Missing Moonlight

Tags: Human Trafficking, Slavery, prostitution, disease, illness, bullying, Suicide.


.

.

.

Suara petikan gitar terdengar begitu merdu. Orang-orang berkeliling mengitari seorang pria yang tengah duduk dan melantunkan lagu dengan suara indahnya. Jemarinya menari di atas senar gitar. Menciptakan melodi indah yang membuat orang sekitar merasa nyaman dan bahagia.

Pria itu selesai bernyanyi. Disambut dengan tepuk tangan kagum orang yang mengelilinginya. Orang-orang tersebut kemudian memasukkan beberapa lembar uang ke dalam tempat gitar yang tergeletak di tanah. Memberikan apresiasi kepada sang penyanyi jalanan.

Pria itu membereskan peralatan bernyanyinya. Menghitung uang yang ia dapatkan dari menyanyikan beberapa lagu untuk pejalan kaki yang tertarik. “Hmm… cukup banyak juga” gumamnya. Memasukkan uang tersebut ke dalam sakunya. Setelah semua selesai, ia beranjak pergi dari tempatnya.

Pria itu menunggu di sebuah halte. Menatap sekitar dengan matanya yang sayu. Sesekali tersenyum melihat orang yang lewat. Manusia sungguh makhluk yang menarik. Pikirnya.

“Hanma?”

Sebuah suara menyapa si penyanyi. Ia menoleh. Dan tersenyum kecil.

“Halo Takemichi”

Pria bernama Takemichi itu lalu duduk di sebelah Hanma, si penyanyi.

“Bagaimana penampilan hari ini?” Tanya Takemichi. Hanma mengangkat bahunya.

“Ya… hari ini penghasilannya lumayan. Aku rasa hari ini aku bisa ke rumah bordil seperti Minggu lalu”

Takemichi menggeleng. “Apa penghasilan mu yang kurang itu selalu kau pakai untuk menyewa pelacur?”

Hanma tertawa terbahak-bahak “hei tentu saja tidak! Aku masih menabung kok! Tapi kan aku butuh. Tubuhku membutuhkan hiburan setelah bekerja lama”

Kali ini Takemichi yang tertawa “aneh… padahal dulu ada label musik yang menawarimu kerja. Malah kau tolak. Padahal dengan royalti yang kau dapatkan, kau bisa saja dapat pacar, tak harus menyewa pelacur setiap minggunya”

Hanma menghela nafas “Jadi artis itu sulit. Aku nantinya harus berkelakuan baik setiap hari. Tidak bisa merokok, tidak bisa clubbing, tidak boleh ini, tidak boleh itu…”

“Hahahaha… kau memang berjiwa bebas ya Hanma”

“Oh ya, bagaimana anakmu?”

“Oh, aku sedang menunggunya sekarang. Sebentar lagi mungkin dia akan turun di sini”

Hanma tersenyum. Menatap jalanan yang dilalui oleh kendaraan yang lalu-lalang.

“Papa!!” Seorang anak laki-laki turun dari bus dan langsung memeluk Takemichi. Takemichi mengangkat tubuh sang anak dan memutar-mutarnya dengan gembira.

“Papa tadi disekolah aku belajar membuat mural”

“Oh ya?” Takemichi terlihat antusias “anak papa memang pintar!”

“Oh! Paman Hanma! Hai!” Si anak melambaikan tangannya pada Hanma. Hanma tersenyum dan mengacak rambut si anak laki-laki.

“Kageyama, kau belajar dengan baik kan?”

“Tentu saja! Aku mau jadi orang keren seperti papa kalau sudah besar! Jadi aku belajar dengan baik”

“Anak pintar!” Puji Hanma.

Anak laki-laki bernama Kageyama itu tersipu malu, bersembunyi di ceruk leher sang ayah. Mengundang tawa Takemichi dan Hanma.

“Kalau begitu aku pulang dulu ya. Daah Hanma”

“Bye bye paman Hanma!”

Hanma melambaikan tangannya pada dua sosok yang berjalan menjauh. Tersenyum kecil menatap mereka yang makin hilang dari pandangan. Hanma kembali duduk di kursi halte. Menunggu bus nya datang.

Hanma tak langsung pulang. Ia pergi ke rumah bordil karena perlu “sesuatu”. Menjinjing tas gitarnya dengan tenang.

“Oh? Aku pikir kau tidak akan datang” sambut seorang laki-laki bertato naga di kepalanya. Hanma tersenyum dan mengangkat tangannya. Melakukan hi five dengannya.

“Kau baru mau pergi ke bengkel?”

“Ya, aku baru saja mau berangkat”

“Draken! Tunggu!” Seorang gadis berambut pirang menghampiri si tato naga.

“Ada apa Emma?”

“Kau pulang malam lagi?”

“Iya, tidak apa-apa aku bawa kunci” jawab Draken sambil mengusap rambut sang istri. “Aku berangkat ya”

Hanma dan Emma melambaikan tangannya pada Draken. Berpamitan padanya.

“Aneh… ia pergi ke bengkel di siang menjelang sore”

“Ini sudah sore Hanma” Emma tertawa kecil. Hanma menatap perut Emma yang besar. Tersenyum kecil. “Kapan?”

“Oh?” Emma menatap perutnya. Mengusapnya dengan lembut “dua bulan lagi… ternyata hamil itu sulit ya”

“Tentu saja. Kau membawa seorang manusia di perutmu. Bagaimana itu bisa terlihat mudah”

“Hahaha… ngomong-ngomong, Kapan kau menyusul” Emma menyikut Hanma. Hanma meringis berpura-pura kesakitan.

“Kalau kau dan Draken punya rumah sendiri, aku baru akan cari pasangan”

“Hm.. berarti sebentar lagi” ujar Emma. “Pahcin dan Peh sudah mencarikan kami rumah yang bagus” Emma menatap sekeliling “kami tidak bisa tinggal di sini terus… sudah waktunya kami punya rumah sendiri. Apalagi akan ada Draken junior sebentar lagi”

PRANG!! Terdengar suara benda pecah dari dalam. Emma dan Hanma langsung menoleh ke arah suara.

“Ma-maaf!” Ucap sebuah suara. Suara seorang laki-laki

“Kisaki, tidak apa-apa, kan aku sudah bilang padamu istirahat saja”

“Tapi tapi bagaimana kalau ada pelanggan?”

“Tidak apa-apa… kau sudah melayani terlalu banyak hari ini”

Beberapa gadis mengelilingi laki-laki bernama Kisaki itu. Menuntunnya kembali ke kamarnya. Hanma mengerutkan keningnya. Kisaki? Rasanya aku pernah mendengar nama itu . Batinnya.

“Oh ya, sekarang ada pekerja laki-laki. Lima orang” jelas Emma.

“Heeee” Hanma mengangguk-angguk. “Apa tarifnya sama?”

“Kurang lebih. Tapi yang namanya Kisaki itu, paling banyak pelanggannya”

“Oh ya? Bagaimana bisa?”

“Entahlah” Emma mengangkat bahunya “tapi, dia itu tidak bisa melihat”

“Buta?”

“Ya”

“Wah… seorang pekerja seks dengan disabilitas…” gumam Hanma.

