milkyuways

notes and tmi: marriage life au, milkyu has a daughter yay! Ddalgi is her name just because idk what to name her hahaha. i'm sorry. Ddalgi calls Changmin as Pi (it's Papi actually, but she makes it simple with 'Pi'), Hyunjae is Pa (stands for Papa). 900+ words anyway enjoy!


Ji Changmin mengembuskan napas berat, terduduk di atas lantai dengan kaki berselonjor dan punggung menempel pada sofa, lelaki itu sedang meraup oksigen banyak-banyak. Maniknya kemudian memandang seorang bocah perempuan yang sedang asik dengan boneka dan mainannya, berjongkok beberapa meter di sebelah Changmin.

“Ddalgi, Pi lanjutin kerjaan dulu, oke?” Tolong jangan ganggu papimu ini paling tidak satu jam saja, Ddalgi. Changmin hanya melanjutkan kalimatnya di dalam hati, sebelum mendekati anak perempuan itu dan menyodorkan sekotak susu stroberi.

Napasnya masih sedikit terengah setelah sejak pagi tadi Ddalgi terus merepotkannya—mengajaknya bermain ini dan itu, menggambar dan mewarnai, menonton film, juga menangis keras ketika sedang lapar—Changmin bahkan belum sempat menyentuh kerjaannya hari ini. Jika boleh memilih, dia lebih suka jika Ddalgi menghabiskan waktunya di sekolah daripada merampok seluruh waktunya begini. Kepalanya sudah hampir pecah, dan dia sadar jika suaminya jauh lebih ahli soal mengurus Ddalgi.

Changmin juga sedikit merasa bersalah—hanya sedikit, rasa kesalnya jauh lebih banyak—karena sejak tadi dia berkali-kali menelepon Hyunjae. Tanyakan soal ini dan itu, namun alih-alih kesal sepertinya suaminya itu terlihat nggak keberatan sama sekali. Dia malah sesekali menertawakan Changmin yang benar-benar dibuat kerepotan selama beberapa hari ini.

“Sabar ya, Sayang. Besok Mas udah pulang, kok.”

Hyunjae mengatakan itu kemarin, oh jangan lupakan kekehan usil yang terdengar setelahnya. Benar-benar menyebalkan. Tapi Changmin juga merindukannya, sih. Akhir-akhir ini suaminya itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya di luar kota, Changmin bahkan sudah lupa kapan terakhir kali dia menghabiskan waktu bertiga bersama keluarga kecilnya.

Si lelaki Ji kembali menghela napas dan segera menaruh fokus pada layar laptopnya ketika tiba-tiba ponselnya menyalak keras. Ddalgi yang semula asik dengan dunianya sendiri seketika berlari kecil menghampiri Changmin, mengabaikan mainannya yang tergeletak pun susu stroberi yang semula dinikmatinya.

“Pa! Pa! Pa!” pekiknya kegirangan sambil menarik-narik kaus Changmin, menyuruhnya agar segera mengangkat panggilan tersebut. “Pi, cepat. Itu pasti Jae Pa.”

“Iya, sebentar, Sayang. Ini Pa yang telepon,” jawab Changmin sembari mengusap layar ponsel untuk menerima panggilan video yang baru saja masuk. Dan wajah Lee Hyunjae serta merta terpampang di layar, tersenyum cerah melihat Ddalgi yang sudah meneriakkan namanya dengan pekikan tinggi.

“PAAA!! JAE PAAA!!”

“Halo, Princess? Cantik sekali Princess kecilnya Pa. Demamnya sudah turun, mm?”

Bocah lima tahun itu tersenyum lebar dan menganggukkan kepala, “Ddalgi sudah nggak demam. Pi keren banget hari ini. Ddalgi suka kalau Pi nggak kerja tiap hari,” ujarnya begitu antusias. Tawanya semakin melebar, menunjukkan deretan giginya yang kecil dan lucu.

