Mama Thailand

Bohong bila sekarang Thara tidak merasa gugup — menunggu pekerja sosial akan berkunjung datang. Dengan dirinya, Aram dan Papi tengah berbincang hangat di ruang tamu. Dan di ujung sofa sana, Prim dan Prigkhing sibuk mencuri-curi pandang pada kakek yang baru mereka jumpa untuk pertama kalinya. Keduanya begitu terkesima pada guratan tegas dari wajah yang seakan tidak kehilangan ketampanannya, walaupun sudah termakan usia.

Merasa sedang ditatap, Papi pun menolehkan pandangannya dan menatap dua pasang bola mata nan menggemaskan yang menatapnya dengan pandangan berbinar, amat menggemaskan.

“Kesini sayang,” panggil Papi mengulurkan tangan memberikan arahan untuk si kembar mendekat.

Dengan perasaan yang penuh keragu-raguan, keduanya menatap Aram meminta persetujuan. Aram yang paham arti tatapan itu memberikan izin keduanya untuk mengikuti perintah Papi.

Pelan-pelan mereka beranjak dari sofanya dan mencoba untuk mendekat, mereka hampir saja memeluk — jika tidak ada suara bel yang tiba-tiba berbunyi memecahkan interaksi yang hangat itu.

Bunyi bel yang seketika berhasil membuat bahu Thara dan Aram menjadi tegang dengan jantung yang berdegup kencang.

Keduanya saling beradu pandang.

Orang yang mereka tunggu, tiba.

. .

Tuk.

Sebuah tepukan dari Papi pada kepalanya membuat Thara membalikkan badan, melihat sosok itu tersenyum hangat kepadanya.

“Biar Papi yang buka, kalian berdua tunggu aja disini,” perintahnya lembut berjalan penuh kepastian.

Thara alih-alih hampir ingin menghentikan tindakan Papi — bila tidak ada sebuah tangan di dadanya, mencoba untuk menghalanginya. Tangan milik Aram.

“Percayakan semuanya pada Papi Thar,” ujar Aram yang sudah mengetahui rencana apa yang sudah diceritakan oleh Papi selama diperjalanan.

Thara tidak bersuara dan memberikan komentar lebih banyak lagi. Ia mempercayai ucapan Aram — sambil melihat kedua anaknya yang kini menatap mereka dengan mata yang penuh harap dan berkaca-kaca.

“Sini sayang, peluk Ayah,” pinta Thara yang tidak butuh dua kali untuk dipatuhi oleh kedua anak kesayangannya.

. .

“Ayah, Papa ...,“bisik Prigkhing pelan memeluk Thara dan Aram bersamaan.

“Hm?”

“Apa Prigkhing dan Prim bisa menjadi anak kalian?” tanyanya polos dengan suara penuh serak dan mata yang mulai berkabur oleh air mata, “Kami janji akan jadi anak yang baik Yah, jadi jangan tinggalin kami, jangan balikin kami ke panti lagi.”

Deg.

. .

Hilang sudah pertahanan itu. Aram yang paling tidak bisa menahan semua perasaannya, membalas pelukan itu dengan erat.

Ia berbisik tepat di telinga sang kakak, menjanjikan sesuatu, “Iya, Papa dan Ayah janji tidak akan ninggalin Prigkhing dan Prim. Jadi Prigkhing dan Prim jangan takut, ada Papa dan Ayah disini sayang,” sambungnya bersama isakan yang semakin lama semakin kuat.


Papi yang membuka pintu tamu. Menyambut sosok yang sedari tadi mereka tunggu-tunggu.

Senyuman kaget di bibir Papi terulas saat tamu tersebut membalikkan badannya. Melihat sebuah paras yang terlihat familiar tertangkap oleh netra Papi.

Pria tersebut juga tidak kalah kagetnya.

“JUNA??”

“Hai Jay, apa kabar?”

Seperti sebuah takdir dituntun khusus untuk Aram. Hanya untuk Aram.

