. Hanya sekejap, namun Seungyoun menangkapnya. Ia hanya diam. Semua orang mempunyai ceritanya sendiri.

Cerita malam ini mungkin hanya permukaan. Ia tidak tahu apakah ia bisa mencapai dasar lautan Seungwoo yang terlihat dalam. Namun, tidak apa-apa. Untuknya, sekedar mengobrol dan ditawarin untuk makeover saja sudah cukup.

Cukup untuk mengetahui bahwa Seungwoo juga manusia yang berusaha bertahan di dunia. Sama seperti dirinya.

“Ya udah, kalo gitu nanti gue kabarin pas gue kosong, terus kita bisa ketemuan? Tempat lo deket nggak dari sini?” tanyanya.

“Deket, kok. Nanti kalo udah bikin janji, gue kasih tau.”

Alright. Seungwoo, makasih banyak udah mau bantuin mewujudkan impian gak berguna gue.”

Seungwoo kembali tertawa renyah. Suara yang menjadi familiar di telinga Seungyoun setelah mengobrol dari tadi. Tidak ada komplain, sih. Ia suka mendengarnya.

“Jangan gitu ah! Drag tuh kayak sihir, tau. Percaya sama gue.”

“Iya, gue percaya.”

Seungyoun ikut tertawa kali ini. Matanya mengerling ke arah jelita dengan riasan yang sempurna seperti biasa. Ah, ia jadi tidak sabar. Jadwalnya harus langsung ia tata setelah ini agar bisa membuat janji.

“Eh, gue belum cerita pertama kali gue perform di sini tuh gimana, ya?” tanya Seungwoo, matanya berkilau terkena cahaya dari lampu bar.

Senyuman mengembang di bibir Seungyoun. “Belum. Gimana, tuh?”

Sepertinya ia butuh segelas scotch lagi. Untuk menemani malam bersama insan yang mempunyai sejuta kisah dari berbagai hari. Tidak apa-apa. Ia juga punya banyak cerita untuk setelah ini.

Seungyoun mengenakan kemeja berwarna beige dan memadukannya dengan celana bahan serta loafers nyaman. Ia kemudian berangkat menggunakan mobilnya menuju ke alamat yang telah diberi Hangyul dan Jinhyuk tadi.

Sambil bersenandung ia menderu melalui jalanan malam, hatinya ringan karena musiknya yang sudah rilis. Setelah melalui proses yang panjang tanpa tidur ditemani bergelas-gelas kopi, akhirnya selesai. Seungyoun merasa ini salah satu karyanya yang paling berharga. Selain karena artinya yang dalam, ia juga sangat menikmati proses pembuatannya.

Setelah parkir, ia menuju pintu masuk klub dan memberitahu kawan-kawannya bahwa ia sudah sampai. Tidak lama kemudian, dua sosok pemuda keluar dari klub dan menghampirinya.

“Kok kalian masuk duluan sih?” tanya Seungyoun sambil bersungut-sungut.

Jinhyuk mendengus, menepuk bahunya. “Makanya jangan terlalu lama siap-siap! Lo masih trance gara-gara baru rilis lagu ya?”

“Atau lo nyasar lagi? Udah berapa lama ngurung diri di studio?” tanya Hangyul jahil saat Seungyoun menunjukkan tanda pengenalnya ke bouncer.

Seungyoun memutar bola matanya. “Gue gak lama. Lo berdua aja yang kecepetan. Lagian kenapa kita ke klub ini, sih? Biasanya kalian lebih demen yang dua blok dari apartemen Jinhyuk itu, yang birnya asem.”

Kedua temannya itu terbahak. “Karena gue mau ketemu pacar gue,” jawab Hangyul enteng.

“Lo punya pacar?” tanya Seungyoun dan Jinhyuk bersamaan, mata keduanya membelalak.

Hangyul mengernyit. “Emang gue nggak pernah cerita ya?”

“Nggak, bodoh,” tukas Seungyoun.

“Temen beneran bukan sih, lo?” timpal Jinhyuk sambil menempeleng kepala sahabatnya itu dengan lembut.

“Ah kalian aja yang nggak dengerin gue kalo ngomong.”

“Ngeles banget lo.”

“Berisik.”

Mereka bertiga pun menuju ke bar, memesan minuman untuk melonggarkan pikiran. Seraya bercengkrama tentang beberapa hal—pekerjaan Jinhyuk, lagu baru Seungyoun, sampai mencecar Hangyul tentang pacarnya (lagi).

Seungyoun meminum Hennessy-nya sambil melihat sekeliling. Matanya mengerling ke kanan dan kiri, menatap orang-orang yang berkumpul satu sama lain dan panggung kosong yang dikerubungi penonton.

“Eh, Gyul, nanti yang mau perform di panggung siapa? Gue gak liat peralatan DJ,” tanyanya.

Hangyul mengangguk ke arah panggung. “Iya, nanti pacar gue yang perform. Sama temen-temennya.”

“Ngapain, nari?” Jinhyuk mengangkat alisnya.

“Salah satunya.”

“Terus ngapain lagi?”

“Macem-macem. Soalnya mereka drag queen, kan, jadi ada banyak tipe performance-nya.”

Seungyoun menoleh ke arah sahabatnya itu. “Drag queen tampil juga di sini?”

Hangyul mengangguk. “Iya, kan klub ini famous gara-gara drag queen-nya. Pacar gue udah mau perform nih, yuk, gue mau nyosor ke depan.”

Dengan itu, Hangyul beranjak dari duduknya, diikuti Seungyoun dan Jinhyuk. Penonton sudah semakin ramai, mungkin tujuan semua orang memang untuk menonton penampilan para drag queen. Mudah untuk mencapai barisan depan karena Hangyul yang menjadi buldozer.

Sesaat kemudian lampu panggung menyala lebih terang, dan seseorang dengan wig besar dari bunga-bunga serta jumpsuit berwarna-warni berjalan ke atas panggung. Riasannya mencolok dengan bibir yang dipulas melebihi garisnya. Ia memakai sepatu hak tinggi.

“Selamat malam, semuanya!” serunya dengan mikrofon, disambut meriah penonton yang penuh energi.

Ia tertawa kecil. “Ramai seperti biasanya, ya? Kembali lagi bersama ratu favorit kalian—ah, aku akan dibantah anak-anakku—anyway, favorit kalian, Priscilla Reign!”

Sorakan kembali terdengar dari penonton, bahkan ada yang mengelu-elukan namanya.

“Priscilla!”

“Priscilla!”

“Ah, kalian membuatku malu,” kata Priscilla sambil tertawa renyah. “Seperti biasanya, aku akan menjadi pembawa acara malam ini, membawa satu persatu anak-anakku ke panggung. Pastikan kalian siap, oke? Nggak boleh ke toilet lho, ya!”

Seungyoun tersenyum tipis. Walaupun dirinya membebaskan diri dari belenggu masyarakat terkait seksualitas, karir musiknya sangat menyita waktu. Ia jadi tidak bisa menjelajah hal-hal menarik seperti ini. Rasa penasaran menguar dari dalam, tidak sabar ingin melihat penampilan-penampilan unik yang akan disuguhkan. Melihat ekspresi dan seni yang jarang dijumpai.

Priscilla tersenyum lebar, lalu melanjutkan, “Ya sudah, tanpa berbasa-basi, akan aku kenalkan penampilan pembuka malam ini. Give it up for your mistress, your favorite dominatrix... Wooshin!”

Penonton menyambut dengan riuh saat lampu panggung berfokus ke arah tengah. Kemudian semakin ribut saat seseorang muncul dari balik panggung, berjalan pelan.

Orang itu memakai leather bodysuit hitam dengan belahan dada rendah serta bagian bawah yang mengekspos pahanya. Kaki jenjangnya dibalut stiletto kulit yang mencapai paha. Lengannya sendiri mengenakan sarung tangan kulit yang senada. Ia membawa cambuk (sepertinya asli) di tangan kanan.

Riasan orang itu tegas dengan bibir merah merona. Rambut palsu berwarna cokelat tua jatuh sampai ke bahu.

Lagu Earned It mengalun dari speaker, dan ia mulai bergerak dengan erotis. Sesekali penonton dibuat terkejut saat ia menggerakkan cambuknya, membuat suara keras saat tali itu bertemu dengan lantai. Mulutnya mengucap lirik tanpa suara disertai tatapan mata yang tajam dan galak. Ia berlenggak-lenggok dengan angkuh.

Setelah beberapa saat penampilannya selesai, diakhiri dengan satu tamparan cambuk terakhir. Ia tersenyum miring, kemudian keluar panggung dengan hak yang berketuk-ketuk.

Penonton semakin berenergi setelah penampilan Wooshin selesai. Seungyoun sendiri terpana, ia sampai berdebar. Sang dominatrix benar-benar menguasai panggung, membuat perhatian semua orang tertuju padanya. Menjadi pusat perhatian hanya dengan sorot mata yang berlapis kohl. Namun, selain Seungyoun, ada yang lebih terpana darinya.

“Wow—eh, sakit!” pekik Seungyoun saat rasa sakit membara di lengannya. Pelakunya adalah Jinhyuk, yang mencengkeram dengan erat sampai buku-buku jarinya memutih.

Ia melepas tangan Jinhyuk dengan paksa sambil merintih. “Apaan, sih?!”

“Gila,” seru Jinhyuk, “gue gila.”

Hangyul menoleh ke arah mereka. “Kenapa, Hyuk?”

“Yang barusan—si Wooshin itu,” Jinhyuk menelan ludah, “sumpah, gue pengen cambuk itu mendarat di punggung gue.”

“Nyesel gue nanya,” keluh Hangyul, kemudian kembali menatap panggung.

Seungyoun mengernyitkan wajahnya. “Baru mulai, udah horny aja.”

Jinhyuk menggeleng. “Nggak! Ini beda. Sumpah, gue whipped banget. No pun intended.”

Belum sempat Seungyoun menjawab, seruan riuh dari penonton sudah terdengar lagi. Priscilla kembali mengenalkan beberapa drag queen yang menampilkan tarian, nyanyian serta akrobat andalan mereka. Mulai dari Ren yang menyanyi country, MJ dengan lelucon yang membuat semua orang tergelak, sampai selingan dari Priscilla sendiri—semacam ted talk, namun dengan bumbu komedi.

Rasanya sudah lama Seungyoun tidak merasa se-terhibur ini. Memang kegiatannya hanya berkisar antara studio, kamar dan dapur, namun dalam acara publik pun ia jarang menemukan orang-orang yang begitu bertalenta dalam berbagai bidang. Visual menggugah disertai hiburan yang meriah.

“Oke, karena aku sudah terlalu banyak bicara, mari kita kenalkan penampil berikutnya, ya?” Priscilla mengedipkan mata, kemudian langsung berbicara lagi. “Kali ini, bukan maskot Playboy, tapi dia kelinci yang siap menggoda... give it up for none other than Bunny Babe!”

Hangyul berseru sangat keras sampai telinga Seungyoun pekak. Ia berbalik dan menunjuk panggung dengan antusias.

“Pacar gue! Kalian harus liat!”

“Iya, Gyul, kita liat,” balas Seungyoun sambil mengalihkan matanya ke arah panggung lagi.

Intro dari lagu Primadonna bergaung di ruangan. Sinar lampu memusatkan diri ke arah tengah lagi, kali ini berwarna merah muda. Seseorang sudah berdiri di sana—Bunny Babe, dengan riasan manis dan bulu mata lentik serta hiasan berbentuk hati berwarna hitam di bawah mata. Ia memakai wig platinum blonde dengan bandana serta gaun pendek berwarna merah muda. Matanya berkedip genit seraya ia berjalan dengan sepatu hak tinggi ala ratu kecantikan.

Ia berpura-pura bernyanyi menggunakan mikrofon di tangannya, bergaya dan bergoyang layaknya penyanyi sungguhan. Pada akhir lagu, ia menghampiri Hangyul yang menyambutnya dengan heboh, kemudian melemparkan ciuman manis.

Penampilan Bunny Babe selesai. Seungyoun dan Jinhyuk bertepuk tangan, sedangkan Hangyul bersorak begitu kencang sampai keduanya merasa malu.

“Pacar gue! Liat, kan?! Manis banget, kan?!”

“Iya, Gyul. Manis.”

“Gue beneran!”

“Iya, kita tau.”

Hangyul mendengus. “Lo ngomong kayak gitu berasa tadi nggak kagum sama Wooshin aja, Hyuk.”

“Ya, kan udah lewat! Gue kan gak hobi teriak-teriak kayak lo. Emangnya gue monyet?” semprot Jinhyuk, tangannya terlipat di dada.

“Heh, udah, udah,” lerai Seungyoun lelah. Terkadang dua sahabatnya ini tidak tahu tempat saat mau berkelahi. Ah, tidak. Ulang. Dua sahabatnya selalu tidak tahu tempat.

“Lo samperin dia ke backstage gih, puja puji sampe puas,” ucap Jinhyuk sambil menganggukkan kepala ke arah panggung.

“Abis ini aja. Soalnya mereka ada performance penutupan dulu.”

“Ooh.”

Hangyul menyeringai. “Mau ikut, Hyuk?”

“Mau lah,” sambar Jinhyuk, “belum puas gue liat Wooshin. Tapi kayaknya gue gak worthy di mata dia.”

“Ya emang.”

“Heh!”

Seungyoun memutuskan untuk mengabaikan pertengkaran tidak bermutu kedua orang itu dan mengalihkan perhatian kembali ke panggung. Ia melihat Priscilla kembali mengangkat mikrofon dan berbicara.

“Nggak terasa udah larut, ya?” Priscilla tersenyum lebar, “tapi sebelum kalian balik dansa dan minum lagi, ada penampilan terakhir.”

Penonton kembali bersorak riuh, tidak sabar akan penampilan terakhir malam ini. Seungyoun bisa mendengar nama yang diserukan ke arah panggung.

“Empress Han!”

“Empress Han!”

Priscilla terkikik geli. “Ah, kalian membuat kejutannya jadi nggak seru. Ya sudah, karena kalian sudah tidak sabar, aku akan langsung kenalkan. She’s beauty, she’s grace, she’s Your Serene Majesty ... please welcome Empress Han!”

Seungyoun hendak bertepuk tangan, namun tertegun saat melodi lagu yang familiar menyapa indra pendengarannya. Ia menajamkan telinga, mencoba memastikan bahwa ia tidak berhalusinasi.

Ini kan ... lagunya sendiri?

Otaknya seakan berhenti bekerja saat ia melihat sosok yang berada di tengah panggung. Ratu-ratu yang tadi, semuanya memang rupawan dan menarik. Sosok yang ini pun sama.

Namun jantung Seungyoun berdebar lebih cepat dari saat tadi. Irama lagu miliknya benar-benar nyata di telinga.

Jelita di panggung itu tinggi semampai dengan kaki jenjang. Rambut panjang hitamnya jatuh dengan elegan ke punggung, membingkai wajahnya yang dipulas riasan nuansa merah ditambah ornamen di dahinya.