Changmin hanya mengembangkan senyum, lantas gelengkan kepala, tingkah dan kelakuan Ddalgi sangat mirip dengan Hyunjae. Sejak awal mengadopsi, bocah perempuan ini memang lebih menyukai Hyunjae daripada Changmin. Ddalgi berusia beberapa bulan kala itu, dan Changmin sempat ngambek beberapa hari karena Ddalgi yang masih bayi selalu menangis ketika dia berusaha menggendongnya.

Namun Hyunjae selalu di sana, berusaha melibatkan Changmin ketika harus mengurus Ddalgi. Dan seiring berjalannya waktu, Ddalgi pun mulai menerimanya. Changmin bahkan menangis histeris ketika melihat Ddalgi pertama kali merangkak ke arahnya sebelum meminta gendong. Hyunjae jadi kelimpungan sendiri karena Changmin belum berhenti menangis sampai Ddalgi sudah tertidur sekalipun.

“Nanti malam Pa pulang. Ddalgi jangan ngerepotin Pi, ya? Jangan nakal, pokoknya harus nurut sama Pi. Jangan lupa minum obat juga. Oke, Princess?”

“Siap, Pa! Ddalgi nggak nakal. Ddalgi juga minum obat. Ddalgi sayang Pi.”

“Huh? Cuma Pi aja, nih? Ddalgi nggak sayang Pa?”

No no no. Ddalgi sayang Pa dan Pi.”

Melihat muka anak perempuannya yang terlampau cerah, tentu saja membuat hati Changmin hangat. Rasa kesal dan lelah yang seharian menderanya, tiba-tiba luruh begitu saja. Pada akhirnya, melihat Ddalgi yang tertawa dan bersemangat seperti ini sudah cukup membuat Changmin bahagia.

Ponsel lantas disodorkan kepada Changmin dan Ddalgi kembali berlari kecil menghampiri boneka dan mainannya sambil bernyanyi-nyanyi. Terlihat jelas suasana hatinya membaik setelah berbicara dengan papanya, huh?

“Kenapa muka kamu begitu, Dek?”

“Ih, apaan, sih? Aneh banget kamu. Kemarin manggil diri sendiri Mas, sekarang manggil aku begitu? Sehat, 'kan?”

Hyunjae tertawa di sana—dan Changmin mengumpat dalam hati, karena suaminya itu terlihat sangat tampan—menyisir rambut dengan jemarinya sebelum berdeham pelan. “Lucu nggak, sih? Ya, sesekali aku mau panggil kamu begitu. Kangen banget sama suamiku yang manis dan lucu, kangen Ddalgi juga. Kamu pasti kerepotan banget semingguan ini, mana Ddalgi sempat demam juga. Mas jadi ngerasa bersalah. “Weekend nanti kita jalan-jalan, mau?”

Pipi Changmin seketika memerah, Hyunjae cuma bilang kalau dia rindu, tapi Changmin sudah malu setengah mati. Aneh, 'kan? Mereka sudah bersama-sama selama hampir delapan tahun sejak pacaran dulu, tapi nggak jarang Changmin masih suka salting mendengar Hyunjae berbicara manis seperti tadi.

“Ah, weekend nanti Ddalgi ada jadwal sport day di sekolahnya, tahu. Mana bisa jalan-jalan?”

“Oh, ya? Hm, ya udah, kita piknik sekalian sport day ajalah. Pokoknya Mas mau ngabisin waktu weekend sepuasnya sama dua kesayangan Mas, deh.”

Demi Tuhan, Lee Hyunjae, lo bisa stop sebentar godain gue nggak? Changmin berteriak di dalam hati. Dadanya berdebar hebat hanya karena kalimat sederhana yang terucap dari mulut usil suaminya itu.

“Hahaha, muka kamu merah, Sayang. Aduh gemasnya. Nggak sabar pengen cepet pulang terus ciumin pipi kamu.”