“Draken dan Pak bos menemukan dirinya di jalanan… kasihan. Keadaannya menyedihkan”

“Di jalan? Lalu kenapa sekarang dia jadi salah satu pekerja?”

“Oh, bagaimana ya menjelaskannya…” Emma menggaruk kepalanya “dia dijual”

“Penjualan manusia? Bukankah itu ilegal?”

“Iya… makanya pak bos membayar sangat mahal pada pemiliknya. Supaya Kisaki bebas”

“Sudah buta… diperjualbelikan pula.. menyedihkan sekali… apa pemilik sebelumnya seorang pemilik rumah bordil juga?”

Emma mengangguk “aku kembali ke kamar ya Hanma. Selamat bersenang-senang”

“Hati-hati jalannya” ujar Hanma agak khawatir.

“Iyaa” Emma tertawa kecil sebelum kembali ke kamarnya. Beristirahat.

“Laki-laki ya… hm… menarik”

Hanma langsung memesan jasa laki-laki bernama Kisaki itu. Yang mana membuat pekerja lain terkejut.

“A...anu Hanma… apa kau tidak mau memilih yang lain? Ayumi sedang tidak melayani siapapun kok”

“Tidak. Aku mau Kisaki” Hanma menjawab dengan tegas.

“Tapi-”

“Tidak apa-apa” jawab Pak bos. “Kisaki sendiri yang memilih bekerja dengan kita. Sudah tugasnya melayani pelanggan bukan?”

“Tapi dia sudah melayani terlalu banyak! Aku takut dia nanti kelelahan” ujar seorang gadis. Ia terdengar begitu khawatir.

“Hanma, jangan terlalu lama ya? Kasihan dia” ujar pak bos. Hanma mengangguk sebelum masuk ke dalam kamar.

“Halo, selamat sore…” sapa Kisaki.

Hanma menjatuhkan barang yang ia bawa. Matanya tertuju pada sosok laki-laki yang tengah berdiri di hadapannya.

“Kisaki Tetta?”

*****

Sepuluh tahun yang lalu

“JANGAN HALANGI JALAN DASAR CULUN!”

Tubuh ringkih itu terdorong ke lantai. Kacamatanya sampai terlempar ke lantai.

“Ma-maaf!”

“Dasar! Kau punya dua mata dan tidak dipakai”

“Maafkan aku senior!” Si laki-laki berkacamata memohon. Namun malah dipukuli oleh kakak kelasnya tersebut. Ia hanya bisa meringkuk, menahan semua pukulan yang menghujani dirinya.

Hanma memandang kejadian menyebalkan itu dari jauh. Menggelengkan kepalanya. Kenapa orang kuat selalu ingin berkuasa?. Batinnya.

“Hanma, kau sedang lihat apa?” Tanya temannya, Kazutora. Hanma menunjuk ke arah seorang laki-laki yang tengah dikelilingi oleh Kakak kelas.

“Ooh… Kisaki Tetta… kasihan dia. Dia dirundung terus oleh mereka karena sering tidak lihat jalan”

“Minusnya parah ya?” Tanya Hanma.

“Kurasa begitu. Aku pernah lihat kacamatanya. Sangat tebal!” Jawab Kazutora. “Padahal dia pintar. Sangat pintar! Dia ada di kelas unggulan bersama dengan Mitsuya dan Naoto”

“Kasihan…” gumam Hanma

“Kalian tidak mau menolongnya?” Tanya seorang laki-laki bersurai panjang. Hanma dan Kazutora menoleh pada si rambut panjang, Baji. Yang sudah siap melayangkan pukulan pada siapapun.

“Kau mau bertengkar?” Tanya Hanma.

“Kalian tidak mau?”

Hanma dan Kazutora saling bertatapan sebelum mengangguk pada Baji. Menyingsingkan lengan baju sebelum berlari ke arah para pengganggu.

Baku hantam tentu saja terjadi. Hanma, Kazutora, dan Baji terkenal bukan hanya karena Tampan. Mereka juga terkenal karena punya kekuatan fisik yang cukup gila. Dan pertengkaran kecil itu, tentu saja dimenangkan oleh Hanma dan kawan-kawan.

“Dasar anak tak tahu diri!” Cerca para pengganggu sebelum pergi meninggalkan mereka. Hanma memungut kacamata Kisaki. Memasangkannya di hidungnya.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Hanma.

“Eum… ya. Terimakasih”

“Hei wajahmu lebam!” Seru Kazutora. Menatap wajah Kisaki yang memang lebam karena pukulan kakak kelasnya.

“Tidak apa-apa kok, memar sedikit” Kisaki mencoba meyakinkan. Namun Hanma malah menariknya ke ruang kesehatan. Baji dan Kazutora mengekor di belakang.

“Walau hanya luka kecil, itu tetap menyakitkan”

“Ha-Hanma aku tidak apa-apa! Sungguh!”

Namun Hanma tetap menarik Kisaki ke ruang kesehatan. Mendudukkan dirinya di kasur. Memeriksa kondisi wajah Kisaki dengan cermat.

“Hanma! Aku tidak apa-apa” Kisaki meraih wajah Hanma. Menatapnya lekat-lekat. Hanma terdiam. Begitu pula dengan Kisaki. Kisaki buru-buru melepaskan tangannya.

“Ma-maaf! Aku hanya ingin melihat lebih jelas…”

“Minusnya parah sekali ya?” Hanma duduk di samping Kisaki. Kisaki mengangguk. Membetulkan posisi kacamatanya.

“Sebenarnya ini bukan minus, tapi penyakit”

“Penyakit? Apa berbahaya?”

“Dokter bilang tidak. Tapi pada akhirnya aku akan tetap kehilangan penglihatanku…”

“Itu menyeramkan”

“Tidak apa-apa, aku pintar mengingat suara! Asal aku ingat suaranya, aku pasti bisa membayangkan wajahnya”

Hanma mengangguk-angguk. Menatap Kisaki yang terlihat kelelahan. Ia tak melawan ketika dihajar. Namun, Kisaki tetap terlihat begitu kelelahan.

“Hei Hanma”

“Ya?”

Hanma menatap Kisaki, yang kembali menjulurkan tangannya, menangkup wajah Hanma.

“Terimakasih sudah menolongku. Padahal, aku cuma anak kutu buku yang tidak populer”

“Ah… tidak apa-apa kok…” Hanma menggaruk kepalanya. “Ngomong-ngomong, kalau suatu saat kau benar-benar kehilangan penglihatanmu, apa kau masih akan mengingatku?”

Kisaki tersenyum “tentu, aku tidak akan melupakan wajah orang yang menyelamatkan aku”

*****

Masa sekarang

“Kisaki?! Ini aku! Hanma!” Hanma mengguncang-guncang bahu Kisaki. Kisaki memiringkan kepalanya. Mengerutkan keningnya sebentar sebelum tersenyum senang.

“Hanma? Benarkah itu kau?” Ia meraba-raba wajah Hanma. Mengusap setiap senti wajah Hanma. Menyentuh tiap lekukan. Hidung, bibir, pipi, Kisaki mencoba meyakinkan dirinya.

“Iya, ini aku!”

