milkyuways

notes: 500+ words.


Selain suara dentingan sendok dan garpu yang menggema di seluruh penjuru ruangan, hanya tercipta keheningan di antara sepasang ibu dan anak itu. Maniknya memang terpusat pada piring berisi makanan kesukaannya, namun pikirannya sedang tidak terfokus di sana. Bahkan setelah beberapa menit lalu wanita paruh baya yang duduk di depannya sudah berusaha meleburkan suasana dengan memulai suatu obrolan.

Menanyainya soal kabar, basa-basi perihal ingatannya yang masih mengabur, hingga percakapan random soal gosip seleb juga sudah mereka bicarakan. Namun, karena alur konversasi yang hanya berjalan sepihak, keduanya kembali dibungkam keheningan.

“Mama, kenapa Mama nggak suka... Changmin?”

Satu kalimat tanya yang akhirnya keluar dari katup bibir sang anak lelaki, sekonyong-konyong menghentikan pergerakan sang ibu yang hendak melahap makanannya. Tatapan wanita tersebut sontak terarah penuh pada sosok sang anak lelaki, menghela napas panjang, lantas menggenggam telapak tangan besar anak kesayangannya itu.

“Dia yang bawa kamu pergi dari Mama, Juyeon.”

Kening cowok bernama Lee Juyeon itu mengerut, butuh penjelasan. Kenapa? Changmin membawanya pergi? Huh, bagaimana mungkin?

“Kamu selalu nurut sama Mama, dulu. You were a good boy, anak kesayangan Mama, anak kebanggaan Mama. Tapi kamu berubah sejak kenal laki-laki itu. Nggak ada lagi Juyeon yang penurut, kamu suka membangkang omongan Mama, bahkan Papamu juga. Kamu juga pergi ninggalin Mama, you broke the contact with us for about two years dan milih buat tinggal sama dia.”

No way.

Juyeon melakukan semua itu kepada orang tuanya, huh? What the hell actually happened back then? Changmin bukan orang yang seperti itu, Juyeon yakin. Kenapa? Untuk apa Changmin menyuruh Juyeon menjauhi keuarganya sendiri?

“Tapi nggak apa-apa. Mungkin kamu memang lagi sayang-sayangnya sama dia sampai mau aja nurutin semua omongan dia buat ninggalin Mama. Sekarang semuanya udah lewat, Juyeon anak Mama udah pulang, Mama bahagia. Lupain semuanya yang terjadi di masa lalu, ya?”

“Mama, stop bicara omong kosong.”

Baik Juyeon dan mamanya otomatis menolehkan kepala ke sumber suara yang baru saja turut menyela. Lee Jaehyun—anak pertama keluarga tersebut—baru saja datang. Perangainya terlihat sangat tidak ramah, melangkah cepat ke arah Juyeon sebelum meraih pergelangan tangan adik kandungnya itu. Gertakan kesal sang Mama tak dipedulikan, Jaehyun hanya perlu bicara dengan sang adik.

“Changmin nggak pernah bawa Juyeon pergi, justru Juyeon yang bikin Changmin pergi ninggalin ibunya. Mama jangan bikin masalah makin runyam, tolong? Sampai kapan, sih, Mama mau terus-terusan begitu sama Changmin?”

“Lee Jaehyun.”

“Juyeon, ikut Abang. Gue harus bicara sama lo.”

Juyeon mengembuskan napas keras, lantas mendorong piringnya menjauh, nafsu makannya benar-benar sudah lenyap. “Nggak ada yang perlu diomongin. Ma, Juyeon sudah kenyang. Juyeon mau istirahat,” ujarnya sebelum bangkit dari tempat duduknya dan melangkah meninggalkan meja makan. Teriakan Jaehyun yang menggema sengaja dia abaikan. Kondisi hatinya sedang tidak baik, Juyeon enggan menanggapi semua orang, lebih-lebih omong kosong dari sang kakak.


Lelaki itu melempar tubuhnya ke atas ranjang, mendesah keras sambil mengusap wajahnya kasar. Ingin sekali rasanya dia berteriak menumpahkan emosinya yang masih berada di ubun-ubun. Namun, lagi-lagi Lee Juyeon hanya bisa meredam luapan amarah dan kembali menahan diri.

Entah mengapa, melihat sosok Jaehyun tadi benar-benar membuat dadanya terhimpit dan sesak. Bayangan wajah Changmin kembali melayang di kepalanya, dan hal itu cukup membuat hati Juyeon terasa teriris.

Pandangannya lantas dia pusatkan ke atas nakas, mengerjap sejenak sebelum kembali menegakkan tubuhnya. Juyeon meraih sebuah cincin silver—serta pigura foto yang sudah retak dan hampir tak berbentuk—yang tergeletak sembarangan di atas sana. Cincin tersebut seperti tidak asing, maka ketika ingatannya kembali berputar, Juyeon akhirnya sampai pada sebuah konklusi: cincin tersebut terlihat sama persis dengan yang selalu dipakai Changmin.

Huh, kenapa?

Kenapa Changmin masih memakainya, tapi Juyeon justru menelantarkan cincin tersebut? Kenapa pigura foto yang sudah pecah itu masih tertinggal di sana? Juga, di mana semua foto-foto Changmin yang selalu Juyeon simpan rapi dalam kamarnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu seketika berkelebat di kepala Juyeon, sebelum rasa sakit di kepalanya kembali menghantam. Selalu seperti ini jika Juyeon terlalu berusaha mengingat perihal masa lalu. Kepalanya akan berdenyut sakit, hingga penglihatannya terkadang memburam selama beberapa menit.

Apa yang sebenarnya terjadi?

notes: 400+ words


“Jadi, kamu pindah ke sini?”

“Mhm. Gak segede kayak punya kita dulu, sih. But it's still proper to live lah.” Changmin membekap mulutnya sendiri setelah melontarkan kalimat tersebut. Maniknya melebar dalam sekejap, sadar jika dirinya baru saja membuat kesalahan.

Kita? Nggak ada kata 'kita' lagi buat mereka berdua.

“Nyaman, kok.” Juyeon tersenyum kecil, mengamati setiap sudut apartemen tersebut dengan hati berbunga. Entahlah, dia memang sempat merasa sangsi dengan sikap Changmin akhir-akhir ini, namun dia sudah berjanji... dia akan membawa atensi Changmin kembali hanya untuk dirinya lagi. “Oh? We gonna share a room, right?”

Changmin yang kala itu sedang memasukkan beberapa pakaian milik Juyeon ke dalam lemari terbatuk seketika. Tangannya mengepal erat sebelum kembali mencoba untuk bersikap normal dan menolehkan kepala, memandang entitas yang juga tengah menatapnya, menunggu jawaban.

Yeah? Kalau lo nggak nyaman, gue bisa tidur di sofa—”

No. I really don't mind, Sayang. Aku suka.”

Jujur, gue yang nggak suka, Juyeon.

“Changmin.”

Tidak ada jawaban lantaran si pemilik nama masih sibuk menata lemari sebelum melangkah keluar kamar dan menuju dapur. Total mengabaikan panggilan Juyeon yang sudah membuntutinya lagi.

“Teh kamomil, mau?”

“Huh? Oke. Tapi, Changmin... kenapa kamu nggak tinggal di apartemen kita lagi?”

Dada Changmin kembali merasa sesak. Tangannya yang sibuk membuat dua cangkir teh kamomil hangat tampak gemetar. Mati-matian dia menahan airmata agar tak lolos dan meluncur saat itu juga.

