Catatan Terakhir
Kediaman Vihoraktana | Pukul 19.30 pm
Kediaman Vihoraktana | Pukul 19.30 pm
Kediaman Vihoraktana | Pukul 19.30 pm
“Ceritamu telah usai, namun kamu masih meninggalkan aku di sini, sendirian. Lantas bagaimana aku menutup cerita ini, Sayang?”
New menutup lembaran terakhir kertas diary Tawan, milik mediang suaminya. Membiarkan lelehan air mata pun mengalir di wajah keriputnya yang termakan usia. Ia memeluk diary itu dengan erat, sangat erat. Seakan-akan jika ia lepas sebentar benda tersebut akan lenyap dan menghilang darinya. Jemari gemetar miliknya mengusap penuh kehati-hatian pada sampul yang hampir lapuk dimakan rayap. Satu-satunya peninggalan sang kekasih, bukti dari betapa besar cintanya untuk mereka. Keluarganya. Tak tergantikan.
“Aku masih merindukanmu, Sayang ...,” lirih dari bibir pria renta itu, sembari menggoyangkan kursi goyangnya dengan lemah. Selemah tatapan matanya yang tak bersinar seperti dulu.
Purim mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan papa nya. Sudah hampir seminggu, mereka berada di sana. Tidak ada satu pun dari Purim, Frank dan Nanon berkeingingan untuk pulang —meskipun mereka meminta pasangan masing-masing untuk segera pulang. Entah, rasa ingin menemani New yang kini sendirian begitu kuat. Membuat semuanya enggan untuk pulang ke rumah masing-masing.
“Papa di mana, dek?” tanya Purim menyenggol lengan sang adik tengah yang duduk di sampingnya.
Frank menunjuk kamar orang tua mereka, “Ada di dalam, Bang. Papa masih asyik membaca diary nya ayah,” jelasnya yang memang juga sempat mencari New satu jam yang lalu.
“Papa sudah makan?” Nanon menatap Purim, sedikit khawatir, “Papa belum keluar dari kamar dari jam tiga sore tadi, Bang,” lanjutnya.
Purim menghela nafasnya, ia berdiri diikuti oleh ekor mata kedua adiknya. “Gua ngecek papa dulu, sekalian ngajakin papa buat makan.” Purim membelai helai rambut sang bungsu pelan, “Non, panasin lagi nasi buat papa,” perintah Purim yang langsung dipatuhi Nanon.
Purim masuk. Sedikit mengeryitkan dahinya saat melihat keadaan yang begitu gelap gulita. Tak biasanya New membiarkan ruangan dalam keadaan gelap seperti sekarang. “Pa ...,” panggil Purim sambil meraba mencari sakelar lampu.
CTAK
Lampu dihidupkan, Purim dapat melihat New membelakangi dirinya duduk di kursi goyang kesayangannya. Kursi kebanggaannya Tawan dulu.
Dengan pelan, Purim mendekat. “Pa ... makan yuk, papa belum ma—”
Hening. Tidak ada sahutan dari New. Hanya salah satu tangannya yang terkulai jatuh menendang angin, menandakan jika New sudah tidak ada lagi di sana. Pergi jauh dan tak akan lagi bisa membalas ucapan Purim.
. .
Purim menatap raga New dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia menggigit bibirnya sembari berjongkok. Memegangi tangan yang mulai mendingin.
“Pa, nasinya sudah di angetin sama Nanon ... tapi, kayanya ... papa maunya makan sama ayah ya ...,” setetes air mata mulai mengalir, isakan kecil dari sang sulung mulai terdengar. Sekuat tenaga Purim mencoba mendongak, menatap paras New yang tengah menutup matanya seperti sedang tertidur pulas, dengan tangan yang terkulai tidak lagi memeluk sebuah diary yang dibacanya akhir-akhir ini.
“Papa ... semoga mimpi indah, Abang, Frank sama Nanon titip salam ya sama ayah ... bilang kalau Abang, Frank sama Nanon sayannggg banget sama ayah dan papa ... dan kami sangat berterima kasih, karena kalian sudah menjalani tugas kalian sebagai orang tua kami dengan sangat baik...
”... sekarang, giliran kami ya Yah, Pa, yang akan jadi orang tua paling hebat sehebat kalian,” ucap terakhir Purim membenarkan tangan New agar kembali memeluk diary ayahnya. Tidak menyadari jika Nanon dan Frank mendengar ucapannya dari balik pintu menangis pelan.