“Wah! Iya benar! Eh? Hanma apa yang sedang kau lakukan di sini?”

“Eum… aku… aku pelanggan…”

“Oh… eh?” Kisaki melepas tangannya. Buru-buru berjalan mundur ke arah tempat tidurnya. “Maafkan aku tuan…”

“Tolong, Hanma saja”

“Tapi… kau bilang kau pelanggan?”

“Dan temanmu. Ayolah Kisaki, jangan begitu” Hanma berjalan menghampiri Kisaki. Duduk di sebelahnya sambil menatap mata Kisaki yang hanya bisa menatap dengan kosong. Dua netra emas yang masih bersinar, namun telah kehilangan kemampuannya untuk melihat.

“Eum… anu… canggung sekali rasanya…” Kisaki menggaruk kepalanya. Bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Apakah ia harus melayani temannya? Atau mengajaknya bicara?

“Aku tidak akan menggunakan jasamu… tadi yang lain bilang kau sudah melayani cukup banyak pelanggan”

“Ah! Iya… hehe dari pagi banyak sekali pelanggan yang mau denganku…”

Hanma merasa Miris. Padahal dengan kecerdasan yang Kisaki miliki, ia bisa jadi orang yang sukses. Namun sekarang ia malah jadi seorang gigolo.

“Kisaki… anu… boleh aku tanya sesuatu?”

“Ah, aku tahu… kau pasti mau bertanya kenapa aku bekerja seperti ini. Bukan begitu?”

“Eum… kalau kau tidak mau cerita tidak apa-apa kok”

“Tidak apa-apa, aku juga tidak masalah”

Kisaki merapikan baju tipisnya sebelum merubah posisi duduk. Berusaha senyaman mungkin.

“Setelah kelulusan, aku pergi ke luar negeri untuk operasi mata. Namun ternyata ayah ditipu. Pendonor Mata yang ayah dapatkan bukan pendonor sungguhan. Mereka mafia dengan bisnis jual beli budak. Dan aku adalah korban…” Kisaki menarik nafas “... Aku dipindah tangankan berkali-kali. Seperti barang. Aku merasa kotor. Banyak laki-laki dan perempuan yang sudah menyentuhku…”

Kisaki tertawa kecil “bayangkan, aku berkeliling dunia, namun hanya untuk jadi sex robot yang tidak bisa melihat…”

Hanma merasa Sedih. Teman SMA nya itu sekarang begitu menyedihkan. Padahal dulu, dia begitu bersinar berkat kecerdasan dan kemampuan sosialnya. Sekarang? Dia hanya seorang pelacur. Membuka kakinya untuk orang yang entah dari mana hanya Tuhan yang tahu.

“Ayahmu? Bagaimana?”

“Saat aku dibawa ke Jepang, aku mendengar ayah bunuh diri. Ia jadi gila setelah tahu aku diperjual belikan”

“Ah… aku minta maaf…”

“Tidak apa-apa”

“Dan sekarang kau kembali melayani nafsu birahi orang?”

“Begitulah… aku tidak tahu harus apa. Setelah penglihatanku menghilang, aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan. Tapi Hei! Setidaknya aku tidak akan pernah ingat siapa yang meniduriku kan?”

Hanma meringis. Bisa-bisanya Kisaki tetap merasa ceria padahal hidupnya begitu menyedihkan. Sangat disayangkan.

“Kau sendiri? Apa pekerjaanmu?” Tanya Kisaki.

“Oh. Aku seorang musisi jalanan… aku sempat kerja kantoran. Tapi aku tidak kerasan dan memilih keluar”

Kisaki tersenyum. “Dari dulu kau memang suka bernyanyi bukan? Aku heran kenapa kau tidak jadi idol”

“Haha… kalau aku jadi idol, aku tidak akan kesini setiap bulan”

Lalu keduanya tertawa. Sedikit melelehkan suasana canggung yang memenuhi ruangan.

“Kisaki”

“Ya?”

“Apa kau ada pikiran ingin berhenti dari pekerjaan ini?”

“Tentu ada. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya ini yang saat ini bisa kulakukan. Membuka kakiku lebar-lebar”

Hanma menatap Kisaki dengan sendu. Ia benar-benar kaget bisa bertemu Kisaki di tempat seperti ini. Padahal dulu, ia pikir suatu hari akan bertemu Kisaki di tempat yang lebih “layak”

TOK! TOK! Terdengar suara pintu diketuk. Seorang gadis membuka perlahan. Menatap Hanma sebelum memberikan isyarat padanya agar mendekat diam-diam.

“Ada apa?”

“Lama sekali, kasihan dia!” Bisik si gadis.

“Tenang, aku tidak akan menidurinya”

“Eh?”

“Dia temanku waktu SMA. Aku masih mau mengobrol dengannya”

“Ah oke oke, terimakasih Hanma”

“Oke” Hanma menutup pintu perlahan dan kembali ke samping Kisaki. Kisaki hanya duduk dengan tenang.

“Hei Hanma”

“Ya?”

“Boleh aku pegang wajahmu lagi?”

“Eum… tentu”

Hanma membiarkan Kisaki menelusuri wajahnya lagi. Hanma terpejam. Mendadak menikmati sentuhan lembut tangan mungil Kisaki. Ah tidak, tidak mungil. Dia saja yang besar badannya.

Hanma menatap dua manik mata Kisaki. Dua mata yang dulu selalu tertutup oleh kacamata tebal. Kini kedua mata indah itu Tak tertutup. Namun, bagi kedua mata indah itu, dunia hanya ruang gelap. Tak ada warna, tak ada bentuk, tak ada cahaya. Gelap. Kosong. Tak berujung.

Hanma Merasa sedih. Jika saja dia membantu Kisaki mencari donor waktu dulu, Kisaki mungkin sekarang sudah berada di tempat yang Kisaki selalu inginkan.

“Hanma? Kau menangis?” Kisaki mengusap pipi Hanma yang basah. Hanma terkejut karena dirinya tiba-tiba menangis.

“A-aku kelilipan” bantah Hanma. Kisaki berhenti menyentuh wajah Hanma. Tersenyum manis padanya.

“Hanma, jujur saja. Aku senang bertemu denganmu. Aku belum pernah bertemu dengan teman sekolah seorangpun sejak pulang ke Jepang. Terimakasih”

“Sama-sama… anu… Kisaki, beristirahatlah. Kau sudah bekerja cukup keras hari ini”

“Ah… oke… apa tidak apa-apa?”

“Bos bilang boleh”

“Baiklah…”

Kisaki berdiri. Berjalan dengan hati-hati menuju lemarinya. Kedua tangannya terjulur menggapai apapun yang ada di hadapannya. Jadi orang buta susah ya. Batin Hanma.

“Anu… Kisaki… apa kau butuh bantuan?”

“Ah tidak apa-apa, aku bisa kok”

Kisaki membuka lemari, mencari baju yang lebih layak untuk dipakai tidur. Sejak kehilangan penglihatannya, agaknya sensorik sentuhan Kisaki semakin peka terhadap tekstur dan bentuk. Ia terlihat bisa memilih pakaian yang tepat.

