lyubimaya

Lumine celingukan di antara anak-anak SD yang sibuk lari sana lari sini. Dari kanan kirinya kedengeran bahasa-bahasa asing yang masih campur bahasa Indonesia, beberapa masih kerasa logat anak-anaknya. Papan penunjuk lorong kelas 4 terpampang jelas mirip papan penunjuk jalan.

Sekolah orang kayah….

“Di sana kelasku!”

Lumine lagi ditarik-tarik sama Teucer yang excited banget ke arah salah satu ruangan. Sementara di belakangnya Ajax jalan santai. Kalau bukan karena digandeng Teucer, rasanya Lumine pengen ngegandeng Ajax yang ganteng banget pakai kemeja hitam—ngejagain biar gak sembarangan dilirik mamah muda lainnya.

I’m so happy Mama minta Kak Lumi sama Kak Ajax buat ambilin my rapor!” Teucer jingkrak-jingkrak.

“Iya, seneng ya?”

Tapi bukan cuma rapor kamu…. Lumine senyum sendiri. Abis dari sini, lanjut ambil rapornya Anthon juga. Untung Tonia boleh ambil rapor sendiri.

Lumine meringis nginget peristiwa pagi ini. Harusnya sih, Mamanya Ajax yang datang buat ambil rapor hari ini. Tapi karena tiba-tiba ada kumpul ibu-ibu sosialita (yang Lumine gak tahu apa aja acaranya), akhirnya tugas ini dilimpahkan ke Ajax. Sebelum Mama Ajax berangkat, awalnya Lumine mau dibawa ikut ke acara sosialita ini. Tapi (untungnya) Ajax bersikeras kalau Lumine harus nemenin dia dulu hari ini (“Biar gak disangka papa muda, Ma. Ya ya?” lalu Ajax kecup pipi mamanya). Habis itu, Ajax janji besok Lumine boleh diajak shopping sama anggota keluarga yang lain. Mamanya dan Tonia seneng banget.

Very very veryyyyyy!” Teucer ngerentangin tangannya buat bikin lingkaran besar di udara. “Come on Kak! I’ll introduce you to my friends!

“Terus yang ambil rapornya siapa?” Ajax nyempil di sebelah Lumine.

You,” Teucer nunjuk abangnya. “Kak Lumi biar sama aku.”

Ajax ketawa garing.

“Tapi abis ngenalin ke temen-temen, boleh Kak Luminya dibalikin ke Kakak?”

Teucer berpikir keras.

Please?“ Ajax jongkok dan masang puppy eyes. Lumine mau gigit karena gemes tapi ditahan.

Ok, then. Aku kasian, daripada Kak Ajax feel alone, I think you need Kak Lumi more than me.

Ajax manggut-manggut. Bahagia adiknya pengertian.

Setelah dadah-dadah, Teucer kemudian lari-lari ke arah temen-temennya. Ninggalin Lumine dan Ajax di antara para orang tua siswa lainnya.

“Sini,” Ajax ngasih tangan kirinya.

Lumine ketawa. “Biar apa?”

“Daritadi saya liat kayanya kamu gregetan pengen nemplok.”

Lumine gebuk Ajax sekilas. Tapi kemudian nemplok juga. Sekarang giliran dia yang happy semacam Teucer barusan.


“Anak pertama, Dek?”

Lumine noleh dan ngeliat seorang ibu-ibu (dengan kalung bling-bling dan lipstik merah) nanya ke dia.

“E-eh bukan, anak bungsu,” kata Lumine polos.

Ajax nahan ketawa begitu ibu-ibu itu keliatan kaget sekaligus kagum.

“Loh gak keliatan ya? Singset banget! Emang masih muda badannya cepet balik lagi kaya masih gadis!”

Ajax buru-buru join percakapan buat ngelurusin kalimat Lumine barusan.

“Bukan Kak, kami ambil rapor adik saya,” kata Ajax sopan. Ibu-ibu itu seneng banget dipanggil kakak. Lumine harus muji kalau Ajax pinter banget. “Adik saya bungsu, anak ini juga bungsu makanya refleks jawab gitu,” Ajax nepuk-nepuk kepala Lumine.

Lumine malu banget dan pengen nyelempot ke kelek Ajax aja.

AKU KIRA AKU YANG DITANYAAAASHAJSJAJSA

Ajax dan ibu-ibu itu ketawa barengan.

“Lucu banget deh, saya jadi inget waktu muda dulu. Kalian honeymoon di mana? Dulu saya sama suami cuma ke Holland aja, sekalian ketemu neneknya di sana. Nenek suami saya dulu salah satu pengusaha susu di sana, walau lapang ternaknya gak luas, cuma sekitar lima ratus hektar aja—“

Lumine senyum canggung nyimak cerita yang berlanjut sampai panjang itu. Setelah beberapa cerita tentang “syukurnya waktu usaha rugi itu modalnya kecil, cuma 4M aja” sampai “anak saya yang sulung plin plan banget, beli iPhone aja pusing mau ungu apa hijau, yaudah saya beli semua warna aja daripada lama”, akhirnya masuk ke topik tentang beli hotel yang segampang top up sopipey.

“—habis itu karena saya kesel, akhirnya saya call suami saya dan saya beli resort itu. Pelayan yang numpahin air ke baju saya waktu itu langsung saya pecat.”

Pusing banget dia dengerin orang “kaya” ngomong. Sementara Ajax senyum formal. Kayanya dia sering direcoki begini sama temen-temen mamanya.

“Niatnya mau ke Kopenhagen, terus pakai campervan nyusurin Europ,” kata Ajax sopan waktu ditanya kedua kalinya honeymoon si mana sama si ibu. “Mungkin sekitar 2 bulan lamanya, ya Babe?”

Lumine cengo. Tapi sebelum dia sempet nanya lebih lanjut, nama Teucer udah dipanggil. Mereka buru-buru pamitan sama ibu-ibu itu (“Semoga cepet isi ya Dek! Duh kalian cakep banget pasti anaknya lucu!”) dan jalan ke arah meja guru.

“KOK KAMU JAWAB GITU?” Lumine bisik-bisik ribut.

Ajax nyengir. “Gak maukah? Asik loh pakai campervan bisa dusel-dusel di mana aja?”

“Y-ya mau!”

Lumine bluchu-bluchu lucu. Ajax gemes.


“Papinya Teucer?”

Ajax senyum sopan. “Bukan, saya kakaknya.”

“Aaah, kakaknya,” Wali Kelas Teucer ikut senyum sopan sambil ngangguk-ngangguk. Lumine bisa liat papan nama di mejanya (Ms. Anisa) dan parfumnya wangi banget, kaya aroma laut tapi manis. Setelah beberapa basa-basi singkat, Miss Anisa kemudian naro sebuah rapor di atas meja. “Teucer secara akademis sangat bagus ya, Kak. Dia aktif bertanya di kelas dan kalau ngantuk dia jujur.”

Ajax ketawa dengernya.

“Beberapa kali Teucer memang saya dapati keasyikan bermain sendiri di kelas, tapi saya pribadi tidak mempermasalahkannya.”

Ajax manggut-manggut.

“Saya perhatikan, Teucer punya tempat pensil, tas, dan botol minum yang bentuknya sama ya, bentuk robot matanya satu. Dia bilang itu dari kakaknya, namanya Mr. Cyclops.”

Ajax kembali senyum hepi.

“Iya, saya yang custom semuanya. Saya juga yang bawa cerita tentang Mr. Cyclops ke Teucer.”

Ms. Anisa senyum cerah banget, lalu lanjut cerita bahwa Teucer sering bilang ke temen-temennya kalau Mr. Cyclops itu robot baik hati penolong semua orang.

“Berarti saya harus memuji Kakak dan keluarga, karena berhasil menanamkan kisah heroik pada Teucer,” sekarang Lumine ikut dilirik Ms. Anisa waktu kata ‘keluarga’ disebut. “Bahkan kerennya, Teucer sampai membuat gerakan di sekolah ini.”

Ajax natap penasaran sementara Ms. Anisa ngambil album foto di lacinya. Lumine bisa liat banyak foto orang dewasa yang megang kertas kecil sambil senyum lebar.

“Ini gerakan yang Teucer usulkan pada saya, dia bilang nama gerakannya Dari Tangan ke Hati, konsepnya adalah membuat kalimat terima kasih sederhana pada kertas kecil dan diberikan pada orang lain.”

Makasih karena sudah membesarkan rumput-rumput lucu di halaman! We love you!

Kertas itu dipegang sama pemuda penjaga kebun.

Ada juga kertas yang dipegang petugas kebersihan, bunyinya Makasih selalu pasang kamper pink lucu di kamar mandi! Kami suka sekali kamper itu!

Hati Lumine menghangat melihat foto itu. Di tengah anak-anak lain, Teucer keliatan senyum paling lebar. Lumine bisa liat kalau mata Ajax sedikit basah gara-gara terharu dan Lumine ikut bangga rasanya.

Rasanya anak mereka bakalan dapet didikan yang bagus juga.

AJSJAJJSJAJSA AKU MIKIR APA????

Lumine buru-buru ngusir pikiran bayi kembar dari otaknya.

Dari arah jendela mulai keliatan ramai-ramai anak-anak yang ngintip. Ketika Lumine noleh, dia liat Teucer nemplok ke kaca paling depan di antara temen-temen lainnya lalu sibuk nunjuk-nunjuk ke arah dia dan Ajax.

Look! My brother and his fiancée!

Lalu anak-anak lain ber-waaah ria kaya lihat hewan di kebun binatang. Kehebohan mereka masih berlanjut walau Lumine dan Ajax udah keluar kelas.

Lucu sih, tapi Lumine ‘kan malu.


Perhentian berikutnya SMP-nya Anthon.

Sebelum mereka lanjut berangkat, Teucer pingin main ke rumah temen naik limosin keluarga temennya itu. Tentu aja Ajax izinin karena di matanya Teucer adalah jagoan kecil paling keren sedunia—sekaligus biar dia bisa berduaan aja sama Lumine di mobil.