“Lo nggak ingat? Kita berantem,” jawabannya menggantung di udara, sebelum dia kembali melanjutkan, “terus lo milih buat pulang ke rumah keluarga lo, nggak mau pulang ke apartemen kita, dan gue mutusin buat pindah.”

Juyeon sontak terkejut, sepasang kelerengnya melebar sementara jemarinya mencengkeram erat ujung meja makan, menahan serbuan emosi yang tiba-tiba menyerang dada. A big fight, huh? Dan bagaimana mungkin Juyeon lebih memilih untuk meninggalkan Changmin? Nggak mungkin, 'kan?

“Changmin, aku nggak nyakitin kamu separah itu, 'kan? A-aku nggak ngomong sesuatu yang bikin kamu... sesakit itu... huh?”

Sejujurnya Juyeon ragu dengan dirinya sendiri. Jika Changmin sampai memutuskan untuk pindah, bukan tidak mungkin jika pertengkaran mereka memang sehebat itu. Dia ingin mendengar kebenarannya, namun dia juga takut... jika dirinya benar-benar menyakiti Changmin saat itu.

Changmin mendorong secangkir teh ke arah Juyeon, mengedikkan bahu, enggan menjawab kuriositas lawan bicaranya itu. Dia hanya menyesap tehnya, biarkan hening melingkupi ruang di antara keduanya, sementara Juyeon masih merasa nyeri di dada, seolah sesuatu sedang meremas kedua paru-parunya.

“Changmin?”

“Nggak perlu diingat lagi. Dokter bilang lo harus banyak istirahat dan jangan mikir terlalu keras.” Cowok berparas manis itu lantas bergegas, meninggalkan Juyeon sendirian di meja makan, dengan pikiran yang semakin berkecamuk.

Apa karena kejadian itu sikap kamu jadi semakin dingin? Sebenarnya apa yang terjadi, Ji Changmin?

; long day long night: scene one

notes: 500+ words.


Changmin melangkah pelan sementara pandangannya mengedar, waspada. Dia masih belum punya cukup keberanian untuk menemui kedua orangtua Juyeon. Jadi, nggak heran kalau sejak tadi mulutnya masih sibuk merapal doa: semoga Kak Hyunjae sudah berhasil membawa kedua orangtuanya pergi.

Tungkainya berhenti tepat di depan ruang rawat Juyeon. Saat itu, dia mendengar suara Kak Jacob dan Kak Younghoon yang tengah bercengkerama. Detak jantungnya berdentum semakin cepat ketika potongan kejadian buruk yang menimpanya tiga minggu lalu berputar lagi di kepala. Changmin merasa semakin pening, penglihatannya sempat memburam, dan membuatnya harus bertumpu pada dinding agar tidak ambruk dan terjatuh.

“Changmin?”

Suara Jacob yang saat itu baru saja melangkah keluar dari kamar Juyeon berhasil mengagetkannya. Younghoon lekas-lekas menutup pintu kamar, cukup paham dengan situasinya ketika melihat kondisi Changmin yang gemetar.

“Nggak usah dipaksain kalau nggak bisa nemuin dia sekarang.”

Changmin menggeleng pelan, dia harus menjelaskan semuanya. Dia nggak akan kabur lagi sekarang, Changmin akan menyelesaikan urusannya dengan Juyeon secepatnya. Maka, setelah menerima dua buah tepukan di bahu dari Jacob dan Younghoon, Changmin sedikit mendapatkan kewarasannya kembali.

“Changmin!”

Pekikan penuh semangat dan raut wajah kepalang bahagia itu akhirnya menyambut presensi Changmin di dalam ruangan Juyeon. Langkahnya ragu-ragu, namun si cowok Ji mengikis jarak dengan sosok yang terduduk di atas kasurnya itu. Tepat ketika dirinya berdiri di samping ranjang, lengan panjang milik Juyeon segera memeluknya erat. Sangat erat seolah ingin melepas gumpalan rindu yang menggebu setelah terpisah selama beberapa waktu.

Changmin tidak bergeming, alih-alih membalas pelukan yang lebih tua. Rasa nyeri kembali menusuk dadanya. Juyeon benar-benar nggak ingat kalau mereka sudah selesai, huh?

“Ah, kamu pasti sibuk seharian jadi baru bisa ke sini malam ini, ya? Kangen. Aku kangen banget. Changmin kecilku, aku seneng kamu datang.”

Sepersekon berikutnya kepala Changmin kembali merasa pusing sebelum dia menggerakannya lengannya untuk mendorong tubuh Juyeon menjauh, memaksa cowok itu agar melepas pelukannya. Dada Changmin sudah sesak dan semakin lama berada di pelukan Juyeon sama saja dengan melakukan percobaan bunuh diri, pikirnya. Changmin tidak sekuat itu.

“Lo... beneran ingat gue?”

Juyeon—yang mulanya masih keheranan setelah Changmin melepas pelukannya secara sepihak—hanya berikan anggukkan kepala. Memandang entitas di depannya dengan penuh puja, seolah Changminlah segalanya yang dia punya.

How can I forget you tho?”

Bullshit. Changmin mengepalkan telapak tangannya, menahan emosi yang sudah menggumpal di kepala. Ingin sekali dia melayangkan sebuah tinju tepat di muka mantan kekasihnya itu, siapa tahu dia jadi langsung ingat kalau dirinya sudah merupa lelaki berengsek yang eksistensinya sama sekali tidak ingin Changmin lihat lagi.

“Tidur. Sudah malam. Gue nemenin lo sampai Kak Hyunjae balik,” ujar Changmin sambil membantu tubuh Juyeon untuk berbaring. Sepasang kelerengnya menolak untuk bertatap dengan milik Juyeon sejak tadi, sedikit khawatir emosinya benar-benar akan tumpah melihat senyum kucing yang terlukis di wajah tampan mantannya itu.

“Nggak mau nemenin aku tidur di sini? Aku masih kangen, pengen peluk kamu.”

Sinting.

“Ranjangnya terlalu sempit. Tidur aja biar cepet baikan.” Selepas membungkus badan Juyeon dengan selimutnya, Changmin melangkah menuju sebuah sofa yang letaknya tak jauh dari ranjang. Menyandarkan punggungnya sebelum mendengus keras, memikirkan betapa sial nasibnya hari ini.

“Changmin?”

“Mhm, lo butuh sesuatu?”

“Selamat malam?”

“Oh. Ya, selamat malam.”

Changmin, kamu kenapa? Juyeon benar-benar dibuat kebingungan dengan sikap dingin Changmin malam ini.

trigger warning: nsfw for slightly!thriller, blood, psychopath, murderer, some descriptions might be a bit disgusting. 1,2k+ words written in bahasa Indonesia. please go back now if you're not into this kind of genres. thank you.


“Changmin itu sakit, Ju.”

Cowok tinggi itu berdeham pelan, terlihat tidak begitu menaruh atensi pada lawan bicaranya yang sudah berdecak kesal lantaran diabaikan. Jemarinya kemudian diketuk-ketukkan di atas meja pertanda jenuh, lantas gumaman tidak jelas terlepas dari bibirnya. Hyunjae tahu, usahanya mengajak Juyeon bicara empat mata begini, tetap tidak akan membawa keduanya pada sebuah garis singgung alih-alih titik temu.

“Lo ini beneran alergi konversasi, ya? Ah, lebih tepatnya konversasi sama gue.”