“Aku mau ganti baju” kata Kisaki

“A-apa aku harus menutup mataku?” Tanya Hanma.

Kisaki cekikikan “terserah. Tubuhku sudah dilihat banyak orang aku tidak peduli lagi”

Kisaki menanggalkan pakaiannya satu persatu. Hanma tertegun. Punggung Kisaki bisa dibilang penuh dengan bekas luka. Kisaki bukan hanya dijual, ia diperbudak. Bahkan ada bekas cap besi di bagian punggung bawah. Air mata Hanma kembali menetes. Tak menyangka, hal semenyeramkan ini masih terjadi di dunia.

Namun Hanma juga takjub. Kisaki terlihat begitu tenang. Seolah ia sudah biasa dengan keadaannya. Bagaimana bisa?

“Hanma, kau menangis lagi ya?”

“Huh? Ti-tidak!” Hanma buru-buru mengelap air matanya.

“Aku tahu kok. Aku mungkin tidak bisa melihat, tapi aku masih bisa mendengar dengan sangat baik”

“Apa aku menangis terlalu keras?”

Kisaki terkekeh “tidak, tapi cukup terdengar apalagi hanya ada kita berdua di kamar ini”. Kisaki berjalan ke kasurnya. Berbarengan dengan nyaman.

“Hanma, maukah kau nyanyikan aku lagu sebelum pergi?”

“Boleh, kau ingin aku nyanyikan apa?”

“Kau tahu lagu milik Christian Bautista?”

“Yang mana?”

“The way you look at me… kau tahu? Aku suka lagu itu”

“Hm.. akan kucoba. Kurasa aku tahu liriknya” Hanma mengambil gitar dari tasnya. Memetik beberapa senar dengan sembarangan sebelum menemukan melodi yang tepat.

No one ever saw me like you do All the things that I could add up too

I never knew just what a smile was worth But your eyes say everything without a single word

'Cause there's somethin' in the way you look at me It's as if my heart knows you're the missing piece You make me believe that there's nothing in this world I can't be I never know what you see

But there's somethin' in the way you look at me

Kisaki tersenyum. Lama kelamaan terlelap dengan tenang berkat suara indah Hanma. Jemari Hanma menari dengan cantik, memetik setiap senar gitarnya. Lagu yang sulit dinyanyikan dengan gitar. Namun Hanma sudah melakukan yang terbaik.

Hanma menoleh pada Kisaki. Ia sudah terlelap. Hanma menaruh gitarnya dengan hati-hati. Menyelimuti tubuh Kisaki dengan lembut. Ia tersenyum.

“Bagaimana kau bisa setenang ini? Aku harus belajar banyak darimu”

Dengan hati-hati, Hanma berjalan keluar dari kamar. Meninggalkan Kisaki yang sedang beristirahat.

Hanma berpamitan pada bos dan para pekerja yang lain. Pulang ke rumah. Tapi Hanma adalah Hanma, daripada pulang, ia pergi ke jembatan. Merokok di sana sambil menatap kota di hadapannya.

Hanma bertopang dagu. Memikirkan bagaimana dia bisa menyelamatkan Kisaki, setidaknya membiarkan Kisaki menggapai impian yang Hanma sendiri tak tahu apa impiannya.

“Eh, tunggu. Kenapa aku memikirkan Kisaki?” Hanma terdiam setelah menyadari ia memikirkan orang lain. “hidupku saja masih acak-acakan….”


.

.

.

Sepuluh tahun yang lalu

“Hanma! Sini sini pass bolanya!” Baji berteriak sambil melompat, menyuruh Hanma untuk melempar bola basket padanya.

Hanma dengan cepat melempar bola pada Baji. Lalu berlari kembali. Sesekali melihat ke arah tribun. Banyak gadis yang berteriak kegirangan pada timnya.

Bukan hal aneh ketika Trio Baji, Hanma dan Kazutora berada, ada banyak gadis berkerumun. Itu konsekuensi dari punya wajah tampan.

“KAZUTORA!! SEMANGAT YA!!”

“BAJI! GO GO BAJI GO!”

“KYAAA!! HANMA!!”

Kazutora melambai sesekali pada gadis-gadis yang berkerumun. Membuat mereka berteriak kegirangan. Dan membuat Baji mengerutkan keningnya.

“Hei bodoh! belum waktunya bertemu penggemar!” Hardik Baji.

“Hahaha maaf maaf”

Hanma menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat menatap sekitar, pandangan menatap seseorang. Kisaki. Duduk sendirian di ujung tribun. Hanma tersenyum dan melambaikan tangan. Membuat Kisaki terkejut. Balik melambaikan tangannya.

“Huh? Si culun ada di sini?” Para gadis menatap Kisaki sinis sambil berbisik. Kisaki langsung menunduk. Menyembunyikan wajahnya. Hanma yang melihat kejadian itu sampai tak fokus main dan hampir kalah. Kenapa Kisaki terus diganggu?

“Kisaki!” Hanma berlari menghampiri Kisaki setelah permainan berakhir. Dengan takut-takut, Kisaki melambaikan tangannya. Hanma langsung duduk di sebelahnya.

“Tidak ada kegiatan klub?” Tanyanya.

Kisaki menggeleng “aku tidak masuk klub apapun…”

“Eh? Kenapa?”

“Tidak ada yang mau menerimaku karena penglihatanku buruk”

Hanma menghela nafas panjang. Menepuk-nepuk punggung Kisaki. “Tidak apa-apa, kau lebih baik dari mereka”

Kisaki tersenyum. Merasa senang dengan perkataan Hanma. Lalu keduanya terdiam sejenak sebelum Baji dan Kazutora datang menghampiri.

“Oi! Kisaki! Kau sudah makan siang?” Tanya Kazutora. Kisaki mengangguk.

“Kalau masih lapar, mau coklat?” Kazutora menyodorkan sebatang coklat pada Kisaki, Yang langsung disambar oleh Hanma.

“Dapat dari mana?” Hanma membolak-balik coklat di genggamannya.

“Penggemar. Aku dapat banyak. Kau mau tidak Kisaki?”

“Eum.. tidak apa-apa, tidak usah” tolak Kisaki.

“Aih sudahlah… nih, ambil! Hadiah dari kami” Baji memberikan satu batang coklat. Menyuruh Kisaki untuk menggenggamnya.

“Te-terimakasih…”

Mendadak segerombolan gadis datang menghampiri mereka berempat. Mengerubungi para pemuda tampan. Hanma malah langsung berdiri, menarik tangan Kisaki keluar lapangan.

“Hanma! Tunggu!” Baji dan Kazutora segera menyusul mereka.

Kisaki terkejut karena tangannya tiba-tiba ditarik. Seolah Hanma memang sengaja menjauhkan dirinya dari kerumunan.

“Mereka gadis jahat, jauh-jauh dari mereka”

Kisaki tersenyum “terimakasih”

“Bukan masalah besar” Hanma mengangkat bahunya.

“Ah, Kisaki! Kau disini rupanya” Naoto berlari menghampiri Kisaki dan Hanma. “ada pekerjaan yang harus dikerjakan. Ayo!”

“E-eh?! Tunggu-” Kisaki kembali ditarik. Namun oleh Naoto. Hanma tidak sempat menahannya.