Bohong jika sekarang Thara tidak gugup menunggu pekerja sosial berkunjung. Selagi dirinya, Aram dan Papi berbincang hangat di ruang tamu. Di ujung sofa sana, Prim dan Prigkhing sibuk mencuri pandang pada kakek yang mereka jumpa untuk pertama kali. Keduanya terkesima pada guratan tegas dari wajah yang tidak kehilangan ketampanannya walaupun termakan usia. Sadar akan ditatap, Papi menolehkan pandangannya dan menatap dua pasang bola mata nan menggemaskan yang menatapnya dengan pandangan berbinar, amat menggemaskan.

“Kesini sayang,” panggil Papi mengulurkan tangan memberikan arahan untuk si kembar mendekat.

Dengan perasaan yang penuh keraguan, keduanya menatap Aram meminta persetujuan. Aram yang paham arti tatapan itu memberikan izin keduanya untuk mengikuti perintah Papi.

Pelan-pelan mereka beranjak dari sofanya dan mencoba untuk mendekat — jika tidak ada suara bel yang tiba-tiba berbunyi memecahkan interaksi yang hangat itu.

Bunyi bel yang seketika berhasil membuat bahu Thara dan Aram menjadi sedikit tegang dengan jantung yang berdegup kencang. Keduanya saling beradu pandang.

. .

Tuk.

Sampai sebuah tepukan dari Papi pada kepalanya membuat Thara membalikkan badan dan melihat sosok tua itu tersenyum hangat kepadanya.

“Biar Papi aja yang buka, kalian berdua tunggu aja disini,” perintahnya lembut berjalan penuh kepastian.

Thara hampir ingin menghentikan tindakan Papi — bila tidak ada sebuah tangan di dadanya, mencoba untuk menghalanginya. Tangan milik Aram.

“Percayakan semuanya pada Papi Thar,” ujar Aram yang sudah mengetahui rencana apa yang sudah disiapkan oleh Papi.

Thara tidak bersuara dan memberikan komentar banyak lagi. Ia berusaha untuk mempercayai ucapan Aram — sambil melihat kedua anaknya yang kini menatap mereka dengan mata yang penuh harap dan berkaca-kaca.

“Sini sayang, peluk Ayah,” pinta Thara yang tidak butuh dua kali untuk dipatuhi oleh kedua anak kesayangannya.

“Ayah, Papa ...,“bisik Prigkhing pelan.

“Hm?”

“Apa Prigkhing dan Prim boleh menjadi anak kalian?” tanyanya polos dengan suara penuh serak dan mata yang mulai berkabur oleh air mata, “Prigkhing janji akan jadi anak yang baik Yah

SafeHouse | 11.04 am

tw//cw di dalam cerita ini ada seorang yang memiliki tunawicara, cerita ini tidak menyinggung pihak manapun jadi silahkan untuk membaca dengan bijak

Mobil Phuwin terpakir manis di garasi. Mereka baru saja sampai. Butuh satu jam lima belas menit diperjalanan untuk sampai ke rumah. Pond segera turun dan membuka pintu belakang mobil Phuwin.

“Ibu mau makan dulu atau istirahat dulu?” Pond menggerakkan kedua tangannya sambil menyambut Ibu yang turun.

Ibu tersenyum. ‘Istirahat dulu,’ jawabnya singkat dengan bahasa isyarat.

Phuwin hanya diam memperhatikan dari belakang saja.

Tepat saat mereka memasuki rumah, mobil milik Podd yang baru saja datang memberikan klakson.

Membuat keduanya — termasuk Ibu, menolehkan kepala mereka untuk mengetahui siapa yang membunyikan klaksonnya.

Tak butuh waktu lama, Podd keluar dari kursi pengemudinya.

“Phuu ke sini!! Bantu angkat barang!!” teriaknya keras.

Ingin mengumpat. Itu yang dirasakan Phuwin saat namanya dipanggil. Ia ingin protes kalau tidak ada Ibu Neo di sana.

Dengan ogah-ogahan dan rasa malas mendominasi — Phuwin mendekati mereka dengan raut wajah tidak bersahabat.

Khao meringis. Ia tahu apa yang ada di pikiran adik kecilnya itu. Terkadang, kekasihnya itu tidak pandai membaca situasi dan orang.

“Bawakan ini ... sama ini.”