“Ih, ada Ddalgi. Jangan ngomong aneh-aneh!”

Hyunjae memperagakan gerakan mengunci mulut sebelum mengulum senyum di seberang. Benar-benar menyebalkan. Changmin jadi gemas mau gigit dia sampai kesakitan.

“Udah sana, aku masih harus nyelesaiin kerjaanku, nih.”

Bibir yang semula mengembangkan senyum itu seketika cemberut. “Ya udah, nanti Mas nebeng Juyeon, jadi kamu sama Ddalgi nggak usah jemput, tunggu di rumah aja. Mas sayang banget sama Adek. Hehehe.”

“Lee Hyunjae!!!”

“Sayangin balik, dong?”

“Dih! Iya, iya. Aku juga sayang Mas.”

“GEMASNYA! HAHAHA sayang banget sama kamu, Changmin. Can't wait to be home! Love you.”

Dan begitulah panggilan video tersebut berakhir. Changmin yang masih senyum-senyum sendiri dan mengatur debar jantungnya terkejut ketika suara Ddalgi tiba-tiba mengagetkan dan membuatnya salah tingkah (lagi).

“Pi, kenapa senyum-senyum sendiri?”

“Ah, Ddalgi sayang. Sini, deh?” Changmin membuka kedua lengannya, berharap Ddalgi segera menghambur ke pelukannya. “Pi mau dipeluk Ddalgi, boleh?”

Bocah perempuan dengan jepit stroberi di rambutnya itu lantas berlari kecil menghampiri Changmin, mendekap lelaki berlesung pipi itu dengan lengan kecilnya sebelum menyamankan diri di dalam pelukan hangat sang papi.

“Pi sayang Ddalgi, Pa juga. Jangan sakit-sakit lagi ya, Princess.”

that night.

cw: nsfw!!! this work contains cuddling, snuggling, kissing, heavy making out and sexual tension. loooong journey lmao (it's 1,7k+ words)


“Masih cemberut aja, mm?” Julian meraih jemari pacarnya kemudian digenggamnya erat sembari terus melangkah menuju kamar apartemennya. Cowok jangkung itu terkekeh kecil melihat sudut bibir yang lebih muda masih mengerucut dan keluarkan dengusan kesal. “Ayo cepet masuk, deh. Kamu langsung mandi nanti aku buatin susu vanila hangat, ya?” Ibu jari Julian mengelus lembut jemari sang pacar, lantas mengangkat genggaman tangannya dan beri kecupan kecil di punggung tangan Chandra.

Selama sepersekian detik, suara hati Chandra berteriak kencang menyuruhnya untuk menghambur ke dalam pelukan hangat cowok yang lebih tua. Namun, lagi-lagi sisa egonya di kepala kembali melarang. Dia hanya memalingkan muka, coba sembunyikan pipinya yang memanas pun mengumpati debaran jantungnya yang tiba-tiba meningkat temponya.

Tidak, tidak. Chandra masih harus ngambek.

Sesampainya di dalam apartemen Julian, keduanya lekas melepas alas kaki dan merapikannya—hanya Julian saja, sih, yang merapikan sepatu keduanya, karena sang pacar sudah melesat ke kamar mandi setelah lebih dulu melempar ranselnya ke atas sofa.

“Iyan, handuknya manaaaaaa?!” teriakan Chandra dari dalam kamar mandi mengagetkan Julian yang kala itu tengah sibuk membuatkan susu vanila kesukaan sang pacar. Dia hanya mengulum senyum, biarkan teriakan Chandra mengudara selama beberapa menit, sengaja ingin menggoda pacarnya lagi.

“Iyaaaaan, ih! Cepetaaan. Dingin banget, nih.”

“Di tempat biasa, Caca Sayang. Kan ada drawer di depan kamar mandi tuh, ada banyak handuk bersih di sana.”