Engga ngapa-ngapain juga sih, cuma menurut Ajax seneng aja rasanya.

“Pak,” kata Lumine di perjalanan.

Ajax noleh sekilas terus senyum.

“Masih aja manggil ‘bapak’?”

Lumine nyengir.

“Bapak juga masih sering pakai ‘saya’ ke aku,” Lumine membela diri.

“Oh gitu?” senyum Ajax berubah iseng. “Yaudah, kalau gitu mulai sekarang kita pakai ‘aku-kamu’ dan gak pakai embel-embel ‘pak’ ya. Kalau ada yang keceplosan ntar kena cium.”

“IH GENIT!! KALAU GITU MAH SIAPAPUN YANG KECEPLOSAN MALAH BAPAK YANG UNTUNG—“

Lumine buru-buru nutup mulutnya.

Senyum Ajax makin lebar dan langung ngetuk-ngetuk pipinya.

“ENGGAAA!”

“Ih, kamu gitu sama aku.”

Tawa Lumine langsung nyembur.

“GELIII DENGER BAPAK PAKAI AKU—“

“Et, dua kali kena pinalti. Cium di kiri kanan ya berarti.”

“ENGGA!”

Ajax ketawa.

“Pelan-pelan aja ngubah panggilannya kalau gitu ya. Kamu mau pakai pak, kak, sir, darling, babe, ayang, bebeb, cinta, apapun juga pasti saya samperin kok.”

Dua detik kemudian Ajax lanjut ngomong.

“Eh aduh keceplosan pakai ‘saya’, berarti hutang cium ke kamu.”

Lumine nabok bahu Ajax kenceng sementara yang ditabok ketawa.

“Kamu barusan nanya apa?”

“Oh, itu!” Lumine mendadak inget. “Barusan mau nanya, Teucer setiap malem didongengin?”

“Iya, sebelum saya studi ke luar negeri, setiap malem saya dongengin sampai tidur,” Ajax senyum-senyum. “Kalau kamu gak bisa tidur, saya siap dongengin juga.”

Lumine buang muka ke jendela biar gak keliatan terlalu malu.

“Ntar anak kita juga—“

“BAPAK IH STOP—“

Ajax nyengir.

“Hutang sunnya jadi tiga ya.”

“IH BARUSAN JUGA BAPAK PAKAI ‘SAYA’ BERKALI-KALI!”

“Oh kamu ngitung? Jadi berapa totalnya saya harus cium kamu?”

Lumine ngerasin volume musik di mobil kenceng-kenceng.

“Kak Lumi sekarang udah gak panggil my brother pakai ‘pak’ lagi, right?”

Lumine belum jawab apapun karena otaknya masih memroses segala hal yang terjadi malam ini. Dia baru sampai sekitar 30 menit dan langsung disambut para adik buat duduk di meja makan. Di depannya bukan cuma ada Teucer, si adik bungsu Ajax, tapi ada dua adik lainnya—Tonia, adik paling tua, dan Anthon, adik tengah antara Tonia dan Teucer.

“Pasti udah engga, ya ‘kan, Kak?” Tonia senyum cerah banget. “Temen-temenku yang jadian sama kakak kelas juga kadang bisa manggil nama langsung. Kalau aku punya pacar nanti, aku maunya punya panggilan manis.”

No no no!” Teucer geleng-geleng. “Inget kata Mama, gak boleh pacaran kalau belum lulus.”

Tonia muter matanya. “Stop bertingkah kaya mata-mata Mama, kamu bocil.”

Lumine nyimak berantemnya anak kelas 4 SD sama anak kelas 11 SMA.

Ternyata kalau ribut tetep hampir baku hantam.…

Sementara itu Anthon keliatan gak tertarik di percakapan ini dan sibuk main game di ponselnya. Kalau kata Ajax, anak ini lagi masuk fase puber dan mulai bertingkah sok cuek dan sok gak tertarik sama aktivitas keluarga lainnya—padahal Lumine tau kalau daritadi anak itu curi-curi pandang terus ke dia.

Di tengah kechaosan yang terjadi, hati Lumine jerit-jerit kenapa Ajax gak balik-balik dari dapur.


“Lebih cantik dari foto yang kamu kirim ya?” kata Mama Ajax sambil motong kentang. Sudut bibirnya naik karena bangga akhirnya anaknya ini bawa cewek juga ke rumah.

“Banget….” Ajax menghela napasnya sambil nyengir. Tangannya ikut sibuk motong jamur yang dikasih ibunya tadi. “Bener-bener dari awal Ajax liat dia, langsung jatuh hati.”

Ibunya masang tampang geli.

“Yaudah kalau gitu, mau kapan?”

“Apa?“

“Ya lamarlah!” Mama Ajax nyubit perut anaknya. “Kamu tuh udah masuk umur nikah.”

Ajax mengaduh pelan. Masih untung bukan ditusuk pake pisau yang lagi Mamanya pake barusan. “Ya nanti dong Ma, baru juga mulai hubungan berapa bulan.”

“Nanti nanti mulu kamu, Mama ‘kan makin tua.”

“Dengan Ajax nikah juga gak bikin uban Mama berhenti numbuh.”

Mamanya melotot dan mau angkat centong sayur.

“Kamu mau nunggu apalagi emangnya? Pendidikan udah kelar. Karir juga gampang kamu tinggal milih mau perusahaan mana, semua pasti mau nerima. Atau bangun perusahaan sendiri juga bisa nanti minta bantu Papi buat urus berkas-berkas.”

Ajax langsung keinget Papanya yang masih di Jepang buat ngembangin cabang perusahaan baru.

“Kamu muka juga lumayan ganteng.”

“Lah iya jelas ganteng banget—“ Ajax langsung nyisir rambutnya pakai jari.

“Lumi juga udah lulus ‘kan?”

Ajax masukin potongan jamur ke dalam panci. “Lagi lanjut pascasarjana.”

Ibunya manggut-manggut. Aroma wangi mulai kecium di dapur. “Yaudah sana lamar aja. Kalau Lumi mau lanjut kerja juga boleh ‘kan sama kamu.”

Ajax ngangguk-ngangguk sambil cuci tangan di wastafel.

“Jangan sampai direbut orang loh.”

“YA ENGGA DONG KAN AJAX JAGAIN???” Ajax cemberut. Dia tau kalau Mamanya udah lama jatuh hati banget sama Lumi. Apalagi tiap mereka teleponan, hal pertama yang Mamanya tanya malah kabar mahasiswinya itu.

Ajax selamat dari serbuan pertanyaan lain berkat suara-suara ribut dari ruang tengah. Ibunya langsung buru-buru meriksa anak-anak bungsunya yang masih berantem. Sekarang lagi ribut rebutan tempat di sebelah Lumine karena kursi di kiri udah di-booking Ajax.

Ajax nyengir lalu nyicip isi pancinya.

Perfecto. Lumi pasti suka.

Terus dia buru-buru ambil roti dari toaster yang udah bunyi.


Lumine belum pernah liat menu yang disajiin Ajax di depannya.

“Apa tadi ini?”

“Hm?” Ajax baru makan sesuap. “Truffle cream soup.”

Jamur mahal….

Lumine manggut-manggut canggung.

“Kalau yang ini?” dia nunjuk piring satu lagi.

“Gnocchi.”

“Gnosis?” lidah Lumi keseleo.

“Gnocchi,” Ajax nyengir. “Cobain deh. Bikinan saya itu.”

Lumine nyengir. Dia gak nyangka kalau cowoknya bisa bikin menu fancy macam gini. Dia kira Ajax cuma manasin lauk sisa tadi siang.

“Anthon, kenapa natap Kak Lumi terus?”

Anthon buru-buru fokus ke makanannya lagi. Tonia natap pakai tatapan menyelidik.

Oh my God—“ kata Tonia dramatis. “I know it,” dia senyum jahat lalu noleh ke abangnya. “Kak Ajax, kakak punya saingan.”

Ajax nyengir sementara Anthon melotot ke Tonia.

“Ngomong sembarangan!”

Tonia cekikikan. “Terus apa dong curi-curi liat Kak Lumi terus?”

Telinga Anthon keliatan merah. “Y-ya karena Kak Lumi cantik! Aku ‘kan cuma admire aja!”

“Anthon, yang ini gak boleh ya. Kak Lumi punya Kak Ajax.”

Sedetik kemudian Lumine ngerasain kursinya bergetar karena ditarik dan dia diseret mendekat ke sebelah kursi Ajax.

“IH APASIH?”

“Mengklaim kepemilikan,” Ajax nyengir. Lumine mau kejang.

Mama Ajax nonton dengan penuh khidmat sambil mikir catering buat nikahan nanti. Mau ada zupa zupa pokoknya.

“Ajax selama ini pernah bikin kamu nangis gak?”

Lumine yang lagi saling bucin lewat telepati sama Ajax langsung noleh ke calon mertuanya—eh, Mama Ajax maksudnya, dan mesem-mesem.

“Engga kok Tan—“

“Et,” Mama Ajax ngangkat telunjuknya. “Mama.”

Tonia nahan ketawa sementara Teucer heboh “WOW KAK LUMI UDAH RESMI JADI KAKAK KITA!”

Lumine meringis. “Engga kok … Ma.”

Ajax mengamini di sebelah Lumi. “Ajax kan baik Ma, tenang aja. Yah kecuali pas skripsian kemarin—EH ITU TUNTUTAN PEKERJAAN MAH,” katanya buru-buru pas liat Mamanya ngangkat garpu.

“Awas ya kalau kamu macem-macem, Mama ke notaris coret nama kamu.”

“Dari KK?”

“Dari ahli waris.”

Ajax mau nyombongin gaji sendiri tapi buru-buru diem begitu ibunya udah angkat centong sayur.


“Kak Lumi, ayo ikut aku!”

Lumine baru mau ngekor Mama Ajax buat bantu cuci piring, tapi dicegah sama Tonia.