Podd menyerahkan dua kantong plastik besar berisi daging dan bahan masak lain pada Phuwin.

Anak itu mengambilnya. Tentu dengan wajah yang penuh keluhan.


Wanita itu seperti orang lain pada umumnya ketika pertama berkunjung. Manik matanya melihat antusias interior ruangan yang meskipun minimalis namun bisa masuk kategori lumayan — bahkan sangat bersih untuk ditinggali oleh delapan pria. Ia berdecak kagum melihat punggung pria yang ia temui di teras rumah, kini tengah berkecimpung dengan dapurnya. Pria itu bisa dibilang terlalu mahir untuk seseorang yang memasak di dapur.

Membuat ibu merasa sungkan dan ingin membantu —

“Eh ibu mau kemana?” tanya Pond cepat dengan satu tangan saja, karena tangannya satunya sibuk memegang donat yang dibelikan Podd untuk mereka.

‘Ibu tidak enak diam saja melihat anak itu memasak, sayang.’

Pond tertawa membuat Luke dan Mix yang sedari tadi diam ikut tertawa. Berpikir Ibu Neo membicarakan sesuatu yang lucu.

“Loh kenapa ketawa bang?” tanya Pond yang bingung.

“Soalnya lo ketawa,” bisik Mix tidak ingin Ibu Neo mendengar. Luke mengangguk menyetujui.

“Lah si goblok,” ejek Pond terbahak-bahak, “tadi Ibu Neo itu bilang gak enak sama Bang Khao yang masak, jadi dia mau bantu.”

Seketika wajah keduanya merah padam. Malu. Ibu Neo yang mencuri dengan tersenyum. Ia mengambil kertas yang sudah disiapkan Mix dan menulis sesuatu di sana.

Mix dan Luke yang melihat itu menunggu dengan sabar.

Pond menahan tawanya, merasa jika kedua abangnya itu terlihat seperti anak burung yang menunggu suapan dari induknya.

‘Maaf ya Ibu lupa kalau kalian tidak bisa memakai bahasa isyarat.’

. .

“OH GAPAPA BU GAPAPA! INI SALAH SI GOBLOK INI AJA YANG SALAH TERJEMAHIN UCAPAN IBU!!”

“Lah gua salah apa Bang Siwi?”

“SALAH LO YA KARENA LO PAMER!! MENTANG MENTANG CUMA LO YANG BISA PAKAI BAHASA ISYARAT JADI GAK MAU BAGI-BAGI IBUNYA NEO NGOMONG APA!! KAMI KAN JUGA KEPO!!”

“Wi ... kecilin suara lo Wi, kecilin ...,” pinta Luke menarik ujung baju Mix agar pria itu dapat mengontrol volume suaranya.

SafeHouse | 11.04 am

Mobil Phuwin terpakir manis di garasi. Mereka baru saja sampai. Butuh satu jam lima belas menit diperjalanan untuk sampai ke rumah. Pond segera turun dan membuka pintu belakang mobil Phuwin.

“Ibu mau makan dulu atau istirahat dulu?” Pond menggerakkan kedua tangannya sambil menyambut Ibu yang turun.

Ibu tersenyum. ‘Istirahat dulu,’ jawabnya singkat dengan bahasa isyarat.

Phuwin hanya diam memperhatikan dari belakang saja.

Langkah itu tergesa, nafasnya memburu tersengal-sengal. Tak ia pedulikan dadanya yang sakit membutuhkan pasokan udara. Bukannya melambat larinya malah semakin cepat. Matanya sudah berkaca-kaca dengan hembusan nafas mulai terdengar berat. Berlari menahan tangis amat menyesakkan namun tak bisa ia hentikan.

Tujuannya hanya satu dan itu berada di balik pintu rumahnya. Mungkin saat ini ada yang baru saja sampai beberapa jam yang lalu, datang dari kejauhan seakan tidak ada kejadian apa-apa.

Mimpi. Aram merasa ini seperti mimpi. Biarpun tak nyata, ia tak mempermasalahkannya. Tidak apa-apa jika ia tidak terbangun lagi. Bila mimpi bisa seindah ini.

Brakkk

Pria itu membanting pintunya, begitu keras. Ia membukanya dengan tak sabaran.

