Lumine celingukan di antara anak-anak SD yang sibuk lari sana lari sini. Dari kanan kirinya kedengeran bahasa-bahasa asing yang masih campur bahasa Indonesia, beberapa masih kerasa logat anak-anaknya. Papan penunjuk lorong kelas 4 terpampang jelas mirip papan penunjuk jalan.
Sekolah orang kayah….
“Di sana kelasku!”
Lumine lagi ditarik-tarik sama Teucer yang excited banget ke arah salah satu ruangan. Sementara di belakangnya Ajax jalan santai. Kalau bukan karena digandeng Teucer, rasanya Lumine pengen ngegandeng Ajax yang ganteng banget pakai kemeja hitam—ngejagain biar gak sembarangan dilirik mamah muda lainnya.
“I’m so happy Mama minta Kak Lumi sama Kak Ajax buat ambilin my rapor!” Teucer jingkrak-jingkrak.
“Iya, seneng ya?”
Tapi bukan cuma rapor kamu…. Lumine senyum sendiri. Abis dari sini, lanjut ambil rapornya Anthon juga. Untung Tonia boleh ambil rapor sendiri.
Lumine meringis nginget peristiwa pagi ini. Harusnya sih, Mamanya Ajax yang datang buat ambil rapor hari ini. Tapi karena tiba-tiba ada kumpul ibu-ibu sosialita (yang Lumine gak tahu apa aja acaranya), akhirnya tugas ini dilimpahkan ke Ajax. Sebelum Mama Ajax berangkat, awalnya Lumine mau dibawa ikut ke acara sosialita ini. Tapi (untungnya) Ajax bersikeras kalau Lumine harus nemenin dia dulu hari ini (“Biar gak disangka papa muda, Ma. Ya ya?” lalu Ajax kecup pipi mamanya). Habis itu, Ajax janji besok Lumine boleh diajak shopping sama anggota keluarga yang lain. Mamanya dan Tonia seneng banget.
“Very very veryyyyyy!” Teucer ngerentangin tangannya buat bikin lingkaran besar di udara. “Come on Kak! I’ll introduce you to my friends!”
“Terus yang ambil rapornya siapa?” Ajax nyempil di sebelah Lumine.
“You,” Teucer nunjuk abangnya. “Kak Lumi biar sama aku.”
Ajax ketawa garing.
“Tapi abis ngenalin ke temen-temen, boleh Kak Luminya dibalikin ke Kakak?”
Teucer berpikir keras.
“Please?“ Ajax jongkok dan masang puppy eyes. Lumine mau gigit karena gemes tapi ditahan.
“Ok, then. Aku kasian, daripada Kak Ajax feel alone, I think you need Kak Lumi more than me.”
Ajax manggut-manggut. Bahagia adiknya pengertian.
Setelah dadah-dadah, Teucer kemudian lari-lari ke arah temen-temennya. Ninggalin Lumine dan Ajax di antara para orang tua siswa lainnya.
“Sini,” Ajax ngasih tangan kirinya.
Lumine ketawa. “Biar apa?”
“Daritadi saya liat kayanya kamu gregetan pengen nemplok.”
Lumine gebuk Ajax sekilas. Tapi kemudian nemplok juga. Sekarang giliran dia yang happy semacam Teucer barusan.
“Anak pertama, Dek?”
Lumine noleh dan ngeliat seorang ibu-ibu (dengan kalung bling-bling dan lipstik merah) nanya ke dia.
“E-eh bukan, anak bungsu,” kata Lumine polos.
Ajax nahan ketawa begitu ibu-ibu itu keliatan kaget sekaligus kagum.
“Loh gak keliatan ya? Singset banget! Emang masih muda badannya cepet balik lagi kaya masih gadis!”
Ajax buru-buru join percakapan buat ngelurusin kalimat Lumine barusan.
“Bukan Kak, kami ambil rapor adik saya,” kata Ajax sopan. Ibu-ibu itu seneng banget dipanggil kakak. Lumine harus muji kalau Ajax pinter banget. “Adik saya bungsu, anak ini juga bungsu makanya refleks jawab gitu,” Ajax nepuk-nepuk kepala Lumine.
Lumine malu banget dan pengen nyelempot ke kelek Ajax aja.
