longlivecsy


for khaul. ♥️

💙🧡 ryeonseung/seungzz.

⚠️ usage of vulgar words (penis, anal, sperma), masturbation, frottage/mutual masturbation, anal fingering, cumming untouched, handjob.


Seungwoo melihat kukunya yang baru saja ia rapikan. Apik, cantik, lentik. Cocok untuk kegiatannya malam ini—walau kotor.

Setelah mengambil tube lubrikan rasa ceri di nakas dan membalur jarinya, Seungwoo melepas boxer dan menyamankan diri. Kaus katun yang dikenakannya tetap melekat.

Ia pun memposisikan badannya untuk tengkurap, bertumpu dengan siku dan lutut. Seraya menarik napas beberapa kali, ia meletakkan tangan yang sudah berbalut lubrikan ke bibir analnya yang baru ia bersihkan sebelum ini.

“A-ah,” desahnya pelan sambil menggerakkan telunjuknya secara memutar di sekitar lubangnya, membuat sekujur tubuhnya merinding.

Perlahan ia masukkan jari telunjuknya tersebut, lambat, lambat sekali. Dinding analnya langsung mengatup di antara jarinya itu, hangat dan erat. Sial, baru sebentar ia tidak menyentuh diri sendiri, namun lubangnya sudah sempit saja.

Seungyoun akan mengejeknya seperti perawan.

Dengusan keluar dari mulut Seungwoo kala fantasi akan yang lebih muda terbersit di otaknya, merangsang seluruh saraf dan nalurinya.

Sambil mulai menggerakkan jari, pikirannya yang tadi menepis bayangan akan Seungyoun mulai menerima, membayangkan pemuda itu menyentuhnya, menjamahnya.

“Hhh, Youn—hng,” rintihnya sambil menambah jari tengah, kian lirih saat ia lebarkan untuk meregangkan liangnya. Kakinya sudah gemetaran dan cairan pre-cum menetes dari penisnya yang tegang.

Seungwoo hendak menyentuh penisnya sendiri, namun tiba-tiba ia terbayang sebuah suara melarangnya.

Jangan, Seungwoo-hyung, aku sudah bilang padamu untuk hanya memakai jari, kan?

“Hng, Youn, aku gak bisa—aku—hhah, nggak tahan—”

Lebih enak kalau nggak disentuh, hyung, percaya sama aku.

“Ah, ah—oke, oke...”

Jari Seungwoo bergerak kian cepat, pikirannya berkabut dan buyar. Sesekali ia tekuk jarinya ke atas, mengenai prostatnya dan membuatnya mendesah begitu nyaring—ia harus menenggelamkan muka di sprei agar suaranya teredam.

Seungwoo akhirnya menambah jari ketiga, jari manisnya. Pada saat ini matanya sudah menutup setengah, menatap dinding kamarnya dengan sayu. Badannya terasa panas meski pendingin ruangan menyala.

“Ngh, ah—kh,” desahnya kian penuh nikmat, jarinya bergesekan dengan dinding analnya dan menghujam prostatnya berulang kali.

Ia merasa puncaknya semakin dekat.

“Hhh—ah, ah!”

Lebih cepat lagi.

“Hng, Youn—”

Sedikit lagi.

“Aah, Seungyoun, ngh!”

Sampai—

“Seungwoo-hyung, aku mau ngembaliin headp—ASTAGA MAAF!”

Semua kabut di otak Seungwoo lenyap seketika. Pikirannya bagai direm mendadak, matanya yang tertutup membuka dan terbelalak. Itu bukan fantasinya, itu suara nyata.

Ia berbalik badan dan mendudukkan diri.

Itu Seungyoun, di daun pintunya yang baru saja dibanting tertutup kembali.

Sial. Rutukan demi rutukan langsung menghampiri pikiran Seungwoo. Dari semua orang, yang memergokinya adalah Seungyoun! Saat ia sedang menanamkan tiga jari dalam analnya, seperti seorang jalang!

“Youn?” cicitnya pelan, entah terdengar atau tidak.

“Seungwoo-hyung?” suara Seungyoun terdengar dari balik pintu. Ternyata ia belum pergi. Betapa beruntungnya Seungwoo hari ini.

“Uh—” ia menelan ludah, “apapun yang kamu liat barusan, boleh tolong lupain?”

Hening.

“Youn?”

“Iya—iya, Seungwoo-hyung, boleh,” Seungyoun menyahut dengan pelan, sangat pelan.

“Oke.”

Suasana kembali hening. Seungwoo hanya menunduk, mencengkeram sprei hingga buku jarinya memutih. Rasa malunya tiada tara. Entah bagaimana ia akan menghadap Seungyoun setelah semua ini. Meskipun yang lebih muda mengatakan bisa melupakannya, ia tahu itu dusta. Tidak ada yang bisa melupakan kejadian memalukan seperti tadi.

Bodoh, Seungwoo. Bodoh sekali.

Hyung?

Alis Seungwoo mengerut. Mengapa anak itu belum pergi?

“Ya?”

“Tadi hyung nyebut namaku, ya?”

Semesta memang suka bercanda. Belum cukup kesialan yang menimpanya, sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa Seungyoun mendengar desahannya. Rasanya ia ingin melebur saja lalu menghilang dari dunia.

“Iya, Youn. Maaf.”

“Nggak—uh, jangan minta maaf.”

Apa?

“Maksudnya?”

“Um... how do I say this? That’s honestly... hot.

Seungwoo mengernyit heran. Ia tidak menyangka tanggapan itu untuk keluar dari mulut Seungyoun. Apalagi setelah melihat dirinya dengan kondisi barusan.

“Aku nggak ngerti, Youn.”

“Aku—hyung? Boleh buka pintunya?”

Anak ini sepertinya sudah gila. Seungwoo saja tidak sanggup melihatnya, malah tiba-tiba meminta untuk tatap muka. Apa memergokinya tidak cukup untuk menghancurkan harga dirinya?

Namun walau dengan pikiran seperti itu, Seungwoo tetap berjalan ke pintu setelah memakai boxernya kembali. Ia buka pintu itu perlahan, dan langsung bertatapan lurus dengan Seungyoun. Seungwoo langsung menyesal. Rasa malunya semakin meningkat.

“Maaf, Youn,” hanya itu yang bisa ia katakan.

Seungyoun menjilat bibirnya. Seungwoo langsung menatap ke arah lidahnya yang timbul sejenak.

Hyung, kamu tadi ngebayangin aku?”

Seungwoo menghela napas dalam, kepalanya menunduk. “Iya.”

“Sering?”

“... Iya.”

“Aku doang?”

“Mmm.”

“Seungwoo-hyung, liat aku.”

Mata Seungwoo melirik ke atas, bertemu kembali dengan manik legam yang lebih muda. Mukanya sudah merona sampai ke telinga.

Hyung, I said it was hot, right?

Seungwoo mengangguk.

Senyuman tipis terbentuk di bibir Seungyoun, pipinya juga ikut memerah. “Well, aku gak bohong. That was really hot.

Pikiran Seungwoo sudah kosong, tidak bisa menentukan reaksi apa yang ingin dia keluarkan. Ia tidak tahu Seungyoun menganggap desahannya... menggoda. Seksi.

“Aku nggak tau mau ngomong apa, Youn.”

“Nggak apa-apa,” Seungyoun berdeham, “aku juga sering bayangin kamu, hyung. Aku minta maaf juga.”

Seungwoo kembali mengernyit. “Apa?”

“Aku—aku nyentuh diri sendiri sambil bayangin Seungwoo-hyung juga.”

“Oke...”

“Ah, maaf jadi gak nyaman gini,” kata Seungyoun canggung, “aku pergi ya, hyung. Nggak usah pikirin yang tadi, santai aja.”

Seungwoo menatap Seungyoun yang berbalik badan, namun kini pikirannya justru dipenuhi rasa penasaran. Seungyoun juga membayangkan dirinya?

“Seungyoun.”

“Iya, hyung?” Seungyoun menoleh ke arahnya.

“Kamu bayangin aku kayak gimana?” tanyanya pelan.

Seungyoun mengerjap, terlihat terkejut. Tetapi sebelum Seungwoo sempat menarik perkataannya, pemuda itu berjalan mendekatinya kembali.

Ia bertanya pelan. “Mau tau, hyung?”

“Uh, iya,” jawab Seungwoo ragu-ragu.

“Kadang aku bayangin hyung, di kasur, desahin nama aku sambil aku gempur berulang kali. Aku manjain sampe hyung keenakan dan gak bisa ngomong lagi,” bisik Seungyoun, nadanya merendah. Seungwoo hanya terdiam, membiarkan yang lebih muda melanjutkan perkataannya.

“Kadang aku bayangin hyung yang masukin aku, gerak sampe aku lemes, terus fingering aku juga, bikin aku desah sampe semua orang denger,” lanjutnya, “kadang aku yang muasin liang Seungwoo-hyung pake jariku, ngenain titik nikmat hyung terus-terusan.”

Napas Seungwoo sudah memburu, badannya kembali panas saat mendengar fantasi Seungyoun akan dirinya. Bayangan itu langsung berputar di kepalanya bagai film biru, begitu jelas dan begitu nyata.

“Kalo Seungwoo-hyung, gimana?”

Seungwoo hendak menolak untuk menjawab, namun nalurinya berkata lain. Ia ingin sekali memberitahu Seungyoun tentang fantasinya. Selain sebagai balasan, ia juga ingin mengatakan apa yang selama ini ia bayangkan.

Maka ia pun melakukannya.

Persetan.

“Tadi aku bayangin kamu fingering aku, terus bilang aku gak boleh nyentuh diri sendiri,” katanya pelan, suaranya sedikit pecah. “Aku juga bayangin kamu di atas aku, gerakin pinggang, liang kamu sempit di sekitar penis aku. Kadang aku yang gerak, muasin punya kamu.”

Ia mendengus keras saat perkataannya selesai. Penisnya sudah tegang lagi sekarang, semua fantasi baik dari Seungyoun maupun dirinya. Memalukan, tapi ia memang terangsang.

“Mau coba, hyung?”

Seungwoo menatap yang lebih muda dengan terkejut. “Hah?”

“Mau coba sama aku? Tadi belum selesai, kan?”

“Belum, sih ... tapi nggak usah kalo nggak mau, Youn, aku—”

“Seungwoo-hyung mau, nggak?” potong Seungyoun, tatapannya serius.

Seungwoo menghela napas. Ia tidak ingin hubungan mereka merenggang setelah ini. Namun ini adalah kesempatannya untuk, paling tidak, bersama Seungyoun walau satu kali.

Seungyoun yang menawari, jadi tidak bisa dipungkiri yang lebih muda juga ingin.

“Mau,” jawab Seungwoo akhirnya. Singkat, padat, jelas. Ia tidak peduli lagi, nafsu benar-benar memenuhi benaknya.

Seungyoun tersenyum lagi, namun matanya sudah gelap. Ia pasti sudah tidak tahan juga. “Oke, aku boleh ke dalam?”

“Boleh.”

Jantung Seungwoo sudah berdebar tidak karuan. Antisipasi dan fantasi bergabung jadi satu. Seungyoun berada dalam satu ruangan dengannya, hendak menyentuhnya. Rasanya seperti mimpi saja.

“Seungwoo-hyung, aku boleh cium?”

Ia menatap pemuda yang mendekatinya itu, lalu tanpa ragu-ragu menjawab, “Boleh.”

Napas mereka memburu bersamaan seraya wajah mereka mendekat, lalu bibir mereka pun bersentuhan. Awalnya lembut dengan kecupan halus, merasakan tekstur bibir masing-masing. Kemudian entah siapa yang memulai—ciuman mereka mulai panas, sesekali menyelipkan lidah dan menggigit bibir satu sama lain. Lenguhan dan desahan lolos dari mulut mereka, disertai liur yang menetes ke dagu karena cumbu yang berantakan.

Akhirnya bibir mereka pun terpisah. Baik muka Seungwoo dan Seungyoun sudah merah, lengkap dengan bibir yang basah dan membengkak. Mereka menatap satu sama lain dengan sorot penuh hasrat yang tidak terbendung.

Hyung, berlututlah seperti tadi di kasur,” pinta Seungyoun, yang langsung dituruti Seungwoo.

Saat ia sudah bertumpu dengan siku dan lututnya kembali, Seungwoo bisa merasakan presensi Seungyoun di belakangnya, tatapannya bagai menembus kulit.

Tangan Seungyoun menyentuh punggungnya, menelusuri sampai bawah, hingga akhirnya menyentuh celana boxernya. Sentuhan seringan bulu namun membuat seluruh bulu kuduknya berdiri.

“Aku buka, ya?”

“Mm-hm.”

Celana boxer itu pun ditarik oleh Seungyoun sampai lepas dari kaki Seungwoo. Sekarang bagian bawah Seungwoo benar-benar telanjang, terpampang untuk Seungyoun.

Seungyoun menghampiri nakas tempat lubrikan berada, dan membalurkan lube itu ke jarinya. Ia pun mendekati Seungwoo kembali dan menaiki kasur, tepat di belakangnya.

Hyung, bagaimana kau membayangkanku?” tanya Seungyoun lembut.

“Ah, pertama kau menelusuri cincinnya dulu,” jawab Seungwoo. Perkataan itu langsung dilakukan oleh yang lebih muda, membuat Seungwoo tersentak dan melebarkan kakinya secara otomatis.

Seungyoun menyentuh bibir anal Seungwoo dengan gerakan memutar, lalu melanjutkan pertanyaannya, “Lalu, apa yang aku lakukan?”

“Kau—kau, hhh, memasukkan jari telunjukmu—aah!”

Jari telunjuk Seungyoun melesak ke dalam perlahan, mendesak dinding anal Seungwoo yang langsung mengatup erat. Kontan yang lebih tua tidak bisa menahan desahannya.

“Begini, hyung?” tanya Seungyoun, menggerakkan jarinya kesana-kemari.

“Ngh, ah, iya—” Seungwoo menggoyangkan pantatnya, berusaha mencari lebih banyak gesekan.

“Kemudian bagaimana?”

Seungwoo menelan saliva yang berkumpul di mulutnya, lalu menjawab, “Jari k—kedua.”

Dinding anal Seungwoo seketika dipaksa melebar kala jari tengah Seungyoun ikut masuk, kemudian bergerak seperti menggunting. Sesekali kedua jari itu juga bergerak masuk dan keluar dengan tempo yang cepat. Penis Seungwoo mulai meneteskan pre-cum lagi, terangsang oleh stimulasi Seungyoun.

Beberapa saat kemudian Seungyoun menekuk jarinya ke atas seraya bergerak, mengenai prostat Seungwoo berkali-kali dan membuat yang lebih tua mendesah kian keras. Jari Seungyoun memang tidak sepanjang milik Seungwoo, namun ia sangat lihai mengarahkan dan menekuknya hingga mengenai setiap titik kenikmatan dengan presisi.

“Aah—hhh, Youn—ngh!”

“Di sini, hyung? Enak, ya?”

“Enak, ah, enak, Youn!”

Seungyoun mempercepat ritmenya, membuat Seungwoo semakin melayang. Pinggul Seungwoo bergerak maju-mundur, bertemu dengan tusukan Seungyoun.

“Mau tambah lagi jarinya, Seungwoo-hyung?” tanya Seungyoun setelah beberapa lama.

Pikiran Seungwoo berusaha keras untuk mencerna dan menyusun jawaban pertanyaan itu, namun memakan waktu lama karena nafsu yang menutupi seluruh akal sehatnya.

“Hhh,” gumam Seungwoo, alisnya mengerut seraya ia berkonsentrasi. “Mau, hhh.”

Kekehan kecil terdengar dari arah belakang bersamaan dengan jari manis Seungyoun yang akhirnya ikut masuk ke liang sempit Seungwoo. Tanpa basa-basi ia menggerakkan tiga jarinya dengan cepat, menstimulasi prostat yang lebih tua tanpa ampun. Seungwoo mendesah dan merintih begitu nyaring hingga suaranya pecah, matanya berair dan mengerjap berulang kali. Bola matanya sendiri sudah berbalik ke atas, pikirannya hanya berfokus pada sensasi jari Seungyoun yang memuaskannya dengan lihai.

“Enak, Seungwoo-hyung?”

“Ngh—hhh, hng—”

“Saking enaknya nggak bisa ngomong, ya?”

“Ah, ah, hng—hhah!”

Tidak lama kemudian gerakan badan Seungwoo kian meliar, pinggulnya bergerak mencari nikmat lebih dari jari Seungyoun. Kakinya sudah gemetar hebat, penisnya juga tegang sepenuhnya. Tangan Seungwoo meraih ke belakang, hendak menyentuh penisnya—namun ditepis oleh Seungyoun.

“Hhh, Youn!” rengek Seungwoo, menoleh ke belakang. Ia disambut seringaian jahil Seungyoun.

“Nggak boleh. Aku mau liat hyung klimaks tapi nggak disentuh. Bisa kan?”

Seungwoo menghela napas, meyakinkan dirinya sendiri. Ia bisa menuruti itu. Toh jari Seungyoun sudah lebih dari cukup untuk menstimulasinya. Ia pun mengangguk.

“B—bisa, hhng.”

Alright.

Seungyoun melihat keadaan Seungwoo dan mengetahui bahwa yang lebih tua sudah dekat dengan klimaksnya. Maka ia pun mempercepat temponya, menghujam anal Seungwoo tanpa ampun.

“Keluarin aja, hyung, lepasin.”

“Aah, ngh—Youn!”

Seungwoo pun akhirnya orgasme, badannya menegang dan penisnya menumpahkan sperma ke sprei di bawahnya. Suaranya sudah hilang dan matanya terpejam, mulutnya terbuka dengan saliva yang mengalir.

Jari Seungyoun terus bergerak sampai Seungwoo merengek karena overstimulation yang menimpa tubuhnya yang terlalu sensitif.

Pemuda di belakangnya pun akhirnya mengeluarkan jarinya, membuat Seungwoo mengerang karena liangnya yang terasa kosong. Seungyoun bangkit, mengecup punggungnya, tengkuk, kemudian daun telinga.

“Puas, hyung?” tanyanya.

Seungwoo menjawabnya dengan terengah, “Puas, hhh.”

“Baguslah.”

“Tapi hyung belum puasin kamu,” lanjut Seungwoo, menoleh ke belakang.

Seungyoun membelalak, lalu tertawa kecil. “Mau ngapain, hm?”

Seungwoo tidak membalasnya, alih-alih mengubah posisinya menjadi duduk dan bersandar di dipan.

“Lepas celana kamu, terus duduk di sini,” katanya sambil menepuk paha telanjangnya. Seungyoun pun menurut, melepas celana pendek dan boxernya sehingga hanya kaus putih tipisnya yang melekat di badan. Ia lalu menaiki pangkuan Seungwoo, mendesah pelan saat penisnya bersentuhan dengan pelvis Seungwoo.

“Aku mau ngelakuin ini,” lanjut Seungwoo, kemudian membalut penis Seungyoun dengan tangannya. Penis yang ukurannya lumayan besar itu jadi terlihat kecil saat digenggam tangan Seungwoo.

Seungyoun menghela napas, tangannya sendiri mencengkeram bahu Seungwoo. Ia mendesah saat tangan yang lebih tua mulai bergerak naik-turun, menstimulasi penisnya dengan ritme cukup cepat. Terkadang jempol Seungwoo menekan bagian slit-nya, membuatnya tersentak karena nikmat yang muncul.

“Ah—hng, Seungwoo-hyung, ngh, Seungwoo-hyung!” ucap Seungyoun mengulang nama yang lebih tua bagai mantra. Pinggulnya juga bergerak maju-mundur, membuat selangkangannya bergesekan dengan paha Seungwoo.

Sesekali testikelnya juga disentuh oleh Seungwoo, kemudian pembuluh sensitif yang berada di bagian batang. Pre-cum Seungyoun mengalir terus-menerus, membasahi penisnya sendiri dan tangan Seungwoo. Sesekali mereka mencondongkan kepala masing-masing, berciuman dengan panas selama beberapa saat.

“Enak, Youn?” tanya Seungwoo, mempercepat temponya saat gerakan badan Seungyoun mulai kehilangan ritme—tandanya sudah dekat dengan orgasme.

Seungyoun tersengal, terus menggesek selangkangannya ke paha Seungwoo. “Enak—hhah, enak banget, hyung—”

“Mau keluar?”

“Mau—hng, mau hyung, boleh ya? Boleh kan? Youn—hhh, anak baik, kan?”

Seungwoo tersenyum melihat ekspresi Seungyoun yang sudah kepayahan, peluh mengalir di pelipisnya dan saliva membasahi dagu. Pemuda itu benar-benar nyaris klimaks. Ia pun memutuskan untuk memberi izin.

“Boleh, sayang. Anak baik, sebut nama hyung, ya?”

“Seungwoo—hhh, hyung, Seungwoo—”

Orgasme pun menerpa Seungyoun, badannya membusur ke depan dan menjadi kaku. Spermanya keluar dan muncrat membasahi tangan Seungwoo dan kaus mereka berdua dengan benang-benang kental berwarna putih. Tangannya mencengkeram bahu Seungwoo begitu erat. Matanya menatap Seungwoo, alisnya mengerut dan mulutnya membuka tanpa suara.

Setelah klimaksnya selesai Seungyoun terkulai lemas di atas Seungwoo, kepalanya ia sandarkan di bahu yang lebih tua seraya mengatur napas. Seungwoo hanya terdiam sambil mengecup bahunya sesekali dan mengusap punggungnya.

Hyung,” gumam Seungyoun beberapa lama kemudian.

“Hm?”

“Makasih, ya.”

“Buat apa, Youn?”

For letting me in, and doing these things,” Seungyoun mengangkat kepalanya, tersenyum lugu. “Aku udah pengen banget nyentuh hyung dari lama.”

Seungwoo terkekeh. “Aku yang makasih, Youn. Aku juga sama soalnya.”

“Kalo gitu, kita impas.”

“Iya.”

Kedua pemuda itu berdiam beberapa lama lagi, kemudian Seungyoun bangkit dari pangkuan Seungwoo dan meraih tisu yang ada di nakas. Ia pun mulai mengelap cairannya yang ada di tangan Seungwoo dan paha serta baju mereka. Seungwoo sendiri mengambil baju ganti dan sprei baru.

Mereka pun mengganti sprei, meletakkan baju kotor di keranjang laundry, mengenakan baju dan celana baru (ya, Seungyoun memakai baju Seungwoo karena ia malas kembali ke kamarnya), kemudian minum air dan kembali berpelukan di kasur.

Seraya berbaring berhadapan dengan kaki yang menimpa satu sama lain, mereka bertatapan dengan lembut satu sama lain.

Setelah menutupi diri dengan selimut, Seungyoun memegang tangan kanan Seungwoo lalu meletakkan tangan kirinya sendiri sehingga telapak mereka bersentuhan.

“Tangan hyung gede banget,” celetuknya sambil sedikit merengut. Seungwoo hanya tertawa kecil. Anak ini lucu sekali, baik jika sedang tersenyum atau merajuk.

“Tapi jari kamu jago puasin hyung, tau,” sahutnya.

Seungyoun nyengir malu-malu, matanya menyipit lucu. “Jari hyung juga nikmat banget.”

“Makasih, lho,” balas Seungwoo sambil tersenyum lebar. Malam ini rasanya benar-benar seperti mimpi. Apa yang dulu hanya berupa angan-angan terjadi barusan.

Ia bersama Seungyoun, menyentuh dan memuaskan satu sama lain. Bersama membalut diri dalam ekstasi.

Seraya kantuk menghampiri, mereka mengobrol tentang beberapa hal lagi. Lama-kelamaan mereka semakin dekat, dan akhirnya Seungwoo menemukan pinggangnya didekap oleh Seungyoun yang menyandar di dadanya.

Hyung,” celetuk Seungyoun lagi, nadanya sudah mengantuk.

“Hm?”

Next time aku yang dimasukin jari ya.”

Seungwoo mendengus geli. Dasar anak ini. Tetapi ia merasakan antisipasi lagi—akan ada lain waktu. Mereka berdua akan melakukan hal ini lagi.

“Oke, Youn,” jawabnya.

“Oh, terus,” Seungyoun mengecup lehernya, lalu mengeratkan pelukan di pinggang Seungwoo.

“Apa?”

“Bayangan yang lain harus kita cobain juga, ya. Semuanya. Are you down?

Seungwoo mengelus rambut Seungyoun dengan jemarinya, meniti surai hitam yang halus. Ia kemudian mengecup puncak kepala yang lebih muda.

I’m down.

Good.

fin.


wooseokie ⭐️ youn, sorry banget gue gak bisa jagain esa hari ini

wooseokie ⭐️ tiba-tiba proyek gue deadlinenya dimajuin, jadi gue harus banget riset sekarang

wooseokie ⭐️ maaf banget ya, lo ada kontak jinhyuk kan? coba minta dia deh harusnya dia gak ada apa-apa

Me santai seok, no problem

Me jinhyuk lagi sibuk tesis kayaknya, jadi gue bawa esa ke kelas aja.

wooseokie ⭐️ you sure?

Me yep, cuma satu kelas kok hari ini

wooseokie ⭐️ ya udah, kontak gue kalo ada apa-apa ya?

Me gotcha

Seungyoun mengantungi ponsel di celana jeans gelapnya, kemudian merapikan kaus putih polos yang agak kusut di ujung. Ia pun kemudian memasukkan buku ke tas blacu, disertai botol dot berisi susu, handuk, dan beberapa popok.

Barang-barang yang tidak seharusnya dibawa seorang mahasiswa itu adalah untuk buah hatinya—Eunsang, pelipur laranya yang sudah hadir di dunia selama tujuh bulan. Sebuah keajaiban yang dulu ia anggap petaka, lalu sempat menjadi sumber gundah karena dipaksa untuk merawat oleh sang ibu yang tidak ingin berurusan.

Banyak asam garam yang mereka lewati berdua. Eunsang menangis, Seungyoun ikut menangis. Eunsang tertawa, Seungyoun tersenyum bahagia. Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa mereka memang belahan jiwa.

Sekarang, Seungyoun tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Eunsang. Walaupun ia sedang berkutat dengan semester kedua dari terakhirnya di kampus, ia tidak menganggap anaknya sebagai halangan. Malah, ia ingin bekerja keras untuk menemani anaknya tumbuh. Ingin menjadi saksi dalam melihat perjalanan hidup Eunsang.

Untungnya, keluarga dan sahabat-sahabatnya sangat suportif akan dirinya. Namun mereka semua jauh dan punya kesibukan masing-masing. Maka sekarang ia dan Eunsang tinggal di kondominium kecil dan nyaman dekat kampus. Tidak mewah, namun cukup untuk mereka berdua.

Untuk biaya, ia mempunyai pekerjaan sampingan yang bisa dikerjakan dari rumah saat tidak ada kuliah. Jadi ia masih sering menjaga Eunsang sendiri, walau sahabat-sahabatnya siap membantu jika ia harus pergi ke suatu tempat.

Seungyoun menghampiri ranjang mungil anaknya, tersenyum lebar saat melihat malaikat kecil itu sudah bangun. Ia tadi sudah memandikan Eunsang, lalu mengganti popok dan memberinya sarapan, jadi paling tidak masih ada waktu sampai Eunsang rewel lagi. Diangkatnya anak mungil itu, lalu ditimang perlahan.

“Eunsangie, hari ini ikut papa, ya?” tanya Seungyoun lembut.

Anaknya hanya membalas dengan gumaman tidak jelas dan tangan yang menggapai pipinya. “Um, uh!”

