fluff, a bit hurt/comfort. 1,6k+ words. contains kissing.
based on mitski's pink in the night (trims buat anon yang udah drop prompt ini di cc!)
“And I know I've kissed you before, but
I didn't do it right
Can I try again, try again, try again”
“Ganteng banget, ya?”
“Mhm, kamu ganteng.”
Juyeon tertawa, sepasang mata indahnya membentuk bulan sabit, saking tingginya dia mengangkat kedua sudut bibir demi mengembangkan senyum lebar. Sudah biasa mendengar sahabatnya itu 'menggodanya' seperti tadi. Jemarinya lantas kembali sibuk menulis sesuatu di atas catatannya dan fokus terarah penuh pada buku tebal di hadapannya.
Sementara cowok berparas manis di depannya masih tak bergeming. Alih-alih melanjutkan pekerjaannya, Changmin malah sibuk memandangi ciptaan Tuhan yang begitu indah, yang kini duduk di depannya.
“Lee Juyeon, lo beneran keren. Dan gue nggak akan pernah bosen kasih tahu lo soal itu.”
“Oh? Well... trims, fans!”
Entah sadar atau nggak, Changmin sudah melengkungkan senyum tipis mengagumi figur sempurna seorang Lee Juyeon. Matanya indah, Changmin suka. Hidung dan pipinya juga menggemaskan. Oh—oh? Jangan lupakan bibir merah muda yang terlihat sangat menggo—ASTAGA!
Changmin segera menepuk-nepuk kedua pipinya yang terasa panas sebelum menyadari jika dadanya sudah bergemuruh hebat.
“Juyo, do you want to go see butterflies?” Changmin mencoba sekuat tenaga untuk nggak tertawa setelah kalimat tersebut meluncur dari balik katupnya.
Silly. Fuck Choi Chanhee and his stupid idea!
Sekarang Changmin jadi menyesal sudah mengatakan pick-up lines super cringey seperti tadi, karena Juyeon tiba-tiba saja menatapnya dengan kerutan di dahi. Dia benar-benar mengalihkan fokus pada Changmin seutuhnya, bukunya sudah diabaikan.
“Ini kamu lagi flirting sama aku?” Cowok yang lebih tua itu terkekeh kecil, menggelengkan kepala sementara sepasang netra indahnya masih menyorot sosok Changmin yang sudah memerah, menahan malu.
Choi Chanhee berengsek. Dia harus tanggung jawab udah bikin gue malu setengah mampus begini!
Changmin mendenguskan napas, berpura-pura sibuk dengan bolpoin di jemarinya. “Udah dari lama, 'kan? But, thank you for finally noticing. I have finally made a good progress, I guess,” gumamnya pelan. Dia nggak punya keberanian untuk mengangkat kepala dan berjumpa tatap dengan Juyeon, rasa malunya sudah di ubun-ubun. Demi Tuhan, Changmin ingin melarikan diri—ke Black Hole sekalian kalau perlu—seharusnya dia nggak nekat melemparkan pick-up lines seperti itu kepada Juyeon.
But he's lowkey proud of himself, though. Changmin has been flirting with Juyeon since... he didn't remember the exact time, since long time ago? Chanhee sudah sangat frustrasi meladeni semua omongan nggak penting Changmin soal Juyeon. Satu kalimat Chanhee yang sampai ini masih Changmin ingat dengan jelas, “Juyeon itu lemot. Lo harus maju duluan kalau emang naksir dia.”
Well, Chanhee is not totally wrong about that. Entah terlampau polos atau memang nggak peka, cowok Lee itu masih selalu menganggap Changmin cuma sekadar iseng menggoda dan mengusilinya. Padahal Changmin sudah cinta mati. Dasar Juyeon bodoh!
Lo, nggak lagi sengaja pura-pura lemot karena lo nggak punya perasaan yang sama 'kan, Juyeon?
Si cowok Skorpio baru saja ingin meralat omongannya. Ingin segera memutus keheningan yang mendadak tercipta, ketika suara Juyeon tiba-tiba mengudara, “bukannya lo udah tidur sama Kak Hyunjae akhir-akhir ini?” dan saat itu juga kalimatnya seolah berhasil menyiram tubuh Changmin dengan seember air es yang sangat dingin.
Tubuh Changmin gemetar, ingin sekali mendadak tuli dan nggak bisa dengar omongan Juyeon barusan. What the fuck is he talking about? Changmin has been flirting. With him only. For over years, and he thought Changmin's been sleeping with other guy, huh?
Changmin sedikit kecewa.
“Lo lebih percaya gosip daripada gue? Kita udah kenal dari zaman SMP, Juyeon. Lo beneran mikir gue bakal tidur sama cowok lain saat isi kepala gue cuma lo dan lo doang?” Changmin terkekeh, kendali otaknya berantakan. Dia nggak tahu harus bersikap bagaimana lagi. “Sebenarnya lo itu beneran nggak peka atau pura-pura aja, sih? Kalau emang nggak suka gue, lo bisa bilang langsung. Nggak perlu bawa-bawa nama orang lain.”