AKU KIRA AKU YANG DITANYAAAASHAJSJAJSA
Ajax dan ibu-ibu itu ketawa barengan.
“Lucu banget deh, saya jadi inget waktu muda dulu. Kalian honeymoon di mana? Dulu saya sama suami cuma ke Holland aja, sekalian ketemu neneknya di sana. Nenek suami saya dulu salah satu pengusaha susu di sana, walau lapang ternaknya gak luas, cuma sekitar lima ratus hektar aja—“
Lumine senyum canggung nyimak cerita yang berlanjut sampai panjang itu. Setelah beberapa cerita tentang “syukurnya waktu usaha rugi itu modalnya kecil, cuma 4M aja” sampai “anak saya yang sulung plin plan banget, beli iPhone aja pusing mau ungu apa hijau, yaudah saya beli semua warna aja daripada lama”, akhirnya masuk ke topik tentang beli hotel yang segampang top up sopipey.
“—habis itu karena saya kesel, akhirnya saya call suami saya dan saya beli resort itu. Pelayan yang numpahin air ke baju saya waktu itu langsung saya pecat.”
Pusing banget dia dengerin orang “kaya” ngomong. Sementara Ajax senyum formal. Kayanya dia sering direcoki begini sama temen-temen mamanya.
“Niatnya mau ke Kopenhagen, terus pakai campervan nyusurin Europ,” kata Ajax sopan waktu ditanya kedua kalinya honeymoon si mana sama si ibu. “Mungkin sekitar 2 bulan lamanya, ya Babe?”
Lumine cengo. Tapi sebelum dia sempet nanya lebih lanjut, nama Teucer udah dipanggil. Mereka buru-buru pamitan sama ibu-ibu itu (“Semoga cepet isi ya Dek! Duh kalian cakep banget pasti anaknya lucu!”) dan jalan ke arah meja guru.
“KOK KAMU JAWAB GITU?” Lumine bisik-bisik ribut.
Ajax nyengir. “Gak maukah? Asik loh pakai campervan bisa dusel-dusel di mana aja?”
“Y-ya mau!”
Lumine bluchu-bluchu lucu. Ajax gemes.
“Papinya Teucer?”
Ajax senyum sopan. “Bukan, saya kakaknya.”
“Aaah, kakaknya,” Wali Kelas Teucer ikut senyum sopan sambil ngangguk-ngangguk. Lumine bisa liat papan nama di mejanya (Ms. Anisa) dan parfumnya wangi banget, kaya aroma laut tapi manis. Setelah beberapa basa-basi singkat, Miss Anisa kemudian naro sebuah rapor di atas meja. “Teucer secara akademis sangat bagus ya, Kak. Dia aktif bertanya di kelas dan kalau ngantuk dia jujur.”
Ajax ketawa dengernya.
“Beberapa kali Teucer memang saya dapati keasyikan bermain sendiri di kelas, tapi saya pribadi tidak mempermasalahkannya.”
Ajax manggut-manggut.
“Saya perhatikan, Teucer punya tempat pensil, tas, dan botol minum yang bentuknya sama ya, bentuk robot matanya satu. Dia bilang itu dari kakaknya, namanya Mr. Cyclops.”
Ajax kembali senyum hepi.
“Iya, saya yang custom semuanya. Saya juga yang bawa cerita tentang Mr. Cyclops ke Teucer.”
Ms. Anisa senyum cerah banget, lalu lanjut cerita bahwa Teucer sering bilang ke temen-temennya kalau Mr. Cyclops itu robot baik hati penolong semua orang.
“Berarti saya harus memuji Kakak dan keluarga, karena berhasil menanamkan kisah heroik pada Teucer,” sekarang Lumine ikut dilirik Ms. Anisa waktu kata ‘keluarga’ disebut. “Bahkan kerennya, Teucer sampai membuat gerakan di sekolah ini.”
Ajax natap penasaran sementara Ms. Anisa ngambil album foto di lacinya. Lumine bisa liat banyak foto orang dewasa yang megang kertas kecil sambil senyum lebar.
“Ini gerakan yang Teucer usulkan pada saya, dia bilang nama gerakannya Dari Tangan ke Hati, konsepnya adalah membuat kalimat terima kasih sederhana pada kertas kecil dan diberikan pada orang lain.”