“Oke, kalau gitu kita berangkat!”

Setelah memastikan Eunsang cukup hangat dan sepatunya sudah rapat, ia pun mengecek barang-barang dan mengunci pintu. Udara hari ini tidak terlalu panas, jadi Seungyoun memilih untuk berjalan sedikit ke kampus, kemudian menggunakan shuttle bus yang disediakan ke gedung fakultasnya.

Sesampainya di kelas yang untungnya berada di lantai dasar, ia memilih untuk duduk di bagian tengah agak belakang. Ia pun meletakkan tas di samping kursi dan memangku anaknya.

“Hush, diem semua! Hari ini ada Eunsang!”

“Pagi Eunsangie dan Papa Youn!”

“Eh, kita ada tamu istimewa hari ini!”

Kelas sudah cukup ramai, tetapi kebisingannya langsung mereda saat Seungyoun masuk disertai sapaan kecil yang ditujukan pada Eunsang. Sudah merupakan kebiasaan mereka untuk menenangkan diri, karena kalau tidak, rewelnya Eunsang yang tidak nyaman akan keasingan ruangan tersebut akan mengganggu kuliah.

(Lagian, mereka juga suka melihat Eunsang yang sedang senang. Jarang-jarang Seungyoun membawa buah hatinya ke kelas, jadi mereka akan memanfaatkan momen untuk melihat anak manis itu memainkan kertas coretan ayahnya.)

“Pagi, Youn,” sapa seseorang yang baru saja datang dan duduk di bangku sebelah Seungyoun. “Tumben ada Esa hari ini?”

“Pagi, Gyul,” balas Seungyoun pada Hangyul, sohibnya sejak semester pertama itu. “Iya, yang jagain lagi pada nggak bisa. Lagian hari ini cuma ada satu kelas, jadi gue bawa aja si Esa.”

Hangyul manggut-manggut. “Eh, tapi hari ini dosen biasa kita gak ada, lho.”

“Lah, terus diganti siapa? Eh, Eunsangie, jangan diemut jempolnya sayang. Kotor.”

“Ko—koo—”

“Iya, sayang. Kotor, ya? Jangan. Eh, siapa yang gantiin, Gyul?”

“Dosen pengganti kayaknya. Gak tau deh kayak gimana.”

Seungyoun mendengus sambil mengelap tangan Eunsang dengan tisu. “Duh, semoga dia suka liat bayi deh.”

“Siapa juga yang gak suka liat Eunsang?” sahut Hangyul sambil memutar bola matanya.

“Ibunya.”

“Heh.”

“Emangnya gue salah?”

“... Ya, nggak juga sih,” balas Hangyul, kemudian menatap pintu. “Eh, dosennya tuh.”

Seungyoun menoleh, melihat seorang pria baru masuk ruangan. Ia mengernyit. Apa benar ini seorang dosen? Kelihatannya masih muda sekali, dengan rambutnya yang tertata rapi dan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Sweater berwarna cokelat yang menutupi kemeja senada membalut tubuhnya yang tinggi semampai.

What a sight, pikir Seungyoun. Nampaknya tidak hanya dia yang berpikir seperti itu, karena langsung terdengar bisikan-bisikan di sekitarnya. Tetapi sepertinya tidak ada yang tahu ia siapa. Mungkin dosen baru?

Pria itu berjalan ke depan kelas, meletakkan tas kecil yang dibawanya di meja dosen, kemudian melangkah ke depan para mahasiswa yang telah menunggu.

“Pagi, semuanya,” sapanya sambil tersenyum teduh.

“Pagi, pak!”

“Nama saya Han Seungwoo, dan mulai hari ini akan menggantikan Bu Hyunjung sebagai dosen dikarenakan beliau sudah mulai cuti melahirkan.”

Orang-orang mengangguk. Jika Seungwoo hendak mengajar sampai dosen lama mereka kembali, berarti kira-kira ia akan berada di sini selama empat bulan. Cukup lama.

“Nah, karena saya masih muda—banget, malah, kalian jangan panggil ‘pak’ ya. Panggil saya kakak aja. Saya bukan bapak-bapak soalnya,” lanjut Seungwoo disambut gelakan satu kelas.

Seungyoun ikut tertawa sambil mengelus-elus kepala anaknya yang menengok ke sana-sini. Mungkin Eunsang kaget karena tiba-tiba kebisingannya kembali.

“Kita kenalan seiring kuliah berjalan aja, ya. Sebelum mulai pembelajaran, ada yang perlu disampaikan?”

Hangyul mengangkat tangan. “Saya, kak.”

“Ya, silakan.”

Mata Hangyul melirik Seungyoun, beralih ke Eunsang, lalu menatap ke depan lagi. “Hari ini kelas kita ada tamu, kak.”

Seungwoo mengangkat alis, belum menyadari keberadaan Eunsang. “Oh, ya?”

“Iya, kak. Itu,” Hangyul kembali menoleh ke arah buah hati Seungyoun yang sedang memainkan tangan ayahnya.

“Oh!” Seungwoo tertawa kecil, baru melihat Eunsang yang memang tersembunyi di balik meja. Matanya bertemu dengan Seungyoun, membuat pemuda itu tersenyum canggung.

“Numpang dulu ya, kak,” ujar Seungyoun lembut, sambil memegang tangan Eunsang dan melambaikannya ke arah Seungwoo.

Sang dosen terkekeh, matanya menyipit—membuatnya terlihat semakin tampan. “Namanya siapa, hm? Sama nama papanya?”

Muka Seungyoun memerah. Biasanya dosen tidak menanyakan namanya sendiri, hanya Eunsang saja. Kali ini bisa dimaklumi karena Seungwoo belum mengenal Seungyoun.

“Aku Seungyoun, terus ini Eunsang,” jawab Seungyoun sambil nyengir. “Eunsangie, bilang hai, nak.”

“Aaah!” sapa Eunsang sambil melambaikan tangannya kesana kemari.

Seungwoo mengangguk, sudut bibirnya masih tertarik membentuk senyuman. Ia balas melambaikan tangan. “Salam kenal, Seungyoun dan Eunsang. Kalo ada apa-apa, langsung bilang aja ya?”

“Oke, kak.”

“Baik, kita mulai kuliahnya. Siapin buku catetan ya, karena saya mau jelasin yang nggak ada di textbook maupun diktat.”

Orang-orang pun berjibaku mengeluarkan catatan dan laptop masing-masing, tak terkecuali Seungyoun. Ia mengeluarkan notes dari tas serta tempat pensil. Sebenarnya laptop lebih praktis, namun ia takut cahaya dari layarnya menyakiti mata Eunsang.

Seungwoo mulai menjelaskan materi hari itu, sesekali menorehkan tinta spidol di papan tulis. Diskusi dan tanya jawab juga berlangsung sambil mereka mencatat. Seungyoun sendiri menulis dengan tenang, berfokus untuk mendengarkan sambil mengawasi Eunsang.

Anaknya itu selama ini tenang, hanya bermain-main dengan lengan bajunya. Namun mungkin lama-kelamaan ia bosan sehingga mulai bergerak ke berbagai arah. Seungyoun berusaha menenangkannya dengan memberinya botol susu, namun dasar anak baru tumbuh—minuman itu dengan cepat habis tak bersisa. Tidak lama kemudian Eunsang mulai rewel lagi. Ia berusaha merebut pulpen Seungyoun, kemudian mencoba mengambil tempat pensilnya di atas meja.

“Jangan, Eunsangie,” Seungyoun menahan badan anaknya yang mulai memberontak untuk turun ke lantai. Eunsang menepuk-nepuk lengan Seungyoun, kakinya bergerak ribut.

“Aah, uh!” rengeknya.

Seungyoun melirik ke depan, di mana penjelasan masih berlangsung. Duh, dia lupa membawa mainan untuk Eunsang pula, jadi anaknya tidak punya distraksi untuk diri sendiri.

“Hush, Eunsangie, nanti satu kelas keganggu,” bisiknya seakan Eunsang akan mengerti perkataannya. Atau mungkin anaknya itu mengerti intensi papanya, namun memang benar-benar bosan.

Bukannya menurut, Eunsang malah merengek semakin keras. “Aaah! Ah!” serunya sambil berusaha keluar dari kekangan Seungyoun.

Rengekannya itu cukup keras sehingga membuat penjelasan Seungwoo terhenti. Satu kelas menoleh ke arah Seungyoun.

“Ada masalah, Seungyoun?” tanya Seungwoo, berbalik badan dari papan tulis.

Sang papa hanya bisa nyengir malu, sambil mengangkat Eunsang. “Udah mulai rewel, kak. Saya bawa keluar dulu ya, maaf jadi ribut,” katanya sambil berdiri, hendak keluar kelas.

“Oh, nggak usah,” balas Seungwoo yang membuat Seungyoun mengangkat alisnya heran.

“Gimana, kak?”

Seungwoo berjalan mendekatinya, lalu mengulurkan tangan. Alis Seungyoun sekarang berkerut, bingung akan apa yang ingin Seungwoo lakukan. Mau mengajak salaman? Mengajak Eunsang bermain? Ia tidak mengerti.

“Um, dia mau sama orang lain nggak, Seungyoun?” tanya Seungwoo ragu-ragu.

“Mau-mau aja sih, kak ... kenapa?”

“Kalau boleh, saya aja yang gendong gimana?”

Seungyoun mengedipkan matanya, terkejut. Ia tidak menyangka akan ditawari seperti ini. Biasanya para dosen hanya akan maklum dan membiarkannya keluar bila Eunsang mulai berisik di kelas.

“Nggak apa-apa kalau kamu mau keluar, tapi saya pikir—um, sekalian aja biar kamu bisa nyatet, gitu.”

“Lah, kakak kan harus ngajar?” Seungyoun mengernyit.

Seungwoo tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Saya bisa, kok.”

“Udah Youn, gapapa, daripada kelewatan materi,” sahut Hangyul tiba-tiba, diiringi anggukan teman-temannya yang lain dan beberapa persuasi.

“Gak papa Youn, percaya aja sama Kak Seungwoo!”

“Iya, lagian kita mau kok liat dia ngajar sambil gendong Eunsang!”

Seungyoun mendengus. Dasar teman-temannya, memang suka menggoda. Ia tidak khawatir pada keamanan Eunsang—toh, ia akan bisa mengawasinya, dan ini ruang kelas yang tertutup. Hal yang membuatnya ragu adalah kerepotan Seungwoo nanti saat mengajar dan bagaimana ia akan merasa tidak enak.

“Nggak usah dipaksa, Seungyoun, saya cuma nawarin alternatif aja,” kata Seungwoo lagi setelah ia terdiam beberapa lama.

Ah, mungkin solusi ini tidak buruk. Ia juga butuh materi hari ini, dan belajar di rumah tidak akan optimal karena tidak bertatap muka.

Seungyoun menoleh ke arah Eunsang yang sedari tadi masih bergerak-gerak. Ia menggerakkan badan sehingga anaknya menghadap sang dosen. “Eunsangie, sama Kak Seungwoo dulu mau?”

Eunsang mengerjapkan matanya, melihat muka asing di hadapan. Seungwoo hanya tersenyum lembut, melambaikan tangannya pelan.

“Uuh!” tanpa terduga, Eunsang merentangkan tangannya ke arah Seungwoo, bibirnya tertarik membentuk senyuman lucu. Matanya berbinar, mungkin karena bertemu orang baru.

Satu kelas langsung riuh, gemas karena tingkah anak itu yang langsung mau digendong Seungwoo.

Seungyoun pun menyerahkan Eunsang ke gendongan Seungwoo yang menopang anaknya dengan kuat. “Kalo capek langsung ke aku lagi aja ya, kak,” ucapnya sambil tersenyum. “Makasih banyak.”

“Sama-sama, Seungyoun. Eunsangie, jadi asdos kakak dulu, yuk!” balas Seungwoo. Ia pun berjalan kembali ke papan tulis dengan Eunsang yang ia gendong dengan lengan kiri setinggi pinggang. Posisi anak itu sekarang bersender di bahunya.

“Oke, semuanya, kita lanjut ya,” Seungwoo menunjuk tulisan yang di papan. “Buat kategori yang ini, ada yang tahu contohnya? Harusnya ada di diktat kalian.”

“A-ga! Pa!”

Belum sempat mahasiswa yang di situ menjawab, Eunsang malah menjawab duluan sambil melambaikan tangannya. Sontak satu kelas tertawa geli, bahkan beberapa orang mengeluarkan ponsel dan merekam kelakuan Eunsang yang lucu itu.

Seungyoun sendiri terkekeh saat melihat itu. Anaknya memang sudah mulai banyak bicara, suka menyahut dan cerewet di sana-sini. Namanya juga masih bertumbuh. Ia senang menyaksikan anaknya belajar dari bunyi-bunyian di sekitarnya.

“Oh? Kamu tau jawabannya, Eunsangie?” tanya Seungwoo sambil menatap anak itu, tatapannya dibuat seakan-akan kagum (padahal sebenarnya geli).

Eunsang mengangguk. “Gah, ba-ba!” balasnya.

“Wah, kayaknya kamu harus gantiin saya jadi dosen,” kata Seungwoo sambil tergelak. “Gimana? Saya duduk aja ya, kalian diajarin Eunsang?”

“Mau kak!”

“Iya kak udah Eunsang aja yang jadi dosen kita!”

“Setuju!”

Seungwoo tersenyum geli. “Tumbuh gede dulu ya, Eunsangie? Kakak masih butuh duit,” katanya jenaka, diiringi tawa sekelas. “Ya udah, mari kita lanjutkan...”

Seungyoun menatap anaknya lembut. Tidak biasanya Eunsang mau digendong oleh orang asing begitu cepat, belum lagi tersenyum dan tertawa saat diajak mengobrol. Seringkali anaknya itu jengah setelah beberapa saat dan merengek ingin digendong kembali oleh papanya.

Sambil mencatat, ia melirik Seungwoo pula. Pria itu terlihat sangat tenang dalam menjelaskan, sesekali bercanda dengan anaknya dan bahkan terlihat senang saat pipi atau rambutnya dimainkan. Sesekali ia mengganti lengan yang menggendong Eunsang.

Ia terlihat sangat tenang dan lihai dalam menangani Eunsang dan memaparkan materi secara bersamaan. Mengayomi, namun tetap menjaga alur pembelajaran.

Tanpa sadar, ia tersenyum lebar melihat pemandangan di depannya. Jarang-jarang ia melihat Eunsang di gendongan orang lain selama ini, kecuali jika bersama keluarganya.

Terkadang tatapan Seungyoun dan Seungwoo bertemu. Lembut dan agak malu-malu. Ia tidak tahu apa persisnya yang ia rasakan kecuali rasa terima kasih. Maka ia hanya memperlebar senyumnya dan mengangguk penuh arti, yang dibalas sama tulusnya oleh Seungwoo.

Beberapa lama kemudian jam kuliah pun selesai. Materi yang disampaikan Seungwoo juga sudah lengkap, beserta janji untuk mengirimkan bahan-bahan yang diperlukan melewati portal daring.

“Karena perkuliahan hari ini sudah cukup, maka saya sudahi. Terima kasih semuanya,” ucap Seungwoo sambil meletakkan spidol.

“Makasih, kak!” jawab mahasiswa di kelas sambil membereskan catatan masing-masing.

“Oh iya, terima kasih juga buat asdos saya yang satu ini,” lanjut Seungwoo sambil tersenyum kepada Eunsang. “Saya nantikan lagi bantuannya di waktu lain.”

Seakan mengerti, Eunsang kembali bersuara dan tangannya menepuk-nepuk pipi Seungwoo. Satu kelas kembali bising karena gemas, tidak lupa bunyi kamera yang menjepret momen tersebut.

“Makasih, Eunsang!”

“Asdos favorit kita semua!”

“Nanti ngajar lagi ya!”

Seungyoun segera berjalan ke depan setelah selesai beberes, menghampiri Eunsang dan Seungwoo.

“Kak Seungwoo, makasih banyak ya—eh, Eunsangie sayang, ayo dong,” ucapnya seraya Seungwoo menyerahkan kembali Eunsang ke gendongannya. Anaknya itu merengek sedikit, mencengkeram sweater Seungwoo. Sepertinya ia tidak mau lepas.

Akhirnya Eunsang pun berada di dekapan Seungyoun sepenuhnya, bersandar di bahu papanya itu. “Pa,” gumamnya.

“Iya, sayang, kita mau pulang. Kak Seungwoo, sekali lagi makasih banyak. Kakak ngebantu aku banget. Maaf juga jadi ngerepotin, padahal kakak harusnya ngajar bukan jadi babysitter,” kata Seungyoun lagi sambil menunduk tanda terima kasih.

Seungwoo menggelengkan kepala. “Sama-sama, Seungyoun. Nggak apa-apa kok, gak masalah sama sekali. Saya malah seneng ngajar ditemenin anak sebaik Eunsang. Nggak rewel pula.”

“Ah, kakak belum liat aja dia biasanya gimana. Rewel parah!” Seungyoun tertawa geli, “Tapi entah kenapa tadi dia nempel banget sama Kak Seungwoo. Biasanya dia gak tahan sama orang asing.”

Mata Seungwoo terbelalak. “Oh ya?”

“Iya, biasanya langsung ngambek dia tuh.”

Mulut Seungyoun mengembang membentuk senyum canggung, pipinya sedikit merah. “Kak Seungwoo, kelas minggu depan aku bawain kopi ya? Kakak suka nggak?”

Seungwoo mengangkat alis. “Buat apa?”

“Buat balesan udah bantuin aku, kak.”

“Nggak usah, Seungyoun,” tolak Seungwoo, “kan tadi saya yang nawarin juga.”

Seungyoun menatap mata Seungwoo yang dibingkai kacamata. Mata cokelat yang indah, berkilau terkena cahaya matahari dari luar. “Aku maksa lho, kak,” ucapnya.

“Serius, Seungyoun, nggak perlu—”

“Aa-dah!” tiba-tiba, Eunsang berbalik dari posisinya dan menghadap Seungwoo, alisnya merengut.

“Tuh kak, Eunsangnya juga maksa,” kata Seungyoun sambil tersenyum congkak. Ia memang curang memanfaatkan anaknya, namun Seungwoo benar-benar membantu dirinya hari ini. Ia merasa tidak enak bila tidak membalas kebaikan dosen yang baru dikenalnya itu.

Seungwoo terkekeh, tawa renyahnya mengalun di ruang kelas yang sudah sepi itu. Terdengar seperti melodi di telinga Seungyoun. Lembut dan merdu.

Eh, kok Seungyoun berpikir seperti itu? Apakah ia terlampau lelah? Namun hari ini bahkan masih siang.

Entahlah.

“Ya udah, saya suka Iced Americano biasa,” jawab Seungwoo, akhirnya menyerah. “Makasih banyak, Seungyoun.”

“Iya, kak. Minggu depan aku bawain ke kelas, ya?”

“Nggak usah.”

Lah? Seungyoun mengernyit. Kalau tidak diberikan di kelas, bertemunya nanti susah. Apalagi kopi dingin yang es batunya kelamaan mencair, pasti tidak enak.

“Gimana, kak?” tanya Seungyoun heran.

Seungwoo berdeham. “Kita ... beli kopinya bareng aja gimana? Tapi nanti kamu yang bayar.”

Roda-roda di kepala Seungyoun berhenti seketika. Ia berusaha memproses perkataan Seungwoo dengan cepat, namun apa daya, dirinya terlalu terkejut.

“Eh?” hanya itu suara yang dikeluarkannya.

“Iya, deket kampus sini ada kedai kopi kecil, deket toko buku. Kamu tau?”

“Tau, kak.”

“Nah, kita ketemuan di situ aja minggu depan,” kata Seungwoo sambil menggaruk kepalanya canggung. “Daripada kamu repot bawa kopi ke kelas, kita beli bareng aja.”

Seungyoun hanya manggut-manggut, otaknya mencatat perkataan Seungwoo dengan lambat. Ketemuan... kedai kopi... toko buku... minggu depan. Oke. Ia mengerti. Ia harap ia mengerti.

“Gimana, setuju?”

“Eh, iya! Setuju, kak. Ketemuan sebelum kelas, berarti jam sembilan kurang, ya?”

“Iya,” Seungwoo tersenyum simpul, membuat wajahnya semakin tampan. Belum lagi lesung pipitnya yang begitu menyita perhatian—saking menariknya, lesung pipit itu harusnya ilegal.

Sepertinya pikiran Seungyoun memang sudah rusak.

“Oke, got it. Eh, tapi,” Seungyoun mengerutkan alis, lalu tanpa memproses kata-kata langsung tumpah dari mulutnya.

“Aku takut ada apa-apa dan jadinya tunggu-tungguan, um—kalo aku minta nomor Kak Seungwoo, boleh nggak?”

Bodoh, Seungyoun merutuki dirinya sendiri. Tidak sopan meminta nomor telepon pada pertemuan pertama seperti ini. Bagaimana bisa ia tiba-tiba berkata seperti itu? Tata krama dan common sense-nya seperti lenyap begitu saja.

“Eh, kalo nggak juga gak apa-apa, kak, kita bisa ketemuan di kedainya langsung,” kata Seungyoun pada akhirnya.

Alih-alih menolak permintaannya, Seungwoo malah mengulurkan tangan dan berkata, “Sini ponselmu, kakak catetin nomornya.”

Tanpa basa-basi Seungyoun langsung mengeluarkan ponsel dengan tangannya yang bebas dan menyodorkan ponsel pada dosen muda itu. Seungwoo pun langsung mencatat nomor teleponnya dan mengembalikan ponsel tersebut.

“Udah ya, Seungyoun.”

“Makasih, kak,” ucap Seungyoun sambil mengantungi ponselnya kembali. “Aku duluan kalo gitu.”

Seungwoo mengangguk. “Kamu balik ke rumah pakai apa?”

Shuttle bus terus jalan kaki, kak. Deket kok tempat aku dari sini.”

“Oh, oke. Hati-hati ya?”

“Iya. Eunsangie, bilang dadah ke Kak Seungwoo,” kata Seungyoun sambil menghadapkan anaknya itu ke arah Seungwoo. Eunsang melambaikan tangannya riang.

“Da-dah!”

Seungwoo balas melambaikan tangannya. “Dadah, Eunsangie. Sampai jumpa, Seungyoun.”

“Sampai jumpa, kak.”

Seungyoun pun berjalan ke luar kelas, tangannya mendekap Eunsang erat. Ia menatap anaknya yang asyik berceloteh tidak jelas, kemudian tersenyum penuh kasih.

“Bahkan kamu nggak ngapa-ngapain pun, kamu tetap kasih berkah buat papa. Makasih ya, Eunsangie.”

“Pa!”


wooseokie ⭐️ gimana hari ini, youn?

Me it went well. esa juga gak rewel banget.

wooseokie ⭐️ baguslah

Me eh, seok

Me kalo minggu depan lo bisa jagain esa nggak?

wooseokie ⭐️ bisa sih, kerjaan gue udah berkurang soalnya

wooseokie ⭐️ kenapa emangnya?

Me gonna go get a coffee with someone

wooseokie ⭐️ a date?

Me bukan

Me well, maybe.

fin.


A/N

Halo, ini chapter 1 dari “Three Times Happiness”. Awal dari ide cerita ini adalah plot cerita di game Episode yang bikin gue dan Kak Tii lagi-lagi diskusi lama.

Anyhow, kita udh mikirin gimana cara bikin cerita ini as realistic/human as possible, tapi ceritanya aja mpreg jadi ga mungkin juga bener-bener ngikut dunia nyata kaan.

Nobody's perfect, and so is Seungwoo. He has his own struggles and selfishness, tapi gue dan Kak Tii akan berusaha sebaik mungkin buat mengembangkan dia sebagai karakter.

Jaebum di kepala gue (re: Yuka) adalah Jay Park, tapi kalo kalian mau bayangin Jaebum yang lain juga gapapa. Y'all know who I meant.

Segala warning akan dicantumkan di chapter terkait, tapi yang general udah ada di awal thread ya. Tolong dibaca, dan kalo ada yang mau disampein, langsung mention/DM/ke CC aja. Makasih ya!


chapter 1: to build a home


Tik, tok. Tik, tok.

Kakinya berketuk-ketuk di lantai sesuai detakan jarum jam di dinding apartemen itu. Karena tidak beralas kaki, suaranya jadi tidak terlalu terdengar, namun untuknya bagaikan gong yang bergaung. Napasnya masuk dan keluar dengan dalam.

Di genggamannya ada sebuah kertas yang pinggirnya sedikit kusut karena diremas olehnya. Dipegang terlalu keras. Matanya menatap kaku kertas itu, terkadang berkedip, namun genangan di pelupuknya tidak kunjung turun. Mungkin belum cukup.

Isi kertas itu? Sekumpulan data dan angka yang font-nya seperti berasal dari mesin tik. Ada namanya, ada analisis yang tidak ia mengerti, dan nama sebuah rumah sakit dan dokter ternama. Ia bukan orang yang mengerti medis, jadi ia tidak tahu apa arti persis dari data-data tersebut. Tapi ada satu hal yang ia mengerti.

Seungwoo menghela napas. Ia menatap kekasihnya, Jaebum, yang berada di kursi di seberangnya. Lirikannya beralih ke kertas itu lagi, lalu ke Jaebum lagi. Begitu berulang kali.

“Ini serius?” tanyanya.

Jaebum mengangguk, mukanya sendu. “Iya.”

Muka Seungwoo mengernyit, matanya mengedip hingga satu tetes air mata akhirnya mengalir turun ke pipi porselennya.

“Aku mandul, kak?” bisiknya lirih. Hatinya terasa retak, lalu pecah berkeping-keping. Mengerut, membusuk. Hancur tak berbentuk. Kekasihnya kembali menganggukkan kepala.

Isakan yang sedari tadi memenuhi rongga dada dan membuat sesak, kini melesak keluar mengiringi tangisnya. Seungwoo merundukkan kepala, rambutnya menutupi wajah dari pandangan Jaebum. Kekasihnya itu berpindah dan duduk di sebelahnya, tangannya mengusap punggung Seungwoo, hendak menenangkan.

“Nggak apa-apa, Seungwoo,” kata Jaebum, menyandarkan kepala Seungwoo di bahu bidangnya, “aku nggak akan ninggalin kamu.”

Seungwoo hanya bisa mengangguk pilu, tenggorokannya tersumbat. Tapi ia memang tidak ingin bicara. Jiwanya menguap dengan kata-kata tadi, rasanya badan ini hanya tinggal cangkang tanpa penghuni. Sudah bertahun lamanya ia menginginkan anak. Ia selalu sebatang kara sepanjang hidupnya, dioper dari panti asuhan di sini ke satu yang di sana. Tidak ada habisnya, seperti lingkaran setan saja. Setelah lepas dari jeratan itu, ia sudah mampu bekerja dan menghidupi diri sendiri. Namun ia tetap saja sebatang kara.

Hubungan demi hubungan ia jalani, baik serius maupun hanya bermain-main, dengan harapan bahwa ia akan menemukan seseorang yang akan menemani hidupnya. Jaebum sendiri adalah salah satu pasangan yang bisa bertahan lama dengannya—biasanya orang akan berpisah dengan Seungwoo karena satu dan lain hal, tetapi kali ini bertahan cukup lama. Entah, mungkin Jaebum adalah teman hidupnya. Ia harap begitu.

