Mama Thailand

#PULANG

Langkah itu tergesa, nafasnya memburu tersengal-sengal. Tak ia pedulikan dadanya yang sakit membutuhkan pasokan udara. Bukannya melambat larinya malah semakin cepat. Matanya sudah berkaca-kaca dengan hembusan nafas mulai terdengar berat. Berlari menahan tangis amat menyesakkan namun tak bisa ia hentikan.

Tujuannya hanya satu dan itu berada di balik pintu rumahnya. Mungkin saat ini baru saja sampai beberapa jam yang lalu, datang dari kejauhan seakan tidak ada kejadian apa-apa.

Mimpi. Aram merasa ini seperti mimpi. Biarpun tak nyata, ia tak mempermasalahkannya. Tidak apa-apa jika ia tidak terbangun lagi. Bila mimpi bisa seindah ini.

Brakkk

Kampus | 13.12 PM

Bahu itu terkulai lemas, saat dirinya ditinggal satu persatu oleh orang-orang yang berada disana. Menyisakan dirinya dan satu orang yang terus setia menemani — duduk di bangku dosen yang membimbinginya.

Mew tersenyum, ketika melihat anak bimbingnya pelan-pelan menyusun bahan-bahan skripsinya, dengan mata yang berkaca-kaca. Sesekali mengusap ketika ada air yang lolos saat ia mengedipkan mata.

“Ini baru dimulai, jangan senang dulu,”cetus Mew membuat pergerakan tangan itu berhenti.

Pria tersebut — Tay, membalikkan badannya, dengan bibir begetar menahan air mata, bersama senyuman yang sangat sulit ia kontrol sedari tadi.

Tay menunjuk bangkunya yang ia duduki, “Tapi pak, sebenernya—buat duduk disini sekarang saja saya masih merasa kaya mimpi. Saya—saya pikir, sampai akhir saya tidak akan pernah diberikan kesempatan untuk duduk disini sama sekali. Saya pikir—perjuangan saya ini sudah ditentukan akan berujung kegagalan. Jika bukan karena bapak.”Air mata pun mulai mengaliri pipinya, pria itu tersenyum getir yang membuat Mew sedikit tertegun.

Lantas tindakan dari Tay setelahnya, langsung meremas kuat hati nurani Mew. Pria itu, ia membungkuk badannya begitu dalam kepadanya. Dengan isakan tergugu dan badan yang sudah bergemetar hebat. Pria itu, mengucapkan kalimat yang membuat Mew untuk pertama kalinya merasa tersentuh selama ia mengajar disini. Ia tidak pernah mendengar ucapan terima kasih setulus itu. Sampai akhirnya ia dengar sendiri diucapkan oleh anak didiknya itu hari ini.

“Terima kasih, Pak. Terima kasih sudah membimbing saya sampai di titik ini. Terima kasih sudah menjadi dosen saya. Dosen anak-anak. Menjadi orang tua kami. Memarahi kami. Mendoakan kami. Saya minta maaf dulu mungkin pernah membuat bapak kesal dan kecewa dengan perbuatan yang saya lakukan di masa lalu. Tapi, saya sangat berterima kasih sekali karena bapak—tidak pernah melepaskan genggaman bapak untuk menuntun saya disaat satu persatu orang yang saya sayangi pelan-pelan meninggalkan saya—saya berterima kasih pada bapak yang menemukan saya dan menarik saya yang hampir terjun dari gedung kampus hari itu— dan memberi saya harapan saat bapak bilang, ingin melihat akhir dari perjuangan saya—saya tidak akan pernah melupakan kata-kata bapak itu—saya sangat senang bisa bertemu dan belajar banyak dari bapak tentang banyak hal ....”

Tay kembali menegakkan badannya dengan mata yang sudah bercucuran air mata. Dan untuk menutupinya, ia melangkah kakinya dan memeluk pria paruh baya itu dengan perasaan penuh terima kasih.

Sedikit sesenggukan saat ia merasakan kepalanya diusap dengan sebuah bisikan dari Pak Mew yang terdengar tulus, “Bayar semua itu dengan ijazahmu, Te.”

Tay tertawa sedikit lalu mengangguk. Memberikan janji.


Diluar ruangan, ada kelima pria yang sedari tadi menunggu dengan sabar. Mix dan Earth terus-terusan menengok kebelakang berharap pintu itu kembali terbuka. Setelah beberapa saat yang lalu, dosen yang menguji Tay mulai keluar satu persatu.

Neo bilang mereka harus menunggu Tay sendirian dulu didalam bersama Pak Mew. Membiarkan keduanya ruang untuk berbicara. Membuat Mix yang hampir masuk tak sabar mengurungkan niatnya.

.

Pond dan Phuwin berdiri tak jauh dari mereka.

Mendengarkan celotehan Mix, Earth dan Neo yang membuat skenario apa yang akan mereka ucapkan ketika Tay keluar. Hal itu lantas membuat Phuwin mendengus tersenyum dan beranjak bangun. Ia mulai berjalan menjauh.

“Mau kemana?”tanya Pond yang sadar atau memang tak pernah melepaskan pandangannya terhadap pria manis itu.

Phuwin melirik sebentar, “WC bang,” jawabnya singkat.

Pond mengangguk dan mengikuti Phuwin. Ia juga ingin ke kamar mandi. Meninggalkan Earth, Mix dan Neo yang tidak menyadari kepergian mereka.

. .

Tidak ada percakapan selama di perjalanan. Suasana terasa sunyi senyap. Pond tidak terkejut sama sekali, karena yang ia dampingi adalah Phuwin bukan Neo ataupun anak lainnya, anak yang bahkan tidak pernah ia lihat tertarik dengan banyak hal. Pond pun merasa tidak perlu mencari topik pembicaraan, karena diamnya ia — membuat pria disampingnya menjadi lebih nyaman.

“Bang Te bakal baik-baik aja,”sebuah suara membuka obrolan membuat Pond mengerjapkan mata.

Ia melirik ke arah pria yang lebih muda berbicara, namun tetap menatap lurus ke depan.

“Dia orang pintar dan tahu apa yang harus dia lakukan.”

“Siapa?”

“Bang Te.”

Pond tersenyum mengakui. Phuwin juga, meskipun hanya garis yang amat tipis.

“Kenapa dia gak mau jujur sama kita ya?”tanya Pond tiba-tiba sekali lagi.

“Soal apa?”

“Identitasnya saat pernah menjadi Presiden Mahasiswa dan pernah menjadi perwakilan sebagai mahasiswa yang memiliki nilai tertinggi Jurusan Hukum diangkatannya.”

Phuwin menolehkan kepalanya kaget, “Abang tahu?” kali ini dengan ceroboh, memberikan wajah polosnya.

Pond mencuri lihat ekspresi itu diam-diam menyimpannya dalam hati. Mau dewasa bagaimanapun juga, cashing anak itu tetaplah anak yang berusia delapan belas tahun.

“Sedikit. Gua kan satu jurusan sama Bang Te, jadi gak mungkin gak tahu sepak terjang dia dulu, lo sendiri kenapa bisa tahu?” tanyanya balik penasaran.

“Dia pernah panik mau ngisi KRSnya dan minta bantuan gua, dari situ gua bisa lihat nilai-nilainya dia. Karena penasaran, gua akhirnya nanya sama Bang Gun tentang latar belakangnya Bang Te,” jawab Phuwin.

Pond mengangguk pelan. “Mungkin dia nyamannya begitu.”

“Mungkin...”

. .

“...karena gak semua masa lalu yang kita punya harus diceritakan,” lirih Phuwin begitu halus, hingga tidak didengar oleh Pond yang mulai sibuk bermain dengan ponselnya.


Khao tidak bisa fokus mendengarkan ucapan Podd sedari tadi. Matanya tak bisa lepas dari ponselnya terus-terusan. Sesekali melirik berharap mendapatkan informasi terbaru dari abang paling tua yang tinggal bersamanya sekarang.

Melihat itu membuat Podd meremas tangan Khao agar tersadar dari lamunannya.

“Mikirin apa sayang?”

Khao terkesiap kaget, ia membalas remasan itu dan mengusap wajahnya kasar. Ia mengambil ponsel dan menggoyangkannya pelan.

“Hari ini Bang Te sempro, aku nungguin kabar dia daritadi.”

Podd membulatkan mulutnya paham. Kemudian, ia mengulurkan tangannya dan mengusap helai rambut kekasihnya dengan sayang.