“Loh? Kisaki mana?” Tanya Baji yang baru sampai. Hanma menoleh “Naoto membawanya pergi”

“Ah…. Aku lupa… mereka anggota komite sekolah. Pasti sibuk” ujar Baji

“Eh? Apa itu?” Kazutora – yang baru saja sampai – menunjuk ke lantai. Ada secarik kertas di sana yang langsung dipungut Hanma.

“Surat apa?” Kazutora mengintip. Namun Hanma malah langsung menutupinya. “Bukan milikmu, jangan sembarang baca!”

“Huuu tidak asik!” Kazutora cemberut.

Hanma hanya terkekeh. Padahal ia juga sempat membaca surat itu.

Surat pemberitahuan Beasiswa luar negeri

*******

Masa sekarang

Hanma mengetuk-ngetuk meja di depannya. Bertopang dagu sambil menunggu pesanan makanannya datang. Menunggu makanan rasanya selalu lama. Entah karena perut sudah lapar atau memang makanannya lama datang.

Hanma mengeluarkan ponselnya. Mengeluh karena ia lupa memberikan nomor telepon pada Kisaki. dasar bodoh makinya pada diri sendiri.

“Oi Hanma!” Seseorang memanggil dirinya. Hanma menoleh. Dan Langsung melambaikan tangannya.

“Oi Baji!” Sapa Hanma

Baji langsung duduk di samping Hanma. “bagaimana karir bermusikmu?”

“Yah… masih sama seperti biasa. Penghasilan tidak tetap”

“Kalau kau masih mau bekerja denganku, lowongan masih terbuka”

Hanma terkekeh “tidak ah, nanti aku bau kucing sepertimu”

Lalu keduanya tertawa terbahak-bahak. Baji lantas memanggil pelayan. Memesan makanan sebelum kembali berbincang dengan Hanma.

“Eh iya… apa kau ingat Kisaki?”

“Kisaki?” Baji mengangkat alisnya “Kisaki Tetta?”

“Ya”

“Ingat. Kenapa?”

“Kemarin aku bertemu dengannya”

“Oh ya? Waaah dia pasti sangat sibuk sampai kau baru bertemu setelah bertahun-tahun lamanya”

Hanma tersenyum masam “dia buta”

“Hah? Apa?” Baji terkejut. Membelalakkan mata kucingnya.

“Ya, dia kehilangan penglihatannya setelah kelulusan waktu itu”

Baji berpikir sejenak. Mengingat kapan mereka lulus SMA “Lama sekali…”

“Ya… kasihan. Dia tidak punya siapa-siapa lagi setelah ayahnya bunuh diri”

“AYAHNYA BUNUH DIRI?!”

“Sstt! Tidak usah berteriak bodoh!” Hanma memukul kepala Baji yang masih terkejut. Baji mengerutkan keningnya.

“Kenapa? Kenapa harus bunuh diri??”

“Jadi dia–”

“Ini pesanan anda tuan”. Perkataan Hanma terpotong dengan datangnya makanan yang ia pesan. Perut Hanma langsung berbunyi. Yang mana mengundang tawa Baji.

“HAHAHAHA!! KAU LAPAR SEKALI HAH?”

“DIAAAAM!” Hanma tersipu. Membuat Baji tertawa makin keras.

“Makan dulu sana… kasihan nanti kau tidak bisa bernyanyi”

“Baji, diam”

“Hahahahaha”

Tak lama pesanan Baji datang. Mereka berdua pun makan sambil sesekali berbincang. Tentang pekerjaan, tentang kehidupan, namanya juga teman dekat. Sesekali tertawa dengan celotehan masing-masing.

“Eh tadi kau mau bilang Kisaki kenapa?” Tanya Baji.

“Ah itu…” Hanma terdiam. Apa boleh menceritakannya pada orang lain?. “Nanti Kisaki sendiri saja yang cerita”

“Huh? Kenapa memangnya?” Baji mengerutkan keningnya. Tak mengerti kenapa temannya tiba-tiba batal bercerita.

“Ceritanya cukup seram”

“Ah… oke oke” Baji mengangguk-angguk.

“Hei Hanma, mau aku bantu siapkan untuk busking ?” Tanya Baji. Hanma tersedak. Kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Busking… hahaha mengamen maksudmu?”

“Hei busking cukup keren loh! Kalau mengamen kesannya kau miskin sekali”

Hanma kembali tertawa sampai terbatuk-batuk. Baji pun ikut tertawa dan menepuk-nepuk pundak Hanma.

“Mau atau tidak??” Tawar Baji.

“Iya boleh… terimakasih sudah membantu”

Baji dan Hanma pergi ke tempat biasa Hanma tampil. Menyiapkan semua agar Hanma bisa bernyanyi dengan tenang. Para penggemar Hanma mulai datang bermunculan.

“Wah… hebat. Dari SMA sampai sekarang, penggemarmu banyak juga”

Hanma mendelik “seolah kau tidak diikuti beberapa gadis kemana-mana dulu”

Baji tertawa. Mendadak ia terdiam dan menepuk pundak Hanma dengan keras.

“Apa? Apa ada apa?”

“Kisaki”

“Hah?” Hanma celingukan. “Mana?”

Baji menunjuk ke satu arah. Mata Hanma berbinar. Kisaki ada di sana. Berdiri dengan tenang. Tangannya memegang tongkat jalan. Ah, dia pasti kesini karena mendengar orang-orang yang ingin menonton

“Baji, bisakah kau berdiri di sampingnya?”

Baji tersenyum dengan jahil “hei Hanma, bukankah aneh dari dulu kau selalu memperhatikan Kisaki? Apa kau menyukainya”

Hanma mendengus “bicara apa kau? Dia itu temanku. Teman kita. Dan sekarang dia seorang disabilitas. Sana, temani dia”

“Hohoho… hanya teman? Benarkah begitu?” Baji tertawa mengejek. Hanma berusaha mengejarnya namun Baji lari dengan cepat ke samping Kisaki.

“Halo semuanya, selamat sore. Selamat bertemu kembali dengan saya, Hanma Shuji” sapa Hanma pada penonton sekitarnya. Sesekali ia menatap Kisaki. Memastikan ia baik-baik saja.

“Untuk hari ini, saya menerima request lagu. Silahkan ada yang mau?”

Seorang gadis SMA melompat-lompat sambil mengacungkan tangannya. Hanma menunjuk padanya, memberikan isyarat padanya agar menyebutkan lagu apa yang ia mau.

“Anda tahu lagu Justin Bieber?”

“Tahu, kenapa?”

“Boleh lagu Justin Bieber?”

“Boleh. Yang mana?”

“Anda Tahu lagu yang berjudul Ten thousand Hours?”

Hanma berpikir sejenak. Lalu mengeluarkan ponselnya. Mencari lagu yang diminta si anak SMA

“Kurasa aku bisa”

Si gadis SMA bertepuk tangan senang. Hanma menaruh ponselnya di dudukan buku di hadapannya. Lalu memetik senar gitarnya. Menciptakan melodi indah yang terdengar ke seluruh penjuru tempat.