Juyeon lantas melipat tangan di depan dada, punggung disandarkan pada kursi yang didudukinya sementara sepasang kelerengnya menyorot lurus-lurus entitas di depannya. Detik itu sepasang saudara sepupu itu masih bertukar pandang tanpa segan. “Gue harus bilang berapa kali, sih? Gue nggak suka dengar lo bicara begitu soal Changmin,” ketusnya dengan suara yang meninggi.

“Tapi cowok lo ilang tepat sebelum Sunwoo dibunuh, Ju. Weird.”

“Jangan ngomong jelek lagi soal Changmin.”

Juyeon menggeram kesal. Tidak terima lantaran sepupunya ini terus-terusan bicara omong kosong dan menuduh Changminnya berbuat kejam.

“Changmin udah nggak ada kabar sejak empat hari yang lalu dan lo... masih sempet ya bilang semua ini ulah dia? Gue panik dari kemarin, khawatir, chat sama telfon gue nggak terjawab. Ya, gue tahu lo ngerasa kehilangan soal Sunwoo, tapi lo nggak bisa nuduh Changmin terus, Lee Hyunjae. Dia juga temen deket Sunwoo, inget. Dia cuma punya gue, dan kalau dia kenapa-kenapa juga nggak ada yang bisa lindungin dia selain gue.”

Hyunjae mengusap wajahnya kasar, mulai geram dengan konversasi yang tak berujung seperti ini. Dirinya lagi-lagi merupa sosok antagonis yang seolah membenci presensi Ji Changmin sebagai pacar sepupunya sendiri. Omongan Hyunjae selama ini memang belum terbukti, sih. Dia belum bisa menyodorkan fakta akurat tepat di depan mata Juyeon, tapi dia yakin praduganya tidak pernah salah.

Ji Changmin itu... sakit.

Bukan rahasia umum lagi jika dia memang memiliki sedikit gangguan pada kesehatan mentalnya. Bipolar. Hyunjae mendengarnya sendiri dari Chanhee yang notabene adalah orang nomor dua di hidup Changmin setelah Juyeon. Hyunjae menggigit bagian dalam mulutnya, berpikir bahwa segala tukar tatap ini mulai bergerak menuju titik percuma. Juyeon tidak akan pernah mempercayainya.

Sejak hari kematian Sunwoo seminggu yang lalu, Hyunjae sudah tidak bisa berbaik sangka pada cowok pemilik marga Ji itu. Seolah berita-berita kematian seperti itu tidak ada hentinya menyapa kehidupan Juyeon—dan Hyunjae tentu saja—semenjak Changmin hadir di hidup sang sepupu. Semua orang yang dekat dengan Juyeon akan berakhir seperti Sunwoo.

Ya, tewas mengenaskan dengan banyak luka tusuk di perut dan leher, darah yang menggenangi tubuh kakunya... ah, jangan lupakan juga isi perut yang terburai dan dikeluarkan dari dalam rongganya. Demi Tuhan, Hyunjae yang jadi saksi pertama kematian Sunwoo—sampai saat ini masih merasa mual jika rekaman bak film thriller itu kembali diputar di kepalanya.

Lee Sangyeon, Kevin, Eric, Younghoon, Eunseo beserta beberapa gadis yang sempat dikenali sebagai fans Juyeon, dan terakhir Sunwoo. Semuanya mati dengan cara yang sama, sangat mengenaskan. Sekali lagi, siapa pun yang dekat dan terlihat akrab atau bahkan memuja pesona seorang Lee Juyeon... akan berakhir seperti mereka.

Hyunjae bersumpah ini semua bukan sekadar sebuah kebetulan. Mereka... yang tersebut namanya adalah orang-orang yang jadi sebab Changmin merajuk dan cemburu. Lelaki yang lebih tua itu ingat dengan jelas, sehari sebelum Sunwoo ditemukan meregang nyawa—juga hari Changmin menghilang—Juyeon sempat berbicara kepadanya.

“Changmin nggak suka gue dekat sama Sunwoo. Lucu banget, deh. Dia sempat nangis juga dan gue nggak tega. Jadi, yeah, gue harus jauhin Sunwoo, 'kan?” ucapnya kala itu. Hyunjae mengingatnya dengan jelas. Jika kalian jadi Hyunjae, bukankah kalian juga akan sampai pada konklusi yang sama?

Changmin menghilang dan Sunwoo akhirnya ditemukan tak bernyawa... mungkinkah cuma sekadar kebetulan belaka? Coba kaitkan dengan fakta jika sebetulnya Changmin juga mengidap bipolar. Maka, bukan jadi hal yang mengherankan jika dirinya tiba-tiba kalut diterpa ombak dan gempuran rasa cemburu lantas memilih nekat dan menghabisi nyawa siapa pun yang mendekati kekasihnya, 'kan?

Ji Changmin itu sakit.

Ji Changmin itu... sudah jelas seorang pembunuh, bukan?

“Ju.”

“Stop. Gue nggak mau dengar omongan lo yang nyudutin pacar gue lagi. Gue harus ke rumahnya sekarang. Chanhee bilang dia udah ke sana, tapi kayaknya Changmin belum pulang.”

Juyeon kemudian bergegas dan dengan sedikit berlari tergesa, dia meninggalkan Hyunjae saat itu juga. Setelah empat hari semua panggilan telepon dan pesan singkatnya belum juga terbalas, Juyeon memutuskan untuk kembali mengunjungi apartemen kekasihnya. Chanhee menghubunginya tadi, kembali beri kabar jika kedatangannya masih tidak disambut sang tuan rumah. Sahabat dekat Changmin itu mengadu jika dirinya tidak bisa masuk untuk mengecek ke dalam lantaran passcode-nya sudah diganti.

Tentu saja Juyeon semakin khawatir. Chanhee sudah melaporkan hilangnya Changmin ke polisi setempat kemarin, namun hingga saat ini belum juga mendapat kabar lanjutan. Rasa cemas semakin membubung di kepalanya. Juyeon bahkan hampir menyerempet pengendara motor ketika fokusnya buyar diselubungi kabut pekat. Dadanya bergemuruh kuat akibat adrenalin yang tiba-tiba terpacu hebat.

“Changmin, kamu baik-baik saja, 'kan?” desahnya sambil menggigiti bibir. Raut mukanya kentara sekali sedang menampilkan kecemasan yang berlebih. “Changmin, angkat teleponku, astaga.”

Setelah tiga kali teriakannya dari luar tidak mendapat respons, Juyeon kemudian memutuskan untuk mencoba menekan tombol passcode dengan beberapa angka asal. Ulang tahun Changmin, bukan. Ulang tahun Juyeon, bukan juga. Oh, mungkinkah Changmin menggantinya dengan tanggal keduanya mulai berpacaran... huh?

Tut. Tut. Tut.

Jemari panjang Juyeon masih menekan passcode hingga pintu tersebut berhasil terbuka.

Tanggal keduanya mulai berpacaran? Berhasil.

Juyeon tersenyum kecil dan kembali berjalan pelan lantaran dirinya tiba-tiba saja disambut dengan gelap dan bau anyir yang sangat mengganggu penciuman. Keningnya mengerut keheranan dan lagi-lagi kinerja hormon adrenalinnya kembali meningkat. Bulu kuduknya meremang tepat ketika Juyeon menguntai langkah semakin ke dalam. Hantaman rasa takut membuat tubuhnya mulai gemetar, kedua kakinya bahkan hampir limbung ketika tidak sengaja menapak di atas likuid merah yang menggenang di lantai.

Lelaki itu terperenyak, menutup lubang hidungnya dengan lengan sambil terus berusaha memanggil nama sang pacar.