Tangan Changmin lantas tergerak merapikan buku-bukunya di atas meja, memasukkan ke dalam ransel secara paksa sebelum bergegas meninggalkan Juyeon yang mematung. Benar-benar tak bergeming alih-alih mengejar Changmin yang sudah semakin menjauh. Juyeon terlihat masih memproses semuanya, menatap nanar punggung Changmin yang perlahan sudah menghilang.
“Selamat pagi, Ganteng!”
“Juyo, gue nggak bisa tidur. Gue nyanyiin, ya? Suara gue nggak sebagus kesukaan lo, sih. Tapi gue pengen nyanyi dan gue maksa.”
“Lo mau bikinin gue tteokpokki seumur hidup juga bakalan gue habisin terus, deh. Seenak itu tteokpokki bikinan lo.”
“Juyeon, lo gemas banget kayak anak kucing!”
“Anak kucing gembul. Ogu ogu, Lee Juyeon gemas, lucu, bayi besar kesayangan Changmin.”
“Lee Juyeon, lo beneran keren. Dan gue nggak akan pernah bosen kasih tahu lo soal itu.”
“Udah dari lama, 'kan? But, thank you for finally noticing.”
.
Juyeon menutup buku tebalnya cepat-cepat, menghela napas panjang kemudian berlari keluar perpustakaan. Jemarinya bergulir di atas gawai yang sejak tadi dia genggam, kirimkan beberapa pesan kepada Changmin, namun belum juga dapat balasan.
Sudah dua hari mereka nggak saling ketemu, Juyeon rindu. Keberadaan Changmin di sekelilingnya sudah jadi kebiasaan, dia butuh Changmin-nya. Dan Chanhee juga sempat mengumpatinya hari itu—namun Juyeon yang masih kukuh di posisi denial-nya lagi-lagi hanya bisa membantah.
Manik Juyeon mengerjap ketika berhasil menangkap siluet cowok yang dirindukannya sebelum dia menghilang di balik pintu ruang latihan. Langkah panjangnya spontan berderap. Dia membuka pintu ruang tersebut dengan tergesa, lantas meringis kecil melihat Changmin kini sedang memandangnya kaget.
“Hehe, gue kangen?” Juyeon mengusap-usap lehernya, tidak tahu harus berbuat apa ketika rasa canggung tiba-tiba merayap dan menyelimuti keduanya di ruangan penuh cermin itu.
“Changmin, dengerin gue, ya?” Yang lebih tua mengikis jarak perlahan, coba meraih jemari cowok di depannya lantas menariknya mendekat. “Gue bisa mati kalau lo pergi. Jadi, gue minta maaf? For everything. I didn't mean to hurt you like that...” Juyeon mengambil napas dalam, lengannya kini melingkar di tubuh Changmin, memeluknya erat, berbagi kehangatan. “Gue... nggak suka dengar mereka ngomongin lo sama cowok lain. Kesel? Marah, cemburu? Lo tahu gue juga selalu lihat lo, 'kan?”
“Lo nggak pernah anggep gue serius, Juyeon.”
“No. Lo salah, Changmin. I've been always there, you know? Gue selalu lihat elo, Ji Changmin.”
Entah siapa yang memulai, karena setelah saling bicara soal isi hati masing-masing, punggung Changmin sudah menempel pada pintu ruang latihan. Bibir Juyeon berada di lehernya, berikan kecupan ringan dan sesekali menggigit pelan kulit hangat yang lebih muda.
Changmin tiba-tiba teringat pertama kalinya mereka berciuman. Bermula dari ujaran iseng saat bosan melanda, Changmin tiba-tiba saja sudah menempelkan bibirnya di sana. Iya, di atas bibir Juyeon, lebih tepatnya. Tentu saja Juyeon terkejut, dan siapa juga yang bisa menolak, huh? Pertahanannya pun goyah juga. Ciuman iseng itu kemudian berakhir dengan keduanya yang terlalu menikmatinya.
Sejak saat itu Changmin semakin yakin tentang satu hal: dia butuh Juyeon, dia mau Juyeon.
Ruang latihan itu seketika berisik oleh deru napas Changmin yang menggema juga erangan kecil yang keluar dari mulutnya ketika Juyeon mengisap dan menggigit tulang lehernya. Rasa panas dan basah karena lidah Juyeon masih bermain di kulit lehernya membuat kedua kaki Changmin lemas. Hampir merosot ke lantai jika dia tidak memeluk erat pundak kokoh milik Juyeon.
“Juyeon, please....” Changmin mengerang rendah sebelum kembali dibungkam oleh bibir yang lebih tua. Keduanya kembali berbagi ciuman dalam, saling bertarung lidah, sebelum Changmin menarik diri dan mendorong kepala Juyeon menjauh. “Udah gila, ya?” protesnya sambil meraup oksigen banyak-banyak. “Jangan mesum di sini, Idiot.”