“Yang nyuci biar Kak Ajax.”

Dan emang betul, Ajax udah gulung lengan bajunya di wastafel. Lumine rasanya ikut salting dan mau guling-guling di karpet karena aAAAA GANTENG BANGET SIIII PADAHAL CUMA MAU GOSOK PIRING.

Jadinya Lumine pasrah diseret Tonia buat ngumpul di ruang keluarga mereka yang penuh sofa empuk besar, karpet bulu lembut, TV yang gede banget—Lumine gatau itu ukuran berapa inci—bareng sound system terkeren yang dia pernah liat, dan foto-foto keluarga yang dibingkai warna emas. Ternyata gini ada di keluarga kaya.

“Nanti ini jadi rumah Kak Lumi juga!” Teucer nemplok sebelah Lumine. “Nanti Kak Lumi setiap hari bisa nemenin aku main.”

“Kak Lumi sibuk, gak punya waktu nemenin anak kecil,” goda Tonia.

Teucer cemberut. “No no no! Dulu juga kita main banyak ya Kak, kita udah keliling ke mana-mana bareng,” Teucer noleh ke Lumine cari pembelaan.

“Itu terpaksa. Kak Lumi nanti nemenin aku shopping, ya ‘kan Kak?”

Lumine nyengir. Dari dapur suara ketawa Ajax menggema. Lumine gak tau betapa happy-nya Ajax ngeliat respon adik-adik lucunya rebutan (calon) kakak iparnya itu.

Gak lama kemudian topik Kak-Lumi-jalan-sama-siapa mereda begitu Anthon mulai mau join ngobrol dan sibuk diceng-cengin sama Tonia.

“Kaya gak pernah liat cewek cantik aja kamu!”

“Ya gimana dong liatnya cuma Kak Tonia doang di rumah.”

Tonia melotot dan lempar bantal sofa ke adiknya.

Lumine cuma ikut ketawa aja ketika tiba-tiba sofa di sebelahnya diisi orang dan ada tangan yang ngerangkul bahunya.

“Udah selesai nyucinya, Pak?”

Ajax senyum. “Udah, yang belum selesai itu kebiasaan kamu manggil ‘bapak’ ke saya.”

Lumine nyengir dan berhehe ria.

“Ini lagi berusaha diilangin kok.”

Good, ganti pakai ‘sayang’ ya.”

Lumine ngejulurin lidahnya.

“Kamu suka pesta outdoor? Mama udah lama pengen punya garden party.”

“Suka!” kata Lumine polos. Sedetik kemudian dia baru sadar maksud Ajax lokasi pesta nikah.

Ajax kena gebuk tapi ketawa ngakak dan ngacak-ngacak rambut Lumine.

“Kalau mau istirahat bilang aja ya, kamar tamunya udah disiapin kok.”

Lumine jadi inget kalau dia belum ngabarin lagi Aether dan buru-buru ngeluarin ponselnya.

“Kak Lumi nginep sini!” Teucer bersorak seneng dan udah merayap lagi ke Lumine. “Tidur di kamar tamu!”

“Engga, Kak Lumi tidur bareng aku,” kata Tonia iseng. Teucer cemberut lagi dan siap-siap ngeklaim bahwa Lumine bisa tidur di kamarnya.

“Di kamarku aja gimana?” Ajax nyengir.

Semua orang di ruangan natap Ajax—termasuk Mamanya yang baru join sambil bawa tea set. Oh, kecuali Lumine yang separuh nyawanya hilang karena denger kalimat itu. Dia hampir mau jerit-jerit tapi untung masih kekontrol.

“Boleh,” Mama Ajax senyum. “Tapi kamu tidurnya di karpet sini ya.”

Sedetik kemudian Lumine duduk tegak lagi dan panik.

“A-AKU GAK SENGAJA KIRIM VN KE ABANG.”

Begitu ponsel Ajax ikut bunyi, Lumine langsung mengkerut.

“Ma, kayanya jangan buru-buru nentuin tanggal nikah,” Ajax ketawa garing. “Abangnya Lumi masih belum jinak.”

“Lumi, kenapa?”

Lumine buru-buru narik tangan Xiao buat menjauh dari pintu kafe yang baru mau mereka masukin.

“Tiba-tiba aku gak mau makan di sana, kita cari tempat lain aja ya?”

Xiao mandang dia bingung.

“Tapi kemarin kamu pingin banget ke sana?”

“Sekarang gak lagi,” Lumine geleng kepala kuat-kuat. “Ya gapapa yaa? Kamu marah?” Dia berhenti setelah berada di jarak aman dari kafe itu dan mengerucutkan bibirnya.

Xiao menyisipkan anak rambut yang jatuh ke belakang telinga Lumine. “Engga marah, yuk kita ke tempat makan lain. Apapun yang kamu mau, aku ikut.”

Lumine mendekap lengan Xiao erat. Jantungnya berdebar kacau—tapi kali ini bukan karena tunangannya.

Kenapa aku harus liat dia lagi?

Dadanya tiba-tiba berat.

Dia udah punya pacar…. Yaiyalah pasti. Mikir apa Lumi, kamu juga udah tunangan….

Lumine menggosok wajahnya ke bahu Xiao. Berharap memori barusan cepet-cepet hilang dari kepalanya.

“Kenapa?”

“Gapapa. Sayang Xiao,” gumam Lumine lalu menghirup aroma parfum Xiao dalam-dalam.

Xiao, pokoknya Xiao. Aku gak boleh mikir aneh-aneh.

Tiba-tiba Lumine merasa tubuhnya ditarik lepas dari dekapannya ke Xiao.

“Eeeeh?”

Rasa hangat dari hoodie Xiao langsung lenyap begitu embusan angin kembali menerpa wajah Lumine. Pipinya ditahan dengan kedua tangan Xiao, dan satu kecupan mulus mendarat di dahi Lumine.

Xiao tersenyum iseng.

“I-IIIH INI DI TENGAH JALAN?”

“Hm? Emang kenapa?”

“Gak boleh sembarangan cium-cium!”

Xiao ketawa. “Abis kamu duluan yang dusel-dusel. Kenapa? Tiba-tiba mau cuddling hm?”

Lumine mukul bahu Xiao pelan. Bete. Tapi pipi menggelembungnya langsung diteken Xiao sampai kempes lagi.

“Kamu lagi mood swing ya?” pertanyaan Xiao cuma direspon gumaman gak jelas Lumine. “Mau home date aja kalau gitu? Kita order pizza aja ya. Mau rewatch kartun kesukaan kamu?”

Tawa mulai keluar dari mulut Lumine. “Kamu kan gak suka kartun yang aku tonton?”

“Aku bisa belajar suka. Ayo balik ke mobil kalau gitu. Mau di apartemen aku atau kamu?”

“Kamu aja.”

“Oke, Princess.”

Lumine bergumam hepi sambil genggam tangan Xiao dan jalan balik lagi ke parkiran. Pelan-pelan perasaan berat di dadanya menguap hilang.

Ajax gak menemukan bapak-bapak paruh baya kemarin (re: Pak Zhongli) di ruangan rapat pagi ini.

“Pak, maaf saya juga baru tau pagi ini,” Ekaterina buru-buru bisik-bisik. “Yang kemarin datang itu konsultan Wangsheng. Hari ini direkturnya yang datang.”

“Oh iya, gapapa. Yang mana direkturnya?”

“Oya?”

Suara perempuan masuk ke telinga Ajax. Dia buru-buru puter kepala dan nemuin anak muda yang duduk di salah satu kursi.

“Saya! Saya direkturnya!” kata anak itu sambil buru-buru nyamperin Ajax. “Saya Hu Tao.”

“A-ah gitu ya? Maaf saya barusan gak langsung sadar…”

“Oya gak apa-apa! Saya emang awet muda.”

Ajax ketawa formal(itas). “Baik kalau gitu, emm Nona Hu?”

“Yaya!”

“Mari kita mulai pembahasannya.”


Keraguan Ajax atas direktur Wangsheng itu langsung sirna begitu rapat udah mulai. Karena, yah, perempuan ini ternyata beneran kompeten—walau kadang suka punya ide nyeleneh.

“Kita taro promosinya di bagian atas alat pipis cowok!” kata Hutao yang langsung bikin Ajax batuk-batuk dan melotot. “MINUM MINUM KASIH PAK AJAX MINUM!”

Ekaterina langsung panik.

“N-nona Hu, tolong banget fokus—“

“Loh saya serius!”

“Kami di sini menjalankan bisnis yang … lurus dan gak mesum.”

“Ini gak mesum sama sekali kok?!”

“YA MASA KITA BIKIN TATO IKLAN DI BAGIAN ANU?”

“Pak Ajax mikir apa?“ Hutao begidik dramatis. “Maksud saya, daripada para kaum laki-laki bengong waktu pipis, bisa sambil liat iklannya.”

Otak Ajax berproses.

“M-maksudnya itu … iklan di kloset berdiri? Urinoir?”

“Iya itu!”

“TAPI BARUSAN NONA HU BILANG ALAT PIPIS COWOK!“

“YA EMANG PAK AJAX PIPIS DI MANA? YA DI ALAT BUAT PIPIS ITU KAN.”

“YA TAPI SAYA KAN MIKIRNYA YANG LAIN HADUH.”

Setelah perdebatan bodo itu ya ide Hu Tao langsung ditolak mentah-mentah sama Ajax.

“Saya gak keberatan kalau Anda ngajak konsultan Anda kemarin buat ikut rapat berikutnya :’)” kata Ajax lelah begitu rapat selesai.

“Oh, Pak Zhongli? Hari ini beliau encoknya kambuh,” Hu Tao geleng-geleng. “Padahal udah saya bilang kalau nonton bola itu ya duduk santai aja. Kemarin waktu nyetak gol, beliau malah lompat terus sekarang pinggangnya sakit deh. Maklum, berumur.”

Ajax kembali ketawa formal(itas) dan buru-buru mau pamit makan siang. Kepalanya pusing.