Makasih karena sudah membesarkan rumput-rumput lucu di halaman! We love you!
Kertas itu dipegang sama pemuda penjaga kebun.
Ada juga kertas yang dipegang petugas kebersihan, bunyinya Makasih selalu pasang kamper pink lucu di kamar mandi! Kami suka sekali kamper itu!
Hati Lumine menghangat melihat foto itu. Di tengah anak-anak lain, Teucer keliatan senyum paling lebar. Lumine bisa liat kalau mata Ajax sedikit basah gara-gara terharu dan Lumine ikut bangga rasanya.
Rasanya anak mereka bakalan dapet didikan yang bagus juga.
AJSJAJJSJAJSA AKU MIKIR APA????
Lumine buru-buru ngusir pikiran bayi kembar dari otaknya.
Dari arah jendela mulai keliatan ramai-ramai anak-anak yang ngintip. Ketika Lumine noleh, dia liat Teucer nemplok ke kaca paling depan di antara temen-temen lainnya lalu sibuk nunjuk-nunjuk ke arah dia dan Ajax.
“Look! My brother and his fiancée!”
Lalu anak-anak lain ber-waaah ria kaya lihat hewan di kebun binatang. Kehebohan mereka masih berlanjut walau Lumine dan Ajax udah keluar kelas.
Lucu sih, tapi Lumine ‘kan malu.
Perhentian berikutnya SMP-nya Anthon.
Sebelum mereka lanjut berangkat, Teucer pingin main ke rumah temen naik limosin keluarga temennya itu. Tentu aja Ajax izinin karena di matanya Teucer adalah jagoan kecil paling keren sedunia—sekaligus biar dia bisa berduaan aja sama Lumine di mobil.
Engga ngapa-ngapain juga sih, cuma menurut Ajax seneng aja rasanya.
“Pak,” kata Lumine di perjalanan.
Ajax noleh sekilas terus senyum.
“Masih aja manggil ‘bapak’?”
Lumine nyengir.
“Bapak juga masih sering pakai ‘saya’ ke aku,” Lumine membela diri.
“Oh gitu?” senyum Ajax berubah iseng. “Yaudah, kalau gitu mulai sekarang kita pakai ‘aku-kamu’ dan gak pakai embel-embel ‘pak’ ya. Kalau ada yang keceplosan ntar kena cium.”
“IH GENIT!! KALAU GITU MAH SIAPAPUN YANG KECEPLOSAN MALAH BAPAK YANG UNTUNG—“
Lumine buru-buru nutup mulutnya.
Senyum Ajax makin lebar dan langung ngetuk-ngetuk pipinya.
“ENGGAAA!”
“Ih, kamu gitu sama aku.”
Tawa Lumine langsung nyembur.
“GELIII DENGER BAPAK PAKAI AKU—“
“Et, dua kali kena pinalti. Cium di kiri kanan ya berarti.”
“ENGGA!”
Ajax ketawa.
“Pelan-pelan aja ngubah panggilannya kalau gitu ya. Kamu mau pakai pak, kak, sir, darling, babe, ayang, bebeb, cinta, apapun juga pasti saya samperin kok.”
Dua detik kemudian Ajax lanjut ngomong.
“Eh aduh keceplosan pakai ‘saya’, berarti hutang cium ke kamu.”
Lumine nabok bahu Ajax kenceng sementara yang ditabok ketawa.
“Kamu barusan nanya apa?”
“Oh, itu!” Lumine mendadak inget. “Barusan mau nanya, Teucer setiap malem didongengin?”
“Iya, sebelum saya studi ke luar negeri, setiap malem saya dongengin sampai tidur,” Ajax senyum-senyum. “Kalau kamu gak bisa tidur, saya siap dongengin juga.”
Lumine buang muka ke jendela biar gak keliatan terlalu malu.
“Ntar anak kita juga—“
“BAPAK IH STOP—“
Ajax nyengir.
“Hutang sunnya jadi tiga ya.”
“IH BARUSAN JUGA BAPAK PAKAI ‘SAYA’ BERKALI-KALI!”
“Oh kamu ngitung? Jadi berapa totalnya saya harus cium kamu?”
Lumine ngerasin volume musik di mobil kenceng-kenceng.