Merelakan Papa mereka pergi menyusul Ayah.
FIN.
Coffe shop, Bangkok | pukul 14.05 pm
Keduanya sudah berada di sana, duduk berhadapan ditemani dengan suara lembut music dari cafe — karena tidak ada satupun dari keduanya membuka percakapan. Nanon mengaduk minumannya, menunggu Biru berbicara menjelaskan alasannya untuk mengajak bertemu.
Tidak ada yang memulai, keduanya asyik dengan kegiatannya masing-masing.
. . .
“Apa yang mau lo omongin sama gua, Ru? Penting banget sampe ngebet banget ketemu sama gua,” ucap Nanon disertai tawa renyahnya yang berusaha mengurangi ketegangan suasana.
Seakan tawa milik Nanon menular, pria tampan itu mengulas senyumnya.
Ketegangan diwajahnya perlahan mengendur. Biru menjadi sedikit tenang dan tidak segugup tadi.
“Ada yang mau gua omongin sama lo...” Biru terdiam sebentar sembari meremas kedua tangan yang entah sejak kapan menjadi dingin, “...tentang sesuatu yang penting.” lanjutnya pelan.
“Tentang apa?”
Terdiam lagi.
Biru tidak segera menjawab. Ia mengambil minumannya dan meneguknya cepat. Berharap air itu dapat memberikan dorongan padanya. Melambatkan alunan detak jantungnya yang berdegup begitu kencang —disertai wajahnya yang sudah menunduk merah.
Dirinya terlihat sedikit salah tingkah dan berusaha mencari cara untuk mendapatkan kepercayaan dirinya.
Ia mulai menghembuskan nafasnya pelan, sebelum...
. . .
“Gua... sebenernya gua suka sama lo, Non.”
mengutarakan perasaan terpendamnya pada Nanon.
“Gua... sebenernya gua suka sama lo, Non.”
Nanon tertegun sebentar, walaupun dirinya tidak dapat menyembunyikan raut wajah kagetnya. Ia memberikan senyuman canggungnya. Bingung ingin menjawab apa.
Biru meneguk ludah menunggu balasan Nanon, jelas dengan perasaan yang penuh harap. Ia sudah siap jika dirinya diterima atau ditolak oleh pria manis berlesung pipi itu.
Ia juga sangat siap kalau nanti dirinya malah mendapatkan pandangan jijik dari Nanon karena memiliki perasaan padanya.
Dirinya siap menerima jawaban apapun walaupun tangan yang bersembunyi dibalik meja, keduanya terkepal begitu erat. Gemetar hebat.
“Non?” merasa tak sabar, Biru membuka suaranya mencoba menarik perhatian Nanon yang masih diam.
Ia menunggu.
. .
Merasa jika Biru menunggunya berbicara, Nanon perlahan menghirup nafasnya dalam lalu menghembusnya pelan.
Mencari kata-kata yang baik dan pantas untuk menjawab pernyataan cinta yang diutarakan Biru padanya.
“Ru...” Nanon menggigit bibir bawahnya, “Sebelumnya... jujur gua mau bilang makasih dulu sama lo yang ternyata punya perasaan lebih sama gua. Gua seneng bisa disukai cowok seganteng dan sepintar lo, dan gua cukup speechless orang sesempurna lo kok bisa suka sama gua yang gak ada apa-apanya ini. Tapi...balik lagi yang namanya perasaan tuh kita sendiri juga tahu gak bisa kita atur sesuka hati kita. Dan untuk menjawab pernyataan lo itu...”
. . .
“...Sorry banget kalau gua belum bisa bales perasaan lo ke gua,” jawab Nanon menolak begitu halus pernyataan cinta dari pria tampan yang digilai anak-anak kampusnya.
Nanon menolak cinta Biru.
Biru tersenyum getir mendengar penolakannya —dari pria yang diam-diam ia sukai dari awal masuk kuliah.
Seharusnya dirinya sudah menyiapkan mental mendengar jawaban apapun yang diberikan. Tetapi mendengar langsung seperti ini, tetap saja terdengar pahit dan menyakitkan. Pupus sudah harapannya. Ia pikir kedekatannya bersama Nanon akhir-akhir ini bisa membuat pria itu merasakan apa yang ia rasakan, namun sayang itu hanya khayalannya semata.