Empress Han mengenakan kimono besar yang melorot ke bahunya. Figurnya tertutup, membuatnya terlihat anggun seraya ia berjalan ke depan.

I wish you happiness I’m okay if it’s not me I don’t think I’m good enough for you

Perhatian Seungyoun terpusat kepada insan di depannya seorang. Ia seperti melihat dengan slow motion saat chorus dari lagunya ditirukan oleh bibir merah merona sang Empress.

We’re so different, we’re so different

Empress Han melakukan tarian pelan, memeluk dirinya sendiri seraya berputar.

We’re so different, we’re so different We’re so different, we’re so different

Ia melanjutkan dengan merentangkan tangan, kemudian menyatukannya di atas, dan menurunkannya kembali. Mulutnya terus menirukan lirik—diiringi ekspresi seduktif dengan mata yang menatap tajam.

We're different, we're so different You're right, different It's not who's right or wrong We're on different paths

I know you're gone but you loved me

But if your look was fake, who did I love?

Seluruh panggung dikuasainya, seluruh mata menatap sosoknya. Kimono yang digunakan terseret di lantai, membuat sang Empress terlihat seperti bangsawan yang harus disembah. Semua orang harus tunduk dan merendah.

Termasuk Seungyoun.

I'm dying because of you I can't do anything because of you (You don't miss me, and)

We’re so different, we’re so different

Saat chorus kedua dimulai, ia membuka ikatan di pinggangnya. Penonton bersorak saat kimono itu jatuh ke lantai, menyisakan korset berwarna merah, celana lingerie senada dilengkapi thigh highs berenda merah dan strap.

We’re so different, we’re so different

Empress Han kembali menari dengan gemulai, seluruh badannya bagaikan arus air yang tenang, namun menghanyutkan. Tubuhnya yang diapit korset membentuk figur jam pasir bagai wanita sungguhan.

Selama verse kedua ia menyusuri panggung, berjalan dari sayap kanan ke kiri. Kaki beralas stiletto-nya berketuk-ketuk seiring langkahnya yang lebar.

I wish you happiness It's okay if it's not me

Seungyoun terus mengikuti setiap gerakan sang Empress tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Ia bahkan tidak berani mengedip, takut melewatkan satu momen saja.

I don't think I'm good enough for you

Sampai akhirnya Empress Han menjatuhkan diri ke lantai, bersimpuh dengan kaki melebar dan tangan yang mengelus paha.

We’re so different, we’re so different

Seungyoun menatap lekat setiap detail dari jelita di depannya. Mengukirnya di ingatan seakan ia akan lupa. Ia melihat tato di tangan kiri Empress itu, kemudian beralih ke tulisan di dadanya, leher jenjang, bibir merah, kemudian—

Tatapan mereka bertemu.

Mata cantik sang Empress membelalak dalam sekejap. Untuk sepersekian detik, Seungyoun sendiri membatu. Lagu yang bergaung lenyap seketika, dan kerumunan di sekitarnya menghilang.

Waktu berhenti. Mengunci sorot mata masing-masing. Menenggelamkan dirinya dalam manik gelap yang dibingkai bulu mata.

Momen itu hilang secepat ia datang, membuat Seungyoun merasa seperti muncul lagi ke permukaan air setelah menyelam terlalu lama. Chorus terakhir dan instrumental lagunya mengiringi Empress Han seraya jelita itu merendahkan tubuh, merangkak di lantai dan mendekati penonton. Gerakannya tetap elegan meskipun posisinya seperti itu.

Kemudian di saat terakhir ia kembali menegakkan diri, posisinya bersimpuh. Tangannya menyapu dari bawah, mengusap paha, pinggang dan dadanya dengan sensual.

Empress Han menatap Seungyoun lagi seraya melakukan hal tersebut, senyum miring terpatri di bibirnya. Lalu ia menyatukan tangannya di atas kepala saat lagu berakhir—posisinya seperti sedang diikat.

Seungyoun benar-benar merasa ia telah mati.

Ia kembali merasa ditarik ke bawah air—sesak dan pekat, merengkuh dirinya begitu erat sampai dunia di sekelilingnya sirna. Kini fokusnya hanya lautan di bawah bulu mata lentik itu, tatapan seduktif didampingi senyum tipis yang hanya bisa dilihat olehnya.

Penonton bersorak meriah saat Empress Han beranjak dari posisinya, kemudian membungkuk tanda terima kasih. Ia melempar beberapa ciuman pada audiens di depannya, tersenyum manis dengan mata yang mengerling lembut—sungguh berbeda dari personanya yang tadi.

Jinhyuk menepuk bahunya. “Lagu siapa tuh barusan?” godanya.

“Gila sih Youn, kalo lo nggak terpengaruh berarti lo psikopat,” imbuh Hangyul sambil nyengir.

Seungyoun menghela napas. Pikirannya benar-benar kacau karena penampilan barusan. Seperti mimpi saja rasanya.

“Lo berdua nggak liat gue kaku kayak patung pas dia di panggung?” ia balik bertanya.

“Ya jelas liat. Gue pukul aja lo tetep diem,” balas Jinhyuk, “tapi gue ngerti sih. Mana dia pake lagu lo.”

“Makanya.”

Priscilla berjalan ke tengah panggung dan mengecup pipi sang Empress—tanpa menyentuhnya betulan, tentu saja—kemudian mengangkat mikrofonnya dan angkat suara.

“Penutup yang, as expected, sangat menggairahkan dari yang mulia, ya,” ujarnya sambil tersenyum lebar.

“Namun, sebelum semua ini selesai, aku ingin kalian semua tetap di sini. Setelah ini akan ada satu penampilan lagi, dan aku ingin kita semua ikut, alright?

Penonton langsung setuju dengan riuh, mengangguk dan bersorak sorai.

Priscilla terkekeh. “Oke, sebelum kita mulai, aku hanya ingin bilang satu hal. Untuk semua orang di sini, yang di depan, belakang dan kiri kananku, kalian sudah bertahan di dunia ini sampai sekarang.

“Tidak mudah, karena dunia sangat jahat—apalagi untuk kelompok-kelompok yang masih harus berjuang di sini. Makanya, setelah ini, aku ingin kalian lepas itu semua.

“Bebaskan kalian dari kotak-kotak yang dibuat masyarakat. Kita akan merayakan diri sendiri dengan cinta. Apresiasi jiwa dan badan kalian, cintai apapun dirimu selama lima menit ke depan. Oke?”

Pertanyaan itu disambut dengan antusias. Semua orang mengangguk dan mengangkat jempolnya ke udara.

Good. Now let the music play!

Musik kembali memenuhi ruangan, dan kali ini semua penampil menaiki panggung. Lagu Born This Way memberi energi yang besar, dan kontan membuat semua orang berdendang.

My mama told me when I was young We are all born superstars

She rolled my hair and put my lipstick on In the glass of her boudoir

“There's nothing wrong with loving who you are,” she said, “'cause He made you perfect, babe.”

“So hold your head up girl and you'll go far, Listen to me when I say...”

Semua drag queen yang di panggung menari dengan koreografi ringan—terlihat menarik, karena semuanya terlihat unik dan berbeda dengan visual masing-masing. Wooshin masih memakai bodysuit kulit sambil memegang cambuk. Bunny Babe di sebelahnya tampak kontras dengan gaun merah muda dan koreografi yang lebih berhati-hati karena menghindari cambuk.

Empress Han berada di sisi lain Wooshin, menari sambil tertawa kecil. Matanya menyipit sampai tertutup seluruh bulu matanya. Lucu sekali.

I'm beautiful in my way 'Cause God makes no mistakes I'm on the right track, baby I was born this way

Don't hide yourself in regret Just love yourself and you're set I'm on the right track, baby I was born this way (Born this way)

Seungyoun sendiri bernyanyi di antara kerumunan bersama Jinhyuk dan Hangyul. Ini adalah selebrasi untuk mereka. Mereka yang terkena segregasi, tidak diakui oleh masyarakat. Meskipun ia tidak merasakan persekusi yang berarti, paling tidak, ia bisa merayakan diri sendiri.

Malam ini ia melihat ekspresi seni dan penampilan yang sungguh unik. Berbeda, namun bukan berarti aneh dalam arti buruk. Ia bisa melihat orang-orang menikmati apa yang mereka lakukan, menyukai apa yang ada sebebas-bebasnya.

Hal itu terpatri di wajah semua drag queen di panggung. Pun gerakan badannya. Mereka menerima diri apa adanya, meskipun sedang menjadi pribadi yang berbeda. Itulah yang menjadi pesona.

Mata Seungyoun mengerling ke panggung, melihat salah satu insan yang sedang asyik bergoyang. Tanpa sadar senyum mengembang di wajahnya. Melihat orang itu hidup dalam setiap detik yang berlalu—hidup di masa kini, untuk lima menit saja, tanpa beban akan masa lalu dan masa depan.

No matter gay, straight, or bi Lesbian, transgendered life I'm on the right track baby I was born to survive

No matter black, white or beige Chola or orient made I'm on the right track baby I was born to be brave

Tatapan mereka bertemu lagi. Kali ini, keduanya tersenyum.

Penampilan terakhir itu akhirnya selesai, dan Seungyoun sudah terengah sampai napasnya menderu. Priscilla menyampaikan salam penutup, dan semua penampil membungkukkan badan.

Setelah itu, Seungyoun, Hangyul dan Jinhyuk kembali lagi ke bar dan memesan minum. Sebetulnya Hangyul ingin segera ke belakang panggung untuk bertemu kekasihnya, tetapi dicegah dua sahabatnya yang sudah kehausan.

“Lo udah berapa lama pacaran, Gyul?” tanya Seungyoun setelah menghabiskan minumannya.

“Berapa ya, hm. Lima bulan? Kita sempet on-off gitu, dan nggak ada yang peduli sama anniv-anniv-an. Ya, kurang lebih segitu lah.”

“Ketemu di sini?”

“Nggak, ketemu di Pride. Waktu itu gue bantuin dia jagain stand. Deket dari situ.”

Pride?!” Jinhyuk mendengus. “Pantesan waktu itu lo tiba-tiba ngilang! Gue sama Seungyoun sampe capek nyariin, taunya malah kasmaran.”

Hangyul langsung membantah. “Lah, waktu itu kan gue udah bilang duluan aja!”

“Kapan lo bilang?!”

“Pas—“

“Hangyul?”

Perkataan Hangyul terhenti saat seseorang menghampirinya. Ia langsung tersenyum lebar saat menyadari itu adalah pacarnya sendiri.

“Yohan!” serunya sambil memeluk orang itu—Bunny Babe, masih dengan wig dan riasan lengkap.

“Hai,” balas Bunny Babe—Yohan—dengan manis.

Hangyul mengacak rambut kekasihnya. “Maaf ya gak langsung ke backstage. Aku ditahan sama mereka ini,” ucapnya sambil mengangguk ke arah Seungyoun dan Jinhyuk.

Yohan tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kalian pasti capek abis jamming. Aku kan juga beberes dulu.”

“Iya, sih. Oiya, kenalin. Yohan, ini sohib-sohib bangsat aku, Jinhyuk sama Seungyoun. Guys, Yohan. Pacar gue.”

Yohan menghampiri mereka berdua dan bersalaman. “Hai, gue Bunny Babe yang tadi, tapi panggil aja Yohan. Hangyul sering cerita tentang kalian.”

Seungyoun nyengir. “Bukan yang jelek-jelek kan?”

“Itu sih terserah dia, ya,” balas Yohan sambil melirik jahil ke arah pacarnya. “Tadi gimana penampilannya? Bagus?”

Jinhyuk mengangguk. “Bagus. Kalian semua stage presence-nya besar banget, gue sampe nggak bisa ngalihin perhatian.”

“Apalagi sama Wooshin ya, Hyuk? Eh, sakit woi!” sambar Hangyul, yang langsung dibalas lemparan potongan lemon oleh Jinhyuk.

Yohan mengangkat alisnya. “Oh, lo tertarik sama dia?”

“Nggak!” sanggah Jinhyuk, “Gue cuma ngerasa performance dia keren, itu aja.”

Hangyul dan Seungyoun melihat satu sama lain, lalu memutar bola mata masing-masing. Jinhyuk tidak pernah pandai berbohong. Terdengar dari suaranya yang lebih tinggi dari biasa.

Well, Miss Thing, Wooshin hari ini ada urusan mendesak jadi tadi dia langsung pulang. Tapi lusa lo bisa dateng lagi, dia bakal tampil kok,” ucap Yohan.

“Oh ya?”

“Yep.”

Hanya dengan satu kali lihat saja, Seungyoun tahu Jinhyuk sudah membuat rencana untuk dua hari ke depan. Tidak salah, sih. Ia juga ingin melihat magisnya penampilan ratu-ratu ini lagi.

Spesifiknya sosok yang anggun dan memakai korset berwarna merah.

Sosok yang sedang menghampiri mereka semua.

Tunggu.

“Yohan, kita mau foto buat album Priscilla. Disuruh ke backstage sekarang.”

Tiba-tiba, Empress Han masih dengan korsetnya menepuk bahu Yohan dan berucap. Seungyoun menemukan dirinya membatu lagi. Seakan-akan sekelilingnya lenyap, dan fokusnya hanya pada satu jelita di hadapan.

Yohan mengangguk. “Gue pergi dulu bentar ya. Gyul, kamu duluan aja, aku bawa kunci apart kamu.”

“Oke, sayang.”

Empress Han menoleh sedikit, merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Karena itu, ia dan Seungyoun kembali bertatapan. Oh, Tuhan. Seungyoun tidak akan bosan melihat paras cantik yang ditegaskan oleh riasan mencolok itu. Sungguh rupawan dan terasa tidak nyata. Mungkin ia sedang melihat seorang dewi.

“Ah—” ia berdeham, “Empress Han, right?”

Sang Empress tersenyum lembut. “That’s me. Salam kenal.”

Mereka bersalaman, dan tepat saat Seungyoun menyentuh tangan lentik itu, sengatan listrik seperti menjalar di seluruh tubuhnya. Ia berusaha tetap fokus. Tidak lucu jika pingsan di sini.

“Penampilanmu ... aku nggak bisa berkata-kata,” pujinya, “Pure art. Out of this world.

“Ah, aku jadi malu,” Empress Han terkekeh, “Maaf aku menggunakan lagumu. Aku sangat menyukainya, dan ingin sekali tampil dengan itu.”

Seungyoun menggeleng. “Tidak, justru aku berterima kasih. Kau benar-benar membuat laguku seperti gospel dengan tarian tadi.”

“Terima kasih,” balas jelita di hadapannya. “Aku harus pergi sekarang. It’s nice to meet you, Woodz.”

“Seungyoun saja. It’s been a pleasure meeting you too, Your Majesty,” kata Seungyoun sambil nyengir.

“Seungyoun. Panggil aku Seungwoo saja kalau begitu, ya?”

“Oke, Seungwoo. See you around, then.”

See you.

Dengan itu, Seungwoo pergi dengan Yohan, meninggalkan mereka bertiga. Seungyoun mengerjap pelan, meremat tangannya. Ia tidak percaya baru saja bertemu seseorang yang tadi tampil dengan begitu mempesonanya. Terlebih berkenalan dan mengetahui nama aslinya. Sepertinya ia telah menjadi pahlawan di masa lalu.

