avockyudo

Tujuan selanjutnya, barbershop.

Masih dengan motor scoopy milik Haekal dan angin sepoi-sepoi yang menyerang wajah, ditemani dengan degupan tidak teratur dari dalam tubuh Haekal.

Rasanya sedih, rambut gondrongnya otw hilang.

Kini mereka berhenti karena lampu bangjo yang sedang menyala di warna merah.

“Kala, pulang aja yuk?” Racau Haekal.

Lantas Sakala membawa tangannya guna memukul kepala Haekal yang terlapisi helm itu. “Ayo kalo lo mau gue kasih sanksi.”

Haekal cemberut melihat wajah galak Sakala dari kaca spion motornya.

“Ah galak bener, sama temen sendiri loh,” ucap Sakala.

“Emang lo temen gue?”

“Iya lah!”

“Sejak kapan kita temenan?”

Diam, Haekal diam, awalnya Sakala kebingungan lalu ada niatan untuk bertanya ada apa dengan si tukang jiplaknya itu, namun pertanyaannya belum tersampaikan dirinya sudah terhantam punggung milik Haekal karena si pelaku yang mengerem motornya secara dadakan.

“BABI.” Teriak Sakala yang mana mengundang mata orang-orang yang berlalu di dekat mereka.

“Turunin volume suara lo tolol, nanti dikira gue kdrt lagi,” ucap Haekal.

“KDRT NDASMU, lo kira kita berumah tangga?”

Ya, sebaiknya kita skip saja karena sepanjang perjalanan mereka hanya mendebatkan masalah kecil yang random.


Sesampainya di barbershop Haekal kembali merengek kalau ia tidak ingin rambutnya di potong, sia-sia manjangin katanya.

“Pulang aja ayo ...” Racau Haekal dengan dirinya yang bergelayutan di lengan sebelah kanan milik Sakala.

Sakala hanya bisa membuang nafasnya kembali sembari menyeret Haekal yang tambah merengek dengan kencang, sebenarnya Haekal ini umur berapa sih?

“Gak.” Bantah Sakala masih dengan menyeret Si Haekal.

Jujur saja, sebenarnya Sakala ini juga lelah banyak berdebat dengan Haekal setiap hari, mending dia ngurusin sekolahnya dan belajar lebih rajin ya kan? Walaupun hal tersebut pun Sakala enggak yakin bakal ia lakuin.

Ngurusin Haekal itu sulit, kali boleh Sakala mau ngibarin bendera putih aja.

Tapi setidaknya ia harus mendapatkan hadiah, karena ia selalu berhasil membuat Haekal melakukan apa yang di tidak inginkannya.

Seperti tadi, sekarang Haekal sudah duduk tenang di atas kursi barbershop depan kaca yang menampilkan bentukannya.

Kain hitam sudah mulai melingkari tubuhnya.

“Kala—”

“Gak, Haekal, udah potong aja.” jawab Sakala karena ia tau Haekal ingin membujuknya lagi.

Bibir itu melengkung kebawah pertanda Haekal kembali sedih melihat rambut gondrongnya yang akan digunting menjadi pendek.

Dia akan menjadi Sakala versi kedua.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya gunting menyentuh rambut Haekal. Sakala yang melihat itu terkikik lucu karena ekspresi Haekal yang terlihat seperti ingin menangis.

“Jangan nangis loh jelek,” ucap Sakala sembari tangannya yang memegang ponsel pintar miliknya, layar menampilkan wajah Haekal yang terlihat cemberut.

“Enggak!” Bantah Haekal, karena memang dirinya tidak menangis bukan?

“Kalian ini kembar ya?” Tiba-tiba pegawai yang bertugas untuk mengatur rambut Haekal itu bertanya.

“Bukan!”

“Haha, bukan kak.”

Jawab mereka bersamaan, sampai-sampai sang pegawai dibuat kaget, untung Haekal gak sampai gundul ya.

“Loh tapi kok wajahnya bisa persis?”

“Kebetulan kak.” Jawab Sakala.

“Betul, kebetulan doang, wajah gue ini aja bisa mirip Beomgyu tieksti, kayaknya kembaran gue yang sebenarnya dia deh.” Ini Haekal yang bersuara, terdengar sangat yakin, pernyataannya mengundang kekehan dari ai pegawai.

“Maaf ya, dia emang sok keren gitu.” Ucap Sakala.

Haekal memutar matanya malas, emang ini kayaknya si Sakala iri sama dia.

“Nah udah!” Seru si pegawai lalu merapikan semua peralatan.

“Wow ... gue benar-benar jadi Sakala versi kedua,” ucap Haekal menatap dirinya dengan rambut pendek di cermin.

“Nah, sekarang orang-orang bedain kita pake cara apa.” Lanjut Haekal, tangannya ditepuk sekali karena baru kepikiran hal ini.

“Kak, disini bisa warnain rambut kan?” Lanjut Haekal lagi.

Sakala tersentak kecil mendengar ucapan Haekal, “Lo mau warnain rambut?! Enggak-enggak, lo mau gue suruh cabutin rumput liar di sekolah?”

“Kagak, tapi gue mau warnain rambut.”

“Ekal—”

“Tenang sayangku, gue milih warna yang gak mencolok kok, abu-abu tua mungkin? Asal lo gak cepu aja gak bakal ketahuan kok.”

“Sekali lagi lo manggil gue sayang, rambut lo habis di tangan gue.”

Pada akhirnya Sakala pasrah dengan Haekal yang mewarnai rambutnya sedikit, diberi highlight katanya, dan ada satu bagian yang ia beri warna blonde agar orang-orang bisa membedakan mereka walaupun lumayan susah..

Haekal dan Sakala. Banyak yang berasumsi bahwa mereka adalah sepasang saudara kandung, tapi keduanya menolak fakta itu, satunya menolak dengan mentah-mentah, satunya menolak dengan diam.

Memang sih, wajah mereka terlalu mirip untuk tidak dipanggil sepasang saudara kembar.

Memiliki wajah yang sama membuat orang lain bingung bagaimana cara membedakan mereka berdua, untungnya sikap mereka ini sangatlah bertolak belakang.

Sekarang juga rambut Haekal lebih panjang dari pertama ia pindah ke sekolah ini.

Ya, Haekal murid pindahan. Bukan karena nakal, tapi ya pindah aja gitu aelah suka-suka Haekal.

“Perhatian anak-anak, untuk siswa laki-laki disekolah ini rambut kalian dilarang dipanjangkan, peraturan ini berlaku mulai besok, jika ada yang tidak patuh akan dikenakan sanksi dari sekolah”

Kalimat diatas adalah alasan mengapa kini Haekal termenung dan terlihat memelas di tempat kesayangannya, ruangan osis.

Kok dia boleh-boleh aja masuk?

Koneksinya banyak bro, kadang juga Haekal banyak membantu osis sekolah ini, jadi ya yaudah.

“Ngapain sih sedih-sedih kek orang putus cinta, rambut panjang kan gerah,” ucap seseorang di sebrang Haekal dengan tangan yang sibuk menusukkan sedotan ke cup minumannya, namun gagal.

“Tapi! Kalau gue potong rambut, bakal kejadian kayak dulu lagi dong? Buat gerah apa gak nya ya pasti gerah, tapi gagah perkasa gue kek gini,” balas Haekal lalu dengan gemas ia mengambil cup yang di pegang orang di sebrang nya dan menusukkan sedotan minuman itu dalam sekali tusuk.