Karena kendatinya Nanon cuma menganggapnya teman biasa, tidak lebih.
“Maaf ya, Ru...” tambah Nanon tak enak.
Biru tersenyum tipis dan mengangguk pelan, mencoba bersikap biasa saja dan menerima penolakan itu dengan lapang dada.
.
“Apa kamu mempercayai sebuah takdir?
Jika takdir dapat mempertemukan dengan dia yang akan mengistimewakan hidupmu, maka takdirku berada di sebuah cangkir hitam pekat pada kursi paling ujung tak terjamah oleh keramaian. Dia berada disana dengan senyumannya yang menawan. Dengan mudahnya mencuri hati tanpa aba-aba.”
“Espresso? Kaya biasa?” entah yang berapa kali didengar, dengan pertanyaan yang tak bosan dilontarkan sang tunangan —pada pria yang duduk di depannya.
Joss hanya memberikan anggukannya. Tidak mengacuhkan dan terfokus pada benda persegi panjang yang begitu pas pada telapak tangannya yang besar. Sesekali membenarkan letak kacamatanya.
“Apa gak bisa sekali aja kamu tuh fokus sama aku sayang? Setiap kita jalan, kamu selalu membawa pekerjaan kamu. Aku seperti diselingkuhi oleh benda mati yang ada ditanganmu,” gerutu wanita cantik itu, menyibakkan helaian rambutnya ke belakang telinga.
Tidak ada jawaban. Manik cokelat itu tetap setia menatap layar Tab-nya, di mana menggambarkan grafik saham perusahaannya yang terus berubah, naik dan turun. Hal tersebut terlihat lebih menarik untuk dipandang, dibandingkan paras ayu nan rupawan yang terukir elok pada wanita yang ia kencani hari ini.
“Kamu dengar omongan aku gak sih? Aku kaya ngomong sama patung disini!”
Gerakan tangan Joss berhenti sejenak. Menatap datar pada wanita yang memiliki bibir tebal nan indah.
“Fah, dengar—” Joss menaruh tabletnya, menautkan kedua tangan dan menyilangkan kakinya. “Aku masih berada disini itu semua karena perjanjian orang tua kita yang seenaknya menjodohkan kita, dan kamu—tidak berhak untuk meminta waktuku setelah apa yang kamu perbuat pada hidup aku sekarang.”
“A—Apa?!”
Mulut wanita itu menganga tak percaya, terkejut akan ucapan yang tertuju padanya. Memang benar, jika dirinya yang memaksa pertunangan itu diselenggarakan dalam keputusan satu pihak. Namun, ia tak menyangka akan dipermalukan seperti ini. Terlebih oleh pria yang ia idamkan sejak lama. Tunangannya sendiri.
Pria itu kemudian memeriksa arloji miliknya dan mulai membereskan barang-barangnya. Merasa tidak memiliki urusan lagi untuk berlama-lama di sana.
“Aku rasa aku tidak punya urusan lagi di sini. Aku pergi dulu,” pamitnya dingin. Meninggalkan Fah.
“T—TUNGGU DULU JOSS!! KAMU MAU KEMANA!! HEY!! JOSS—”
Joss tidak mempedulikan teriakan Fah yang terus memanggilnya. Ia mengambil earphone miliknya dan memasang ke telinganya, menulikan pendengarannya dengan mantap berjalan begitu saja pergi menuju pintu keluar. Melewati sebuah kursi yang diduduki oleh seorang pria yang memandangnya dengan senyuman penuh arti.
Dan Joss tidak menyadarinya.
Dua bulan telah berlalu...
“Espresso Bro?” tanya Tawan, mencoba untuk menawarkan menu tetapi diurungkannya saat Joss menggelengan kepalanya —memberikan gesture menolak untuk mengambil menunya. Tawan mengerti dan beranjak dari kursi, memesan pesanan dirinya dan teman sejawat.
.
.
.
PLAKKK!!
“JAHAT KAMU LUKEY!! AKU SALAH APA SAMPAI KAMU MINTA PUTUS SAMA AKU??”
Sebuah teriakan terdengar begitu keras di seberang sana, teriakan itu jelas menarik begitu banyak orang yang berada disana begitu pula Joss yang juga ikut berbalik —untuk mencari keributan yang ditimbulkan oleh pelanggan coffee shop yang duduk di ujung paling kanan. Meja yang menghandap jendela kaca luar.