“Malah dia yang kenalan duluan,” cibir Jinhyuk. “Gimana, Youn?”

Seungyoun menghela napas. “Pokoknya ... gue bersyukur gue bikin Different.”

“Takdir lagi baik, ya,” ujar Hangyul. “Jadi gimana? Lusa ke sini lagi?”

“Gue sih iya,” ucap Jinhyuk. “Youn, ikut nggak?”

Pikiran Seungyoun masih belum sepenuhnya berjalan normal, tetapi ia tahu apa yang ia inginkan.

Seungwoo. Nama yang indah.

Empress Han juga indah.

Sepertinya tidak perlu dipikirkan pun keputusannya sudah bulat.

“Ikut, lah,” jawabnya dengan mantap.

A/N: karena gue mau uas season, gue bakal nulis ramadhan-friendly short fanfics berdasarkan prompt yang gue generate dari tumblr dengan berbagai pairing okay!! i hope you enjoy <3

Prompt: I’m a bartender and you just came in here without shoes, sat down and ordered a chocolate volcano and idk what the fuck that is and i’m scared to ask

ryeonseungzz ; 2,1k words.


Friday night. Orang-orang selesai berkegiatan dalam satu minggu, dan (akhirnya) mendapat waktu untuk santai. Tempat yang pantas untuk didatangi, tentunya, adalah bar setempat.

Seungwoo mengelap botol alkohol sambil melihat sekeliling bar. Ada kumpulan orang-orang yang sedang bercengkrama di meja bundar, bertemu dengan teman masing-masing. Tepat di sebelahnya ada remaja-remaja yang sepertinya baru puber dan pertama kali pergi ke bar—terlihat dari tatapan mereka yang berkilau penasaran. Lantai dansa terisi insan yang saling menyenggol satu sama lain seraya menggerakkan tubuh senada dengan musik disko yang berdendang, semakin ramai seiring malam yang semakin larut.

Ia mengambil gin dan tonic untuk seorang pria separuh baya yang rutin datang ke sini dan duduk di bagian tengah meja bar. Kemudian menyajikan whiskey sour kepada wanita anggun yang bekerja di perkotaan. Pelanggan di bar ini kebanyakan setia; karena usia tempatnya yang sudah lama dan atmosfernya yang membuat nyaman.

“Nona Sujin, ini untukmu,” ucapnya sambil mendorong gelas dingin berisi alkohol.

“Terima kasih, Seungwoo,” wanita cantik itu tersenyum dengan bibir berbalut gincu merahnya. “Minggu ini full shift lagi?”

Seungwoo mengangguk. “Revisi tesisku udah selesai, jadi paling nggak ada dua minggu sampe aku sleep deprived lagi,” jawabnya sambil terkekeh.

“Oh, baguslah. Takaran bourbon-mu yang paling pas soalnya,” ujar Sujin sambil mengangkat gelasnya, yang dibalas dengan bungkukan sopan tanda terima kasih dari bartender slash mahasiswa tingkat akhir itu.

Ia beralih ke pelanggan selanjutnya yang datang, hendak menyapanya namun agak tertahan karena orang—pemuda—yang baru duduk itu menatapnya dengan tatapan kosong dan nanar. Air mukanya pucat pasi, dan rambutnya acak-acakan seakan ia belum tidur dari kemarin malam.

Ah, Seungwoo jadi nostalgia dirinya tiga hari lalu.

(Minum Americano lima gelas, gemetaran seperti daun di tengah hujan, kemudian pas tidur bermimpi dikejar Bianca Del Rio raksasa.)

“Halo, ada yang mau dipesan?” tanyanya ramah.

Pemuda itu menatapnya tajam, terdiam selama sepersekian detik yang rasanya seperti seabad. Seungwoo tersenyum canggung. Ia bingung, apakah pemuda ini ingin membunuhnya? Jangan-jangan ia adalah hantu dari masa lalunya yang mempunyai dendam kesumat.

Tidak, tidak. Dengan susah payah Seungwoo menghentikan pikirannya yang berkecamuk. Hidupnya bukan kisah horor. Lagian, siapa yang mau dendam dengannya? Untuk berbuat jahat saja tenaganya tidak ada.

“Tuan?” tanyanya lagi setelah keheningan terus melanda.

“Ah, iya,” pemuda itu mengedip, seakan baru tersadar dari lamunannya. Mungkin itu yang terjadi.

Seungwoo baru menyadari pemuda itu mengenakan kaus lusuh dengan noda merah mencurigakan—Ya Tuhan, apa itu darah?!—dan celana jeans kusam dengan noda merah yang lebih banyak lagi. Matanya melirik ke bawah—ia bahkan tidak memakai sepatu. Telanjang kaki.

Perlahan otak Seungwoo menghubungkan ini dan itu, mengeluarkan pemikiran dengan dasar episode Buzzfeed Unsolved tadi malam ...

Astaga!

Pemuda ini adalah pembunuh bayaran! Tidak salah lagi. Sorot mata yang kosong namun tajam di saat yang bersamaan, sikap yang dingin dan baju serampangan disertai noda merah—psikopat. Ia berhadapan dengan seorang maniak!

Tidak, tidak. Seungwoo menghentikan pikirannya lagi. Sepertinya kebanyakan menonton Black Mirror di tengah waktu istirahatnya telah merusak otaknya.

“Aku mau pesan Chocolate Volcano,” tukas pemuda itu.

Hah?

Seungwoo menilik otaknya, menjelajah memori. Sepanjang karirnya di bar tua legendaris ini, tidak pernah ada minuman apapun dengan nama Chocolate Volcano. Mau biasa, mau edisi valentine atau ulang tahun ibunya, tidak ada!

“Um, bisa diulang, Tuan?” tanyanya ragu.

Chocolate Volcano.”

Ia tidak salah dengar. Pesanan ini tidak pernah didengarnya. Nihil. Apakah ini Mandela Effect? Tidak mungkin. Ia sudah hafal menu minuman lebih dari materi kuliahnya.

“Baik, Tuan. Sebentar,” jawabnya, kemudian berbalik badan dan melirik botol minuman yang berjejer. Cognac, Sambuca, Absinthe ... tidak ada yang berbau cokelat dan meledak-ledak. Ini bar, bukan IHOP.

Seungwoo menghampiri rekannya, Wooseok, yang sedang melayani pelanggan di bagian ujung.

“Seok,” panggilnya, dan pemuda itu menoleh.

“Apa?”

“Emangnya kita ada minuman namanya Chocolate Volcano, ya?”

Wooseok mengernyit. “Nggak. Apaan tuh, milkshake?”

Jelas bukan Mandela Effect.

“Nggak tau, tiba-tiba ada yang mesen itu.”

Rekan sesama bartendernya itu menggeleng. “Gak ada minuman pake nama aneh kayak gitu.”

Seungwoo menghela napas panjang. Ia ingin bilang ke pelanggan itu bahwa pesanannya tidak ada di menu—namun pikirannya kembali pada sorot mata tajam dan noda merah.

Ia bergidik. Tidak, ia tidak mau mati hari ini. Kucingnya menunggu di pet shop untuk dijemput nanti.

Dengan pikiran yang berkecamuk ia pun pergi ke dapur belakang, meminta cokelat bubuk pada koki yang memasak makanan ringan di bar. Kemudian ia pergi keluar, menggunakan pengetahuannya akan alkohol untuk menentukan rasa yang pas untuk berpadu dengan cokelat bubuk itu.

Roda-roda di kepalanya berputar. Ayo, Seungwoo, pikir! Kamu kangen kucingmu, kan?

Dengan cekatan tangannya mengambil gelas dan botol Kahlua dan Vodka, kemudian mencampurnya dengan takaran seadanya dan menuangkan cokelat bubuk. Minuman itu langsung berwarna cokelat keabuan seperti air sungai.

Badan Seungwoo melemas. Gagal total. Rasanya sih cukup enak—ia mencicipinya sedikit—namun dengan penampilan seperti ini, rasanya ia akan melihat lebih banyak noda merah setelah menyajikan.

YOLO, suara di kepalanya berbisik—anehnya suara itu mirip Byungchan, teman sejurusannya—mendorongnya untuk nekat saja.

Woodz kucingku tercinta, aku sayang kamu, pikirnya sambil berjalan dengan gelas minuman itu di tangan.

“... Chocolate Volcano-nya, Tuan,” ucapnya sopan sambil menyodorkan gelas tersebut.

Tanpa diduga wajah pemuda itu langsung sumringah, senyuman kecil muncul di sudut bibirnya. “Makasih!” katanya dengan antusias, lalu meminum minumannya.

Seungwoo tersenyum sambil mundur teratur. Ia menyiapkan dirinya untuk kemungkinan terburuk—dibunuh karena minuman oplosan buatannya sendiri. Mati konyol, tergeletak di lantai bar dengan sisa-sisa bubuk cokelat yang tumpah menyedihkan di lengan kemejanya dan noda merah. Kemudian dimakamkan di samping makam kucing pertamanya, Luizy, dengan Byungchan yang membacakan elegi berisi aibnya dari masih pakai popok.

Benar-benar cara yang payah untuk mati. Bukannya ia membayangkan ia akan mati setelah mengungkap kartel besar atau menyelamatkan bumi dari meteor, tetapi ia tidak mau mati karena Chocolate Volcano.

“Kak bartender!” pemuda itu memanggilnya dengan senyum sumringah.

Jantung Seungwoo bertalu-talu. Inilah saatnya. Pokoknya jika ia jadi hantu, yang akan digentayangi duluan adalah Byungchan.

Ia dipanggil kakak, sih. Lucu. Biasanya orang hanya memanggilnya dengan sebutan bartender.

“Iya, Tuan?” tanyanya sambil menghampiri.

“Lagi!”

“Mau tambah lagi?”

“Yep!”

Oke. Sisi positifnya, ia tidak jadi mati hari ini. Kucingnya masih bisa makan mewah dan terhindar dari pelukan mematikan Kak Sunhwa. Beberapa bulan ke depan ia akan tetap lulus kuliah.

Sisi negatifnya, ia perlu membuat minuman jahanam itu sekali lagi. Semoga kali ini warnanya tidak seperti air yang terkena pencemaran.

Seungwoo tidak mengerti lagi. Pemuda itu menambah, berapa, tiga kali? Indra perasanya begitu unik. Namun toleransi alkoholnya terlihat sudah mulai runtuh, karena wajahnya yang merah alih-alih pucat seperti tadi dan obrolannya yang semakin aneh.

Obrolan yang ditujukan pada Seungwoo. Mulai dari anjing corginya yang lucu, teman anehnya—Hangyul?—yang masak nasi sampai gosong, sampai comeback artis kesayangannya.

Sampai akhirnya ia bercerita tentang apa yang membuatnya datang ke bar.

“Kak bartender, masa tadi aku kecelakaan,” ucap pemuda itu sambil merengut.

Seungwoo meletakkan gelas margarita di depan pelanggan lain, kemudian menoleh. “Kecelakaan gimana?”

“Aku kan lagi bikin tugas, ya. Artwork final. Eh, terus cat merahnya kesenggol! Terus tumpah semua ke—ke kanvasku ...” jelasnya sambil berurai air mata.

Ya ampun, dia menangis.

Tetapi paling tidak Seungwoo tahu asal mula noda merah itu.

Mungkin pemuda ini bukan psikopat. Ryan dan Shane sialan.

“Ja—jadi aku kesel, ke sini, terus minum Chocolate Volcano. Enak,” imbuhnya.

“O—oh ...” Seungwoo nyengir, bingung mau merespon apa. “Tapi bisa diperbaikin, nggak?”

“Nggak!” seru pemuda itu, kemudian menjedukkan kepalanya di meja bar.

Deadline-nya kapan?”

“Besok!”

Seungwoo meringis. Ah, ia pernah berada di posisi seperti ini. Iya, tiga hari lalu. Revisi mendadak yang jumlahnya segunung dan membuatnya merasa seperti ubur-ubur disko di rumah Spongebob karena kafein yang dikonsumsi.

Ia bisa saja membiarkan pemuda ini meratapi nasibnya, namun ia sudah lelah menuang bubuk cokelat. Lagipula, menurutnya, masih ada waktu untuk mengerjakan artwork itu.

“Gini deh, namamu siapa?” tanyanya akhirnya.

“Seungyoun,” ucap pemuda itu sambil mengangkat kepala dan mengusap matanya. Lebam samar berwarna merah terlihat di dahinya karena menghantam meja tadi.

“Oke, Seungyoun, saya panggilin taksi buat kamu ya? Terus kamu pulang, kerjain tugasnya—ini buat final, kan? Bobot nilainya gede.”

Seungyoun mengangguk. “Tapi nggak sempet, gimana dong ...?”

“Sempet. Percaya sama saya. Kamu nggak sama temen, kan? Panggilin taksi, ya?”

Pemuda itu mengangguk. Bibirnya mengerucut dan hidungnya memerah, efek alkohol dan menangis.

Lucu.

“Ya udah, saya anterin keluar. Seok, cover gue bentar!” serunya pada Wooseok, kemudian menuntun Seungyoun ke luar bar. Sambil memegang bahunya lembut agar tidak hilang di antara laut manusia, ia baru ingat Seungyoun telanjang kaki.

Mereka pun sampai di trotoar, dan Seungwoo memanggil taksi yang melintas.

“Seungyoun, pake ini,” kata Seungwoo sambil melepas sepatu.

Seungyoun mengerjap. “Nanti kakak pake apa?”

“Saya ada sepatu cadangan di loker.”

Sebetulnya sandal jepit untuk shift bersih-bersihnya. Namun tidak apa-apa, daripada anak ini tertusuk paku lalu terkena tetanus. Nanti malah Seungwoo yang merasa bersalah.

Eh, tapi dari awal Seungyoun memang tidak pakai sepatu. Entahlah, mungkin kesedihan menghindarkannya dari menginjak hal-hal aneh.

“... Um ... oke. Nanti aku balikin ya, kak ...?”

“Seungwoo.”

“Kak Seungwoo. Makasih ya kak, kalo nggak ada kakak aku mungkin malem ini udah tamat, terus besok dimarahin, terus aku ke sini lagi, terus—”

Seungwoo mengangkat tangan, menghentikan racauan Seungyoun. “Sama-sama, Seungyoun. Sana pulang, ntar gak sempet nugasnya. Jangan malah mabok lagi lho, ya!” perintahnya.

Cengiran muncul di wajah Seungyoun, pipinya merona malu. “Iya, kak. Balik dulu ya.”

“Hati-hati.”

Seungyoun pun menaiki taksi itu, kemudian meluncur pulang ke tempatnya. Seungwoo menghela napas. Ada-ada saja. Jumat malam memang uniknya berbeda.

Semoga tugasnya selesai, batinnya. Setidaknya hari ini ia tidak jadi mati, walaupun harus pulang dengan sandal jepit.

Oh, iya!

