show me
for khaul. ♥️
💙🧡 ryeonseung/seungzz.
⚠️ usage of vulgar words (penis, anal, sperma), masturbation, frottage/mutual masturbation, anal fingering, cumming untouched, handjob.
Seungwoo melihat kukunya yang baru saja ia rapikan. Apik, cantik, lentik. Cocok untuk kegiatannya malam ini—walau kotor.
Setelah mengambil tube lubrikan rasa ceri di nakas dan membalur jarinya, Seungwoo melepas boxer dan menyamankan diri. Kaus katun yang dikenakannya tetap melekat.
Ia pun memposisikan badannya untuk tengkurap, bertumpu dengan siku dan lutut. Seraya menarik napas beberapa kali, ia meletakkan tangan yang sudah berbalut lubrikan ke bibir analnya yang baru ia bersihkan sebelum ini.
“A-ah,” desahnya pelan sambil menggerakkan telunjuknya secara memutar di sekitar lubangnya, membuat sekujur tubuhnya merinding.
Perlahan ia masukkan jari telunjuknya tersebut, lambat, lambat sekali. Dinding analnya langsung mengatup di antara jarinya itu, hangat dan erat. Sial, baru sebentar ia tidak menyentuh diri sendiri, namun lubangnya sudah sempit saja.
Seungyoun akan mengejeknya seperti perawan.
Dengusan keluar dari mulut Seungwoo kala fantasi akan yang lebih muda terbersit di otaknya, merangsang seluruh saraf dan nalurinya.
Sambil mulai menggerakkan jari, pikirannya yang tadi menepis bayangan akan Seungyoun mulai menerima, membayangkan pemuda itu menyentuhnya, menjamahnya.
“Hhh, Youn—hng,” rintihnya sambil menambah jari tengah, kian lirih saat ia lebarkan untuk meregangkan liangnya. Kakinya sudah gemetaran dan cairan pre-cum menetes dari penisnya yang tegang.
Seungwoo hendak menyentuh penisnya sendiri, namun tiba-tiba ia terbayang sebuah suara melarangnya.
“Jangan, Seungwoo-hyung, aku sudah bilang padamu untuk hanya memakai jari, kan?”
“Hng, Youn, aku gak bisa—aku—hhah, nggak tahan—”
“Lebih enak kalau nggak disentuh, hyung, percaya sama aku.”
“Ah, ah—oke, oke...”
Jari Seungwoo bergerak kian cepat, pikirannya berkabut dan buyar. Sesekali ia tekuk jarinya ke atas, mengenai prostatnya dan membuatnya mendesah begitu nyaring—ia harus menenggelamkan muka di sprei agar suaranya teredam.
Seungwoo akhirnya menambah jari ketiga, jari manisnya. Pada saat ini matanya sudah menutup setengah, menatap dinding kamarnya dengan sayu. Badannya terasa panas meski pendingin ruangan menyala.
“Ngh, ah—kh,” desahnya kian penuh nikmat, jarinya bergesekan dengan dinding analnya dan menghujam prostatnya berulang kali.
Ia merasa puncaknya semakin dekat.
“Hhh—ah, ah!”
Lebih cepat lagi.
“Hng, Youn—”
Sedikit lagi.
“Aah, Seungyoun, ngh!”
Sampai—
“Seungwoo-hyung, aku mau ngembaliin headp—ASTAGA MAAF!”
Semua kabut di otak Seungwoo lenyap seketika. Pikirannya bagai direm mendadak, matanya yang tertutup membuka dan terbelalak. Itu bukan fantasinya, itu suara nyata.
Ia berbalik badan dan mendudukkan diri.
Itu Seungyoun, di daun pintunya yang baru saja dibanting tertutup kembali.
Sial. Rutukan demi rutukan langsung menghampiri pikiran Seungwoo. Dari semua orang, yang memergokinya adalah Seungyoun! Saat ia sedang menanamkan tiga jari dalam analnya, seperti seorang jalang!
“Youn?” cicitnya pelan, entah terdengar atau tidak.
“Seungwoo-hyung?” suara Seungyoun terdengar dari balik pintu. Ternyata ia belum pergi. Betapa beruntungnya Seungwoo hari ini.