“Changmin? Ji Changmin, kamu di kamar? Hei, ini aku. Changmin, kamu di mana?”

Sepasang manik milik Juyeon lantas menyipit ketika mendapati sosok yang dicarinya sedang terbaring di atas kasur, di dalam kamar. Kedua sudut bibirnya terangkat beberapa derajat sebelum berjalan cepat dan menghampiri Changmin yang masih menutup mata berbalutkan selimut tebal. Kondisi lantainya berantakan, namun tidak terlihat tanda-tanda apartemen tersebut baru saja disatroni perampok dan pembunuh atau kebobolan.

“Changmin.”

Kaki Juyeon menendang sebuah sprei dan bed cover berwarna kemerahan dan berbau anyir yang tergeletak di lantai, membuangnya ke mana saja, menjauh dari kasur sang pacar. Sepersekon berikutnya, dia sempat terkejut ketika maniknya tidak sengaja menemukan buraian usus dan beberapa isi perut tercecer di lantai. Ah, sialan. Juyeon mengumpat keras lantas merangsek hampiri tubuh Changmin.

Terlalu susah mendeskripsikan air muka Juyeon sekarang. Dia terdiam melihat kesayangannya hanya terbaring dan menutup mata, tak bergeming. Gawai yang tergeletak di sampingnya tiba-tiba menyalak. Juyeon melirik sebentar dan melihat nama Chanhee terpampang di layar.

Juyeon menghela napas panjang, menatap sekelilingnya kemudian menyorot kembali sosok Changmin yang kulitnya semakin pucat. Entah karena terlalu terkejut dengan kondisi apartemen pacarnya yang sangat mencengangkan begini atau apa, Juyeon sempat tidak menyadari bau formalin yang menguar ke seluruh penjuru ruangan.

Desahan napas berat kembali dikeluarkan dari mulut si Lee itu sebelum tangannya bergerak mengusap pipi Changmin perlahan. “Hhh, aku terlalu takut kamu menghilang, ternyata kamu masih tidur di sini sama seperti empat hari yang lalu, ya? Haha, Juyeon bodoh. Changmin nggak akan pernah kemana-mana lagi sekarang. Changmin nggak akan menangis dan nggak akan ada yang buat Changminku cemburu lagi.”

Dengan tawa tipis, Lee Juyeon kembali menatap wajah teduh Changmin yang terbujur kaku. Kepalanya bergerak turun dan mengikis jarak dengan bibir pucat itu sebelum menyematkan sebuah ciuman di sana.

“Ah, aku lupa membereskan semua kekacauan di sini. Changmin, jangan marah, oke? Nanti biar kubersihkan semuanya. Aku tahu kamu nggak suka melihat apartemenmu berantakan begini. Jangan khawatir, mhm?” Lee Juyeon kembali tersenyum, memandang lekat sosok yang begitu dicintainya itu kemudian mengusap rambutnya penuh sayang.

Lee Hyunjae bodoh. Bagaimana bisa mulutnya yang menyebalkan itu menuding Changminku seorang pembunuh? Kurang ajar. Lain kali dia juga akan kuberi pelajaran.

.

fin.

milkyuways © 2021

begin again

“Nggak mau memelukku?”

Jaehyun yang semula masih mematung lantas mengembangkan senyum. Langkah panjangnya lekas-lekas mengikis jarak dengan cowok di depannya sebelum menghambur dan memeluk erat sosok yang begitu dia rindukan. Semuanya nyata. Jaehyun bisa merasakan hangat tubuh Changmin pada dirinya. Seketika cowok Lee itu menangis kencang tanpa komando.

Gumpalan rindu yang hampir menyumbat dadanya seketika luruh saat itu juga. Rasa hangatnya sanggup mengalahkan perih di kelingkingnya, di mana benang merahnya kini terlihat sangat menyala, berwarna merah terang. Cantik.

“Bodoh. Kukira kamu nggak akan mau kembali lagi. Ji Changmin bodoh!”

Cowok berparas manis itu tersenyum kecil, menepuk-nepuk bahu lebar pujaan hatinya sambil menahan isakan tangisnya. Bukan hanya Jaehyun yang merindu... demi Tuhan, Changmin hampir mati menahan rasa sakit yang setiap hari mendera selama tiga tahun terakhir. Hidup berjauhan dengan soulmate benar-benar sangat menyiksa.

“Aku hampir mati, Kak. Nggak bisa pergi terlalu lama lagi. Maaf. Maafin aku.” Isakannya semakin kencang, Changmin benar-benar menumpahkan semua emosinya saat itu juga.

Jaehyun mengelus pipi cowok di depannya sebelum membingkai wajah manis yang sama sekali tidak berubah itu, mencoba menenangkannya. Jemarinya menyisir permukaan wajah Changmin, dimulai dari pipi, hidung, hingga rahangnya... hanya demi memastikan jika lelakinya sudah benar-benar kembali. Semuanya bukan sekadar mimpi.

Changmin sudah berdiri di depannya lagi.

Selama beberapa menit keduanya bungkam di tengah atmosfer yang diliputi kerinduan. Entah di menit ke berapa, Changmin terlihat sedikit berjinjit demi memangkas jarak wajahnya dengan milik Jaehyun dan menciumnya kemudian. Saling memagut bibir dan menautkan lidah, keduanya tiba-tiba saja sudah terlibat dalam ciuman dalam.

Tidak lagi peduli pada sekitar. Huh, dunia seolah milik mereka berdua. Cuma ada Ji Changmin dan Lee Jaehyun yang sedang membunuh rindu dengan saling mendekap dan berbagi kehangatan.

Takdir memang bisa sesekali berlaku kejam, namun Jaehyun tidak peduli lagi. Dia terlalu lelah dan saat ini dia sudah menjadi orang paling bahagia. Kini, dia hanya perlu menambatkan diri pada lilitan takdirnya yang sudah dipegang oleh satu nama, Ji Changmin.

“Changmin, aku sayang kamu. Jangan pergi lagi.”

the red strings...

Ruang di antara kedua cowok yang sedang duduk bersebelahan itu masih hening. Bunyi cicit burung juga terdengar bersahutan seolah mengolok keduanya yang belum mengeluarkan suara sejak Changmin selesai mengutarakan semua rencana di kepalanya. Changmin masih biarkan cowok di sebelahnya menggenggam telapak tangan kirinya—yang sesekali juga diberi elusan lembut tepat pada tanda hatinya yang kini sudah berwarna merah.

Padahal saling rindu, tapi keduanya terlalu bingung untuk mengungkapkan gumpalan rasa yang memenuhi dada.

Maka, ketika yang lebih tua mengangkat kepala, dia tertegun mendapati airmata sudah meleleh deras dari balik kelopak mata indah Changmin. Tangannya terangkat lantas membingkai sempurna wajah kecil cowok Ji di depannya sebelum menghapus lembut lelehan bening tersebut dengan ibu jarinya.

“Changmin.” Dia menarik napas dalam sebelum kembali fokus dan melanjutkan, “kalau memang keputusan kamu sudah bulat, aku udah rela. Aku udah janji sama diri sendiri, aku bisa terima semuanya, apa pun yang jadi keputusan kamu. Maaf, ya? Selama ini aku cuma bikin kamu sedih.” Getar suaranya terlampau tenang untuk ukuran seseorang yang baru saja ditumpahi hal yang cukup menyakitkan.