Do you love the rain, does it make you dance When you're drunk with your friends at a party What's your favorite song, does it make you smile Do you think of me When you close your eyes, tell me, what are you dreamin' Everything, I wanna know it all

I'd spend ten thousand hours and ten thousand more Oh, if that's what it takes to learn that sweet heart of yours And I might never get there, but I'm gonna try If it's ten thousand hours or the rest of my life I'm gonna love you

Sambil bersenandung, Hanma sesekali melihat pada penonton. Terutama Kisaki. Matanya tak henti-hentinya menata Kisaki yang tersenyum mendengar Hanma bernyanyi. Hanma mau tak mau ikut tersenyum.

Do you miss the road that you grew up on Did you get your middle name from your grandma When you think about your forever now, do you think of me When you close your eyes, tell me, what are you dreamin' Everything, I wanna know it all

I'd spend ten thousand hours and ten thousand more Oh, if that's what it takes to learn that sweet heart of yours And I might never get there, but I'm gonna try If it's ten thousand hours or the rest of my life I'm gonna love you I'm gonna love you

Para penonton begitu menikmati penampilan Hanma. Selain suaranya yang merdu, wajahnya juga tampan. Dan kemampuan bermain gitarnya bukan main-main. Orang yang lewat pun tertarik ikut menonton. Beberapa bahkan mengeluarkan ponselnya, merekam penampilan luar biasa dari Hanma.

Hanma menyanyikan lagu yang keluar di tahun 2019 itu dengan baik. Walaupun hanya ditemani alunan gitar, penampilannya benar-benar memukau.

Setelah lagu selesai, Hanma mendapatkan tepuk tangan meriah. Hanma tersenyum. Kemudian lanjut menyanyikan lagu-lagu lain. Lagu keluaran baru, lagu yang ia dengar pada masa SMA, lagu yang ia tahu ia nyanyikan. Menghibur orang-orang yang datang atau hanya sekedar lewat.

Setelah beberapa lama menyanyikan beberapa lagu, Hanma menyudahi penampilannya. Semua bertepuk tangan. Dan satu persatu manusia yang berkerumun di sana pergi kembali ke tujuan asalnya. Baji dan Kisaki berjalan menghampiri Hanma.

“Wah… aku tidak menyangka akan bertemu lagi denganmu disini” ujar Kisaki.

“Kisaki sendiri, sedang apa di sini?”

“Oh… bos bilang padaku untuk cuti. Aku melayani terlalu banyak pelanggan katanya. Beliau takut aku kelelahan”

Hanma menatap Baji. Ia terlihat habis menangis. “Baji? Kau tidak apa-apa?”

Baji terisak “aku baru saja mendengar cerita dari Kisaki… huweeeee Kisaki kenapa hidupmu begitu sedih?” Baji memeluk Kisaki, menangis dengan kencang. Kisaki hanya tertawa kecil. Menepuk-nepuk lengan Baji yang memeluknya. Hanma tersenyum dan ikut memeluk Kisaki.

“Kisaki, dengar, sekarang kau sudah bebas, jangan berurusan lagi dengan orang jahat ya? Kau punya kami, temanmu. Hiks” Baji mengelap ingus yang keluar dari hidung. Hanma tertawa keras melihat Baji sampai ingusan.

“Hahahaha Dasar Baji cengeng”

“Padahal dirinya juga menangis” Kisaki cekikikan. Membuat tawa Hanma terganti menjadi tawa Baji.

“Hanma menangis?! AHAHAHAHAHA”

“DIAM KAU BAJI KEISUKE!!”

tawa Baji malah makin meledak. Hanma sampai harus memukulnya agar ia berhenti tertawa. Kisaki yang mendengar semua itu, tersenyum lebar.

“Hahaha… hahaha… fyuh… perutku sakit” Baji menyeka air matanya. Ia tertawa sampai matanya basah. Hanma membuang muka dengan kesal.

“Ah ya, aku harus pergi. Chifuyu dan Kazutora menungguku di rumah” Baji menatap jam tangannya. Berpamitan pada Hanma dan Kisaki. Lalu pergi menjauh.

“Hei Kisaki”

“Ya?”

“Mau jalan-jalan?” Tawar Hanma.

Kisaki tersenyum. “Boleh. Sudah lama aku tidak jalan-jalan keliling kota”

“Aku akan menemanimu” ujar Hanma. Kisaki mengangguk.

Hanma takjub. Walaupun Kisaki tidak bisa melihat, ia terlihat begitu tenang dan tidak kesulitan sama sekali. Seolah ia melihat semuanya. Jalanan itu mungkin jalanan yang sama. Tapi zaman sudah berubah. Banyak hal yang berbeda. Mustahil rasanya Kisaki bisa mengetahui jalanan Tokyo ketika sebagian besar hidupnya ia habiskan di negara asing. Hanma benar-benar kagum pada Kisaki.

Hanma membawa Kisaki ke tempat yang Kisaki ingin kunjungi. Ia terlihat begitu gembira. Senyumnya tak sedetikpun meninggalkan wajahnya. Sesekali ia gandeng tangan mungil Kisaki, agar memudahkannya berjalan ketika bertemu dengan kerumunan. Kalau bisa, Hanma tak ingin melepaskan genggamannya.

Kisaki dan Hanma bersantai di sebuah restoran ramen kecil. Restoran yang cukup nyaman apalagi untuk penyandang disabilitas seperti Kisaki. Akses nya mudah.

“Hei Hanma, apa kau ingat tempat ini?”

“Huh? Ingat tempat ini?”

“Iya… di tempat ini, kita berdua makan ramen sambil saling bercerita tentang keinginan kita”

“Aku tidak terlalu ingat…”

Kisaki meraba tasnya. Mencari secarik kertas lusuh dari dalam tas. Lalu menunjukkannya pada Hanma.

“Ini. Kau mengembalikan surat beasiswaku di sini”

Mata Hanma berbinar. Surat itu. Surat yang Hanma pungut sepuluh tahun yang lalu.

******** Sepuluh tahun yang lalu

“Kisaki!”

Kisaki menoleh. Hanma berlari dari kejauhan mendekatinya. Lalu terengah-engah saat ia sampai di depan Kisaki.

“Ada apa?”

“Anu… mau pulang?”

Kisaki mengangguk. “Tapi aku mau beli ramen du–”

Perut Hanma keroncongan. Kisaki berusaha menahan tawanya dan Hanma menunduk malu.

“Mau ikut?” Tawar Kisaki.

“Kalau boleh, aku mau”

“Boleh. Aku traktir. Anggap saja ucapan terimakasih dariku”

“Ucapan terimakasih?” Hanma menggaruk kepalanya “untuk apa?”

“Jadi temanku” Kisaki menarik tangan Hanma pergi.

Hanma menatap sekeliling dengan kagum. Tempat makan yang sangat nyaman. Hanma jarang makan di restoran karena uangnya tidak terlalu banyak. Dan lagi, ia sibuk di rumahnya.

“Pesan saja, aku yang bayar” ujar Kisaki

“Oke oke”

Setelah mereka berdua memesan makanan, keduanya terdiam. Kisaki mengeluarkan buku catatan, menulis beberapa hal.