“Uh—” ia menelan ludah, “apapun yang kamu liat barusan, boleh tolong lupain?”
Hening.
“Youn?”
“Iya—iya, Seungwoo-hyung, boleh,” Seungyoun menyahut dengan pelan, sangat pelan.
“Oke.”
Suasana kembali hening. Seungwoo hanya menunduk, mencengkeram sprei hingga buku jarinya memutih. Rasa malunya tiada tara. Entah bagaimana ia akan menghadap Seungyoun setelah semua ini. Meskipun yang lebih muda mengatakan bisa melupakannya, ia tahu itu dusta. Tidak ada yang bisa melupakan kejadian memalukan seperti tadi.
Bodoh, Seungwoo. Bodoh sekali.
“Hyung?”
Alis Seungwoo mengerut. Mengapa anak itu belum pergi?
“Ya?”
“Tadi hyung nyebut namaku, ya?”
Semesta memang suka bercanda. Belum cukup kesialan yang menimpanya, sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa Seungyoun mendengar desahannya. Rasanya ia ingin melebur saja lalu menghilang dari dunia.
“Iya, Youn. Maaf.”
“Nggak—uh, jangan minta maaf.”
Apa?
“Maksudnya?”
“Um... how do I say this? That’s honestly... hot.”
Seungwoo mengernyit heran. Ia tidak menyangka tanggapan itu untuk keluar dari mulut Seungyoun. Apalagi setelah melihat dirinya dengan kondisi barusan.
“Aku nggak ngerti, Youn.”
“Aku—hyung? Boleh buka pintunya?”
Anak ini sepertinya sudah gila. Seungwoo saja tidak sanggup melihatnya, malah tiba-tiba meminta untuk tatap muka. Apa memergokinya tidak cukup untuk menghancurkan harga dirinya?
Namun walau dengan pikiran seperti itu, Seungwoo tetap berjalan ke pintu setelah memakai boxernya kembali. Ia buka pintu itu perlahan, dan langsung bertatapan lurus dengan Seungyoun. Seungwoo langsung menyesal. Rasa malunya semakin meningkat.
“Maaf, Youn,” hanya itu yang bisa ia katakan.
Seungyoun menjilat bibirnya. Seungwoo langsung menatap ke arah lidahnya yang timbul sejenak.
“Hyung, kamu tadi ngebayangin aku?”
Seungwoo menghela napas dalam, kepalanya menunduk. “Iya.”
“Sering?”
“... Iya.”
“Aku doang?”
“Mmm.”
“Seungwoo-hyung, liat aku.”
Mata Seungwoo melirik ke atas, bertemu kembali dengan manik legam yang lebih muda. Mukanya sudah merona sampai ke telinga.
“Hyung, I said it was hot, right?”
Seungwoo mengangguk.
Senyuman tipis terbentuk di bibir Seungyoun, pipinya juga ikut memerah. “Well, aku gak bohong. That was really hot.”
Pikiran Seungwoo sudah kosong, tidak bisa menentukan reaksi apa yang ingin dia keluarkan. Ia tidak tahu Seungyoun menganggap desahannya... menggoda. Seksi.
“Aku nggak tau mau ngomong apa, Youn.”
“Nggak apa-apa,” Seungyoun berdeham, “aku juga sering bayangin kamu, hyung. Aku minta maaf juga.”
Seungwoo kembali mengernyit. “Apa?”
“Aku—aku nyentuh diri sendiri sambil bayangin Seungwoo-hyung juga.”
“Oke...”
“Ah, maaf jadi gak nyaman gini,” kata Seungyoun canggung, “aku pergi ya, hyung. Nggak usah pikirin yang tadi, santai aja.”
Seungwoo menatap Seungyoun yang berbalik badan, namun kini pikirannya justru dipenuhi rasa penasaran. Seungyoun juga membayangkan dirinya?
“Seungyoun.”
“Iya, hyung?” Seungyoun menoleh ke arahnya.
“Kamu bayangin aku kayak gimana?” tanyanya pelan.
Seungyoun mengerjap, terlihat terkejut. Tetapi sebelum Seungwoo sempat menarik perkataannya, pemuda itu berjalan mendekatinya kembali.
Ia bertanya pelan. “Mau tau, hyung?”
“Uh, iya,” jawab Seungwoo ragu-ragu.