Ia lupa meminta nomor anak itu. Kalau sepatunya dicuri dan hilang, habislah ia.

Seungwoo merutuk dalam hari. Bodoh. Ucapkan selamat tinggal pada sneakers barumu.

Tetapi paling tidak ia tidak perlu membuat minuman air keruh lagi. Yuck. Ia butuh bourbon untuk dirinya sendiri setelah kekacauan malam ini.


“Ini minumanmu, Tuan.”

“Terima kasih.”

Seminggu kemudian, Seungwoo masih berjibaku dengan rutinitas biasa. Meracik likuor untuk orang-orang yang mampir untuk melonggarkan diri dan melepas penat.

Ia menanyakan pesanan pelanggan lain, kemudian dengan cekatan kembali mengambil botol demi botol yang dicampurkan sesuai resep di kepalanya.

Ah, dia jadi ingat lagi dengan bencana Chocolate Volcano kemarin.

Sekarang ia memakai sepatu butut yang ber-velcro, sneakers lama yang sudah kusam. Ini sudah seminggu, dan Seungyoun belum kunjung kembali.

Mungkin ia memang harus merelakan sepatu barunya itu. Ah, uang tabungan hasil kerjanya. Pupus begitu saja karena dirinya yang naif mempercayai orang yang datang ke bar tanpa alas kaki. Huft.

“Woo, ada yang nyariin lo tuh,” ucap Wooseok yang menghampirinya.

Seungwoo menoleh. “Siapa?”

“Anak yang minggu lalu lo ladenin.”

Seungyoun.

Seungwoo berjalan ke ujung meja bar, tempat Seungyoun duduk dengan segelas whiskey di tangannya. Hari ini dandanannya rapi—kaus putih, jaket kargo hitam, dan celana jeans gelap. Rambutnya juga ditata, tidak acak-acakan seperti minggu lalu.

Ia terlihat tampan.

Pikiran Seungwoo sudah rusak.

“Seungyoun,” sapanya sambil tersenyum canggung.

“Kak bartender,” balas pemuda itu, yang membuat pipi Seungwoo bersemu merah. “Kak Seungwoo, aku bawa sepatumu,” lanjutnya, lalu memberi tas kertas berisi sepatu Seungwoo yang sudah mengilap dibersihkan.

“Eh, dibersihin segala,” ucap Seungwoo setelah melihat dalamnya. “Makasih ya.”

“Aku yang makasih sama kakak. Maaf juga, karena dateng-dateng kayak orang gila terus kakak jadi harus ngeladenin aku,” kata Seungyoun malu-malu.

“Santai, Seungyoun. Saya juga nggak ngapa-ngapain.”

Seungyoun menggeleng. “Kalo kakak nggak nyuruh aku pulang, semester ini aku udah ngulang kelas.”

Senyuman terbentuk di sudut bibir Seungwoo. “Jadi, tugasnya selesai?”

“Yep. Aku minum kopi sampe kembung dan pusing, abis itu pergi ke kampus nggak mandi dan dikatain semua orang bau tengik, tapi selesai,” jelas pemuda itu sambil nyengir.

Seungwoo terkekeh. “Baguslah.”

“Eh, kak,” Seungyoun berdeham, mukanya kaku. “Um, besok ada acara, nggak?”

“Nggak juga sih, besok saya nggak shift,” jawab Seungwoo, “kenapa emang?”

“Uh ... buat payback karena minggu lalu aku chaos dan malu-maluin banget, plus udah nyusahin karena mesen minuman aneh dan minjem sepatu—kita makan di restoran deket sini, mau? Aku traktir.”

Oh, ternyata ia tahu tentang pesanan anehnya.

“Nggak usah, Seungyoun,” ucap Seungwoo sambil menuang minuman. “Kamu nggak nyuri sepatu saya aja udah cukup. Lagian saya bikin minumannya juga ngasal, heran kamu malah suka.”

“Tapi aku nggak enak, kak. Lagian daripada nggak ngapa-ngapain, kan? Atau kakak ada tugas kuliah, gitu?”

“Ya ... nggak juga sih.”

Seungwoo menimbang-nimbang. Kucingnya bisa dititipkan ke pet shop seperti biasa, lagi pula semua temannya sedang sibuk jadi tidak bisa pergi. Kuliahnya malah sedang kosong. Besok ia benar-benar jobless.

Boleh juga tawaran Seungyoun. makan malam gratis, ditambah company untuk menemaninya saat Sabtu malam. Lagipula mata berkilau anak itu menyulitkannya untuk menolak.

“Boleh deh. Jam 7, gimana? Saya mau beresin rumah dulu.”

Dan menghabiskan waktu untuk memilih baju, batinnya menambahkan.

Seungyoun tersenyum lebar sampai matanya menyipit. Jantung Seungwoo seketika berakselerasi. Hampir saja botol yang dipegangnya jatuh.

“Oke, jam 7 ketemu di restorannya langsung aja ya, kak? Yang bistro, depan toko bunga.”

“Boleh,” Seungwoo mengangguk, tersenyum lembut. Ia jadi tidak sabar.

“Oh iya, satu lagi,” ujar Seungyoun sambil mengangkat gelasnya, “I’ll stay here for a while—pengen ngobrol dan males pulang. Jadi tambah whiskey-nya ya, kak?”

Ingin mengobrol, katanya.

Malam ini Seungwoo ada teman bercengkrama.

Ia mengambil botol likuor, kemudian menuangnya dan menambahkan es. “Silakan, pesananmu.”

Seungyoun tertawa kecil. “Makasih,” katanya, meneguk sekali.

Seungwoo harus mondar-mandir dan kembali bekerja, namun ada satu hal yang mengganjal di pikirannya. Ini harus dikeluarkan, kalau tidak ia akan mati penasaran.

“Seungyoun, buat mulai topik kita, saya ada pertanyaan.”

“Apa tuh?”

Chocolate Volcano minuman dari mana, sih?”

Pemuda itu tergelak. “Oh! Jadi waktu itu di IHOP ...”

fin.


THIRD story from cc desire prompts:

  1. Seungyoun crossdressing and wears crotchless panties, trying to get Seungwoo to fuck him inside a crowded subway
  2. Cockring and urethra insertation 🤪🤪🤪
  3. Seungzz lactating
  4. seungzz omorashi ☺️☺️☺️ entah seungyoun di-train biar dia gabisa nahan kencing sama sekali jadi sering kencing pas diewe seungwoo, atau seungyoun minta seungwoo kencing di dalam dia ☺️☺️☺️☺️☺️
  5. Gatau gue pengen banget baca yang younnya lactating terus diewe sampe becek banget yang sebecek itu woy apalagi kalo sampe nimbul nimbul mentok enak sumpah gue selalu kepengen baca youn yang diewe kaya gitu huhuhu ngebayanginnya aja udah enak banget

A/N

hello, your local duta porni is back <3

iya, promptnya lima. gue gatau lagi gue kenapa. tapi bener-bener pengen bikin yang all out, jadi yaudah gue embat aja semuanya. hiks.

anyways, ini lumayan panjang. checkpoints-nya ada lima belas. gue pusing sendiri tapi ya udah i love pain.

gue pengen nyoba juga bikin porno lokal yang pake bahasa vulgar super lokal ala-ala enny arrow, jadi mohon hati-hati ya bacanya 😉 JANGAN LUPA BACA WARNING!!

DISCLAIMER

  1. harusnya sounding rod direndem dulu di air hangat atau betadine solution tapi yaudah anggep aja semprotan cukup.
  2. gue ga bikin durasi pake cockringnya lama karena abis riset max tuh 20 menit :( kalo ngga ntar kenapa2
  3. anggeplah di subway mereka ga ketauan/orang2 bodoamat jadi ga dituduh merusak kesopanan di depan umum. hehe.

WARNING & TAGS

this story contains:

pembunuhan karakter, ABO/omegaverse, dom/sub dynamic, graphic description of sex, usage of vulgar words (penis, anal, sperma), kata-kata PORNO LOKAL (kontol, peju, ngentot, jalang, lonte), crossdress (not really since gue bikin itu emang fashion-nya youn, but you can take it as crossdressing), dirty talk, degradation, humiliation, public sex on a mf SUBWAY, slick producing, bareback, handjob, cum eating, lactating (literal, not kink), cock ring, urethral sounding/insertation, blowjob, facefucking/skullfucking, (rounds and rounds of) rough sex, choking, face slapping, riding, belly bulging, face sitting, squirting, standing sex, breeding kink, piss play/omorashi/watersports.

kritik, saran, keluhan, pujian, argumentasi dll bisa mention langsung, DM atau drop di CC gue ya. kalo ada yang kelupaan tolong kasih tau juga karena otak gue udah korslet huhu thank yooou.

TOTAL WORDS: 7,261

selamat menikmati! (buat yang puasa, bacanya abis iftar aja ya!)


“Ini struknya, kak.”

“Makasih, ya.”

Seungyoun berjalan ke luar toko kecil itu sambil memasukkan belanjaan ke fanny pack-nya. Rok mininya melambai seraya ia melangkah melewati trotoar yang ramai dan menyeberang jalan. Ia mengecek ponselnya, mencari restoran tempat Seungwoo menunggu.

Ah, iya. Ia dan Seungwoo sedang mengambil waktu liburan panjang setelah kesibukan mereka masing-masing berakhir. Mereka sudah berhubungan sejak lima tahun lalu, kemudian alphanya itu resmi menjadi mate-nya saat tahun keempat. Sekarang mereka tinggal bersama, walau harus terpisah karena jam kerja yang berbeda.

Tempat liburan yang mereka pilih adalah sebuah resort tropis, bertempat di sebuah kota kecil dan dekat dengan pantai. Kemarin pantainya sudah dikunjungi, jadi hari ini mereka memutuskan untuk menjelajah tempat-tempat lokal di kota sebelah yang lebih besar.

Oleh karena udara yang cukup hangat, Seungyoun kali ini memutuskan untuk memakai kaus dan plaid skirt yang mencapai tengah pahanya. Ia memang tidak membatasi fashion-nya, jadi sudah biasa berpakaian seperti ini.

Oh, tapi mungkin nanti ada kejutan. Mungkin.

Lonceng pintu restoran bergemerincing saat ia mendorongnya terbuka. Ia menghampiri meja di ujung tempat kekasihnya sudah menunggu.

“Nunggu lama, mas?” tanyanya sambil menarik kursi dan mendudukinya.

Seungwoo menggeleng. “Nggak, mas juga belom pesen. Kita barengan aja.”

Sang omega mengangguk, kemudian memanggil pelayan untuk memesan. Seraya menunggu pesanan, mereka mengobrol kecil.

“Tadi kamu beli apa, dek?” tanya Seungwoo, melirik toko kecil di seberang jalan yang tadi disambangi Seungyoun.

Pemuda di depannya tersenyum malu, kemudian mengeluarkan sebuah barang dari tasnya. Barang itu adalah tangkai yang tipis, terbuat dari stainless steel, beberapa bagiannya menonjol dan mempunyai ujung berbentuk huruf T.

“Beli ini, mas.”

Seungwoo mengangkat satu sudut bibirnya. “Baru hari kedua, udah mau nakal aja.”

Pipi Seungyoun memerah. “Abis tadi aku liat di toko itu! Terus—terus, ya, aku pengen coba. Boleh, mas?”

“Ya, kalo mas sih boleh-boleh aja. Nanti cari dulu gimana pakenya,” sahut sang alpha, mengambil benda itu dari tangannya. Ia mengamatinya sejenak, lalu menyerahkannya kembali.

Tepat setelah itu, makanan mereka datang dan topik obrolan pun berganti. Ringan dan mengalir, sampai makanan habis pun selalu ada stok cerita. Beberapa bulan penuh dengan pekerjaan memang menyita waktu mereka untuk benar-benar berdua. Maka dari itu, Seungyoun senang bukan kepalang saat ia tahu periode mereka berakhir dalam waktu yang sama, dan akhirnya kota besar yang penuh sesak itu bisa ditinggalkan untuk beberapa saat.

Bertahun-tahun berhubungan dan sekarang resmi menjadi pasangan—tanda di bahunya dan Seungwoo menjadi bukti—mereka sudah tahu satu sama lain, luar dan dalam. Emosi, pribadi, moral, fantasi. Kuncinya terus terang, percaya dan komunikasi.

Seungyoun tidak tahu apa yang dia lakukan sehingga ia pantas menerima Seungwoo sebagai pelipur laranya, pun sebaliknya. Mungkin mereka menyelamatkan negara dan merupakan pahlawan di kehidupan lalu? Entah.

Beberapa saat kemudian makanan pun habis, begitu juga dengan dessert yang keluar belakangan. Pembayaran dilakukan, dan mereka pun keluar dari restoran—menuju stasiun kereta bawah tanah, hendak pulang ke resort mereka.

Karena hari masih sore, jadi kereta bawah tanah itu penuh sesak—nampaknya banyak orang yang hendak ke perhentian setelah tempat mereka, karena perhentian itu dekat dengan pemukiman setempat.

Seungyoun menyandarkan diri ke sudut gerbong, Seungwoo tepat di depannya—membuatnya agak tersembunyi dari pandangan orang-orang. Saking penuhnya, bahkan dada mereka berdua bersentuhan dan satu kaki Seungwoo berada di antara kaki Seungyoun.

“Dek, nggak sesek kan?” tanya Seungwoo, mukanya begitu dekat.

Seungyoun menghela napas. Ia tidak merasa sesak, namun kejutan yang disimpannya tiba-tiba menjadi sebuah ide bagus untuk diberi sekarang.

Ia sedari tadi mengenakan crotchless panties, sebuah lingerie yang diperuntukkan untuk wanita—bagian tengahnya tidak ada, hanya bagian samping saja. Bagian terbuka itu untuk vagina, tapi bagi dirinya jadi mengekspos seluruh pantat dan hanya sedikit menahan penisnya sendiri.

Nakal, ia tahu. Namun gabungan sensasi berjalan dengan dalaman seperti itu, menggunakan rok sejak pagi, dan Seungwoo di dekatnya membuat Seungyoun tidak peduli lagi. Libidonya naik alih-alih turun.

“Nggak,” cicitnya, kemudian memberanikan diri untuk menatap alphanya.

Seungwoo mengangkat satu alisnya. “Kenapa?”

“Aku—uh,” Seungyoun merapatkan kakinya, mati-matian menahan desahan yang ingin keluar. Ia bisa merasakan slick-nya mulai mengalir dari lubangnya, membasahi paha bagian dalam.

Mata Seungwoo melirik ke bawah, melihat Seungyoun yang menggesek selangkangan ke paha Seungwoo yang berada di antara kakinya. Ia mendengus geli. Terkadang ia tidak mengerti dengan sex drive omeganya ini, selalu muncul di saat paling tidak terduga.

Sebut saja, mereka pernah bercinta di mobil konvertibel miliknya malam-malam di parkiran klub—Seungyoun bergerak naik turun tanpa lelah di atasnya. Lalu jangan lupa natal tahun lalu, di lemari gudang bawah tangga, padahal di sampingnya ruang makan besar tempat berkumpul para saudara. Atau beberapa waktu lalu saat Seungyoun selesai kerja lebih awal dan ia bisa menjemput Seungwoo, namun malah digempur di kantor pribadi, beradu dengan kaca dihiasi pemandangan kota.