“Hahh ... Hahh ....”

Orang-orang disana sontak menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Mereka yang berada di ruangan itu melihat sosok Aram yang terengah-engah — dengan tatapan yang masih tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar.

“Aram kapan dat—” belum sempat Mami berbicara, Aram kembali berjalan menuju ke arah sosok yang membelakanginya dengan duduk di kursi roda. Entah kenapa perasaan sesak akan rindu mengaduk-aduk perasaan Aram saat ini. Ia mengigit bibirnya sembari perlahan mendekati orang yang selama ini ia tunggu pulang.

“P—papi?” dengan suara bergetar dan ragu-ragu, Aram memanggilnya pelan.

Merasa terpanggil, sosok itu memutarkan kursi rodanya dan sampai akhirnya berhadapan mata dengan Aram.

Aram terhenyak tanpa sadar membuka mulutnya dengan air mata yang tak bisa lagi ia tahan. Semuanya berlomba-lomba tergenang dan mengalir di sekujur pipinya.

“PAPIIIII!!!” teriaknya keras sontak menghamburkan badannya ketika sosok yang dipanggil papinya itu merentangkan tangannya.

“Iya sayang, ini papi ...,” masih terdengar lirih, tertidur lama membuatnya sedikit sulit berbicara seperti biasa apalagi lantang. Walaupun dalam hatinya juga ingin meneriaki nama anaknya. Memberitahukan rasa rindunya yang juga tak kalah besar.

“Hikss ... ini beneran Papi? Papi kemana aja selama ini? Aram—Aram terus mencari Papi hari itu disana, tapi tidak menemukan Papi ... hiks,” sengguk Aram yang tidak terlihat seperti pria berusia kepala tiga dan memiliki anak dua. Di mata Papi, Aram masih terlihat seperti bayi besarnya.

“Maafin Papi nak, banyak hal yang mau Papi ceritakan tentang apa yang Papi alami saat itu, maafin Papi ....”

Aram menggelengkan kepalanya yang masih berada di dalam dekapan dada hangat milik sang ayah. Menghirup kembali aroma yang pernah lama hilang. Rindu. Arm rindu aroma tubuh Papi.

“Jangan pergi lagi ... jangan pergi tanpa kabar lagi ...,” lirih Aram membuat Papi terenyuh sedih. Ia merasa bersalah telah begitu lama membuat keluarganya khawatir tentang keberadaannya.

“Papi tidak ak—”

“Papa ....”

Ucapan Papi terhenti saat ia mendengar suara halus milik perempuan kecil yang begitu manis, mendekati Aram dan menarik ujung kemejanya dengan mata yang juga berkaca-kaca. Prim. Gadis kecil itu merasa takut karena melihat Papanya yang tiba-tiba berlari kencang. Meninggalkan mereka di mobil dan pergi dengan raut wajah yang begitu tegang. Prim takut terjadi apa-apa pada papanya.

“Siap—”

“Ayah, Papa kenapa lari?” sebuah sahutan lagi dari perempuan kecil lain memotong pembicaraan Papi.

Kali ini otak Papi dapat merespon dengan cepat, saat melihat kedua anak itu mendekati Aram dengan Thanat dibelakangnya.


Langkah itu tergesa, nafasnya memburu tersengal-sengal. Tak ia pedulikan dadanya yang sakit membutuhkan pasokan udara. Bukannya melambat larinya malah semakin cepat. Matanya sudah berkaca-kaca dengan hembusan nafas mulai terdengar berat. Berlari menahan tangis amat menyesakkan namun tak bisa ia hentikan.

Tujuannya hanya satu dan itu berada di balik pintu rumahnya. Mungkin saat ini baru saja sampai beberapa jam yang lalu, datang dari kejauhan seakan tidak ada kejadian apa-apa.

Mimpi. Aram merasa ini seperti mimpi. Biarpun tak nyata, ia tak mempermasalahkannya. Tidak apa-apa jika ia tidak terbangun lagi. Bila mimpi bisa seindah ini.

Brakkk

Pria itu membanting pintunya, begitu keras. Ia membukanya dengan tak sabaran.