“Kadang aku bayangin hyung, di kasur, desahin nama aku sambil aku gempur berulang kali. Aku manjain sampe hyung keenakan dan gak bisa ngomong lagi,” bisik Seungyoun, nadanya merendah. Seungwoo hanya terdiam, membiarkan yang lebih muda melanjutkan perkataannya.
“Kadang aku bayangin hyung yang masukin aku, gerak sampe aku lemes, terus fingering aku juga, bikin aku desah sampe semua orang denger,” lanjutnya, “kadang aku yang muasin liang Seungwoo-hyung pake jariku, ngenain titik nikmat hyung terus-terusan.”
Napas Seungwoo sudah memburu, badannya kembali panas saat mendengar fantasi Seungyoun akan dirinya. Bayangan itu langsung berputar di kepalanya bagai film biru, begitu jelas dan begitu nyata.
“Kalo Seungwoo-hyung, gimana?”
Seungwoo hendak menolak untuk menjawab, namun nalurinya berkata lain. Ia ingin sekali memberitahu Seungyoun tentang fantasinya. Selain sebagai balasan, ia juga ingin mengatakan apa yang selama ini ia bayangkan.
Maka ia pun melakukannya.
Persetan.
“Tadi aku bayangin kamu fingering aku, terus bilang aku gak boleh nyentuh diri sendiri,” katanya pelan, suaranya sedikit pecah. “Aku juga bayangin kamu di atas aku, gerakin pinggang, liang kamu sempit di sekitar penis aku. Kadang aku yang gerak, muasin punya kamu.”
Ia mendengus keras saat perkataannya selesai. Penisnya sudah tegang lagi sekarang, semua fantasi baik dari Seungyoun maupun dirinya. Memalukan, tapi ia memang terangsang.
“Mau coba, hyung?”
Seungwoo menatap yang lebih muda dengan terkejut. “Hah?”
“Mau coba sama aku? Tadi belum selesai, kan?”
“Belum, sih ... tapi nggak usah kalo nggak mau, Youn, aku—”
“Seungwoo-hyung mau, nggak?” potong Seungyoun, tatapannya serius.
Seungwoo menghela napas. Ia tidak ingin hubungan mereka merenggang setelah ini. Namun ini adalah kesempatannya untuk, paling tidak, bersama Seungyoun walau satu kali.
Seungyoun yang menawari, jadi tidak bisa dipungkiri yang lebih muda juga ingin.
“Mau,” jawab Seungwoo akhirnya. Singkat, padat, jelas. Ia tidak peduli lagi, nafsu benar-benar memenuhi benaknya.
Seungyoun tersenyum lagi, namun matanya sudah gelap. Ia pasti sudah tidak tahan juga. “Oke, aku boleh ke dalam?”
“Boleh.”
Jantung Seungwoo sudah berdebar tidak karuan. Antisipasi dan fantasi bergabung jadi satu. Seungyoun berada dalam satu ruangan dengannya, hendak menyentuhnya. Rasanya seperti mimpi saja.
“Seungwoo-hyung, aku boleh cium?”
Ia menatap pemuda yang mendekatinya itu, lalu tanpa ragu-ragu menjawab, “Boleh.”
Napas mereka memburu bersamaan seraya wajah mereka mendekat, lalu bibir mereka pun bersentuhan. Awalnya lembut dengan kecupan halus, merasakan tekstur bibir masing-masing. Kemudian entah siapa yang memulai—ciuman mereka mulai panas, sesekali menyelipkan lidah dan menggigit bibir satu sama lain. Lenguhan dan desahan lolos dari mulut mereka, disertai liur yang menetes ke dagu karena cumbu yang berantakan.
Akhirnya bibir mereka pun terpisah. Baik muka Seungwoo dan Seungyoun sudah merah, lengkap dengan bibir yang basah dan membengkak. Mereka menatap satu sama lain dengan sorot penuh hasrat yang tidak terbendung.
“Hyung, berlututlah seperti tadi di kasur,” pinta Seungyoun, yang langsung dituruti Seungwoo.
Saat ia sudah bertumpu dengan siku dan lututnya kembali, Seungwoo bisa merasakan presensi Seungyoun di belakangnya, tatapannya bagai menembus kulit.