Mereka telah membicarakan perihal anak beberapa kali, dan walau Jaebum terlihat tidak terlalu berminat, ia tidak pernah menolak secara terang-terangan. Maka beberapa minggu lalu, Seungwoo membujuknya untuk paling tidak melakukan tes kesuburan mereka berdua. Setelah berhubungan bertahun-tahun, Jaebum dan dirinya dirasa sudah siap untuk membangun keluarga. Keluarga yang selalu didambakannya, yang diimpikannya.

Kertas itu menghancurkan segala angan Seungwoo.

Segala harapannya untuk mempunyai rumah.

Ia hancur lebur. Tidak bisa mengandung anak, tidak bisa mempunyai buah hati dari darah daging sendiri. Padahal ia mempunyai keistimewaan sebagai seorang carrier, alias insan yang bisa hamil. Sekarang semuanya tidak berguna.

“Kak—Kak Jaebum,” isaknya, “maafin aku, kak.”

Jaebum memeluknya erat, menenggelamkan suara tangisan yang seakan tidak akan berhenti.

“Nggak apa-apa, Seungwoo.”

Mata Jaebum beralih ke kertas lecek yang jatuh ke lantai. Ia menghela napas, lalu kembali memeluk kekasihnya.

“Nggak apa-apa.”


Beberapa bulan berlalu. Seungwoo masih sendu, namun ia perlahan bangkit. Banyak jalan menuju Roma. Masih ada cara agar ia mendapat keluarga.

“Kak Jaebum,” sapanya sambil memasuki studio kekasihnya, yang merupakan produser musik. “Aku mau ngomong, boleh?”

Jaebum menoleh dari kursinya. “Boleh,” jawabnya singkat, lalu membalik kursi roda sehingga mereka berhadapan, “ada apa?”

Seungwoo menggigit bibirnya, tersenyum kecil. Matanya sedikit berbinar. Ia sebetulnya ingin sekali langsung menumpahkan apa yang ada di benaknya, namun ia harus pelan-pelan. Kalau terlalu cepat, nanti Jaebum kaget.

“Jadi, uh … aku belakangan nyari di internet tentang lembaga adopsi anak,” jelas Seungwoo pelan, “dan kurang lebih aku udah tau prosedurnya dan lain-lain …”

Jaebum hanya terdiam, maka ia melanjutkan.

“Adopsi anak yuk, kak?” senyumnya melebar seraya ia menyelesaikan apa yang ingin dikatakan.

“Nggak.”

Senyumnya menghilang. Alisnya mengerut, heran. “Kenapa?”

Kekasihnya itu menggelengkan kepala. “Aku lagi banyak proyek, kamu juga lagi sibuk, kan? Kayaknya kita belum cukup berkapasitas untuk jadi orang tua.”

“Tapi kak, aku yakin kita bisa—”

“Tidak, Seungwoo.”

Tenggorokan Seungwoo kembali terasa tersumbat. Ia menelan ludah, lengan panjang bajunya ia mainkan dengan tangan. Bibirnya ia gigit kuat-kuat hingga berubah warna menjadi putih. Tanpa suara, ia meninggalkan studio itu untuk menumpahkan air matanya dalam diam.

Jaebum tidak mengatakan apa-apa. Menyusulnya pun tidak.


Sejak saat itu, Seungwoo berulang kali berusaha untuk membujuk Jaebum lagi. Ia yakin bahwa kekasihnya itu lama-kelamaan akan luluh. Seraya meyakinkan Jaebum, ia juga menabung uangnya dan riset kesana-kemari mengenai adopsi anak, mulai dari status hukum hingga pendidikan.

Ia terus membujuk Jaebum. Menyatakan keinginannya dengan sungguh-sungguh, berharap Jaebum melihat niatnya. Melihat keinginannya untuk membangun kehidupan bersama.

Namun Jaebum sekeras batu. Pendiriannya tetap kaku. Ia bahkan tidak pernah berpikir dua kali sebelum menolak dengan berbagai alasan—pekerjaan, keuangan, kemampuan. Apapun itu, telinga Seungwoo terasa pekak mendengarnya.

Jaebum semakin lama semakin menjauh. Mereka bahkan jarang berhubungan badan lagi, dan jika mereka melakukannya, Seungwoo merasa kosong. Tidak ada lagi kehangatan yang dulu. Rasanya ia hancur lagi, namun jika dulu hancurnya seperti dijatuhkan dari gedung tinggi, kali ini seperti terkoyak dari dalam. Pelan, namun perih dan nyeri.

“Kak,” katanya dengan nada lelah. Mereka sedang makan malam, setelah memesan take out dari restoran oriental terdekat. Ia sudah jarang memasak, begitu pun Jaebum. Mereka berdua terlalu sibuk, tenggelam dalam urusan masing-masing. Mungkin ini cara mereka kabur dan menghindari satu sama lain.

Jaebum hanya meliriknya sambil mengunyah, tidak berhenti untuk berbicara. Tuhan, rasanya Seungwoo ingin tenggelam saja. Terlalu banyak hal telah berubah sejak hasil tes itu muncul. Ia berulang kali menyalahkan diri sendiri. Kalau saja ia tidak memaksa Jaebum untuk menjalani tes tersebut, mungkin mereka sekarang masih baik-baik saja.

Semua hanya untuk keinginan kecilnya. Kecil dan egois.

“Kak … kakak tahu aku selalu ingin punya keluarga,” ucapnya perlahan, “aku selalu sendiri dari kecil. Apa salahnya aku ingin punya anak?”

Jaebum mendengus. “Aku sudah berulang kali mengatakan alasannya padamu, Seungwoo.”

“Nggak ada kesempatan barang sedikit buat berubah pikiran?”

“Nggak.”

Seungwoo menghela napas. Ini usaha terakhirnya. “Kalau gitu, aku akan adopsi sendiri.”

Kunyahan Jaebum berhenti. Ia meletakkan kotak makanannya di meja, bersamaan dengan sumpit. “Maksudmu?” tanyanya.

“Ya, aku akan adopsi anak sendiri. Atas namaku. Kakak tidak akan berurusan dengannya.”

“Seungwoo, kita tinggal bersama.”

“Aku bisa membeli apartemen murah di pinggir kota,” jelas Seungwoo, “aku juga sudah menabung untuk biaya hidupnya nanti. Kak, tolonglah. Persiapanku sudah lebih dari cukup, aku juga mempunyai teman-teman yang siap membantu. Berikanlah aku kesempatan ini.”

“Ya sudah, pergi dari sini kalau kamu mau.”

Hah?

Seungwoo terdiam. Ia tidak menyangka Jaebum akan menolaknya secepat ini. Ia pikir keputusan nekatnya akan membuat Jaebum luluh dan setuju. Nyatanya tidak. Tetap saja kekasihnya berhati batu.

“Kak—”

Jaebum menatapnya tajam. “Dengar, Seungwoo. Aku sudah berusaha menahanmu beberapa bulan belakangan ini, namun ternyata kamu yang begitu keras kepala.”

Mulut Seungwoo membuka, seperti ikan koi. Tatapannya nanar.

“Aku tidak peduli, aku tidak bisa merawat anak dengan keadaan sekarang. Aku pikir kamu akan mengerti. Kamu pikir aku akan mengerti. Yah, sekarang aku tahu kamu hanya memikirkan diri sendiri.”

“Kakak juga memikirkan diri sendiri!” seru Seungwoo. “Sibuk dengan pekerjaan, padahal aku tahu kakak bisa membagi waktu untuk merawat anak—”

“Aku tidak ingin anak!” potong Jaebum, pandangannya keras. Tanpa ampun, tanpa celah. “Aku tidak mau anak, tidak pernah mau punya anak. Enyah saja kalau kamu berpikir dalam sedetik pun aku ingin anak, Seungwoo. Aku tidak mau.”

Pandangan Seungwoo memburam. Genangan mulai terbentuk di pelupuk matanya lagi. “Kak Jaebum, aku cuma mau rumah,” katanya lirih.

“Carilah di tempat lain kalau begitu. Rumahmu bukan di sini lagi.”

“Kak, tolong jangan—”

“Tadi aku bilang enyah, kan? Enyah, Seungwoo. Pergi.”

Untuk kesekian lainnya, Seungwoo hancur.

Ia bangkit dari kursinya, air mata sudah tumpah bak air bah ke pipi. Ia mengusap muka dengan lengan baju, mengambil ponsel dan dompet di meja lalu melangkah tanpa suara ke luar apartemen mereka. Kaki bersepatunya menapak keluar, menyusuri blok demi blok. Pada satu titik, ia jatuh terduduk di tanggul jalan yang sepi. Terang saja, itu sudah lumayan malam. Aktivitas di wilayahnya sudah nyaris nihil. Dinginnya udara tidak ia pedulikan.

Beban yang mengganjal pun keluar. Seungwoo menangis, terisak, meredam suaranya dengan tangan. Air mata mengalir deras ke pipi, dagu, leher. Menetes ke baju dan semen di bawahnya. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, seperti ada yang meremat badannya hingga remuk. Pikirannya berkecamuk, berpacu dengan cepat sampai ia tidak tahu lagi apa yang ia pikirkan.

Ternyata, setelah selama ini, Seungwoo terus menjadi insan yang sebatang kara.

Nampaknya hingga akhir hayat pun ia tidak akan pernah punya keluarga.

Selama beberapa lama ia meringkuk di tempat itu, mengecilkan diri sampai dirinya terasa lenyap dari dunia. Mungkin itu lebih baik, toh presensinya tidak menimbulkan perbedaan apapun. Tidak ada yang peduli ia ada atau tiada.

Sesuatu di kantongnya bergetar. Ah, ponselnya. Untung ia tidak lupa membawanya. Ponsel itu ia keluarkan seraya mengedipkan mata, berusaha melihat notifikasi yang tertulis.

Byungchannie woo, punya waktu untuk pergi? udah lama nggak ketemu. Sahabatmu ini rindu.

Seungwoo tersenyum. Byungchan, sahabatnya sejak kecil. Bukan sebatang kara sepertinya, namun sering mendampinginya saat kunjungan orang tua pemberi sumbangan ke panti. Dari situ, mereka berkenalan dan menjadi akrab. Masa remaja pun mereka bersama—dan bahkan sentuhan seksual mereka adalah terhadap satu sama lain. Tidak bisa dibilang hubungan romansa, namun merupakan sesuatu yang istimewa. Sampai sekarang ketika sudah berkarir mereka tetap mempunyai hubungan yang baik sebagai sahabat karib.

Byungchan memberinya tempat bernaung, memberinya sebuah suaka. Namun tetap saja, Seungwoo tetap menganggap mereka berbeda dunia.

Jarinya bergerak cepat di keypad, mengetik jawabannya.

Me aku free. mau ketemu dimana?

Byungchannie klub biasa. drinks on me.

Me nice. beri aku 5 menit.

Dengan itu, Seungwoo pun bangkit dari posisinya. Ia meregangkan tubuh sambil mengusap air mata, menggunakan ponselnya untuk merapikan rambut dan pakaian. Sedihnya sudah cukup malam ini. Sudah cukup berbulan-bulan terbawa sendu, kali ini ia ingin melepas pilu.

Jaebum? Persetan. Malam ini ia akan bersenang-senang.


Sesampainya di klub yang gemerlapan itu, ia menunjukkan kartu tanda identitasnya dan melangkah ke dalam. Dandanannya buluk sekali, hanya hoodie dan celana kain panjang. Tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin menenangkan keributan di otaknya. Langkah kakinya membawa diri ke meja di pojok ruangan, tempat Byungchan sudah duduk dengan dua seloki dan sebotol alkohol yang terpampang. Ia pun duduk di seberang sahabatnya itu, tersenyum tipis sambil menyapanya.

“Byungchannie.”

“Seungwoonie,” balas Byungchan sambil menepuk lengannya, “lama tidak bertemu. Kamu sibuk banget.”

“Maaf, pekerjaanku menumpuk,” sahut Seungwoo sambil menuang alkohol secukupnya. Ia menggoyangkan gelas itu sedikit, lalu menenggak cairan yang langsung menghangatkan tubuhnya.

Byungchan tertawa renyah. “Tidak apa-apa, aku bersyukur kamu belum lupain aku.”

“Mana mungkin aku bisa lupa. Kau satu-satunya orang yang berharga dalam hidupku.”

“Katakan itu pada Jaebum.”

“Aku akan mengatakannya.”

Mereka terdiam untuk beberapa saat. Seungwoo menghabiskan alkohol di gelasnya, lalu menuang likuor itu lagi. Byungchan menatapnya lekat-lekat selama itu, bola matanya bergerak-gerak, seakan mencari sesuatu di dalam Seungwoo. Sesuatu yang ia sembunyikan.

Trouble in paradise?” tanya Byungchan akhirnya, sambil meminum gin dan tonic dalam seloki yang ia pegang.

Seungwoo meliriknya, mengernyit. “Apa?” tanyanya.

“Aku tahu kau sedang ada masalah,” balas Byungchan.

Ia menggeleng. “Aku tidak punya masalah.”

“Kau pembohong yang buruk.”

Byungchan tetap diam dan menatapnya dengan tajam, meminta jawaban. Sahabatnya ini juga sama saja keras kepalanya dengan ia. Terkadang Seungwoo heran mengapa mereka tidak pernah menghajar satu sama lain.

“Kau tahu aku akan selalu mendengarkan keluhanmu, kan?” Seungwoo mengangguk, meringis seraya ia menelan alkohol yang menyengat tenggorokan. Jika biasanya rasa tersumbat di tenggorokannya tidak mengenakkan karena menahan tangis, rasa panas di tenggorokan karena alkohol adalah hal yang nikmat. Namun, jangan salah. Toleransi Seungwoo tinggi. Ia tidak pernah minum sampai mabuk, hanya untuk membuat dirinya santai saja. Byungchan pun sama. Makanya mereka selalu ingat apa yang mereka perbuat pada saat-saat seperti ini. Karena walaupun sadar itu tidak enak, banyak hal beresiko yang berpotensi untuk mereka lakukan.

“… Aku meminta anak pada Jaebum,” katanya pelan, meletakkan gelas di meja. “Ia tidak setuju, lalu setelah tes pun ternyata aku mandul.”

Byungchan menghela napas panjang, namun terdiam seribu bahasa.

“Lalu aku bilang kepadanya aku ingin adopsi anak. Aku sudah mempersiapkan segalanya, finansial, materil, dan mental. Namun ia malah mengusirku,” ucapnya dengan senyuman miris, “ia bilang tidak siap merawat. Katanya aku saja yang pergi, jika aku tetap berkeras. Ya udah, aku di sini kan?”

Lengan Byungchan perlahan merengkuhnya dalam pelukan hangat. Seungwoo bersandar di bahu pemuda itu, sekali lagi memperbolehkan air matanya untuk keluar dari pelupuk mata. Ia terisak satu kali, dua kali. Ia sudah lelah. Kebahagiaan yang ia inginkan tak kunjung datang.

“Mungkin ia tidak sungguh-sungguh. Namanya orang lagi marah,” kata Byungchan, berusaha menenangkan.

Seungwoo menggeleng. “Tidak. Aku tahu dia serius, dan tidak ada jalan keluar lagi dari pusaran masalah ini.”

Mereka hanya terdiam untuk beberapa saat. Menit demi menit berlalu, dan akhirnya Byungchan melepas pelukan dan duduk di sebelah Seungwoo, mengusap punggungnya dengan lembut. Seungwoo pun menyeka air matanya dengan lengan baju, lalu menatap sahabatnya itu.

“Byungchannie,” katanya pelan, “aku rindu sentuhanmu.”

Mata Byungchan membelalak. Ia berhenti mengusap punggung Seungwoo. “Kamu mabuk.”

“Aku nggak pernah mabuk,” balas Seungwoo, tatapannya jelas dan yakin, namun penuh harap. “Sentuh aku. Tolong. Aku mau lupain malam ini. Mau lupain Jaebum.”

“Seungwoo, kita nggak bisa. Ja-jangan salah, aku juga rindu kamu. Tapi aku takut kamu menyesal,” sanggah Byungchan.

Seungwoo menggelengkan kepala, “Percaya padaku, aku tidak akan menyesal. Ayo, Byungchannie, kita bisa menghabiskan malam ini bersama.”

Byungchan terdiam beberapa saat, alisnya mengerut. Ia kembali menatap Seungwoo dengan lekat, mencari celah sekecil apapun dalam perkataannya. Mencari setitik keraguan.

Ah, tidak ada. Dari dulu Seungwoo memang tidak pernah mundur dari pernyataannya.

“Ya sudah. Apartemenku? Kau mau?”

“Mau,” Seungwoo tersenyum.

“Baiklah.”

Seungwoo hendak berdiri saat ia menyadari sesuatu. Ini pertama kalinya ia bebas sepenuhnya untuk melakukan sesuatu sejak berhubungan dengan Jaebum. Sudah lama ia tidak bersenang-senang, mengetes batasnya dan menjerit dalam kenikmatan hingga matahari terbit.

Ia memang merindukan sentuhan Byungchan. Sangat rindu dengan kecupan lembutnya dan tangannya yang lihai memuaskan dirinya. Namun malam ini berbeda. Ini malam bebasnya. Seungwoo ingin sesuatu yang lebih. Lebih menantang, lebih seru, lebih nikmat. Ingin menggunakan seluruh tenaga dalam tubuhnya hingga ia tumbang karena kelelahan.

Ia menahan lengan Byungchan yang sudah berdiri.

“Apa?” tanya sahabatnya itu, alisnya berkerut.

“Aku—” Seungwoo berdeham, “Hei, kau ada teman, kan?”

“Maksudmu?”

Seungwoo menjilat bibirnya, melihat bagaimana mata Byungchan langsung menatap ke kedua belah bibir ranum itu. Mereka memang haus untuk satu sama lain. Seperti yang mereka bilang—rindu.

“Byungchannie, apakah kau mau jika kita melakukannya dengan orang lain?”

“Hah?” jawab Byungchan, terkejut. Seungwoo jarang sekali meminta sesuatu yang seperti ini, bahkan mungkin tidak pernah.

“Aku mohon,” pinta Seungwoo, “aku ingin merasa sepuas mungkin. Bukannya kamu nggak bisa memuaskanku—tapi aku ingin benar-benar bermain malam ini.”

Byungchan mendengus, lalu mengangguk. “Baiklah. Ikut aku,” jawabnya singkat, lalu menuntun Seungwoo ke pinggiran meja bar. Ia menghampiri dua pemuda yang sedang duduk bersebelahan dan bercengkerama.

Salah satu berpenampilan simpel dengan tubuh yang tinggi. Rambutnya hitam sebahu, dan saat menoleh ia mempunyai mata sipit bagai rubah yang sama kelamnya. Bibirnya tipis namun berkilau dan terlihat lembut. Bajunya hanya berupa kaus, jaket kulit dan celana jeans gelap serta sepatu loafers.

Pemuda yang satu lagi lebih pendek, namun badannya lebih terbentuk. Rambutnya juga gelap, dan mata cokelatnya dihiasi riasan gelap yang membuatnya semakin terlihat mengintimidasi. Bibirnya cukup tebal, berwarna pink yang menggoda. Ia hanya mengenakan kaus dan jaket, serta celana kulit ketat yang dilengkapi boots hitam.

Mereka mengobrol sebentar dengan Byungchan, yang sesekali menunjuk Seungwoo. Terlihat beberapa kali bahwa mereka terkejut, sambil mencuri-curi pandang ke arah Seungwoo. Pemuda yang bagai rubah sesekali tersenyum miring saat melihatnya, sedangkan pemuda yang satu lagi meliriknya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Setelah beberapa saat mereka mengangguk, bersamaan dengan Byungchan. Mereka menghampiri Seungwoo, pemuda rubah ternyata mempunyai tinggi sepantaran dengannya sedang yang satu lagi hanya sedikit lebih pendek (walau tetap lebih mengintimidasi). Tangan mereka terulur seraya mengenalkan diri.

“Cho Seungyoun,” ucap si pemuda rubah, tersenyum lebar.

“Jung Subin,” ucap si pemuda dengan riasan, memiringkan kepalanya sedikit sambil tersenyum tipis.

Seungwoo mengulurkan tangannya pula, menyalami mereka berdua. “Han Seungwoo.”

“Oke, Seungwoo,” ucap Subin, dan harus Seungwoo akui ia suka mendengar namanya diucapkan oleh pemuda itu. “Wanna have fun, eh?

Ia mengangguk, tersenyum canggung, namun yakin.

Hey, hey,” sambar Seungyoun, suaranya rendah, “kamu harus pakai suaramu malam ini, mengerti?”

Seungwoo merinding. Sepertinya ia benar-benar akan mengejutkan dirinya sendiri malam ini. Tetapi inilah yang ia butuhkan.

“Mengerti,” jawabnya.

Shall we, then?” Byungchan tersenyum, tatapan matanya lebih sayu dari tadi. Bukan karena mabuk, namun karena ia sudah antusias dengan apa yang akan mereka lakukan.

Subin dan Seungyoun mengulurkan tangan masing-masing. Seungwoo meletakkan tangan kiri dan kanannya di atas telapak mereka dan menggenggamnya. Ia pun berjalan keluar dengan tiga pemuda itu, menuju malam yang masih mendera.

Malam yang akan terasa sangat panjang untuknya.

Malam yang menantinya dengan berbagai kejutan.

to be continued.

“Lo mau ngomongnya gimana?”

Kheysan terdiam, sibuk mengunyah lotek yang baru dibeli. Sudah lewat beberapa menit setelah Nakula mampir ke kamarnya, niatnya sih mau nemenin dia minta maaf, tapi tergugah sama ajakan makan lotek.

(Padahal sendirinya baru makan seblak, dasar perut karet.)

“Gak tau,” ujar Kheysan, “Kayaknya gue mau samperin dia aja terus kayak ‘maaf buk kemaren air dingin kheysan ditilep jadi buat nyari pelakunya kheysan taro air garem deh’, gitu.”

Nakula manggut-manggut. “Nanti kalo dia marah-marah terus lo diusir gimana?”

“Ya... gue keluar lah,” Kheysan memutar bola matanya. “Ntar gue batu yang ada ditabok pak kos.”

“Bukannya lo suka ditabok-tabok?”

“Hah?”

“Masokis gitu.”

Kheysan mengeluarkan suara seperti hendak muntah. “Itu Noel, bukan gue.”

“Oiya, kemaren sampe pake turtleneck gitu padahal siang bolong. Apa dia gak meleleh ya,” Nakula berangan-angan.

“Yah, daripada bekas main dia sama Kak Aska keliatan yekan,” sahut Kheysan.

Nakula tersedak loteknya. “Kak Aska?! Alaska Aleksander primadona kampus?! Kak Aska yang ketua BEM, juara lomba debat dari maba, sampingan jadi musisi itu?! Bohong lu.”

“Mana ada gue bohong.”

“Wah anjir,” umpat Nakula, “dia pake pelet apa yak?”

“Entah,” Kheysan menelan suapan terakhirnya, lalu bangkit. “Udah yok temenin gue ke ibu kos!”

“Oke bentar gue ambil hp dulu, mau ngerekam.”

“Bangsat masih juga nyari konten.”

“Hehe.”

Singkat cerita, mereka pergi ke rumah bapak ibu kos yang berada di bangunan terpisah. Kheysan dan Nakula pun mengetuk pintu, yang langsung dibukakan oleh bapak kos.

“Kenapa toh, Le?” tanya bapak kos heran.

Kheysan menggaruk kepalanya canggung, tersenyum tipis. “Mau ketemu ibuk, pak. Kheysan yang naroh air garem kemaren.”

“Oalah,” bapak kos manggut-manggut, “si ibuk di kamar.”

“Lah, bapak gak marah?” tanya Kheysan heran. Harusnya dia udah dipukul dari tadi. Wong udah hampir bikin ibu kos celaka.

Bapak kos menggeleng. “Ndak, ibuk mah udah biasa. Dia kan dulu rajin ngoplos.”

Nakula dan Kheysan bertatapan heran. Aneh banget kehidupan si ibu, nekatnya bukan main. Bapak kos juga ngomongnya biasa aja, kayak udah kejadian berkala.

“Ya udah, pak, non sewu,” mereka pun masuk ke dalam rumah, lalu ke kamar tempat ibu kos dan mengetuk pintu. Sayup-sayup terdengar suara sang ibu yang mempersilahkan masuk.

Kedua pemuda itu membuka pintu, disambut pemandangan ibu kos yang sedang berbaring di kasur berbalut selimut.

“Misi, Bu. Ini Kheysan sama Nakula,” mereka berdua menunduk, memberi salam.

Ibu kos tersenyum sumringah. “Eh, Le! Ngapain, tumben kunjungan? Ada oleh-oleh buat Ibuk ya?”

Nakula menggeleng. Oleh-oleh dari mana? Orang mereka bisa makan malam aja belum tentu. “Nggak, Bu. Ini, si Kheysan mau ngomong.”

“Oh, ngomongin apa?”

“Jadi Bu,” Kheysan berdeham, “kemaren Ibu kan minum air garem di kulkas. Nah itu... sebenernya saya yang masukin, Bu.”

Ibu kos terdiam. Nakula merinding. Dia emang suka ngecak-cakin Kheysan, tapi dia gak siap bayangin sohibnya beneran keluar dari kosan keramat mereka itu.

“Maafin saya, Bu. Kemaren sering ada yang nyuri air dingin saya terus saya kesel, kan saya haus ya Bu. Ya udah saya naro air garemnya buat nangkep pelakunya, eh malah Ibu yang minum,” lanjut Kheysan, mukanya menyesal. Atau pura-pura, Nakula tidak tahu. Anak ini kan aktor ulung, jago ngeles.

“Oh...” Ibu kos manggut-manggut. “Ya udah ndak pa-pa, Le. Ibuk juga salah malah minum sembarangan. Maklum kan lagi haus.”

Kheysan dan Nakula tersenyum canggung. Sebetulnya sih Kheysan sendiri udah mau nyengir. Gak jadi diusir, euy.

“Sekali lagi maafin saya ya, Bu. Lain kali saya labelin aja deh tempat minumnya,” kata Kheysan sambil menggaruk kepalanya.

“Iya, santai, Le. Ibuk kan sering ngoplos dulu.”

Nakula mengernyit lagi. Apaan sih oplas-oplos ini? Miras? Narkoba? Gangsta banget bapak ibu kos mereka. Heran.

“Ya udah, kalo gitu Kheysan sama Nakula pamit ya, Bu,” pamit Kheysan.

“Iya... tapi lain kali ke sini bawa oleh-oleh ya, Le?”

“... Iya, bu.”

“Eh, Bu,” sambar Nakula, “saya cuma penasaran aja sih—Ibu kok bisa minum setengah airnya sih?”

Ibu kos nyengir. “Abisan Ibuk sering liat anak-anak kos cewek bugar banget. Pas Ibu minum itu air, eh asin, tapi jangan-jangan ini rahasia anak kosan jadi langsing gitu ya badannya? Ya udah, Ibu minum setengah deh.”

Nakula dan Kheysan bengong.

“... Ya udah bu, saya sama Nakula pergi dulu. Cepet sembuh bu.”

Matur nuwun, Le! Jangan lupa oleh-oleh!”

Nggih, Bu.”

Sesampainya di luar rumah dan setelah berpamitan dengan bapak kos, Nakula menghela napas panjang dan menepuk pundak Kheysan.

“Selamat, gak jadi diusir,” ujarnya.

Kheysan nyengir. “Thanks, bro. Gue traktir ayam krispi ntar malem ya?”

“Tumben lo baik.”

“Soalnya lo udah nemenin gue, gue kan berterima kasih.”