Mungkin pasangannya ini ekshibisionis atau memang gila. Entah. Seungwoo tidak peduli, karena ia juga sama seperti omeganya. Ia suka mengejawantahkan fantasi Seungyoun yang aneh-aneh, seperti Seungyoun yang bersedia memenuhi keinginannya pula.

“Basah ya, kamu? Hm?” bisik Seungwoo, mendekatkan wajah mereka berdua. Tatapannya tajam. “Baru tadi pagi diisi, sekarang udah mau lagi?”

“M—mas,” Seungyoun menelan ludah, napasnya memburu.

“Ngomong yang bener, dong.”

“Uh...”

“Seungyoun.”

“Adek mau—mau dientot mas.”

Seungwoo melangkah maju, memojokkan Seungyoun lebih jauh. Kebetulan juga kereta semakin penuh.

“Mau ngentot? Di sini?”

“Iya,” jawab Seungyoun dengan suara kecil. Ia memekik pelan saat Seungwoo membalikkan badannya sehingga sekarang ia berhadapan dengan dinding gerbong. Tanpa jeda, tangan alphanya itu langsung menyusup ke dalam roknya. Jemari panjang milik Seungwoo lantas menggerayangi pantatnya yang tidak tertutupi apa-apa, lalu meraba lubang analnya yang sudah basah karena slick yang keluar.

Jari telunjuk Seungwoo masuk perlahan ke liang hangat itu, bergerak seraya sang empunya kembali bicara. “Dari semua tempat, maunya di sini, diliatin orang-orang. Suka ya kalo ada yang nyadar kamu itu lonte.”

Seungyoun menahan desahannya, kakinya gemetaran kala jari Seungwoo bertambah jadi dua dan bergerak cepat.

“Mas—mmh, mas—”

“Hush, diem. Nanti pada sange liat kamu,” bisik Seungwoo di telinganya, “Lubang kamu gak cukup buat kontol semua orang. Punya mas aja udah bikin kamu kepenuhan, kan?”

“Iya, iya—hng, mau kontol mas aja—” rengek Seungyoun, slick-nya semakin deras keluar dan membasahi jari alphanya.

“Mas kasih kalo kamu diem. Bisa, dek?”

“Bisa, mas—mmh!” Seungyoun tersentak saat jari di lubangnya keluar, digantikan kepala penis Seungwoo yang melesak dengan perlahan. Alphanya bahkan tidak repot-repot—ia hanya membuka ritsleting celana dan menurunkan boxer sedikit, kemudian langsung memasuki Seungyoun.

Dua jari Seungwoo dimasukkan ke mulut Seungyoun, menyumpal segala suara yang ingin keluar. Omega itu mengemut dan membasahi jari Seungwoo, merasakan slick-nya sendiri.

Penis sang alpha akhirnya masuk sepenuhnya, beradu dengan dinding hangat Seungyoun yang menjepitnya erat. Seungwoo menoleh ke belakangnya, melihat orang-orang yang menumpuk dalam gerbong. Tidak ada yang melihat ke arah mereka, namun entah setelah ini bagaimana.

Ah, persetan.

Ia mendorong penisnya jauh-jauh ke dalam hingga pelvisnya menyentuh pantat Seungyoun yang tertutup rok. Kemudian satu tangannya mencengkeram pinggang omeganya erat, mempertemukan dadanya dengan punggung Seungyoun.

“Dek, kamu yang mau, jadi kamu yang gerak, ya,” perintahnya, lalu tangannya berpindah untuk mengocok penis Seungyoun—menstimulasinya dengan cepat, sesekali menekan bagian kepala dengan jempolnya.

Seungyoun menggumam dengan jari di mulutnya, kakinya gemetaran karena sentuhan di penisnya dan sensasi di penuh di analnya. Perlahan ia gerakkan pinggulnya maju-mundur, memanjakan penis Seungwoo yang dengan mudah masuk dan keluar karena slick-nya. Paha bagian dalam Seungyoun sudah benar-benar basah dengan campuran dari pre-cum dan slick.

“Mm—mh! Ngh!” suara desahan Seungyoun teredam oleh jemari yang kini bertambah menjadi tiga.

Seungwoo mempercepat gerakannya pada penis Seungyoun, seiring pinggul omeganya yang mulai mempercepat tempo. Jika kereta ini tidak begitu bising, mungkin akan terdengar suara kecipak yang berasal dari pertemuan kulit mereka.

“Enak ya, dek?” desis Seungwoo, melepas jarinya untuk sesaat. “Jawab mas.”

Seungyoun menelan ludah yang berkumpul di mulutnya, kemudian menjawab dengan suara kecil dan pecah. “Ena—ak, mas, dikit lagi—adek mohon, mas—”

“Geraknya lebih cepet kalo gitu. Buruan, kita udah mau sampe.” Seungwoo ikut menggerakkan pinggangnya, membantu Seungyoun mencapai klimaks. Ia sendiri tidak akan orgasme—butuh waktu lebih lama untuk alpha sepertinya—fokusnya kali ini hanya Seungyoun. Tempo tangannya juga semakin cepat.

“Mas Seungwoo, mas, hhh—adek—hhhmp!” Seungyoun menutup mulutnya sendiri seraya orgasmenya melanda. Badannya menjadi kaku dan slick-nya meluruh keluar, merembes di sekitar penis alphanya. Cairan ejakulasinya tumpah di tangan Seungwoo, yang langsung mengatup bagian kepala agar tidak ada yang menetes ke lantai gerbong.

Seungwoo mengeluarkan penisnya (yang masih tegang) dan membalutnya kembali dengan celana. Ia juga merapikan rok Seungyoun.

Ia berbisik kembali pada Seungyoun yang masih terengah dan lemas. “Tangan mas kotor kena peju kamu, nih. Bersihin ya, dek?”

Setelah mengerjap beberapa kali omeganya mengangguk, menurunkan tangannya sendiri dan membuka mulutnya. Kontan Seungwoo langsung memindahkan tangannya dari penis ke mulut Seungyoun, menangkup dagunya. Sang omega langsung menjilat dan menelan cairan yang menggenang di telapak tangan Seungwoo sampai bersih.

Seperti kucing, pikir sang alpha.

“Pinter,” puji Seungwoo saat telapaknya sudah bersih, kemudian membalik posisi Seungyoun sehingga mereka berhadapan. Ia merapikan rambut omeganya yang berantakan serta membubuhkan kecupan di kening, ujung hidung, dan bibirnya.

“Ada yang sakit, sayang?” tanyanya lembut.

Seungyoun menggeleng, tersenyum tipis. “Nggak, mas. Makasih ya.”

“Makasih juga,” balas Seungwoo sambil mengusap bibir Seungyoun dengan jarinya yang basah. “Nanti kamu mau lanjut?”

“Mau ... coba alat yang tadi ya, mas?” pinta Seungyoun penuh harap. “Terus aku mau minum banyak-banyak.”

Seungwoo hanya terkekeh sambil mengangguk. Ia dan Seungyoun sudah pernah mencoba watersports, dan omeganya itu menyukainya. Sudah lama sejak mereka terakhir melakukan itu, mungkin sekarang waktunya untuk kembali mencoba.

“Nanti kita lakuin semuanya, ya,” jawab Seungwoo, merangkul pinggang Seungyoun. Mereka berjalan beriringan karena kereta sudah berhenti di stasiun mereka. Sesekali sorot matanya melirik tajam pada orang-orang yang mencuri pandang. Sepertinya tadi mereka terlalu keras.

Mulutnya menyeringai. Ia tahu mereka iri, ingin menyentuh omeganya juga. Atau bahkan ingin menjamah dirinya. Namun kesempatannya? Nihil. Mereka hanya milik satu sama lain. Ruang hati sudah cukup untuk satu pujaan hati saja.

“Mas bakal manjain kamu sampe puas.”

“Nggak mau dimanjain!”

“Lah, kenapa?”

Seungyoun mendekatkan mulut ke telinga Seungwoo, lalu berbisik menggoda.

“Mau dientot Mas Seungwoo sampe tolol aja!”

Anak nakal.


Sesampainya di resort, Seungwoo pergi ke dapur untuk mengambil botol air dan sebuah gelas. Botol itu cukup besar, mungkin setara empat sampai lima gelas air ukuran sedang.

Ia lalu menyusul Seungyoun yang sudah terlebih dahulu masuk ke kamar luas dengan ranjang king size di tengah ruangan. Omeganya itu sedang menaruh tas di nakas kala ia masuk ruangan.

“Dek, minum dulu,” ucap Seungwoo, menyerahkan gelas yang sudah berisi air dari botol tadi. Seungyoun langsung menerimanya dan menenggaknya hingga setengah.

“Udah.”

Tatapan Seungwoo seketika menajam, membuat Seungyoun mematung di tempat. Aura ruangan itu berubah, seakan Seungwoo merubahnya hanya dengan sorot mata. Seungyoun jadi merasa kecil—bukan berkaitan dengan ukuran, namun kuasa.

Mereka benar-benar melanjutkan permainan.

“Habisin,” kata Seungwoo singkat, yang langsung dituruti Seungyoun dengan menghabiskan air di gelas. Gelas dan botol kemudian diletakkan di nakas, terpampang nyata seperti piala.

Untuk sesaat mereka terdiam, Seungyoun menunggu perintah dari alphanya. Namun saat itu berlalu secepat ia datang.

Seungwoo berjalan ke arah kasur, lalu duduk berselonjor dan bersandar di dipan. Pahanya ia tepuk.

“Sini, dek.”

Dengan mudahnya Seungyoun menurut, tanpa argumentasi maupun basa-basi. Ia duduk di pangkuan Seungwoo, dengan desahan kecil yang lolos saat selangkangannya yang terbuka menyentuh celana kekasihnya. Feromon mereka berdua menguar, memenuhi indra penciuman dengan wangi madu dan mawar dari omega yang manis, serta pinus dan mint dari alpha yang segar.

“Mas,” cicit Seungyoun, “dada aku sakit.”

“Sakit gimana, hm?” Tangan Seungwoo bergerak mengelus paha omeganya; begitu dekat dengan penisnya, namun langsung berpindah ke torso dan pinggang. Sentuhan lembut merayap dari abdomen, kemudian ke bagian rusuk, dan akhirnya mencapai dada yang berisi dan empuk.

“P—penuh, jadi sakit, mas.”

Alpha itu tertegun saat merasakan puting susu Seungyoun yang basah. Ia tidak sedang mengandung, namun dalam beberapa pengecualian, seorang omega memang bisa memproduksi susu dalam keadaan tertentu. Sedang bernafsu, misalnya.

“Ngh—ah!” Seungyoun tersentak saat putingnya dicubit di antara jempol dan telunjuk Seungwoo hingga beberapa tetes cairan keluar. Cairan susu, putih dan sedikit bening, semakin lama memancar semakin deras.

Seungwoo terus-terusan memijat puting itu sampai susunya mengalir ke abdomen Seungyoun. “Masih sakit?”

“Ma—masih,” jawab Seungyoun, tangannya mengangkat kaus sampai ke atas dadanya. Ia bisa melihat bagaimana putingnya kini tegang dan memerah, serta berkilau karena susu yang keluar.

“Terus gimana biar nggak sakit?” Seungwoo kembali bertanya.

Pipi Seungyoun merona. Ia menjilat bibirnya, kemudian merengkuh kepala Seungwoo dan menariknya mendekat.

“Uh...”

“Hm?”

Tatapan mereka bertemu. Seungwoo tersenyum kecil melihat sorot mata omeganya yang sedikit sayu, namun antusias. Libidonya naik saat ia menyadari keadaan kekasihnya itu—sedikit lagi akan kehilangan pikirannya, fokusnya hanya pada nirwana yang bisa diberikan sang alpha.

Kepala Seungwoo didorong Seungyoun ke salah satu pucuk dada yang menggoda. Alpha itu hanya menatap ke atas, pura-pura tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“Mas, please,” rengek Seungyoun manja, pikirannya sudah berpacu ingin dipuaskan.

Please apa?”

Seungwoo terus mendorong, menekan tombol-tombol Seungyoun. Ia ingin merusak Seungyoun perlahan-lahan.

“T—tolong,” Seungyoun menjilat bibirnya, “tolong isep puting adek, mas, minum susu adek—mmh!”

Tanpa basa-basi Seungwoo langsung menempelkan mulutnya, kemudian mulai menjilat dan mengisap sambil tetap memijat dengan jarinya.

Air susu yang dikecap Seungwoo terasa manis. Bukan artifisial, namun manis samar yang menyebar di seluruh mulut. Wangi semerbak memenuhi indra penciumannya, begitu harum hingga membuatnya pusing. Entah pusing karena wanginya semata, atau diri Seungyoun sepenuhnya.

“Hhah, ah—ah,” desahan Seungyoun mendayu di ruangan. Badannya membusung ke depan, memberikan akses bagi Seungwoo untuk terus meneguk susunya. Pinggulnya perlahan bergerak maju mundur, menggesek penisnya yang telanjang pada celana Seungwoo. Slick kembali menetes dari lubangnya, membasahi kain celana dan roknya sendiri.

Mulut Seungwoo mengisap puting kiri dan kanan bergantian, menyesap setiap tetes seperti orang kehausan. Saat kegiatannya itu berakhir kedua puting Seungyoun sudah membengkak dan berwarna kemerahan, serta basah oleh saliva Seungwoo dan susunya sendiri.

Alphanya tersenyum simpul. “Enak. Makasih, sayang,” ucapnya, kemudian menepuk kedua puting Seungyoun dengan tangannya, membuat Seungyoun memekik kaget.

“Buka baju kamu. Sisain panties-nya,” perintah Seungwoo.

Secara refleks, Seungyoun membuka kausnya, lalu beranjak dari pangkuan Seungwoo untuk melepas roknya. Sekarang yang tersisa di badannya hanyalah crotchless panties berenda warna hitam. Penisnya yang tegang bersemburat merah muda di ujungnya, basah seperti pahanya yang dialiri slick.

Seungwoo sendiri melepas atasannya, kemudian mengambil fanny pack milik Seungyoun dan membukanya. Ia mengeluarkan benda yang tadi dibeli kekasihnya—sebuah sounding rod, dan ... cock ring?

“Apa, nih?” tanyanya sambil menunjukkan cock ring itu ke arah Seungyoun yang sedang menaiki kasur.

Pemuda yang ditanya langsung membelalak, mulutnya menganga. “A—ah, itu—”

“Bener-bener ya.” Seungwoo menggelengkan kepala, mendengus geli. Ia memberi gestur pada Seungyoun untuk kembali duduk di pangkuannya, yang mana langsung dituruti.

Seungyoun memekik saat Seungwoo menggerakkan pahanya ke atas, membuat penis dan perineumnya bergesek dengan kain celana yang kasar.

“Aah!”