“Oh ya, Kisaki, aku menemukan ini” Hanma menyodorkan surat beasiswa pada Kisaki. Kisaki terkejut dan langsung meraih surat tersebut.

“Dimana kau menemukannya? Aku pikir ini hilang!” Kisaki memeluk surat itu. Ia terlihat begitu senang.

“Jatuh waktu kau dipanggil Naoto. Jadi aku memungutnya”

“Terimakasih Hanma…” mata Kisaki berkaca-kaca. Ia benar-benar gembira.

“Kau mau ke luar negeri?”

Kisaki mengangguk “ya. Aku akan mencari donor mata secepatnya agar pendidikan tidak terganggu”

“Kau sangat suka belajar ya?” Hanma bertopang dagu. Menatap wajah Kisaki yang memerah malu

“Ya… bagaimana ya… aku bagus dalam hal itu…”

“Kisaki…”

“Ya?”

“Sepuluh tahun lagi, Kira-kira kau ada dimana?”

Kisaki berpikir sejenak. “Aku akan keliling dunia. Menjadi seorang guru, atau peneliti. Apapun yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan”. Hanma mengangguk-angguk mendengar jawaban Kisaki.

“Kau sendiri?”

“Hm… apa ya?” Hanma memijat dagunya. “Musisi mungkin? Aku sangat suka bernyanyi. Atau penulis lagu. Antara dua hal itu”

“Menarik”

“Hei Kisaki”

“Ya?”

“Sepuluh tahun lagi, kita bertemu lagi di sini ya?”

“Di tempat ini?”

“Ya”

“Oke”

********* Masa sekarang

Hanma mengingat semuanya. Mengingat obrolan sepuluh tahun yang lalu bersama Kisaki. Dan siapa sangka, mereka bertemu kembali.

Mendadak hati Hanma terasa pilu. Obrolannya sepuluh tahun lalu mungkin bukanlah janji, namun benar-benar terjadi walau dengan cara yang tidak ia sangka. Ia memang jadi musisi, tapi hanya bernyanyi di jalanan. Mendapatkan uang dari sumbangan seikhlasnya dari orang yang lewat. Kisaki, ah… Kisaki benar-benar keliling dunia. Tapi bukan sebagai ilmuwan, atau peneliti, ia menjadi sesuatu hal yang lain.

Air matanya meleleh. Hanma meraih kedua tangan Kisaki. Menggenggamnya erat sambil terisak.

“Maafkan aku… maafkan aku Kisaki…”

“Hei… kenapa kau meminta maaf? Kau tidak salah apa-apa”

“Maafkan aku… hanya aku sendiri yang meraih mimpiku setelah sepuluh tahun… maafkan aku…”

“Hanma…” Kisaki mengusap tangan Hanma. Mencoba menenangkan Hanma yang menangis sesenggukan. “Tidak apa-apa… bukan salahmu. Tidak ada yang salah… memang aku yang sial”

Kisaki menepuk kursi di sampingnya. Mengisyaratkan pada Hanma agar duduk di sampingnya. “Sini, menangislah disini” ujarnya sambil membuka lebar kedua tangannya. Menyuruh Hanma untuk datang ke pelukannya.

Hanma langsung memeluknya. Menangis sejadi-jadinya. Hatinya sakit. Hatinya benar-benar hancur melihat temannya memiliki kehidupan yang menyedihkan. Padahal Hanma jarang sekali peduli dengan jalan hidup orang lain. Tapi jika itu temannya, Hanma tidak tega.

“Sudah… tidak apa-apa Hanma… semua sudah berlalu kok. Sekarang aku baik-baik saja bukan? Aku makan dengan baik, aku juga sehat… tidak apa-apa” Kisaki mengusap-usap kepala Hanma. Hanma malah semakin menangis. Memeluk Kisaki lebih erat.

“Maafkan aku… maafkan aku…”


. . .

“Kisaki~ ayo kita main ke Pantai!”

Kisaki yang tengah “membaca” buku memiringkan kepalanya. “Pantai?”

“Iya pantai. Ayolah kau sudah lama tidak ke pantai bukan?” Tanya Hanma.

“Iya tapi agak sulit rasanya kalau pergi ke pantai dengan keadaanku yang sekarang…”

Hanma menghela nafas. Menatap Kisaki yang tengah meraba bukunya. Membaca kata demi kata dengan seksama.

“Kau baca apa?”

“Ini? Ini cerita tentang putri bulan”

“Cerita anak-anak?”

“Ya”

“Kenapa kau membaca buku anak?” Tanya Hanma heran. Kisaki tertawa.

“Memang tidak boleh?”

Hanma cemberut. “Lagi pula, itu buku kosong, mana teks nya?”

“Ini buku Braille. Buku untuk orang yang tidak bisa melihat”

“Ooh ... Kisaki, sejak kapan kau bisa membaca braille?”

“Hm… sudah lama kok. Dari kecil penglihatanku sudah bermasalah akibat penyakitku. Makanya ayah menyuruhku belajar braille”

Hanma mengangguk-angguk “ayolah Kisaki…. Kita ke Pantai”

“Aku lebih suka belajar”

“Aku tahu. Tapi aku juga tahu kau suka dengan pantai”

“Baiklah… kita ke pantai”

Hanma bertepuk tangan gembira. Beberapa Minggu ini Hanma sering mengunjungi Kisaki–yang diberhentikan kerja oleh Bos karena Bos ingin Kisaki istirahat– dan mengajaknya berkeliling Tokyo. Walaupun Kisaki lebih suka berada di kamarnya dan membaca buku-buku.

Kisaki selalu teratur. Semua dalam hidupnya terencana – Kecuali tentu saja, bagian dia diperjualbelikan – dari bangun tidur, hingga tidur lagi. Meski ada hal yang tidak sesuai jalan, Kisaki selalu punya cara agar hal tersebut tak menghalanginya.

Berbeda dengan Hanma yang berjiwa bebas, yang bisa melakukan apapun seenaknya dan bosan setelahnya. Hanma kagum pada Kisaki karena hal itu. Semua terencana, namun Kisaki tak pernah bosan.

Ah, andai saja Kisaki bisa melihat, saat ini mungkin dia jadi orang paling pintar di dunia. Pikir Hanma.

******* Sepuluh tahun yang lalu

“Pantai nya indah” Baji berdecak kagum. Menatap sekeliling. Pantai indah terbentang di hadapannya. Deburan ombak terdengar begitu merdu.

“Dan banyak perempuan cantik”

Baji menatap Kazutora, yang tengah memandang para gadis berbikini. Baji menggeleng. Menempeleng kepala Kazutora dengan keras.

“Jangan cabul!”

“Aww!! Tapi mereka cantik! Lihat!” Kazutora menunjuk pada gadis-gadis yang tengah bermain bola. “Iyakan? Hanma kau setuju kan?” Tanya Kazutora.

Namun Hanma tak menatapnya. Ia menatap orang lain. Kisaki, yang tengah duduk tak jauh dari tepi pantai. Menikmati angin dan suara deburan ombak.

“Hei Hanma! Kami disini” Kazutora melambaikan tangannya di depan mata Hanma. Lamunannya buyar seketika.

