#2

I’m not really a forgiving person.

Sulit untukku memaafkan seseorang, terutama ketika dia benar-benar menyinggungku atau benar-benar menyakitiku. Aku memang tidak berkata apa-apa, berlaku biasa saja di depan orang tersebut, namun aku berjanji pada hatiku sendiri untuk tidak akan pernah memaafkan orang tersebut.

Sebelum aku pindah ke negara ini, terdapat sebuah gesekan besar antara suami, aku dan ibu mertuaku. Biasa, perihal finansial. Beliau benar-benar menyinggungku, menyinggung suamiku. Aku marah besar, tapi tidak bisa mengeluarkannya di depan beliau karena tidak ingin memperbesar rongga di antara beliau dan suami.

Di dalam hatiku aku berkata, inikah orang yang ingin aku untuk menganggapnya sebagai ibuku sendiri? She is even worse than my own mother. Ayahku bahkan tidak pernah memperlakukan suamiku seperti itu. Ayahku sangat sayang pada suamiku, dia menantu kesayangan beliau. Dia membuatkan menantunya teh setiap menantunya berkunjung, membelikan nasi tim saat menantunya sakit. Tidak adil rasanya karena mertuaku tidak memperlakukanku sama seperti ayahku memperlakukan suamiku.

Aku tidak bisa memaafkannya, apapun yang beliau lakukan untuk meminta maafku.

Selang beberapa bulan setelah itu, rumah tangga kakak iparku hancur dan ibu mertuaku sakit parah. Jelas sekali sakitnya berasal dari stress yang sangat berat.

Awalnya aku biasa saja. Tetapi lama kelamaan, penyakitnya makin berat dan aku terpikirkan kalimat yang terukir dalam di hatiku waktu itu. Aku tidak bermaksud superior atau mendahului Tuhan, tapi apakah sakitnya mertuaku ini karena beliau tidak mendapatkan maaf yang tulus dariku?

Ketidakberuntungan menghantui keluarga mertuaku tepat setelah kejadian itu, apakah ini sebuah ganjaran akan sakit hatiku?

Ketika berpindah ke negara ini, suamiku mulai banyak bercerita tentang masa kecilnya, kedekatan dengan orangtuanya yang sangat minim dan betapa ia tak mengerti mengapa ia harus dekat dengan orangtuanya sementara kedekatan itu tak pernah orangtuanya pupuk semenjak ia kecil.

Aku miris mendengarnya. Aku pikir hanya aku yang menjalani kehidupan masa kecil yang tidak menyenangkan. Lima tahun menikah, aku baru tahu perasaan suamiku saat dia dalam proses tumbuh besar.

Aku marah, sedih. Tapi aku bisa apa? Semua sudah terjadi. Tidak mungkin aku mengembalikan waktu dan membuat masa kecil suamiku berubah 180 derajat.

I try to make him happy.

Aku belikan ia pakaian, aku jaga mood-nya, aku turuti semua keinginannya. Tapi, mood-nya selalu hancur saat ibunya merengek sesuatu yang menurutku... entahlah, aku tidak bisa berkata apa-apa.

I hate his mom and his dad. They always take him for granted. Aku sayangi dia, aku cintai dan aku juga ikut hancur melihat orangtuanya memperlakukan dia seperti itu.

Dan aku semakin jauh dari kata maaf.

Aku selalu ingin mengatakan bahwa aku sayang dia, ayahku juga, begitu pun kakak-kakak dan adikku. Mereka semua menghormati dia. Suami, menantu, kakak ipar dan adik ipar kebanggaan keluargaku.

Aku harap perasaanku dan keluargaku ini sampai padanya.