“Anak nakal,” ucap Seungwoo sambil terus menggerakkan pahanya, “mau dijadiin mainan sama mas, ya? Mau dikasarin sama mas?”

“Ma—hng, mau,” jawab Seungyoun, pipinya merona malu.

Seungwoo menyeringai. “Bilang yang bener. Mau apa?”

“Adek mau—mau dikasarin sama mas!” Seungyoun meraih satu tangan Seungwoo, kemudian menaruhnya di lehernya sendiri. “Kasarin, mainin adek, mas, adek cuma lonte—kh!”

Tangan Seungwoo mengerat di sekitar jugularnya, membuat saluran pernapasannya menyempit. Seungyoun mencengkeram pergelangan tangan Seungwoo dengan kedua tangannya, dadanya naik turun berusaha mengambil napas—namun alih-alih kesakitan, ia malah merasakan sengatan nikmat, dan slick semakin deras keluar dari lubangnya.

“Hhk—ah, m- mas—” cicitnya pelan, “hancurin, hhh, mas, sampe tolol—”

“Oh?” Seungwoo melepas tangannya, kemudian menegang penis Seungyoun. “Jangan nyesel, lho.”

Seungyoun mengangguk, dan dengan cekatan Seungwoo pun memasang cock ring itu di pangkal penisnya.

“Seungyoun, dengerin ya?” ucap Seungwoo lembut, mengelus pinggang Seungyoun. “Kalo kamu ngerasa sakit, atau nggak tahan, bilang langsung ke mas. Inget safeword kamu apa?”

Omeganya itu menjawab tanpa jeda. “Vulpes.”

“Pinter,” puji Seungwoo, “kalo susah ngomong, tepuk mas dua kali, atau senandungin nada apapun. Ngerti, sayang?”

“Ngerti, mas.”

“Bagus.”

Seungwoo pun memegang tengkuk Seungyoun dan menariknya dalam sebuah ciuman panas. Bibir mereka bertemu, bersentuhan dengan lidah yang melesak sesekali. Suara kecupan yang timbul mengiringi cumbu yang kian bergairah, begitu juga dengan desahan. Larut dalam sensasi satu sama lain, mencecap rasa yang sudah dikenal lama.

Setelah pagutan itu akhirnya terlepas, bibir Seungwoo langsung berganti ke leher jenjang omeganya. Ia mengecup tanda mating yang telah ada sejak satu tahun lalu, kemudian menjilat dan menghisap daerah sekitarnya, membubuhkan tanda kemerahan yang mencolok.

“Mas Seungwoo—ngh, ah,” rintih Seungyoun sambil memiringkan kepalanya, “adek pengen kontolnya mas.”

Alphanya menjawab sambil tetap menjamah setiap inci kulit leher sang omega. “Mau di lubang yang mana?”

Seungyoun menghela napas, pikirannya berkecamuk dan berkabut. “Dua-duanya, m—mas.”

“Eh, egois amat,” tukas Seungwoo tajam, “pilih satu.”

“M—mulut, mulut aja,” jawab omeganya itu. Seungwoo pun menghentikan kegiatannya, kemudian menatap Seungyoun lekat-lekat.

“Pindah lantai, dek.”

Dengan cepat Seungyoun beranjak dan berlutut di lantai. Seungwoo menyusulnya, berdiri di hadapan lalu melepas celananya. Penisnya yang sudah tegang terpampang jelas di depan muka Seungyoun, dengan pembuluh yang timbul dan ujung yang bersemburat merah tua.

Seungwoo kemudian menggenggam rambut Seungyoun, membuatnya agak mendongak ke atas.

“Buka mulutnya, sayang,” suruhnya. Omeganya pun langsung melakukannya, dan tanpa basa-basi ia langsung memasukkan penisnya dalam-dalam ke rongga mulut Seungyoun—hingga ujungnya menyentuh permukaan tenggorokan.

Seungyoun nyaris tersedak saat penis alphanya memenuhi mulut kalau saja ia tidak melemaskan rahangnya. Sesaat kemudian rambutnya dijambak sangat erat, kemudian Seungwoo langsung menggerakkan pinggulnya dengan tempo yang cepat. Lidah Seungyoun terjulur di bawah, meraba pembuluh yang timbul dan kulit yang kasar.

“Hhk—kh!” erangan Seungyoun hanya terdengar seperti suara menelan. Matanya menatap Seungwoo—walau tidak jelas karena air mata yang menghalangi. Napasnya pendek-pendek, berusaha mengambil udara yang ada.

Slick Seungyoun mulai menggenang di lantai karena stimulasi yang diberikan. Tangannya pun mengocok penisnya sendiri, meskipun tidak berguna karena cock ring yang terpasang rapi di belakang testikelnya.

“Kepenuhan, ya?” tanya Seungwoo retoris, sambil tetap menghujam mulut Seungyoun tanpa ampun. “Oh iya, kamu kan nggak bisa ngomong. Nggak apa-apa sih, mulut sama lubang pantat kamu kan fungsinya sama aja. Tau gunanya apa, dek?”

Seungwoo mengeluarkan penisnya, membuat Seungyoun terbatuk dan terengah. Omeganya itu sudah berurai air mata, disertai liur yang mengalir ke dagu dan membuat benang saliva yang menyambung dengan kepala penisnya.

“Tau, mas—ngh!” desah Seungyoun sambil menatap alphanya dengan nanar.

“Apa fungsinya, hm?” ulang Seungwoo, menarik rambut Seungyoun dan membuatnya semakin mendongak. “Lubang kamu buat apa?”

Seungyoun menelan ludah, lalu menjawab dengan suara serak.

“B—buat, buat tempat ngentotnya mas!”

Sang alpha tersenyum. “Bener. Dua-duanya cuma alat buat puasin mas.”

“Hng—!”

Belum sempat merespon, mulut Seungyoun kembali dimasuki penis besar itu. Seungwoo menyetubuhi mulut omeganya untuk beberapa saat, kemudian dalam satu sentakan menanamkan penisnya dalam-dalam sambil menarik kepala Seungyoun—sehingga hidung omega itu menempel pada pelvisnya.

Seungyoun terbatuk dan tersedak, alisnya mengerut dan matanya terpejam erat. Badannya memberontak kesana kemari, namun sia-sia karena pegangan Seungwoo begitu erat. Tangannya mencengkeram pinggul Seungwoo kencang-kencang hingga buku jarinya memutih.

“Akh—hmp—!” ia terus meronta, sampai akhirnya Seungwoo melepas pegangan dan mengeluarkan penisnya.

“Enak, sayang?” tanya Seungwoo sambil menampar-nampar pipi Seungyoun dengan penisnya, meninggalkan jejak pre-cum yang bercampur saliva.

Seungyoun mengangguk pelan. “Mau lagi—hng, ma—masukin lagi,” pintanya sambil menjulurkan lidah, persis anjing yang kelaparan.

Sesuai permintaannya Seungwoo pun memasukkan penisnya kembali. Kini ia memegang kepala Seungyoun dengan kedua tangannya, menahannya di tempat seraya pinggulnya bergerak dengan cepat. Ia meringis saat Seungyoun bergumam dan berusaha mengisap, membuat penisnya terjepit di rongga mulut hangat dan basah itu.

Rongga mulut namun rasanya sudah seperti lubang anal saja. Memang Seungyoun nyatanya sudah seperti cocksleeve pribadi untuk sang alpha.

Seungwoo tersenyum lagi saat melihat wajah Seungyoun yang sudah tidak karuan—merah padam dihiasi air mata. Belum lagi rambutnya yang berantakan karena dijambak sedari tadi.

Cantik. Sungguh rupawan. Seungyoun yang seperti ini, menpercayai Seungwoo sepenuh hati, karena ia tahu alphanya sangat peduli. Ia menikmati hal ini, melepaskan diri dari penat dan membiarkan dirinya tenggelam dalam ekstasi.

Sekali lagi, Seungwoo menahan kepala Seungyoun di tempat sampai napas omeganya tersengal dan liurnya merembes keluar dari sela-sela mulut.

“Tahan, dek. Rasain kontol mas di dalem mulut kamu.”

“Hhmp—!”

Penis Seungwoo benar-benar memenuhi tiap sudut dan celah mulut Seungyoun. Ia bisa merasakan pembuluhnya yang berdegup dan teksturnya yang beradu dengan dinding serta lidahnya, juga pre-cum yang bercampur dengan salivanya sendiri. Bagian kepala menghujam tenggorokannya hingga ia sulit bernapas.

Seungyoun berusaha mengatur napas di antara pelvis dan tangan sang alpha yang menekan kepalanya. Ia meratakan lidahnya di bawah, menjulurkannya jauh-jauh untuk menutupi gigi.

Untuk sesaat, rasanya Seungyoun ingin pingsan. Ia susah bernapas—bukan hanya karena tenggorokannya yang tersumbat, namun juga hidungnya yang tertekan. Namun rasa tidak nyaman itu pergi secepat ia datang, dan tergantikan oleh nikmat yang meningkat dari sensasi organ di mulutnya. Belum lagi tekanan dari tangan Seungwoo, serta tatapan alphanya yang menembus jauh ke sukma.

Setelah beberapa lama Seungwoo mengeluarkan penisnya. Seungyoun berusaha menarik napas, tersengal dengan mulut yang terbuka, salivanya menetes ke lantai.

Alpha merendahkan diri, berlutut di depan omeganya lalu menangkup dagu kekasihnya. Ia menyebarkan saliva Seungyoun ke sekitar bibirnya. Mulutnya membentuk senyum lembut.

“Masih bisa lanjut?” tanyanya.

Omeganya mengangguk. “Masih.”

“Balik ke kasur, ya.”

Seungyoun bangkit dari posisinya, sedikit merintih karena nyeri di kakinya yang sedari tadi berada dalam posisi berlutut. Sementara itu, Seungwoo meraih gelas di nakas dan menuang air ke dalamnya.

“Minum dulu, sayang,” katanya sambil menyodorkan gelas.

Air itu diteguk habis, dan tenggorokan Seungyoun yang kering nan kecut kembali terasa segar. Ia kemudian berbaring telentang seraya Seungwoo mengambil sounding rod yang tergeletak di duvet, membersihkannya dengan antiseptik semprot dan melumurinya dengan lubrikan di laci nakas.

“Mas pakein ini ya. Kalo sakit langsung bilang,” ucap Seungwoo, yang disambut anggukan dari Seungyoun. “Lebarin kaki kamu.”

Seungwoo menggenggam penis Seungyoun, membuat omeganya berdesis. Penis itu sudah basah dengan pre-cum dan begitu tegang. Jika cock ring tidak terpasang, mungkin Seungyoun sudah orgasme dari tadi.

Ia memposisikan ujung sounding rod itu di depan urethra Seungyoun, kemudian dengan sangat perlahan memasukkannya ke lubang kencing itu.

“Mmh—aah, Mas Woo- mas, hhah!” Seungyoun mendesah dengan nyaring, kakinya gemetaran dan akan menutup jika saja tidak terhalang bahu Seungwoo. Sensasinya begitu aneh dan asing, penuh seakan dia ingin buang air kecil. Alat itu terus melesak ke dalam dan rasanya tidak kunjung berakhir.

Namun akhirnya Seungwoo berhenti, dan rod itu terpasang sempurna dengan ujungnya menempel apik di kepala penis Seungyoun bagai sebuah mahkota.

Seungwoo melirik wajah Seungyoun yang sayu, dadanya yang naik-turun, kemudian beralih ke lubang analnya yang sudah mengalirkan slick lagi. Sepertinya tidak ada masalah, dan omeganya terlihat menikmati. Ia juga sudah mengikuti langkah-langkah yang dicarinya di internet saat mereka di perjalanan pulang. Baguslah, berarti kegiatan bisa ia lanjutkan.

Sambil tetap memegang penis Seungyoun, tangan Seungwoo yang bebas memegang ujung sounding rod dan menggerakkannya perlahan.

“Aah—ah! Mas—ah, mmh—” badan Seungyoun kembali menggelepar kesana kemari, merasakan seluruh sarafnya bangkit karena gerakan benda itu.

“Hush, berisik banget kamu,” sahut Seungwoo tak acuh, tetap menggerakkan alat tersebut dengan hati-hati.

Pada satu titik Seungyoun benar-benar tersentak—rod itu menyentuh prostatnya. Rasanya seperti tersengat listrik, menjalar dari selangkangan hingga seluruh tubuhnya. Pikiran omega itu seakan mati. Ia benar-benar tenggelam dalam nikmat.

Ia susah payah menyusun kata dalam benaknya. Ini tidak cukup; ia butuh lebih. Butuh Seungwoo juga.

“Mas, mas, m—mau...”

Seungwoo menoleh, alisnya terangkat. “Hm?”

“Mau, hhh, mau k—kontol—”

Kekehan terdengar dari mulut alphanya itu. “Mau banget semua lubang kamu keisi, ya?”

Seungyoun mengangguk lemah. “Iya—iya, hhng, penuhin semuanya.”

“Serakah banget,” ucap Seungwoo geli, lalu memegang bagian bawah lutut Seungyoun dan melebarkannya. Lubang anal milik omeganya yang sudah basah dan berkedut langsung menyapa, berwarna pink menggoda seakan mengundang dirinya.

Seungwoo pun melingkari bagian cincin dengan ujung jari sekalian menggunakan slick sebagai lubrikan alami. Kemudian jari telunjuknya ia masukkan dengan lancar karena dinding yang basah.

“Mainin kontol kamu sendiri, dek, masa mas doang yang repot,” perintah Seungwoo sambil menggerakkan jarinya masuk dan keluar lubang itu.

Seungyoun hanya bisa bergumam seraya meraih penisnya sendiri, memegangnya dengan satu tangan dan memegang ujung sounding rod dengan tangan satunya. Ia menarik benda itu sedikit, kemudian mendorongnya lagi pelan dengan arah berbeda.

“Ngh—aah, mas, hng—maas!”

Bersamaan dengan itu Seungwoo menambah jari tengahnya, membuat prostatnya terstimulasi dari atas dan bawah. Seungyoun langsung merinding di sekujur tubuhnya, badannya mengejang dan slick-nya keluar dalam jumlah banyak. Orgasme kering menerpanya, tidak ada cairan yang keluar namun rasanya tetap intens.

Seungwoo tetap menahan ritmenya yang cepat. Ia tertawa kecil melihat kekasihnya terbasuh nikmat.

“Ya ampun, tangan mas kena becek,” katanya sambil menambah jari manis dan melebarkan liang Seungyoun. Seluruh tangannya basah terkena slick sehingga aksesnya semakin mudah.

Tubuh Seungyoun melemas, namun tangannya masih memainkan rod di urethra-nya. Tidak lama kemudian ia bisa merasakan libidonya kembali, ingin merasakan nikmat yang lebih banyak lagi.

Melihat Seungyoun yang sudah kembali pulih dan liangnya yang sudah cukup rileks, Seungwoo pun memutuskan untuk mengeluarkan jarinya. Lagipula, ia sendiri sudah sangat tidak sabar ingin menyetubuhi lubang hangat kekasihnya itu.