Tawa Nakula mengiringi mereka seiring langkah mereka ke ruang tengah. “Okelah. Ekstra sambel ya?”

“Yeee, banyak mau,” Kheysan mencibir. Nakula cuma cengengesan.

Di ruang tengah, ada Senandika dan Kumala yang sedang asyik menonton The Platform di laptop Kumala sambil menyantap popcorn.

“Oh, hai gengs,” sapa Kumala, “udah kelar ke ibu kosnya?”

Kheysan mengangguk. “Udah. Kok lo berdua bisa sih nonton ini film sambil makan? Heran gue.”

“Karena kita masyarakat ber-privilege,” jawab Senandika sekenanya, “gimana? ibu kos marah gak?”

Nakula menggeleng. “Nggak, dia biasa aja. Tipikal sih.”

“Lo tanya gak kenapa dia minum airnya sampe setengah?” tanya Senandika lagi.

“Yup.”

“Terus gimana?”

Kheysan dan Nakula menatap layar film yang sedang menampilkan adegan Trimagasi memakan menu yang disajikan dengan rakus, lalu menatap satu sama lain. Mereka mengernyit sambil menjawab bersamaan.

“Gangsta.”

A/N: i’ve always wanted to write the struggles in pregnancy, but i’ve never been pregnant so this may have errors here and there. anyhow, i hope you enjoy.

⚠️ mpreg, body dysmorphia.


Sisi kiri, sisi kanan. Berbalik badan, melihat sisi belakang. Lalu melihat yang depan lagi.

Bibir tipis itu melengkung ke bawah kala cermin yang panjang itu memperlihatkan seluruh badannya. Tidak ada dusta, ini lekuk yang sebenarnya. Semua yang terpampang ini nyata.

Seungyoun mengelus perutnya yang sudah membesar. Trimester ketiga, bulan ketujuh, minggu ke dua puluh delapan. Malaikat kecil di kandungannya sudah mulai menendang-nendang, bak atlet muay thai saja. Dinding rahim di sekelilingnya dijadikan samsak.

Ia hanya memakai celana kain longgar yang sering digunakannya bila sedang bersantai di rumah. Maka dari itu, sekarang tubuh bagian atasnya terekspos, bayangan di cermin terpatri jelas di matanya.

Tangannya perlahan menyentuh pipi. Mukanya memang bulat, jadi walau kurus pun ia tetap terlihat gembil. Namun setelah beberapa bulan ini ia melihat mukanya terlihat lebih bulat lagi. Garis rahangnya, meskipun masih ada, tidak setajam beberapa waktu lalu.

Kemudian, ia berpindah ke bahu dan dadanya. Mengelus lengannya sendiri pula, memeluk diri. Dadanya sudah tidak bidang seperti dulu saat masih rutin berolahraga. Sekarang teksturnya cenderung lembut dan empuk, mengakomodasi kelenjar yang akan menghasilkan susu untuk buah hatinya nanti. Lengannya memang tidak pernah benar-benar berotot seperti model majalah pria, namun paling lekuk bisepnya terlihat.

Ia lihat sebaran tinta di atas kulit putihnya. Masih indah, masih mempunyai makna. Namun lengannya sudah tidak berlekuk lagi, hanya lurus bak jalan di Autobahn. Kanvas untuk tatonya telah berubah jadi kusam.

Lalu terakhir, perutnya—oh, perutnya. Ada yang tumbuh di dalamnya. Buah cintanya dan sang pujaan hati. Ia rawat sedemikian rupa, dihujani kecupan tiap pagi, doa tiap siang, dan senandung lagu lembut tiap malam. Ada cinta sehidup sematinya, sebentar lagi siap bertemu dunia. Siap menerima kasih sayang darinya.

Namun, oh, perutnya. Garis-garis otot hasil dari usahanya membangun hidup sehat tadinya muncul. Perutnya dulu rata, halus, dan tanpa cela. Walau tidak seperti binaragawan, tapi bentuknya bagus.

Sekarang, perut itu membesar karena menopang hidup di dalamnya. Membuncit ke depan, menekan organ-organnya dan membuatnya ingin buang air kecil sepanjang waktu. Posisi tidurnya tidak lagi nyaman, sedikit-sedikit pegal, sedikit-sedikit mulas.

Lebih daripada itu semua, ia melihat kondisi kulitnya yang tidak lagi halus. Ada garis-garis seperti akar berwarna kemerahan yang menghiasinya. Garis-garis itu agak gelap, kontras dengan warna kulit aslinya yang cerah. Membuat perut besarnya tampak seperti dicoret-coret.

Seungyoun menghela napas. Ia bahagia karena ia tengah mengandung, itu tidak bisa dipungkiri. Ia tidak sabar bertemu. Namun tidak salah juga kalau ia merindukan badannya yang dulu. Entah apakah ia bisa kembali ke bentuk lamanya atau tidak.

Otaknya memutar kembali perkataan saat acara keluarga kemarin: lahirannya harus normal karena itulah perjuangan sejati, ini daftar workout postpartum agar perutmu cepat kembali, begini caranya rawat anak sendiri. Segala kritik dan saran dilayangkan untuk ia dan keluarga kecilnya, padahal tidak tahu secara mendalam. Untung pujaan hatinya mengerti, dan mereka pulang cepat. Tetapi ia bohong bila ia bilang perkataan itu tidak mempengaruhinya.

Tangan mungilnya mengelus perut, sekali lagi ia mematut-matut diri di cermin. Lihatlah tubuhnya, lihatlah penampilannya.

Jelek.

Gemuk.

Besar.

“Seungyoun?”

Ia menoleh, melihat pujaan hatinya muncul di pintu. Ah, teman hidupnya. Pelipur laranya. Bekerja keras untuk membangun keluarga dengan caranya sendiri.

“Mas Seungwoo,” ia tersenyum lembut seraya sosok itu menghampirinya. “Tumben udah pulang.”

Seungwoo mengecup dahi suaminya itu lembut. “Kangen,” jawabnya singkat. “Lagi apa?”

Seungyoun menatap bayangannya di cermin, lalu menggeleng pelan. “Nggak ngapa-ngapain.”

Tangan Seungwoo mengelus perutnya lembut, membuatnya sedikit merinding. Matanya menatap Seungyoun dengan serius, sedikit mengerling seakan mencari-cari sesuatu.

Ah, ia lupa. Suaminya tidak bisa dibohongi.

“Kenapa, dek, hm?” tanya Seungwoo pelan, “kamu bisa cerita ke mas, lho.”

Seungyoun menghela napas lagi, menunduk dan melihat perut buncitnya yang ditangkup Seungwoo.

“Aku gendut ya, mas?”

Alis Seungwoo mengerut. “Lho, ya iya.”

Seungyoun terdiam.

“Kamu kan lagi hamil, lagi seneng, pasti gendut. Kalo hamilnya rata mah berarti kamu mau ngumpetin janinnya,” lanjut Seungwoo enteng.

Tanpa peringatan apapun, air mata meluruh keluar dari mata Seungyoun. Isakan tertahan keluar dari mulutnya. Mukanya mengernyit sedemikian rupa.

Seungwoo terkesiap, lalu langsung mengusap pipi belahan jiwanya itu. “Dek, aduh, maaf—mas gak maksud ngatain kamu. Maksudnya mas, kamu kan lagi hamil, perutnya besar, kalo gendut kan merujuknya ke perut doang bukan badan—”

“Aku gendut banget, mas,” Seungyoun berbisik pilu, “Gemuk, malah. Pipi aku tembem banget, terus lengan aku tambah gede. Terus—terus dada aku sering sakit sekarang, terus perut aku—hiks—perut aku besar banget, gak sixpack lagi, terus ada stretch marks-nya banyak banget mas, temen-temen aku gak gini, kalo ini gak bisa ilang gimana? Jelek banget, aku gak ngerti lagi, aku jelek banget—”

Lengan Seungwoo yang terbalut katun merengkuhnya erat. Aman, hangat. Membawanya kembali ke rumah.

Seungyoun tetap terisak dalam diam, suaranya teredam di bahu Seungwoo. Suaminya itu membisu, hanya mengelus punggung telanjangnya dengan lembut. Menariknya kembali ke tanah.

Beberapa saat kemudian, Seungwoo melepas pelukannya dan mengarahkannya untuk menghadap cermin. Mata mereka bertemu lewat cermin, berkilau di tengah lampu yang menyala.

“Lihat,” ucap Seungwoo, menyandarkan dagu di bahu lebarnya. “Lihat kamu. Sebentar lagi, jadi ibu—atau ayah, mas nggak peduli. Kamu lagi merawat yang dititipin sama semesta. Ini udah tujuh bulan, udah lebih dari setengah tahun kamu bawa malaikat.”

Seungyoun hanya menggigit bibir, menunggu suaminya untuk melanjutkan.

“Pipi kamu gembil, ya terus kenapa? Kamu jadi gemes, tau. Nggak pucet, malah ada blush-nya dikit. Terus lengan, ya, kamu mau kayak The Notorious MMA gitu, hm? Mau yang sampe bulging gitu?”

“Ya nggak, mas.”

“Ya udah, emang apa masalahnya kalo lengan kamu gak keliatan lagi ototnya. Toh bisep kamu gak ke mana-mana. Lengan kamu lembut dan empuk, dan gak ada yang salah dengan itu, dek. Kalo nanti mau balik ke bentuk dulu juga gak mustahil, nanti pasti ada waktunya kamu kerja keras lagi. Itu pun kalo kamu seneng jalaninnya, kalo tertekan, jangan. Jangan menuntut diri kamu untuk berubah karena tuntutan buat jadi sempurna. Dada kamu juga sama. Kamu bakal sakit terus beberapa bulan ke depan, tapi itu gak berarti kamu lemah atau aneh.”

Tangan Seungwoo yang mengelus lengannya berpindah ke perut. Suaminya itu menghela napas, tersenyum kecil. Ia bisa melihat mata Seungwoo berlinang sedikit. Astaga. Seungwoo menangis karenanya.

“Yang ini,” ujar Seungwoo, “Yang ini keajaiban, dek. Kamu berjuang, sekarang tinggal sekitar dua bulan. Capek, sakit, nyiksa. Badan kamu berubah gara-gara yang ada di dalam. Pegel melulu, jalan susah, tenaga berkurang. Jadi kayak jompo, iya nggak sih?”

Seungyoun tertawa kecil. “Iya, mas.”

“Tapi namanya perjuangan pasti sakit dan sulit, dek. Kalo nggak susah namanya nepotisme,” lanjut Seungwoo—membuat Seungyoun mendengus geli karena perbandingan yang digunakan. “Ini perjuangan yang berat buat kamu, dan aku nggak akan pernah mengerti sepenuhnya. Ini perjuangan yang belum berakhir, dan ini—”

Jemari panjang Seungwoo menyentuh stretch marks-nya. Menelusuri tiap garis dari yang lurus hingga melintang. Mata Seungyoun menatap tangan hangat itu, lalu mengerling ke mata Seungwoo yang sedang melihat perutnya. Tatapan suaminya teduh, penuh kasih sayang.

“Ini battle scars, dek.”

“Mas...” Seungyoun berkata lirih. Setitik air mata jatuh lagi, menuruni pipi.

“Ini tanda bahwa kamu itu pejuang, tanda bahwa cinta nggak harus terlihat halus dan tanpa cela kayak di film-film. Cinta bisa kasar dan mencolok, tapi itu masih cinta. Tanda bahwa kamu udah melewati sesuatu yang nggak mudah, tapi kamu gak kenal yang namanya nyerah. Tanda bahwa kamu pernah bawa cinta yang besar di dalam diri kamu.”

Seungyoun menangkup tangan suaminya, melihat sekujur badannya lagi. Tidak, badannya tidak sempurna. Bukan figur dambaan seperti dulu. Badannya melekuk dan melebar di sana-sini, berubah sedemikian rupa.

Karena badannya sedang membawa cinta.

Karena badannya, sedang berjuang menjaga bunga jiwa Seungwoo dan dirinya.

Karena ia telah dipercaya semesta untuk mengandung seorang anak dan merawatnya dengan tulus.

Karena ia adalah pejuang, walau bukan dalam perang.

Bibirnya perlahan melengkung ke atas, membentuk senyuman manis. Ia berbalik badan, lalu memeluk suaminya. Seungwoo balas merengkuh, tidak kalah erat. Bibir mereka bertemu, bercumbu sesaat, lalu kening mereka bersentuhan. Menatap mata satu sama lain dengan seribu rasa.

“Kamu cuma lihat diri kamu lewat cermin, Youn,” ucap Seungwoo, tangannya kembali menangkup perut Seungyoun. “Kamu nggak lihat diri kamu dari mata aku. Kamu nggak lihat muka kamu kalau lagi ngelihat bayi, menanti berkah kamu sendiri. Kamu nggak lihat senyuman kamu pas lagi nyobain masak resep baru, atau mata kamu pas lagi fokus nulis lagu.

“Kamu nggak lihat muka kamu sendiri waktu ketawa sampe nangis gara-gara aku kebangun jam tujuh malem dan ngira itu jam enam pagi, dan aku udah rapi pake kemeja mau berangkat kerja. Kamu nggak lihat muka kamu pas baru bangun tidur, kena sinar matahari, masih ngigau nggak jelas.

“Mas ngerti kalo kamu susah cinta diri sendiri. Nggak apa-apa. Tapi jangan lupa kamu berjuangnya sama aku, ya?” Seungwoo tersenyum lembut, mengecup keningnya.

Seungyoun mengangguk. Dari dulu memang selalu ada Seungwoo. Sejak jalannya berbatu sampai sekarang terasa mulus. Sudah tidak terhitung malam yang mereka lalui, tapi rasa sayangnya terus bertumbuh. Kini mereka sedang membangun keluarga. Susah dan membuat resah.

Tetapi setidaknya ia tidak berjuang sendiri. Ada insan yang siap menghujaninya dengan kasih sayang dan afeksi. Ada yang bisa ia jadikan sandaran kala dunia nyata tidak berbaik hati.

Ada yang mencintainya dengan tulus, tanpa syarat, hanya dengan cinta murni.

“Sama-sama terus ya, mas.”

“Iya.”

Seungyoun hendak mengatakan sesuatu lagi, namun tidak jadi karena buah hatinya kembali menendang dari dalam. Ia merintih, memegang perutnya. “Aduh!”

Seungwoo membelalak, ikut merasakan tendangan itu. “Kamu nggak apa-apa?”

“Kaget aja sih,” jawab Seungyoun seraya mengelus perut. “Suka banget nendang-nendang, apa ini pengaruh dielus Yohan sama Hangyul ya waktu itu.”

Gelak tawa keluar dari mulut Seungwoo. “Mungkin? Tapi dia ngingetin kamu kali, dek. ‘Awas ya kalo Papa menghujat diri sendiri lagi nanti aku tendang lebih kenceng!’ gitu.”

“Iya kali ya...” Seungyoun manggut-manggut. “Ya udah, aku mau rebahan bentar, abis itu masak.”

“Eh, mas aja yang masak,” kata Seungwoo.

“Jangan, ih,” larang Seungyoun, “nanti rumahnya kebakaran.”

“Kemarin aku udah belajar nyalain kompor kok.”

“Nggak, mas.”

“...Ya udah,” Seungwoo mengangkat tangan, tanda menyerah. “Tapi nanti mas pijetin, ya?”

“Nah, yang itu boleh.”

“Siap!”


Seungyoun menimang-nimang Eunsang yang terbalut selimut berwarna biru muda. Ia berdendang, menyanyikan lagu pengantar tidur dengan suara serak. Ini jam tiga pagi, dan kali ini giliran Seungyoun yang menenangkan tangisan bayi mereka setelah Seungwoo yang mengambil alih selama dua hari yang lalu.

Seraya ia berjalan sambil bersenandung, matanya melihat cermin panjang itu lagi. Ia hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan celana pendek, rambutnya berantakan karena terkena bantal.

Ia mematut dirinya lagi di depan cermin. Pipinya masih gembul, dan lengannya masih belum berlekuk lagi. Perutnya masih mempunyai garis-garis yang seperti petir, dan belum sepenuhnya kembali rata.

Tapi kali ini berbeda. Ada malaikat di gendongannya. Kecil, masih ringkih, dan sering menangis. Namun siap dihujani cinta, siap diajarkan tentang dunia. Anggota keluarga kecil Seungwoo dan dirinya.

Badannya mungkin tidak sempurna. Belum bisa kembali ke bentuk awalnya, karena ia masih sibuk merawat anaknya. Ia masih letih pula karena masih beradaptasi.

Tidak apa-apa, Seungyoun menatap bayangan dirinya di cermin. Tidak apa-apa. Ia tidak perlu jadi sempurna. Masih banyak waktu untuk belajar menerima diri apa adanya. Masih ada Seungwoo dan Eunsang yang tersenyum bila melihat wajahnya.

Seungwoo berdiri di daun pintu, melihat Seungyoun yang sedang tersenyum sambil menimang bayi mereka. Sudut bibirnya ikut tertarik ke atas.

Suaminya sungguh cantik. Memikat, rupawan. Tidak peduli badannya seperti apa, karena mata Seungwoo melihat jauh ke dalam jiwa. Sekarang pun ia hanya tambah cinta.

Tidak apa-apa jika Seungyoun masih belum bisa mencintai dirinya sendiri.

Karena cinta Seungwoo cukup besar untuk menutupi bagian yang belum Seungyoun terima.

Karena Seungyoun di mata Seungwoo itu sempurna.

fin.


SECOND story from cc desire prompts:

Aku mau ryeonseung fantasy yang nyeleneh. Jadi swoo itu makhluk sempurna seorang dewi / dewa yang diusir dari kayangan krna punya pribadi yang bertentangan dgn prinsip kayangan. (gay, dan dia bot disini) setelah diusir dia dikutuk sesuai dosa dia. Krna dia bot dalam hubungan jadi dikutuk sama pihak “atas” utk memiliki fitur seperti wanita. Dia cantik (dari jadi dewi udah cantik, tp makin kesini makin cantik) dan dia bisa ngeluarin susu!!!! HAHAHAHA

terus ketemu syoun, manusia yang memiliki kekuatan utk bisa melihat apa yang terjadi dikayangan/atau makhluk kasat mata dan juga syoun itu ilmuwan.

dia ketemu swoo dan ngerasa swoo bukan makhluk biasa, dia jsdiin swoo sbg kelinci percobaan dia dan penelitian dia. Pas mereka having sex ketahuan lah swoo bisa ngeluarin susu.

Syoun jatuh krna tubuh dan kelebihan swoo, ngga jadi punya niat jahat.


A/N (baca dulu ya biar kita clear)

halo, ini cerita kedua dari prompt di CC gue. buat anon yang udah request, gue harap ini memenuhi ekspektasi lo ya. boleh protes kok kalo nggak. hehe. anyways, ini buat memenuhi janji gue setelah wawancara laknat yang bikin gue stress kelar (yay!) dan emang plot ini in particular bikin gue tertantang buat nulis.

buat warning, akan ada di bawah ini, tapi karena chapternya gue belah dua, yang mana chapter 2 adalah bagian pornonya, maka warning untuk bagian eksplisit bakal ditulis di chapter 2-nya.

chapter 1 ini lebih ke build up karena ternyata gue gak bisa bikin PWP dari prompt ini, jadi kalo kalian mau esek-eseknya doang, langsung aja klik link buat chapter 2 yang ada di bagian PALING BAWAH chapter 1 ini.

WARNING, THIS STORY CONTAINS: POSSIBLE BLASPHEMY, karena gue main2 sama hal berbau kepercayaan dan dewa di sini. mitologi gue campur2, dan gue sotoy tentang hukuman di alam dewa dan keistimewaan youn. jadi ini semua nggak ada yang nyata, palingan cuma sedikit referensi aja. woo di sini bukan kayak dewa yang bener2 dewa gitu, gue bayanginnya dia kayak nymph??? tapi masih punya kekuatan & sayap hehe.

perubahan fisik woo di sini gak ada niatan misgendering sedikitpun, semuanya untuk kepentingan plot. dan karena promptnya bilang “fitur wanita”, asumsi gue bukan cuma bisa lactating doang tapi genitalnya juga. maaf, ya.

build up/plot buat ini juga sejujurnya agak ngide jadi kalo ada yang pacenya kecepetan mohon maklumi ya, gue gak kuat bikin yang lebih lama lagi hehe:( kalau ada hal2 yang menyinggung, bisa ngomong di twitter atau CC gue ya, makasih banyak! hope you enjoy this one, sweet people 💖


Deneb Algedi. Mulai hari ini, kamu akan turun dari Hellas, dan turun ke alam manusia. Sayapmu dicabut, dan fisikmu akan diubah sesuai dosa yang kamu lakukan.”

Lonceng berbunyi nyaring, menandakan keputusan yang sudah final.

Bulu mata lentik melambai seraya ia berkedip sendu. Air mata menjadi hiasan di pipi putih bersemburat merahnya. Sang hakim menjentikkan jari, dan perlahan-lahan sayap lembutnya gugur—menyisakan tulang yang rapuh mencuat dari punggung. Dulu makhluk terpuji, sekarang jadi mirip seperti malaikat pencabut nyawa.

Deneb merintih pelan, suaranya perlahan hilang seraya tubuhnya diubah oleh penyihir.

Heran, ya?

Begini, ia telah melakukan apa yang dianggap tabu—menyukai sesama jenisnya. Walaupun ini Hellas, tempat para dewa, tetap saja orientasi seksual dan jenis kelamin terpisah jelas bak dua daerah yang dibelah sungai. Maka dari itu, yang terlahir dengan organ maskulin—laki-laki, harus berpasangan dengan yang perempuan. Begitu kata para dewa, dan makhluk sepertinya harus menurut.

Sayang, Deneb berbeda. Ia menyukai Spica yang bersinar di tengah ladang bunga aster.

Ia mengagumi Spica sejak lama. Parasnya yang tegas dan suaranya yang bergaung tenang sungguh menggugah hati. Belum lagi sunggingan senyum teduh dan sayap yang membentang jauh. Segalanya tentang Spica, Deneb cinta. Ingin ia rengkuh lama-lama.

Debu nebula dan desir konstelasi yang bergeser konstan menjadi teman percakapan malam mereka. Lambat laun bahu bersentuhan, lalu kepala seraya bersandar, kemudian—tanpa sadar—bibir yang selembut sutra. Mereka bercumbu satu kali, dua kali, tiga kali. Kemudian tangan mulai menggerayangi tiap inci jasmani. Mengejar kenikmatan duniawi, padahal tempat mereka berpijak adalah surga abadi.

Kebahagiaan duniawi, walaupun dilakukan oleh makhluk abadi, tetap berlaku sementara. Hubungan mereka ketahuan. Jangan tanya bagaimana, pokoknya sebelum berkedip mereka sudah digiring ke depan hakim.

Itulah yang menyebabkan sekarang Deneb berlutut lemah di lantai marmer dengan serpihan bulu di sekitarnya. Oh ya, badannya. Karena dosanya adalah mencintai apa yang bukan kodrat, maka fisiknya disihir menjadi seperti lawan jenisnya. Dasar hukumnya? Entah. Mungkin hakim hanya suka menyiksa. Melihat yang melawan takdir lalu menimpanya dengan nestapa.

Tubuhnya yang maskulin tak berubah banyak di luar—dadanya tetap rata dan bahunya tetap lebar. Namun sekarang ia mempunyai genital wanita alih-alih pria, lengkap dengan rahim dan kelenjar susu pula. Menyiratkan pesan bahwa jika tidak mau mengikuti kodrat, maka semesta akan memaksa. Bahkan jika jati diri harus diubah.

Spica sendiri dikutuk dengan hal yang sama dan sudah disidang beberapa waktu sebelumnya. Tidak, mereka tidak akan bertemu lagi. Mungkin memori akan satu sama lain akan dihilangkan dari sanubari. Apapun itu, mereka akan berpisah.

Air mata Deneb jatuh lagi. Hatinya kosong seiring tulang sayapnya patah. Bintang pujaannya telah mengalami supernova, dan sekarang gilirannya. Ia pasrah saat lengannya diangkat oleh penjaga, lalu dihadapkan ke pintu baja.

Lonceng berbunyi untuk terakhir kali. “Deneb Algedi,” ucap hakim, “nama itu tak ada lagi. Tinggalkan Hellas, dan hiduplah sebagai Han Seungwoo di Terra. Semoga kosmos tetap ada di setiap langkahmu.”

Waktunya sudah tiba.

Deneb Algedi melangkah ke pintu yang terbuka, kemudian menutup mata.


Seungyoun sedang mengamati langit dengan teleskop di atap rumahnya saat aura sekitarnya berubah. Pada saat itu juga bintang yang diamatinya berkedip, lalu mengeluarkan semburat menyilaukan bak kembang api. Ia menganga.

Supernova.

Bukan sembarang kematian bintang, tapi hilangnya presensi jiwa di dalamnya. Seiring inti panas yang melebur dan permukaan yang hancur, insan di dalamnya pun tidak lagi berada di angkasa.

Rasanya kali ini berbeda dari sebelum-sebelumnya. Seakan supernova ini berkaitan dengan dirinya. Hatinya tergerak melihat konstelasi Capricornus yang sekarang menyala terang. Ia melepas matanya dari teleskop, menghela napas. Mungkin apa yang ia tunggu telah tiba.

Seungyoun bukanlah manusia biasa. Ia tahu bahwa bumi adalah tempat tinggal makhluk hidup, tetapi ia juga tahu di luar sana ada tempat khusus untuk para dewa dan khalayak astral lainnya. Dunia khusus untuk mereka yang dipuja karena anugerahnya, suci dan berakal tinggi.

Ia juga tahu jika ada yang terjadi dalam dunia itu. Kejadian penting, kelahiran kekuatan baru, kematian yang sudah layu. Ia tidak tahu kenapa, namun bakatnya ini sudah muncul sejak ia bisa mengingat.

Kejadian barusan membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Kehancuran sebuah bintang, namun bukan materil semata. Nyawa itu turun dari dunia abadi ke dunia fana. Entah karena apa, mungkin akhirnya ada keretakan di kemurniannya.

Kakinya menuntun badan ke bawah, ke arah ruangan penuh buku dan kertas yang berserakan. Ia melihat barang-barang tersebut—buku berisi tulisan kuno, peta yang telah menguning, serta berbagai catatan yang dilengkapi simbol dan tempelan gambar.

Seungyoun menghela napas, membaca tiap kata dan meneliti setiap detail. Inilah saatnya. Kalau sesuai garis takdir, maka ia akan bertemu dengan insan yang berasal dari supernova tadi.

Semoga sebentar lagi. Ia sudah lelah menanti.


Han Seungwoo merasakan permukaan kasar di bawahnya, kemudian membuka mata.

Ia bangkit dari posisi tidurnya, yang ternyata berada di atas rerumputan luas. Pohon dedalu yang menaunginya menutup pandangan seperti tirai panjang berwarna hijau.

Perlahan ia bangkit, menyibak dedaunan di sekitarnya. Kakinya menjejak rumput yang sedikit basah karena embun. Mungkin ini pagi hari, terlihat dari matahari yang mengintip dari ufuk timur. Badannya menggigil, hanya terbalut chiton putih kusam.

Selama beberapa saat Seungwoo menelusuri hutan yang berkabut diiringi suara burung pelatuk dan tonggeret. Ia terseok-seok, sesekali mengaduh kala kaki telanjangnya tertusuk duri atau tersandung batu.