Beberapa menit berlalu tanpa suara, hingga akhirnya Chandra menapakkan kaki keluar dari kamar mandi dengan kaus hitam bergambar Iron Man milik Julian yang kebesaran di tubuhnya juga celana pendek milik sang kekasih. Maniknya menelusuri dapur, mencari presensi cowoknya namun nihil. Sepertinya Julian sudah lebih dulu menunggunya di kamar.

“Sayang, udah mandinya? Aku di kamar. Susu hangat kamu juga udah aku bawa ke sini.”

Langkah Chandra perlahan terarah menuju satu-satunya kamar di apartemen tersebut, menghampiri pacarnya yang sudah berada di sana. Dia terduduk bersandar pada kepala ranjang sementara fokusnya terpaku penuh ke arah layar LCD televisi yang sedang menyala.

Ketika indera penciumannya berhasil temukan aroma shampoo miliknya, Julian menolehkan kepala. Memandang Chandra yang sudah beringsut mendekat dan tampak menggemaskan dengan kaus yang kelewat longgar itu.

Damn, he's so freaking cute. And Julian loves him more. He loves his boyfriend so much to the point of losing his sanity, mind and soul.

“Sini?” Julian membuka kedua lengannya lebar-lebar, mengundang kekasihnya itu untuk lekas masuk ke dalam pelukannya.

Chandra, dengan bibirnya yang masih memberengut segera mendekat dan berhasil mendudukkan diri di sebelah pacarnya, membuat Julian lekas mendekap pinggangnya erat sambil sesekali menciumi pipi Chandra yang sebelah kanan. Yang lebih muda sedikit memberontak, coba melepaskan diri dari pelukan erat sang pacar demi meraih mug berisi susu vanila kesukaannya.

“Sebentar, aku habisin ini dulu,” ucapnya sembari mendorong kepala Julian menjauh, sedikit merasa geli ketika merasakan bibir cowoknya yang sudah berikan kecupan-kecupan ringan di lehernya. “Kamu ganti parfum di kamar mandi, ya? Baunya bukan kamu banget, tuh.” Chandra yang sudah menandaskan minuman hangatnya lekas naik ke atas ranjang, menambah beban pada tempat tidur tersebut dan berbaring di sebelah yang lebih tua sebelum jadikan bahu lebar Julian sebagai bantalan kepala.

“Iya, seminggu yang lalu Bunda dateng terus tiba-tiba aja ganti parfum di sana. Kamu nggak suka?” Lengan panjang Julian melingkar di pinggang Chandra, mengecup kepala pacarnya dan membiarkannya bergerak pelan demi temukan posisi ternyaman. Senyum di bibir indah itu seketika mengembang, dia masih nggak percaya cowok manis kesayangannya itu berada di sini. Empat bulan memendam rindu akibat hubungan jarak jauh, dan tiba-tiba saja Chandra datang dan menemaninya malam ini.

Maka, dengan sengaja Julian membawa tubuh Chandra semakin dekat, mengecupnya lagi; di sisi dahinya, kemudian beralih pada pipi tembam yang lebih muda, hingga berakhir di sudut-sudut bibirnya. Julian Ramaditya total mengabaikan tayangan Netflix yang semula dia putar di layar TV-nya.

Chandra hanya menggeleng kecil dan menggumamkan beberapa kata sebelum dia mengangkat kepala. Mencoba menatap sepasang manik Julian yang terlihat sangat indah, hingga sepersekon kemudian bibir cowok yang lebih muda sudah menempel di atas bibirnya. Dan Julian tak pernah merasa refleksnya lebih cepat daripada ini, ketika tangannya menyambar pinggang Chandra. Mengecupnya hingga ia tak ingat apa-apa lagi. Ia terlalu mabuk kepayang, namun, ia masih bisa merasakan senyum Chandra di atas bibirnya, usapan lembut di punggung hangatnya, pun hela napas di ceruk lehernya ketika pagutan singkat dan lembut itu terpaksa diakhiri lantaran Chandra butuh pasokan oksigen lagi.