Changmin semakin merasa bersalah. Dia diam dan terisak. Matanya yang masih menahan gumpalan air menatap lawan bicaranya pilu. Dadanya sesak melihat bibir tersebut melukiskan senyum alih-alih mengumpatinya atau apa. Meskipun dia sudah berusaha mati-matian meyakinkan diri sendiri—semuanya akan baik-baik saja, dan dia seratus persen tidak akan mengubah keputusannya—namun tetap saja seonggok rasa ragu masih menghimpit dadanya.

“Maaf, kak. Aku egois. Tapi, aku nggak bisa....”

Jaehyun menggelengkan kepala. Jemarinya lantas mengusap lembut pipi belahan jiwanya itu sebelum kembali membisikkan kalimat jika dirinya baik-baik saja.

“Aku nggak bisa sama kakak. Aku tahu Kak Younghoon orang baik, tapi tetap saja... aku ngerasa nggak pantas, Kak. I feel like I don't deserve you. Maaf....”

Tatapan Jaehyun yang masih menyorot sosok yang begitu disayanginya itu seketika melembut. Perlahan dia mengikis jarak di antara keduanya sebelum biarkan bibirnya menempel dengan milik Changmin untuk pertama kalinya. Sedikit nekat, tapi dirinya juga sudah siap jika Changmin tiba-tiba saja menendangnya saat itu juga. Namun siapa sangka jika yang lebih muda justru hanya diam, membiarkan cowok di depannya memagut bibirnya, mencumbunya, hingga untuk beberapa detik dirinya dibuat terlena.

Ajaib. Ciuman yang tidak bertahan semenit itu rupanya bisa sedikit memadamkan kemelut yang membelenggu kepala dan hati Changmin. Rasa khawatir, sedih, dan takut... seolah melebur bersamaan dengan menempelnya dua belah bibir mereka ketika berciuman. Sepersekon berikutnya, Changmin kembali mengecup bibir yang lebih tua sekali lagi, mencoba salurkan rasa takutnya melalui ciuman berantakan yang terkesan seperti ciuman perpisahan itu.

Rasa asin tercicip oleh bibir masing-masing karena Changmin belum bisa menghentikan tangisannya.

It might hurts us a lot, but if you think you can live with this and be happier then let's try it, huh?”

Sekuat tenaga Changmin kini menahan laju airmatanya agar tidak kembali turun, menganggukkan kepalanya pelan sebelum menatap ke arah benang merahnya yang masih tersambung dengan milik Jaehyun. Dia sudah tidak bisa kembali. Changmin sudah bertekad—dia akan mengakhiri semuanya di sini.

Jaehyun tersenyum lantas kembali berbisik kecil lantaran dadanya terlampau sesak untuk sekadar mengeluarkan suara dan berikan salam perpisahan. “Changmin, apa pun yang terjadi... kamu harus tahu kalau aku sayang kamu. Though we can't be together, but I will always love you, Ji Changmin.”

Sakit. Dada Changmin seolah ditusuk ribuan jarum yang sangat panas dan tajam. Di tengah isakannya yang semakin membuatnya sesak, cowok Ji itu menatap belahan jiwanya sekali lagi. “Aku... aku juga sayang kamu, Kak. Aku sayang kamu. Aku sayang kamu. Promise me to live happily, huh? Find your own happiness, Lee Jaehyun.”

Pelukan erat itu akhirnya terlepas. Sekali lagi, Jaehyun menatap untaian red strings yang masih menghubungkan keduanya sebelum semuanya memburam bersamaan dengan sosok Changmin yang semakin menghilang.

“Selamat tinggal, Kak Jaehyun.”

a nightmare

Masih pukul delapan lewat limabelas menit ketika Changmin menampakkan diri di depan apartemen Juyeon. Cowok berparas manis itu menunggu selama hampir sepuluh menit sebelum mendapati si pemuda Lee yang menyambutnya dengan muka bantal (dia baru tertidur setengah lima pagi tadi).

“Aku bawa sup untuk sarapan,” ucap Changmin sambil melepas topi serta hoodie-nya. Lamat, Juyeon mengamati sosok yang sudah sibuk di dapur dan menyiapkan sarapan. Sepasang maniknya yang terhalang kacamata tampak sembab, jangan lupakan kantung mata yang menghitam itu... sudah pasti Changmin menangis semalaman.

“Changmin—”

“Cuci muka dulu sana!” Changmin memutus kalimat Juyeon tiba-tiba. Seolah dia sudah tahu Juyeon mau bilang apa. “Aku mau sama kamu seharian ini. Aku nggak suka sendirian.”

Juyeon tidak membantah, langkahnya lantas tertuju ke arah kamar mandi dan biarkan Changmin kembali sibuk di dapurnya. Kurang lebih limabelas menit Juyeon habiskan waktunya di kamar mandi dan ketika dirinya kembali ke dapur, Changmin sudah menunggunya di sana.

Cowok berlesung pipi itu mengembangkan senyum lebar saat Juyeon sudah mengikis langkah, menghampirinya. “Katanya sih, enak. Tapi aku belum pernah coba, sih? Tadi kubeli waktu mau ke sini. Hehe.”

“Changmin.”

“Hm?”

“Jangan bohongin diri sendiri lagi. Aku nggak suka lihat kamu pura-pura begini. Look at yourself! You're not okay and you don't have to pretend that everything's fine.”

Nafsu makan Changmin menguap—oh, sebenarnya dia juga sudah nggak berselera makan, sih. Juyeon benar, semuanya cuma sekadar alibi dan sikap denial Changmin, berharap jika yang terjadi semalam cuma mimpi belaka. Dia hanya memainkan sendok dan mengaduk sup di depannya sebelum Juyeon meraih jemarinya dan menggenggam erat.

“Kita udah selesai, oke? Emang begitu perjanjiannya di awal, 'kan? You have found your soulmate and we're over.”

“Nggak. Aku nggak mau, Juyo? That was only a nightmare, aku masih sama kamu. Nggak ada yang harus berubah.”

“Changmin—”

“Juyeon, stop! Aku nggak bisa sama dia. I will never be with him. Iya, aku pernah sayang dia dulu, tapi sekarang udah beda. It's been years and everything changed. Aku nggak bisa sama dia... and I bet, he feels just the same. Aku tahu dia sayang banget sama Kak Younghoon, how can he be my soulmate then? Perasaan orang nggak bisa berubah semalem aja, Juyeon.” Changmin menarik napas panjang, telapak tangannya mengepal (menahan emosinya yang mulai meluap), sebelum melanjutkan. “Takdir kenapa suka banget main-main sama perasaan, ya? Waktu aku sayang dia, Tuhan kasih dia buat orang lain. Dan waktu kita udah sama-sama coba buat mengalah, Tuhan malah balikin dia lagi buat kita.”

Juyeon menghela napas dan mengusap wajahnya kasar. Changmin sudah menangis di depannya, dan dia nggak bisa melihatnya seperti ini. Takdir memang seolah sedang mempermainkan mereka, tapi Juyeon bisa apa?

Hening kemudian mengambil alih kendali suasana di dapur Juyeon. Hanya terdengar tangis Changmin yang belum mereda sebelum Juyeon menghampirinya. Lengannya yang panjang lantas terulur dan menarik Changmin ke dalam dekapannya. Biarkan yang lebih muda menangis di sana, sambil menenangkan dirinya.

Tidak ada yang bisa mereka lakukan.

Mereka hanyalah korban dari permainan takdir yang terkadang begitu menyebalkan. Mereka hanya punya dua pilihan: menerima takdir atau melawannya dan pergi melangkah menuju kesendirian.

fluff, a bit hurt/comfort. 1,6k+ words. contains kissing. based on mitski's pink in the night (trims buat anon yang udah drop prompt ini di cc!)