“Hahh ... Hahh ....”

Orang-orang disana sontak menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Mereka yang berada di ruangan itu melihat sosok Aram yang terengah-engah — dengan tatapan yang masih tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar.

“Aram kapan dat—” belum sempat Mami berbicara, Aram kembali berjalan menuju ke arah sosok yang membelakanginya dengan duduk di kursi roda. Entah kenapa perasaan sesak akan rindu mengaduk-aduk perasaan Aram saat ini. Ia mengigit bibirnya sembari perlahan mendekati orang yang selama ini ia tunggu pulang.

“P—papi?” dengan suara bergetar dan ragu-ragu, Aram memanggilnya pelan.

Merasa terpanggil, sosok itu memutarkan kursi rodanya dan sampai akhirnya berhadapan mata dengan Aram.

Aram terhenyak tanpa sadar membuka matanya dengan air mata yang tak bisa lagi ia tahan. Semuanya berlomba-lomba tergenang dan mengalir di sekujur pipinya.

“PAPIIIII!!!” teriaknya keras sontak menghamburkan badannya ketika sosok yang dipanggil papinya itu merentangkan tangannya.

**“Iya sayang, ini papi ...,” masih terdengar lirih, tertidur lama membuatnya sedikit sulit berbicara biasa apalagi lantang. Walaupun dalam hatinya juga ingin meneriaki nama anaknya. Memberitahukan rasa rindunya yang juga tak kalah besar.

“Hikss ... ini beneran Papi? Papi kemana aja selama ini? Aram—Aram terus mencari Papi hari itu disana, tapi tidak menemukan Papi ... hiks,” sengguk Aram yang tidak terlihat seperti pria berusia kepala tiga dan memiliki anak dua. Di mata Papi, Aram masih terlihat seperti bayi besarnya.

Langkah itu tergesa, nafasnya memburu tersengal-sengal. Tak ia pedulikan dadanya yang sakit membutuhkan pasokan udara. Bukannya melambat larinya malah semakin cepat. Matanya sudah berkaca-kaca dengan hembusan nafas mulai terdengar berat. Berlari menahan tangis amat menyesakkan namun tak bisa ia hentikan.

Tujuannya hanya satu dan itu berada di balik pintu rumahnya. Mungkin saat ini baru saja sampai beberapa jam yang lalu, datang dari kejauhan seakan tidak ada kejadian apa-apa.

Mimpi. Aram merasa ini seperti mimpi. Biarpun tak nyata, ia tak mempermasalahkannya. Tidak apa-apa jika ia tidak terbangun lagi. Bila mimpi bisa seindah ini.

Brakkk

Pria itu membanting pintunya, begitu keras. Ia membukanya dengan tak sabaran.

“Hahh ... Hahh ....”

Orang-orang disana sontak menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Mereka yang berada di ruangan itu melihat sosok Aram yang terengah-engah — dengan tatapan yang masih tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar.

“Aram kapan dat—” belum sempat Mami berbicara, Aram kembali berjalan menuju ke arah sosok yang membelakanginya dengan duduk di kursi roda. Entah kenapa perasaan sesak akan rindu mengaduk-aduk perasaan Aram saat ini. Ia mengigit bibirnya sembari perlahan mendekati orang yang selama ini ia tunggu pulang.

“P—papi?” dengan suara bergetar dan ragu-ragu, Aram memanggilnya pelan.

Merasa terpanggil, sosok itu memutarkan kursi rodanya dan sampai akhirnya berhadapan mata dengan Aram.

Aram terhenyak tanpa sadar membuka matanya dengan air mata yang tak bisa lagi ia tahan. Semuanya berlomba-lomba tergenang dan mengalir di sekujur pipinya.

“PAPIIIII!!!” teriaknya keras sontak menghamburkan badannya ketika sosok yang dipanggil papinya itu merentangkan tangannya.

Langkah itu tergesa, nafasnya memburu tersengal-sengal. Tak ia pedulikan dadanya yang sakit membutuhkan pasokan udara. Bukannya melambat larinya malah semakin cepat. Matanya sudah berkaca-kaca dengan hembusan nafas mulai terdengar berat. Berlari menahan tangis amat menyesakkan namun tak bisa ia hentikan.