“Gitu aja kok gak bisa, lemah Kala.” Tambah Haekal.

Sakala, orang yang sedari tadi sibuk dengan sedotannya itu Sakala.

“Biarin, semua orang punya kekurangan tau.”

“Kekurangan lo gak bisa nusuk sedotan ke minuman?”

Tak!

Itu adalah suara es batu yang jatuh ke lantai setelah menghantam jidat Haekal. Sang empu yang terkena es batu tadi sekarang sedang meringis, antara meringis kesakitan atau kedinginan. Atau mungkin dua-duanya.

“Galak banget ni kecil.” Ucap Haekal yang masih mengusap-usap dahinya.

Sakala mengangkat bahunya acuh. “Ya kelakuan lo aja bikin setan heran, pantes kali digalakin.” balas Sakala.

Lantas Haekal mencebikkan bibirnya, dia ini lagi badmood. Masalahnya bentar lagi dia harus say bye bye kepada rambut panjangnya dan say hello buat dirinya yang akan berubah nama menjadi Sakala, alias orang-orang akan salah memanggil karena rambut pendek itu adalah khas nya si Sakala.

“Orang-orang bisa bedain kita kali Kal, sikap lo kan kek preman.” Setelah mengeluarkan suaranya, Sakala kembali meminum minuman yang ia bawa, entah apa itu.

“Gak usah bikin kesel lo anjing.”

“Loh loh gue cuma berusaha menenangkan loh.”

Lalu tidak ada jawaban, Haekal agak malas membalasnya, uda dibilang dia tuh BADMOOD.

Tiba-tiba Haekal merasakan usapan lembut pada kepalanya, yang menimbulkan rasa nyaman pada dirinya. Pelaku usapan pada kepalanya itu Sakala.

“Udah deh, mending diturutin peraturannya, ya? Masalah orang-orang yang bakal bisa atau gak nya bedain kita pikir belakangan aja.” Ucap Sakala dengan lembut, karena entah kenapa ia merasa harus melembutkan suaranya.

Haekal menolehkan kepalanya guna menatap langsung manik indah milik Sakala. Hening kemudian menyelimuti mereka sejenak.

“Kok lo tumben baik,” cerocos Haekal begitu saja.

Sakala menghembuskan nafasnya kasar, ini anak di depannya kayaknya gak bisa dibaikin deh?

“Tauk ah, pokoknya lo harus potong—”

“Temenin gue.”

Sakala yang tadinya kembali fokus kepada minumannya, kini kembali menoleh kearah Haekal dengan tatapan bertanya.

“Temenin apa?” Tanya Sakala.

“Potong rambut lah, apa lagi? Bersemedi?”

Tak disangka, Sakala tiba-tiba menahan tawanya. Haekal berpikir, oh? Kok tumben candaannya berlaku buat Sakala.

“Hehehe, ayo aja, sekalian ya bunda gue nyuruh buat belanja bulanan.” ucap Sakala diselingi dengan kekehan.

“Yah anak bunda.”

“Suka-suka gue, napa sih lo, sana pergi!”

Haekal dan Sakala. Banyak yang berasumsi bahwa mereka adalah sepasang saudara kandung, tapi keduanya menolak fakta itu, satunya menolak dengan mentah-mentah, satunya menolak dengan diam.

Memang sih, wajah mereka terlalu mirip untuk tidak dipanggil sepasang saudara kembar.

Memiliki wajah yang sama membuat orang lain bingung bagaimana cara membedakan mereka berdua, untungnya sikap mereka ini sangatlah bertolak belakang.

Sekarang juga rambut Haekal lebih panjang dari pertama ia pindah ke sekolah ini.

Ya, Haekal murid pindahan. Bukan karena nakal, tapi ya pindah aja gitu aelah suka-suka Haekal.

“Perhatian anak-anak, untuk siswa laki-laki disekolah ini rambut kalian dilarang dipanjangkan, peraturan ini berlaku mulai besok, jika ada yang tidak patuh akan dikenakan sanksi dari sekolah”

Kalimat diatas adalah alasan mengapa kini Haekal termenung dan terlihat memelas di tempat kesayangannya, ruangan osis.

Kok dia boleh-boleh aja masuk?

Koneksinya banyak bro, kadang juga Haekal banyak membantu osis sekolah ini, jadi ya yaudah.

“Ngapain sih sedih-sedih kek orang putus cinta, rambut panjang kan gerah,” ucap seseorang di sebrang Haekal dengan tangan yang sibuk menusukkan sedotan ke cup minumannya, namun gagal.

“Tapi! Kalau gue potong rambut, bakal kejadian kayak dulu lagi dong? Buat gerah apa gak nya ya pasti gerah, tapi gagah perkasa gue kek gini,” balas Haekal lalu dengan gemas ia mengambil cup yang di pegang orang di sebrang nya dan menusukkan sedotan minuman itu dalam sekali tusuk.

“Gitu aja kok gak bisa, lemah Kala.” Tambah Haekal.

Sakala, orang yang sedari tadi sibuk dengan sedotannya itu Sakala.

“Biarin, semua orang punya kekurangan tau.”

“Kekurangan lo gak bisa nusuk sedotan ke minuman?”

Tak!

Itu adalah suara es batu yang jatuh ke lantai setelah menghantam jidat Haekal. Sang empu yang terkena es batu tadi sekarang sedang meringis, antara meringis kesakitan atau kedinginan. Atau mungkin dua-duanya.

“Galak banget ni kecil.” Ucap Haekal yang masih mengusap-usap dahinya.

Sakala mengangkat bahunya acuh. “Ya kelakuan lo aja bikin setan heran, pantes kali digalakin.” balas Sakala.

Lantas Haekal mencebikkan bibirnya, dia ini lagi badmood. Masalahnya bentar lagi dia harus say bye bye kepada rambut panjangnya dan say hello buat dirinya yang akan berubah nama menjadi Sakala, alias orang-orang akan salah memanggil karena rambut pendek itu adalah khas nya si Sakala.

“Orang-orang bisa bedain kita kali Kal, sikap lo kan kek preman.” Setelah mengeluarkan suaranya, Sakala kembali meminum minuman yang ia bawa, entah apa itu.

“Gak usah bikin kesel lo anjing.”

“Loh loh gue cuma berusaha menenangkan loh.”

Lalu tidak ada jawaban, Haekal agak malas membalasnya, uda dibilang dia tuh BADMOOD.

Tiba-tiba Haekal merasakan usapan lembut pada kepalanya, yang menimbulkan rasa nyaman pada dirinya. Pelaku usapan pada kepalanya itu Sakala.

“Udah deh, mending diturutin peraturannya, ya? Masalah orang-orang yang bakal bisa atau gak nya bedain kita pikir belakangan aja.” Ucap Sakala dengan lembut, karena entah kenapa ia merasa harus melembutkan suaranya.

Haekal menolehkan kepalanya guna menatap langsung manik indah milik Sakala. Hening kemudian menyelimuti mereka sejenak.

“Kok lo tumben baik,” cerocos Haekal begitu saja.

Sakala menghembuskan nafasnya kasar, ini anak di depannya kayaknya gak bisa dibaikin deh?