Ia pun memposisikan penisnya di depan bibir anal Seungyoun, membalurnya dengan slick lalu menggeseknya.

Omeganya merengek pelan, kepalanya terkulai di atas bantal. “Masukin mas, b—buruan...”

“Nggak sabaran banget,” ejek Seungwoo sambil tetap menggesek penisnya dengan cincin yang berkedut itu. “Minta yang bener lah, dek.”

“Adek m—mohon, mas—” Seungyoun menghela napas, melebarkan kakinya lebih jauh. Mempersembahkan dirinya untuk disetubuhi, mengikuti kehendak Seungwoo sepenuhnya.

Seungyoun meraih ke bawah, memegang pantatnya yang licin karena slick. Ia kemudian menariknya ke arah luar—melebarkan lubangnya sendiri, membuatnya sedikit menganga.

“Masukin kontolnya, mas,” pintanya lirih, “adek pengen enakin mas... kasarin adek, entotin sampe lemes, sampe tolol—aah!”

Penis Seungwoo seketika masuk ke anal Seungyoun dalam satu sentakan, mendesak dinding yang basah dan masih agak sempit itu sampai ujung. Seungyoun langsung tersentak kaget, desahan keluar dari mulutnya sampai perkataannya terpotong.

Tanpa basa-basi Seungwoo langsung menggerakkan pinggulnya dengan cepat, menumpukan tangannya di kasur dan menghujam prostat omeganya dalam setiap tusukan.

“Aah! Ngh, mas! Mas Seung—ah! Ah!” desah Seungyoun nyaring. Ia benar-benar tidak sempat bernapas—sensasi nikmat berulang kali menyengat tubuhnya, analnya begitu penuh dan basah. Setiap inci penis alphanya mengisi dirinya, menghantam titik nikmatnya dan mengangkatnya lebih jauh ke angkasa.

Seungwoo menggeram kala penisnya terus dimanjakan oleh dinding sempit yang berkontraksi dengan konstan. Suara kecipak basah memenuhi ruangan karena slick Seungyoun yang terus keluar.

“Hng—mas! Hhh, lagi, enak banget ma—as, aah!” Seungyoun terus mendesah tanpa henti, mukanya bersemu merah dengan air mata dan liur yang kembali mengalir. Pinggangnya ikut bergerak naik-turun, bertemu tusukan Seungwoo di tengah.

“Enak, ya? Suka dikontolin sama mas?” tanya Seungwoo seraya memelankan tempo, namun terus menghujam penisnya dengan presisi dalam sekali sentakan.

“En—ah, enak, mas—” jawab Seungyoun penuh nikmat. Namun ia ingin lagi, ingin dihancurkan lalu disusun lagi oleh Seungwoo. Sudahlah, ia memang masokis, dan ia tidak peduli.

Seungwoo mendengus. “Mau lebih kasar lagi, dek?”

“Mau—mau, ah, hancurin adek—”

PLAK!

Telapak tangan Seungwoo mendarat di pipi kanan Seungyoun, tekanannya cukup kencang namun hanya menimbulkan sakit dalam sekejap.

“Hhah—ah,” Seungyoun terengah, matanya menatap sayu. “La—lagi—”

PLAK!

Tamparan kembali menyapa pipinya, kali ini di sebelah kiri. Kepala Seungyoun langsung terkulai lemas, matanya setengah menutup karena nikmat dan sensasi sakit yang menyatu.

“Lagi!”

PLAK!

Pipinya terasa seperti terbakar. Panas dan dingin. Ia menyukainya.

“Hhah—lagi—”

PLAK!

“Jalang,” ejek Seungwoo, “fungsinya buat angetin kontol doang.”

“Hhh—iya, iya,” sahut Seungyoun seraya mengangguk pelan.

Seungwoo menangkup pipi Seungyoun dengan satu tangan. “Siapa jalangnya mas?”

“Aku,” omega itu menunjuk dirinya. “Adek—hhh, Youn jalangnya mas.”

“Pinter.”

Seungyoun tersenyum mendengar pujian itu, di tengah ejekan yang sedari tadi diterima. Ia tak berdaya. Sekarang dirinya benar-benar di bawah kuasa. Dimiliki seutuhnya. Rasanya seperti berada di atas angin—pikirannya sudah berkabut. Otaknya hanya terisi oleh Seungwoo. Alpha-nya, kesayangannya, pujaan hatinya.

Seungwoo tersenyum, tatapan matanya melembut. “Enak, sayang?”

Omeganya itu kembali mengangguk, tersenyum lugu. “Enak, mas.”

Dengan itu Seungwoo meraih leher Seungyoun, meletakkan jempol dan telunjuknya di atas jugular. Ia pun mulai menekannya, mempersempit saluran napas Seungyoun. Kedua tangan sang omega mencengkeram lengannya, meremat dengan lemah.

“Ngh, hha—ah,” Seungyoun mengerang lemah. Titik-titik hitam muncul di sudut matanya, dan dadanya naik turun berusaha mengambil oksigen. Sekejap kemudian—yang terasa lama—tekanan itu berhenti, membuat udara langsung memasuki paru-parunya dan memberikan rasa nikmat yang begitu kentara. Kegiatan itu berulang lagi selama beberapa saat.

Tak lama kemudian, Seungwoo mempercepat temponya. Seketika Seungyoun sadar akan semua sensasi yang ia rasakan—penis yang bergesek dengan dinding analnya, sounding rod yang entah kenapa terasa begitu lebar, dan cock ring yang membelit penisnya sendiri.

Sial, ia benar-benar ingin orgasme sekarang. Mukanya mengerut frustasi, ingin melepas nafsu yang ditahannya. Penisnya agak sakit sekarang karena dicekik oleh cock ring jahanam itu.

“Mas, ad—adek mau, ah, mau k—keluar,” cicitnya lirih.

“Hm? Mau keluar?”

“B—boleh ya, mas? Hhh, boleh kan? Adek ngg—nggak tahan.”

Seungwoo mendekati wajahnya sampai hidung mereka bersentuhan, lalu mengecup bibirnya singkat.

Ia kemudian berkata pelan, “Boleh, tapi rod sama cock ring-nya kamu lepas sendiri.”

Seungyoun mengangguk, dan Seungwoo pun kembali menegakkan diri. Kali ini ia melebarkan kaki omeganya sampai hampir menyentuh dada, kemudian menggempur dengan sangat cepat.

“Aah—ngh—”

“Ayo dek, copot alatnya, terus kamu bisa keluar,” bujuk Seungwoo sambil menyeringai.

Dengan hati-hati Seungyoun meraih ke bawah, memegang rod-nya terlebih dahulu. Ia kesulitan karena hujaman Seungwoo membuat badannya tidak stabil, belum lagi tangannya yang gemetaran karena lemas dari tadi.

“Hng, ah—” rintihnya sambil dengan perlahan menarik benda tersebut. Rasa yang intens menyergapnya seraya rod-nya bergeser keluar, sampai akhirnya seluruhnya berhasil ia cabut.

Seungyoun semakin kepayahan karena penis alphanya yang terus menghantam tanpa ampun. Ia meraih lebih jauh, mencari clasp dari cock ring-nya.

“Lepas, sayang.”

“Mmh, m—mas!”

Cock ring itu akhirnya lepas, dan dengan satu hujaman saja Seungyoun langsung orgasme. Badannya membusur ke atas, dan kepalanya mendongak ke belakang serta matanya berbalik ke atas hingga hanya sclera-nya saja yang terlihat. Cairannya menyembur begitu banyak seakan tidak akan habis—menodai abdomen, dada, sampai tulang belikat dan lehernya. Slick dari analnya juga keluar lagi, membasahi penis Seungwoo dan menetes ke duvet.

Seungyoun bukan melihat putih lagi, ia melihat semua warna. Bergantian, bercampur jadi satu namun gelap gulita pada saat yang bersamaan. Ia merasa seluruh saraf di tubuhnya bangun, jauh lebih sensitif dari biasanya. Orgasmenya benar-benar seperti mengangkatnya ke langit kemudian menjatuhkannya lagi.

Rasanya begitu nikmat setelah menahan sejak lama. Tubuhnya gemetaran cukup lama setelah ia berhenti mengeluarkan cairan, berkelojotan. Setelah itu ia langsung melemas, hanya bisa merengek karena overstimulasi yang mendera.

Seungwoo menghentikan gerakannya dengan perlahan, kemudian membalik posisi mereka sehingga Seungyoun berbaring di atas tubuhnya. Penisnya masih berada di dalam lubang omeganya itu—tegang, namun belum cukup untuk orgasme seperti kekasihnya.

“Duduk dulu, sayang, kamu harus minum,” ucapnya, kemudian menegakkan diri sambil mendekap Seungyoun yang masih lemas. Ia pun menuang air ke gelas untuk ketiga kali dan menyodorkan gelas itu ke omeganya.

Seungyoun meminum air itu pelan-pelan, merasakan dahaganya lepas seraya tenggorokannya dialiri air segar. Ia menghabiskan seisi gelas dibantu Seungwoo, kemudian merebahkan dirinya di atas alphanya itu—bersandar di ceruk lehernya.

Punggung Seungyoun diusap perlahan oleh Seungwoo, disertai kecupan-kecupan seringan bulu yang mendarat di kening, hidung dan pipinya.

“Mas, kembung,” ucapnya pelan. Benar, perutnya terasa penuh karena air yang mengisi sejak tadi. Rasanya sedikit begah dan sesak. Bagian plus-nya, ia memang tidak merasakan kecut lagi di mulut dan tenggorokan.

“Dikit lagi ya, dek? Sekali lagi,” bujuk Seungwoo sambil menatapnya—mencari keraguan di mata Seungyoun. Manik cokelat omeganya itu membalas dengan lekat. Penuh kepercayaan dan kasih sayang, sama halnya dengan sang alpha.

Take care of me, sorot matanya bilang.

Seungyoun akhirnya mengangguk. “Iya, mas.”

“Anak baik,” puji Seungwoo lembut, lalu menyandarkan punggung di bantal dipan dan membiarkan Seungyoun bertumpu padanya.

Mereka terdiam, menunggu refractory period Seungyoun selesai. Penis Seungwoo masih begitu tegang di lubang omeganya, melebarkan dinding sempit itu.

Setelah beberapa saat, Seungyoun bisa merasakan lagi sensasi penuh di liangnya dan slick-nya mulai keluar lagi. Penisnya juga mulai ereksi kembali. Perlahan pinggulnya bergerak, diiringi desahan karena rasa nikmat yang keluar.

“Mmh...” desahnya pelan, teredam di perpotongan leher dan bahu Seungwoo.

Seungwoo tertegun saat slick yang basah kembali merembes, disertai sensasi dinding yang bergesek dengan penisnya.

“Oh, udah sange lagi?” tanyanya geli, menarik rambut Seungyoun lembut hingga omeganya mendongak dan bertemu tatap dengannya.

“Udah, m—mas.” Seungyoun menjawab lirih, gerakan pinggulnya semakin kencang. Matanya berkaca-kaca, mukanya merona merah.

Ia menegakkan badannya, menumpukan tangan di dada bidang milik sang alpha. Penisnya bergesek dengan torso Seungwoo, membasahinya dengan pre-cum.

“Mas, hhh, m—mau ngentot lagi boleh, ya?” pinta Seungyoun penuh harap, seraya menggerakkan pinggul dengan gerakan memutar.

“Boleh, cantik.”

Seungwoo meletakkan tangannya di pinggul Seungyoun, mengontrolnya untuk bergerak naik-turun. Pahanya terasa semakin basah karena slick yang mengalir keluar dan menyebabkan suara kecipak basah kembali bergema di ruangan.

“Ah—ngh, ah, ah!” Seungyoun mendesah pendek-pendek, pinggulnya semakin cepat bergerak. Analnya terasa begitu renggang oleh penis Seungwoo yang menusuk jauh—bahkan, mungkin, sampai ke rahimnya.

Seungwoo sendiri sibuk mengocok penis Seungyoun, menyebarkan pre-cum ke seluruh bagian organ itu. Ia melirik ke perut Seungyoun yang berkontraksi.

Ah, tunggu. Bukan hanya itu. Penisnya sendiri juga terlihat timbul setiap kali Seungyoun menurunkan diri, menonjol di torso omeganya itu.

Sudut bibir Seungwoo tertarik membentuk seringai, tangannya meraba tonjolan dari penisnya yang muncul.

“Liat, dek,” ujarnya, “kontol mas ada di rahim kamu.”

“Hhh—ah, iya—” Seungyoun melirik ke bawah, melihat penis Seungwoo yang timbul dengan samar. Ia begitu penuh, terisi oleh Seungwoo sampai tidak ada celah yang tersisa. Sampai ia tidak akan bisa lupa sensasi penis Seungwoo yang menggerus dindingnya; sampai ia akan merasa kosong jika tidak diisi knot alphanya.

Knot. Pikiran itu langsung memenuhi benaknya, membuat badannya merinding dan slick mengalir deras dari lubangnya. Dadanya pun kembali nyeri, terasa penuh lagi.

“Hah—“ Mata Seungyoun beralih ke dadanya. Susu kembali mengucur turun, menetes ke badannya dan torso Seungwoo.

Ia sudah tidak bisa mengontrol tubuhnya lagi. Biasanya dadanya tidak terisi secepat ini. Mungkin raganya sudah berdiri sendiri, terangsang untuk memuaskan pujaan hati.

“Mas—ngh, mas!” seru Seungyoun sambil meremas dadanya sendiri, membuat air susunya memancar dan menyiprat ke dada Seungwoo. “Dada adek sakit lagi, hng, mas, minum lagi ya? Tolong—aah!”

Dalam sekejap Seungwoo menegakkan badan dan menerjang dada Seungyoun, mengisap putingnya dan meminum susu yang masih mengalir deras. Sungguh, ia tidak akan pernah bosan dengan rasa manis yang adiktif itu. Hidungnya kembali dibuat sesak oleh harum madu dan mawar yang menyeruak.

“Terus—lagi, mas, hhh ... enak b—banget—” racau Seungyoun tanpa henti. Tangannya mendekap kepala Seungwoo seiring gerakan pinggulnya yang semakin meliar. Berbagai sensasi menjalar di tubuhnya, membuatnya pusing dan pikirannya kacau.

Tak lama kemudian orgasmenya kembali mendekat, begitu intens dan membakarnya dari dalam.

“Aah—ah—” desahnya tertahan, “mau, ngh, k—keluar, mas—!”

“Bangun, dek. Bangun.”

Seungwoo menariknya hingga penisnya keluar dari anal Seungyoun. Kemudian, sebelum sempat memproses apapun, alphanya itu mendorongnya lembut ke sebelahnya, kemudian berbaring telentang.

“Dudukin muka mas, dek.”

“Hah—”

“Cepet.”

Dengan pikiran yang berkabut Seungyoun memposisikan dirinya di atas Seungwoo, kembali menumpukan tangan di dada sang alpha. Tangan Seungwoo mencengkeram pahanya, kemudian tanpa peringatan apapun lidah alpha itu menyapu bibir analnya—membuat Seungyoun tersentak kaget dan seluruh badannya melemas.