Perjalanannya berlangsung hingga fajar berubah menjadi terik, kemudian meneduh jadi oranye. Napasnya telah tersengal dan tenggorokannya kering sekali, namun ia belum menemukan tanda-tanda peradaban.

Barulah pada saat cakrawala berwarna merah keunguan, ia melihat sebuah rumah besar yang terbuat dari kayu berada di ujung jalan setapak. Seungwoo mengernyit, ingin bertahan sendiri saja, namun ia sangat kelaparan dan lemas. Maka kakinya pun menjejak, menghampiri kabin itu dan menaiki tangga menuju pintu.

Seungwoo menghela napas, mengepalkan tangannya, kemudian mengetuk.

Tok, tok, tok.

Ia menunggu beberapa detik, tak ada jawaban. Maka ia mengetuk lagi.

Tok, tok, tok.

Cklek.

Seorang pemuda membuka pintu, mengintip ragu-ragu. Parasnya indah, dengan mata sipit dan hidung bulat serta bibir tipis. Rambut legamnya yang berponi terlihat berantakan, mungkin baru diacak dengan tangan.

Seungwoo membuka mulutnya, memberanikan diri. “M—maaf mengganggu, tuan,” ucapnya serak, “saya tersesat dan, uh, menemukan rumah ini, dan saya lapar—lapar sekali, b—boleh saya minta sedikit makanan? Saya janji akan segera pergi.”

Ia menelan ludah, mengernyit saat otot tenggorokan keringnya berkontraksi. Udara benar-benar dingin sekarang, berbeda dengan terik yang menguras seluruh cairan ke luar tubuhnya tadi.

Pemuda itu menatapnya dalam diam, kemudian membuka pintu lebih lebar. “Silakan masuk,” jawabnya lembut, tersenyum tipis.

Senyuman sumringah terbentuk di muka Seungwoo, lalu ia menunduk sopan. “Terima kasih, tuan!” katanya, kemudian melangkah masuk.

Ia dituntun menuju kursi meja makan yang terbuat dari kayu kokoh, sedangkan pemuda itu pergi sebentar dan kembali dengan handuk yang disampirkan ke bahu Seungwoo. Ia juga membawa sepiring roti dan semangkuk sup yang mengepul. “Maaf, cuma ada ini, silakan dimakan,” ujarnya.

“Tidak apa-apa. Terima kasih, tuan!”

Seungwoo pun langsung mengambil sepotong roti dan melahapnya dengan cepat. Setelah habis ia beralih ke supnya, menenggak langsung dari mangkuknya seakan itu adalah minuman.

Seungyoun memperhatikannya dengan intens, kemudian perlahan mengambil mangkuk dari tangan pemuda asing itu. Orang ini pasti benar-benar kelaparan, terlihat dari kecepatannya menelan makanan.

“Hei, pelan-pelan,” Seungyoun mengambil sendok yang diabaikan di meja, menyendok sup, kemudian menyodorkannya ke arah pemuda di depannya.

Pemuda itu membuka mulutnya ragu, kemudian memakannya. Ia mengunyah perlahan, matanya sesekali melirik ke arah Seungyoun. Matanya cantik sekali, bulat dan berkilau cemerlang.

“Panggil aku Seungyoun saja,” akhirnya ia berkata, memecah keheningan.

“Seungwoo,” ucap sang pemuda singkat, menunjuk dirinya sendiri. Seungwoo. Hm, nama yang indah.

Seraya tetap menyuapinya, Seungyoun memperhatikan fiturnya lebih dalam lagi—tulang pipi yang tajam, hidung mancung sempurna, serta rahang yang tegas. Auranya seakan menarik dirinya, seperti pusaran air. Tak salah lagi.

“Kamu... bukan manusia, kan?” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Seungyoun, tanpa ia proses dahulu. Ia membelalak. “Ah, maaf—aku tidak bermaksud menuduh atau bagaimana. Abaikan saja.”

Seungwoo menelan makanannya dan terdiam. Ia kemudian tersenyum kecut, matanya mengerjap sendu. “Aku tidak tahu,” katanya pelan, “dulu bukan. Sekarang, mungkin iya.”

Seungyoun mengangguk. Dugaannya mulai jadi nyata. “How so?” tanyanya.

Pemuda di depannya menghela napas. “Dewa nggak suka sama yang melawan kodrat,” ia menjawab singkat. Seungwoo mencoba mengingat lagi siapa yang turut membangkang dengannya; namun nihil. Ia tidak ingat.

Alis Seungyoun mengerut, roda-roda di otaknya berputar. Kalau sesuai dengan penelitiannya selama ini, berarti orang ini adalah yang ia cari. Setelah bermalam-malam tanpa rebah, akhirnya ia bisa bersua.

Sup itu akhirnya habis. Seungyoun meletakkan mangkuk di meja makan, lalu menyodorkan teh melati yang ada di sebelah piring roti. “Ini, minum dulu,” ucapnya. Cangkirnya diambil Seungwoo dengan tangan yang sudah tak lagi gemetar, lalu diminum perlahan.

“Kamu pergi besok saja, Seungwoo. Hutan ini banyak predator kalau sudah larut,” kata Seungyoun.

Seungwoo terlihat berpikir sebentar, kemudian mengangguk. “Ya sudah. Terima kasih, Seungyoun.”

“Sama-sama.”

Mereka terdiam untuk beberapa saat sebelum Seungyoun bangkit dan mengambil baju hangat dan celana panjang dari kamarnya. Ia berikan kepada Seungwoo, lalu menyuruhnya untuk mandi. Pemuda itu menurut, lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan.

Selama Seungwoo membersihkan diri, Seungyoun merenung. Tidak bisa dipungkiri, niatnya untuk meneliti makhluk itu sangat besar. Ia penasaran, apakah jiwanya sama seperti yang digambarkan legenda? Apakah ia mempunyai sayap yang lembut tapi sekuat baja? Ataukah ia hanya manusia lemah yang gemetar dan memohon-mohon untuk diampuni dosanya?

“Seungyoun?”

Ia tersadar dari renungannya saat suara Seungwoo yang teredam memanggilnya. Dengan cepat ia melangkah menuju kamar mandi. Sesampainya ia melihat Seungwoo yang menggenggam bajunya di tangan, menutupi dada.

“Ada apa?”

Seungwoo membalikkan badannya, membuat Seungyoun terkesiap kala melihat punggungnya yang berhias luka yang baru mulai tertutup—warnanya masih agak kemerahan, berbentuk dua garis bergerigi di kulit porselen itu.

“Sakit,” cicit Seungwoo lirih, mukanya mengernyit. “boleh—boleh minta sesuatu untuk, um, untuk menutup lukanya? Kain perca, perban, apapun?”

Seungyoun mengangguk, lalu membuka laci di bawah wastafel dan mengambil kain kasa. “Ini, ada perban. Mau aku balutkan?”

Seungwoo melirik ragu. “Bolehkah?”

“Tentu.”

Sebelum memasang perban, Seungyoun membalur obat buatannya sendiri terlebih dahulu ke luka itu. Selagi dilihat lebih dekat, lukanya terlihat tidak biasa. Sedikit menganga, seperti terbakar. Seakan ada sesuatu yang tadinya tumbuh lalu dicabut.

Beberapa saat kemudian perban telah terpasang, tak lupa plester yang merekat. Seungyoun pergi dari kamar mandi, katanya hendak menyiapkan tempat tidur. Kini tinggal Seungwoo sendiri, yang mematut-matut dirinya di depan cermin lonjong. Ia melihat badannya, yang sekilas nampak sama, namun jika dilihat lebih dekat akan tampak berbagai perubahan. Dadanya lebih besar dan berisi (kelihatannya seperti dada Adonis yang maskulin, namun lembut), pinggangnya lebih ramping dan pinggulnya melebar. Tangannya perlahan menyentuh bagian selangkangan yang tertutup celana, menghela napas dalam saat terasa rata, bukan gundukan seperti sebelumnya.

Semua ini nyata, pikirnya, aku sangat jauh dari nirwana.

“Hei,” tiba-tiba suara Seungyoun terdengar dari arah pintu, “tempat tidurnya sudah siap, kalau kamu mau istirahat.”

Seungwoo menoleh, matanya mengerling bingung. “Ah, aku tidur di sofa saja,” tolaknya dengan halus. Decakan berbunyi dari mulut Seungyoun yang menggeleng keras kepala.

“Sofa itu sudah lapuk. Aku saja yang tidur di sana,” ucap Seungyoun.

Seungwoo ikut menggeleng. “Tidak, kamu sudah banyak membantuku, Seungyoun, tidak usah—”

“Aku bersikeras, lho.”

Mereka terdiam, hanya melirik mata satu sama lain. Keduanya bertatapan intens, tak mau kalah, tetap dengan pendirian mereka. Akhirnya Seungyoun mendengus pasrah. “Oke, jalan tengah. Kita tidur berdua.”

“Hah?” Seungwoo mengernyit, “tidak, nanti sempit, aku—”

“Kita tidur berdua atau aku di sofa. Pilih,” ujar Seungyoun, tak menyisakan ruang untuk pilihan lain.

Seungwoo menggigit bibirnya. Mengapa manusia ini rumit sekali? Ia telah menerobos masuk malam-malam, meminta makanan dan bahkan meminjam baju. Memangnya ada manusia sebaik ini? Apakah selama ini perkataan yang bilang manusia itu egois dan naif adalah dusta?

Ia akhirnya mengangguk setuju. Nanti ia bisa pindah ke sofa saat Seungyoun sudah tertidur. Mereka pun keluar dari kamar mandi, menuju kamar tidur yang diisi oleh kasur yang cukup untuk dua orang.

Tanpa basa-basi Seungyoun langsung menidurkan dirinya di satu sisi, lalu memberi gestur pada Seungwoo hanya berdiri canggung di samping kasur untuk bergabung dengannya. “Tidur saja,” katanya, “asal kamu nggak bunuh aku, all good.”

Dengan ragu-ragu Seungwoo berbaring di sebelahnya, menarik selimut dan meletakkan kepalanya di bantal. Tak lama kemudian mereka berdua terlelap, tenggelam dalam sunyi dan pulau bunga tidur.


Kicauan burung membangunkan Seungyoun dari tidurnya. Ia mengerjap, menyesuaikan diri dengan sinar matahari yang menyusup masuk. Matanya mengerling ke arah Seungwoo yang menghadap dirinya, masih nyenyak.

Ia perhatikan wajah tampan itu. Napasnya stabil dan pelan, walau terkadang pupilnya bergerak-gerak di bawah kelopak. Mungkin ia sedang bermimpi. Entah apa yang sedang terputar dalam lelapnya, mungkin kenangan akan sayapnya atau cinta yang telah tiada.

Seungyoun akhirnya bangkit dari tempat tidur, berhati-hati agar Seungwoo tidak terbangun. Ia memasuki kamar kerjanya, melihat kembali tumpukan catatan dan buku. Garis penghubung dan tempat legenda ia tekuni.

Benar saja.

Luka di punggung Seungwoo itu, bekas sayap. Entah dosa apa yang dilakukannya, namun pasti cukup berat hingga ia diusir dari surga. Diusir dan harus hidup di alam manusia.

Mungkin tidak pantas dibilang terlahir kembali. Lebih layak disebut mati.

Libera me, Domine, de morte aeterna, in die illa tremenda,” Seungyoun bernyanyi pelan, membaca transkrip kuno yang sudah sedikit robek di tangannya. “Quando caeli movendi sunt et terra—

“—Dum veneris, iudicare saeculum per ignem....”

Seungyoun tersentak, menoleh lalu menarik napas saat melihat Seungwoo yang berada di daun pintu. Ia meletakkan kertas yang dipegangnya, mulutnya terbuka namun tidak ada suara.

Langkah kaki telanjang Seungwoo berderap kecil di lantai keras. Pemuda itu bermuka datar tanpa ekspresi, mulutnya mengatup erat. Tangannya meraih kertas yang tadinya dipegang Seungyoun, membacanya.

Ia berujar, nyaris tidak terdengar. “Libera me, ini dinyanyikan sebelum hukumanku dijatuhkan. Harus aku tiru, sebagai doa untuk diriku sendiri.”

Seungyoun hanya terdiam.

“Ironis, karena aku masih hidup, kan. Tapi untuk mereka, aku sudah tiada,” Seungwoo mendengus geli. “Kamu dapat ini dari mana?”

“Dari arsip lama keluargaku,” jawab Seungyoun singkat.

Mata Seungwoo melebar. “Berarti... kamu salah satu manusia yang diberkahi?”

“Benar.”

“Untuk apa kamu mengumpulkan ini? Manusia tidak perlu responsory kuno seperti ini, bahkan yang istimewa sepertimu.”

Helaan napas berat terdengar dari Seungyoun. Alisnya berkerut, bisa dilihat ia sedang berpikir keras. Seungwoo hanya bingung—ia tahu manusia memuja dewa. Namun yang dirapal Seungyoun adalah pujian yang benar-benar kuno, bahkan sebelum Seungwoo turun responsory itu tidak dipakai lagi.

Seungyoun akhirnya bersuara, namun suaranya merendah. “Kalau aku bilang alasannya, kamu akan takut, Seungwoo.”

Bulu kuduk Seungwoo berdiri. Rasanya aura Seungyoun berubah. Lebih mendominasi, lebih primal, seperti predator.

“Aku ingin dengar,” ia menyahut, menegakkan badannya.

“Kamu akan menyesal.”

“Aku ingin dengar.”

“Seungwoo.”

“Aku ingin dengar.”

Tiba-tiba Seungyoun berdiri di depan Seungwoo, menangkup dagunya dengan satu tangan. Erat sekali hingga Seungwoo bisa merasakan tekanan di rahangnya. Pemuda itu memojokkannya ke tembok ruangan, satu lututnya menyusup di antara dua kaki Seungwoo.

“Baiklah, kamu mau dengar?” desis Seungyoun, matanya menatap tajam. “Aku sudah mencari makhluk sepertimu—ah, bukan, kamu, Seungwoo—sejak lama. Kamu tahu, dulu aku sangat tertarik pada sains. Eksakta. Maka aku menolak ‘keistimewaan’ku ini. Lalu aku bisa merasakannya, gerakan alammu. Rotasinya, revolusinya. Entah terhadap apa. Lalu aku bisa merasakan presensimu.

Seungwoo membelalak, mengerling sana-sini. Alisnya berkerut, dadanya naik-turun karena napasnya yang terengah.

“Aku bisa merasakanmu, dan aku menginginkanmu,” Seungyoun melanjutkan, “Aku penasaran dengan jiwamu yang suci itu. Ah, atau hina, ya, sekarang? Oh, ya, aku juga mengagumi tubuhmu. Apakah dewa sama seperti kami, makhluk fana? Aku penasaran, apakah kalian juga ingin mendosa seperti kami? Aku ingin menjamahmu, Seungwoo. Ingin mendengar desahan yang lebih keras dari lagu pujian. Ingin melihat kemurnianmu retak oleh sentuhanku. Aku ingin membuat badanmu bergerak meminta lebih, membuat pikiranmu tertutupi awan nafsu, membutakanmu dengan sensasi yang mengenai titik ternikmat dalam tubuhmu. Aku ingin merusakmu, lalu membenarkanmu lagi, lalu merusakmu lagi, berulang-ulang. Aku ingin membuatmu jadi sama tercelanya denganku.”

Napas mereka berdua sama-sama tersengal setelah Seungyoun selesai bicara. Ruangan itu senyap, hanya diisi oleh tarikan dan hembusan yang beradu. Seungwoo hanya bisa mengerjap, mulutnya tertutup rapat. Untuk pertama kali sejak dia dipisahkan dengan entah-siapa-namanya, ia merasakan sesuatu. Tidak, bukan sedih atau marah atau bahagia. Bahkan bukan takut.

Ia merasakan nafsu. Nafsu duniawi.

Seketika mata Seungyoun kembali terang, seakan dari tadi ia tak sadar dan sekarang baru siuman. Ia melepas genggamannya, lalu bergerak menjauh dari Seungwoo.

“Lebih baik kamu pergi sekarang, Seungwoo,” bisiknya pelan, suaranya bergetar. “Sebelum aku kehilangan kendali.”

Seungwoo membuka-tutup mulutnya, kata-kata tertahan di tenggorokan. “Seungyoun, aku—”

“Pergi, Seungwoo. Ambil ini dan pergi,” Seungyoun membuka lemari di pojok ruangan dan memberinya mantel besar. Dalam diam Seungwoo mengambil mantel itu, menatap Seungyoun yang menunduk, kemudian pergi dari ruangan.

Seungyoun mengacak rambutnya. Sial, ia memang ingin melihat lebih jauh apa yang selama ini hanya berupa mitos belaka. Namun setelah melihat Seungwoo—kelaparan, terluka, bingung dengan dunia barunya—ambisi itu menciut. Mungkin nuraninya masih ada. Tadinya ia ingin menolong karena ada niat terselubung, tapi nyatanya jadi tulus juga.

Di sisi lain, Seungwoo berjalan gontai meninggalkan rumah itu. Ia memang terkejut dengan pernyataan Seungyoun tadi. Ternyata benar, manusia memang selalu ada kotornya. Tidak ada yang sebaik itu, kalau ada pun pasti mempunyai intensi buruk yang tersembunyi. Itulah caranya bertahan hidup di dunia ini.

Tapi setelah dipikir lagi, ia juga manusia sekarang. Terpaksa hidup di bumi karena hukuman yang semena-mena. Mulutnya menbentuk senyum miris. Mau di surga atau bumi manusia sama saja, semuanya mempunyai noda dalam jiwa.

Langkahnya terhenti, mantelnya jatuh ke tanah. Lengannya memeluk diri sendiri. Merasakan tekstur kulitnya dengan ujung jari. Ia tahu dirinya sudah berbeda. Sekarang ia tidak bersayap lagi, hanya bisa berjalan letih dengan kaki. Tetapi ada satu hal yang sama.

Dewa atau manusia, Deneb Algedi atau Han Seungwoo, ia tetaplah insan yang kotor, hina dan berdosa.

Seungwoo menghela napas, mengambil mantel seraya menoleh untuk melihat rumah di belakangnya.

Ia sudah rusak sedari dulu. Rusak berkali-kali lagi mungkin tidak lebih buruk. Toh ia sudah kehilangan segalanya.

Rumput di bawahnya terkoyak saat kakinya berbalik, melangkah menuju rumah yang tadi ia tinggalkan. Kali ini, tidak ada penyesalan. Ia akan menikmati setiap detik yang disuguhi. Tidak peduli jika ia rusak lalu benar lalu rusak lagi.

Libera me, pt. II (proceed cautiously) click here.


halo, di chapter ini pornonya mulai ya. HAHAHA. mau kasih tau aja, gue bener2 main sama hal2 freaky di sini (jujur gue berasa nulis hentai), dan jangan lupa fisiknya woo yang berubah. gak ada intensi misgendering atau apapun di sini. gue juga main2 sama hal berbau kepercayaan, jadi kalau ada yang menyinggung buat kalian, kasih tau segera ya, akan gue perbaiki. satu lagi, baca warningnya. jangan lanjut kalo nggak kuat, oke?

WARNING, THIS STORY CONTAINS: graphic description of sex, usage of vulgar words (vagina, sperma, penis), fingering, clitoris stimulation, squirting, rope bondage/shibari/kinbaku, immobilization, blowjob, facefucking, nipple play, lactating (legit, bukan kink), riding, breeding kink, bareback (gak ada convo ttg safety karena ya,,, plotnya gitu. mohon mengerti ya...)

POSSIBLE BLASPHEMY, karena ada scene yang pake roman responsory yang judulnya “Libera me, Domine”

sekali lagi, kalau kalian gak nyaman bilang sama gue, dan kalau nggak suka bisa protes ke mention, DM atau CC gue. kalau ada warning yang gue lupain tolong bilang juga ya. hope you enjoy this one, sweet people 💖


Seungyoun sedang membakar kertas-kertas penelitiannya di perapian ruang tengah ketika pintu luar menjeblak terbuka. Ia menoleh dan sedetik kemudian Seungwoo muncul, ekspresinya tidak terbaca.

Ia menghela napas. “Aku sudah menyuruhmu pergi,” ucapnya singkat sambil melempar buku ke jilatan api.

“Aku tahu,” balas Seungwoo, “tapi aku tidak mau.”

“Karena?”

Aura Seungwoo terasa di belakangnya. Menarik, hendak menenggelamkan. Maka ia berbalik badan, bertemu dengan manik berwarna kecokelatan. Mereka bertatapan dalam diam, sebelum akhirnya Seungwoo bergerak.

Seungwoo membuka bajunya perlahan, melepas atasan, kemudian celananya dan dalaman yang diberikan. Mau tak mau Seungyoun memperhatikan tubuh indah itu. Bahunya lebar, dadanya bidang, perutnya membentuk otot yang sedikit timbul. Mata Seungyoun kian membelalak saat ia melihat bagian selangkangan Seungwoo. Ia menyangka akan melihat sebuah penis layaknya laki-laki pada umumnya, namun yang terlihat malah vagina milik wanita.

“Aku sudah hina, Seungyoun,” ujar Seungwoo lirih, tersenyum sendu.

Seringai kecil terbentuk di wajah Seungyoun. “Lalu? Apa yang kamu mau?”

“Buat aku lupa akan semua kecuali namamu,” Seungwoo berbisik, mengalungkan lengannya di sekitar leher Seungyoun. “jamah aku. Rusak aku.

Tangan Seungyoun menyentuh pinggang Seungwoo, mengelusnya lembut. “Tak ada jalan kembali, Seungwoo,” katanya memperingatkan.

“Aku tahu.”

Seungyoun tersenyum, mendekat lalu langsung mengecup bibir Seungwoo. Ia mencumbu dengan agresif, tanpa kelembutan sedikitpun. Sesekali lidahnya melesak ke dalam, menjelajah sedikit, kemudian kembali menghisap bibir bawah Seungwoo dengan sensual. Suara kecipak diiringi desahan mereka berdua memenuhi ruangan.

Setelah beberapa saat, Seungyoun melepas pagutannya. Seungwoo terengah, mukanya memerah. Matanya tidak fokus dan badannya jauh lebih sensitif dari sebelumnya.

Dari pinggang, satu tangan Seungyoun bergeser ke bawah. Meraba pinggul, pelvis, kemudian mendarat di vagina Seungwoo yang sudah basah.

“Ngh, ah,” desah Seungwoo, tungkainya merapat. Seungyoun hanya tersenyum, jari tengahnya meraba ke dalam labia, bergerak di belahannya.

“Enak, ya?” Seungyoun bertanya retoris, kini menstimulasi bagian klitoris—memutar jarinya sambil agak menekan. Bahunya dicengkeram erat oleh Seungwoo yang kini melebarkan kakinya, meminta lebih. “Ini baru awalnya, Seungwoo.”

Dengan itu ia melepas jarinya lalu menempelkannya di bibir Seungwoo, yang langsung menurut dan mengulumnya. Seungwoo menjilat jari Seungyoun dengan nikmat, merasakan dirinya sendiri.

Setelah itu Seungyoun menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Seungwoo, menggigit dan menghisap kulit halus tersebut. Meninggalkan tanda kemerahan yang nantinya akan membiru atau menjadi ungu. Sebuah klaim darinya, tanda teritori. Milik Seungyoun sepenuhnya.

Seungyoun kemudian pergi sejenak, meminta Seungwoo untuk bersimpuh di lantai. Seungwoo heran, namun patuh dan merendah dalam diam. Rasa herannya itu terjawab saat Seungyoun kembali dengan tali berwarna merah, ada dua set di tangannya.

“Aku akan mengikatmu,” ujarnya, “kamu akan suka. Tenang saja.”

Seungwoo mengangguk, mengikuti arahan Seungyoun yang mulai membelit tali itu di tubuhnya. Tali pertama dibentuk sedemikian rupa menjadi bentuk pentagram di dadanya, mengitari punggung dan mengikat tangannya yang tertekuk di belakang. Tali kedua mengikat kakinya yang terlipat sehingga paha dan betisnya menempel. Seungwoo terengah, titik tekanannya berdenyut karena terkena tali. Untung lukanya sudah mulai menutup, jadi tidak terlalu perih.

Saat Seungyoun selesai ia benar-benar kaku, sangat susah untuk menggerakkan bagian yang terikat. Baru kali ini ia merasa begitu di luar kendali. Tetapi tidak bisa dipungkiri ia mengantisipasi apa yang akan terjadi setelah ini. Penasaran, ingin tahu. Atau mungkin hanya bernafsu, bisa dirasakan dari sensasi vaginanya yang terus berkedut. Dadanya juga sedikit sakit, namun bukan karena tertekan. Ada sesuatu yang lain.

Seungyoun tersenyum melihat hasil karyanya. Pemandangan di depannya sangat indah—Seungwoo yang dihiasi tali merah menyala, dadanya menonjol karena tali di sekitarnya, vaginanya terlihat jelas karena kakinya yang terbuka. Kebebasannya ia renggut, sekarang makhluk yang tadinya agung menjadi seperti boneka saja. Diam dan hanya bisa menurut jika badannya digerakkan. Belum lagi bintang di dadanya membuat Seungwoo terlihat lebih hina.

Ia berlutut di depan Seungwoo. Kakinya yang bersimpuh Seungyoun lebarkan, lalu tangannya langsung menyentuh bagian selangkangan lagi.

“Seungyoun, ah—hng,” rintih Seungwoo saat jari Seungyoun menstimulasi klitorisnya, bergerak kesana kemari. “Seungy—mmh,” desahan itu terputus karena Seungyoun mencumbunya lagi, menikmati bibir Seungwoo yang merah dan bengkak karena perlakuannya tadi.

“Mmm, kamu basah sekali,” gumam Seungyoun, merasakan jarinya yang lengket karena cairan Seungwoo yang terus keluar. “Berbaringlah di lantai, dan lebarkan kakimu sejauh mungkin,” titahnya. Seungwoo pun melakukan apa yang disuruh, tungkainya membuka ke kanan dan kiri—menyebabkan vaginanya ikut melebar, terpampang jelas di depan Seungyoun.

Seungyoun membalur jari telunjuk dan tengahnya dengan cairan Seungwoo, menggeseknya di belahan basah itu. Kemudian dengan perlahan jari tengahnya ia masukkan.

Kepala Seungwoo lunglai ke samping saat ia merasakan intrusi asing di liangnya. “Hhh, ah, hng,” ia mendesah pelan, dindingnya mengapit erat jari yang bergerak semakin dalam.

Jari itu dikeluarkan kemudian dimasukkan lagi dengan ritme yang stabil. Setelah beberapa lama Seungyoun menambah jari tengahnya, dan Seungwoo kontan mengerang saat ia merasakan lubangnya diregangkan.

“Hhhah! Seungyoun—ah, ngh, aah—”

“Hush,” Seungyoun menggerakkan kedua jarinya masuk dan keluar. “Sebentar lagi kamu akan merasa lebih nikmat.”

Dengan itu gerakan jarinya jadi seperti menggunting, melebarkan dinding hangat Seungwoo sejauh mungkin. Lubrikan alami yang membalurnya semakin banyak, menimbulkan suara yang erotis. Ia kemudian menambah jari manis, dan langsung mempercepat ritmenya.

Tiba-tiba Seungwoo merasakan satu titik di dalam liangnya tersentuh, dan saat itu juga badannya tersentak—rasanya seperti seluruh sarafnya terbangun seketika, nikmat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya seperti listrik yang menyetrum.

“A—ah! Ah!” desahnya tertahan, kakinya gemetar berusaha tetap terbuka, “Seu—Seungyoun, ngh—di situ!”