“Pak Ajax, mari makan siang bareng!”

Aduh.

“B-boleh. Ayo makan siang bareng….”

Ajax masang senyum seprofesional mungkin. Harusnya hari ini gak akan lebih nyeleneh lagi.


Ternyata Hu Tao pengen makan di salah satu kafe yang lagi ngasih diskon buat couple.

“Nona Hu,” Ajax makin pusing. “Beneran gapapa kita pura-pura pacaran?”

“Yaya!” Hutao ngangguk semangat. “Lumayan Pak, diskonnya 48% dan cuma hari ini! Terus katanya kafe ini lagi booming banget di anak muda.”

“Kalau segitu viralnya, kenapa harus ngasih diskon gede?”

“Soalnya sebenernya slogan kafe ini tuh tentang menyatukan cinta, tapi kemarin ada yang baru putus sampai drama heboh di sini. Katanya buat buang sial, pemilik kafenya ngasih diskon dulu, deh.”

Ajax gak jadi protes begitu masuk ke kafe itu. Ternyata gak seburuk yang dia kira. Nuansanya tenang karena pencahayaannya bukan dari lampu neon putih, tapi dari lampu gantung kekuningan. Musik yang ditampilin juga tipe-tipe yang slow dan melow—enak banget buat tidur.

Ini mah didesain biar ngantuk beneran. Konsepnya pulang dari sini langsung ke hotel kali.

Ajax nyerahin menu makanan ke Hu Tao dan Hu Tao seneng bisa milih makanan-makanan cantik yang dia suka (secara visual).

“Kami pasangan!” kata Hu Tao bangga ke pelayan.

“Baik, akan saya catat. Harganya akan langsung terpotong saat pembayaran nanti,” kata pelayan itu sopan. “Ada lagi yang mau dipesan?”

“Oh, tolong kopi satu,” Ajax buru-buru nambahin.

“Baik, kalau begitu kami siapkan pesanannya.”

Pelayan itu pergi.

Begitu udah gak ada lagi aktivitas yang mereka bisa lakuin selain nunggu makanan, Ajax gak sadar merhatiin Hu Tao.

Umur perempuan itu pasti gak jauh beda dari dia dan udah mimpin perusahaan sendiri—walau Ajax juga sama. Tapi diem-diem dia kagum.

Sementara itu, Hu Tao asik bersenandung sambil liat kiri-kanan-atas-bawah.

Lebih kaya bawa anak kecil sih…

“Pak Ajax, tentang ide saya barusan—“

“Kita udah sepakat buat gak pakai ide itu.”

“Tolong dipikirin lagi Pak—“

Ajax ngangkat satu tangannya tanda berhenti. “Kita gak bahas tempat pipis cowok di sini, oke?”

Hu Tao cemberut. Dia yakin itu ide yang bagus. Setelah beberapa saat hening, dia buka suara lagi.

“Pak Ajax—“

“Ajax aja gak apa-apa,” Ajax cepet-cepet motong. “Kita lagi di luar kantor dan kayanya kita seumuran. Kalau pakai embel-embel, nanti ketauan bukan couple beneran.”

Hu Tao manggut-manggut setuju. “Oke! Panggil saya Hu Tao kalau gitu. Temen-temen deket saya boleh panggil Tao.”

“Oke—“ Ajax berhenti tiba-tiba. “Tao…?”

’Om Xiao harusnya sama Tante Tao’

“Oya? Ada apa Jaxie?”

Ajax menelan ludahnya. Isi chat anaknya terus terngiang di kepalanya dan lidahnya gatel pengen ngomong sesuatu. Tapi sebelum dia sempet lanjut bertanya, makanan mereka datang dan Hu Tao keliatan happy banget. Ajax gak sampai hati ngerusak nafsu makannya.

“Nanti aja, sekarang kita makan dulu,” Ajax pasang senyumnya.

“Yaya!”

Tepat sebelum suapan pertama masuk ke mulutnya, ponsel Ajax bergetar heboh. Dia naruh kembali sendoknya dan mutusin buat cek pesan masuk dulu.

Detik berikutnya, Ajax langsung berdiri dan muter kepalanya ke sana sini. Adrenalinnya kembali naik dan jantungnya berdebar.

“E-eh kenapa?!” Hu Tao ikut kaget.

Tepat saat itu, dia lihat ada sesosok tubuh yang amat dia kenal. Jantungnya mencelos. Tapi bayangan dari balik kaca pintu itu langsung pergi saat itu juga.

Sorry,” katanya dan kembali duduk. “Abis ini ikut saya ya?”

Ajax berusaha ngejelasin sebisa yang otak dia inget tentang penjelasan Albedo ke tiga temennya ini.

Walau dia gak yakin yang keluar dari mulutnya itu penjelasan ilmiah atau cerocos gak jelas. Karena kalau diliat sekarang, tiga temennya mandang dia pakai tatapan yang Ajax tahu bahwa mereka lagi menimbang kewarasan dirinya.

“Jangan natap begitu plis nanti gue nangis,” Ajax masang puppy eyes. “Gue juga awalnya gak percaya. Tapi ini Albedo loh yang udah pastiin…. Albedo, Albedo mapres kampus kita dulu, Albedo yang selalu dapet emas kalau olim, Albedo yang dapet penghargaan wisudawan terbaik sedekade gais, ALBEDOOO LOOHH ALBEDOOO DIA UDAH MASTIIN KEWARASAN GUE PLIS.”

Kaeya buka mulutnya. Tapi gak ada suara apapun. Lalu mingkem lagi.

“GAIS PLIS PERCAYA AJAX. Ini baca sendiri chatnya deh kalau masih meragukan aku.”

Ponsel Ajax dikerubungi rame-rame.

“LAH NYEBUT-NYEBUT NAMA GUE?” kata Kaeya shock. “B-berarti gue ada di masa depan?”

“Yaiyalah. Lu mau mati malem ini?” Diluc mendecak.

“ENGGA BANG.”

Setelah beberapa menit, ponsel Ajax kembali tergeletak di atas meja. Semuanya masih hening.

“Gue boleh coba nanya ke anak lo gak?”

“Mau nanya apaan?”

“Gue nikah sama siapa di masa depan.”

“BUAT APA?”

“YA BIAR GUE GAK PERLU CAPEK-CAPEK DEKETIN CEWEK YANG SALAH?”

“Eh bener,” Thoma ikut bersuara. “Gue juga penasaran….”

“JANGAN COBA-COBA MANFAATIN ANAK GUE YA.”

Mereka masih ribut-ribut waktu Diluc akhirnya buka mulut.

“Ajax, beneran mau rebut Lumine?”

Ekspresi Ajax berubah. “Itu dia. Itu alasan kenapa gue minta kalian ke sini…. Gue—gue gak tau harus gimana.”

Atmosfer antara mereka kembali berubah berat.

“Seberapapun sukanya gue sama dia, tetep aja gue gak sampai hati bikin dia nangis karena harus pisah sama Xiao.”

“Mereka baru sebulan ‘kan?” kata Kaeya. “Masih banyak celah buat nyalip.”

Thoma nyisir rambutnya ke belakang. “Ya tapi nanti apa kata orang?”

“Kita ngomongin penyelamatan masa depan. Emang Ajax masih mikirin masalah reputasi? Gue juga bisa ngenalin ke dukun yang terkenal bisa pelet—“

Diluc nabok punggung Kaeya keras-keras.

“ABANG KENAPA AKU DITABOK?”

“Biar tobat,” kata Diluc kesel sebelum kembali menghadap Ajax. “Lumine sama lo udah berapa tahun gak komunikasi?”

Ajax menelan ludahnya. “Sekitar … tiga tahun.”

“Itu cukup lama. Terakhir kalian ngobrol pas wisuda?”

“Bener….”

Sebuah memori kembali berputar di kepala Ajax.

“Berarti harusnya ada sesuatu yang terjadi dalam tiga tahun ini, yang sayangnya gak lu lakuin. Sehingga lo gagal ngedapetin Lumine.”

Ajax memandang Diluc ngeri. Thoma mengeluarkan suara dramatis.

“Jadi, apa penyesalan terbesar lo yang berhubungan sama hal ini?”

Albedo keliatan serius banget sampai-sampai Ajax gak berani buat ngomong apapun. Ponselnya sekarang ada di tangan temennya itu dan sibuk diketik-ketik pakai bahasa yang dia gak familier.

Relativitas.

Dunia paralel.

Gravitasi.

Kelengkungan waktu.

Distorsi.

Teori Einstein.

Ajax menghela napasnya dan cuma bisa natap lantai apartemen Albedo. Dia tahu kata gravitasi tapi dia gak ngerti gimana hubungannya benda jatuh bisa bikin distorsi waktu. Separuh otaknya masih ngerasa kalau ini pasti cuma ulah iseng seseorang yang sengaja mau ngepermainin hatinya, sementara separuhnya lagi udah terlanjur malfungsi duluan dan konslet.

Tapi anehnya separuh hatinya percaya atas peristiwa aneh ini.

“Gimana?” Ajax spontan nanya begitu liat Albedo nyerahin ponselnya kembali ke Ajax.

“Menarik.”

Ajax nunggu beberapa saat. Tapi Albedo masih natap temboknya yang kosong dan keliatannya pikirannya lagi terbang ke mana-mana.

“Hei, coba Jax,” akhirnya dia buka suara. “Seandainya gue tau suatu rumus model matematika mesin waktu dari diri gue sendiri di masa depan, berarti yang nemuin model itu gue atau bukan?”

Otak Ajax panas.

“Y-ya elo?”

“Tapi secara praktiknya, gue dapet ini dari seseorang lain—meskipun itu Albedo juga. Bukan murni dari otak gue.”

“B-bentar, pertanyaan lo itu sejenis kaya lebih dulu ayam apa telor….”

“Betul, jadi lebih dulu mana? Ini penting apa gue bisa ambil klaim paten atas penemuan itu.”