“Temanmu sedang berjuang sekarang, jadi kamu juga jangan kalah sama dia ya~” semangat Podd membuat Khao tersenyum.

Percakapan itu terputus, saat nama Khao dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan yang beberapa bulan ini, mulai kembali dikunjungi.

. .

“Selamat siang, Dokter Podd,” sapa perawat disana yang kebetulan melihat Podd yang terduduk diruang tunggu ruangan psikiatri, membalas dengan senyuman ramahnya.


Luke terus mengecek handphonenya berkali-kali menggigit jari tak mendengarkan penjelasan dosen menerangkan materi. Ia kesal karena harus mengulang matkul tersebut, dan membuatnya tidak bisa ikut menemani pria yang sudah ia anggap abang sendiri — tengah berjuang di luar sana.

Ia sangat gusar dan hal itu juga terlihat oleh Joss yang ada di kelas itu.

“Udah selesai belum?” bisik Joss yang tahu apa yang lagi dikhawatirkan oleh sahabatnya.

Luke menggeleng singkat dan lagi-lagi mengecek ponselnya.

“Tunggu aja sebentar lagi, jangan lihat hape terus, lo udah diliatin sama Pak Singto berkali-kali,” tegur Joss agar pria itu bisa sedikit lebih tenang.

Luke menghela nafasnya berusaha mengikuti saran Joss. Ia mulai menatap lurus ke depan — dengan mata dan pikirannya yang tentu saja tidak berada disana.


Setelah mendiskusikan hasil revisinya sebentar dengan mata yang sembab. Tay ingin cepat-cepat keluar dari sana. Itu karena ia bisa mendengar celotehan teman-temannya dari dalam. Sedikit merutuki ingin membekap mulut teman-temannya yang menunggunya di luar, mulai meracau tidak jelas.

“Jangan bilang Bang Te disuruh ganti judul?”

“Bisa jadi, kan dia agak bodoh.”

“Ih masa gak dikasih keringanan sih sama dosen-dosen penguji itu. Bang Te kan hantunya kampus, kasihan dikitlah baru juga sempro.”

“Muka Bang Te agak slengekan sih, bikin orang pengen ngebantai dia.”

Tay ingin mengumpat dari dalam kalau tidak ingat sedang berdua dengan siapa.

“Kamu punya teman-teman yang baik ya?” sindir Mew yang juga ikut mendengar.

Tay tersenyum palsu, dengan kedutan di ujung bibirnya, “Iya, Pak. Teman yang baiikkkk sekali~” ujarnya dengan menekankan kata ‘baik’.

Mew tertawa dan menutup laptopnya. “Pertahankan orang-orang seperti itu. Jangan pernah sekalipun kamu kehilangan mereka. Karena orang-orang seperti itu yang biasanya akan memberikan keloyalitasan mereka dengan setia sama kamu sampai akhir. Kamu beruntung punya teman-teman seperti itu disekelilingmu,” nasihat Mew sebelum membiarkan Tay pergi dari sana.

Tay tersenyum mengangguk dan tak lupa pamit kepada Pak Mew. Sebelum akhirnya ia membuka pintu ruangan, untuk bergabung bersama adik-adiknya yang tak sabar menunggunya keluar.

20 Agustus 2010|10.03 am

Phuwin kecil menatap malu-malu. Sesekali melirik dari balik rok milik maminya. Mami tersenyum dan berusaha untuk membiarkan Phuwin keluar dari persembunyiannya.

“Ayo keluar sayang, kenalan dulu sama anaknya temen mami,” bujuk mami agar Phuwin mau bermain dengan sosok yang sedikit tua dua tahun darinya — juga bersembunyi dibalik badan ibunya.

*

pranburri villa | 19.10 pm

Siang telah berganti malam, kepulan asap dan suara riuh dari bergerombolan pria mendominasi heningnya malam kala itu. Mereka — anak-anak Safehouse, tengah asyik membakar semua daging yang Pond dan Phuwin belanjakan tadi pagi. Meskipun banyak keluhan keluar dari mulut Phuwin saat membaca pesan dari Earth, dia tetap patuh membeli semuanya. Dengan kartu Luke tentu saja.

“Bang Te udah baikan?” tanya Khao masih khawatir mendongak ke atas, menatap jendela kamar Tay yang tertutup tirai rapat.

Podd yang mengipasi daging ditaruh oleh Mix di atas jaring memberikan atensinya kepada sang kekasih, “Barusan udah dikasih obat dan sekarang dia istirahat tidur lagi.”

Luke yang mendengar percakapan kedua pasang kekasih itu merasa bersalah, seharusnya ia sedikit perhatian terhadap abang tertua mereka. Seandainya ia lebih peka ... harusnya ia saja mengambil alih mengemudi—

“Jangan menyalahkan diri lo sendiri, Luke. Kita kan gak ada yang tau kalau kejadiannya bakal kaya gini.” Joss sudah memahami perasaan temannya itu. Ia mengelus bahu pria itu guna menguatkan.

Pond, Phuwin dan Mix tidak banyak bicara. Mereka merasa diam menjadi solusi terbaik untuk saat ini.

Diam-diam, mereka sudah memisahkan bagian Neo agar anak itu bisa makan. Sejak Tay memuntahkan isi perutnya — Neo tidak pernah melepaskan pandangannya dari sang abang. Ia terus berada disampingnya dan dengan setia merawatnya.

Seperti itulah Neo.

. . .

Merasa paling tua setelah Tay — Earth yang sedari diam akhirnya mulai mengangkat pembicaraan.

“Kalau misalnya sampai besok pagi tidak ada perubahan atau malah semakin memburuk kondisinya, kita semuanya izin kuliah satu hari dan membawa Bang Te ke rumah sakit terdekat, sepakat?” putus Earth sambil melirik Phuwin. Jujur, ia sangat takut jika anak itu menolak, karena kendaraan miliknya sangat dibutuhkan dalam kondisi darurat seperti sekarang.

Phuwin menghela nafasnya dan berdiri, “Gua gak bisa bilang gak kan kalau kondisinya udah kaya gini?” ujarnya sambil berjalan masuk ke dalam rumah.

Semuanya menghela nafas lega karena Phuwin masih bisa diajak kerja sama.

Pond yang sedari tadi memperhatikan, diam-diam ikut beranjak menyusul Phuwin.


Flashback

Lagi-lagi gerutuan Phuwin terdengar jelas di telinga Pond. Kali ini ada Khao juga disana masih memasak dan sudah terbiasa.

“Gak mau. Katanya nanti malam langsung pulang. Kok melenceng dari rencana?” protes Phuwin tidak terima.

Pond dan Khao berusaha tidak menanggapi karena mereka tahu akan kena semburan mulut pedasnya Phuwin juga bila ikut menimpali.

“Ish, gak mau tau gua tetep mau—”

HOEKK ... HOEKK ....

Ketiganya terdiam dan langsung menatap satu sama lain.

“Suara apa itu dek?” Khao yang pertama kali sadar mematikan kompornya, mendekati Pond dan Phuwin yang langsung berdiri.

Suara pintu kamar Earth dan Mix dari lantai dua terbuka. Earth keluar dengan masih memakai handuk. Dia melihat Pond, Phuwin dan Khao ada di bawah dekat dapur — Podd sudah menghilang, mencari rokok di luar.

“Kalian dengar?”

Belum sempat ketiganya menjawab, suara muntahan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dan lama dari arah kamar Tay.

Earth langsung menghambur dan membuka pintu yang untungnya tidak dikunci — disusuli oleh ketiga orang yang dibawah berlari ke atas.

. . .

“Bang Tee ...,” panggil Earth saat melihat kamar tersebut kosong dengan pintu kamar mandi yang terbuka.

Earth ingin memanggil sekali lagi — jika tidak dipotong oleh suara muntahan dari arah kamar mandi yang terdengar lebih jelas.

“BANG LO GAPAPA?” teriak Earth membuat Pond, Phuwin dan Khao yang baru saja masuk semakin cemas. Apalagi Earth mengurut tengkuk Tay yang terus-terusan mengeluarkan isi perutnya.

. . .

“AMBIL AIR ANGET DAN SURUH NEO PULANG SEKARANG!!!” teriakan Earth sungguh menggelenggar hingga membuat Mix yang baru keluar dari kamar mandi, bergantian setelah Earth selesai mandi, terkejut bukan main.