Manik cokelat Joss tak sengaja menangkap ukiran senyuman di bibir tipis sang pria yang memegang pipinya, tertampar oleh tangan lentik milik kekasih—oh, mantan kekasihnya sekarang.
PLAKKK!!
“JAHAT KAMU LUKEY!! AKU SALAH APA SAMPAI KAMU MINTA PUTUS SAMA AKU??”
Persetan dengan rasa malu, emosi telah menguasai raga milik wanita manis yang kini menggigit bibirnya kesal. Menahan marah. Menilik ekspresi milik sang pria yang tidak bisa ia tebak. Dirinya tidak tahu alasan apa yang membuat pria didepannya ini ingin memutuskan hubungan padanya.
Saat ia merasa bahwa hubungan mereka terlihat baik-baik saja.
“Mook kecilkan suaramu, kamu menarik perhatian banyak orang,” ujar pria yang diteriaki Luke oleh Mook dengan nada yang berusaha santai.
“AKU TIDAK PEDULI!! BIAR AJA SEMUA ORANG TAHU!!” bentaknya menolak seraya menyalangkan matanya.
Luke menggarukkan kepalanya yang tidak gatal, berusaha merangkai kata-kata untuk menjelaskan. Ini harus diselesaikan. Sekarang atau tidak sama sekali.
“Aku rasa kita harus akhiri hubungan kita sekarang juga, Mook. Untuk kebaikan bersama.”
“KEBAIKAN APA?? AKU GAK BAIK-BAIK AJA LUKEY!! AKU GAK MAU PUTUS SAMA KAMU!!”
Helaan nafas keluar dari bibir Luke. Selalu seperti ini, saat dirinya dan Mook bertengkar tentang sesuatu. Wanita didepannya akan bertindak impulsif saat situasi menekan dirinya. Biasanya, kejadian ini akan berakhir saat Luke menyerah dan meminta maaf padanya, sedikit merayu agar kondisi menjadi lebih baik.
Tapi hal itu tidak terjadi kali ini...
Luke tidak bisa terus-terusan mengikuti semua kemauan milik mantannya tersebut.
Sudah beberapa kali, ia memperbaiki hubungan mereka yang tidak sehat itu dengan mencoba menasihati—dan berakhir dengan penolakan bahkan tuduhan dirinya berselingkuh dibelakang wanita itu.
“KAMU PUNYA WANITA LAIN KAN DIBELAKANG AKU??!!”
Seperti sekarang ini.
Luke mendengus sembari menertawai tebakannya yang begitu tepat. Tuduhan yang bak mantra sampai ia hafal kalimat apa selanjutnya akan terlontar dari bibir Mook. Tak bisa dipungkiri, ia mulai muak dengan semua ini.
Pria tampan itu memalingkan wajahnya sejenak dari Mook yang masih berteriak padanya, tak sengaja bertemu pandang pada manik cokelat indah dari pria yang tengah menatap lekat kepadanya.
Luke mengenalnya. Pria yang mencampakkan wanita cantik beberapa bulan yang lalu. Luke tak sengaja menangkap pembicaraan mereka saat itu. Ketika dirinya tengah selesai bertemu dengan beberapa client yang mengajaknya bertemu di sana.
“LUKEY!!”
Teriakan Mook kembali menyadarkan Luke yang sedari lupa melepaskan tatapannya pada pria tersebut.
Luke terkekeh dalam hati, tak mempercayai dirinya yang bisa-bisanya dalam situasi sekarang, perhatiannya dapat teralihkan karena pesona tampan milik pria asing yang menatapnya.
“Bukankah tanpa aku jelaskan semua ini sudah jelas, Mook? Lihatlah kita sekarang. Apa kamu bahagia bersama aku, dalam hubungan yang kita jalani saat ini? Sadar gak kalau kita sering berantem tentang hal-hal sepele yang bahkan seharusnya tidak kita permasalahkan. Aku yang selalu memohon maaf sama kamu dan kamu yang selalu marah juga kecewa dengan aku, tanpa mau mendengarkan penjelasan aku. Terus buat apa kita pertahanin hubungan ini Mook? Kalau kepercayaan dalam hubungan kita aja sudah rusak.” Luke berusaha menjelaskan begitu pelan agar tidak terlalu menyakiti perasaan wanita bermata cerah itu —yang kini terdiam mendengar alasannya.