“Stop,” Ajax menggosok wajahnya jengah. “Gue datangin apartemen lo buat cari petunjuk…. Jadi pesan yang gue dapet itu beneran?”

“Sekitar 99% gue jamin itu nyata.”

“O-oke itu nyata,” Ajax meraba-raba alur pikirnya. “Tapi kenapa mesin waktu ini modelnya pesan di HP? Maksud gue … di film-film fiksi sains itu pasti bentukannya ada mesin waktu kaya Doraemon yang kemudian terbang di lorong aneh dan keluar di sebuah portal. Kenapa yang ini lewat pesan doang?”

“Hmmm,” Albedo berpikir sejenak. “Mungkin karena seperti yang anak lo bilang, penemuan gue belum sempurna. Mungkin ciptaan yang lagi gue urus waktu itu ya mesin waktu kaya bayangan film-film ini.”

“MESIN YANG SI ANAK BANDEL ITU RUSAKIN—“ Ajax menghela napasnya frustasi. Belum apa-apa dia udah bisa ngerasain lelahnya jadi orang tua dan dalam hati dia buru-buru ngucapin banyak maaf ke Mamanya karena pasti pusing ngadepin anak kaya dia.

“Dan tentang kenapa lo dihubungi lewat pesan, kayanya itu metode paling mudah dan efektif walau rentang kepercayaannya paling rendah. Sinyal yang ngebawa tulisan dan gambar itu kecepatannya luar biasa dalam gelombang elektromagnetik, sehingga kalau misalnya gue otak-atik—walau belum pernah gue coba sebelumnya—tapi kemungkinannya hampir bisa buat ngirim gelombang ini ngelewatin ruang waktu. Ada suatu persamaan yang—“

“O-OKE INTINYA KARENA ITU METODE PALING GAMPANG YANG BISA LO LAKUIN YA….”

Albedo mengangguk.

Ajax memandang lagi layar ponselnya yang penuh percakapan dan rumus aneh. Dia bahkan gak tahu keyboard-nya bisa dipakai ngetik persamaan bertingkat kaya gitu.

“Oh ya, tapi gue rasa tetep ada kegagalan di metode ini,” Albedo menimbang-nimbang kalimat berikutnya. “Anak itu bilang dia ngehubungin lo karena ada kesalahan di masa kini yang ngepengaruhin masa depan dengan fatal. Tapi ketika dia nanyain tanggal, kayanya dia shock karena pemunduran waktunya kurang jauh.”

Muka bego Ajax sangat menyuratkan kalau dia gak paham.

“Gini, kalau misalnya gue mau ngecegah keberadaan Hitler, maka gue harus mundur ke waktu di mana Hitler belum lahir. Begitu juga dengan anak lo itu.”

“GUE MASIH VIRGIN YA???” Ajax begidik denger pelafalan ‘anak lo’ dari mulut Albedo.

“Jadi harusnya, target mereka itu mundur ke saat di mana Lumine belum tunangan. Sayangnya mereka telat. Kapan Lumine tunangan sama Xiao?”

“B-bulan lalu?”

“Nah, itu dia. Alur waktu yang ditempuhnya kurang mundur.”

Ajax akhirnya paham maksud Albedo.

“Jadi … sekarang gue harus ngapain, Al?”

“Ngapain? Bukannya udah jelas?”

Ajax ngangkat kepalanya dan mandang Albedo dengan tatapan plis-apa-yang-udah-jelas-tolong-gue-capek-ngerasa-bego.

“Ya lo harus rebut Lumine?”

“PLIS AL GUE EMANG BUKAN COWOK BAIK TAPI KALAU NGEREBUT LUMINE—“

“Kenapa? Lo bukannya suka sama dia?”

Hati Ajax mencelos denger pertanyaan itu.

“Gue … udah lama lepasin dia….” kata Ajax pahit.

Albedo menatapnya bersimpati. Dia dan semua orang yang kenal mereka tahu tentang kisah Ajax-Lumine yang sayangnya udah lama karam. Albedo gak tega buat ngomong kalimat berikutnya, tapi sains tetaplah sains.

“Kalau lo gak lakuin itu, garis waktu di masa depan bakalan kacau, Jax.”

Selama SMA sampai kuliah, Ajax seringkali mikirin beban macam apa yang ada di pundaknya kelak ketika dia udah masuk kepala dua dan terjun di dunia orang dewasa. Apa dia harus berkontribusi di organisasi elit global? Atau terjun di kegiatan penangkaran paus demi nyelamatin mereka dari kepunahan? Atau dia harus menjaga neraca ekonomi demi kestabilan dari inflasi?

Pikirannya emang gak masuk akal.

Tapi yang jelas, nyelamatin dimensi waktu dengan cara ngerebut tunangan orang bukan salah satu yang pernah lewat di otaknya.

“Semuanya ayo senyuuum!”

Para penghuni grup istri sibuk pasang pose andalan mereka sambil masih pakai toga.

“Ganti gayaaa!”

“Eh samaan yuk samaan!”

“Gimana?”

“Gini,” Mona nungging sambil monyongin bibir. “Biar eksotis.”

“Ekhem.”

Satu suara dehaman yang Mona hafal betul langsung bikin dia balik badan. Sementara itu, temen-temennya bergerombol di belakang dan pelan-pelan mundur—buat kasih ruang demi kisah cinta sahabat mereka yang terkendala mulu.

Scara berdiri sambil bersidekap. Seharian ini mereka belum ketemu sama sekali dan Mona gak tahu apakah sekarang dia harus happy ngeliat doi (apalagi doi pakai jas—jantung Mona sempet kacau karena dAMN SCARA TERNYATA BISA RAPIH DAN KECE JUGA KAYA GINI, biasanya cuma pakai jaket buluk kebanggaan anak jurusannya) atau justru kabur karena pose malu-maluin yang dibuat barusan. Tapi ngeliat ekspresi Scara yang senyam-senyum, Mona tau ke arah mana percakapan mereka bakalan berujung.

“DIEM, GAK USAH KOMEN.”

“Loh gue belum bilang apapun?”

“Gue tau lo mau ngejek.”

“Ya bukan salah gue kalau lo punya selera aneh dalam berpose—“

“Gak usah komen gue bilang.”

Scara ketawa. “Yaudah, sini ikut gue.”

“Tapi gue masih sama geng—“ Mona noleh dan nemuin temen-temennya udah gak ada. “HEH KALIAN KABUR KE MANA???”

Dia cemberut dan pelan-pelan noleh lagi ke Scara yang masih senyam-senyum.

“Masih nolak ikut gue?”

Mona gak bisa nolak ketika Scara ngejulirin tangannya buat Mona pegang.


“Mau ke mana?”

“Ke tempat sepi.”

Mona udah siap-siap mau nampar Scara.

“YA ENGGALAH. Lagian lu waswas amat sih sama gue?”

Mona cemberut. Mereka masih di wilayah kampus dan udah ngelewatin banyak pasangan wisudawan yang lagi asyik foto-foto bareng kado yang mereka terima. Satu-dua perempuan keliatan meluk boneka gede, sementara lainnya meluk buket bunga.

Mona kira Scara mau kasih dia sesuatu.

Dia buru-buru geleng-geleng.

Apasih, aku kan bukan cewek matre! Aku bisa beli sendiri apa yang aku mau!

Namanya Scaramouche. Cowok sebrang jurusan yang gedung kuliahnya sama sekali gak deketan sama gedung Mona. Awal kenalnya juga gara-gara waktu acara Ospek Maba Kampus dulu, Scara nyamperin Mona—divisi lapangan medik—buat minta obat sakit lambung. Tapi waktu perjalanan menuju anak medik, dia malah kesandung dan jadinya jalannya terseok-seok. Mona kira ini maba yang kesakitan sampai dia udah siap-siap manggil tandu.

”EH EH KODE MERAH KODE MERAH MABA SAKIT PINCANG PINCAAANG!!

Taunya Scara justru salah satu komandan lapangan divisi keamanan—alias bagian kakak paling galak.

”LU TIM MEDIS GADUNGAN YA?”

”YA MAAP GUE KAN GAK TAU, LAGIAN LU MIRIP BANGET MABA.”

”MIRIP APAAN GUE PAKE KAOS PANLAP JUGA BUKAN SERAGAM SMA??

”SORI ABISNYA … lu pendek.”

Tapi abis itu, taunya mereka malah ketemu lagi dua bulan kemudian gara-gara Mona gak sengaja numpahin kuah lontong sayur ke kemeja Scara.

”EH ADEK MAAF—“

”ANJIR LU LAGI??? LU SI ANAK MEDIK WAKTU ITU!”

”EH—bentar kamu siapa ya?”

”Gue keamanan yang lu kira maba dulu pas ospek.”

”LOH AJSJAJDJSJJSA ADUH MAAF AKU KIRA BARUSAN MABA LAGI….”

Dan abis itu Mona disuruh buat ngelaundriin baju Scara. Meskipun sambil misuh-misuh (Scara ngelarang bajunya dicuci pakai sabun colek kesayangan Mona), anehnya dari sana mereka jadi sering chatting dan ngobrol segala macem.

”Mon gue barusan nemu kain lap diskonan 10rb 4 pasang, cocok buat lu beli.”

”KENAPA GUE?”

”Kan lu suka barang murah.”

Dan endingnya Mona emang beli itu lap karena dia butuh. Pelan-pelan juga mereka mulai sering jalan bareng.

”SCARAAAA.”

”Diem. Pasti ada maunya.”

”HEHE temenin gue dong beli alat-alat lab ke toko Sakura.”

”Dan kenapa harus gue yang lu ajak?”

”PLIS PLIIIS gue takut barangnya pecah kalau pakai ojol.”

”Maksud?”

”Pake mobil lu ya HEHE plis Scara baik deh.”

Dan meski sambil misuh-misuh, Scara beneran nganterin Mona plus jajanin dia siomay depan toko alat kimia. Pelan-pelan, mereka udah kaya pasangan yang ngejalin hubungan, anak-anak jurusan Scara tahu kalau Mona itu punya Scara. Padahal engga. Gak ada status ataupun pernyataan apapun.