Flashback End


Pond tersenyum. Ketika menyadari sosok yang ia cari memasuki kamar tidur teman mereka yang paling tua. Ia tahu, jika anak yang besar gengsinya itu sebenarnya sangat khawatir dengan kondisi Tay meskipun tidak ia perlihatkan. Pond menyadari itu semenjak kejadian insiden ketika dia pingsan waktu lalu.

Adik kecil mereka di Safehouse, diam-diam memiliki kepedulian yang tinggi terhadap mereka. Meskipun jiwa tsunderenya amat mendominasi.

Terlihat jelas saat siang tadi, ketika Neo berinisiatif tidak ikut ke pantai bersama yang lain. Phuwin pun mencari alasan agar tidak ikut serta dengan bilang — “Cuacanya panas, kalian aja.”

Semuanya mengetahui niat baik anak itu tapi mencoba terlihat berpura-pura tidak tahu. Agar menyelamatkan harga diri Phuwin yang tinggi.

. . .

“Gak usah pikirin omongan gua tadi siang, kalau Bang Te sampe besok pagi demamnya gak turun dan kondisinya semakin parah, kalian pake aja mobil gua buat ke rumah sakit,” ujarnya cepat.

... dan sebelum Neo sempat menjawab, Phuwin segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Tidak menyadari keberadaan Pond dan melewatinya begitu saja.

Namun, sebelum Phuwin pergi jauh ...

Pond sempat menangkap semburat merah pekat di kedua telinga Phuwin yang berlari meninggalkan mereka.

. . .

“Dia anak yang manis kan?” sebuah seruan pertanyaan mengejutkan Pond.

Ia melihat sahabat karibnya itu tersenyum jahil kepadanya. Melihat itu, Pond berusaha mengatur ekspresinya agar terlihat senatural mungkin.

“Biasa aja.”


— Halaman , 19.10 pm

Siang telah berganti malam, kepulan asap dan suara riuh dari bergerombolan pria mendominasi heningnya malam kala itu. Mereka — anak-anak Safehouse, tengah asyik membakar semua daging yang Pond dan Phuwin belanjakan tadi pagi. Meskipun banyak keluhan keluar dari mulut Phuwin saat membaca pesan dari Earth, dia tetap patuh membeli semuanya. Dengan kartu Luke tentu saja.

“Bang Te udah baikan?” tanya Khao masih khawatir mendongak ke atas, menatap jendela kamar Tay yang tertutup tirai rapat.

Podd yang mengipasi daging ditaruh oleh Mix di atas jaring memberikan atensinya kepada sang kekasih, “Barusan udah dikasih obat dan sekarang dia istirahat tidur lagi.”

Luke yang mendengar percakapan kedua pasang kekasih itu merasa bersalah, seharusnya ia sedikit perhatian terhadap abang tertua mereka. Seandainya ia lebih peka ... harusnya ia saja mengambil alih mengemudi—

“Jangan menyalahkan diri lo sendiri, Luke. Kita kan gak ada yang tau kalau kejadiannya bakal kaya gini.” Joss sudah memahami perasaan temannya itu. Ia mengelus bahu pria itu guna menguatkan.

Pond, Phuwin dan Mix tidak banyak bicara. Mereka merasa diam menjadi solusi terbaik untuk saat ini.

Diam-diam, mereka sudah memisahkan bagian Neo agar anak itu bisa makan. Sejak Tay memuntahkan isi perutnya — Neo tidak pernah melepaskan pandangannya dari sang abang. Ia terus berada disampingnya dan dengan setia merawatnya.

Seperti itulah Neo.

. .

Merasa paling tua setelah Tay — Earth yang sedari diam akhirnya mulai mengangkat pembicaraan.

“Kalau misalnya sampai besok pagi tidak ada perubahan atau malah semakin memburuk kondisinya, kita semuanya izin kuliah satu hari dan membawa Bang Te ke rumah sakit terdekat, sepakat?” putus Earth sambil melirik Phuwin. Jujur, ia sangat takut jika anak itu menolak, karena kendaraan miliknya sangat dibutuhkan dalam kondisi darurat seperti sekarang.

Siang telah berganti malam, kepulan asap dan suara riuh dari bergerombolan pria mendominasi heningnya malam kala itu. Mereka — anak-anak Safehouse, tengah asyik membakar semua daging yang Pond dan Phuwin belanjakan tadi pagi. Meskipun banyak keluhan keluar dari mulut Phuwin saat membaca pesan dari Earth, dia tetap patuh membeli semuanya. Dengan kartu Luke tentu saja.

“Bang Te udah baikan?” tanya Khao masih khawatir mendongak ke atas, menatap jendela kamar Tay yang tertutup tirai rapat.

Podd yang mengipasi daging ditaruh oleh Mix di atas jaring memberikan atensinya kepada sang kekasih, “Tadi sore sudah di kasih obat sama Neo, sekarang udah tidur lagi.”

Luke yang mendengar percakapan kedua pasang kekasih itu merasa bersalah, seharusnya ia sedikit perhatian terhadap abang tertua mereka. Seandainya ia lebih peka ... harusnya ia saja mengambil alih mengemudi—

“Jangan menyalahkan diri lo sendiri, Luke. Lo gak tau.” Joss sudah memahami perasaan temannya itu. Ia mengelus bahu pria itu guna menguatkan.

#HOLIDAY

Pranburi Beach | minggu, 13.12 pm

Podd tersenyum menatap sang kekasih manisnya bergelut mesra di dalam rengkuhannya — sebelum akhirnya lengkungan bibir itu turun ke bawah, ketika beberapa detik kemudian, ia mendengar lengkingan suara dari seseorang di balik dapur.

“BANG KHAOOO!! MANASIN KOMPOR INI GIMANA CARANYA!!” teriak Pond yang baru saja pulang satu jam yang lalu — setelah diplonco abang-abangnya dari agenda belanja yang menyebalkan. Tidak buruk karena sedikit terhibur mendengar gerutuan pedas dari bibir patnernya kala itu, Phuwin.

“Sebentar ya mas ...,” mencoba melepaskan pelukan dari sang pacar, Khao beranjak menuju ke arah sumber suara.

Membuat Podd berusaha untuk bersabar dalam membagikan perhatian pacarnya untuk sahabat-sahabat jahanamnya.

. .

“Apa dek?” tanya Khao mendekati Pond yang sedari tadi sibuk mencari cara untuk menghidupkan kompor.

Phuwin yang menunggu Pond yang telah menjanjikan memasak untuknya, hanya menonton dari kursi makan. Menatap abangnya kesusahan.

“Bang ini gimana?? Kok pencet-pencet kaya gini?? Pond frustasi dengan kecanggihan teknologi yang membuatnya berpikir ingin mengambil semua bahan masakan tersebut dan mencoba membuat api untuk memanaskannya. Sangat kreatif, seakan bisa saja.

Khao mengoperasikan kompor elektrik yang sudah diajarkan Luke tadi malam saat mereka sampai. Tentu saja orang-orang seperti Pond dan yang lain melewatkan bagian dapur begitu saja tidak akan paham mencari cara untuk menghidupkannya.

Krataktaktaktak barrrr

“Nah, udah hidup.”

“Makasih bang—”

“Mau masak nasi goreng ya? Abang aja yang masakin,” tawar Khao mengajukan diri membuat mata Pond dan Phuwin yang mendengarnya bebinar senang.


Mix kembali tertidur meskipun sempat terbangun dan bermain sebentar bersama Neo dan Earth. Hangatnya air setelah mandi dan suasana sejuk udara pantai yang menerpa membuat mata itu menjadi berat. Salahkan dirinya yang terjebak di dalam mobil dimana anak-anaknya masih belum terlalu pandai mengemudi. Hanya Phuwin, itu pun disangsikan oleh yang lain untuk menyerahkan posisi pengganti untuk Mix saat ia lelah. Alhasil, Mix terus mengemudi dari Bangkok sampai ke sini.

“Siw, lo kesini bukan karena mau tidur kan? Ayo bangun! Luke sama Joss ngajakin kita ke pantai sebentar lagi.” Earth mencoba untuk membangunkan patner in the crime-nya dengan menepuk betis Mix. Tetapi tidak ada pergerakan sedikitpun dari sang empu—

“Yakin gak mau lihat Luke, Joss dan Bang Podd pake baju renangnya—”

SRAKKKK

. . .

“AYO PERGI ERD!!! GUA DAH BANGUN DAN SADAR SEPENUHNYA!!! DADA I'M COMINGGGGG!!!” teriak Mix cepat — meninggalkan Earth yang belum tuntas menyelesaikan omongannya.

“Agak sialan.”