Ia masih bisa merasakan detak jantungnya yang menggebu, cahaya dari layar LCD TV yang memenuhi ruangan, dan tangan Chandra yang berada di sekitar tubuhnya—ah, Julian sangat merindukan hangat jemari sang pacar yang menyentuhnya seperti ini.

Tangan Julian masih berada di pinggang sang pacar, tiba-tiba saja menyusup perlahan ke dalam kaus yang dia pakai demi mengusap lembut kulit hangatnya sementara mulut yang lebih muda hanya keluarkan erangan kecil. Chandra semakin merapatkan tubuhnya di dada yang lebih tua sebelum kembali mendongakkan kepala, menatap sayu ke arah sang pujaan hati dan biarkan lidah Julian kembali menggoda bibirnya.

Julian gently lapped at Chandra's mouth until his lips parted and he tasted vanilla in the other's mouth again.

I miss you. I miss you. Kangen banget sama kamu, pacarku,” bisiknya dengan suara rendah sebelum kembali membawa Chandra ke dalam ciuman panas dan basah. Julian suka menyapukan lidahnya pada bibir tipis Chandra, menggigit belah bibir bawahnya, dan mengisap lidahnya hingga cowok yang lebih muda itu kembali mengerang dan meremas kaus yang dipakainya erat-erat. Ciuman dari cowok yang lebih tua selalu berhasil merampas akal sehat Chandra, dan setelah hampir empat bulan tak saling bersua, wira Skorpio itu baru menyadari jika dia sangat merindukan kekasihnya.

Mnh– Iyan, stoph!” Tangan Chandra yang sudah lemas itu berusaha mendorong tubuh cowoknya menjauh. “Hhh, aku masih kesel, ya, sama kamu!” Bibir basah itu kembali mengerucut, dan Julian bersumpah dia bisa mati muda jika pacarnya itu terus 'menyiksanya' seperti ini. Chandra terlihat berantakan dengan sisa saliva yang menggenang di kedua sudut bibirnya, dan jangan lupakan juga bibir tipis yang sudah bengkak dan memerah akibat pagutan keduanya beberapa menit yang lalu, menambah kesan seksi yang berhasil membuat Julian gila.

“Hahah, aku minta maaf, ya? Aku cuma kaget, khawatir juga, kamu sama sekali nggak bilang kalau mau ke sini. Angkasa juga bilang kamu nggak izin sama dia. Ngapain coba? Kalau ada apa-apa sama kamu di jalan gimana? Perjalanan kamu ke sini tuh nggak deket, Sayang. Kamu pasti nggak ngabarin orang rumah juga, 'kan?”

Chandra yang hanya bisa bungkam kini menggelengkan kepala. Faktanya dia memang nggak kasih kabar keluarganya juga. Dan kalau dipikir-pikir tindakan impulsifnya—menempuh perjalanan jauh demi mengunjungi sang pacar tanpa mengabari siapa pun—memang sedikit mengkhawatirkan. Well, Julian benar soal itu… Chandra yang salah. Tapi tetap saja? Chandra masih kesal soal ucapan cowoknya itu tadi.

Kangen nggak harus diobatin... Cih, mana bisa?

“Iya, aku salah, deh. Maaf udah bikin khawatir. Lain kali aku bilang,” ucapnya pelan sambil memainkan jemarinya, kebiasaan lamanya yang belum sembuh tiap kali dia merasa bersalah ataupun gelisah. Julian kembali mengusap rambutnya lembut, mencoba menenangkan dan biarkan cowoknya itu melanjutkan pembicaraan. “Tapi aku nggak setuju sama kalimat kamu tadi. Soal kangen yang nggak harus diobatin. Aku kangen, aku mau ketemu, dan kangen tetep harus diobatin sebelum makin parah. Flu dan demam juga diobatin, tapi mereka masih suka datang lagi, tuh? Rasa kangen juga gitu, bakalan tetep balik meskipun udah diobatin, tahu.”