“Tauk ah, pokoknya lo harus potong—”

“Temenin gue.”

Sakala yang tadinya kembali fokus kepada minumannya, kini kembali menoleh kearah Haekal dengan tatapan bertanya.

“Temenin apa?” Tanya Sakala.

“Potong rambut lah, apa lagi? Bersemedi?”

Tak disangka, Sakala tiba-tiba menahan tawanya. Haekal berpikir, oh? Kok tumben candaannya berlaku buat Sakala.

“Hehehe, ayo aja, sekalian ya bunda gue nyuruh buat belanja bulanan.” ucap Sakala diselingi dengan kekehan.

“Yah anak bunda.”

“Suka-suka gue, napa sih lo, sana pergi!”

Suara antara meja dan handphone yang berciuman (r:bertabrakan) dapat terdengar dari dalam ruangan osis tersebut, pelakunya siapa lagi kalau bukan Haekal.

Haekal osis? Bukan.

Si Haekal, tukang ngadem di ruangan osis. Numpang doang.

Alasan dia melempar ponsel pintarnya itu ialah sang manusia yang mirip dengannya, Sakala, hanya membaca pesannya.

Sedangkan dia disini sedang kedinginan karena tadi di luar hujan, dan entah bagaimana Haekal bisa berakhir kebasahan. Katanya dingin tapi malah nyalain ac di ruang osis.

“Kalaaaaaaaa!” Rengek Haekal sebelum dia beranjak dari posisi bersandarnya dan berjalan menuju kearah pintu.

Niatnya ingin membuka pintu dan pergi, tapi dalam hitungan detik sebelum ia menyentuh gagang pintu, pintu itu bergerak terbuka dan menghantam sebagian wajahnya.

Pelan sih, tapi biar dramatis dilebih-lebihkan aja.

“Eh?” Ini suara orang yang tadi membuka pintu dari luar. Sakala.

“SAKIT.”


Desisan demi desisan terdengar, kapas putih itu menekan pelan luka yang tercetak di wajah Haekal.

“Lo gimana sih, sampe luka gini loh wajah ganteng gue,” ucap Haekal dengan bibir yang mengkerucut lucu, tapi gak buat Sakala.

Kapas yang dipegang Sakala ditekan kuat ke luka Haekal, membuat anak itu mengeluh kesakitan.

“Gue terus, makannya dilihat dulu tuh di luar ada orang apa enggak, pinter.”

“Kok gue sih? Lo dong harusnya ngetuk pintu, iya tau lo osis tapi ya ketuk juga kali— AW!”

“Bacot anjir, iya maaf.” Kini Sakala yang menjawab dengan mulut yang mencucu.

Namun tiba-tiba Sakala merasakan jempol menempel sekilas di bibirnya, membuat Sakala berhenti mengomel.

“Ngapain?” Sakala bertanya dengan alis yang mengkerut.

“Berhenti ngomel, atau gue cium langsung.” Jawab Haekal yang sekarang sudah menyender santai di kursi yang ia duduki.

Kejadian lengkapnya, Haekal sebenarnya sedari tadi memandang Sakala yang sedang mengomel lucu, lantas ia kecup jempolnya sendiri lalu menempelkannya ke bibir mungil si kecil di depannya.

Indirect kiss, kata Haekal, sih.

Mata Sakala kini terbuka sempurna, sadar akan perlakuan Haekal sebelumnya.

“EWW, NAJIS BANGET, BIBIR SUCI GUE.” Tangannya tergerak guna memukuli Haekal tanpa ampun.

“Aduh! Aduh! Sorry kecil.” Haekal melindungi dirinya sendiri dari serangan Sakala hanya menggunakan lengannya. Sakit sih, tapi yaudah.

Sakala membuang nafasnya kasar lalu berjalan menuju meja disampingnya, mengambil jaket yang tadi dia bawa dan menutupi tubuh Haekal yang sedikit basah dengan jaketnya.

“Basah-basah kok malah nyalain AC, mau lo apa sih, sakit?” omel Sakala sembari mematikan AC yang ada di ruangan itu.

“Susu saya, suka suka saya dong.”

“Pergi sana, udah istirahat tuh, habis ini jangan bolos lagi atau lo kena sanksi,” ucap Sakala dengan tegas lalu mengeluarkan handphone nya.

“Baik Kakak osis, saya pamit keluar dulu ya,” ucap Haekal dengan nada sopan seperti adek kelas yang sedang berbicara kepada para kakak osis.

Begitulah mereka, bertengkar bertengkar bertengkar terus baikan, tapi lebih banyak bertengkarnya sih.

Suara antara meja dan handphone yang berciuman (r:bertabrakan) dapat terdengar dari dalam ruangan osis tersebut, pelakunya siapa lagi kalau bukan Haekal.

Haekal osis? Bukan.

Si Haekal, tukang ngadem di ruangan osis. Numpang doang.

Alasan dia melempar ponsel pintarnya itu ialah sang manusia yang mirip dengannya, Sakala, hanya membaca pesannya.

Sedangkan dia disini sedang kedinginan karena tadi di luar hujan, dan entah bagaimana Haekal bisa berakhir kebasahan. Katanya dingin tapi malah nyalain ac di ruang osis.

“Kalaaaaaaaa!” Rengek Haekal sebelum dia beranjak dari posisi bersandarnya dan berjalan menuju kearah pintu.

Niatnya ingin membuka pintu dan pergi, tapi dalam hitungan detik sebelum ia menyentuh gagang pintu, pintu itu bergerak terbuka dan menghantam sebagian wajahnya.

Pelan sih, tapi biar dramatis dilebih-lebihkan aja.

“Eh?” Ini suara orang yang tadi membuka pintu dari luar. Sakala.

“SAKIT.”


Desisan demi desisan terdengar, kapas putih itu menekan pelan luka yang tercetak di wajah Haekal.

“Lo gimana sih, sampe luka gini loh wajah ganteng gue,” ucap Haekal dengan bibir yang mengkerucut lucu, tapi gak buat Sakala.

Kapas yang dipegang Sakala ditekan kuat ke luka Haekal, membuat anak itu mengeluh kesakitan.

“Gue terus, makannya dilihat dulu tuh di luar ada orang apa enggak, pinter.”

“Kok gue sih? Lo dong harusnya ngetuk pintu, iya tau lo osis tapi ya ketuk juga kali— AW!”

“Bacot anjir, iya maaf.” Kini Sakala yang menjawab dengan mulut yang mencucu.

Namun tiba-tiba Sakala merasakan jempol menempel sekilas di bibirnya, membuat Sakala berhenti mengomel.

“Ngapain?” Sakala bertanya dengan alis yang mengkerut.

“Berhenti ngomel, atau gue cium langsung.” Jawab Haekal yang sekarang sudah menyender santai di kursi yang ia duduki.

Kejadian lengkapnya, Haekal sebenarnya sedari tadi memandang Sakala yang sedang mengomel lucu, lantas ia kecup jempolnya sendiri lalu menempelkannya ke bibir mungil si kecil di depannya.

Indirect kiss, kata Haekal, sih.

Mata Sakala kini terbuka sempurna, sadar akan perlakuan Haekal sebelumnya.

“EWW, NAJIS BANGET, BIBIR SUCI GUE.” Tangannya tergerak guna memukuli Haekal tanpa ampun.