“Sebelum kita berakhir dengan menyakiti satu sama lain. Lebih baik kita akhiri hubungan ini sampai di sini. Aku gak mau Mook, aku gak mau nyakitin kamu kalau kita masih pertahanin hubungan kita ini...” lanjutnya.
Setelah merasa Mook mulai tenang dan dapat ditinggalkan. Luke pun beranjak, mengeluarkan lembaran uang untuk membayar makan mereka bersama yang mungkin menjadi terakhir kalinya.
Tak lupa sebelum Luke pergi dari sana, ia berjongkok sebentar, membenarkan tali sepatu milik Mook yang sedikit longgar.
Luke khawatir mantannya yang suka ceroboh itu akan jatuh jika tali sepatunya tidak diikatnya dengan kencang.
Luke memang seperhatian itu, dan hal kecil itulah yang membuat wanita itu kini membenamkan wajahnya pada telapak tangannya dan terisak kecil.
Menyadari kesalahan bodohnya yang sayangnya sudah terlambat.
Tidak ingin berlama-lama disana dan semakin membuat wanita itu semakin berat untuk melepaskannya. Laki-laki itu memutuskan untuk benar-benar pergi meninggalkan tempat, tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.
.
.
.
“Joss, nih kopi lo!”
“Hah? Apa?”
“Lo liatin apa sampe gak dengerin gua?”
“Oh, bukan apa-apa, ngomong apa tadi?”
“Tuh. Kopi.”
Dua minggu kemudian...*
KRIEETTT
“Iya—Iya, gua lagi ada di cafe deket kantor gua, abis rapat sama client gua nanti, gua bakal nyusul kok di pernikahannya Thanat dan Arm. Astagaaa—Tenang aja, lo gak percayaan amat sama gua Guy. Gua pasti datenglah masa iya nggak?” Luke mendorong pintu masuk dengan sebelah tangannya, sambil bercakap dengan seseorang pada ponsel di telinganya.
“Bangsat hahaha—Gila aja lo! Gua single sekarang, mau ngajakin siapa buat ke sana. Gua bakal dateng sendirian dengan tampan dan berani hahahaha...”
Luke terus berjalan ke arah kasir tanpa menyadari ada sosok lain juga ikut melangkahkan kaki bersamaan disampingnya. Sosok yang kini juga tengah fokus pada ponsel miliknya dalam diam.
Tay : Lo dateng gak ke pernikahannya Arm?
Joss : Gua mau ketemu client gua dulu disini, ketemuan di sana aja.
Tay : Oke, gua tunggu bareng Jumpol.
Joss : Iya.
Mereka berdua berjalan dengan langkah kaki yang serentak beriringan. Seakan-akan jalan berdua. Padahal nyatanya tidak.
“Udah ya—Gua mau mesen minuman dulu, nanti gua kabarin lo lagi kalau mau OTW.” Luke menutup obrolannya, dengan pria disampingnya yang juga mematikan layar handphonenya.
Lalu, secara bersamaan mereka berdua membaca menu yang terpajang di dinding dan terpaku pada satu minuman.
Satu minuman yang akan membawa mereka berdua pada takdir yang dipastikan mengikat keduanya. Dalam hubungan yang terjalin secara tidak sengaja.
“Saya pesan espressonya/ Espressonya satu.”
FIN.
Bright's apatement | 23.02 pm
“Keberadaannya bagai oase yang selalu aku cari dalam kesunyian, bak seperti pasir yang semakin erat digenggam akan semakin cepat hilang mengikuti desiran angin yang datang, membawanya pergi.”
“Aku tidak mudah untuk jatuh cinta, walaupun begitu banyak ucapan-ucapan manis yang terlontar dari lisan. Namun, tahukah kamu? saat bersamamu adalah saat dimana aku menjadi diriku sendiri dan paling bahagia.”
Tangan itu merebahkan tubuh sang pemuda dalam gendongannya dengan pelan dan penuh kehati-hatian, takut jika kesalahan sekecil apapun dapat membangunkannya. Ia tak pergi begitu saja dan memilih untuk duduk di pinggir ranjang, memandang paras tampan itu saksama.
Sebentar saja, biarkan ia menikmati salah satu keindahan ciptaan Tuhan yang sempurna.
'Selalu manis.'