”Mon, malming kosong gak?”

”Gue ngelaprak.”

”Yah, padahal mau gue ajak makan.”

”LAPRAK BISA J-1 DEADLINE, LESGOW BESOK KITA MAKAN!”

”Bayar masing-masing tapi.”

”Eh sori banget Scara gue lupa kalau laprak gue banyak banget, gabisa ditunda-tunda lagi.”

Scara ngakak dan narik hoodie Mona sampai nutupin matanya. “Yaelah lu, tenang aja gue yang traktir kok. Besok jam 7 malem gue jemput.”

Iya. Semua orang kira, Mona punya Scara. Scara punya Mona. Sejak semester tiga, sampai semester delapan mereka. Gak ada cowok lain yang berhasil ngambil hatinya selain Scara.

Meski mereka sering berantem sampai seminggu diem-dieman.

”LU NENEK LAMPIR, ENYAH!”

”HEH TUYUL NGACA LO! UDAH PENDEK GAK TAU DIRI!”

Tapi endingnya selalu baikan lagi.

”Makan yuk.”

”G.”

”Gue nyampe 5 menit lagi.”

”ANJIR SCARAMOUCHE LU GILA APA DADAKAN GINI?”

”Gausah bawel. Gue kangen. Cepet siap-siap.”

Tapi seiring mereka jalan sambil diem-dieman gini—dengan posisi Scara satu langkah di depannya dan ngegandeng tangannya—Mona tiba-tiba jadi ngerasa bimbang. Apa hubungan mereka emang berarti? Karena rasanya … Mona gak bisa bohong kalau dia iri sama kisah Lumine yang mulus banget.

Tiba-tiba Scara berhenti. Mona yang gak siap sama keberhentian ini, gagal ngerem tubuhnya dan berakhir nabrak Scara.

“ADUH! Lu kalau mau berhenti pake lampu dong!”

“Lu kira mobil,” Scara balik badan. “Sekarang merem.”

Mona bingung.

“Lu bawa gue ke parkiran dan nyuruh gue merem?”

“Iya, ayo cepet merem.”

Tiba-tiba jantung Mona deg-degan.

M-MASA SIH DIA MAU K-KISSU GUE?

“O-oke gue merem nih.”

“Pinter.”

DUH LIPSTIK GUE MASIH ON POINT GAK YA….

Mona ngerasain jantungnya berdetak kenceng banget, sampai dia bisa denger tiap hentakannya.

Dua detik.

Tiga detik.

Lima detik.

Gak ada apapun yang terjadi.

“Scara?”

Mona buka matanya cuma buat nemuin kalau dia sendirian di tengah lapangan parkir.

Jantungnya mencelos dan dia bisa ngerasain dadanya sakit karena harapannya yang terlalu tinggi.

Mona bodo, apasih kissa kissu kissa kissu.

Di saat yang bersamaan, suara lain masuk ke pendengaran Mona.

“Saya punya satu set alat lukis yang udah berdebu karena gak sempet saya pakai selama kuliah. Saya juga punya satu tumpuk buku resep yang belum sempet saya praktikin. Oh oh! Saya juga mau namatin novel-novel yang selalu saya beli tiap diskon 11.11 atau 12.12. Mereka cuma numpuk di rak saya selama ini.”

Suara Lumine yang disusul tawa Pak Ajax.

“Banyak ya?”

“Iya, Pak. Banyaaaak! Enak banget lepas dari semua skripsi dan sidang!”

Mona masih bergeming di tempatnya.

“Tapi kamu kayanya lupa satu hal lagi, deh.”

“Saya lupa sesuatu?”

Dan iri tiba-tiba menyelimuti hatinya.

Gak, engga! Gue gak boleh iri sama sahabat sendiri! Scara sialan, dia cuma ngeprank pasti! Ayo Mona pergi dari sini, gak baik nguping pembicaraan orang lain!

Tapi kakinya rasanya terlalu kaku. Separuh diri Mona ingin tahu kelanjutan dari percakapan mereka.

“Iya, satu hal yang gak bisa kamu lakuin selama jadi mahasiswa.”

Suara Pak Ajax lembut, jauh beda dengan beliau waktu di kelas.

Jadi gitu rasanya diajak ngobrol sama orang yang sayang kita?

“Spesifiknya, selama jadi mahasiswa saya. Jadi pacar saya, ya?”

Pekik dan tawa Lumine kemudian menggema di parkiran.

Lalu, boom! Nyeri menusuk hati Mona dengan rasa luar biasa. Rasa malu dan kalut membuat separuh hatinya hancur.

Mona bodo….

“Loh gue bilang kan tutup mata,” omelan Scara muncul dari arah kirinya. “Lu—bentar, Mona, lu nangis…?”

Mona buru-buru megang wajahnya sendiri. Pipinya ternyata basah dan dia gak sadar kalau air matanya udah ngalir dari tadi. Dia langsung buru-buru buang muka dan siap-siap pergi.

Tapi satu pegangan di tangannya nahan dia buat ke mana-mana. Scara narik dirinya secara paksa, dan megang kedua bahunya. Maksa Mona buat menghadap ke arahnya.

Air matanya makin deras dan Mona nolak buat natap Scara.

“Lepasin gue!”

“Kenapa lu nangis? Siapa yang bikin lu nangis? Ada yang jahatin lu waktu gue tinggal tadi?”

Scara masih natap dia dengan intens. Dia menyelidik setiap jengkal yang bisa dia lihat—rambutnya Mona masih sama rapihnya. Pipinya basah, tapi gak ada luka apapun. Pakaiannya masih rapih. Dan ketika Scara noleh ke kiri dan kanan, dia gak nemuin tanda-tanda orang lain yang lewat tempat ini.

“Mona, lu kenapa? Ada yang sakit?”

Mona mengangguk.

“Apa yang sakit?” suara Scara mulai panik. “Ayo ke klinik gue anter—“

Tapi Mona malah memberontak dan mau lepas dari cengkramannya.

“Apa—“ Scara berhenti sebentar dan dia menganalisa keadaan. “Apa lu sakit karena gue?”

”Apa lu sakit karena gue?”

Suara Scara terulang lagi di kepala Mona. Seperti balon yang akhirnya ditusuk, emosi Mona keluar. Dia langsung menatap Scara di matanya.

“Lu kira siapa lagi yang bisa bikin gue gini?” dia mendesis. Air mata Mona semakin mengalir. “Lu pikir gue bakalan baik-baik aja dengan ditinggalin tengah lapang parkir, disuruh merem kaya orang bego, sementara lu pergi gitu aja hah?!”

Tangannya kembali berontak dan mulai mengarah ke Scara.

“Lu pikir lucu ngepermainin perasaan gue selama ini?! Lu pikir gue cewek gampangan yang cuma diajak makan doang langsung luluh?!”

Scara mengerutkan alisnya.

“Darimana lu punya pikiran kaya gitu?”

“DARIMANA? LU KIRA CUMA KARENA KITA MAKAN DUA TIGA KALI, LU BISA SEENAKNYA BILANG KANGEN, BILANG CANTIK, BILANG SAYANG, KE GUE? GITU?”

Bahu Mona bergetar naik turun. Emosinya masih belum mereda dan dia gak peduli apakah Lumine dan Pak Ajax masih ada di sekitar sana, ataukah ada orang lain yang denger teriakannya.

Dia gak peduli. Dia ngerasa betapa sia-sianya semua waktu dan harapan yang dia habiskan buat Scaramouche.

Dulu, Mona kira hubungannya ini gak akan membuat dia keberatan.

Dia kira, dengan mereka sering bersama itu udah menandakan bahwa mereka saling suka satu sama lain.

Tapi—

“Pak Ajax aja bisa ngasih status ke Lumine cuma dalam dua semester,” separuh diri Mona merasa malu karena kalimat itu akhirnya dia ucapkan juga. “Tapi kenapa kita yang udah bareng dari awal gak pernah bisa kamu perjelas statusnya? Aku ini apa…?”

Dan detik berikutnya, Mona bisa ngerasain kepalanya tenggelam di leher Scaramouche sementara badannya didekap dengan erat.

“Gue minta maaf,” napas Scara tipis-tipis terasa ke telinganya. “Gue payah, gue cemen, selama ini gue gak laki banget dengan ngebiarin lu ngerasa digantung kaya gini….”

Air mata yang awalnya mulai mengering, tiba-tiba rembes kembali saat kalimat itu didengar Mona.

“Maaf karena sikap egois gue sampai bikin lu harus ngerasain sedih di hari wisuda ini….”

Mona membenamkan wajahnya di leher Scara dan kembali menangis.

“Gue gak maksud bikin lu bingung selama ini, dan gue gak maksud buat ngeprank lu barusan. Gue … abis dari mobil tadi.”

Mona mengangkat wajahnya dan mandang ke arah Scara langsung. Ekspresi Scara keliatan kacau—ekspresi yang belum pernah Mona lihat. Rasa bersalah nampak dengan jelas di setiap sudut matanya.

“Kalau lu liat di sana, ada sesuatu yang jatuh.”

Sesuatu jatuh?

Mona baru sadar ada buket bunga besar yang tergeletak gitu aja di tengah parkiran. Dan ketika akhirnya otaknya kembali berjalan, dia akhirnya ngeh kalau itu bukan tergeletak gitu aja. Tapi jatuh dari tangan Scara waktu dia lihat Mona nangis.

“Itu harusnya buat lu, tapi udah jatuh. Nanti gue beliin lagi.”

“J-jangan! Cuma jatuh kenapa harus beli lagi? G-gue gak keberatan—“

“Itu harusnya jadi buket yang gue kasih buat nembak lu.”

Badan Mona membeku. Dia langsung noleh lagi ke Scara buat memastikan kalimatnya barusan.