“Aduh! Aduh! Sorry kecil.” Haekal melindungi dirinya sendiri dari serangan Sakala hanya menggunakan lengannya. Sakit sih, tapi yaudah.

Sakala membuang nafasnya kasar lalu berjalan menuju meja disampingnya, mengambil jaket yang tadi dia bawa dan menutupi tubuh Haekal yang sedikit basah dengan jaketnya.

“Basah-basah kok malah nyalain AC, mau lo apa sih, sakit?” omel Sakala sembari mematikan AC yang ada di ruangan itu.

“Susu saya, suka suka saya dong.”

“Pergi sana, udah istirahat tuh, habis ini jangan bolos lagi atau lo kena sanksi,” ucap Sakala dengan tegas lalu mengeluarkan handphone nya.

“Baik Kakak osis, saya pamit keluar dulu ya,” ucap Haekal dengan nada sopan seperti adek kelas yang sedang berbicara kepada para kakak osis.

Begitulah mereka, bertengkar bertengkar bertengkar terus baikan, tapi lebih banyak bertengkarnya sih.

Suara antara meja dan handphone yang berciuman (r:bertabrakan) dapat terdengar dari dalam ruangan osis tersebut, pelakunya siapa lagi kalau bukan Haekal.

Haekal osis? Bukan.

Si Haekal, tukang ngadem di ruangan osis. Numpang doang.

Alasan dia melempar ponsel pintarnya itu ialah sang manusia yang mirip dengannya, Sakala, hanya membaca pesannya.

Sedangkan dia disini sedang kedinginan karena tadi di luar hujan, dan entah bagaimana Haekal bisa berakhir kebasahan. Katanya dingin tapi malah nyalain ac di ruang osis.

“Kalaaaaaaaa!” Rengek Haekal sebelum dia beranjak dari posisi bersandarnya dan berjalan menuju kearah pintu.

Niatnya ingin membuka pintu dan pergi, tapi dalam hitungan detik sebelum ia menyentuh gagang pintu, pintu itu bergerak terbuka dan menghantam sebagian wajahnya.

Pelan sih, tapi biar dramatis dilebih-lebihkan aja.

“Eh?” Ini suara orang yang tadi membuka pintu dari luar. Sakala.

“SAKIT.”


Desisan demi desisan terdengar, kapas putih itu menekan pelan luka yang tercetak di wajah Haekal.

“Lo gimana sih, sampe luka gini loh wajah ganteng gue,” ucap Haekal dengan bibir yang mengkerucut lucu, tapi gak buat Sakala.

Kapas yang dipegang Sakala ditekan kuat ke luka Haekal, membuat anak itu mengeluh kesakitan.

“Gue terus, makannya dilihat dulu tuh di luar ada orang apa enggak, pinter.”

“Kok gue sih? Lo dong harusnya ngetuk pintu, iya tau lo osis tapi ya ketuk juga kali— AW!”

“Bacot anjir, iya maaf.” Kini Sakala yang menjawab dengan mulut yang mencucu.

Namun tiba-tiba Sakala merasakan jempol menempel sekilas di bibirnya, membuat Sakala berhenti mengomel.

“Ngapain?” Sakala bertanya dengan alis yang mengkerut.

“Berhenti ngomel, atau gue cium langsung.” Jawab Haekal yang sekarang sudah menyender santai di kursi yang ia duduki.

Kejadian lengkapnya, Haekal sebenarnya sedari tadi memandang Sakala yang sedang mengomel lucu, lantas ia kecup jempolnya sendiri lalu menempelkannya ke bibir mungil si kecil di depannya.

Indirect kiss, kata Haekal, sih.

Mata Sakala kini terbuka sempurna, sadar akan perlakuan Haekal sebelumnya.

“EWW, NAJIS BANGET, BIBIR SUCI GUE.” Tangannya tergerak guna memukuli Haekal tanpa ampun.

“Aduh! Aduh! Sorry kecil.” Haekal melindungi dirinya sendiri dari serangan Sakala hanya menggunakan lengannya. Sakit sih, tapi yaudah.

Sakala membuang nafasnya kasar lalu berjalan menuju meja disampingnya, mengambil jaket yang tadi dia bawa dan menutupi tubuh Haekal yang sedikit basah dengan jaketnya.

“Basah-basah kok malah nyalain AC, mau lo apa sih, sakit?” omel Sakala sembari mematikan AC yang ada di ruangan itu.

“Susu saya, suka suka saya dong.”

“Pergi sana, udah istirahat tuh, habis ini jangan bolos lagi atau lo kena sanksi,” ucap Sakala dengan tegas lalu mengeluarkan handphone nya.

“Baik Kakak osis, saya pamit keluar dulu ya,” ucap Haekal dengan nada sopan seperti adek kelas yang sedang berbicara kepada para kakak osis.

Begitulah mereka, bertengkar bertengkar bertengkar terus baikan, tapi lebih banyak bertengkarnya sih.

“Eh, Changmin, ayo masuk dulu, Juyeon nya masih mandi,” ucap seorang wanita yang sepertinya berumur namun wajahnya masih terlihat seperti diumur remaja, awet muda.

“Hehehe oke Bunda!” Dengan begitu Changmin masuk kedalam rumah Juyeon dan langsung berlari kecil kearah kamar milik pacar nya.

Sebelum masuk ke dalam kamar, Changmin bertemu dengan satu orang dengan koper ditangannya, lantas orang itu tersenyum dan Changmin membalasnya.

“Juyooo aku masuk ya.” Tidak ada jawaban.

Tapi Changmin terobos aja, kan tadi katanya lagi mandi yaudah si, pas masuk kepala Changmin otomatis geleng-geleng, gimana enggak? Kamar Juyeon keliatan kayak kapal pecah kalo kata Mamanya.

“Kenapa deh ni orang ngeluarin bajunya segini banyak,” ucap Changmin dengan lirih, kalo keras-keras takutnya yang punya kamar denger.

“Kenapa juga dia ngeluarin koper?”

Dah ni, dada Changmin terdengar dag dig dug yang begitu cepat kayak lagi ada konser bawah tanah tapi ini di dalam tubuh.

Changmin ingat-ingat lagi, tadi ada orang bawa koper, terus ini ada koper Juyeon juga..

Mata Changmin tiba-tiba terbuka lebar, dirinya panik. Bersamaan dengan itu pintu kamar mandi terbuka menampilkan Juyeon dengan baju rapi yang menempel di tubuhnya, kalo gak pake baju nanti endingnya lain lagi.

Mata mereka bertemu, Juyeon menaikkan alisnya tanda bertanya 'ada apa?' ke arah Changmin, yang di tatap cuma diam gatau mau jawab apa.

Yaudah Juyeon berjalan keluar kearah pintu, namun baru saja dia melangkahkan kaki, siara Changmin menghentikannya.

“Juyo..”

Juyeon kembali membalikkan badannya kearah Changmin, panggilan Changmin hanya dibalas deheman.

“Masih marah?” Taya Changmin.

“Ak—”

Ucapan Juyeon terpotong begitu saja karena yang lebih kecil bergerak cepat memeluk tubuh yang lebih besar.

“Jangan pergi! Aku janji gabakal nakal lagi deh, suer!” Jari telunjuk dan jari tengahnya terangkat.