“Te, sorry ganggu liburan lo, tapi gua butuh bantuan lo buat meriksa denda penjualan serat kain lap di Vietnam ....”

“Hm, kenapa?”

Suara helaan nafas terdengar, suara New terdengar bergetar di seberang telepon sebelum melanjutkan bicara, “Kacau Te, customer meminta kita untuk memeriksa kondisi FTA sekarang yang ternyata ada penambahan produk barang. Tetapi mereka menyebutkannya cuma dalam kontrak lisan dan Thanat melewatinya. Dia gak mikir banyak soal itu seperti sebelumnya kontrak kita diberlakukan.”

“Bukannya kapal itu berangkat besok?” Tay berusaha tenang, ia mengambil sebatang rokok dan menghembuskannya hingga asap itu mengepul ke luar jendela.

Ia melihat ke arah bawah yang terdengar agak bising. Anak-anak semuanya sedang bersiap-siap pergi ke pantai. Neo yang tidak sengaja mendongakkan kepalanya mendapati Tay yang masih berdiam di kamarnya lantai dua. Anak itu melambaikan tangannya ke arah Tay.

“BANG, AYO TURUN!! KITA BENTER LAGI BERANGKAT!!” Neo berusaha menguatkan suaranya agar sampai ke Tay. Namun hal tersebut juga mengundang perhatian anak-anak lainnya.

Tay menggeleng dan memberikan gesture tangan untuk tidak menyertakannya dalam perjalanan mereka. Ia ingin berdiam diri di kamar villa saja. Berkas-berkas data yang diberikan Arm, laptop yang menyala dan tak lupa juga bab 2 skripsi yang sudah di revisikan oleh Pak Mew telah menunggu manis untuk diselesaikan.

Tay ingin menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda, ditemani suara deru ombak dari arah selatan dan angin pantai yang berhembus sepai-sepoi.

“Te ....”

“Gua masih denger, Wi.”

“Kapalnya emang berangkat besok. Tapi costumer kita gak mau ngalah dan mereka bakal membatalkan kontrak kalau kita gak bisa memenuhi permintaan mereka sesuai dengan tanggal yang sudah disepakati sebelumnya.”

Tay diam saja. Mengambil skripsinya dan membaca hasil revisi yang penuh dengan coretan merah. Ia sedikit menyeringai merutuki dosen pembimbingnya yang tidak punya hati nurani.

“Gimana kalau kita mesen ulang?”

Tay menggeleng meskipun tahu New tidak akan melihatnya, “Gak bakal sempet, besok berangkatnya ...,” sanggah Tay cepat, “kecuali ada kapal lain lagi yang datang dengan cepat.”

“Te ... gimana ... abang bakal marah sama kami kalau dia tahu ... gua dan Thanat gak berani bilang ...,”lirih New pelan, amat pelan dan hampir tidak bisa didengar Tay — kalau suasana villa itu tidak sunyi tanpa teriakan anak-anak Safehouse.

“Selesaikan prosedurnya dan kalian berdua coba cari kapal lain yang berangkat di hari yang sama besok, kalaupun tetap gak dapat—konfirmasikan sama Namtan. Minta dia mencari pengiriman melalu transportasi udara. Cuma itu jalan satu-satunya,” usul Tay sambil mengetik revisi skripsi yang dimana dengan biadabnya oleh Pak Mew meminta Tay untuk mengulang semuanya.

“Biaya yang dikeluarin pasti banyak ... dan abang pasti gak bakal suka itu.”

“Prioritaskan untuk mencegah pembatalan kontrak, kepercayaan klien kita dipertaruhkan. Bilang itu sambil meminta maaf dengan tulus. Suruh Thanat.”

Tidak ada lagi percakapan. Hanya suara ketikan Tay yang menemani kesunyian dari keduanya.

“Te?”

“Apalagi?”

“Bukannya lo lagi liburan? Kok gua dengerin lo kaya lagi ngetik sesuatu?”

“Gak ada kata liburan buat orang-orang yang ngejer wisuda kaya gua, Wi. Udah dulu telponnya gua tutup.”


AWC Studio, Bangkok | 12.36 pm

I think it's enough to be perfect to be next to you, but you just want me to be able to smile happily with you ...

Mata Luke terlihat jauh dan kosong sejak Tay mengajaknya untuk pergi, bahkan membiarkan Tay yang menyetir mobilnya — kendatinya tak pernah ia lakukan karena merasa tidak enak untuk membiarkan orang yang lebih tua menyetir. Luke selalu seperti itu, selalu sopan dengan siapapun.

“Mikirin apa dek?” tanya Tay mendekat ke arahnya, setelah menyelesaikan pekerjaannya dan pamit dari model-modelnya. Hari ini dirinya tidak terlalu sibuk.

Luke tersenyum dan menggeleng, “Gapapa bang, gua gapapa ...,” jawabnya seakan benar-benar tidak terjadi sesuatu.

Tay memicingkan matanya tidak percaya. Tay tahu — orang seperti Luke tidak bisa dipaksa untuk berbicara. Orang sepertinya harus dibujuk pelan-pelan.

Oleh karena itu, cuma ini satu-satunya cara terakhir yang ia pikirkan sebagai sesama pria — agar dapat berbincang lama dan nyaman untuk mengeluarkan unek-uneknya.

Tay mengeluarkan stok rokok terakhinya.

“Mau?” tawarnya sembari menyelipkan satu batang ke mulutnya. Tay menyodorkan bungkus tersebut ke arah Luke. “Cepat, tangan gua pegel,” paksanya.

Alhasil, Luke mengambil satu dan mengambil pematik andalannya untuk menghidupkan rokok.

“Jadi coba ceritakan, akan abang dengar ...,” pancing Tay pelan mencoba menggali apa yang disimpan oleh Luke.

Diam sebentar. Luke menimang agak sedikit lama, sebelum menghembuskan nafasnya amat berat. Membuat siapapun mendengar akan menerka-nerka masalah berat apa yang ia hadapi.

“Kenapa? Gak bisa cerita?”

“Gua gak tau harus mulai darimana bang.”

“Gapapa ceritain aja terserah darimana, abang bakal dengerin kok,” bujuk Tay lagi. Berusaha mengambil simpatik milik Luke.

Dan berhasil ... Luke mulai menceritakan kejadian semalam dan tadi pagi semuanya pada Tay.

.

“Apa menurut abang, menjadi orang baik itu sebuah kesalahan?” tanya Luke setelah menyelesaikan ceritanya.

Tay mengerutkan dahinya, tidak menjawab dan diam saja membiarkan Luke untuk kembali berbicara.

”... dimana lo ngerasa itu adalah tindakan yang udah paling bener — tapi nyatanya kebaikan lo itu malah ngerusak segalanya, orang yang ingin lo bikin bahagia ternyata tidak mau itu ... gak mau lo memaksakan diri buat dia ....”

“Apa lo juga ikut bahagia sama dia saat lo ngelakuin itu?” tanya Tay pelan.

Luke tidak menjawabnya segera, ia terus memandang pemandangan yang sedari tadi ia lihat — dimana sosok Arm dan Thanat di sudut tengah bertengkar kecil, dengan diakhiri kepala Thanat yang dipukul oleh Arm karena gemas.

“Bahagia itu yang seperti apa? Konsep bahagia yang gimana yang dia mau? Bukannya gua bakal bahagia kalau dia bahagia?” Luke menatap Tay dengan mata yang benar-benar tidak mengerti, sedikit memburu. “Yang kaya gimana bang? Apa yang dia mau sebenarnya dari gua? Bukannya sudah cukup dengan gua yang selalu ada disamping dia, menemani dia dan memberikan apa yang dia—”

“Lo bahagia dengan itu?”

Luke menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. Menggeleng pelan. “Gua gak tau ... gua gak tau gua bahagia apa gak bang dengan itu ... gua juga gak tau tentang diri gua sendiri sebelum Fah bilang kaya gitu ke gua ...,” jawabnya yang benar adanya. Ia benar-benar tidak tahu.

“Dia bilang kaya gitu karena mikirin lo, Luke. Dia mau lo bahagia untuk diri lo sendiri bukan karena orang lain. Itu yang dia mau.” Tay menerangkan ucapan Luke — menyesap rokoknya sebelum membuang lintingannya ke tanah dan menginjaknya guna mematikan bara apinya.

Bibir Luke tertutup rapat, tidak bisa membalas.

“Pernah gak lo ngelakuin sesuatu yang bener-bener lo mau? Tanpa mikirin orang lain? Menjadi egois dan menginginkan sesuatu?”