“Sori telat dan lama, tapi gue harap lu masih mau nerima gue,” Scara mengangkat tangannya dan mengelap pipi basah Mona. “Gue janji gak ada lagi rasa sakit kaya gini yang harus lu rasain. Gue janji bakalan berusaha bikin lu seneng selalu. Gue … mau punya hubungan serius sama lu. Mona Megistus, jadi pacar gue, please?”

Pelan-pelan tawa mulai keluar dari bibir Mona seiring peluk yang makin dia pererat ke Scaramouche. Dia masih ngerasa bodoh karena suka sama orang ini, tapi seengganya kini hatinya ringan. Satu kecupan ringan mendarat di pipi Scara.

“Mulai sekarang lu terjebak sama gue,” Mona masih ketawa. “Lu harus siap dengerin celoteh gue tiap hari.”

Scara gak bisa nahan senyumnya dan ngaduin ujung hidung dia ke hidung Mona. “Gue bakalan dengerin omelan nenek lampir tiap hari, tapi gak apa-apa. Gue siap.”


Tanpa Mona tahu, dua temennya—Amber dan Barbara—sibuk ikut nangis atas drama yang terjadi. Para penghuni grup istri semuanya ikut nyimak dari dalam mobil Keqing dan hampir aja Amber mau turun dan ikut ngebogem Scara karena ngira cowok itu emang ngeprank Mona. Untungnya Ganyu dan Barbara bisa nahan dia.

“Akhirnya dua temen kita siap menjadi istri….”

“Amber, mereka baru jadian….”

“Gak apa-apa, besok lusa juga lamaran kalau liat seberapa bucin mereka. Nanti kita jadi bridesmaid ya.”

Lumine mengambil napas panjang dan berterima kasih pada dirinya sendiri. Setelah segala hal, setelah nangis-nangis habis seminar, mau pingsan habis sidang, dan nangis kejer waktu pengumuman kelulusan, Lumine berdiri juga di ruangan ini. Dia mau memastikan seluruh detik ini meresap di ingatannya.

“Lumine Viatrix,” namanya menggema di ruangan. “Lulus dengan predikat cumlaude.”

Lumine gak tahu kalau jauh di belakangnya, Aether udah gigit bibir dan nahan nangis sekuat mungkin. Lumine maju dari barisan dan menyalami jajaran rektor diiringi lampu kilat yang terus berkedap-kedip saat tim fotografer sibuk menangkap setiap momen. Setelah selesai bersalaman, Lumine kembali ke arah di kursi wisudawannya lagi. Saat itu dia baru sadar bahwa dari posisi kursi penonton, abangnya sibuk ngerekam segala momen adiknya. Aether dadah-dadah dengan bahagia begitu sadar Lumine natap ke arahnya.

Lumine refleks ngegigit bibirnya.

ISH, ABANG MALU-MALUIN.

Tapi nyatanya air mata yang daritadi dia tahan akhirnya muncul juga. Perasaan Lumine meluap saat sadar betapa sumringah wajah abangnya itu. Akhirnya beberapa tetes jatuh juga, barengan sama tawa yang keluar dari mulutnya. Lumine terlalu bahagia.

Sampai dia gak sadar di sebelah abangnya ada Pak Ajax yang diem-diem beli tiket keluarga wisudawan biar bisa ikut hadir hari ini. Dan sibuk minjemin sapu tangannya ke Aether yang terus-terusan mewek.

“ITU ADIK GUEEE,”

“Iya—“

“LUMI LULUS JUGA,”

“Aet—“

“ADIK BAYI GUE LULUS….”

Ajax gak men-judge Aether sama sekali. Dia juga pasti bakalan bereaksi mirip kalau suatu hari nanti Teucer wisuda. Jadi sekarang dia cuma bisa ketawa dan sibuk nenangin Aether yang terlalu bahagia biar gak ganggu keluarga wisudawan lainnya.


Setelah semua yel-yel, sesi foto bersama, selfie cantik, nangis peluk-pelukan, dan perayaan-perayaan kecil lainnya, Lumine akhirnya menghampiri Aether di depan gedung wisuda. Senyumnya mekar sempurna dan Aether sibuk moto semua langkah Lumine ke arahnya.

“Abaaang ish, cuma jalan doang!”

“Ini langkah pertama sebagai pengangguran.”

“ABANG?!”

Aether mau ngacak-ngacak rambut Lumine, tapi adiknya terlalu sadar dan refleks mundur.

“JANGAN. INI DARI JAM 5 SUBUH UDAH AKU TATA.”

“Cih, dandanmu lama.”

“Biarin sih heran banyak komen.”

“Mau ngegaet siapa siiiih utututuuu?” Aether udah siap-siap angkat tangannya lagi buat nyerang rambut Lumine.

“ABANG KALAU SAMPAI SATU UJUNG RAMBUTKU TERSENTUH—“

Lumine yang sibuk mundur buat menghindar dari tangan Aether gak sadar bahwa heels-nya bikin keseimbangannya goyah—

DAMN DAMN DAMN…

—tapi ternyata dia gak jatuh. Punggungnya nabrak sesuatu yang keras. Tapi empuk. Juga tegap. Dan harum. Plus, ada sepasang tangan yang nahan bahunya biar gak oleng.

Lumine mendongak. Wajah Pak Ajax persis ada di atasnya.

Congraduation, Lumine.”

Senyum Pak Ajax sukses bikin dunia Lumine kembali jungkir balik.


Ajax dan Lumine akhirnya bebas juga dari pengawasan Aether. Mereka melipir ke parkiran sambil sibuk ketawa—walau sebenernya dalam hati Ajax dia takut banget pulangnya nanti dibegal Aether.

“Akhirnya saya wisuda!” Lumine jalan sambil lompat-lompat hepi dan ngayun-ngayunin satu tangan Ajax.

Ajax ketawa lepas.

“Selamat ya, Lumine. Udah berhasil lulus dari sini. Saya bangga banget.”

Lumine berdiri dan natap Ajax malu-malu. Dia sendiri bangga banget sama dirinya.

“Apa rencana kamu selanjutnya?”

“Banyaaaak!” Lumine langsung keliatan excited. “Saya mau lanjut pascasarjana dulu, sih. Tapi sambil nunggu tahun ajaran baru, saya kepingin ngelakuin hal-hal yang gak sempet saya lakuin selama jadi mahasiswa!”

Ajax senyum-senyum sendiri. “Oh ya? Apa aja?”

“Saya punya satu set alat lukis yang udah berdebu karena gak sempet saya pakai selama kuliah. Saya juga punya satu tumpuk buku resep yang belum sempet saya praktikin. Oh oh! Saya juga mau namatin novel-novel yang selalu saya beli tiap diskon 11.11 atau 12.12. Mereka cuma numpuk di rak saya selama ini.”

Ajax masih senyum-senyum.

“Banyak ya?”

“Iya, Pak. Banyaaaak! Enak banget lepas dari semua skripsi dan sidang!” Lumine masih asyik muter-muter bahagia.

“Tapi kamu kayanya lupa satu hal lagi, deh.”

Lumine berhenti dan natap Ajax.

“Saya lupa sesuatu?”

“Iya, satu hal yang gak bisa kamu lakuin selama jadi mahasiswa.”

Ajax maju satu langkah dan ngambil tangan Lumine. Rasanya udah lama banget dia nunggu momen ini.

“Spesifiknya, selama jadi mahasiswa saya.”

Satu kecupan mendarat di buku-buku jari Lumine, dan rasanya semua oksigen hilang dari paru-parunya.

“Jadi pacar saya, ya?”


Lumine kembali ke hadapan Aether dengan posisi meluk satu tangan Pak Ajax, lantas ngomong dengan bahagia.

“DADAH ABANG, LUMI MAU LANGSUNG NIKAH!”

“ANJIR?”

Pak Ajax senyum lebar banget.

“Ini permintaan adik lu sendiri ya, bukan gue yang ngatur.”

Tapi Lumine malah diseret paksa Aether buat lepasin tangan (mantan) dosbingnya itu.

“KENAPAAA KENAPAAAA?” Lumine meronta-ronta. “ABANG KAN UDAH NGERESTUIIIIN?”

“YA GAK GINI JUGA. LU MASIH MAKE TOGA UDAH MAU KAWIN AJA.”

“NIKAH ISH ABANG, BUKAN KAWIN!”

“Diem. Gue gak mendidik genit kaya gini,” Aether melotot, dan lanjut melotot juga ke Pak Ajax.

Pak Ajax ketawa canggung lalu berdehem. Tapi Aether masih natap dia galak sambil nahan Lumine yang mau lompat ke Pak Ajax lagi.

“Abis ini kita ngobrol 4 mata.”

“Boleh,” kata Ajax. “Ngomongin tanggal resepsi?”

Ajax senyum lebar banget. Aether mau gaplok rasanya.

H-17 sidang akhir

Ruang tengah rumah Lumine kembali penuh sama para penghuni grup istri yang berceceran di lantai sambil buka ulang semua catatan kuliah mereka selama 4 tahun.

“Udah tahap terakhir aja….”

“Iya,” Amber berguling. “Abis lulus kalian ambil pascasarjana?”

“Ambil,” jawab Keqing.

“Aku juga,” Ganyu menguap.

“Stop bahas pascasarjana, ini sarjana aja belum tentu lulus huhuhu….” Mona ikut berguling di sebelah Amber.

Barbara tertawa.

Lumine masuk ke ruangan setelah ambil pesenan gofud mereka. Semuanya kembali berkumpul dengan bahagia karena mau makan.

“Gais, sifat asam amino contohnya apa?”

“Zwitterionik?”

“Ohiya, kenapa dia bisa punya sifat itu?”

“Asam amino punya gugus −NH2 yang bisa terprotonasi, jadi dia bermuatan positif. Tapi juga punya gugus −COOH yang bisa terdisosiasi, jadi ngelepasin H+ dan jadi bermuatan negatif.”

“Loh bukan terionisasi?”

“Eh,” Keqing mikir ulang.