Seungyoun terkekeh, menghujam titik itu berulang kali. Terang saja, ia sudah menemukan bagian yang paling nikmat di liang Seungwoo. Temponya pun semakin ia percepat, seiring dengan tubuh Seungwoo yang mengikuti.

Lama kelamaan Seungwoo merasakan tekanan di bagian bawahnya, seperti ada cairan yang tertahan. Suara kecipak semakin keras terdengar di ruangan itu.

“Seungyoun—aku mau—mau, hng, ah, a- ah, ah!” belum sempat Seungwoo menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya menggelinjang hebat kala orgasme pertamanya menerpa. Badannya melengkung ke atas, kakinya gemetaran. Cairan yang sedari tadi ia rasa tertahan menyembur keluar, muncrat membasahi tangan Seungyoun dan menetes ke lantai.

Setelah gelombang orgasmenya selesai badan Seungwoo langsung melemas, vaginanya berkontraksi pelan di antara jari Seungyoun yang ditarik keluar.

“Enak, kan?” tanya Seungyoun, menjilat cairan yang membasahi tangannya. Rasanya manis, entah nyata atau sugesti. Ia juga menjilat vagina Seungwoo yang basah, menghisap klitorisnya pelan di antara bibirnya. Seungwoo hanya mengangguk, tak mampu membuat suara.

Seungwoo melirik ke bawah. Dadanya terasa sakit sedari tadi, dan saat ia lihat putingnya sudah mengeras dan mencuat padahal tidak disentuh sama sekali. Lalu ia melihatnya—sedikit cairan yang mengalir keluar, hanya setetes, berkilau di ujung putingnya.

“Seungyoun,” cicitnya.

Pemuda yang dipanggil melirik dari selangkangannya. “Hm?”

“Dadaku sakit.”

Alis Seungyoun mengerut, lalu beringsut sehingga badannya berada di atas badan Seungwoo. Ia melihat dada pemuda itu, sedikit basah. Ada wangi yang menguar darinya. Tangan Seungyoun mengusap puting Seungwoo, disambut desahan dari yang empunya. Lalu, cairan yang menempel di jarinya ia jilat.

Manis. Bukan seperti cairan orgasme tadi. Untuk yang ini rasanya manis dan segar.

Rasanya seperti susu. Tunggu, tunggu. Ini memang susu.

Seungyoun mendengus geli, lalu bertanya, “Tadi kamu bilang dadamu sakit, Seungwoo?”

Pemuda di hadapannya mengangguk. Seringai terbentuk di wajah Seungyoun, lalu tanpa peringatan tangannya meremas kedua buah dada tersebut. Ia pijat sedikit, dan cairan susu langsung memancar keluar dari puting yang membengkak itu.

“Ah, ah—Youn,” Seungwoo membusungkan dadanya, sedikit membelalak karena baru pertama kali melihat kelenjar susunya benar-benar bekerja. “Itu—itu, susu?”

“Mm-hm,” Seungyoun menjilat bibirnya, lalu mendaratkan mulutnya di puting sebelah kiri, menjilat dan menghisap lembut. Susu itu langsung memenuhi indra perasanya, manis dan wangi sekali. Rasanya lebih enak dari susu manapun yang pernah ia coba. Puting yang satu lagi ia pilin dan cubit, menyebabkan susunya mengalir ke tangan Seungyoun dan dada Seungwoo sendiri.

“Hhng, ah, jangan kuat-kuat,” rintih Seungwoo, bisa merasakan vaginanya mulai berkedut lagi. Seungyoun tidak mengindahkan perkataan itu, ia malah berganti menghisap puting yang sebelah kanan. Seungwoo hanya melihatnya dengar tatapan berkabut. Sensasi dari hisapan Seungyoun, pijatan pada dadanya dan tali yang bergesek dengan kulit langsung membuatnya basah kembali.

Beberapa saat kemudian Seungyoun melepas mulutnya dengan bunyi pop pelan. “Terima kasih, aku kenyang sekarang,” katanya sambil mengecup kedua puting itu untuk terakhir kali. Seungwoo hanya merespon dengan hhh pelan, liur mengalir dari bibir ke dagunya.

“Seungwoo, aku juga ada susu,” ujar Seungyoun kemudian, “Kamu mau?”

Seungwoo tidak bodoh. Ia tahu maksud Seungyoun bukan susu dalam arti harfiah. Tetapi ia tetap mengangguk. Besar inginnya untuk mencicipi Seungyoun pula.

“Mau.”

“Kalau begitu, sini,” Seungyoun pun menuntun Seungwoo untuk bersimpuh kembali, tubuhnya ditegakkan. Tangannya yang sedari tadi tertimpa badan ia gerakkan, mencoba mengalirkan darah kembali ke bagian yang terasa kebas.

Matanya menatap lurus ke arah gundukan di selangkangan Seungyoun seraya pemuda itu membuka bajunya. Ia menelan ludah saat akhirnya penis Seungyoun terpampang di depannya—ukurannya besar, ujungnya bersemburat merah, telah tegang pula dengan pembuluh yang timbul.

Seungyoun memegang penisnya sendiri, mengocoknya sebentar, kemudian menyentuhkan ujungnya di bibir Seungwoo. “Ini, nikmati,” katanya singkat. Mulut Seungwoo langsung terbuka, memasukkan penis itu. Ia bernapas dalam-dalam, mengulum dengan lembut, sesekali memaju-mundurkan kepalanya sambil menghisap sehingga pipinya cekung. Ini sensasi yang benar-benar baru karena Seungwoo belum pernah melakukan ini sebelumnya. Walaupun aneh, namun ia menikmatinya.

Geraman rendah Seungyoun terdengar saat Seungwoo mempercepat ritmenya. Ia memegang kepala Seungwoo, lalu mulai mendorong pinggulnya.

“—Uhk!” Seungwoo tersedak, terkejut saat penis Seungyoun menabrak tenggorokannya dengan keras. Matanya berlinang air mata yang langsung mengalir ke pipi.

Seungyoun mengeluarkan penisnya, lalu memegang dan menepuk-nepuk pipi Seungwoo dengan ujungnya yang basah, menyebarkan pre-cum yang bercampur saliva di kulit bersih itu. “Kamu mau lagi, Seungwoo?” tanyanya.

Pemuda yang ditanya mengangguk. Ia ingin membuat Seungyoun merasa nikmat juga.

“Aku tidak akan berlaku lembut,” ucap Seungyoun, memasukkan penisnya lagi ke mulut hangat itu. “Jadi siap-siap.”

Seungwoo pun merilekskan rahangnya, meletakkan lidah di bagian bawah penis Seungyoun dan menatap ke atas. Menunggu dengan patuh. Sesaat kemudian kepalanya didorong ke depan bersamaan dengan Seungyoun yang memajukan pinggulnya. Ritme kali ini sungguh cepat—penis itu menghantam tenggorokannya tiap kali masuk, memenuhi mulut dan menyulitkan saluran pernapasannya. Ia berdeguk kala Seungyoun menahan kepalanya di tempat, menanamkan penisnya sampai hidung Seungwoo menyentuh pelvisnya.

“—kh! Hhk!”

“Sudah kubilang aku tidak akan lembut. Sekarang kau merasakan akibatnya,” Seungyoun mendengus, menekan lebih jauh lagi.

Badan Seungwoo meronta-ronta, membusung sampai membentuk busur. Tiap inci kulitnya tergores tali. Ia benar-benar kesulitan bernapas sekarang, namun alih-alih merasa tersiksa, sebetulnya ini terasa nikmat. Benar-benar didominasi, ditambah sensasi tali yang membatasi. Vaginanya semakin terasa basah di bawah, nafsunya memuncak. Saat Seungwoo merasa ia tak sanggup lagi—napasnya tersumbat dan kepalanya mulai pusing—barulah Seungyoun melepas pegangan, mengeluarkan penisnya.

Seungwoo langsung menarik napas dalam saat paru-parunya terbebas, mulutnya membuka sedikit untuk mempermudah sirkulasi udara. Mukanya lebih merona lagi sekarang.

Tali di kaki Seungwoo mulai dilepas oleh Seungyoun. Desahan lemah terdengar saat kakinya yang kebas kembali dialiri darah. Seungyoun sendiri membantu meluruskan kakinya sambil menciumi bibir Seungwoo.

Beberapa waktu berlalu, dan Seungwoo mulai merasakan nafsunya semakin meningkat. Ia melihat penis Seungyoun yang masih tegang, dan vaginanya berkedut dalam respon.

Seungyoun melihat tatapan mata Seungwoo, lalu menyeringai. “Masih belum cukup, hm? Oh ya, kamu belum menerima susunya.”

“Seungyoun, aku ingin penismu,” pinta Seungwoo, suaranya serak dan pecah, “aku mohon.”

“Anak baik, ya? Memohon dengan sangat begitu, aku tidak bisa menolak,” Seungyoun tersenyum miring, lalu memposisikan Seungwoo sehingga ia berlutut. Bagian atas tubuhnya masih tetap terikat, sehingga torsonya tegak.

Seungwoo melebarkan lututnya, meringis saat dua jari Seungyoun memasuki vaginanya. “Ah, Youn, tidak perlu,” katanya tidak sabar. Seungyoun hanya berdecak, mengatakan bahwa ia akan mempersiapkan dahulu. Jari itu bergerak masuk dan keluar untuk sejenak, menggunakan cairan vagina sebagai lubrikan.

Setelah dirasa cukup Seungyoun mengeluarkan jarinya, lalu meludah di tangannya dan membalur penisnya dengan itu. Penisnya disentuhkan pada vagina Seungwoo yang sudah basah dan memerah, sengaja ia gesekkan dahulu untuk menggoda.

Pinggang Seungwoo bergerak-gerak seiring pemuda itu merengek, “Masukin, masukin sekarang, hhh, aku mohon—ah!”

Rengekannya terhenti saat penis Seungyoun akhirnya masuk, perlahan sampai seluruhnya berada di dalam. Dinding Seungwoo menjepit erat penis itu, hangat dan basah.

“Kamu sempit sekali, Seungwoo,” bisik Seungyoun seduktif, menggerakkan pinggangnya sedikit. “Masih perawan, ya?”

Seungwoo mengernyit. Tidak, ia pernah dengan entah-siapa-namanya dulu—hal yang membuatnya divonis berdosa. Namun dengan tubuh barunya? Mungkin tidak.

“Jawab, Seungwoo,” paksa Seungyoun, mengeluarkan penisnya lalu memasukkannya kembali dalam satu sentakan.

Seungwoo tersentak kaget. “Hng, p—perawan, Seungyoun. Aku, ngh, perawan.”

Seringai terbentuk di bibir Seungyoun, ia pun mempercepat temponya. “Berarti aku yang pertama menjamahmu, hm? Aku yang pertama menyetubuhimu.”

“Hhh—ah, aah—lagi, lagi—”

“Jawab, atau aku berhenti.”

“Iya—iya, ah! Terus, lagi, tolong—hng, ah, kamu yang pertama, Seungyoun!” desah Seungwoo, merasakan sensasi yang merembet sampai tulang belakang saat titik nikmatnya kembali dihantam.

Seungyoun kemudian menarik tubuh Seungwoo sampai punggung dan dada mereka bersentuhan. Ia meraba dada Seungwoo, melihat jarinya kembali basah. Matanya melirik ke genangan kecil di lantai. Ternyata susu Seungwoo keluar lagi hingga menetes. Huh, seperti bocor, pikirnya geli.

Kedua tangannya memijat puting Seungwoo, menyebabkan air susu kembali memancar keluar. Seungwoo melengkungkan badannya, merasa malu sekaligus terangsang saat melihat susunya muncrat ke mana-mana.

“Aku akan menyetubuhimu sampai kamu benar-benar lupa semua, Seungwoo,” bisik Seungyoun di telinganya, suaranya rendah, “Bahkan namamu sendiri. Aku akan membuatmu tenggelam dalam nikmat sampai vaginamu akan terus basah saat otakmu memikirkanku.”

Seungwoo merinding mendengar perkataan itu, dan sensasi penis Seungyoun yang terus menghujamnya hanya menambah nikmat berkali-kali lipat. “Ya, ngh, ya—kumohon, Youn—hhh, setubuhi aku, hancur- hancurkan aku, tolong, hng, tolong—” racaunya.

Tiba-tiba Seungyoun menarik penisnya keluar. Seungwoo menoleh hendak protes, namun tidak jadi ketika ia ditarik ke pangkuan pemuda itu.

“Lanjutkan, cantik,” perintah Seungyoun.

Cantik, katanya, pikir Seungwoo sambil mengangkat badannya, lalu sambil dibantu Seungyoun ia turun—penis Seungyoun kembali masuk ke liangnya. Cantik. Ia tidak pernah dibilang cantik.

Ia menggerakkan pinggulnya dengan gerakan memutar, menyesuaikan sensasi penuh di dalamnya kembali. Seungyoun memagutnya dalam ciuman panas, memanjakan bibirnya dalam sentuhan-sentuhan bagai candu.

Seungwoo akhirnya mulai menggerakkan pinggulnya naik turun, diiringi Seungyoun yang sesekali menyentak ke atas. “Ngh, ah, Seungyoun—hhh, enak, enak—” desahnya.

“Keenakan, hm?” Seungyoun terkekeh, tangannya menggerayangi badan Seungwoo. “Sampai netes lagi lho, ini.”

Benar saja, sedari tadi susu tetap menetes dari puting Seungwoo—berjatuhan ke abdomen Seungyoun dan dirinya sendiri.

“Hhh, ah,” ia tidak bisa membentuk kata-kata koheren, pikirannya penuh dengan nikmat yang diterima.

Seungyoun meraba bagian pentagram dari talinya, lalu tangannya berpindah ke belakang. “Aku lepas, ya. Tetap bergerak,” dengan itu ia mulai melepas ikatan tali, membebaskan tangannya yang terlipat sedemikian rupa.

Seungwoo merintih saat tangannya jatuh ke sisi tubuhnya, masih lemah dan kebas. Ritmenya jadi berantakan, namun masih menghantam titik nikmatnya. Susunya yang tadi menetes kini benar-benar mengucur, karena dadanya sudah tidak tertekan tali.

“Yo—Youn, ah, itu—” Seungwoo berhenti sejenak, memfokuskan pikirannya, “Sakit, hhh, dadaku sakit lagi.”

Seungyoun bergumam, mendekatkan dirinya ke satu puting lalu menjilatnya sedikit. “Terus maunya apa?”

“Aah—” tangan Seungwoo memegang tengkuk Seungyoun, mendorongnya sedikit. “T—tolong, minum, tolong—hhh...”

“Oh?” Seungyoun menatap ke atas, tersenyum tipis. “Kalau begitu, aku mau kamu melakukan sesuatu juga.”

“Ap—apa?”

“Nyanyikan Libera me untukku.”

Seungwoo menatap ke bawah, alisnya mengerut. “Hah?”

“Kau mendengarku.”

Ia menghela napas. Aneh-aneh saja. Namun ide itu terdengar ironis, kotor dan merangsang pada saat yang bersamaan.

“Baiklah,” jawab Seungwoo, menghela napas.

Seungyoun menyunggingkan senyum lebar, lalu mulai menghisap puting kiri Seungwoo, menikmati cairan manis yang kembali memenuhi mulutnya. Penisnya juga masih dimanjakan goyangan Seungwoo yang menyanyi dengan suara serak dan sesekali diselingi desahan.

Setelah menenangkan dirinya dan menetapkan ritme yang tidak terlalu cepat, Seungwoo mulai bernyanyi. Tangannya ia letakkan di rambut Seungyoun, mengelusnya lembut.

Libera me, Domine, hhh—de morte aeterna,” Seungwoo menghela napas, berusaha fokus, “in die illa tremenda, ah, ah—”

Ia terus mengalunkan responsory itu, meski nadanya sumbang serta suaranya kian pecah dan diiringi desah. Pikirannya semakin berkabut saat Seungyoun menghisap lebih keras, tangannya ikut memijat kedua puting Seungwoo guna mengeluarkan lebih banyak susu.

Suara Seungwoo terkadang menghilang sepenuhnya, membuat Seungyoun harus mengingatkannya untuk lanjut.

D—dies, ah, ngh...”

Seungyoun menggigit pelan puting Seungwoo yang sedang dikulumnya, membuat yang empunya memekik pelan.

“Selesaikan, Seungwoo.”

“Hhah, hng, dies illa, dies irae—hhah—calamitatis et miseri—miseriæ, dies, aah, hng—magna et amara valde...”

“Anak baik.”

“Hhh, Youn—ah, requ- requiem aeternam dona eis, ngh, Domine: et lux—et lux perpetua luceat eis.

Seungyoun menelan susu di mulutnya, lalu mencium Seungwoo dalam-dalam. Bibir mereka beradu, bergumul dengan suara kecupan yang mengiringi. Seungwoo merasakan manis dari susunya sendiri bercampur dengan liur mereka berdua yang mengalir sampai dagunya.

“Bagus, Seungwoo,” puji Seungyoun, mengecup lembut bibir itu sekali lagi.

Seungwoo tersenyum mendengar pujian itu, lalu mulai merengek sambil mempercepat gerakan pinggulnya. “Hng—Seungyoun, ah, Seungyoun, mau k—keluar, mau keluar,” pintanya.

“Baiklah,” ujar Seungyoun, lalu membalik posisi mereka tanpa mengeluarkan penisnya, sehingga sekarang Seungwoo berbaring telentang di lantai. Setelah itu ia pegang bagian bawah lutut Seungwoo dan melebarkan kakinya, lalu langsung menggempur tanpa ampun, ritmenya jauh lebih cepat dari sebelumnya.

Kepala Seungwoo sedikit mendongak, mulutnya terbuka mengeluarkan desahan erotis. Salivanya mengaliri dagu dan leher, bercampur dengan air mata. Ia bisa merasakan vaginanya mengetat di sekitar penis Seungyoun, titik ternikmatnya berulang kali dihujam. Bahkan ia bisa merasakan ujung penis itu menembus serviks dan masuk ke rahimnya.

“Youn—hhh, Seungyoun, hng, ah—aah, hhah, dalam, lebih dalam lagi—ngh,” satu tangan Seungwoo meraih ke bawah, menstimulasi klitorisnya sendiri. Tangan satunya memainkan putingnya yang masih sensitif dan basah, membuat desahannya semakin keras.

Seungyoun menggeram mendengar itu. “Lebih dalam, hhh, Seungwoo? Mau sampai hamil, ya?”

“M—mau,” sambar Seungwoo, skenario berputar di kepalanya—ia mengandung anak Seungyoun, darah dagingnya sendiri, begitu hidup, begitu indah. Anak manusia, mortal, tidak sempurna, namun penuh kebahagiaan.

Namun, untuk itu, mereka harus jatuh cinta.

Seungyoun hanya menginginkan tubuhnya, bukan jiwanya yang ternoda.

Tetapi mungkin ada sedikit harapan. Secercah cahaya, bahwa dalam kehidupannya sebagai makhluk fana, ia bisa kembali jatuh cinta. Mungkin dengan Seungyoun atau tidak. Ia tidak tahu.

Ia ingin. Ingin sekali jatuh cinta pada Seungyoun. Entah ini hanya perasaan semu atau nyata.

“Mau,” ulangnya lagi, lemah. Badannya ikut bergerak seiring tempo yang semakin berantakan. Vaginanya sudah sangat basah, menyebabkan suara kecipak yang kembali terdengar keras di ruangan itu.

Seungyoun tertawa kecil. “Nanti dulu, ya, kita pikirkan lagi,” ucapnya, “Aku mau menikmatimu dulu.”

Seungwoo tersenyum lugu. Tidak apa-apa. Ia menikmati dipakai seperti ini. Ia suka sensasi nikmat setinggi langit yang diberikan Seungyoun. Lebih enak daripada surga yang sebenarnya.

“Mau keluar, ah, Youn, mau—ah, hhh—”

“Keluarkan, cantik.”

Dengan izin Seungyoun itu ia pun klimaks untuk kedua kalinya—badannya membusur kaku di lantai, gemetar pada saat yang bersamaan, cairannya kembali menyembur dan membasahi penis Seungyoun serta lantai di bawahnya. Bola matanya berbalik ke atas sampai yang terlihat hanya sclera putihnya yang terlihat. Mulutnya terbuka tanpa suara, napasnya terhenti sejenak.

Seungyoun menyentak keras, meringis saat dinding Seungwoo menyempit seketika. Ia menikmati pemandangan di depannya, Seungwoo terlihat sangat cantik seperti ini. Begitu kotor. Tercela, sama seperti dirinya.

“Hhng, hng, Youn, k—keluar di dalam, aah, di dalam,” pinta Seungwoo, suaranya tidak jelas.

“Seungwoo, hhah, anak baik, ya? Aku akan mengisimu hingga penuh, sampai menggenang di dalam, ya? Ah—”

Dengan sentakan terakhir Seungyoun pun klimaks, menanamkan penisnya dalam-dalam, menumpahkan spermanya jauh di liang Seungwoo yang hangat. Ia menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Seungwoo, terdiam seraya menunggu ejakulasinya berakhir. Seungwoo hanya mendesah pelan, merasakan sperma yang mengisi dirinya.

Selama beberapa saat mereka hanya terdiam, terengah-engah setelah kegiatan yang intens. Akhirnya Seungyoun mengangkat kepalanya dan mengeluarkan penisnya pelan-pelan. Seungwoo mendesah saat akhirnya sensasi penuh di lubangnya menghilang dan cairan di dalamnya mengalir keluar.

“Puas?” tanya Seungyoun sambil mengangkat Seungwoo perlahan ke gendongannya. Ia terlihat seperti mengangkat pengantin.

Seungwoo mengangguk. “Puas,” katanya. “Tapi aku ingin lagi.”

Tawa kecil terdengar dari Seungyoun yang kini membawa mereka ke kamar mandi. “Nanti lagi, ya. Aku punya banyak kejutan untukmu.”

“Ah, aku jadi penasaran.”

“Pokoknya, lebih nikmat lagi dari ini. Aku sudah bilang akan merusakmu, kan?”

“Mmm.”

“Aku tidak akan mengingkari perkataanku.”


Seungwoo terkadang ingat namanya dulu. Deneb Algedi, insan yang suci, bersinar di tengah semesta. Sayapnya kuat dan anugerahnya banyak. Ia bisa menjelajah pohon Yggdrasil dalam semalam, atau melihat-lihat sekeliling alam yang diciptakan oleh Ra.

Sekarang keagungan itu tidak ada lagi. Sekarang ia adalah manusia biasa, dihukum untuk hidup di dunia fana. Tubuhnya diubah sebagai tanda dosa untuk dirinya. Bahwa ia tidaklah lagi suci dan murni.

Namun, seraya ia melihat bekas ikatan tali di kulit putihnya, rasa basah dan lengket di antara kakinya dan liangnya yang terasa penuh, ia merasa bahagia.

Seraya ia menangkup pipi Seungyoun yang sedang menikmati susunya seperti bayi, seraya mereka berbaring nyaman di kasur—setelah Seungyoun selesai menghancurkan Seungwoo dengan mengikat dan menggantungnya ke langit-langit ruangan, lalu menancapkan benda yang bergetar di vaginanya sampai Seungwoo menjerit dan membuat genangan di lantai—ia merasa tenang dan damai.

Soal perasaan, mungkin ia cinta. Tetapi terakhir kali ia membiarkan perasaannya tumbuh, ia dikutuk. Jadi ia akan menikmati saja apa yang ia punya saat ini.


Seungyoun memang istimewa sepanjang hidupnya. Otaknya encer, dengan paras yang tampan dan fisik yang nyaris sempurna (karena kesempurnaan hanya milik tuhan, katanya).

Selama hidupnya itu juga ia mencari-cari tentang sesuatu yang dianggap mitos. Menjelajahi berbagai tempat dan mengumpulkan arsip. Sampai orang menganggapnya aneh, ia tidak peduli. Mereka tidak istimewa seperti dirinya.

Sekarang, ia sudah menemukan apa yang ia cari. Bahkan lebih daripada yang ia ekspektasi. Seungwoo sangat elok, sangat mempesona. Namun ternyata tidak semua yang agung itu sempurna.

Tidak apa-apa, ia senang mengoyak kesucian itu sampai terlihat sisi Seungwoo yang hina. Ia menikmati setiap alunan desah yang mendayu saat Seungwoo ia manja. Senang melihat Seungwoo yang tersenyum penuh nikmat saat badannya basah oleh saliva, cairan vagina, dan sperma.

Soal perasaan, Seungyoun tidak tahu apa rasanya mencinta. Namun saat ia melihat mata Seungwoo yang sembap dan menyentuh kulitnya yang halus, rasanya seperti kupu-kupu beterbangan di perutnya. Ia tidak tahu apa artinya itu. Mungkin suatu saat ia akan mengerti. Untuk sekarang, ia hanya akan menikmati.


Rest in Peace, Deneb Algedi.

fin.

A/N: guys ini ff dari tahun 2017, dan clearly gue ga ngerti konsep safe sex tp ini selingan selama gue bikin ff desire yg estimasi wordnya banyak bgt huhu :( jadi anggep aja they’re in a committed relationship dan ga sex sama siapa2 selain one another jd bisa bareback okeii


Tengah malam, pukul 12 lewat 15 menit. Seungwoo menghela napas, menghentikan mobilnya yang telah terparkir sempurna di garasi rumah bercat putih chiffon-nya. Diambilnya tas yang berisi dokumen pekerjaan dan laptop dari bangku belakang, kemudian ia kunci kendaraannya tersebut.

Ia pun berjalan ke pintu depan, pelan dan letih. Dirogohnya saku untuk mengambil kunci rumah, namun sebelum ia sempat memasukkannya ke lubang kunci, pintu sudah terbuka duluan.

”'met datang,” Seungyoun berada di belakang pintu, tersenyum, suaranya serak dan rambutnya acak-acakan. Terlihat di sudut mata Seungwoo, sofa dengan selimut yang tersibak (malam ini dingin sekali, dan Seungyoun hanya mengenakan kaus dan celana pendek); serta televisi yang menyala dengan volume kecil. Sudah jelas, Seungyoun pasti menunggunya pulang dan tertidur di sofa itu.

“Hei,” ucap Seungwoo, seraya menutup pintu dan melepas sepatu. “Kamu nungguin lagi, ya?” lanjutnya, lalu merangkul pinggang ramping Seungyoun mendekat dan mengecup bibir kekasihnya itu lembut.

Seungyoun membalas ciuman itu, tangannya ia letakkan di bahu tegap Seungwoo. “Iya. Pengen aja,” ujarnya setelah melepas tautan mulut mereka.

“Lain kali, nggak usah. Nanti kamu capek,” Seungwoo berucap, lengannya masih melingkar di torso Seungyoun dan mukanya begitu dekat; Seungyoun bisa merasakan napasnya yang berbau mint.

“Nggak janji, ya,” balas Seungyoun, nyengir.

“Janji. Kalau nggak, kuhukum lho,” Seungwoo tersenyum berbahaya, lalu melepas pegangannya dari pinggang kekasihnya itu.

“Apaan, sih,” sahut Seungyoun, mendengus, sambil melepas mantel Seungwoo yang tebal. “Kamu udah makan?” ia lanjut bertanya.

“Udah. Aku mau mandi aja, terus langsung tidur.”

“Oke—” Seungyoun yang hendak menjawab terbungkam saat Seungwoo berbisik tepat di telinganya.

“Kamu mandi bareng aku, ya.”