“Changmin, udah dulu aku mau pergi,” perintah Juyeon sembari mendorong tubuh Changmin yang terlihat ingin menangis tapi masih ditahan.

“Gamau! Aku gamau ditinggal lagi, aku takut ditinggal lagi, kamu beneran mau pergi.. Sama Kakak kamu?” Suaranya perlahan memelan, tangannya masih melingkar di tubuh Juyeon, memeluknya dengan erat.

“Sayang, dengerin du—”

“Enggaaakkk!”

“Acil, aku gak pergi, aku cuma mau nganter Kakak ke bandara, aku tetep disini sama kamu.”

Hening, lalu tawa Juyeon terdengar, sangat sangat keras.

Pelukan itu melonggar, Changmin menjauh menatap Juyeon tidak percaya, apaan ini? apa Juyeon mengerjainya?

“Kamu kalo ditinggal ngambek lucu,” ucap Juyeon masih dengan tawanya, dirinya mendekat niat ingin mencubit pipi Changmin, namun ditepis.

“Jangan pegang, lo jelek! Bau!”

“Tapi kayaknya yang belum mandi kamu deh?”

Tepat sasaran, wajah Changmin memerah malu juga marah.

“Sok tau! Pergi sana, gamau pacaran sama Juyeon.”

“Maaf dong, jangan ngambek balik.” Rengek Juyeon.

Changmin diam, masih ngambek ceritanya.

“Lagian juga mau pergi kemana, Kakak aku udah tobat kali gak nyeret aku buat ikut ke Paris lagi.

Ada kamu disini, ngapain jauh-jauh kesana kan? Ribet, pokoknya aku cuma mau sama pacar lucu disini.”

“Udah ah, mending gue pacaran sama Kakak lo aja,” ucap Changmin tiba-tiba lalu berlari, kembali memeluk tubuh Juyeon

“Loh kok gitu! Aku gak restuin.”

Gapapa dimohon tenang, Changmin cuman bercanda kok.

“Kalo gitu cium dulu.”

Juyeon bengong, ini Changmin tiba-tiba minta cium kenapa deh.

“Gamau cium? Yaudah aku mau pulang.”

“Jangan!” Tangan Juyeon menahan lengan Changmin yang ingin bergerak pergi, tengkuknya ditahan dan perlahan ranum mereka bersilaturahmi kembali, menyebarkan rasa rindu yang dipendam.

Ciuman itu hanya berlangsung sebentar, takut ke gep Bunda katanya.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

[].

“Makasih ya!” Ucap Changmin sembari tersenyum lebar kepada si anak sulung pak rt katanya.

Kevin, yang berada di depannya juga ikut tersenyum, tangannya refleks menepuk-nepuk puncuk kepala Changmin, udah kebiasaan katanya.

Semburat merah tiba-tiba muncul tanpa diundang, di pipi gembuk Changmin.

“Lucu tuh pipi lo,” ucap Kevin lalu pergi begitu saja sembari melambaikan tangannya.

Tangan Changmin refleks menangkup kedua pipinya, merasakan rasa hangat tersalur ke tangannya. Ah, apa apaan ini.

“Ekhm! Aduh, pacar gue mana ya? Ditungguin dari tadi, apa lagi ce el be ka sama mantannya?!”

Indra pendengarannya menerima teriakan dari arah kanannya, sempat terkejut, namun sedetik kemudian Changmin tersenyum gemas.

“JUYOOOO!” Changmin berlari kearah Juyeon dengan tersenyum yang begitu lebar, dan..

Brak!

Prok prok prok, semuanya, Changmin berpelukan dengan pillar rumahnya!

“Aduh..” Changmin mengelus hidungnya yang baru saja berciuman dengan pillar rumahnya, dahinya juga sama. Diliriknya Juyeon yang menatapnya dengan tatapan DATAR.

Changmin membatin, “ini Juyeon tega banget nanti kalo gue jadi jarjit gimana?”

“Enak?” Tanya Juyeon.

“Enak apa?! SAKIT TAU, NGAMBEK AH!” Changmin mencebik kesal lalu masuk kedalam rumahnya tanpa melirik lagi kearah Juyeon.

Dan disitu, Juyeon tertawa menatap punggung Changmin.

“Apasih Juyeon anjing babi musuh Tuhan kek tai, apalagi ya? res—” Kegiatan sumpah serapah Changmin terhenti ketika tangan membekap mulutnya.

“Mmh?!” Gatau apa.

“Sabar, makannya mulutnya dijaga, harusnya gue yang ngambek kok malah lo nya sih,” Juyeon menasehati udah kayak bapaknya Changmin ae.

Tiba-tiba tubuh yang lebih kecil diangkat, digendong, yang diperlakukan seperti itu pasti memberontak, tangannya mencoba melepas tangan Juyeon yang berada di mulutnya.

“Juy! Nanti Mama liat!” Was-was Changmin setelah dia berhasil melepaskan tanggan Juyeon.

“Enggak, sayang, Mama masih ke kamar mandi tadi,” jawab Juyeon bersamaan dengan mereka yang sudah masuk di dalam kamar Changmin.

“Turunin Juyeon anj—”

Satu kecupan mendarat di bibir cerewet (katanya Juyeon) Changmin.

“Apasih main cium aja asu—”

Kecupan kembali diberikan Juyeon yang sedang menaikkan alisnya tanda bertanya.

“Juy..” rengek Changmin, kakinya mulai menendang-nendang udara yang tidak bersalah.

Puk!

Tubuh Changmin jatuh keatas kasur empuk miliknya, tuing tuing gitu Changminnya.

“Katanya minta diturunin?” Juyeon merebahkan dirinya di tempat kosong sebelah Changmin.

“Gak dilempar juga!”

“Kasar banget sih, sayang.”

“Soyang sayang apaan sih kaga jelas tai.”

“Kalo ngomong kasar gue cium.”

“Oh.” Changmin berhenti sejenak memikirkan kata-kata Juyeon yang baru saja dia dengarkan. “Anjing anjing anjing anj— AAAAA.”

Changmin berteriak karena Juyeon yang mulai mendekatinya, Changmin kan lagi iseng.

Dengan cepat Changmin menjauhkan dirinya dari kasur itu, kasurnya saat ini adalah zona merah!

Namun, sebelum Changmin sempat melarikan diri, tangannya ditarik. Alhasil dirinya terjatuh kembali, namun bukan di kasur miliknya, tapi—

“JUYEON?”

—Pangkuan Juyeon.

“Apa? Kamu udah ngomong kasar berapa kali tadi? Mau dicium?” ucap Juyeon dengan sedikit mendongak.

“Eng— Enggak gitu! Gue iseng doang!”

“Aku.”

“Hah?” Yaelah bakul keong.

“Pake aku kamu aja, lucu biar kayak orang pacaran beneran.”

“G—gamau! malu..” Kepalanya di tenggelamkan ke perpotongan leher Juyeon yang sedang menganggur itu.

“Ngapain malu sih sayangku.” Tangannya bergerak mengangkat kepala Changmin yang masih bersembunyi, menatap kedua manik indah itu dengan tatapan mengejek.

“Ah lo— Kamu jelek!”

“Tapi kamu demen?”

“IYA.”

“CHANGMI— Oh,”

Gawat. Ini. Benar. Benar. Gawat.