“Gugus asam lemah gitu nyebutnya ‘terionisasi’ bukaan? Soalnya aslinya ikatannya kan kovalen?”

“Tapi kalau kaya NaCl itu nyebutnya ‘terdisosiasi’ karena dari waktu dia masih padet ikatannya udah ionik, kalau gak salah gitu?”

“Makan dulu sayang,” Mona langsung dorong masing-masing satu porsi ke semua temennya. “Kita bahas lagi nanti ya oke.”


H-12 sidang akhir

Lumine mau muntah.

Semakin banyak yang dia pelajari, semakin banyak yang lepas dari kepalanya—termasuk rambutnya yang makin rontok. Setiap malam dia mulai nangis karena waktu menuju sidang semakin deket.

Sore tadi pengumuman nilai seminar udah keluar, tapi sayangnya di kondisi kali ini nilai A gak bikin dia sebahagia biasanya. Karena buat apa dapet A di seminar skripsi, kalau sidang akhirnya nanti gagal? Sama aja bohong dan dia harus ikut sidang susulan yang digelar dikemudian hari.

Lumine gak mau.

Dia mau lulus secepetnya.

Demi hubungannya juga?

Lumine menggeleng.

Demi masa depan, bukan demi bucin.


H-7 sidang akhir

Migren setiap hari mampir di kepalanya dan sekarang Lumine terkapar di mejanya. Dering dari ponselnya bikin dia kembali bangkit dan jalan ke pintu—ngebukain buat tamu.

“Kamu keliatan sakit banget,” Pak Ajax langsung megang dahi Lumine sementara tangan lainnya matiin panggilan telepon yang dia bikin.

Lumine mengangguk. Kepalanya sakit luar biasa.

“Istirahat dulu malem ini, masih bisa lanjut belajar besok,” Lumine didorong masuk dan dipaksa duduk di sofa ruang tamu. “Ini obat, udah saya beliin. Kamu udah makan?”

Lumine menggeleng. Perutnya mual.

“Saya bawa bubur kacang ijo, makan ya?”

Lumine diam.

“Pak, saya sedih banget…”

Pak Ajax berjongkok di depan Lumine dan memegang ujung jarinya.

“Saya capek, saya takut, saya gak tahu harus belajar apalagi tapi saya mual banget….” Lumine mulai nangis. “M-mau peluk….”

Lumine gak sadar efek kalimat yang dia bilang barusan sebegitu dahsyatnya ke Pak Ajax. Beliau mati-matian buat nahan diri.

“Lumine, saya mau banget ngasih peluk…. Tapi saya takut dibacok abang kamu.”

Lumine ternyata ketawa (walau masih sambil nangis).

“Saya gak akan bilang-bilang ke abang.”

“…. Gak boleh, Lumi. Sabar ya.”

Lumine malah sengaja merentangkan tangannya. Pak Ajax banyak nyebut dalam hati.

“Lumi,” beliau ketawa gusar. “Jangan macem-macem.”

“Cuma peyuk….”

“Makan. Terus minum obat.”

“Peluk dulu.”

“Engga bisa, sayang.”

Meski kepalanya sakit setengah mati, Lumine langsung melotot denger kata terakhir yang Pak Ajax sebut lalu ngejatohin diri ke sofa sambil guling-guling salting.

“CURAAAAANG!”

“Loh, apa?” Pak Ajax nuang bubur kacang ijonya ke mangkok. “Maksud saya, sayang banget saya belum bisa meluk kamu.”

Lumine langsung berhenti salting dan natap dengan galak. Bibirnya mengkerut.

“Gak kok, canda,” Pak Ajax ketawa dan ngangkat satu sendok bubur kacang ijonya ke arah mulut Lumine. “Ayo buka mulutnya, sayang. Mam dulu.”


H-3 sidang akhir

Para penghuni grup istri terkapar di ruang tamu dengan kondisi otak berasap.


H-1 sidang akhir

Lumine ditemukan sedang ngegambar lingkaran ritual demi kelulusan, yang kemudian dibuang Pak Ajax.

“BAPAAAAAKK?”

“Kamu lulus mau lewat jalur akademik apa jalur nyantet?”

Lumine mau mewek.

“Daripada kamu nangis terus, ayo jajan es krim. Saya udah nyisihin waktu mampir bukan bukan nontonin kamu summon jin.”


Hari-H sidang akhir

Lumine melirik jamnya. Lima belas menit lagi giliran dia masuk ke ruangan sidang. Rasanya separuh rohnya udah pergi ninggalin tubuhnya dan dia gak tahu gimana caranya bertahan agar gak pingsan nanti. Lumine udah gak bisa duduk tenang.

Beberapa saat kemudian pintu ruangan terbuka. Amber muncul. Wajahnya masih keliatan tegang banget, tapi dia sumringah—lega udah selesai. Lumine menelan ludah dan langsung masuk ke ruangan itu.

Meja panjang berisikan 9 dosen terbentang dari sisi ke sisi, dengan satu kursi kosong ada di tengah ruangan. Kursi untuk Lumine.

“Siang Lumine, apa kabar?” sapa Bu Jean.

Lumine berusaha mengatur agar suaranya tidak bergetar. “Baik, Bu.”

“Silakan duduk, ya.”

Lumine berjalan canggung di bawah 9 pasang mata yang memperhatikan seluruh gerak-geriknya dan hingga akhirnya duduk. Rasanya semua yang dia lakukan terlihat kaku dan gak manusiawi. Padahal ini cuma jalan dan duduk biasa.

“Baik, jadi hari ini kita akan melaksanakan sidang akhir kamu. Ini akan memakan waktu 50 menit dan menentukan kelayakan Lumine untuk lulus dari sini. Saya di sini jadi moderator kamu, dan dosen lain akan mengajukan pertanyaan sesuai kelompok keahlian masing-masing. Bagaimana, Lumine, apa jelas? Jika jelas, kita akan langsung masuk ke sesi sidang karena waktu yang terbatas.”

Lumine mencengkram pinggir roknya kencang-kencang. Perutnya mual dan napasnya cepat.

Dia sudah belajar selama 4 tahun.

Dia sudah melewati puluhan ujian dan praktikum.

Dia sudah memperdalam materi selama beberapa bulan terakhir.

Sisa-sisa keberanian yang mulai meninggalkan Lumine, perlahan kembali berkumpul.

”Ayo kita semangat ngeperjuangin kelulusan kamu. Biar status dosbing-mahasiswi bisa berubah.“

Bisa-bisanya di saat kaya gini kalimat Pak Ajax nongol lagi di kepalanya. Lumine ketawa dalam hati.

Aku bisa. Aku bakalan lulus. Aku mau lulus.

“Jelas, Bu. Saya siap.”

Lumine mau gila.

Ini udah tisu kesekian yang dia cabut dan dia pakai ngelap air matanya. Jam nunjukin pukul setengah dua pagi tapi keinginan Lumine buat tidur masih gak ada—meski rasanya tubuh dia capek banget.

Lumine mandangin layar laptopnya yang nampilin PPT buat presentasi seminar skripsinya dua hari lagi, alias hari di mana dia harus ngepertahanin skripsi ini dari serangan para penguji. Seminar ini jadi penentu kelulusan Lumine di mata kuliah tugas akhirnya—bukan penentu kelulusan buat dapet gelar. Habis dari seminar ini, masih ada jeda sekitar 3 minggu sampai sidang komprehensifnya digelar dan disitulah judgement day dengan ujian lisan dilaksanain bareng 9 penguji yang akan nanya-nanya dia tentang seluruh materi selama 4 tahun.

Lumine merutuki bisa-bisanya dia ada di jurusan ini.

Dia masih mandangin PPT-nya. Dia udah berusaha mempelajari seluk beluk semua celah yang kemungkinan besar bakalan ditanyain, tapi rasanya kepanikan tetep hinggap penuh di dadanya dan gak mau pergi. Tiba-tiba ponselnya berdering dan muncul nama Aether di sana.

“H-hawo abang….”

Tidur, Lumi,” Aether menghela napasnya. “Kamu gak apa-apa?

“Kok tau aku belum tidur?”

Spotifynya masih jalan terus, bukan kebiasaan kamu jam segini masih muter lagu sedih.

Lumine memberengut. Tiba-tiba dia kembali mewek.

Cup cup cup, tegang ya. Gak apa-apa besok istirahat ya jangan baca apapun lagi, biar lusa gak pingsan karena kurang tidur.

“Maksud Abang hari ini istirahat, ini kan udah lewat tengah malem, udah ganti hari.“

Iya betul, itu maksudnya.

Lumine akhirnya nutup laptopnya dan masuk ke selimut.

“Mau ditemenin sampai bobo,” katanya merajuk.

Iya iya, apa sih yang engga buat bayi.

Dan Aether nyanyiin lagu Nina Bobo yang diganti liriknya pakai Lumine bobo sampai adiknya tidur.


Lumine masuk ke ruangan ber-AC yang jadi lokasi seminarnya. Dia bisa liat ada sekitar 12 adik tingkatnya udah hadir buat jadi penonton. Perutnya mules. Di jejeran meja penguji udah hadir empat penguji + satu Pak Ajax yang duduk paling pinggir. Pak Ajax tersenyum tipis dan itu gak bikin Lumine merasa baikan—malah makin grogi.

“Silakan Pak Ajax, sepatah dua patah kata,” ucap Bu Ningguang.

“Baik, terima kasih,” Pak Ajax bersuara. “Berikutnya saudari Lumine Viatrix akan membawakan tugas akhirnya dengan topik pemanfaatan cangkang telur sebagai formulasi untuk peningkat SPF.”

Beliau diam sesaat dan memandang Lumine.

“Saya sangat bangga akan penelitiannya ini. Jadi, mari kita dengar paparannya.”

Lumine mengambil satu tarikan napas, lalu tersenyum pada penguji dan penontonnya.

“Selamat siang, terima kasih atas waktunya. Saya Lumine Viatrix dengan NIM xxxxxx akan memulai presentasi saya.”