Luke termenung berusaha mengingat. Ingatan sejak kecilnya kembali berputar. Begitu cepat. Kematian ibunya ... kesedihan ayahnya ... ekspektasi ayahnya ... semuanya menyampur dalam ingatan dan membuatnya seketika merasa mual untuk membayangkannya lebih lama lagi.

Tay memperhatikan semua gerak-gerik Luke yang tidak seperti biasanya. Entah karena memang pria itu dalam kondisi yang tidak stabil. Hari ini ekspresi Luke yang selalu tersenyum itu — mudah sekali dibaca oleh Tay. Anak ini ternyata menyimpan banyak hal.

“Memang kadang ada rasa kita ingin membuat orang yang kita sayangi bangga sama kita ...” kembali teringat, ekspresi wajah ayahnya saat itu, membuat Tay tersenyum pedih, ”... tapi jika kita selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk mereka tanpa memikirkan diri kita sendiri, itu juga bisa jadi sebuah penyakit untuk orang lain dan diri kita sendiri nantinya tanpa kita sadari dek.”

Merasa tidak ada tanggapan, Tay kembali melanjutkan ucapannya.

“Lo gak harus selalu senyum untuk orang yang lo sayang, lo gak harus selalu tertawa untuk orang yang lo sayang, lo bisa marah saat lo kesel, lo bisa nangis saat lo sedih, lo juga bisa egois untuk dapetin apa yang lo mau. Lo bisa ngelakuin itu semua karena lo boleh ngelakuin itu, Luke. Itu manusiawi. Lo bisa jadi diri lo sendiri buat orang yang lo sayang ...”

Luke tidak sanggup mendengarkan lebih banyak lagi — ucapan Tay benar-benar menamparnya dengan telak. “G—gua takut bang ...,” lirihnya pelan.

“Takut apa?”

“Gua takut keegoisan gua dapat membuat mereka terluka, terutama untuk orang-orang yang gua sayang,” jelasnya dengan mata yang penuh sarat kesedihan.


Flashback 5 tahun yang lalu...

Luke hampir mengelilingi hampir semua sudut di sekolah, tetapi ia tidak menemukan sosok yang ia cari. Bahkan di pojokan sekolah sekalipun. Fah — sosok yang ia cari, menghilang sejak beberapa jam yang lalu. Setelah dengan semangat pagi tadi akan menyatakan cintanya pada Joss, teman mereka.

“Hikss ... hikss ...,” isakan tangis dari suara yang familiar terdengar ditelinga Luke. Segera ia berlari — mendekat ke arah kandang kelinci sekolah mereka. Ke arah sumber suara.

“Fah?” panggil Luke untuk memastikan jika suara yang ia dengar adalah suara temannya.

“Hiksss ... hikss ...,” kembali terdengar, dan semakin terdengar jelas.

“Fah?” panggil Luke kembali dan sesampainya ia disana — ia melihat Fah yang terduduk menyembunyikan kepalanya dengan kedua tangannya. Terisak tersedu-sedu.

“Luke ... hiks ...,” panggil Fah amat pelan, hampir tidak terdengar.

Luke yang dipanggil — segera berlari menghampiri gadis cantik tersebut. Ia mengangkat pelan wajah runcing yang terlihat mempesona itu yang telah dibasahi oleh air mata.

“Luke ...,” tidak kuat, gadis yang memiliki paras yang memikat itu memeluk dan membenamkan wajahnya di dada milik Luke. Kembali terisak. Semakin kuat sampai tubuhnya gemetar begitu hebat. “Gua ... hiks ... gua habis ditolak Joss ... Gua nyatain perasaan gua dan dia nolak gua Luke ... hiks ... dia bilang dia gak bisa nerima gua ... hiks ... karena sudah ada orang yang dia sukai ....”

Luke terdiam — ia tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Dia tidak bisa memihak siapapun karena keduanya adalah temannya.

Oleh karena itu, ia membiarkan bajunya basah oleh air mata Fah yang terus mengucur deras. Gadis itu benar-benar patah hati pada temannya.


Langit mulai menggelap, matahari sebentar lagi terbenam. Luke masih menemani Fah duduk di samping kandang kelinci yang mereka rawat bertiga. Sedikit bersyukur, melihat Fah mulai sedikit terlihat baik saat gadis itu memberikan makanan pada Toronto, kelinci kecil yang mereka namai.

“Sial, baru pertama kali suka orang malah ditolak,” gerutu Fah kecil membuat Luke sedikit tersenyum simpul.

Keluhan Fah terdengar lucu dipendengarannya.

“Gua kurang cantik ya?” tanya Fah polos menangkup mukanya dengan tangan dan memperlihatkannya pada Luke.

Membuat Luke tidak bisa menahan tawanya dengan keras. Fah cemberut dan mengembungkan pipinya, berpikir jika Luke saat ini tengah mengejeknya.

“Gak usah diejek juga ka—”

“Lo cantik kok.”

Fah terdiam. Tidak berpikir akan mendengar jawaban seperti itu dari temannya.

“Joss goblok karena nolak cewek secantik lo.” Luke menambahi kalimatnya, sesekali tersenyum mencuri pandang.

Melihat semburat merah malu-malu di pipi milik Fah. Manis sekali.

PLAKKK!!

Sebuah tamparan keras dipunggung milik Luke, membuat pria itu terperangah kaget. Tidak ada punya pikiran akan dipukul tiba-tiba seperti itu.

“J—jangan bilang kaya gitu tolol!!” seru Fah sedikit gugup.

Masih meringis, Luke memandang gadis itu sedikit bingung, “Kenapa? Gua salah apa?”

Fah mendelik tidak suka, “Karena ucapan lo bisa bikin orang lain baper, bodoh. Untung lo bilangnya ke gua doang, bukan cewek lain. Coba kalau iya, mau tanggung jawab udah bikin mereka langsung jatuh cinta sama lo?” cerocosnya tanpa jeda.

Luke mendengus tidak percaya, tertawa sebentar.

.

“Tapi gua bener, Fah. Lo cantik ...,” Luke mengulum senyumnya.

.

'... dengan diri lo yang selalu jujur dan apa adanya seperti itu. Sifat lo itu bener-bener cantik, di mata gua ....' batinnya dalam hati.


Luke berusaha sekali menghubungi gadis cantiknya yang tidak mengangkat panggilannya sedari tadi. Ia ingin bertemu Fah. Ingin sekali lagi mencoba memperbaiki hubungan mereka yang salah. Luke ingin mempertahankan hubungan mereka.

Drrttt ... drrttt ...

“Angkat sayang ...,” gusarnya tetap berjalan masuk ke dalam kediaman milik kekasihnya.

Setelah bercerita panjang dengan Abang Tay — Luke segera melesat pergi ingin bertemu kekasihnya.

Ia ingin egois. Ia ingin bersama Fah.

“Fah—”

Tetapi langkahnya terhenti ...

Melihat sosok kekasihnya menangis hebat ...

Dipelukan pria lain, yang jelas terlihat asing dimatanya ...

“Aku masih mencintainya Mek, aku masih mencintai dia ... hiks ... tapi aku gak kuat harus menjalani hubungan seperti ini lebih lama lagi ... hiks ... aku selalu gelisah, Mek. Aku selalu merasa ... hiks ... dia tidak pernah membuka dirinya untuk aku ... aku seperti tidak berharga dimatanya ...,” isaknya keras, mengeluarkan semua apa yang ia tahan selama ini.

Mek — pria yang disebut oleh Fah menghibur dan memeluknya pelan. “Jangan paksakan diri kamu jika dalam hubungan itu kamu selalu merasa sakit. Mungkin benar—kamu belum berhasil untuk menyentuh hatinya. Kamu sudah berusaha keras dan sekarang ...,” sembari berjongkok, pria itu menghapus air mata milik wanita cantik yang terisak itu dengan senyuman lembutnya.

.

”... giliran aku yang berusaha keras menggantikan usahamu itu sekarang.”


Luke terlambat. Ia memundurkan langkahnya pelan, berusaha untuk tidak terdengar oleh mereka berdua.

Luke kembali kalah ...

Bukan karena pria yan tiba-tiba menggatikan posisinya ...

Tapi dengan egonya yang kembali menahan diri untuk tidak egois ...

Luke ... meninggalkan mereka, meninggalkan cinta pertamanya.


TING!

Sebuah pesan terlihat dari layar ponselnya ... dimana isinya adalah sebuah nominal uang yang tiba-tiba masuk kedalam rekeningnya.