Ia meletakkan tas dan laptopnya di meja TV lalu ngeluyur pergi, meninggalkan Seungyoun dengan muka panas dan merah merona. Ia menggelengkan kepalanya dan mulai berjalan ke kamar—dikiranya Seungwoo bercanda, dan ia berniat untuk menunggunya mandi di kasur—namun ia tersentak saat mendengar seruan Seungwoo dari kamar mandi.

“Seungyoun? Masuk sini!”

Mengangkat alis, Seungyoun memasuki kamar mandi—dan oh betapa panas tubuhnya saat ia melihat Seungwoo, topless (ia masih memakai boxer), punggung lebarnya menjadi pemandangan utama.

“Heh, malah ngelamun. Yuk ah,” Seungwoo menghampirinya tak sabar. Lagi-lagi, mulutnya menemukan telinga Seungyoun yang sensitif, dan ia berbisik dengan suara rendah sementara tangannya menyusup ke bawah kaus tipis Seungyoun, meraba punggung pemuda yang lebih muda darinya itu.

“Kamu nggak mau mandi sama aku, hm?”

Seungyoun menghela napas, keras dan memburu. “Mau, kok,” ucapnya pelan, ia merinding dari kepala sampai kaki. Tubuhnya benar-benar terasa panas sekarang.

Seungwoo menyeringai kecil, lalu mundur sedikit—melepas kaus Seungyoun sementara sang empunya kaus mengangkat tangan—kemudian kembali merengkuh kekasihnya itu, tangannya menelusup ke boxer Seungyoun, meremas pantatnya dan sengaja sedikit menyentuh lubang yang ada di sana, sedangkan mulutnya sibuk beradu dengan mulut Seungyoun, berebut dominasi. Suara desah dari Seungyoun dan gumam lembut dari Seungwoo, serta napas yang terengah jelas terdengar di kamar mandi yang sunyi itu.

Seungwoo melepas tautan bibir mereka, lalu berkata singkat, “Lepas,” kemudian ia melepas boxernya sendiri, melemparnya ke keranjang cucian, lalu berjalan ke ruang kaca berisi shower. Seungyoun mengikuti langkahnya, dan menyusulnya ke ruang tersebut, lalu menutup pintu kacanya.

Begitu ia menutup pintu, Seungwoo langsung menyerang mulutnya lagi, beradu lidah dan menjelajahi tiap bagian dari mulutnya. Seungyoun mendesah tertahan saat air shower hangat yang entah sejak kapan dinyalakan mengenai dirinya dan Seungwoo. Lengannya melingkar di leher Seungwoo, menekan kepala pemuda tinggi tersebut untuk memperdalam ciuman panas mereka—sesekali mencengkram helaian hitam rambutnya.

Seungwoo, di sisi lain, perlahan memojokkan Seungyoun ke dinding kaca. Tangannya menggerayangi tubuh Seungyoun, dari meraba dan mencubit pucuk dadanya yang sensitif, turun ke bokongnya dan meremasnya penuh nafsu, lalu sesekali menyentuh ringan penis milik Seungyoun yang telah berdiri sempurna—membuat sang pemuda yang lebih pendek darinya itu mengerang.

Melepas ciumannya dengan Seungyoun—dan Seungwoo tersenyum puas saat melihat bibir kekasihnya telah berubah menjadi pink kemerahan, berisi dan basah, tak lupa mata Seungyoun yang setengah terbuka—Seungwoo pun menyerang leher Seungyoun, menggigit, menjilat dan mendaratkan kecup ringan di kulit tan tersebut, yang tentunya meninggalkan bekas merah keunguan—Seungyoun akan sulit menutupinya.

“Mas, jangan banyak-banyak– nanti aku– a- ah— hah-ah—” Seungyoun tak sempat menyelesaikan kata-katanya, karena Seungwoo telah berpindah ke putingnya- menjilat yang satu lembut, lalu mengecup dan menghisapnya, sedangkan tangan kirinya mencubit, mengusap dan melintir yang satu lagi, kemudian bertukar. Seungyoun terus mengeluarkan desah dari mulutnya, tangannya mencengkram rambut dan leher Seungwoo erat, tubuhnya panas dan merinding.

Selesai bermain dengan puting kekasihnya—yang sekarang basah, berwarna pink-cokelat berkilau dan ujungnya terangsang—Seungwoo berkata pelan di depan wajah Seungyoun yang sayu.

Blow me sayang. No touching yourself.”

Dan refleks, Seungyoun menurutinya. Ia langsung berlutut di depan penis Seungwoo yang telah berdiri tegak, napasnya memburu. Dipegangnya milik Seungwoo, lalu dikecupnya lembut, mulai dari puncak hingga bagian bawah—dan testisnya, tentu saja. Ia kembali ke bagian puncak, menjilatnya seduktif, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Dikulumnya pelan, membasahinya dengan saliva- kemudian menghisap dan menggumam pelan, menghasilkan getaran di sekitar penis tersebut.

“Ah, you’ve always been really good, babe,” Seungwoo berkata rendah, nyaris berbisik, bergumam dan mendesah ringan.

Seungyoun melepaskan kulumannya dengan bunyi pop pelan, benang saliva menghubungkan ujung penis Seungwoo dan bibir bawahnya seraya ia berucap dengan nada seduktif.

“Aah, kamu belum lihat bagian utamanya, mas.”

Ia memasukkan penis itu ke dalam mulutnya lagi, dan terus maju sampai bagian bawahnya- ujung penis Seungwoo sekarang hampir menyentuh belakang mulut Seungyoun. Hidungnya nyaris menyentuh pelvis kekasihnya—tangan Seungyoun ikut bekerja, memainkan testikel di bawah penis yang dikulumnya. Dimaju-mundurkan kepalanya, pelan, seraya ia bernapas terengah-engah dan mendesah setengah bergumam.

Tanpa berkata-kata, Seungwoo menggenggam rambut hitam Seungyoun, lalu dalam sekejap ditariknya kepala Seungyoun ke depan, membuat penisnya terbenam di mulut Seungyoun, menyodok ujung tenggorokannya. Seketika Seungyoun pun mengeluarkan suara tersedak, dan air mata menggenangi pelupuk matanya.

Seungyoun menatap ke atas, alisnya berkerut dengan mata yang berlinang, menatap Seungwoo yang menyeringai.

“Kenapa? Kamu suka, kan?”

Seungyoun mendengus keras, lalu memaju-mundurkan kepalanya lagi- kali ini dibantu tangan Seungwoo yang masih memegang dan menggerakkan kepalanya. Ia menghisap benda tersebut dalam mulutnya- sampai pipinya cekung ke dalam, yang langsung diikuti oleh erangan Seungwoo. Mendadak, Seungwoo menarik kepala Seungyoun, membuat kekasihnya itu melepaskan penisnya dari mulutnya.

“Seungwoo, kenap—” Seungyoun merintih pelan saat badannya dipojokkan ke dinding dan punggungnya menyentuh permukaan dingin. Seungwoo mengangkat satu kaki kekasihnya hingga membuka lebar secara vertikal dan Seungyoun jadi bertumpu dengan satu kaki saja.

“A-ah-hhah! Seungwoo- aahn—” desahan vulgar terus keluar dari mulut Seungyoun saat ia merasakan lubangnya dimasuki jari tengah Seungwoo, dan dalam saat yang bersamaan tangan Seungwoo yang satu lagi menggenggam penisnya. Jari Seungwoo bergerak maju-mundur seraya tangannya memompa milik Seungyoun, sedangkan Seungyoun sendiri mencengkram rambut Seungwoo, merintih dan mendesah.

Dirasa cukup, Seungwoo pun memasukkan jari kedua- telunjuknya. Desahan Seungyoun makin keras, karena rasa nikmat yang aneh dan rasa sakit yang menyergap rektumnya. Digerakkannya kedua jari tersebut dalam gerakan seperti menggunting, melebarkan rektum Seungyoun sejauh mungkin. Lalu tanpa disangka-sangka, ia segera menambahkan jari ketiga, yang membuat Seungyoun mengerang keras, dadanya naik-turun dengan cepat karena napasnya yang terengah-engah. Seungwoo pun memaju-mundurkan jarinya lagi, semakin lama semakin dalam, mencari prostat Seungyoun.

“Ah- ah- A-Seungwoo- ah!!” Tiba-tiba, Seungyoun mendesah keras, matanya terpejam erat dan punggungnya melengkung ke depan- Seungwoo tersenyum. Ia telah menemukan sweet spot milik kekasihnya itu.

“Oh, jadi di sini, hm?” Ia menaikkan kecepatan jarinya, memastikan mengenai tempat itu di setiap tusukan.

Seungyoun meronta, badannya kian memanas karena merasakan jari Seungwoo jauh di dalam rektumnya. “Seungwoo jangan- ah—”

“Jangan? Aku tau kamu suka. Lihat, lubangmu sangat sempit dan nafsu, kayak makan jariku. Jangan bohong, Seungyoun.”

“Mas, cepet— aku—” Seungyoun memandangnya lemah dari matanya yang sudah gelap oleh nafsu.

Seungwoo balas memandangnya, jarinya masih bergerak aktif. “Aku apa?” tanyanya.

“Aku butuh kamu—”

“Butuh gimana?” Seungwoo menyeringai.

“Butuh kamu- di dalem—tolong...” Seungyoun menatapnya tidak berdaya.

Seungwoo tertawa kecil. “Oke, kalo itu yang kamu mau,” Ia pun memasukkan penisnya pelan-pelan ke rektum Seungyoun, tangannya yang satu memegang paha kekasihnya, melebarkan kakinya, dan tangan yang satunya memompa pelan penis Seungyoun.

“Aah- mas, ah—” Seungyoun mengeluarkan desah tertahan, matanya terpejam erat menahan sakit dan merasakan nikmat yang ada.

Tak sabar, Seungwoo mendorong pinggangnya tiba-tiba, membuat penisnya masuk ke rektum Seungyoun dalam satu sentakan.

“A—ah!” desah Seungyoun nyaring, punggungnya melengkung dan badannya bergetar. Tangannya menyentuh dada bidang Seungwoo lemah.

Seungwoo diam beberapa saat, agar Seungyoun dapat beradaptasi dengan benda yang mengisi penuh rektumnya. Setelah ia mengangguk memberikan lampu hijau pada Seungwoo untuk bergerak, kekasihnya itu langsung bergerak maju-mundur, awalnya pelan, lama-lama makin cepat.

“Hhah—ngh, hng—ah, ah-” Seungyoun mendesah setiap kali penis Seungwoo menyentuh prostatnya, tangannya menyakar-nyakar dada Seungwoo sampai berbekas. Tak lupa tangan Seungwoo yang sedari tadi juga meningkatkan tempo memompa penisnya.

Setelah beberapa saat, Seungwoo menurunkan kaki Seungyoun dan merubah posisi kekasihnya- Seungyoun sekarang berdiri menghadap dinding kaca, dan rektumnya yang sempat kosong kembali terisi saat Seungwoo memasukkan penisnya dari belakang dalam satu sentakan. Tangan Seungwoo yang satu kembali memompa penis Seungyoun naik-turun, sedangkan yang satu lagi memegang pinggul kekasihnya erat.

Gerakan maju-mundur Seungwoo semakin cepat- sekarang terdengar suara kulit mereka yang menampar satu sama lain. Tangan Seungyoun menempel di dinding kaca, erat, bersama kakinya berusaha menahan badannya agar tidak jatuh.

“Sial, Seungyoun- kamu sempit banget. Ah—” Seungwoo mempercepat temponya, saat ia merasakan badan Seungyoun mulai menegang dan desahannya mulai tak jelas—campuran antara desah, napas terengah dan pekikan kecil. Iramanya sudah menjadi tak terkendali sekarang. Pegangan Seungyoun di dinding makin merosot, dan tangan Seungwoo memompa penisnya dengan sangat cepat.

Seungyoun merasa lumpuh, sekaligus sensitif—ia bisa merasakan Seungwoo mengenai prostatnya lagi dan lagi, setiap kali menyebabkan kakinya lemas. Ia kesulitan bernapas karena gerakan yang sedang dilakukan dan uap dari air hangat shower yang mengguyur mereka berdua.

Selang beberapa menit, badan Seungyoun menegang, kemudian gemetar.

“Mas- aku- aku mau- hhah- ah—”

“Sebut nama mas, Seungyoun.”

“Aah- ah- ah- hhah—Seungwoo—” seraya pekikannya yang berangsur hilang, Seungyoun klimaks— sperma putihnya mengenai dinding kaca, mengalir turun. Tangannya melemah, kakinya gemetaran.

Seungwoo melanjutkan gerakannya, tak lama lagi ia akan menyusul. Dan benar saja, selang beberapa detik, ia orgasme, mengeluarkan hasratnya di dalam rektum Seungyoun, menghela napas panjang. Sang empunya rektum mendesah pelan, merasakan kehangatan yang memenuhi lubangnya.

Untuk beberapa menit, mereka hanya diam, mengatur napas dan merasakan hangatnya air shower yang mengaliri mereka.

“Mas,” ucap Seungyoun, bersandar lemah di dada Seungwoo.

“Hm?”

“Pengap, ayo buruan kita kelarin mandinya.”

Seungwoo tergelak. “Tapi lanjut ya abis ini?”

“Kenapa sih sex drive kamu tinggi banget?” Seungyoun bersungut-sungut. Padahal ia sebetulnya juga mau.

“Soalnya kan sama kamu.”

“Halah.”

“Lah, beneran!”

Singkat cerita, mereka menyelesaikan kegiatan mandi, kemudian berpindah ke kamar dan bercinta sampai pagi. Duh, dasar sejoli.

fin.

there is a woman in somalia scraping for pearls on the roadside there's a force stronger than nature keeps her will alive

this is how she's dying she’s dying to survive don't know what she's made of i would like to be that brave


Kita hidup dalam sebuah distopia. Dalam dunia yang fana, dengan paradigma yang menguntungkan satu pihak semata.


Pagi yang dingin membangunkanku dari tidur lelap berbalut selimut tebal. Embun pagi menempel di kaca dengan pinggir kayu, kicau burung seperti dentum irama menyambut hari baru.

Aku melihat ke samping dan melihat Seungyoun masih tidur. Melingkar seperti kucing, nyaris mengambil seluruh bagian selimut.

Perlahan, aku menyibak poninya yang sudah mulai memanjang menutupi mata, mengecup dahinya penuh cinta. Kemudian aku beringsut pelan turun dari tempat tidur agar tidak membuatnya terbangun.

Aku mengambil pakaian dan berjalan ke kamar mandi. Kunyalakan shower, merasakan air yang sedikit dingin mengaliri tubuhku, cukup untuk menyadarkan otak yang masih setengah tidur.

Setelah mandi, aku berjalan ke dapur dan membuka jendela berbingkai putih di sana. Udara segar masuk, terlihat beberapa orang memulai aktivitas pagi hari dan bunga lili serta aster yang mulai mekar di halaman kami.


she cries to the heaven above there is a stone in my heart she lives a life she didn't choose and it hurts like brand-new shoes


Mungkin dari suasananya, dunia ini terlihat seperti dunia dalam dongeng. Penuh kedamaian dan orang-orang yang bahagia. Berjalan dengan semestinya, mengikuti takdir yang ada.

Tapi kebenarannya sangatlah berbeda.

Dunia kacau balau. Manusia egois mengambil alih kepemimpinan dan mengubah roda kehidupan seperti mainan belaka. Rakyat disiksa dan ditekan. Peraturan diubah semena-mena. Yang berkuasa menghancurkan yang tak berdaya.

Yang paling parah, penolakan terhadap cinta telah melewati akal sehat.

Kaum minoritas rentan dilenyapkan. Yang seharusnya benar, kalah oleh pendapat salah yang menang kuantitas. Kami yang mereka anggap tidak normal dikecam dan dimusnahkan. Peperangan dan persekusi adalah jalan kedamaian.

Di dunia ini, mencintai dan menyayangi bukanlah sesuatu yang dianggap penting. Orang-orang hina tersebut berpikir bahwa alasan insan berhubungan adalah untuk menciptakan keturunan untuk meneruskan kekejaman mereka—atau hanya untuk melampiaskan hawa nafsu.

Dan aku, Seungwoo, adalah salah satu dari kaum minoritas tersebut. Akulah salah satu dari segelintir orang yang masih berpikiran lurus dan ego yang masih terkendali. Akulah satu dari sedikit orang yang tidak terhasut pikirannya oleh nafsu dunia. Namun sayang, mana ada yang peduli perasaan hati sekarang?


there is a woman in somalia the sun gives her no mercy the same sky we lay under burns her to the bone


“Pagi, Mas,” Seungyoun menyandarkan kepalanya ke bahuku selagi aku menyeduh teh dan menyiapkan roti untuk sarapan.

Aku mengusap kepalanya dan mengacak rambutnya yang sudah mulai memanjang. “Pagi,” balasku singkat sambil tersenyum.

“Bikin apa?”

“Roti isi daging asap sama keju. Mungkin sama kentang goreng, kalau masih ada di kulkas.”

“Hmm,” Seungyoun menutup matanya, menghirup aroma makanan yang ada, “Boleh juga. Nanti kita belanja yuk.”

Beruntung kami tinggal di pinggiran kota, tempat di mana bom tidak jatuh sesering di pusat. Daerah ini juga merupakan perlindungan bagi orang-orang yang dibuang seperti kami, jadi penolakan juga tidak terlalu sering muncul. Namun, teror juga meningkat sekarang. Perang sedang terjadi. Kadang terdengar bom yang berjatuhan dan meledak, suara perang yang berlangsung; bukti nyata orang-orang egois yang membinasakan yang tak bersalah untuk kepentingan dirinya sendiri.

“Yuk. Sana kamu siap-siap,” Aku merangkul pinggangnya dan mengecup pipinya.

“Oke,” Ia mengangguk, kemudian berjalan menuju kamar mandi.

Aku mencintai Seungyoun. Aku laki-laki, Seungyoun laki-laki. Sebenarnya tidak salah, namun tidak begitu menurut pemahaman orang lain.

Banyak yang telah kami lewati. Dihina, dimaki-maki, bahkan diusir dari rumah sendiri. Kami telah mengalami tidak punya harta dan tempat bernaung.

Tapi tak apa. Asalkan tetap bersama, apapun tak akan menjadi rintangan di dunia yang mendekati katastrofa.

Bahkan kematian. Apalagi kematian.

“Udah siap?”

“Udah!”

“Oke, ayo pergi.”

Setelah makan pagi, aku dan Seungyoun keluar rumah untuk membeli kebutuhan yang kurang. Mantel dan syal tak lupa dibalutkan, karena sekarang sudah mulai musim gugur dan temperatur sudah mulai menurun.

Kugenggam tangan Seungyoun, menjaganya tetap hangat. Tangan kami tergaet, mengayun, seiring mata yang sesekali melirik satu sama lain dan bibir yang tertarik menjadi senyum.

“Masa ya, aku suka bayangin gimana kehidupan kita kalo kenyataan gak memilukan seperti sekarang. Betapa bahagianya kehidupan itu,” aku berkata, menengadahkan kepala ke langit biru yang ternodai sedikit abu-abu.

“Nggak cuma kamu, kok,” Seungyoun menghembuskan napas beruap, tersenyum. “Tapi mau gimana? Namanya kenyataan, tak ada yang bisa membelokkan. Kita cuma bisa berharap, semoga ada keajaiban yang buat dunia tak jadi malapetaka.”

Aku hanya membalas dengan tersenyum lembut dan mengeratkan genggaman tanganku.

DUAR!

“ADA BOM!”

“LARI! LARI SEKARANG!!”

“ISTRIKU!! ISTRIKU DI SITU—”

“TAK ADA WAKTU! PERGI!”

Tiba-tiba, terdengar suara orang berteriak dan warga berlarian. Kurasakan bahuku tertabrak oleh bahu orang lain yang sedang kabur secepat kilat.

Aku melihat ke langit yang kini ternodai oleh asap gelap yang membumbung tinggi. Kulihat Seungyoun di sebelahku, melihatku balik, matanya membelalak panik.

Kutarik tangannya sekuat tenaga, membawanya kembali ke alam sadarnya. Kulangkahkan kakiku secepat mungkin, membawa kami berdua jauh dari serangan yang sedang terjadi.

Sedetik kemudian, terdengar ledakan keras menghujam tanah. Api menyala di mana-mana, membakar benda-benda. Orang-orang sekitar yang masih ada berjatuhan, sebagian menangis dan berteriak.

Aku dan Seungyoun tersungkur. Bom tersebut jatuh tepat di belakang kami, mengoyak tulang dan membakar kulit. Jatuh berdebum, kulihat Seungyoun kesulitan bernapas karena asap yang memenuhi tempat ini. Aku pun sedang merasakan sakit luar biasa karena benda keras dan material bom yang menghujam punggungku.


long as afternoon shadows it’s gonna take her to get home each grain carefully wrapped up pearls for her little girl


“Seungwoo,” kudengar bisikan Seungyoun yang serak dan lemah.

“Seungyoun, jangan pergi. Hei, hei, jangan pergi, tolong. Tolong,” aku terus bicara padanya, berusaha menjaganya agar tetap sadar—padahal kesadaranku sendiri sudah lenyap perlahan-lahan.

“Mas,” katanya, tersenyum kecut. “Nggak ada skenario kita hidup dari sini.”

“Kamu ngomong apa, sih—nggak Seungyoun, jangan pergi. Jangan tinggalin aku!” seruku parau, mulai panik. Napasku sesak, rasanya seperti menghirup duri semak. Tajam, perih, dan panas.

“Lepasin, Seungwoo,” ucap Seungyoun, sangat pelan. Air mata mengalir di pipinya, membasuh debu dan darah yang menghias, “Lepasin. Kamu sayang aku, kan?”

“Sayang banget. Sayang—” suaraku hilang, habis.

Ia tersenyum. “Kalau gitu, kita bakal ketemu lagi.”

Kepalaku menggeleng, keras kepala. Iya, memang egois. Aku memang egois.

“S—”

“Sampai jumpa, mas.”

Perlahan matanya tertutup, seperti hendak tertidur lelap.


hallelujah hallelujah


Aku membeku. Menunggu. Tidak, matanya tidak membuka lagi. Tangannya terkulai lemas di genggamanku. Tidak, dadanya tidak naik turun lagi. Aku masih, tapi rasanya seperti tertusuk belati.

Mulutku membuka, ingin memanggil nama belahan jiwa. Tidak bisa. Lidahku kelu, dan luapan air di mata pun mengalir, mengiringi kebisuanku.

Namun, pada detik selanjutnya, kudengar suara berdesing dan dentuman—pertanda bom lain yang datang.

Aku tak bergerak. Mataku merah dan sembab dengan air mata yang tumpah. Kutatap langit dengan tatapan kosong. Semesta terdiam stagnan, bom itu tidak kunjung sampai. Seakan menunggu keputusan. Keputusanku.

Senyuman terbentuk di sudut mulutku. Pasrah. Pilu.

Kalau gitu, kita bakal ketemu lagi.

Kalau gitu, aku ingin cepat pergi.

Supaya bisa cepat ketemu lagi.

Itu, keputusanku.

Bom itu menghujam keras, meledakkan setiap bagian tubuhku. Aku terdiam. Merasakan ragaku menguap. Jiwaku perlahan lenyap.

Kemudian kututup mataku.

Gelap.

Tak apa-apa.

Aku ucapkan selamat tinggal pada dunia penuh derita.


she cries to the heaven above there is a stone in my heart she lives in a world she didn't choose and it hurts like brand-new shoes hurts like brand-new shoes


Kau tahu, Seungyoun, aku selalu membayangkan sebuah utopia.

Tempat di mana kita bisa mencintai tanpa dianggap dosa. Tempat di mana kita bisa hidup tanpa rasa nelangsa dan nestapa. Tempat kita berdua bisa bebas tanpa satupun dusta.

Mungkin, kali ini, kita akan menuju utopia itu.

Sampai jumpa, Seungyoun. Tunggu aku.

fin.


FIRST story from cc desire prompts:

prompt 1: Mowning sex.

Woo terbangun dan merasa kekosongan disamping tempat tidurnya, beranjak mencari kittennya. Naked. Hah? Iya. Mereka seleluasa itu di dalam rumah mereka. Kaget? Wajar.

Tapi pagi ini, kittennya nakal. Terlalu nakal. Kittennya sedang berada di dapur, dan memasak hanya dengan mengenakan apron berenda. Bisa diganti kemeja si mas opsional 👀. Anyways- hmm, hukuman apa yang cocok untuk kittennya ini ya?

Ah- terong? Wortel? Timun? You named it.

prompt 2: SEUNGZZ DADDY KINK PWIS


A/N (skip aja tp ada warning kalo bisa baca dulu y!!!!)

Halo, ini ff pertama dari deepest darkest desire yg kalian kirim ke gue di cc! Makasih udah drop by buat kasih buah pikiran kalian yap, dan gue akan selalu welcome buat prompt kalian so send it away!

Anyways, WARNINGS: This story contains — graphic description of sex, vulgar words (penis, anal, sperma), spanking, food play / food penetration, bareback, sex on table, dom/sub undertones, daddy kink, pet names, mild humiliation, blowjob, facefucking, gagging, choking, cumming untouched.

If I left anything out, or if I did something you’re not comfy with, feel free to hit me di CC atau DM twitter! Hope you enjoy, happy valentine folks 💖


i’m a good housewife, i respect and obey i clean your mess when you clean your plate don’t worry darling, don’t worry darling

Seungwoo mengerjapkan matanya, mengernyit saat sinar matahari menyeruak dari tirai yang tersibak. Ia berguling dan meregangkan tubuhnya, sendi-sendi yang kaku berbunyi gemeletuk.

Ia meraba bagian sampingnya, mencari tubuh hangat yang didekap tadi malam. Matanya yang masih tertutup membuka sedikit. Nihil. Tak ada siapa-siapa, hanya selimut yang membentang berantakan.

Tadi malam Seungwoo pulang larut. Saat ia sampai, suami ayunya yang menunggu dengan lingerie berwarna putih menyambutnya di ranjang. Tanpa basa-basi ia langsung menerjang dan bercinta dengan jelitanya itu. Segera setelah puas bermain kepalanya mendarat di bantal empuk, kesadarannya hilang. Rengkuhannya erat mengantar diri dan suami ke alam mimpi.

Kini ia heran, ke mana suaminya gerangan. Bagian kasur yang disentuh masih hangat, berarti perginya belum lama.

It’s so nice to have a man around the house Dinner’s ready!

Gema musik yang terdengar dari arah luar menggelitik telinga Seungwoo. Lagunya ribut sekali. Penasaran, ia pun bangkit dari tempat tidur, tak peduli dengan badannya yang masih telanjang bekas malam tadi. Dibukanya pintu, dan terang saja alunan lagu yang ada semakin keras.

“Seungyoun?” panggilnya.

Mata Seungwoo melebar, kantuknya seketika menghilang saat ia melihat suaminya. Ya, di depannya ada Seungyoun, tidak mengenakan sehelai pakaian pun kecuali sebuah apron manis berenda merah muda. Pantatnya berlenggak-lenggok seksi seraya tangannya asyik mengaduk adonan panekuk dengan whisk.

Suaminya itu menoleh ke arah Seungwoo, mulutnya masih setia berdendang pada lagu. Tatapan matanya menggoda, mengedip dengan manja kala melihat tubuh Seungwoo yang bagaikan adonis di tanah dewa.