Julian kemudian tertawa gemas, tangannya lantas mencubit pipi kekasihnya itu dan memaksa tubuh yang lebih muda agar terduduk di pangkuannya. Chandra yang semula hanya mengatupkan bibir lekas-lekas memekik kaget, namun sepersekon kemudian dia sudah bergerak pelan dan menyamankan diri di atas paha pacarnya.

Sebuah desahan nyaris lolos dari mulutnya ketika ibu jari Julian kembali mengusap bibir bawahnya seduktif. Cowok November itu tiba-tiba saja mengerang ketika merasakan sesuatu yang sudah bergesekan dan mengeras di bawah sana.

Seringai tipis dan menyebalkan tercipta di wajah tampan seorang Julian Ramaditya, tangan kirinya mengusap kulit hangat di pinggang Chandra sementara yang satunya bergerak mendorong leher sang pacar mendekat. Bibir Julian lantas menempel di daun telinga Chandra, menjilatinya sejenak sebelum berbisik rendah, “maaf, ya? Aku beneran lagi kalut tadi, kepalaku nggak mikir jernih. Beneran takut kamu kenapa-kenapa, Sayang.”

Chandra merinding. Bulu kuduknya meremang hebat merasakan gerak bibir Julian yang menyisir telinga, berlanjut ke seluruh permukaan kulit pipi dan rahangnya sebelum kembali memagut bibirnya, menciumnya berantakan.

Lagi-lagi mengumbar seringaian tipis, Julian lantas mengisap kuat-kuat lidah pacarnya, mengabsen semua bagian rongga mulut Chandra hingga suara kecipak basah akibat pertukaran saliva terdengar, membuat Chandra mengerang dan hampir gila. Kepala Chandra pusing. Entah bagaimana kondisinya saat ini, dia hanya butuh pacarnya sekarang. Cuma mau Julian, Julian, dan Julian.

“Mmh- Iyan….”

Tangan Julian kini sudah beralih pada kedua sisi pinggang si manis, mengusap-usap lembut, sebelum memaksa tubuh kecil di atas pangkuannya itu bergerak maju dan mundur, seolah bekerja memberikan friksi pada bagian bawah mereka yang sama-sama sudah menegang. Ritme ciuman yang mulai berantakan, pergerakan jemari Chandra yang meremas rambut Julian, juga gerakan acak pada kedua kejantanan yang saling bertubrukan, membuat sepasang kekasih itu semakin dilanda nafsu yang menggebu.

Tatkala pagutan di bibir terlepas, Chandra yang sudah lemas itu hanya bisa menenggelamkan kepalanya di bahu Julian. Kaus yang dipakainya sudah sangat berantakan hingga memperlihatkan mole lucu dan menggemaskan yang berada di bahu Chandra yang sebelah kiri, sebelum jadi sasaran cium, jilat, dan gigit mulut Julian.

Keduanya sedang saling mengukir kiss mark di leher masing-masing ketika bibir Chandra tiba-tiba memekik kencang. Hampir menggigit bahu cowoknya keras-keras kalau dia tidak ingat jika gigitannya bisa melukai kulit yang lebih tua.

“A-ah, Iyan stoph! Iyan a-aku mhh mau keluar. A-aghk Iyan s-sakit, Anjing. Jangan diremes gitu!” Di tengah napasnya yang sudah putus-putus, Chandra meninju keras lengan Julian yang kini malah menggenggam dan meremas milik kekasihnya di balik celana. “Iyan… stoph– akh!”

Yang lebih tua hanya terkekeh, tangannya yang sebelah kiri masih mengusap punggung Chandra, kembali memberi rangsangan. “Mau keluar, 'kan? Udah aku bantuin ini. Yakin mau udahan aja?”

