Lumine melambaikan tangan pada Amber dan Barbara yang baru saja memasuki taksi mereka.
“Dadah Lumineee!”
“Daaah! Hati-hati yaaa!”
Mobil itu menjauh. Lumine menengok jam di ponselnya. Pukul setengah sepuluh malam dan Ajax baru akan sampai sekitar setengah jam lagi.
Kafe di belakang Lumine mulai membereskan perabot dan bersiap menurunkan pintu besi mereka. Satu jam yang lalu kafe itu masih hidup dengan lampu-lampu kuning hangat, tumpukan piring dan gelas kosong, juga tawa canda dari dia dan teman-temannya. Satu jam yang lalu Lumine merasa sangat menikmati dunianya. Kini dia merasa perasaan aneh seperti terjebak di lintas waktu yang sangat cepat berubah.
Sudah hampir 5 tahun Lumine berpisah dengan teman-temannya sejak kelulusan SMA. Somehow, dia merasa baru lulus sekitar beberapa bulan lalu. Rasanya dia masih seperti berusia 17 tahun alih-alih sudah masuk kepala dua.
Lumine sedang berpikir untuk mencari tempat aman ke dekat minimarket—setidaknya di sana terang dan dia bisa jajan—ketika suara yang sangat dia kenal berbicara.
“Lumine? Belum pulang?”
Xiao.
Lumine tersenyum tipis. “Lagi nunggu jemputan, nih.”
Xiao terdiam sesaat. “Mau ditemenin?”
“Hahaha, gak apa-apa kok kalau kamu mau pulang! Aku rencananya mau ke sana,” Lumine menunjuk terangnya minimarket yang berjarak beberapa puluh meter. “Tapiiii, kalau kamu mau nemenin juga boleh!”
Xiao mengangguk. “Yuk, ke sana.”
“Kita gak ngobrol banyak barusan, ya? Posisi duduk kita terlalu jauh.”
Lumine dan Xiao telah menempati kursi depan minimarket. Xiao meminum kopi botolan yang dia beli barusan.
“Ya,” jawab Xiao singkat. “Gimana kuliahnya?”
Lumine tertawa. “Aman, tapi aku malah lanjut lagi pascasarjana. Padahal udah susah-susah lulus kemarin. Kadang aku suka ngerutukin keputusan ini sambil nangis-nangis pas mau ujian.”
Xiao ikut tersenyum tipis.
“Kamu gimana?”
Ada jeda beberapa saat sebelum Xiao membuka mulutnya. “Aku lancar juga. Awal-awal aku hampir mau drop jurusan itu karena ngerasa gak cocok. Tapi akhirnya berhasil bertahan.”
Lumine manggut-manggut. “Jadi inget waktu kamu ngedrop lintas minat ekonomi waktu SMA,” lalu dia tertawa. “Hei, inget gak dulu waktu kamu diem-diem nyempil di kelas lintas minat Bahasa Prancis gara-gara kabur dari ekonomi?”
”XIAO NGAPAIN DI SINI?”
“Ssst, bawel! Jangan keras-keras nanti ketauan!
“Masih inget aja,” Xiao tertawa kecil.
“Inget dong! Pas itu ‘kan, kamu panik gara-gara tiba-tiba malah kuis. Alhasil kamu malah nulis Bahasa Jepang dan malah ikut ngumpulin kertasnya.”
”Ih Xiao kamu nulis apa?!”
“Heh gak boleh nyontek!”
“Nyontek apaan?! Itu hiragana katakana! Ini kelas Prancis, tau!”
“Biarin, siapa tau gurunya bisa bilingual.”
“Habis itu kamu ngomel panjaaaaang banget,” kata Xiao.
“Iyalah! Kalau ketauan kan gak lucu!”
“Justru lucu.”
Lumine tertawa. Emang lucu kalau dipikirin sekarang. Dia masih ingat galaknya dia pada teman-temannya yang tukang bolos atau tukang telat ngumpulin tugas. Terutama Xiao.
“Dulu kamu selalu bawel ke aku,” kata Xiao setelah jeda beberapa menit.
”XIAO, GAK BOLEH KOREK MEJA PAKE PENGGARIS!
“XIAO, AYO CEPET SIAP-SIAP KE LAPANGAN OLAHRAGA!”
“XIAOOOO AYO BANGUN! ISTIRAHAT UDAH MAU HABIS!”
“XIAO JANGAN LUPA PR MATEMATIKA!
“Karena kamu selalu bandel.”
“Iya, betul. Tapi kamu marahin terus juga gak bikin aku jadi rajin.”