Tangan Seungyoun menyentuh punggungnya, menelusuri sampai bawah, hingga akhirnya menyentuh celana boxernya. Sentuhan seringan bulu namun membuat seluruh bulu kuduknya berdiri.
“Aku buka, ya?”
“Mm-hm.”
Celana boxer itu pun ditarik oleh Seungyoun sampai lepas dari kaki Seungwoo. Sekarang bagian bawah Seungwoo benar-benar telanjang, terpampang untuk Seungyoun.
Seungyoun menghampiri nakas tempat lubrikan berada, dan membalurkan lube itu ke jarinya. Ia pun mendekati Seungwoo kembali dan menaiki kasur, tepat di belakangnya.
“Hyung, bagaimana kau membayangkanku?” tanya Seungyoun lembut.
“Ah, pertama kau menelusuri cincinnya dulu,” jawab Seungwoo. Perkataan itu langsung dilakukan oleh yang lebih muda, membuat Seungwoo tersentak dan melebarkan kakinya secara otomatis.
Seungyoun menyentuh bibir anal Seungwoo dengan gerakan memutar, lalu melanjutkan pertanyaannya, “Lalu, apa yang aku lakukan?”
“Kau—kau, hhh, memasukkan jari telunjukmu—aah!”
Jari telunjuk Seungyoun melesak ke dalam perlahan, mendesak dinding anal Seungwoo yang langsung mengatup erat. Kontan yang lebih tua tidak bisa menahan desahannya.
“Begini, hyung?” tanya Seungyoun, menggerakkan jarinya kesana-kemari.
“Ngh, ah, iya—” Seungwoo menggoyangkan pantatnya, berusaha mencari lebih banyak gesekan.
“Kemudian bagaimana?”
Seungwoo menelan saliva yang berkumpul di mulutnya, lalu menjawab, “Jari k—kedua.”
Dinding anal Seungwoo seketika dipaksa melebar kala jari tengah Seungyoun ikut masuk, kemudian bergerak seperti menggunting. Sesekali kedua jari itu juga bergerak masuk dan keluar dengan tempo yang cepat. Penis Seungwoo mulai meneteskan pre-cum lagi, terangsang oleh stimulasi Seungyoun.
Beberapa saat kemudian Seungyoun menekuk jarinya ke atas seraya bergerak, mengenai prostat Seungwoo berkali-kali dan membuat yang lebih tua mendesah kian keras. Jari Seungyoun memang tidak sepanjang milik Seungwoo, namun ia sangat lihai mengarahkan dan menekuknya hingga mengenai setiap titik kenikmatan dengan presisi.
“Aah—hhh, Youn—ngh!”
“Di sini, hyung? Enak, ya?”
“Enak, ah, enak, Youn!”
Seungyoun mempercepat ritmenya, membuat Seungwoo semakin melayang. Pinggul Seungwoo bergerak maju-mundur, bertemu dengan tusukan Seungyoun.
“Mau tambah lagi jarinya, Seungwoo-hyung?” tanya Seungyoun setelah beberapa lama.
Pikiran Seungwoo berusaha keras untuk mencerna dan menyusun jawaban pertanyaan itu, namun memakan waktu lama karena nafsu yang menutupi seluruh akal sehatnya.
“Hhh,” gumam Seungwoo, alisnya mengerut seraya ia berkonsentrasi. “Mau, hhh.”
Kekehan kecil terdengar dari arah belakang bersamaan dengan jari manis Seungyoun yang akhirnya ikut masuk ke liang sempit Seungwoo. Tanpa basa-basi ia menggerakkan tiga jarinya dengan cepat, menstimulasi prostat yang lebih tua tanpa ampun. Seungwoo mendesah dan merintih begitu nyaring hingga suaranya pecah, matanya berair dan mengerjap berulang kali. Bola matanya sendiri sudah berbalik ke atas, pikirannya hanya berfokus pada sensasi jari Seungyoun yang memuaskannya dengan lihai.
“Enak, Seungwoo-hyung?”
“Ngh—hhh, hng—”
“Saking enaknya nggak bisa ngomong, ya?”
“Ah, ah, hng—hhah!”