“Ngh, m—kuh! Hhah—” Seungyoun sudah tidak bisa mengeluarkan apapun yang koheren dari mulutnya. Ia sudah mabuk kepayang. Pinggulnya hanya bisa bergerak pelan, menggesek dirinya ke wajah Seungwoo.

Seungwoo, di sisi lain, merasakan campuran dari dirinya sendiri, slick yang manis, dan sisa air susu di mulutnya. Ia melesakkan lidah jauh ke anal Seungyoun, menggerakkannya kesana kemari, memastikan untuk menstimulasi dinding sensitif milik omeganya itu. Suara seruput terdengar dari dirinya, mengecap liang sintal yang basah.

Secepat kilat hasrat ingin orgasme memuncak lagi di pelvis Seungyoun, menyebabkan sang omega merintih penuh nikmat dan bergerak semakin liar karena mengejar pelepasannya.

“K—keluar, maas?” pintanya tidak jelas.

Seungwoo menghentikan kegiatannya sejenak. “Keluarin,” ucapnya singkat, lalu menghujamkan lidahnya dalam-dalam.

“Makas—ih—ngh, aah!”

Orgasme kedua Seungyoun mendera. Seluruh tubuh sang omega mengejang dan gemetar, cairannya menyembur dari penis ke dada dan abdomen Seungwoo—membuat benang-benang berwarna putih.

Sang alpha sendiri terkejut saat orgasme itu juga membuat Seungyoun menyemburkan slick dari lubangnya sendiri. Cairan manis itu tumpah ke mulutnya, serta muncrat ke wajah hingga rambutnya. Banyak, banyak sekali sampai bagian mukanya tidak ada yang luput dari basah.

Glek. Seungwoo menelan cairan di mulutnya. Terasa enak, manis, namun sepertinya itu bukan karena rasa betulan. Karena ekstasi saja. Apapun itu, ia menikmatinya.

“Hah—hhah—” Seungyoun terengah-engah pasca ombak orgasmenya mereda. Tubuhnya benar-benar lemas sekarang. Ia beringsut ke samping Seungwoo, menyusun kembali pikirannya yang tercerai berai.

Sedetik kemudian ia menyadari bahwa Seungwoo masih tegang. Ah, betapa egoisnya dia! Harusnya ia yang melayani alphanya. Tugasnya belum selesai—alphanya belum merasakan nirwana.

“Mas, mas belum keluar,” ujar Seungyoun seraya menerima gelas air yang diberikan Seungwoo.

“Iya, abis ini. Habisin air kamu, itu terakhir.” Seungwoo beranjak dari tempat tidur dan berdiri di atas lantai kamar. “Sini,” imbuhnya.

Seungyoun pun menghabiskan air itu—perutnya benar-benar terasa penuh, dan ia mulai ingin buang air kecil—kemudian menyusul Seungwoo untuk berdiri.

“Mas ap—aah!” pekiknya saat badannya dibalik hingga punggungnya menempel dengan dada sang alpha, kemudian analnya langsung dimasuki kembali.

“Dek—” geram Seungwoo sambil menggempur dengan tempo yang jauh lebih cepat dari saat-saat tadi, “lubang kamu enak banget—ah.”

Seungyoun memegang lengan Seungwoo yang melingkar di sekitar lehernya. Pikirannya langsung buyar lagi, nikmat dan sedikit rasa sakit karena overstimulasi menyengat seluruh tubuhnya.

Ia hanya bisa berusaha untuk tetap berdiri, menerima hantaman demi hantaman dari alphanya. Mulutnya kerap mengeluarkan desah dan racauan tidak jelas, mengalirkan saliva yang bercampur air mata yang rebas ke pipi dan dagu.

“Hnng—hhh, al—alpha—” rintihnya dengan suara serak.

“Omega,” gumam Seungwoo, menghujam jauh ke dalam rahim omeganya dalam tiap tusukan. Mengklaim apa yang jadi miliknya. Menandai pujaan hatinya dalam-dalam.

“Alpha, h—hhah, ngh!”

“Keenakan, hm? Nggak bisa ngomong apa-apa selain nyebut alpha, alpha?”

“Hhng—” Seungyoun tersenyum penuh nikmat, mengangguk pelan, matanya setengah menutup.

“Tolol,” ejek Seungwoo, “jalang keenakan dientot, jadi tolol.”

Seungyoun mengangguk lagi. “Alph—alpha—” desahnya sambil mengelus bagian perut yang kembali menonjol.

“Iya, nanti mas isiin peju sampe penuh, ya?” tukas Seungwoo sambil terengah. “Mau sampe hamil, hm? Mau mas hamilin?”

Anggukannya lebih antusias lagi. “H—hamil, hhah, alpha—mau hamil—”

“Apapun buat kamu, dek.”

Napas Seungyoun kian tersengal, ia bisa merasakan bagian pangkal penis Seungwoo mulai membesar dan dindingnya mengetat di sekitarnya. Namun, ada sensasi lain. Tekanan muncul di kandung kemihnya. Memaksa air yang sedari tadi ia minum untuk keluar.

“Aah—hhh, m—mas ... b—bentar.”

“Hm?” Seungwoo menyahut heran. “Ada yang sakit?”

Seungyoun bergumam, alisnya mengerut. Dengan susah payah ia menjawab.

“K—kepengen pipis, mas ...”

Alphanya terkekeh. “Kasian, udah nggak ada peju, yang keluar jadinya kencing, ya?”

“Ngh—mas, nggak kuat—”

“Keluarin, lah.”

“M—malu!”

“Ngapain malu?” Senyuman muncul di wajah Seungwoo. Ia merasakan hujamannya semakin sulit, tanda knot-nya yang membesar, dan temponya melambat. Seraya orgasmenya mendekat, ia menekan pelvis Seungyoun dengan satu tangan, tepat di atas kandung kemih.

“Mas, hhah, gak tahan ... uh, jangan—jangan diteken!”

“Keluarin, sayang. Nggak apa-apa.”

Seungyoun tidak bisa menahan lagi. Semua tekanan itu terlalu kuat baginya. Ia tidak peduli lagi, ia tidak sanggup. Lagipula tangan Seungwoo yang menekan begitu kuat hanya membuatnya semakin tidak tahan.

“Mas Seungwoo,” rintihnya, “mau—mmh ...”

Sekujur badan Seungyoun gemetar untuk kesekian kalinya saat, kali ini bukan orgasme, namun urin mengucur keluar dari urethra-nya. Cairan itu jatuh ke lantai, menggenang di bawah kakinya dan kaki Seungwoo.

Suara isakan Seungyoun terdengar lemah, rasanya lega karena akhirnya ia bisa mengeluarkan cairan yang sedari tadi ditahannya. Sesaat kemudian aliran urinnya habis; menyisakan penis Seungyoun yang terjuntai lemah dan kaki yang gemetaran.

“Hhh, mau—” bisik Seungyoun serak, seluruh tenaganya habis tak bersisa. “mau pejunya mas.”

“Ah, Youn, mas tumpahin semua ke kamu—”

Seungwoo sendiri mengerang saat spermanya mulai menyembur dalam jumlah banyak, begitu dalam ke rahim Seungyoun. Spermanya terus tumpah seakan tidak akan berakhir, dikunci dengan aman karena knot yang memenuhi bibir anal omeganya.

“Hhm,” Seungyoun menggumam nikmat saat rasa hangat memenuhi rahimnya, cairan yang mengisinya begitu banyak hingga rasanya menggenang. Mungkin setelah ini perutnya akan sedikit melar karena tampungan yang besar. Ia menyukainya. Terasa penuh, membuatnya puas.

Keheningan menerpa sejenak. Kamar itu hanya diiringi suara napas terengah dan kecupan-kecupan manis yang didaratkan Seungwoo di sekitar leher dan tengkuk Seungyoun. Omega itu sudah begitu lemas, ia akan ambruk jika bukan karena lengan kokoh Seungwoo yang menahannya.

“Pindah yuk, sayang,” ucap Seungwoo, lalu perlahan memanuver mereka berdua untuk kembali berbaring di kasur.

Ia mengubah posisi (agak sedikit sulit karena knotnya belum kempis), berhadapan dengan Seungyoun sekarang, mengelus surai legamnya yang halus sambil mengecup tiap inci wajah kekasih tersayangnya itu. Bisikan demi bisikan mesra ia sampaikan, penuh kasih, hanya untuk sang kecintaan.

“Seungyoun-ie, mas sayang banget sama kamu,” bisiknya lembut. “You did so well, cantik, makasih banyak ya.”

Seungyoun hanya tersenyum tipis sambil mengerlingkan matanya, kilau dari air mata yang tersisa membuat pupil indahnya seperti gugusan bintang.

Senyuman turut tersungging di bibir Seungwoo. Ia mendekap cintanya erat, kemudian kembali berucap—begitu pelan, seakan rahasia besar yang hanya bisa didengar oleh Seungyoun.

“Makasih udah hadir di hidup mas ya, sayang. Makasih udah nurutin takdir buat ketemu sama mas.”

“Mas Seungwoo...” Seungyoun membalas dengan suara serak, pikirannya sudah mulai jernih. Senyumannya kian lebar.

“Iya, adek cantik?”

“Makasih udah jadi rumah buat adek, ya.”

Sorot mata Seungwoo menatap manik cokelat kesayangannya. Intens, lekat. Penuh cinta kasih yang pekat.

“Makasih udah jadi rumah buat mas juga.”

Mereka berpelukan lagi untuk beberapa lama, diam seribu bahasa. Menyampaikan afeksi dengan kecupan dan tatapan mata.

Seungwoo kemudian beranjak sebentar kala knotnya sudah mengempis, berjalan ke kamar mandi di dekat kamar dan mengisi bathtub dengan air hangat. Lalu ia mengambil mop di luar dan membersihkan genangan di lantai—lengkap dengan seruan Seungyoun yang malu—dan membereskan mainan yang tadi digunakan.

“Youn, mandi yuk?” ajaknya sambil merentangkan tangan, lalu menggendong kekasihnya yang menyambut dengan senang hati. Ia pun berjalan ke kamar mandi, menurunkan Seungyoun, lalu masuk bersama ke bathtub berisi air hangat dan sabun dengan wangi lembut.

I want to love you, PYT, Pretty Young Thing ... you need some lovin’, TLC, Tender Loving Care, and I’ll take you there...

Seungyoun menggumamkan lagu P.Y.T. pelan seraya Seungwoo mencuci rambutnya, menikmati pijatan dan basuhan lembut dari sang kekasih.

Setelah mereka berdua selesai mandi dan mengeringkan diri, Seungyoun mengambil baju untuk mereka berdua dan Seungwoo mengganti sprei serta duvet.

“Mas, nih bajunya,” ia memberi celana tidur pada Seungwoo setelah memakai miliknya sendiri.

Kekasihnya mengernyit. “Kok cuma celana?”

Senyuman malu-malu muncul di wajah Seungyoun. “I want to feel you,” jawabnya singkat.

Seungwoo terkekeh. “Okay,” sahutnya, lalu memakai celana itu. Ia pun merapikan sprei yang telah dipasang, duvet baru, serta bantal-bantalnya.

Setelah semuanya selesai mereka berbaring nyaman, mendekap satu sama lain begitu dekat sampai detak jantung masing-masing beradu. Senada, seirama, sampai sulit membedakan kapan yang satu mulai dan satu lagi selesai.

Tatapan Seungwoo kepada Seungyoun, dan sebaliknya, sama saja. Penuh kekaguman dan ketidakpercayaan, tidak mengerti mengapa takdir menjadikan mereka pantas menerima insan satunya. Penuh kasih sayang dan cinta, kepada paras dan sukma yang sama rupawan, tidak surut seiring tahun berjalan.

“Eh, dek, kamu bawa pil nggak?” tanya Seungwoo.

Seungyoun menggeleng. “Nggak,” ucapnya. Ia tersenyum manis sambil mengelus pipi Seungwoo. Menelusuri kulit yang lembut dan rahang yang tegas dengan jemari kecilnya.

“Lho, terus gimana? Mas beliin—”

“Nggak usah, mas,” ucap Seungyoun pelan, “kalo kejadian, ya udah.”

“Kamu yakin?” Seungwoo mengerjap, alisnya mengerut. Tangannya tanpa sadar beringsut ke bawah dan mengelus perut Seungyoun, yang langsung ditangkup oleh tangan omeganya sendiri.

“Yakin, kecuali mas nggak mau,” Seungyoun terkekeh, “kita siap finansial. Mental juga, kurang lebih, even though terakhir kali kita ngomonginnya beberapa bulan lalu. Tapi masih ada waktu.”

“Mas mau, mau banget, dek,” ujar Seungwoo takjub, “mas cuma mau yang baik-baik buat kamu.”

Kekasihnya itu mengecup pelan bibirnya. Menyapu dengan lembut, memberikan kepercayaan dan keyakinan.

Mereka sudah bertahun-tahun bersama. Ombak, badai, semua pernah dilalui. Tidak mudah, banyak hal yang membuat gerah. Tapi arus selalu menyatukan kembali mereka berdua. Masalah yang ada bisa sirna, karena mereka berdua punya asa.

Sekarang, samudera mereka sedang tenang. Bukan berarti tsunami tidak akan datang menyerang. Bukan berarti matahari akan selalu bersinar terang.

Tidak apa-apa.

Ada batin satu sama lain yang dijaga. Semoga cukup kuat sampai menua.

“Kita jalanin bareng ya, mas?” ujar Seungyoun, mengecup sekali lagi. “Temenin aku?”

Seungwoo tersenyum, kemudian mencumbu mesra kekasihnya itu. Mencium bibir yang begitu familiar, satu kali, dua kali, tiga kali. Mencoba memberikan cinta kasih sepenuhnya, walau tidak mungkin karena setiap hari ada lagi yang membuncah.

Lima tahun lalu, mereka menemukan tambatan hati. Sekarang, mereka tidak bisa memikirkan tempat berlabuh yang lain.

Dalam pelukan hangat dan tatapan yang menyimpan berjuta rasa, ia menjawab. Penuh keyakinan, sama halnya seperti sang pujaan hati.

“Mas bakal temenin kamu sampe kapanpun,” kata Seungwoo sambil mengeratkan pegangan, merasakan kulit lembut kekasihnya. Begitu nyata, begitu hidup, begitu magis. Keajaiban yang diberi takdir untuk dirinya sendiri.

“Bareng ya dek, temenin mas juga,” lanjutnya.

Seungyoun tersenyum begitu lebar sampai matanya menyipit. Ia menatap alphanya, teman hidupnya selama lima tahun terakhir. Pemeran penting dalam ceritanya, pengisi ruang kosong yang besar di kalbunya.

Ia menatap seluruh semestanya. Seungwoo menatap kosmosnya pula.

“Adek bakal temenin mas sampe kapanpun,” ucap Seungyoun.

Sampai kapanpun.

Sampai menjadi debu dan menyatu kembali dengan gemintang.

Bersama, dari pertemuan pertama sampai supernova.

(Benar-benar) sampai kapanpun.

fin.