Mama Changmin tiba-tiba muncul di depan pintu kamar yang MASIH terbuka lebar.

“Ma..” Sadar akan posisinya sekarang, Changmin bergerak turun lalu menjemput Mamanya yang terlihat sedang menahan senyum.


“Udah sejak kapan? Kok gak bilang Mama? Kalian kok sembunyi-sembunyi gitu? Kan Mama udah restuin, gausah takut aelah.”

Sekarang posisi mereka sedang berada di ruang keluarga, dengan Mama Changmin yang sedang melemparkan ribuan pertanyaan.

“Mama satu-satu dong,” Changmin menghembuskan nafasnya pelan, Mamanya ini kok seneng banget tau anaknya pacaran sama Juyeon?

“Maaf ah, Mama kaget, tapi tau kalo kalian pacaran ga elit banget, nge gep pas cium—”

“MAMA STOP!”

Juyeon masih berada disana kalo kalian lupa, dia cuma senyum-senyum sendiri, pacarnya lucu.

“Aduhay! Kalian lucu banget Mama gak kuat!” Ucap Mama Changmin.

Changmin baru saja mau bilang kalo Mamanya kelewat alay tapi suara pintu utama yang terbuka mengalihkan atensi semuanya.

“Mama.. Adek pu— lang..”

Ah, Sunwoo bisa bilang kalau dia datang diwaktu yang tidak tepat.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

[].

Sekarang mereka bertiga sudah sampai di dekat rumah Eric, masih terlihat ramai, banyak orang yang masih berbincang-bincang disana.

Changmin dengan cepat melangkah kearah pintu masuk halaman depan, namun langkahnya berhenti ketika namanya dipanggil.

“Cil, sini.”

Itu Juyeon, Changmin menghembuskan nafasnya lagi.

“Apaan, gue mau masuk juyoooo,” rengeknya, terlihat manja tapi gaapa, walaupun kemudian sedikit malu karena dia lupa ada satu orang lagi selain dirinya dan Juyeon.

Juyeon menyikut pinggang orang disebelahnya yang dibalas kekehan pelan.

“Changminnya gue pinjam dulu ya, Juyeon,” ucap orang itu masih dengan senyumnya, menjengkelkan menurut Changmin.

“Iya pinjam aja, lo berdua belum ngomong satu sama lain kan dari tadi, bilang aja kangen deh.” Lalu Juyeon tertawa, yang mana membuat Changmin merengut.

“Dikira gue apaan dipinjam-pimjam.”

“Jangan ngembek dong Adek kecil, enggak gue tinggal kok.” Juyeon dengan gemas mengusak surai hitam legat Changmin, wajah Changmin mulai memerah!

“Duh, terus ini rencana gue berjalan kapan dah,” ini batin Juyeon.

Abai dengan suara hatinya, Juyeon melangkah menjauh dari dua lelaki yang tampak canggung disana.

Sebelum sepenuhnya menghilang dari sana, Juyeon berucap kembali, aelah rewel mulu.

“Jangan baku hantam ya lo Cil, lawan lo si jagoan,

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Kevin.”


Kevin, lelaki yang sedari tadi Changmin hindari kini terduduk santai di sampingnya seperti tidak terjadi apa-apa.

Sumpah, ini benar-benar awkward buat Changmin, tolong Changmin sekarang juga!

Lagi-lagi Changmin membuang nafasnya kasar, lelaki di sebelahnya ini tak kunjung membuka suara, dia sendiri pun terlalu malas untuk berbincang bersama Kevin.

“Lo ngajak gue kesini buat ngomong ato adu tekanan batin?” Ucap Changmin dengan kesal, ya dari tadi diem doang bukannya ngomong, marah.

“Haha, maaf.” Kevin tertawa pelan.

Perasaan hangat sedikit muncul di dalam dada Changmin, sudah sangat lama dia tida mendengar tawa itu.

“Udah lama ya, hai lagi, sayang..?” Cerocos Kevin begitu saja.

Pukulan keras didapatkan Kevin dipundaknya, meringis kesakitan lau kembali tertawa karena reaksi Changmin yang menurutnya sangat menggemaskan.

“Mulutnya dijaga, punya hak apa lo manggil gue sayang kayak gitu?” Tatapan Changmin menajam, mungkin saking tajamnya bisa menusuk Kevin sampai semua dosanya mengikut.

Tapi, tanpa merasa takut akan tatapan Changmin, Kevin kembali membuka suara.

“Tapi lo kangen gue kan?”

Pertanyaannya out of topic tapi enggak bisa dipungkiri lagi, jujur saja, Changmin merindukan si mantan yang menghilang tiba-tiba saja dari hidupnya lalu kembali membawa perasaan hangat di dalam dada.

Kini mata Changmin menatap lekat kearah manik bundar milik Kevin, bibirnya mulai melengkung kebawah menahan dirinya agar tidak mengeluarkan isakan, memalukan.

“Uhm!” Changmin mengangguk mengiyakan pertanyaan Kevin sebelumnya.

Kemudian tangan Kevin terbuka, Changmin yang melihat tindakan Kevin langsung menubrukkan badannya ke badan Kevin.

Ah, Kevinnya sudah makin besar, badannya terbentuk keren— sebentar, Kevinnya?

“Lo mikirin apa Changmin! orang gila, katanya move on,” ucap Changmin dalam hati.

“Min, maaf ya.” Kevin menetralkan nafasnya sebentar lau lanjut. “Gue pergi tiba-tiba gitu aja, pasti lo kecewa ya?”

“Iya, gue sakit empat hari, mau curhat ke Juyo tapi dulu kita itu, b-backstreet.” Dada Changmin terasa sakit, tangannya meremat kaos yang digunakan Kevin, mengingat kata backstreet membuat pikirannya terpenuhi oleh Sunwoo.

“Lo, sama Juyeon, pacaran ya?”

“UHUK!”

Tenggorokannya tercekat, dia? dan Juyeon? pacaran? Changmin belum pernah memikirkan hal itu.

Kevin yang tidak mendapat respon mengerti. “Kena friendzone nih? siapa duluan yang kena?” Ejeknya dengan tawa diakhir.

“Jangan ngejekkk!” Rengek Changmin, rasanya pengen gigit Kevin aja.

“Hahaha, suka sama Juyeon?” Tanya Kevin lagi.

Demi apapun! apakah Kevin akan mengetahui segala perasaannya yang terpendam selama ini?

Changmin menganggukkan kepalanya tanda menyetujui perkataan Kevin, usakan dikepala di dapatkannya.

Kalau boleh jujur, jantung Changmin sekarang sedang berdetak dengan begitu kencang, namun tidak seperti dulu. Dulu jatungnya rasanya akan merosot ke lambung, bersamaan dengan itu, perasaannya juga acak-acakan dan Changmin sadar, saat itu dia menyukai Kevin.

“Juyeonnya suka sama lo, gak?” Satu pertanyaan menohok.

“Kira-kira Juyeon bakal nerima enggak kalo lo nembak? kan lo rese, Min.” Dua pertanyaan menohok.

“Atau kalian ini udah saling suka, tapi gengsi?” Tiga pertanyaan menohok.

Changmin melepaskan pelukannya dengan Kevin tadi, mendengus sebal, ini dia lagi ada di studio mamah dan aa atau gimana sih?