Tidak lama kemudian gerakan badan Seungwoo kian meliar, pinggulnya bergerak mencari nikmat lebih dari jari Seungyoun. Kakinya sudah gemetar hebat, penisnya juga tegang sepenuhnya. Tangan Seungwoo meraih ke belakang, hendak menyentuh penisnya—namun ditepis oleh Seungyoun.
“Hhh, Youn!” rengek Seungwoo, menoleh ke belakang. Ia disambut seringaian jahil Seungyoun.
“Nggak boleh. Aku mau liat hyung klimaks tapi nggak disentuh. Bisa kan?”
Seungwoo menghela napas, meyakinkan dirinya sendiri. Ia bisa menuruti itu. Toh jari Seungyoun sudah lebih dari cukup untuk menstimulasinya. Ia pun mengangguk.
“B—bisa, hhng.”
“Alright.”
Seungyoun melihat keadaan Seungwoo dan mengetahui bahwa yang lebih tua sudah dekat dengan klimaksnya. Maka ia pun mempercepat temponya, menghujam anal Seungwoo tanpa ampun.
“Keluarin aja, hyung, lepasin.”
“Aah, ngh—Youn!”
Seungwoo pun akhirnya orgasme, badannya menegang dan penisnya menumpahkan sperma ke sprei di bawahnya. Suaranya sudah hilang dan matanya terpejam, mulutnya terbuka dengan saliva yang mengalir.
Jari Seungyoun terus bergerak sampai Seungwoo merengek karena overstimulation yang menimpa tubuhnya yang terlalu sensitif.
Pemuda di belakangnya pun akhirnya mengeluarkan jarinya, membuat Seungwoo mengerang karena liangnya yang terasa kosong. Seungyoun bangkit, mengecup punggungnya, tengkuk, kemudian daun telinga.
“Puas, hyung?” tanyanya.
Seungwoo menjawabnya dengan terengah, “Puas, hhh.”
“Baguslah.”
“Tapi hyung belum puasin kamu,” lanjut Seungwoo, menoleh ke belakang.
Seungyoun membelalak, lalu tertawa kecil. “Mau ngapain, hm?”
Seungwoo tidak membalasnya, alih-alih mengubah posisinya menjadi duduk dan bersandar di dipan.
“Lepas celana kamu, terus duduk di sini,” katanya sambil menepuk paha telanjangnya. Seungyoun pun menurut, melepas celana pendek dan boxernya sehingga hanya kaus putih tipisnya yang melekat di badan. Ia lalu menaiki pangkuan Seungwoo, mendesah pelan saat penisnya bersentuhan dengan pelvis Seungwoo.
“Aku mau ngelakuin ini,” lanjut Seungwoo, kemudian membalut penis Seungyoun dengan tangannya. Penis yang ukurannya lumayan besar itu jadi terlihat kecil saat digenggam tangan Seungwoo.
Seungyoun menghela napas, tangannya sendiri mencengkeram bahu Seungwoo. Ia mendesah saat tangan yang lebih tua mulai bergerak naik-turun, menstimulasi penisnya dengan ritme cukup cepat. Terkadang jempol Seungwoo menekan bagian slit-nya, membuatnya tersentak karena nikmat yang muncul.
“Ah—hng, Seungwoo-hyung, ngh, Seungwoo-hyung!” ucap Seungyoun mengulang nama yang lebih tua bagai mantra. Pinggulnya juga bergerak maju-mundur, membuat selangkangannya bergesekan dengan paha Seungwoo.
Sesekali testikelnya juga disentuh oleh Seungwoo, kemudian pembuluh sensitif yang berada di bagian batang. Pre-cum Seungyoun mengalir terus-menerus, membasahi penisnya sendiri dan tangan Seungwoo. Sesekali mereka mencondongkan kepala masing-masing, berciuman dengan panas selama beberapa saat.
“Enak, Youn?” tanya Seungwoo, mempercepat temponya saat gerakan badan Seungyoun mulai kehilangan ritme—tandanya sudah dekat dengan orgasme.
Seungyoun tersengal, terus menggesek selangkangannya ke paha Seungwoo. “Enak—hhah, enak banget, hyung—”
“Mau keluar?”
“Mau—hng, mau hyung, boleh ya? Boleh kan? Youn—hhh, anak baik, kan?”