“Bohong,” Lumine mencibir. “Rangkingmu naik drastis setelah aku selalu bawelin kamu. Untung aku duduk di belakang kamu, jadi bisa selalu nyolok punggung kamu pake pulpen tiap kamu udah hampir tidur.”
”Pssst, heh kamu diliatin Bu Ningguang, ayo bangun!”
“Kamu ganggu jam tidurku,” protes Xiao, tapi nadanya tidak menyalahkan sama sekali.
Lumine tersenyum.
“Dulu aku emang sebegitunya, ya, sama kamu.”
”Xiao, kamu udah ngerjain rangkuman biologi?“
“Belum.”
“Ayo kerjain dulu, ini buku paketku udah aku stabiloin. Ayo salin cepet bentar lagi dikumpulin!”
“Iya, dulu kamu sebegitunya,” bisik Xiao.
”Xiao, liat aku bikin wadah permen lucu. Udah ada isi permennya juga!”
“Oh. Ini wadah dari kertas?”
“Iya! Ini buat kamu! Makan ya~!”
“Aku gak suka manis.”
Lalu hening lagi.
“Dulu kamu suka mau nebeng pulang,” Xiao menatap motornya di parkiran.
”XIAOOO MAU NEBENG PULANG YA!”
Lumine terkekeh. “Maaf ya, dulu aku sebegitunya.”
“Padahal, kamu dulu selalu sebegitunya,” Xiao menghela napasnya. “Tapi aku justru dulu….”
”Beban ah. Nebeng Thoma aja sana!”
Kalimatnya menggantung, hanya diteruskan dalam ingatan Xiao.
Lumine melirik ponselnya. Ajax masih belum tiba.
“Kamu tahu, dulu Thoma suka kamu?”
“Iya, dulu dia selalu bawain nutrisari dingin ke mejaku,” Lumine tertawa.
“Iya….” respon Xiao. “Dia emang begitu….”
”Xiao, kamu gak suka Lumi?”
“Apasih semua orang Luma Lumi Luma Lumi. Gak.”
“Kalau gitu, boleh buat aku aja?”
“Sana, ambil.”
Setelah mempertimbangkan beberapa saat, Lumine membuka suara lagi.
“Dulu, kamu suka Ganyu?”
”Sori Lumine, aku pulang bareng Ganyu.”
”Aku partneran sama Ganyu, kamu cari anggota lain.”
“Ganyu udah bantu tugas aku.”
“Jangan ngepoin hape orang, ada chat sama Ganyu.”
“Ya…. Dulu aku suka dia.”
Lumine tertawa. Bukan tawa lucu atau tawa mengejek. Dia … hanya tertawa pada masa lalu.
Lumine si bucin Xiao.
Lumine si pengurus Xiao.
Lumine si cinta satu arah Xiao.
Masa SMA-nya dihabiskan hanya untuk membuat Xiao melihatnya. Dia pikir, Xiao yang selalu kelihatan kesepian bisa dia temani. Dia pikir, Xiao yang selalu kelihatan malas mengerjakan tugas bisa dia beri bantuan. Dia pikir, Xiao yang pemurung bisa dia buat tertawa.
Tapi sedekat apapun mereka dulu—entah seberapa sering mereka berbagi meja, seberapa sering mereka pulang bersama, seberapa sering Lumine menelponnya hanya untuk mengingatkan pelajaran….
Lumine tetap bukan orang yang bisa meraihnya.
“Maaf, padahal aku tahu kamu suka aku.”
Lumine membeku. Apakah dia mengeluarkan isi pikirannya secara tidak sadar? Tapi dia yakin dia tidak mengucapkan apapun.
Xiao menatapnya sejenak lalu mengalihkan ke arah lain.
Masa SMA sudah berlalu, batin Lumine.
Masa SMA-nya yang membuatnya patah hati sudah terjadi lebih dari lima tahun yang lalu.
Xiao menoleh memandang Lumine yang menggigit sedotan minumannya.
“Lumine,” dia memberi jeda. “Siapa yang jemput kamu?”
“Oh,” Lumine tersipu sejenak sebelum menjawab. “Pacarku, dia temen kuliahku.”
Xiao mengangguk. Tenggorokannya tercekat. Lumine pun merasakan atmosfer yang tidak nyaman antara mereka.
Lumine dan Xiao.
Xiao dan Lumine.
Bukan cuma teman-teman satu kelas mereka, tapi kelas-kelas tetangga pun tahu ada sesuatu antara mereka berdua sejak kelas 10 SMA. Dan hampir semua orang yang tahu tentang itu, tahu juga akhir dari kisah mereka berdua.