“Gatau ah, lo nya yang rese, bukan gue.” Changmin berdiri dan berniat untuk pergi dari sana, siapa tau Juyeon mencarinya.

Namum pergelangan tangannya ditarik, membuat keseimbangan Changmin tidak stabil dan tangannya refleks berpegangan di salah satu tangan bangku, dan bahu Kevin.

Sip! posisi yang terlihat ambigu.

Dan juga muncul sosok Juyeon yang ingin menjemput Changmin dan Kevin, tapi sepertinya waktunya tidak tepat?


“Juyo bentar! dengerin gue deh jangan kayak bocil tangkis!” Teriak Changmin yang masih setia mengejar Juyeon.

“Juy.. gue gigit mau?” Dengan begitu langkah Juyeon terhenti, membalikkan badannya, menghadap Changmin dengan senyuman giginya.

Sama kayak tadi, serem tapi demen.

Puk!

Tangan Changmin mendarat di kedua bahu Juyeon, menggoyang-goyangkan badan Juyeon agar lelaki itu sadar.

“Lo sadar gak? SADAR GAK JUYOOOOOO?”

Rasanya telinga Juyeon akan copot saat itu juga, teriakan Changmin endak main-main men.

Tangannya kini menggenggam tangan Changmin yang semula berada di bahunya, agar Changmin stop menggoyangkan badannya.

“Iya ini sadar, kecil.”

Gatau kenapa tapi muka Changmin sekarang jadi panas kayak abis digoreng.

“O-oh jadi, tadi—”

“Yang jelas napa, manisss.”

Juyeon gila. Changmin ikut gila. Hatinya belum siap.

“Huh.. tadi lo tanya apa aja?”

“Lo sama Kevin hubungannya apa, tadi kok kayak mau ciuman?” Balas Juyeon langsung.

Changmin kembali malu mengingat kejadian tidak senonoh tadi. “Gue, gue mantanan sama Kevin..”

Mata juyeon melotot, sekarang giliran tangannya yang bertengger di kedua bahu Changmin, menggoyangkannya seperti meminta penjelasan.

“Sejak kapan?”

“Seminggu sebelum lo pindah kesini sampe Kevin pergi.”

“Kenapa putus?”

“Kevin pergi.”

“Lebih spesifik.”

“Dia gabisa ldr an takut ngecewain, padahal pergi tiba-tiba tanpa ngabarin aja udaha ngecewain, tai ayam.”

“Kok gue gatau? temen-temen yang lain tau?”

“Enggak, gue backstreet, yang tau cuma Eric.”

“Berarti lo sakit empat hari pas itu gegara Kevin pergi?”

“Gue malu ngakuin tapi, iya.”

Juyeon benar-benar tidak menyangka, mulutnya masih terbuka lebar, kalo Changmin tidak menutupnya mungkin Juyeon sudah memakan lalat hidup-hidup.

“Lo beneran pernah pacaran sama Kevin?”

“Iya.”

“Lo capek gak backstreet gitu?”

“Iya.”

“Jadi, 2 tahun backstreet?”

“Iya.”

“Masih belum move on?”

“Iya, dikit doang.”

“Lo suka sama seseorang?”

...

“Iya.”

“Gue?”

“Iya, gue suka sama l— HAH?!”

Hening, hening, hening, semuanya hening, jangkrik pun ikut berhenti membuat suara bising.

Detak jantung keduanya terlampau tidak stabil, sama-sama takut jika ada yang mendengar detak jantung mereka yang terdengar keras.

“A-anu J-juy, gak gitu—” Ucapan Changmin terpotong lagi.

“Gak gitu gimana? Enggak naksir Juyeon nih?” Juyeon mulai iseng, lampu hijau sudah nyala, sekarang saatnya bergerak semaunya.

“BUKAN GITU!”

“Loh, bukan? Naksir gue nih berarti?” Juyeon menaik turunkan alisnya yang sangat-sangat menjengkelkan, dan seperti biasa, tapi demen.

“Ah! gatau! POKOKNYA GUE GASUKA SAMA JUYEON, DIA BANYAK BACOT.” Sepertinya Changmin bisa menjadi rapper saat ini juga.

Juyeon terkekeh, lalu menjadi mode serius.

Mau seriusin cemin yha? adoh remaja..

“Changmin, gue udah nunggu momen ini dari dulu, dimana keberanian gue terkumpul buat ngucapin semuanya.” Juyeon mencari tangan Changmin untuk digenggam dan mengelusnya perlahan, hal itu membuat kupu-kupu di perut Changmin terbang bebas.

“Tadi gue sempet mau mundur lagi karena liat lo sama Kevin, hehe.”

“Dan disini gue sekarang, Juyeon akan ngungkapin perasaannya kepada Crush nya yang sempet memberi gelar friendzone ke hubungan mereka.” Juyeon menarik nafas, lalu kembali menatap mata Changmin yang indah, seperti ada galaksi di dalam sana.

“Changmin.. gue suka— mungkin saking terlalu suka nya sekarang jadi sayang? Changmin gue sayang sama lo, mau jadi pacar gue?”

Cengeng, rasanya Changmin akan menangis sekarang JUGA. Dunia seakan sedang melaksanakan hari mengejutkan sedunia, seharian hidup Changmin penuh dengan kejutan-kejutan tidak terduga.

Tidak sanggup bersuara, tubuhnya jatuh dalam dekapan yang lebih tinggi, mengangguk dengan agresif lalu berteriak.

“IYA! IYA! JI CHANGMIN MAU JADI PACAR LEE JUYEON!”

Pelukan direnggangkan, lalu jangkrik yang terdiam tadi kembali bersuara karena menjadi saksi kedua ranum sepasang sahabat— ralat, maksudnya kedua ranum sepasang kekasih itu menyatu, memberi kehangatan kepada satu sama lain.

“Jangan pergi tiba-tiba ya, gue takut.”

“Gak akan kok, Adek kecil.”

Ya.. Kisah kasih remaja.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

[].

Terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru dari arah pintu keluar belakang, itu Juyeon yang lagi bingung nyariin Ji Changmin yang entah hilang kemana.

“Aduh, dasar anak kecil, bikin orang khawatir aja.”

Juyeon mendesah panjang karena setelah 10 menit lamanya belum juga melihat batang hidung milik Changmin, nomornya di telfon juga tidak ada respon dari sebrang.

Setelah mengelilingi daerah di dekat tempat berkumpulnya tadi, akhirnya Juyeon terpikir untuk melihat satu tempat yang mungkin Ia bisa menemukan Changmin disana. Ya, siapa tau aja.

Kenapa dicariin di sekitar taman doang tadi? pikir Juyeon tadi Changmin bisa aja takut keluar, pergi jauh-jauh sendirian terus ngumpet, atau mungkin di culik wewe?

Ditepisnya segala pikiran buruknya itu lalu berjalan menuju gapura, tersenyum menyapa satpam yang berjaga disana, kemudian lanjut keluar dari komplek itu.

Beberapa penjual kaki lima masih berjejer di pinggir trotoar, dan matanya menatap satu gerobak yang berada dekat dari tempatnya berdiri sekarang.

Bibirnya tertarik keatas, jika diteruskan mungkin bisa menerobos sampe ke mata.