Seungwoo tersenyum melihat ekspresi Seungyoun yang sudah kepayahan, peluh mengalir di pelipisnya dan saliva membasahi dagu. Pemuda itu benar-benar nyaris klimaks. Ia pun memutuskan untuk memberi izin.
“Boleh, sayang. Anak baik, sebut nama hyung, ya?”
“Seungwoo—hhh, hyung, Seungwoo—”
Orgasme pun menerpa Seungyoun, badannya membusur ke depan dan menjadi kaku. Spermanya keluar dan muncrat membasahi tangan Seungwoo dan kaus mereka berdua dengan benang-benang kental berwarna putih. Tangannya mencengkeram bahu Seungwoo begitu erat. Matanya menatap Seungwoo, alisnya mengerut dan mulutnya membuka tanpa suara.
Setelah klimaksnya selesai Seungyoun terkulai lemas di atas Seungwoo, kepalanya ia sandarkan di bahu yang lebih tua seraya mengatur napas. Seungwoo hanya terdiam sambil mengecup bahunya sesekali dan mengusap punggungnya.
“Hyung,” gumam Seungyoun beberapa lama kemudian.
“Hm?”
“Makasih, ya.”
“Buat apa, Youn?”
“For letting me in, and doing these things,” Seungyoun mengangkat kepalanya, tersenyum lugu. “Aku udah pengen banget nyentuh hyung dari lama.”
Seungwoo terkekeh. “Aku yang makasih, Youn. Aku juga sama soalnya.”
“Kalo gitu, kita impas.”
“Iya.”
Kedua pemuda itu berdiam beberapa lama lagi, kemudian Seungyoun bangkit dari pangkuan Seungwoo dan meraih tisu yang ada di nakas. Ia pun mulai mengelap cairannya yang ada di tangan Seungwoo dan paha serta baju mereka. Seungwoo sendiri mengambil baju ganti dan sprei baru.
Mereka pun mengganti sprei, meletakkan baju kotor di keranjang laundry, mengenakan baju dan celana baru (ya, Seungyoun memakai baju Seungwoo karena ia malas kembali ke kamarnya), kemudian minum air dan kembali berpelukan di kasur.
Seraya berbaring berhadapan dengan kaki yang menimpa satu sama lain, mereka bertatapan dengan lembut satu sama lain.
Setelah menutupi diri dengan selimut, Seungyoun memegang tangan kanan Seungwoo lalu meletakkan tangan kirinya sendiri sehingga telapak mereka bersentuhan.
“Tangan hyung gede banget,” celetuknya sambil sedikit merengut. Seungwoo hanya tertawa kecil. Anak ini lucu sekali, baik jika sedang tersenyum atau merajuk.
“Tapi jari kamu jago puasin hyung, tau,” sahutnya.
Seungyoun nyengir malu-malu, matanya menyipit lucu. “Jari hyung juga nikmat banget.”
“Makasih, lho,” balas Seungwoo sambil tersenyum lebar. Malam ini rasanya benar-benar seperti mimpi. Apa yang dulu hanya berupa angan-angan terjadi barusan.
Ia bersama Seungyoun, menyentuh dan memuaskan satu sama lain. Bersama membalut diri dalam ekstasi.
Seraya kantuk menghampiri, mereka mengobrol tentang beberapa hal lagi. Lama-kelamaan mereka semakin dekat, dan akhirnya Seungwoo menemukan pinggangnya didekap oleh Seungyoun yang menyandar di dadanya.
“Hyung,” celetuk Seungyoun lagi, nadanya sudah mengantuk.
“Hm?”
“Next time aku yang dimasukin jari ya.”
Seungwoo mendengus geli. Dasar anak ini. Tetapi ia merasakan antisipasi lagi—akan ada lain waktu. Mereka berdua akan melakukan hal ini lagi.
“Oke, Youn,” jawabnya.
“Oh, terus,” Seungyoun mengecup lehernya, lalu mengeratkan pelukan di pinggang Seungwoo.
“Apa?”
“Bayangan yang lain harus kita cobain juga, ya. Semuanya. Are you down?”
Seungwoo mengelus rambut Seungyoun dengan jemarinya, meniti surai hitam yang halus. Ia kemudian mengecup puncak kepala yang lebih muda.
“I’m down.”
“Good.”
—fin.