“Kamu kenapa?”
”Apa maksud kamu?”
”Kamu kenapa gak mau ngobrol sama aku lagi? Ini udah mau dua bulan!”
“Maaf soal yang dulu-dulu.”
”Eh eh, katanya Lumine putus sama Xiao?”
”Bukannya emang gak jadian ya?”
”Ohiya? Kok tingkahnya kaya orang pacaran dulu? Terus sekarang kaya orang putus!”
”Iya, biasalah bertepuk sebelah tangan. Terus ngerasanya udah ngemilikin, taunya cowoknya jadian sama cewek lain.”
Lumine tersenyum jenaka. “Aku udah gak mikirin itu lagi. Itu cuma cinta monyet biasa.”
Cinta pertamanya. Patah hati pertamanya.
“Kamu masih sama Ganyu?”
“Engga. Kami udahan beberapa bulan setelah lulus SMA.”
“Ah, gitu….”
”Amber, kapan ya Xiao putus sama Ganyu….”
“Lumine, ayo move on! Xiao gak pantes buat kamu!”
“Sekarang ada yang lain.”
Lumine sedikit terperanjat. Dia tidak menyangka Xiao ini akan mengungkapkan hal pribadinya dengan mudah.
“Ohya? Siapa?”
“Teman kuliahku juga. Dia … bawel, berisik, dan selalu mau ikut campur—”
Seperti aku saat SMA? Lumine tidak bisa mencegah pikiran itu masuk ke kepalanya.
“—Dia manis. Cantik. Dia selalu ingetin aku tugas, repot-repot bikin list, dan ikut bantuin ketika aku gak mau ngerjain. Dia yang bikin aku bisa kembali punya semangat kuliah.”
Bukannya itu juga hal yang aku lakuin ke kamu waktu di SMA?
Lumine tersenyum pahit.
“Siapa namanya?”
“Hu Tao.”
Memang dasarnya saja Xiao yang tidak pernah menyukai dia.
“Namanya manis.”
“Siapa nama pacarmu sekarang?”
“Ajax,” Lumine tersenyum lembut saat mengatakannya. “Dia … temanku yang awalnya selalu menggangguku. Tapi lama-lama ternyata kami saling jatuh hati.”
“Dia ngeperlakuin kamu baik?”
“Banget,” Lumine tertawa. “Dia bener-bener ngejaga aku, nerima marahku, nerima nangisku, selalu ada selalu siaga setiap aku ngerasa down. Dia ngeperlakuin aku seakan-akan aku sesuatu paling berharga.” Sebenarnya dia malu ngucapin kalimat terakhir itu, tapi entah kenapa Lumine ingin Xiao tahu bahwa ada orang lain yang sangat menghargai Lumine sebegitunya.
Xiao tersenyum.
Suara klakson mobil membuat Lumine buru-buru menoleh. Ajax telah tiba.
“Xiao, aku udah dijemput!” Dia buru-buru berdiri dan membereskan barangnya. “Makasih udah nemenin aku!”
Xiao ikut berjalan menemani Lumine ke arah mobil yang berhenti beberapa meter dari mereka. Ajax menurunkan kaca mobilnya.
“Ajax! Ini Xiao, temen SMA aku. Dia yang nemenin aku selama nunggu kamuuuu.”
Cengiran muncul dari balik kaca mobil itu. “Thank you, ya,” Ajax mengeluarkan tangannya dari jendela.
“Iya, no prob.” Xiao menyambut genggaman itu dengan tos dan genggaman ringan.
Lumine masuk ke mobil. Xiao dapat melihat Ajax yang sigap mengambil tas Lumine lalu mengopernya ke jok belakang. Lalu memastikan sabuk pengaman gadisnya sudah terpasang sempurna.
“Duluan, ya!”
“Ya, hati-hati.”
Kaca mobil naik kembali. Ajax membunyikan klakson singkat dan melajukan mobilnya pergi.
Xiao menghela napas.
Perasaan bersalahnya selama SMA mulai meringan. Dia bahkan tidak sadar selama ini merasa tidak enak pada Lumine karena telah membuat anak itu menangis banyak sekali di masa SMA.
Xiao berjalan menuju ke motornya. Saat helmnya sudah terpasang, sebuah pemberitahuan pesan masuk ke ponselnya.
Xiao tersenyum hangat. Hu Tao mengiriminya pesan.
Memang, cinta masa SMA ada hanya untuk dikenang.