Tujuannya hanya satu dan itu berada di balik pintu rumahnya. Mungkin saat ini baru saja sampai beberapa jam yang lalu, datang dari kejauhan seakan tidak ada kejadian apa-apa.

Mimpi. Aram merasa ini seperti mimpi. Biarpun tak nyata, ia tak mempermasalahkannya. Tidak apa-apa jika ia tidak terbangun lagi. Bila mimpi bisa seindah ini.

Brakkk

Pria itu membanting pintunya, begitu keras. Ia membukanya dengan tak sabaran.

“Hahh ... Hahh ....”

Orang-orang disana sontak menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Mereka yang berada di ruangan itu melihat sosok Aram yang terengah-engah — dengan tatapan yang masih tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar.

“Aram kapan dat—” belum sempat Mami berbicara, Aram kembali berjalan menuju ke arah sosok yang membelakanginya dengan duduk di kursi roda. Entah kenapa perasaan sesak akan rindu mengaduk-aduk perasaan Aram saat ini. Ia mengigit bibirnya sembari perlahan mendekati orang yang selama ini ia tunggu pulang.

“P—papi?” dengan suara bergetar dan ragu-ragu, Aram memanggilnya pelan.

Merasa terpanggil, sosok itu memutarkan kursi rodanya dan sampai akhirnya berhadapan mata dengan Aram.

Aram terhenyak tanpa sadar membuka matanya dengan air mata yang tak bisa lagi ia tahan. Semuanya berlomba-lomba tergenang dan mengalir di sekujur pipinya.

“PAPIIIII!!!” teriaknya keras sontak menghamburkan badannya ketika sosok yang dipanggil papinya itu merentangkan tangannya.

Langkah itu tergesa, nafasnya memburu tersengal-sengal. Tak ia pedulikan dadanya yang sakit membutuhkan pasokan udara. Bukannya melambat larinya malah semakin cepat. Matanya sudah berkaca-kaca dengan hembusan nafas mulai terdengar berat. Berlari menahan tangis amat menyesakkan namun tak bisa ia hentikan.

Tujuannya hanya satu dan itu berada di balik pintu rumahnya. Mungkin saat ini baru saja sampai beberapa jam yang lalu, datang dari kejauhan seakan tidak ada kejadian apa-apa.

Mimpi. Aram merasa ini seperti mimpi. Biarpun tak nyata, ia tak mempermasalahkannya. Tidak apa-apa jika ia tidak terbangun lagi. Bila mimpi bisa seindah ini.

Brakkk

Pria itu membanting pintunya, begitu keras. Ia membukanya dengan tak sabaran.

“Hahh ... Hahh ....”

Orang-orang disana sontak menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Mereka yang berada di ruangan itu melihat sosok Aram yang terengah-engah — dengan tatapan yang masih tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar.

“Aram kapan dat—” belum sempat Mami berbicara, Aram kembali berjalan menuju ke arah sosok yang membelakanginya dengan duduk di kursi roda. Entah kenapa perasaan sesak akan rindu mengaduk-aduk perasaan Aram saat ini. Ia mengigit bibirnya sembari perlahan mendekati orang yang selama ini ia tunggu pulang.

“P—papi?” dengan suara bergetar dan ragu-ragu, Aram memanggilnya pelan.

Langkah itu tergesa, nafasnya memburu tersengal-sengal. Tak ia pedulikan dadanya yang sakit membutuhkan pasokan udara. Bukannya melambat larinya malah semakin cepat. Matanya sudah berkaca-kaca dengan hembusan nafas mulai terdengar berat. Berlari menahan tangis amat menyesakkan namun tak bisa ia hentikan.

Tujuannya hanya satu dan itu berada di balik pintu rumahnya. Mungkin saat ini baru saja sampai beberapa jam yang lalu, datang dari kejauhan seakan tidak ada kejadian apa-apa.

Mimpi. Aram merasa ini seperti mimpi. Biarpun tak nyata, ia tak mempermasalahkannya. Tidak apa-apa jika ia tidak terbangun lagi. Bila mimpi bisa seindah ini.

Brakkk