“Mas,” ucapnya, “Selamat pagi.”

bettie needs a spank bettie needs a spank bettie needs a spank bettie needs a spank

Seungwoo menahan hasrat untuk segera menyerbu suaminya itu. Ia memaksa bibirnya untuk tersenyum kecil seraya matanya menggelap karena pupilnya yang membesar.

Ia berjalan ke arah lawan bicaranya, lalu membalas sapaan itu. “Pagi, kitten.”

Seungyoun hanya bergumam, lagu tetap berputar dari ponselnya di meja makan. Ia sadar dengan nama panggilan itu.

Game on.

domestic dame, shaken or stirred i’m the ideal woman all men prefer happy wife, happy life

Seungwoo pun berjalan mendekat. Saat ia berada tepat di belakang, ia sengaja menyentuhkan dadanya ke punggung Seungyoun—menyebabkan penisnya bersentuhan dengan pantat suaminya itu.

Suara tarikan napas yang dalam terdengar dari Seungyoun, sebaik mungkin berusaha untuk tetap tenang sambil menuang batter-nya ke teflon.

“Ups, maaf,” kata Seungwoo, tentunya tanpa rasa bersalah. “Mas mau ambil kopi.”

Seungyoun menjilat bibirnya. “Iy—iya, mas.”

Namun Seungwoo tak kunjung melepas badannya. Malah ia semakin menekan badannya, sedikit menggesek penisnya. Seungyoun mulai terengah, menahan diri agar tidak bergerak meminta lebih.

Seketika Seungwoo menyandarkan kepalanya di bahu Seungyoun, bibirnya di sebelah telinga yang lebih muda. Napasnya yang hangat menghembus, membuat Seungyoun merinding karenanya.

Bad kitty,” ejek Seungwoo, suaranya masih rendah dan serak. “Maksudnya apa nyambut kayak gini, hm?”

Badan Seungyoun seketika memanas. Bisa dirasakannya libido yang mulai naik. “It’s valentine, daddy, uh—I wan, wanna please you,” jawab Seungyoun, napasnya memburu.

Daddy?

Oh, Seungyoun sudah masuk headspace.

“Ah, iya. Happy valentine, kitten.”

Seungwoo berbisik rendah, bibirnya pindah dan hinggap di leher jenjang suaminya. Ia menggigit dan menghisap kulit putih itu, meninggalkan tanda kemerahan yang nanti akan berubah menjadi ungu mencolok. Sebuah klaim, sebuah pernyataan.

Dia milik saya.

Seungyoun memiringkan kepalanya, mempermudah akses yang lebih tua. Ia bisa merasakan ereksinya sendiri di balik kain apron, dan milik suaminya yang masih bergesekan dengan pantatnya.

daddy needs a wank bettie needs a spank daddy needs a wank bettie needs a spank

Sambil membubuhkan tandanya di leher Seungyoun, jari Seungwoo bergerak ke pantat suaminya. Telunjuknya menyusup masuk, membuat Seungyoun mendesah pelan karena intrusi yang lumayan mudah—sisa cairan tadi malam masih ada rupanya.

Seungwoo tertawa kecil. “Enak, hm? Mau tambah lagi?”

“Hng—m, mau, daddy,” Seungyoun buru-buru mematikan kompor, panekuknya terbengkalai seketika. Ia mencengkeram permukaan meja, pinggulnya bergerak kecil mencari sensasi lebih.

Plak!

Sekujur tubuh Seungyoun menegang kala telapak tangan Seungwoo mendarat di pantatnya. Menampar keras sampai rasanya merembet ke tulang belakang.

“Ah!”

“Nakal kamu,” tukas Seungwoo, “Bisa sabar?”

Seungyoun menelan ludah, dadanya naik turun karena terengah. “Bisa, bisa, daddy.”

Seungwoo hanya mengangguk, lalu mengeluarkan jarinya. Ia mengabaikan Seungyoun yang merengek karena lubangnya jadi kosong, memilih untuk berjalan ke meja makan dan mematikan lagu dari ponsel Seungyoun. Meja makan itu kosong melompong, hanya ada taplak di atasnya. Good playground, eh?

“Seungyoun, sini,” panggilnya. Suaminya itu menurut, berjalan ke arahnya. Sorot matanya gugup, kakinya rapat di balik apron.

Meja itu ditunjuk Seungwoo. “Naik, sekarang. Face down, ass up.

Daddy—

“Kamu denger nggak?”

Seungyoun mengangguk, dengan cepat langsung menaiki meja itu dan menungging. Kakinya ia buka lebar ke samping, memperlihatkan lubangnya yang merah muda menggoda. Tubuhnya melengkung elok bagai pajangan di museum.

Seungwoo berdiri di depannya, menunduk hingga wajah mereka berhadapan. “Oke, kitten, kita mulai ya? What’s your safeword?

“Vulpes, daddy.”

“Pintar. Kalo nggak bisa ngomong, kamu ngapain?”

“Tepuk dua kali di mana aja, atau senandung nada apapun.”

Good.

Seungyoun menggoyangkan pantatnya. “Daddy, nggak tahan—please.”

“Mau apa, sayang?” tanya Seungwoo, tangannya meremas pantat yang lebih muda karena gemas. “Mau disentuh, ya? Mau daddy manjain?”

“Mau, daddy,” cicit Seungyoun. Ia tak bisa menatap penuh harap karena kepalanya yang merunduk.

Gumaman terdengar dari mulut yang lebih tua. “Gitu ya...” Seungwoo menghela napas. “Anak nakal harus dihukum dulu, iya nggak sih? Don’t you deserve a spank just like Bettie?

Tubuh Seungyoun kontan terdiam. “Hhh—m- maaf,” katanya, hampir tidak terdengar.

“Oh, kitten,” ujar Seungwoo, “I know you’re sorry. But you’ve been impatient, and now you gotta face the consequences, alright?

Bibir Seungyoun mulai bergetar karena rasa takut dan bersalah yang menghantui. Ya, Seungwoo memang sering mengajarinya untuk sabar. Tapi tetap saja Seungyoun senang membangkang. Giliran dihukum, egonya langsung runtuh.

Okay, okay, daddy.

“Sepuluh kali, ya. Hitung.”

Seungyoun bergumam, mengantisipasi perlakuan yang akan diterima. Namun tentu ia tidak siap. Tidak akan pernah siap.

Plak!

“S—satu!” serunya kaget, badannya menyentak bagai tersengat listrik. Seringai terbentuk di mulut Seungwoo kala ia melihat semburat merah yang langsung muncul di pantat montok itu.

Plak!

“Dua!”

Plak!

“Ti—tiga!”

Seungyoun terus menghitung dengan suara yang semakin melengking, kakinya gemetar. Penisnya sudah meneteskan pre-cum yang mengenai apron, membuat kain itu basah.

Lama-kelamaan kedua pantatnya benar-benar sudah merona, seiring tamparan yang diberikan Seungwoo. Kepalanya terkulai di meja, pipinya menyentuh permukaan. Air matanya mengalir deras.

Tamparan keenam, Seungwoo berhenti sejenak dan mengelus punggung yang lebih muda. “Warna kamu, kitten?”

Seungyoun mengambil napas satu kali, kemudian menjawab dengan yakin, “Hijau, daddy.”

Good.

Empat tamparan pun didaratkan oleh Seungwoo, dan saat selesai, Seungyoun telah terisak sambil mendesah pendek-pendek. Kakinya sudah gemetar hebat.

Seungwoo berjalan ke depannya dan merunduk lagi, mengelus surai hitam milik suaminya. “Sssh, kitten, you did so well. Such a good boy, only for me, yeah?

“Hhng, daddy..” ujar Seungyoun seraya tersenyum kecil, menikmati pujian yang diberikan. Rasa sakit karena spanking tadi masih tersisa. Walau sedikit nikmat, tapi itu hukuman. Perihnya harus lebih dominan. Tujuannya untuk membuat ia jera, meski akhirnya ia masih bandel juga.

“Kita lanjut, ya?” tanya Seungwoo, meskipun lebih terdengar seperti pernyataan.

Seungyoun mengangguk, membenarkan posisi badannya. Ia harus kuat. Harus tahan bahkan jika rasanya ingin tumbang. Karena intensi Seungyoun adalah untuk memuaskan Seungwoo. To please his daddy.

Seungwoo pun berjalan ke arah kulkas, membuka dan melihat seisinya. Kabinet bawah berisi sayuran ia buka. Pilihannya ada wortel, terong dan timun. Ia akhirnya memilih timun yang sekiranya cukup panjang dan keras—tak ada yang mau timun ini patah di dalam, kan?

Seungyoun terdiam di meja itu, menahan mati-matian untuk tidak menggesek dirinya di taplak meja. Seungwoo datang lagi, presensinya terasa di belakang. Tangan yang lebih tua mengelusnya dari kepala, lalu ke punggung, berlanjut ke pantatnya. Jari Seungwoo yang sudah dibalur lubrikan kembali memasuki analnya, menjamah dinding hangat yang menjepit erat.

“Hhhng, ah,” desah Seungyoun pelan, merasakan jari itu bergerak keluar masuk. Pinggulnya mulai bergerak lagi. Rasanya satu jari kurang terasa. Kurang menyentuh sudut-sudutnya.

Seungwoo menambah satu jari lagi, tangan satunya menahan pinggul Seungyoun. “Pelan-pelan, kitten.”

Napas Seungyoun yang menderu cepat lama-lama menjadi stabil, walau hembusannya masih memburu. Terlihat usaha yang lebih muda untuk mengontrol diri sendiri. Jari Seungwoo akhirnya bertambah jadi tiga, bergerak kesana kemari dan meregangkan dinding Seungyoun yang sempit. Sisa cairan Seungwoo tadi malam dan pelumas yang dingin membuat rongganya licin, suara basah yang erotis muncul karenanya.

Lubang itu akhirnya sudah cukup siap, atau begitu menurut Seungwoo. Ia pun mengeluarkan jarinya, mengambil lubrikan—lalu membalur timun yang tadi.

“Jangan lihat belakang, ya,” perintahnya, lalu menyentuhkan ujung timun itu dengan bibir anal Seungyoun. Ia menggeseknya perlahan, melihat lubang itu berkedut sensitif.

Seungyoun terkesiap, alisnya mengerut karena ia tidak tahu apa yang menyentuh permukaan lubangnya. Apa itu mainan? Barang yang ada di sekitar? Entah. Rasanya keras dan dingin, dingin sekali.

Timun itu didorong Seungwoo, namun belum masuk sama sekali, hanya menekan. “Lebarin lagi kakinya, kitten. Daddy perlu kamu rileks.”

Dengan gemetaran Seungyoun melebarkan kakinya, lutut bergeser ke kanan dan kiri. Seungwoo pun mulai memasukkan timun itu ke dalam.

“Ah, ah, d—daddy, ini ap—hhh,” perkataan Seungyoun terhenti saat bagian tengah yang berdiameter lebih besar didorong masuk, bibir analnya mengatup erat di sekitarnya. “Daddy, ngh, please, please—”

“Sedikit lagi, kitten. Enaknya sebentar lagi, sabar ya,” ucap Seungwoo, lalu melesakkan timun itu hingga tiga perempatnya berada di dalam.

“—kh, d- da, hhng,” Seungyoun hanya mendesah penuh nikmat, ujung benda asing yang mulai menghangat itu menyentuh prostatnya. Rasanya aneh—teksturnya kasar, kaku dan tidak rata. Ingin rasanya bergerak untuk menambah nikmatnya, tapi tidak. Daddy bilang diam.

Seungwoo menarik kemudian mendorong timun itu kembali ke dalam, masuk dan keluar. “Kitten,” ujarnya tegas, “I want you to come untouched in one minute, understand?

Mata Seungyoun melebar. Ia harus klimaks, tanpa disentuh, tanpa stimulasi pada penisnya, hanya dalam satu menit.

“Ngerti nggak, sayang?”

“Hhh, ng- ngerti,” jawab Seungyoun.

“Gagal ada konsekuensi ya. Kita mulai,” tukas Seungwoo, lalu langsung mempercepat ritmenya. Ia memastikan untuk mengubah sedikit arahnya setiap kali menusuk, memberi sensasi berbeda untuk Seungyoun—kadang mengenai prostatnya, dan kadang tidak.

“Empat puluh lima detik.”

Seungyoun hanya bisa mendesah dan merintih, otaknya yang berkabut berusaha fokus untuk klimaks. Prostatnya yang terkena berulang kali dan penisnya yang bergesekan dengan kain apron membuat dirinya semakin kepayahan, rasa panas dingin berdesir dalam dirinya. Benda itu benar-benar menggeseknya di setiap sudut, diputar dan dimainkan dengan lihai oleh Seungwoo. Rasanya aneh, namun sangat nikmat.

Seungwoo yang sedari tadi menghitung waktu mengingatkan. “Tiga puluh detik.”

“Hng—ah, aah- hah—”

“Lima belas detik.”

D—daddy, nggak, nggak bisa, ngh!”

“Bisa, sayang. Lima detik. Lima, empat, tiga—”

“Aah, hng, daddy, k- kuh- keluar—hhah!” suara Seungyoun kian melengking dan hilang seraya ia klimaks, tepat sebelum waktunya habis. Matanya terpejam erat. Spermanya tumpah ke apron dan menembus hingga taplak, mengotori kain-kain tersebut.

Selama beberapa detik Seungyoun hanya gemetaran, diam seraya mengatur napas. Seungwoo mengeluarkan timun yang dipegangnya dan meletakkannya di meja. Ia lalu menyentuh pinggang yang lebih muda, membalik posisinya perlahan sehingga Seungyoun duduk di tepi meja. Tali apronnya dilepas oleh Seungwoo, dan setelah tanggal ia sampirkan di kursi.

Good boy. You did well, kitten,” pujinya sambil mengelus pipi Seungyoun, kemudian menciumnya untuk pertama kali. Kecupan adalah sebuah afeksi yang besar, maka jika sedang scene ia hanya memberikannya setelah Seungyoun menyelesaikan apa yang Seungwoo suruh.

Perlahan-lahan Seungyoun kembali tenang, tersenyum lembut di tengah cumbu, menikmati sensasi bibir Seungwoo yang beradu dengan miliknya. “Daddy,” cicitnya polos, “Mau—mau muasin daddy juga.”

“Oh gitu?” Seungwoo menurunkan tangannya, membelai leher Seungyoun, kemudian ke dadanya (dan sedikit memainkan putingnya), lalu ke penisnya yang masih lemas—membuat Seungyoun mendesah pelan karena ia masih sensitif. “Kalo mau bilangnya apa, kitten?”

Seungyoun menatap ke atas, matanya bertemu dengan Seungwoo. “Can I—can I suck your cock, daddy?

Seungwoo mengangkat alisnya.

Bibir Seungyoun mencebik, ia bingung. Apa yang salah? Oh, iya.

Please, daddy?

“Berlutut di bawah.”

Tanpa menunggu lagi Seungyoun langsung menurut. Ia turun dari meja dan bersimpuh di lantai beralas karpet, tangannya terkepal di atas paha. Mulutnya terbuka seraya ia mendongak, lidahnya menjulur sedikit.

Seungwoo melangkah tepat ke depan Seungyoun, kemudian meletakkan penisnya yang sudah tegang di lidah yang lebih muda. Ia mendiamkannya sejenak, menatap Seungyoun yang diam dengan patuh, tetap menganga walaupun liur sudah mulai tumpah ke dagunya. Rambut Seungyoun dicengkeram lembut, kemudian Seungwoo menyampaikan perintahnya.

Suck.”

Secepat kilat Seungyoun menurut. Mulutnya menghisap bagian kepala penis Seungwoo, lalu meratakan lidahnya sepanjang bagian bawah. Ia maju dan terus maju, berusaha memasukkan penis Seungwoo dalam-dalam ke mulutnya. Saliva yang keluar membuat suara slurping yang basah memenuhi ruangan.

Seungyoun bergerak maju-mundur, sesekali bergumam seperti anak kecil yang diberi permen enak. Seungwoo hanya menatapnya tajam, sesekali mengerang saat Seungyoun menghisap hingga pipinya cekung dan maju sepenuhnya sampai kepala penis itu mengenai tenggorokan.

Tangannya mencengkeram rambut yang lebih muda semakin erat. “Kitten,” ucap Seungwoo, “I will fuck your mouth.

Mendengar pernyataan itu Seungyoun menghentikan gerakannya, kemudian membuat rahangnya rileks. Sedetik kemudian kepalanya ditarik dan penis Seungwoo menghujam masuk ke mulutnya, kontan menghantam tenggorokannya lebih keras.

“Ahk—!” Seungyoun berdeguk, nyaris tersedak. Seungwoo menggerakkan pinggulnya dengan cepat. Ia bisa melihat Seungyoun kepayahan dan mata yang sayu, serta tangan yang membuka-tutup di atas paha.

Sesekali Seungwoo mendorong masuk dan menahan penisnya dalam-dalam. Kepala Seungyoun ditekan agar tidak bergerak. Ia bisa merasakan paru-parunya minta udara, dadanya membusung ke depan seraya ia berusaha bernapas. Mulutnya penuh, hidungnya menyentuh pelvis Seungwoo. Matanya sudah panas dan air matanya mengalir ke pipi. Badannya meronta-ronta, menyentak sana-sini.

“Tahan, kitten. Tahan.”

“Hhk—kh!”

“Tahan.”

Setelah beberapa saat Seungwoo mengeluarkan penisnya yang berkilau dengan saliva. Seungyoun terengah di bawahnya, terdiam seribu bahasa.

Tangan Seungwoo berpindah dari rambut Seungyoun dan menangkup dagunya, membuat yang lebih muda menatap ke atas. Mukanya sudah berantakan dengan mata berair, bibir bengkak dan liur yang membanjiri dagunya. Rambutnya acak-acakan karena ulah Seungwoo tadi.

“Warna kamu, sayang?”

Seungyoun menjilat bibirnya, kemudian menjawab dengan jelas meski suaranya parau. “Hijau.”

Good. You’re doing well, kitten. Sekarang naik ke meja lagi, ya? Up, up,” ujar Seungwoo, menunduk lalu mengangkat Seungyoun dengan mudah ke pinggir meja.

Seraya bertumpu dengan siku, Seungyoun melebarkan kaki hingga telapaknya sedikit terangkat. Seungwoo pun membalur penisnya sendiri dengan lubrikan, lalu memposisikannya di bibir anal yang lebih muda.

“Hng, daddy, masukin, ya?” pinta Seungyoun dengan suara kecil, kakinya ia lebarkan lagi sehingga lubang merah mudanya terpampang jelas. “P—please?

Sorot mata Seungwoo seketika berubah menjadi lebih gelap, lebih mengintimidasi. Ia hanya mengangguk, kemudian memasukkan penisnya dalam sekali sentak ke liang Seungyoun. Geraman keluar dari mulutnya saat ia langsung bergerak dengan ritme yang cepat, menggempur tanpa ampun.

Seungyoun mendesah keras-keras, merintih dan merengek. Penis Seungwoo mengenai prostatnya terus-menerus, meningkatkan sensitivitas dindingnya sehingga ia bisa merasakan tiap inci yang bergesekan.

D—daddy, ngh, daddy—hhh, ah, ah!” desahnya tak henti-henti. Matanya mengerjap tak fokus, terkadang berbalik ke atas hingga pupilnya menghilang. Pre-cum dari penisnya sendiri menetes ke abdomen, membasahi kulit.

Beberapa saat kemudian tangan kanan Seungwoo perlahan memegang leher Seungyoun, menekan bagian jugularnya dan mempersempit pernapasan yang lebih muda. Seungyoun membelalak, mulutnya terbuka karena berusaha mengambil udara. Napasnya berdecit bagai orang mengi.

“Ahk- hhk—daddy!”

Seungwoo melepas tekanannya setelah beberapa detik, lalu mengulangnya lagi. “Enak, sayang?”

“Hhh,” Seungyoun membalas tidak jelas, pikirannya kosong namun berkecamuk pada saat yang bersamaan. “D- da, hhng—”

Senyuman terbentuk di bibir Seungwoo. Keadaan Seungyoun yang seperti ini benar-benar manifestasi surga. Matanya yang berkilau karena air mata mengerjap penuh ekstasi, mulutnya terbuka mengalirkan saliva. Rambutnya basah dan acak-acakan, mukanya merona merah—tak ada citra yang bersisa. Suara desah yang mendayu terdengar merdu di telinga.

Semua ini karena Seungwoo. Pikirannya dipenuhi oleh Seungwoo, dan ia bergerak hanya untuk memuaskan Seungwoo.

Hanya Seungwoo yang bisa membuat Seungyoun seperti ini.

“Enak nggak, sayang?” tanya Seungwoo lagi, melepaskan pegangannya. Ritmenya ia pelankan, namun dengan sentakan yang lebih keras.

Seungyoun menarik napas, sekali, dua kali. Tubuhnya direbahkan di meja, sikunya tidak kuat. Mulutnya membuka lalu menutup lagi seraya ia berusaha membentuk kata-kata.

“—nak,” jawabnya, “Hng, en- enak, daddy.”

Jawabannya itu disambut anggukan Seungwoo, yang langsung bertanya lagi. “Enaknya gimana?”

“H—hhah?” sahut Seungyoun bingung, matanya mengerjap seperti orang mengantuk.

“Bilang ke daddy enaknya gimana,” titah Seungwoo, mempercepat ritmenya lagi.

Seungyoun mengerutkan alis. Ini susah sekali—rasa nikmat memenuhi dirinya, membuat otaknya sulit berpikir. Terlebih prostatnya yang terus-menerus dihujam rasanya seperti ekstasi. Membuat melayang.

“Rasa- rasanya,” ia menelan ludah, “Penuh—hhh, penuh, daddy, a- ah!”

“Terus?”

“T—terus, hhh—”

“Jawab, kitten.”

Napas Seungyoun menderu. “Ngh, enak, d—daddy, hhh, kittenkitten s—suka!”

Seungwoo menyeringai. “Daddy juga suka,” balasnya, lalu menangkup tengkuk Seungyoun dan menciumnya lembut. Ia mengecup bibir atas, lalu bawah, dan menyusupkan lidahnya sesekali. Manis, halus. Seperti kembang gula, membuat candu.

Tempo tusukan Seungwoo semakin cepat, kali ini mengejar puncak. Ia memegang bagian bawah lutut Seungyoun, mendorongnya hingga hampir menyentuh dada yang lebih muda.

Seungyoun tersenyum lugu, matanya menyipit membentuk bulan sabit. Tangannya mengepal di samping kepala seperti bayi. Ia mendesah penuh nikmat, sesekali tertawa kecil.

“Kenapa ketawa, kitten, hm?” tanya Seungwoo, sedikit terengah.

“Hng, ah,” Seungyoun tersenyum malu. “S—sayang, a—ah! Sayang daddy, sayang daddy,” kicaunya, sedikit tak jelas karena liur yang berkumpul di mulut.

Seungwoo terkekeh, menatap penuh kasih. Malaikatnya, pujaan hatinya. Bahkan dalam keadaan tenggelam di headspace-nya, cintanya masih begitu besar. Masih memikirkan Seungwoo. Tulus dan jujur dan tanpa syarat.

Daddy sayang kamu juga, kitten.

Beberapa saat kemudian Seungyoun menggeliat kesana-kemari, bersamaan dengan tempo Seungwoo yang sudah tidak beraturan. “Kitten wah—wants to, ngh, to come, daddy. Wanna, oh, wanna come, please- come, daddy, please? Please?” mohonnya.

Come for me, kitten. Ayo, cantik, lepasin,” Seungwoo memberi izin, dan Seungyoun pun lepas.

Daddy, ah, aah—”

Klimaksnya intens—bola matanya berbalik ke belakang hingga sclera-nya saja yang terlihat, badannya membusung ke atas hingga punggungnya terangkat. Sekujur badannya menegang seraya sperma menyembur ke torso putihnya. Suaranya kian meninggi, lalu hilang, menyisakan mulut yang terbuka dan saliva yang mengalir ke leher.

Seungyoun langsung terkulai lemas saat klimaksnya selesai. Rasanya seperti lepas dari raga lalu melayang ke angkasa. Pikirannya benar-benar hilang sekarang, hanya ada sensasi penis Seungwoo yang masih menggempur lubangnya.

Good, kitten. Such a good—good boy for me, yeah? Daddy’s about to come as well, ah,” Seungwoo pun menyusul tak lama kemudian, menyentak dalam untuk terakhir kali dan menumpahkan spermanya di dalam liang Seungyoun. Rengekan kecil terdengar dari yang lebih muda karena cairan yang mengisi lubang sensitifnya.

Seungwoo terdiam, meringis sambil menunggu klimaksnya habis. Setelah itu ia mengeluarkan penisnya, melihat dengan senyum kecil saat cairannya mengalir keluar dari anal Seungyoun.

Ia lalu mengangkat Seungyoun yang masih lemas, menggendongnya dengan mudah dan berjalan menuju sofa di ruang tengah. Badannya direbahkan dengan Seungyoun di atas, kepala yang lebih muda di atas dada Seungwoo.

“Sayang,” ujar Seungwoo pelan dan lembut, intim hanya untuk didengar Seungyoun. “Good boy, you did so well, aku bangga. I’m so in love with you, so in love, so so in love.

Satu tangannya membelai surai hitam Seungyoun yang berantakan, merapikan anak rambut yang mencuat, sedangkan yang satu lagi mengelus tengkuk dan bahu yang lebih muda. Pujian tak henti keluar dari bibirnya.

Seungwoo bisa merasakan napas mereka mulai seirama, stabil dan tenang. Harusnya Seungyoun sebentar lagi turun dari awang-awang.

“Cantik, terbangnya udahan yuk? Pulang, ya? Aku kangen,” bujuknya sambil meniti muka itu, mulai dari dahi, tulang pipi hingga bibir yang jadi favoritnya.

Perlahan-lahan Seungyoun pun kembali, matanya mulai fokus. Ia mengeluarkan suara gumaman, lalu meracau sedikit (“Pancake, enak, Seungwoo-nie, strawberry!”) dan menghela napas panjang.

Seungyoun menatap ke atas, tatapannya bertemu dengan Seungwoo. “Hai,” sapanya.

“Hai,” balas Seungwoo, “Akhirnya kamu balik.”

“Maaf, aku kelamaan,” Seungyoun nyengir malu-malu, pipi gembilnya merona. “Kamu kangen ya, mas?”

“Kangen banget. Tapi aku suka lihat kamu terbang. Rasanya kayak nggak ada beban,” Seungwoo menyahut sambil menyesuaikan posisi, sekarang mereka berhadapan, tidur menyamping.

Seungyoun tersenyum penuh cinta. “Aku suka terbang,” katanya, lalu mengecup hidung Seungwoo singkat. “Tapi aku lebih suka pulang ke rumah.”

Suaminya ikut tersenyum, lalu merengkuhnya erat dan mencium keningnya.

“Rumah yang ini nggak akan pergi.”


(“Tadi pake apa sih mas?”

“Apanya?”

“... Nusuk akunya.”

“Oh, timun.”

“MAS ITU BUAT SALAD NANTI MALEM!”

“... Oiya? Nanti aku cuci kalo gitu.”

“KOTOR BANGET IH! Nanti kamu ke supermarket beli lagi ya, awas.”

“Iya... tapi kamu suka, kan?”

“...Suka....”)


(“Kenapa pilihnya lagu itu sih, dek?”

“Soalnya pas sama mood pagi, mas.”

Mood horny maksudnya?”

Yes, that.

“Suka amat godain aku.”

“Suka amat digodain aku.”

Skakmat.)

fin.