“Eunghhhh—Bai...” erangan Win terdengar, Bright yang tidak beranjak lantas mengelus wajah pemuda itu guna menenangkan.
“Sshhh—Ada apa? Butuh sesuatu?” tanyanya pelan. Setengah berbisik.
“Bai...”
“Ya?”
“Bai...” panggilnya lagi.
Bright mendekatkan wajahnya, agar Win tahu jika dirinya masih berada di sana. Tidak pergi kemana-mana.
“Bai, kenapa harus lo...”
Win menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya, menutupi wajah yang tiba-tiba basah akan air mata —yang tanpa permisi meluncur bebas dari kelopak mata yang terbuka sayu.
“Kenapa lo harus suka sama gua...”
Bright membeku mematung terdiam, tak akan menyangka mendengar kalimat itu dari bibir sang Metawin. Bersamaan dengan ekspresi yang jarang diperlihatkan oleh pria itu pada siapapun.
Win menangis sesegukan parah. Sekarang, didepan Bright.
“Jujur... gua gak tahu harus ngapain dengan perasaan lo itu Bai, gua gak tahu harus ngelakuin apa, menolak lo atau nerima perasaan lo seperti yang gua lakuin dengan orang-orang yang menyatakan cinta sama gua selama ini. Gua gak tahu apakah bisa apa gak? Tapi gua sadar, gua gak bisa dan gak akan bisa. Karena itu lo, Bai, teman gua. Teman yang selama ini selalu ada di sisi gua, teman yang harus gua jaga agar gak hilang dari hidup gua...disaat banyak orang datang dan pergi dalam hidup gua, cuma lo... cuma lo doang yang gua harap gak akan pernah gituin gua...” Win berhenti sejenak, meraup udara yang seakan menipis dengan perasaan yang sesak dan tangisan yang semakin menderas. Win mengeluarkan semuanya malam ini.
Semua kegelisahannya yang terpendam.
“Gua tahu kalau gua bangsat, brengsek, dan mungkin banyak kalimat hinaan di luar sana yang pas buat kelakuan gua selama ini. Gua gak masalah dianggep jahat sama orang lain, terutama mantan-mantan gua. Tapi lo beda, gua gak mau lo sama kaya mereka. Ketika lo nanti mungkin suatu hari bakal kecewa berat banget sama gua. Dan itu buat gua takut Bai, gua takut lo bakal ninggalin gua juga...kaya mereka...”
“Gua gak bakalan ninggalin lo, Awin. Apapun yang terjadi.”
Win mendengus, menggelengkan kepalanya dengan tawa yang seakan tidak mempercayai ucapan Bai yang terdengar fana ditelinganya. “Bai... lo pikir gua gak kaya gitu selama ini? Gua selalu Bai... selalu berusaha mempertahankan hubungan gua dengan mantan-mantan gua selama ini. Tapi apa? Rasa skeptis mereka dengan gua membuat mereka meragukan keseriusan gua. Sebanyak apapun usaha gua meyakinkan mereka, predikat playboy itu selalu menjadi nama tengah gua. Dan gimana perasaan lo rasanya, setiap lo jalan dengan orang lain, lo selalu dicurigain, kalau lo bakalan nyelingkuhi mereka,” jelasnya. Tentang sepak terjangnya selama ini. Menceritakan kekecewaannya yang tidak pernah diungkapkan sebelumnya. Jika dirinya yang sering terjebak dalam hubungan yang tidak sehat.
Tidak ada yang pernah tahu, karena Win menyembunyikannya dengan baik. Sampai sekarang.
“Apa yang menjadi jaminan lo nanti gak bakal kaya mereka, Bai? Mereka dulu juga ngomong dengan pedenya kaya lo, kaya tadi. Tapi buktinya apa...” Win menggigit bibirnya yang gemetar, yang lega telah mengeluarkan semua unek-uneknya meluap keluar. “Gak berhasil, Bai. Gak berhasil...”
Dan keheningan menyeruak. Win yang sudah tidak sanggup melanjutkan ucapannya lagi. Berencana untuk tidur dan berbalik membelakangi Bright. Memperlihatkan bahu yang telah kehilangan rasa kepercayaan tentang arti cinta yang sederhana. Tentang kepercayaan.
. . .
Meninggalkan Bright yang merasa tidak perlu menjelaskan, untuk meyakinkan perasaannya tidaklah sama dengan orang-orang yang telah meninggalkan Win selama ini.