Uang itu adalah — uang yang selama ini diberikan Luke untuk Fah.

... yang ternyata selama ini tidak pernah sekalipun dipakai oleh gadis cantik itu... gadis cantik yang bukan lagi miliknya.

“Hiks ....”

Bangkok Hospital | 18 Agustus 2018, 00.01 am

Bisakah anda menjadi pemimpin yang baik, ketika harapan semua orang membuat anda harus mengorbankan orang yang paling berharga?

Beep ... Beep ... Beep

Suara ECG yang berbunyi memecahkan keheningan malam. Membuat pria yang sedari tadi terduduk di samping ranjang, beberapa kali menengok ke arah pria yang tengah tertidur pulas dari masa kritisnya — dimana tubuhnya dibaluti oleh perban meliliti tubuhnya, begitu juga dengan menampakkan wajahnya yang sudah hancur penuh luka.

Pria itu tidak ingin mengingatnya lagi ....

Sebuah ingatan yang terekam jelas — yang membuat Tay tergugu tak sanggup untuk melihat kondisi New menjadi seperti ini karena kebodohan dirinya.

Ia terisak — mengambil tangan milik sahabatnya dan meremasnya pelan, “Wi ... gua mohon, please, buka mata lo sekarang, gua nyesel ... gua mau minta maaf—hiks sama lo, gua siap buat diteriakan lo lagi ... jadi, please ... gua mohon ... buka mata lo lagi ....” harapnya dengan nada putus asa.

.


17 jam yang lalu sebelum kejadian ...

New mengacak pinggangnya — memutar matanya malas, pada Tay yang tengah bersiap untuk turun ke jalan pagi ini. Memimpin mahasiswa lain menyuarakan aspirasi mereka untuk melawan dalam memerangkan hak asasi mereka, juga serta menurunkan otoriter kediktaktoran pihak pemerintah kepada rakyat-rakyatnya. Tay akan melakukan aksi pro-demokrasi terhadap undang-undang pencemaran nama baik paling keras di dunia. Negara itu melarang segala bentuk kritik dalam bentuk apa pun terhadap monarki, termasuk konten yang diposting atau dibagikan di media sosial. Tay ingin memerangi itu bersama rekan-rekan mahasiswanya.

Tay sudah bertekad bulat dan tidak ada yang bisa menghentikannya, meskipun itu New sekalipun — yang diam-diam mencuri mata, khawatir pada kondisi sahabatnya nanti di jalan.

“Apa menurut lo ini sebuah putusan yang benar?” tanyanya pelan, mencoba untuk mengubah pandang pikir sahabatnya.

Tay tersenyum tipis, mengusap helai New sebentar. Kemudian berbalik memasukkan kamera canon kesayangannya — untuk mengabadikan kejadian yang akan berlangsung nanti.

“Gak ada yang bisa halangin gua, Wi. Kalau gua stop disini lantas gimana dengan harapan mereka-mereka yang percaya sama gua?”

New tertawa tak percaya, “Apa peduli setan? Lo bukan presiden. Ngapain lo pusingin mikirin itu? Kuliah lo yang harus lo pikirin bukan urusan tetek bengek kaya gini. Sadar Te, sadarrrrr!!! Hal kaya gini bakal bikin lo dalam keadaan bahaya!!!”

Tay tidak menjawab. Percuma. Mereka berdua memang tidak satu suara sejak kemarin. Mereka terus berdebat tetapi tidak menemukan penyelesaian dalam perdebatan panjang itu. Karenanya, Tay mengambil tas dan memasang maskernya siap meninggalkan sahabat.

Grabb!

“Lo gak bakal berhenti kalau gua larang kan?”

Tay tetap bungkam.

“Gimana ... kalau yang bilang itu ... Gun, apa lo ... bakal kaya gini juga?” New menatap Tay dengan pandangan yang penuh arti. Tangannya sulit untuk ia lepas, takut jika sosok didepannya akan menghilang bila ia melepaskan tangannya.

Tay membalas tatapan New. Kali ini dengan menarik nafas dalam, perlahan mencoba melepaskan genggaman New. Ia kembali mengusak rambut New. Guna menenangkannya.

Tay memeluk New, mengusap punggungnya pelan.

“Meskipun itu Gun, keputusan gua juga gak bakal pernah berubah,” tegas Tay melepaskan pelukannya dan kembali tersenyum melihat raut wajah New begitu jelek — menahan genangan air matanya yang ingin keluar, mengkhawatirkannya.

“Gua bakal jaga diri. Lo gak usah khawatir.”

.

Ucapan itu membuat New tidak bisa menahan Tay lagi. Ia hanya dapat menatap punggung Tay yang perlahan mulai menjauh dan hilang dari pandangannya.


15 jam yang lalu sebelum kejadian ...

“Woi, Nyuwi mana?” tanya Thanat disamping Tay. Dirinya ikut serta mengajukan diri menjadi bagian di barisan paling depan. Ia terlihat begitu bersemangat melihat sekelilingnya, karena begitu banyak mahasiswa yang datang. Membuat jiwa mudanya memberontak ingin keluar. Tidak sabar. Senyumannya melebar.

Tay bersiap-siap — menutup setengah wajahnya menggunakan masker hitam — hanya melihat Thanat sekilas. “Gak gua suruh Nyuwi buat ikut. Takut kalau dia kenapa-napa,” jelasnya singkat yang refleks langsung dianggukan Thanat. Teman mereka yang satu itu memang hanya mempunyai mulut yang tajam, tidak disertai fisik yang kuat.

.

“SIAPA LO NGELARANG-LARANG GUA!!” sebuah teriakan dari belakang — membuat kedua pria itu terkejut. Kaget. Terutama untuk Tay dimana kedua bola matanya membesar. Berbalik tak percaya—melihat sahabatnya yang barusan dibicarakan Thanat, berjalan mendekat ke arah mereka.

Thanat tersenyum sumringah, melihat sahabatnya yang lain — muncul dengan seringai pongah yang sudah menjadi ciri khas-nya. Segera saja Thanat berhambur dan merangkul bahu New senang. “Udah gua duga, lo pasti bakal ikut kita-kita.” Thanat terkekeh yang dibalas wajah dingin milik New yang menatap Tay dengan tatapan datarnya.

“Lo kenapa bisa ada di —”

“Te, ayo siap-siap!! Anak-anak fakultas lain sudah muncul semua!!” sebuah teriakan memotong ucapan Tay yang ingin menginterogasi keberadaan New.

Tay yang tidak bisa berbicara lebih banyak — segera mendekat ke arah New. Berbisik di telinganya dengan cepat agar terdengar oleh pria manis itu, “Inget, lo gak boleh jauh-jauh dari gua dan Thanat. Kalau ada aparat yang datang deketin lo — lo harus lari sekenceng mungkin dan kalau bisa segera masuk ke rumah warga, paham?”peringatannya sedikit marah.

New mendengus dan mengangguk sambil menampikkan kedua tangan Tay dari bahunya. Mengambil masker hitam dan menutup setengah wajahnya.


10 jam yang lalu sebelum kejadian ...

Chaos. Satu kata yang sangat tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi saat ini. Setelah beberapa jam — mereka turun ke jalan dengan sorakan mereka yang membara.

“Saya berdiri di sini bukan sebagai pemimpin kalian. Saya adalah kalian semua. Hanya manusia biasa yang menginginkan keadilan. Hanya manusia biasa yang mencoba untuk menyuarakan pendapat saya—yang satu suara dengan kalian. Ada apa dengan negeri ini? Kenapa mulut kita seakan dibungkam paksa? Kenapa kita selama ini hanya mendiamkan apa yang salah? Kenapa? itu semua karena kita terpaksa dibiasakan untuk menunduk dan mengikuti perintah dari pihak sana. Sudah cukup teman, sudah cukup ... mari kita ubah sejarah dan mulai mencari arti kebenaran yang sesungguhnya!!” teriakan lantang dari Tay yang dibalas dengan sorakan keras dari mahasiswa-mahasiswa berteriak semangat.


9 jam yang lalu sebelum kejadian ...

Semakin parah — ketika aparat kepolisian muncul dan datang menghampiri mereka dengan tembakan gas air mata. Mereka datang bukan untuk membantu, melainkan mencari cara agar bisa menghentikan aksi. Tak jarang, beberapa mahasiswa ditarik kerap dipukuli beramai-ramai oleh mereka — hingga babak belur untuk menakut-nakuti yang lain agar kehilangan semangat juang mereka.