“And I know I've kissed you before, but I didn't do it right Can I try again, try again, try again”


“Ganteng banget, ya?”

“Mhm, kamu ganteng.”

Juyeon tertawa, sepasang mata indahnya membentuk bulan sabit, saking tingginya dia mengangkat kedua sudut bibir demi mengembangkan senyum lebar. Sudah biasa mendengar sahabatnya itu 'menggodanya' seperti tadi. Jemarinya lantas kembali sibuk menulis sesuatu di atas catatannya dan fokus terarah penuh pada buku tebal di hadapannya.

Sementara cowok berparas manis di depannya masih tak bergeming. Alih-alih melanjutkan pekerjaannya, Changmin malah sibuk memandangi ciptaan Tuhan yang begitu indah, yang kini duduk di depannya.

“Lee Juyeon, lo beneran keren. Dan gue nggak akan pernah bosen kasih tahu lo soal itu.”

“Oh? Well... trims, fans!”

Entah sadar atau nggak, Changmin sudah melengkungkan senyum tipis mengagumi figur sempurna seorang Lee Juyeon. Matanya indah, Changmin suka. Hidung dan pipinya juga menggemaskan. Oh—oh? Jangan lupakan bibir merah muda yang terlihat sangat menggo—ASTAGA!

Changmin segera menepuk-nepuk kedua pipinya yang terasa panas sebelum menyadari jika dadanya sudah bergemuruh hebat.

“Juyo, do you want to go see butterflies?” Changmin mencoba sekuat tenaga untuk nggak tertawa setelah kalimat tersebut meluncur dari balik katupnya.

Silly. Fuck Choi Chanhee and his stupid idea!

Sekarang Changmin jadi menyesal sudah mengatakan pick-up lines super cringey seperti tadi, karena Juyeon tiba-tiba saja menatapnya dengan kerutan di dahi. Dia benar-benar mengalihkan fokus pada Changmin seutuhnya, bukunya sudah diabaikan.

“Ini kamu lagi flirting sama aku?” Cowok yang lebih tua itu terkekeh kecil, menggelengkan kepala sementara sepasang netra indahnya masih menyorot sosok Changmin yang sudah memerah, menahan malu.

Choi Chanhee berengsek. Dia harus tanggung jawab udah bikin gue malu setengah mampus begini!

Changmin mendenguskan napas, berpura-pura sibuk dengan bolpoin di jemarinya. “Udah dari lama, 'kan? But, thank you for finally noticing. I have finally made a good progress, I guess,” gumamnya pelan. Dia nggak punya keberanian untuk mengangkat kepala dan berjumpa tatap dengan Juyeon, rasa malunya sudah di ubun-ubun. Demi Tuhan, Changmin ingin melarikan diri—ke Black Hole sekalian kalau perlu—seharusnya dia nggak nekat melemparkan pick-up lines seperti itu kepada Juyeon.

But he's lowkey proud of himself, though. Changmin has been flirting with Juyeon since... he didn't remember the exact time, since long time ago? Chanhee sudah sangat frustrasi meladeni semua omongan nggak penting Changmin soal Juyeon. Satu kalimat Chanhee yang sampai ini masih Changmin ingat dengan jelas, “Juyeon itu lemot. Lo harus maju duluan kalau emang naksir dia.”

Well, Chanhee is not totally wrong about that. Entah terlampau polos atau memang nggak peka, cowok Lee itu masih selalu menganggap Changmin cuma sekadar iseng menggoda dan mengusilinya. Padahal Changmin sudah cinta mati. Dasar Juyeon bodoh!

Lo, nggak lagi sengaja pura-pura lemot karena lo nggak punya perasaan yang sama 'kan, Juyeon?

Si cowok Skorpio baru saja ingin meralat omongannya. Ingin segera memutus keheningan yang mendadak tercipta, ketika suara Juyeon tiba-tiba mengudara, “bukannya lo udah tidur sama Kak Hyunjae akhir-akhir ini?” dan saat itu juga kalimatnya seolah berhasil menyiram tubuh Changmin dengan seember air es yang sangat dingin.

Tubuh Changmin gemetar, ingin sekali mendadak tuli dan nggak bisa dengar omongan Juyeon barusan. What the fuck is he talking about? Changmin has been flirting. With him only. For over years, and he thought Changmin's been sleeping with other guy, huh?

Changmin sedikit kecewa.

“Lo lebih percaya gosip daripada gue? Kita udah kenal dari zaman SMP, Juyeon. Lo beneran mikir gue bakal tidur sama cowok lain saat isi kepala gue cuma lo dan lo doang?” Changmin terkekeh, kendali otaknya berantakan. Dia nggak tahu harus bersikap bagaimana lagi. “Sebenarnya lo itu beneran nggak peka atau pura-pura aja, sih? Kalau emang nggak suka gue, lo bisa bilang langsung. Nggak perlu bawa-bawa nama orang lain.”

Tangan Changmin lantas tergerak merapikan buku-bukunya di atas meja, memasukkan ke dalam ransel secara paksa sebelum bergegas meninggalkan Juyeon yang mematung. Benar-benar tak bergeming alih-alih mengejar Changmin yang sudah semakin menjauh. Juyeon terlihat masih memproses semuanya, menatap nanar punggung Changmin yang perlahan sudah menghilang.


“Selamat pagi, Ganteng!”

“Juyo, gue nggak bisa tidur. Gue nyanyiin, ya? Suara gue nggak sebagus kesukaan lo, sih. Tapi gue pengen nyanyi dan gue maksa.”

“Lo mau bikinin gue tteokpokki seumur hidup juga bakalan gue habisin terus, deh. Seenak itu tteokpokki bikinan lo.”

“Juyeon, lo gemas banget kayak anak kucing!”

“Anak kucing gembul. Ogu ogu, Lee Juyeon gemas, lucu, bayi besar kesayangan Changmin.”

“Lee Juyeon, lo beneran keren. Dan gue nggak akan pernah bosen kasih tahu lo soal itu.”

“Udah dari lama, 'kan? But, thank you for finally noticing.”

.

Juyeon menutup buku tebalnya cepat-cepat, menghela napas panjang kemudian berlari keluar perpustakaan. Jemarinya bergulir di atas gawai yang sejak tadi dia genggam, kirimkan beberapa pesan kepada Changmin, namun belum juga dapat balasan.

Sudah dua hari mereka nggak saling ketemu, Juyeon rindu. Keberadaan Changmin di sekelilingnya sudah jadi kebiasaan, dia butuh Changmin-nya. Dan Chanhee juga sempat mengumpatinya hari itu—namun Juyeon yang masih kukuh di posisi denial-nya lagi-lagi hanya bisa membantah.

Manik Juyeon mengerjap ketika berhasil menangkap siluet cowok yang dirindukannya sebelum dia menghilang di balik pintu ruang latihan. Langkah panjangnya spontan berderap. Dia membuka pintu ruang tersebut dengan tergesa, lantas meringis kecil melihat Changmin kini sedang memandangnya kaget.

“Hehe, gue kangen?” Juyeon mengusap-usap lehernya, tidak tahu harus berbuat apa ketika rasa canggung tiba-tiba merayap dan menyelimuti keduanya di ruangan penuh cermin itu.