“I'm your favorite idiot, though.” Juyeon terkekeh senang, ibu jarinya mengusap sisa saliva di sudut bibir Changmin kemudian mengecupnya lagi sekali lagi. “Jadi, tawaran melihat kupu-kupunya masih berlaku, nggak?”
“Apaan, sih? Stop bahas itu, malu-maluin.”
“Hahaha. Ya udah, biar gue aja yang tanya. Changmin, mau lihat kupu-kupu di rumah gue, nggak?”
“LEE JUYEON.”
“Loh? Ayo jawab, dong. Gue tanya serius. Oh, atau lebih suka lihat kupu-kupu di rumah Kak Hyunjae?”
“Jangan ngaco!”
“Tapi, Changmin... if you have to choose between my lips and his, who's the winner, hm? Lo harus jawab yang ini, soalnya gue nggak mau kalah sama dia.”
“Dih? Emangnya lagi lomba lari apa? Nggak mau, ah.” Changmin membuang muka, kedua pipinya sudah memerah. Pertanyaan Juyeon sangat konyol, Changmin memang pernah berciuman dengan mantan crush-nya itu... tapi masa yang begitu harus ditanyain?
“Jawab atau gue cium lagi di sini, kita making out sampai lo lemes terus minta nam—hmfph.”
“Berisik banget.” Tangan Changmin sudah menyumpal bibir Juyeon, menatapnya galak sebelum menghela napas panjang dan melanjutkan, “lebihsukadiciumkamu.”
“Hah? Ngomong apa? Telingaku nggak denger, coba ulang.”
“Rese.”
“Serius, Sayang. Tadi nggak denger, ngomongnya jangan kayak orang lagi makan permen, dong? Ayo, ulang. Janji deh, kali ini didengerin baik-baik.”
“Dih, don't sayang sayang me, lo bukan pacar gue.” Kedua pipi Changmin menggembung lucu, bibirnya mengerucut sementara Juyeon hanya tertawa. Gemas, dia nggak tahan buat nggak nyubit pipi cowok di depannya.
“Mulai hari ini kamu, Ji Changmin, sudah disahkan jadi pacar Lee Juyeon. Jadi, kamu cuma boleh cium-cium dan make out sama aku aja. Orang lain yang pengen cium kamu wajib lapor, nanti biar kuhajar habis-habisan. Beraninya dia mau ngerebut cowokku yang paling lucu dan menggemaskan.”
“Kok jadi alay?”
“Biarin? Alay begini yang penting kamu lebih suka kalau dicium aku.”
“KATANYA NGGAK DENGER?”
“Hahaha, kan cuma iseng. Aku cuma mau dengar lagi. I love it when you're all over me kayak tadi, makanya minta ulang.” Juyeon memamerkan deretan giginya yang rapi sambil mengusak-usak rambut Changmin.
“Udah sana pergi, sebentar lagi anak-anak dateng,” ucap yang lebih muda yang kini sudah kembali melangkah untuk menyiapkan speaker dan laptopnya.
“Bagus, dong? Aku mau nemenin kamu di sini sampai mereka dateng, sekalian mau ngenalin diri sebagai pacar ketua klub dance yang galak, Ji Changmin. Oh ya, Changmin?” Kini Juyeon sudah mendudukkan diri tak jauh dari posisi pacarnya yang masih sibuk dengan laptopnya. Panggilannya hanya berbalas gumaman tidak terlalu jelas, namun Juyeon nggak mempermasalahkannya. “Aku juga suka kamu yang flirting kayak dulu... it amazes me the most, not gonna lie. Lucu, ya? Seorang Ji Changmin flirting.”
“Yeah, sayang banget yang diajakin flirting kebanyakan nggak peka dan lemot.”
“Bukan lemot, ya! Agak denial... juga insecure, takutnya kamu lebih suka dia dan cuma iseng mau ngerjain aku.”
Changmin tertawa, namun Juyeon tidak melihatnya. Ingin sekali berteriak mengajaknya menikah—besok kalau bisa—karena Changmin nggak mau kehilangan cowok itu lagi. Few years full of pining feelings, dan Changmin bersumpah dia nggak akan ngerelain Juyeon buat orang lain.
“Nggak. Emang kamunya aja yang lemot, bukan denial. Lemot, lemot.”
“Tega banget, sih? Pacar sendiri dibilang lemot. Kamu ngomong gitu sekali lagi, nanti aku hukum. Sekali ngatain aku, dua kali ciuman.”
Lee Juyeon, stop jadi lucu dan menggemaskan. Changmin lemah. Dia beneran bisa minta dinikahin sekarang juga, nih.
“LEMOT. LEMOT. LEMOT. LEMOT. LEE JUYEON LEMOT.” Cowok manis itu tergelak hebat. “Tuh, lima kali ngatain kamu lemot. Jangan lupa sepuluh ciuman, ya.”
“Ji Changmin, astaga.”
© milkyuways, 2021.
ps. bikin changmin yang whipped dan (katanya) cinta mati sama juyeon begini lucu banget huhu.