Menyaksikan itu, segera Tay berusaha mengungsikan beberapa mahasiswa-mahasiswa perempuan agar tidak menjadi sasaran penyiksaan yang keji tersebut.

“THANAT!! THANAT!! BAWA YANG PEREMPUAN MENJAUH!! BAWA YANG PEREMPUAN!! histerisnya memberikan komando.

Thanat beserta rekan-rekannya segera mematuhi perintah Tay, tetapi langkahnya seketika terhenti — saat menyadari jika salah satu teman mereka — Namtan, tidak berada dalam jangkauan penglihatannya. Wajahnya memucat.

“TE!!! NAMTAN MANAA???!” Thanat mulai panik — mencoba mencari sahabat cantiknya.

New yang berada di dekat Thanat juga ikut mencari. Ia dan Thanat tidak menemukan jejak Namtan dimanapun.

Tay yang mendengar segera ke tempat yang sedikit tinggi untuk mencari Namtan. Ia melemparkan pandangannya ke semua arah agar dapat menangkap sosok salah satu sahabatnya yang hilang ...

.

Dan ketemu — ia menemukan Namtan tengah terjepit di antara mahasiswa-mahasiswa lain di arah dekat trotoar jalan.

“NAMTAN ADA DI SANA THANAT!! jerit Tay agar bisa didengar oleh Thanat — yang segera melesat menolong Namtan yang hampir ditelan massa.

New mengikutinya dari belakang.

Tay ingin menyusul mereka — jika matanya tidak menangkap sosok mahasiswa lain berlari dari kejaran aparat. Melihat tidak ada yang menolongnya, Tay memutuskan untuk berlari membantu mahasiswa malang itu dulu, meninggalkan ketiga sahabatnya.

Lagipula sudah ada Thanat dan New yang menolong Namtan. Mahasiswa itu lebih membutuhkan bantuan Tay.


8 jam yang lalu sebelum kejadian ...

Namtan terjebak. Dirinya salah melangkah mengikuti gerombolan teman-teman fakultasnya. Seharusnya ia tak menjauh dari Tay dan yang lain. Kini, dirinya terdorong-dorong oleh mahasiswa lain yang berlarian, menghindari tembakan gas air mata.

Psshhh ...

Tembakan ketiga dan kali ini Namtan jelas tidak bisa menghindarinya. Kedua matanya sempat menutup namun tak berhasil menghindar dari tembakan itu. Pelan-pelan, matanya mulai terasa perih dan ia tidak bisa membuka matanya. Semakin pasrah, ketika badannya terseret oleh gerombolan mahasiswa.

“Hiks ... tolonghhh ...,”lirihnya kecil, mencoba menggapai sesuatu dengan lengannya yang terangkat ke atas. Berharap ada seseorang yang menariknya keluar. Ia sangat takut jika dirinya tertangkap oleh oknum-oknum dan akan dipukuli membabi-buta. Ia ingin keluar dari sa—

Grabbb!!

.

“NAMTAN CEPAT GENGGAM TANGAN GUA!! KUAT-KUAT!! JANGAN DILEPAS!!”


Thanat berusaha meraih tangan mungil milik Namtan yang mencoba untuk keluar dari kerumunan itu. Ia tahu itu tangan milik temannya yang kini meringkuk lemah di tanah — beberapa kali terdorong oleh sepak-an orang-orang yang mencoba melarikan diri.

“NAMTAN GENGGAM TANGAN GUA!! KUAT-KUAT!! JANGAN DILEPAS!!” teriaknya — setelah mendapatkan genggaman itu. Ia mencoba menarik Namtan keluar dari sana.

“Thanhh ....”

“GUA UDAH ADA DISINI BARENG NYUWI!! LO JANGAN TAKUT!!”

Namtan mengangguk. Meskipun belum bisa melihat dengan jelas, tetapi mendengar suara sahabatnya masuk ke dalam pendengarannya saja, itu sudah lebih dari cukup. Namtan tidak akan melepaskan genggaman kuat dari Thanat.

“AYO KITA PERGI DARI SINI!! BAHAYAA!!” perintah New — melihat beberapa aparat mulai turun dan mendekat ke arah mereka. Ia berusaha membantu Thanat untuk menarik Namtan tanpa terdorong-dorong dari puluhan mahasiswa yang menabrak mereka.

“NAMTAN AYO BANGUN!!”mendengar itu, Namtan sontak berdiri dan masuk ke dalam rangkulan Thanat.

“AYO CEPAT LA—”

.

Hanya seperkian detik ...

Kejadian terjadi begitu cepat ...

Thanat mencoba menggapai tangan New yang juga mengulurkan tangannya ...

Tetapi tangan lain menghalangi dan menarik New menjauh dari Thanat ...

Gasp!

“NYUWIIIIII!!!” Thanat ingin menyelamatkan sahabatnya—jika sebuah teriakan keras tidak menghentikan langkahnya—

.

“CEPAT LARI BODOH!!! SELAMATKAN NAMTA—UGHHHHHHH!! Larihhh ....”

Dunia terasa amat lambat untuk Thanat saat itu — mendengar teriakan New membuatnya sadar segera membelakangi New membawa Namtan pergi dari sana. Matanya terasa panas dengan air yang telah mengucur deras. Jika saja ... ia sedang tidak membawa Namtan, dengan pasti Thanat akan terjun menyelamatkan New. Ia tidak akan mempedulikan tubuhnya hancur remuk. New ... New ...

“Sialan ... sialan ... kkhhhh—SIALANNNNN!!!”

“Than ... hiks ....”


7 jam yang lalu sebelum kejadian ...

“Makasih Te, kalau gak ada lo tadi gua pasti habis digebuk sama polisi.”

Tay tidak memberikan ekspresi ramah seperti biasanya dan hanya menepuk punggung mahasiswa itu pelan, “Hati-hati, lo gabung sana sama yang lain. Gua mau cari teman gua dulu.”

Mahasiswa itu mengangguk dan pamit mengundurkan diri.

Setelah memastikan mahasiswa itu sudah aman, Tay kembali mengedarkan pandangannya untuk mencari ketiga teman-temannya. Ia berlari kembali ke tempat demo.

“Woi, liat Lee sama Nyuwi gak?” tanya Tay pada mahasiswa yang ia temui.

Mahasiswa itu menggeleng.

Tay mencoba mencari lagi.

“Kin, liat Lee sama Nyuwi gak?” tanyanya pada teman sejurusannya yang berlari mendekat ke arahnya.

Hoshh ... hoshh ... hoshh ...

“Billkin ...?”

“Sebentar gua tarik nafas dulu ... hah ... hah ... lo coba ke arah trotoar deket lampu merah sekarang ... hah ... hah ... Nyuwi ... gua liat Nyuwi di sana — lagi di angkat sama anak-anak teknik.”

Dzinggg ....

Firasat buruk. Tay merasa sekujur tubuhnya mulai terasa dingin, mendengar kabar mengenai sahabatnya. “M—maksud lo apa? Diangkat kenapa?” suaranya terdengar gugup.

“Parah Te, parah ... kami udah coba bantu semaksimal mungkin ... tapi tiga, empat, lima ... ah, sial mereka banyak banget anjing! Orang-orang yang nyerang Nyuwi bersenjata ... kami gak ada yang berani buat deket ....”

Mata Tay berkilat, amarahnya mulai menguasai tapi mencoba ia tahan. “Nyuwi kenapa?” desisnya dingin.

Billkin meneguk ludahnya. Ia tahu. Pria didepannya kini tengah berusaha menahan amarahnya, tetapi berita ini harus ia sampaikan. “Tadi waktu mereka bantuin Namtan, posisi mereka terlalu dekat sama barikade polisi itu ... Thanat berhasil lari bawain Namtan ke tempat kami, tapi Nyuwi ... dia ketangkep Te ... habis badannya ....”


6 jam yang lalu sebelum kejadian ...

Namtan terisak dengan Thanat disebelahnya yang menundukkan kepalanya. Mereka menangisi kondisi sahabatnya yang kini tengah diberikan pertolongan pertama oleh mahasiswa kedokteran yang mereka jumpa di sana. Nama Tay Tawan sangat membantu Namtan dan Thanat untuk membuat mereka segera membantu New setelah habis dihajar. Bahkan, Billkin — menawarkan dirinya sendiri untuk mencari sosok yang paling sibuk di luar sana.

“Than ... ini gara-gara gua—hiks,”isak Namtan bersalah.