“Changmin, dengerin gue, ya?” Yang lebih tua mengikis jarak perlahan, coba meraih jemari cowok di depannya lantas menariknya mendekat. “Gue bisa mati kalau lo pergi. Jadi, gue minta maaf? For everything. I didn't mean to hurt you like that...” Juyeon mengambil napas dalam, lengannya kini melingkar di tubuh Changmin, memeluknya erat, berbagi kehangatan. “Gue... nggak suka dengar mereka ngomongin lo sama cowok lain. Kesel? Marah, cemburu? Lo tahu gue juga selalu lihat lo, 'kan?”

“Lo nggak pernah anggep gue serius, Juyeon.”

No. Lo salah, Changmin. I've been always there, you know? Gue selalu lihat elo, Ji Changmin.”

Entah siapa yang memulai, karena setelah saling bicara soal isi hati masing-masing, punggung Changmin sudah menempel pada pintu ruang latihan. Bibir Juyeon berada di lehernya, berikan kecupan ringan dan sesekali menggigit pelan kulit hangat yang lebih muda.

Changmin tiba-tiba teringat pertama kalinya mereka berciuman. Bermula dari ujaran iseng saat bosan melanda, Changmin tiba-tiba saja sudah menempelkan bibirnya di sana. Iya, di atas bibir Juyeon, lebih tepatnya. Tentu saja Juyeon terkejut, dan siapa juga yang bisa menolak, huh? Pertahanannya pun goyah juga. Ciuman iseng itu kemudian berakhir dengan keduanya yang terlalu menikmatinya.

Sejak saat itu Changmin semakin yakin tentang satu hal: dia butuh Juyeon, dia mau Juyeon.

Ruang latihan itu seketika berisik oleh deru napas Changmin yang menggema juga erangan kecil yang keluar dari mulutnya ketika Juyeon mengisap dan menggigit tulang lehernya. Rasa panas dan basah karena lidah Juyeon masih bermain di kulit lehernya membuat kedua kaki Changmin lemas. Hampir merosot ke lantai jika dia tidak memeluk erat pundak kokoh milik Juyeon.

“Juyeon, please....” Changmin mengerang rendah sebelum kembali dibungkam oleh bibir yang lebih tua. Keduanya kembali berbagi ciuman dalam, saling bertarung lidah, sebelum Changmin menarik diri dan mendorong kepala Juyeon menjauh. “Udah gila, ya?” protesnya sambil meraup oksigen banyak-banyak. “Jangan mesum di sini, Idiot.”

I'm your favorite idiot, though.” Juyeon terkekeh senang, ibu jarinya mengusap sisa saliva di sudut bibir Changmin kemudian mengecupnya lagi sekali lagi. “Jadi, tawaran melihat kupu-kupunya masih berlaku, nggak?”

“Apaan, sih? Stop bahas itu, malu-maluin.”

“Hahaha. Ya udah, biar gue aja yang tanya. Changmin, mau lihat kupu-kupu di rumah gue, nggak?”

“LEE JUYEON.”

“Loh? Ayo jawab, dong. Gue tanya serius. Oh, atau lebih suka lihat kupu-kupu di rumah Kak Hyunjae?”

“Jangan ngaco!”

“Tapi, Changmin... if you have to choose between my lips and his, who's the winner, hm? Lo harus jawab yang ini, soalnya gue nggak mau kalah sama dia.”

“Dih? Emangnya lagi lomba lari apa? Nggak mau, ah.” Changmin membuang muka, kedua pipinya sudah memerah. Pertanyaan Juyeon sangat konyol, Changmin memang pernah berciuman dengan mantan crush-nya itu... tapi masa yang begitu harus ditanyain?

“Jawab atau gue cium lagi di sini, kita making out sampai lo lemes terus minta nam—hmfph.”

“Berisik banget.” Tangan Changmin sudah menyumpal bibir Juyeon, menatapnya galak sebelum menghela napas panjang dan melanjutkan, “lebihsukadiciumkamu.”

“Hah? Ngomong apa? Telingaku nggak denger, coba ulang.”

“Rese.”

“Serius, Sayang. Tadi nggak denger, ngomongnya jangan kayak orang lagi makan permen, dong? Ayo, ulang. Janji deh, kali ini didengerin baik-baik.”

“Dih, don't sayang sayang me, lo bukan pacar gue.” Kedua pipi Changmin menggembung lucu, bibirnya mengerucut sementara Juyeon hanya tertawa. Gemas, dia nggak tahan buat nggak nyubit pipi cowok di depannya.

“Mulai hari ini kamu, Ji Changmin, sudah disahkan jadi pacar Lee Juyeon. Jadi, kamu cuma boleh cium-cium dan make out sama aku aja. Orang lain yang pengen cium kamu wajib lapor, nanti biar kuhajar habis-habisan. Beraninya dia mau ngerebut cowokku yang paling lucu dan menggemaskan.”

“Kok jadi alay?”

“Biarin? Alay begini yang penting kamu lebih suka kalau dicium aku.”

“KATANYA NGGAK DENGER?”

“Hahaha, kan cuma iseng. Aku cuma mau dengar lagi. I love it when you're all over me kayak tadi, makanya minta ulang.” Juyeon memamerkan deretan giginya yang rapi sambil mengusak-usak rambut Changmin.

“Udah sana pergi, sebentar lagi anak-anak dateng,” ucap yang lebih muda yang kini sudah kembali melangkah untuk menyiapkan speaker dan laptopnya.

“Bagus, dong? Aku mau nemenin kamu di sini sampai mereka dateng, sekalian mau ngenalin diri sebagai pacar ketua klub dance yang galak, Ji Changmin. Oh ya, Changmin?” Kini Juyeon sudah mendudukkan diri tak jauh dari posisi pacarnya yang masih sibuk dengan laptopnya. Panggilannya hanya berbalas gumaman tidak terlalu jelas, namun Juyeon nggak mempermasalahkannya. “Aku juga suka kamu yang flirting kayak dulu... it amazes me the most, not gonna lie. Lucu, ya? Seorang Ji Changmin flirting.”

“Yeah, sayang banget yang diajakin flirting kebanyakan nggak peka dan lemot.”

“Bukan lemot, ya! Agak denial... juga insecure, takutnya kamu lebih suka dia dan cuma iseng mau ngerjain aku.”

Changmin tertawa, namun Juyeon tidak melihatnya. Ingin sekali berteriak mengajaknya menikah—besok kalau bisa—karena Changmin nggak mau kehilangan cowok itu lagi. Few years full of pining feelings, dan Changmin bersumpah dia nggak akan ngerelain Juyeon buat orang lain.

“Nggak. Emang kamunya aja yang lemot, bukan denial. Lemot, lemot.”

“Tega banget, sih? Pacar sendiri dibilang lemot. Kamu ngomong gitu sekali lagi, nanti aku hukum. Sekali ngatain aku, dua kali ciuman.”

Lee Juyeon, stop jadi lucu dan menggemaskan. Changmin lemah. Dia beneran bisa minta dinikahin sekarang juga, nih.

“LEMOT. LEMOT. LEMOT. LEMOT. LEE JUYEON LEMOT.” Cowok manis itu tergelak hebat. “Tuh, lima kali ngatain kamu lemot. Jangan lupa sepuluh ciuman, ya.”

“Ji Changmin, astaga.”


© milkyuways, 2021.

ps. bikin changmin yang whipped dan (katanya) cinta mati sama juyeon begini lucu banget huhu.

Crisis

Kedua pemuda itu melangkah bersebelahan, saling genggam telapak tangan dan beri kehangatan. Sesekali tertawa atau bertukar lelucon demi membunuh sepi di tengah malam yang semakin kelam. Kedua otot pipi Changmin bisa kram kalau kelamaan tersenyum dan mengumbar tawa seperti ini. Menghabiskan waktu bersama Juyeon nggak pernah bikin bosan.