Kakinya perlahan berjalan menuju gerobak yang betuliskan “Es Cendol” itu.

“Mang percaya napa deh, gue bohong juga buat apa? tinggal minta Mama bikinin se tangki air juga bisa, ayolah Mang bentar doang,” ucap seseorang sembari menggosok-gosokan kedua tangannya berharap sang penjual es cendol mendengar permohonannya.

“Enak aja dek, kamu emang langganan disini tapi emoh ah, rese kamu tu,” balas sang penjual yang membuat si pemohon tadi merengek lucu, mati-matian Juyeon menahan tawanya karena, hei! mana mungkin dia tidak gemas dengan pemandangan di depannya sekarang?

“Aelah Mamangnya tu yang rese, gue kalo bohong juga bakal dikejar satpam noh, masi ga percaya? nih henpong gue, gue taroh disini, mau ambil fulus dulu!” Nadanya terdengar sangat kesal.

Baru saja orang tadi berdiri untuk kembali mengambil uangnya tiba-tiba lengan panjang terulur dan memberikan Mamangnya uang untuk membayar cendol milik Adek kecil di depannya.

Lantas orang itu menatap ke sang pemilik lengan, dan betapa terkejutnya dia, alay.

“Makannya Adek kecil, kalo mau kabur itu bawa uang dulu.” Jari telunjuk Juyeon tergerak untuk menoel hidung milik si Adek kecil, Changmin.

Yang di toel hidungnya hanya bisa mencebikkan bibirnya, lihat Juyeon jadi keingat kejadian di taman belakang tadi.

Changmin kembali duduk lalu membanting kepalanya ke meja di depannya, sampe bergetar kayak abis ada gempa, untung si cendol masih oke di tempat.

Juyeon mengernyit, terheran apakah jidat Changmin tidak sakit?

“Heh dek jangan sok iye kamu ya, ini meja mahhal,” ucap si Mamang dengan menekan kata mahal.

“Iyeee Mang, sotoy bener.” Ini Changmin yang masih nenggelamin kepalanya di lipetan tangannya sendiri.

“Aduh maaf Mang dia lagi betmut kayak kodok.” Tiba-tiba Juyeon bersuara yang mana membuat Changmin langsung mengangkat kepalanya, apa katanya? kayak kodok?

“Gak apa atuh mas juy, udah biasa saya mah.” Mang penjual es cendol ini— atau bisa kita panggil aja Mang Oja.

Mang Oja mengibaskan tangannya tanda agar Juyeon santai saja akan kegaduhan tadi, setelahnya satu es cendol kembali di berikan di hadapan Juyeon dan Changmin.

“Mak— AW!” Teriak Juyeon yang tidak tahan akan kesakitan dari cubitan handal Changmin. “Marah sama gue kah lo?”

“Salah siapa lo ngatain gue kayak kodok tadi? wajah tampan nan mempesona gini, semuanya takluk,” cibir Changmin.

“Iya, gue salah satunya,” Juyeon berucap dengan pelan, benar-benar pelan yang pastinya bakal membuat Changmin hah hoh doang kek penjual keong.

“Hah? ngomong apa lo?” Yakan.

“Muka lo kek orang galau.”

Satu pukulan mendarat di leher bagian belakang milik Juyeon.

Si empu udah meringis kesakitan sedangkan pelakunya hanya tertawa kencang, agak serem tapi Juyeon demen.

“Lo udah tau tentang Hyunjae sama.. Sunwoo?” Tanya Juyeon setelah sakit di lehernya mereda.

Changmin yang baru saja ingin meminum kembali es cendolnya tiba-tiba terhenti karena pertanyaan dadakan dari Juyeon, kayak tahu bulat.

“Udah, orang gue ngegep mereka ciuman,” jawab Changmin dengan lesu, lalu kembali meminum es cendol kesayangannya biar enggak galau katanya.

“Demi apa?!” Juyeon terkejut, suaranya lumayan keras yang mana membuat Changmin langsung membekap mulut Juyeon.

“Hus, lambemu, iya gue lihat mereka tadi, CIPOKAN.”

Juyeon ya masih terkejut dong, pasalnya tadi Hyunjae cuma bilang kalo Changmin lihat, tau Hyunjae sama Sunwoo pacaran bukan cipokan.

“Huh.. mereka backstreet ya? kenapa sih pake backstreet segala,” ucap Changmin setelah menghembuskan nafasnya.

“Mungkin belum siap?”

“Belum siap kenapa dah, gak ada yang ngehalang juga.”

“Lah lo yang naksir si Hyunjae itu bukannya lumayan menghalang?”

Nafas Changmin tercekat, iya juga ya, dia blak-blakan bilang kalo dia naksir Hyunjae, ke Adeknya sendiri yang notabenya adalah pacar Hyunjae.

Baru saja Changmin ingin membenturkan kepalanya ke meja lagi, namun dengan cepat tangan Juyeon menahannya.

“Jangan dibenturin mulu, nanti tambah bego gue gak mau ngurus.”

“AH NGESELIN.” Lagi-lagi helaan nafas terdengar dari arah Changmin. “Backstreet itu gak enak tau, nanti kalo endingnya gak sesuai ekspektasi mereka gimana, kayak gue dulu..” Perkataannya perlahan menjadi lirih, kalimat terakhir tidak begitu terdengar di telinga Juyeon.

“Heh? lo kenapa?”

Changmin sadar dan langsung gelagapan kayak abis ditangkap basah mencuri sesuatu.

“Enggak kok, makannya kuping dibersihin.”

“Ngaca cil, ngaca noh.”

Changmin malas membalas perkataan Juyeon setelah itu, hari ini benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling.

Tiba-tiba mata Changmin menangkap Juyeon yang melamun menatap wajahnya, dengan cepat dirabanya wajah gantengnya sendiri, takut ada cendol belepotan nempel di pipi, tapi gaada.

“Hoy, lo kenapa deh natepin gue mulu, wajah lo kek orang kasmaran.”

Ucapan Changmin lantas membuat Juyeon yang tadi sedang melamun dan meminum cendolnya jadi tersedak!

Cendol yang tidak terkunyah lantas masuk berseluncur kedalam perut Juyeon, waduh ini Changmin tau apa gimana kalo Juyeon lagi kasmaran, sama orang yang ada di depannya.

“Uhuk! uhuk!”

“Aduh lo mah, lemah,” begitulah perkataan Changmin sebelum menepuk keras punggung Juyeon seperti yang biasa dilakukan kepada orang yang tersedak.

“Uda belum kes—”

“Oy! dicariin loh.”

Perkataan Changmin terpotong karena panggilan seseorang dari arah samping, suara yang familiar, lagi.

Lantas Juyeon dan Changmin menolehkan kepalanya kearah asal suara.

“Eh maaf, iya ini balik!” Balas Juyeon juga dengen berteriak. “Ayo?”

“Ehm, g-gue agak nantian aj—”

“Gak menerima penolakan, gue seret lo.” Tangan Changmin di genggam begitu saja membuat si empu terpaksa ikut.

Dengan tidak sengaja tatapannya bertemu dengan manik milik orang yang memanggil mereka tadi, lalu orang itu tersenyum lembut.

Tidak peduli, Changmin mengalihkan pandangannya.

Suasananya sekarang bisa dibilang canggung, buat Changmin seorang sih.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

[].