Thanat tidak menjawab, ia hanya menatap sosok sahabatnya yang sudah tidak sadarkan diri. Orang-orang yang melihat mereka dari kejauhan menceritakan bagaimana New dipukul oleh tujuh orang dengan tongkat. Dari ujung kepala sampai ujung kaki semuanya tidak diberi ampun. Mereka melihat New meringkuk memohon ampun, namun tidak digubris oleh aparat-aparat itu. Menonton dari jauh saja sudah membuat mereka meringis merasakan kesakitan itu.

Drap ... drap ... drap ...

“Disini Bang Te!!” sebuah seruan membuat Namtan dan Thanat segera menatap ke arah sumber suara. Mereka melihat Tay berlari dengan raut wajah yang amat berantakan akan keringat dan air mata.

Ketiganya saling bertatapan dan mulai berlari mendekat satu sama lain.

Namtan memeluk Tay dengan isakan yang hebat. Thanat tidak berbicara apa-apa—tetapi dapat terlihat dari matanya yang sangat kecewa dengan dirinya sendiri.

“Nyuwi mana?” tanya Tay dengan tegas. Ia belum melihat sosok lemah terbaring tak berdaya di sebuah meja panjang.

Thanat menunjuk dan air mata Tay kembali keluar—melihat sosok sahabat baiknya terlihat sangat mengenaskan, ia memaksakan dirinya untuk berjalan mendekat— “S—Siapa yang membuatnya seperti ini ...”

“Te ....”

Tay mengelus wajah New yang telah bersih dari lumuran darah. Memar-memar yang tercetak jelas membuat Tay mengepalkan tangannya erat hampir memutih.

BUGHHH

Ia memukul pinggiran meja itu sangat keras. Tidak ada yang berani berbicara. Semuanya hening menyaksikan kemarahan yang tidak terlampiaskan itu.

“Mobil ... siapkan mobil ... tolong bantuin gua angkut Nyuwi ke mobil ... kita harus ... harus—hiks ... membawa dia ke rumah sakit ... untuk anak-anak yang terluka juga ... siapa yang bawa mobil koordinir semua tempat dimana—hghhss ... orang-orang membutuhkan bantuan ... demo hari ini cukup sampe disini dulu ... kita harus membawa orang-orang yang terluka ke rumah sakit ... mereka ... mereka ....” Tay kehilangan kata-kata, suaranya sangat tercekat. Air matanya tidak kunjung berhenti membasahi pipinya.

Tapi semuanya tahu ... semuanya tahu, maksud dari perintah Tay. Orang-orang yang terluka, lebih penting dari ego mereka saat ini. Tay tidak ingin mengorbankan teman-temannya lebih banyak lagi.


Dan 5 jam waktu yang tersisa ... dihabiskan oleh Tay, Thanat dan Namtan untuk membawa New ke rumah sakit.


ECG : alat yang dapat merekam aktivitas elektrik di dalam jantung seseorang

Cafe seberang sekolah | Bangkok , 11.50 PM

“Jangan pernah mudah menjanjikan sesuatu jika terasa sulit untuk mewujudkannya. Jangan membuat seseorang dapat kecewa karena harapan yang sudah diberikan—karena kalian tidak akan pernah bisa mengembalikan waktu untuk memperbaikinya.”

Aram berlari kencang seakan-akan bertarung dengan waktu yang terus berjalan. Ia tahu. Sangat tahu. Pekerjaannya dibiarkan begitu saja—bahkan ia tidak lagi membereskannya setelah mencari alasan untuk menyelesaikan rapatnya saat itu juga. Persetan dengan profesional dalam bekerja. Anaknya jauh lebih penting sekarang.

“Pastikan jangan bawa mereka ke tempat yang sempit, gelap dan tidak meninggalkan mereka di tempat asing dalam kondisi SENDIRIAN—mereka masih mempunyai efek trauma dari kejadian dulu, dan itu akan membuat mereka akan histeris jika kalian melakukan tindakan-tindakan bodoh tersebut.”

Peringatan dari Nara tempo hari—membuat Aram merasa tidak tenang sekarang. Sedikitpun. Apalagi tidak ada Thara disisinya yang akan selalu siaga. Aram merasa gelisah tanpa sebab. Dirinya tidak akan tenang sebelum melihat batang hidung kedua anak-anaknya.


Prim dan Prigkhing menggandeng kedua tangan seakan tidak ingin dilepas—dan tentu saja Plustor dapat melihatnya dan tersenyum maklum, merasakan ketegangan dari anak atasannya yang tidak nyaman bersamanya. Plustor tidak marah ataupun tersinggung karena itu, ia sangat sabar menjaga anak-anak dengan tetap menjaga jarak. Agar keduanya nyaman.

“Mau kue? Paman akan belikan kalian kue yang enak. Tunjuk saja!” bujuk Plustor menahan senyum—menatap wajah mupeng dari Prim dan Prigkhing melihat kue-kue berbagai bentuk yang begitu cantik terpajang apik di rak-rak kaca.

“Prig, Prim mau kue itu,” tunjuk Prim berbisik menunjuk sebuah cake yang berlapis krim yang terlihat sangat enak dimatanya.

Plustor menguping—ia menundukkan tubuhnya agar dapat melihat pilihan Prim dengan jelas, “Mau yang ini?” tanya Plustor memastikan.

Prim mengangguk dengan cara membuat seseorang yang melihatnya akan menahan jerit kegemasan—seperti Plustor yang jatuh berkali-kali dengan pesona milik anak-anak Aram dan Thara yang sangat murni. **'Berbeda sekali dengan kedua orang tua mereka yang begitu mesum,' ejeknya dari lubuk hati paling dalam.

“Kalau Prig—mau kue cokelat itu, Paman,” ucap Prig sambil mengetuk-ngetuk kaca menunjuk kue yang dia incar—dengan bibir yang mengerucut lucu.

Plustor kali ini tidak bisa menahan senyumnya lagi. Dirinya mengangguk dan mengeluarkan dompetnya—memakai duit pribadinya sendiri untuk kedua anak yang sangat manis itu, bukanlah keputusan yang buruk.

“Tunggu di kursi sana ya, Prim, Prig, paman akan bayar kuenya dulu,” pinta Plustor menunjuk kursi kosong di dekat jendela—di mana Prim dan Prigkhing yang segera patuh dan mengikuti perintah Plustor dengan berlari-lari kecil.

“Jangan lari-lari sayang—Berapa harga kuenya tadi?”


Beberapa menit kemudian ...

Plustor membawakan nampan berisi tiga kue, dua parfait strawberry dan jeruk, serta satu milkshake cokelat pesanan keduanya juga dirinya—yang disambut senang oleh Prim dan Prigkhing yang serentak bersama merentangkan tangannya tidak sabar.

“Ini minum—”

Drrtt ... drrttttttt ...

Ponselnya bergetar—membuat Plustor menaruh pesanan mereka dan memeriksa panggilannya. Ternyata seorang client penting yang tengah menghubunginya. Ia pun langsung mengangkat dan memberikan kode kepada si kembar untuk pergi keluar sebentar mengangkat panggilan tersebut dikarenakan tempat sana yang terlalu ramai pengunjung—sehingga ia tidak bisa mendengar, dan menyuruh keduanya tetap berada di sana dan memakan kue kesukaan mereka.

—di mana lagi-lagi Prim dan Prigkhing mengangguk mengiyakan yang memulai menyantap parfait mereka, karena takut jika eskrimnya akan cepat meleleh.

“Ya Pak—sebentar maaf jika tidak sopan, saya mau mencari tempat yang sepi dahulu—”

Setelah melihat bayangan Plustor menghilang dari obsidian milik Prim dan Prigkhing—keduanya mendapat pesan jika Aram hampir sampai dan akan menjemput mereka. Hal tersebut membuat keduanya sedikit tenang karena sudah mengetahui posisi Papanya.

Manik hitam milik Prim tidak dapat melepaskan pandangannya terhadap kue yang sedari tadi seakan memanggil dirinya untuk disantap. Ia menyedokkan sedikit potongan kue itu dan memasukkan ke dalam mulutnya pelan-pelan.

Enak ...

Ia merasakan kue itu meleleh di dalam mulutnya.

Kemudian ia menyuapkan lagi kali ini dengan potongan yang besar.

Satu suap ...

Dua suap ...

—*Ia menyantapnya dengan antusias tanpa menyadari jika kue yang baru saja ia makan memiliki bahan dasar kacang yang tidak bisa ia makan.