Dan cowok Skorpio itu diam-diam bersyukur, Juyeon sudah kembali jadi seperti dulu lagi.

Tiga bulan berlalu sejak dia menghilang hari itu, namun Changmin belum mendapat penjelasan soal apa pun. Nggak jadi masalah sebetulnya, toh Juyeon sudah kembali bersamanya. Changmin sama sekali tidak khawatir.

“Belum bosan?”

“Apa?”

“Ngelihatin cowok cakep yang namanya Lee Juyeon?” tanya yang lebih tua sambil mencubit pipi Changmin sebentar. “Nggak sadar, ya? Hampir lima menit kamu lihatin aku, tahu.”

Rona kemerahan itu tiba-tiba saja muncul di kedua pipi Changmin. Maniknya bergerak gelisah sambil sesekali berdeham, coba mengusir perasaan salah tingkah setelah ketahuan memandangi figur tampan Juyeon sejak tadi.

“Dih, pede banget emang. Aku lihatin soalnya kamu kayak kucing, gemes.”

Juyeon tertawa, matanya menyipit bak bulan sabit. Ganteng, batin Changmin. Dadanya kembali bergemuruh ketika merasakan genggaman tangan Juyeon pada telapak tangannya semakin erat.

“Changmin.”

“Hm?”

“Jaehyun sama sekali nggak menghubungimu?”

“Huh? Kak Jaehyun?” Changmin terkejut, tentu saja. Juyeon nggak pernah menyebut nama itu lagi sebelumnya, tapi kenapa tiba-tiba menanyakannya? “Nope. Kita masih belum ngobrol lagi, sih. Kenapa?”

Juyeon hanya menggelengkan kepala sementara tatapnya fokus pada jalanan yang mereka lalui. Mengantar Changmin ke rumah dengan berjalan kaki seperti ini seperti sudah jadi kebiasaan. Juyeon suka menghabiskan waktu berlama-lama bersama cowok yang disayanginya itu.

Dia lantas menolehkan kepala dan mendapati Changmin sudah menatapnya, menanti jawaban. “Oh, nggak, sih. Penasaran aja... kupikir dia sudah memberitahumu sesuatu.”

Kening Changmin mengerut heran. Sesuatu? Apa? Kenapa Juyeon bicaranya setengah-setengah begini, sih?

“Sesuatu? Maksudmu apa, Juyo?”

Kuriositas Changmin belum sempat terjawab ketika cowok manis itu tiba-tiba memekik keras. Kepalanya pusing dan pandangannya jadi sedikit memburam; wajah Juyeon perlahan tak terlihat jelas. Langkahnya terhenti begitu saja, membuat Juyeon turut menghentikan langkah dan heran melihat Changmin yang sudah melepas tautan jemari mereka dan beralih menekan pelipisnya.

Pusing dan sakit.

Changmin tahu jika jarak rumahnya sudah dekat, namun tiba-tiba saja dia berjongkok sambil memegangi kepalanya yang terasa semakin berputar.

Juyeon, sakit....

“Changmin?”

“Changmin, lihat aku! Changmin, kamu dengar suaraku?”

“Changmin.”

Lengan dan tanganku… panas, gatal. Juyeon, aku kenapa?

Ji Changmin semakin kacau.

Degup jantungnya berantakan. Sekujur tubuh seperti dihantam batu yang teramat keras, pun telapak tangan kirinya terasa sangat panas dan gatal. Samar-samar telinganya masih menangkap teriakan panik Juyeon yang berusaha mengelus punggung dan lengannya.

Lantas, mata Changmin yang sudah tidak fokus itu membelalak. Tanda hati berwarna hitam di tangan kirinya… perlahan berubah warna. Tangannya terasa semakin perih dan seolah kebas.

Gawat. Ini sangat gawat.

Tidak mungkin.

Siapa yang datang, huh? Siapa… soulmate Changmin? Tuhan, ini semua tidak nyata, 'kan?

notes: jukyu, milkyu, bbangkyu or basically bermuda and kyu as childhood friends. 370 words.


jukyu

“CHANGMIN. AKU BAWA IKAN!”

Tadi pagi Ayah Juyeon mengajaknya memancing, tentu saja Juyeon sangat bersemangat. Bahkan ketika Younghoon dan Hyunjae mengajaknya bermain, bocah lima tahun itu menolak dengan tegas. Juyeon mau bawakan ikan paling besar buat Changmin.

“Juyo? Kok ikannya ditaruh ember gede?”

“WAH? INI SIH IKAN BUAT DIBAKAR, JUYEON.” Hyunjae tiba-tiba saja sudah mengintip isi ember dan tertawa keras. “Kita bertiga udah beli ikan hias, tuh. Lucu. Kamu sih, nggak ikut.”

Changmin tertawa sambil memamerkan akuarium kecil berisi tiga ekor ikan ke arah Juyeon yang mematung dengan bibir melengkung ke bawah dan airmata yang sudah menggenang.

Sedih.

“Loh, Juyo jangan nangis.” Changmin segera meletakkan akuariumnya sebelum berlari memeluk yang lebih tua. “Besok kita beli ikan berdua, ya? Yang ini biar dimasak Bunda aja, hehehe.”


milkyu

“Udah jadiiii!”

Changmin berlari keluar dari rumah sambil membawa empat buah es krim tusuk rasa mangga yang dibuatnya tadi pagi dengan bantuan Bunda. “Tadaaa! Es krim mangga buatan Changmin. Pasti rasanya manis dan enak.”

Ketiga tetangganya itu saling melirik sebelum melahap es krim masing-masing. Juyeon dan Younghoon sepakat jika rasanya enak dan segar, tapi Hyunjae malah membuat muka aneh, seolah-olah baru saja mencicipi obat yang sangat pahit.

“Nggak enak. Kok kalian bohong, sih?”

“Ih, enak kok!” Changmin nggak terima, mukanya sewot, hampir menggigit Hyunjae. “Juyooo, enak, 'kan?”

“Enak, manis, kok.”

Hyunjae melahap habis es krim miliknya kemudian tersenyum usil. “Nggak enak... kalau cuma satu. Changmin, kalau kamu kasih aku satu lagi pasti jadi enak, deh?”

“Nggak ada es krim lagi buat Kakak! Changmin marah. Huh!”


bbangkyu

“Kak Younghoon, tolong bantuin Changmin ngerjain yang ini.”

Keempat bocah lelaki itu sedang belajar di pekarangan depan rumah Juyeon. Si tuan rumah sibuk berdebat dengan Hyunjae soal mana yang lebih dulu muncul di antara anak ayam atau telur. Jadilah Changmin menghampiri Younghoon dan meminta bantuannya.

“Fungsi dan kegunaan tangan?” Younghoon bergumam setelah membaca soal di buku Changmin. “Ini sih, gampang.”

Yang lebih tua lantas menuliskan sesuatu di buku tersebut sementara Changmin memperhatikannya dengan serius.

“Eh? Kok jawabannya begitu?” Changmin keheranan melihat jawabannya.

“Fungsi tangan kalau bukan buat gandeng tangan Changmin... apa dong?”

Hyunjae dan Juyeon yang semula masih ribut, sontak terdiam sebelum melempar gulungan kertas ke arah Younghoon.

“Tanganku juga bisa!” Itu Juyeon.

“Tanganku yang lebih cocok gandeng Changmin!” Dan tentu saja Hyunjae turut menimpali.