“A-ah! Maaf”

“Kau memperhatikan Kisaki terus…” protes Baji. Hanma mengedipkan matanya beberapa kali “iyakah?”

“Ya ampun… Kazutora, lihat. Dia tidak sadar sama sekali”

“Jangan-jangan, kau menyukainya” Kazutora berkacak pinggang. Hanma langsung membantahnya.

“Tidak! Aku hanya… khawatir”

“Oooh… khawatir ya…” goda Baji. Tersenyum dengan tengilnya.

“Bukan, maksudku.. di sekolah dia selalu sendiri. Temannya hanyalah Naoto. Naoto pun tidak selalu bersamanya”

“Dan?”

“Dan aku khawatir dia kesepian”

“Daaaaan?” Baji dan Kazutora menggoda Hanma. Hanma langsung mendelik.

“Aku akan menemaninya”

“Uuuuuuh kau memang menyukainya. Akui saja!” Ujar Kazutora.

“Hanma dan Kisaki, duduk di bawah pohon, C – I – U – M – A – N ” Kazutora bernyanyi dengan nada mengejek. Membuat Baji tertawa keras. Namun Hanma tak mengindahkan. Ia berlari ke arah Kisaki.

“Kisaki…”

“Oh! Hai Hanma” Kisaki menoleh. Tersenyum lebar pada Hanma sembari menyuruhnya duduk di sampingnya.

“Kau sedang apa? Tidak bergabung dengan yang lain?” Tanya Hanma.

“Aku diajak ke sini saja, sudah cukup membuatku senang” jawab Kisaki. “Padahal aku bukan teman kalian”

“Hei hei hei kau tidak boleh bilang begitu! Kau temanku! Ya?”

Kisaki tertawa “terimakasih, tapi aku kadang merasa kalau selama ini aku hanya memanfaatkanmu agar aku tidak kesepian…”

“Tidak masalah” ujar Hanma. “Aku sering dimanfaatkan kok. Tidak apa-apa”

“Apa itu sarkas?”

“Aku serius”

“Ah…”

Lalu keduanya terdiam. Menatap laut yang bergelombang dengan teratur.

“Aku suka suara deburan ombak… ” Ujar Kisaki. Ia memejamkan matanya. Mencoba mendengarkan dengan seksama. “Suaranya menenangkan”

“Mau coba bermain di tepian?” Tawar Hanma.

Kisaki menggeleng “tidak ah, nanti aku tenggelam bagaimana? Aku kan tidak bisa melihat” ia tertawa.

Hanma tersenyum “nanti aku selamatkan”

“Tidak apa-apa, aku lebih suka duduk di sini” Kisaki meluruskan kakinya. Bertumpu pada kedua tangannya. “Suatu hari, kalau ada orang yang mencintaiku, aku akan pergi ke pantai dengannya. Melihat matahari terbenam bersama sambil bergandengan tangan…” Kisaki menunduk. Nada bicaranya berubah “... Tapi apa saat itu tiba, aku bisa melihat?”

“Kisaki…”

Kisaki menghela nafas. Melompat berdiri dan membersihkan pasir dari celana renangnya. “Ayo, aku lapar” ucapnya sambil berjalan meninggalkan Hanma. Hanma menatap Kisaki.

“Anak aneh…”

************** Masa sekarang

Kisaki menutup matanya. Menikmati suara ombak yang ia selalu sukai. Tangannya membentang merasakan angin laut yang bertiup ke arahnya.

Hanma menatap Kisaki dari kejauhan. Hari ini senyuman Kisaki lebih lebar dari biasanya. Kisaki terlihat bahagia. Ini Kisaki yang sama dengan Kisaki yang Hanma kenal.

“Suka?” Tanya Hanma. Kisaki mengangguk. “Ya. Terimakasih Hanma”

“Sama-sama… hei Kisaki mau pegang kerang?” Hanma memungut cangkang yang tergeletak tak jauh dari dirinya. Menaruhnya di atas telapak tangan Kisaki. Kisaki meraba cangkang tersebut. Menelusuri detail bentuk cangkang kerang tersebut.

“Ah… aku sangat ingin melihat warna cangkang ini… ini Conch kan? Yang sering dijadikan terompet”

“Ya… wow kau bahkan tahu jenis kerang tanpa melihatnya!”

“Hanya kebetulan saja kok! Kebetulan aku Ingat!” Kisaki menyanggah pujian Hanma.

“Kalau ini? Ini apa?” Hanma menaruh kerang lain di telapak tangan Kisaki.

“Ini… ah ini tiram! Bentuknya sangat khas”

“Wow Kisaki keren!” Hanma bertepuk tangan senang. Kisaki tertawa mendengar Hanma kegirangan.

“Hanma, maaf ya, aku merepotkan terus”

“Hei… jangan bilang begitu! Aku senang menghabiskan waktu denganmu”

“Kau harusnya cari pacar. Jangan bermain dengan orang buta sepertiku”

“Kau ini bicara apa sih Kisaki? Jangan begitu”

Kisaki mulai terlihat sedih. Air mukanya berubah. “Beberapa waktu lalu, aku mendengar kalau aku menyusahkan. Karena aku sering tak sengaja menyenggol barang”

“Siapa yang bilang begitu?! Apa orang-orang di rumah bordil?” Hanma merasa kesal. Ia bisa saja memukul seseorang sekarang.

“Ah bukan. Mereka orang-orang yang baik. Hanya… yah… orang lain”

Hanma menatap Kisaki dengan sendu. Kisaki terlihat tidak senang padahal tadi ia tersenyum begitu lebar.

“Hanma, kau mau beli makanan kan? Sana beli! Aku mau yakisoba” ujar Kisaki. Ia menggenggam erat tongkat jalannya.

“Kau… tidak apa-apa kan?”

“Aku tidak apa-apa. Sana… aku mau yakisoba”

Hanma menghela nafas dan meninggalkan Kisaki dengan perasaan khawatir. Takut sesuatu terjadi pada temannya itu.

Hanma mulai gelisah. Antrian begitu panjang dan ia masih belum dekat dengan kedai makanan. Sementara ia terus memikirkan Kisaki yang ia tinggal sendirian. Ia takut seseorang mengganggu Kisaki karena dia tidak bisa melihat.

Banyak orang berlalu-lalang. Berlarian ke satu arah. Ada apa?

“Wah seram…” ucap orang di belakang Hanma.

“Apa? Seram kenapa?” Tanya Hanma.

“Katanya ada orang tenggelam”

“Tengge– KISAKI!”. Hanma buru-buru meninggalkan antrian. Berlari ke arah ia meninggalkan Kisaki. Benar saja, Kisaki tidak ada di sana. Dengan panik ia berlari mencari Kisaki.

“KISAKI!! KISAKI KAU DIMANA?!”

Hanma benar-benar panik. Ia mencari ke sekitar. Orang tenggelam! Ia teringat. Ia langsung berlari ke arah ambulans yang datang sejak tadi. Hanma celingukan. Memastikan bahwa itu bukan Kisaki.

Sayangnya, itu memang Kisaki

(lanjut part 2 soalnya gak cukup T_T ) https://write.as/mikiko/delapan-tahun-lalu