“Sialan, Iyan tangan lo- akh! Hhh, jangan di-diremes Iyan. Cepetan… a-ah, Anjing Iyan!”

But he couldn't finish that though.

Julian lebih dulu mendorong badan kekasihnya kembali ke atas kasur. “Mulutmu, lho, Ca. Jelek banget kalau ngumpat. Udah, mending diem di sana, kamu terlalu banyak gerak dan malah bikin punyaku ikutan sakit.” Cowok yang lebih tua menyaksikan kekasihnya yang sudah lemas, dengan peluh membasahi seluruh wajah dan menetes ke pelipisnya juga bekas saliva yang membasahi rahang. Chandra terlihat sangat berantakan, dadanya masih naik turun mengatur napas yang memburu akibat kejaran nafsu.

Dan di sekon berikutnya, Julian kembali menyerang leher panjang Chandra, berikan kecupan-kecupan basah dan gigitan lembut, melukis bekas kemerahan di kulit putih sang pacar sementara tangannya kembali bergerak turun. Menyusuri kulit pacarnya yang basah oleh keringat hingga sampai tepat di bagian bawah Chandra. Telapak tangan besarnya menyelusup masuk ke dalam celana pendek sang pacar, mengusap paha dalamnya seduktif, lantas menggenggam milik Chandra lagi. Telapak tangan Julian segera bekerja memberikan usapan lembut, pijatan hangat, juga sedikit menekan ujung kejantanan pacarnya perlahan.

“Sialan! Hah- tangan lo hangat. Akh! Sedikit lagi. Iyan!” Kepala Chandra menggeleng ribut merasakan kenikmatan yang menghantam sekujur tubuhnya, menggeliat gelisah dan tak sabar di bawah kendali yang lebih tua.

“Keluarin aja. You'll have to face the consequences, Sayang. Enak, hm?” Julian menggeram dengan suara rendah sebelum kembali fokus membantu yang lebih muda mencapai putihnya.

Chandra hanya bisa mengerang dan berharap jika dirinya bisa berjalan dengan normal esok hari.

getting all mad.


Julian masih nggak percaya. Sepasang netranya melebar sesekon berselang setelah dirinya berhasil membuka pintu apartemen. Dia benar-benar temukan presensi pacarnya di sana—lengkap dengan cengiran serta lesung pipi menggemaskan di pipinya yang sebelah kanan.

“Hai, pacar?”

Keduanya saling bungkam selama beberapa detik, sebelum Chandra mendengus keras ketika sapaannya nggak terbalas. Sedikit kesal karena raut muka Julian bahkan tak siratkan rasa senang melihatnya datang. Cowok yang lebih tua hanya menggumamkan 'Oh' kecil alih-alih memeluknya atau bahkan menyuruhnya masuk.

“Ngapain ke sini coba?”

Itulah kalimat pertama yang keluar dari katup bibir yang lebih tua. Mengubah suasana yang seharusnya penuh kehangatan dan saling melepas rindu, jadi sedikit menegangkan. Pertanyaannya jelas sedikit melukai hati Chandra yang saat itu sudah terduduk di sofa setelah habis menandaskan minumannya. Cowok berparas manis itu meraih ponselnya, pura-pura menyibukkan diri padahal dadanya bergemuruh, ingin meledakkan amarah.

Kenapa jadi aneh begini, sih?

“Nggak boleh, ya? Kangen banget sama pacar, pengen ketemu.”

Helaan napas panjang terdengar dari arah Julian yang terduduk di sebelah pacarnya. Tangannya mengusap permukaan wajahnya dengan kasar, tampak belum bisa memahami maksud Chandra yang tiba-tiba datang hampir tengah malam begini. Cowoknya itu bahkan nggak ngomong apa pun soal kedatangannya dan jelas saja Julian kesal. Perjalanan Malang-Bandung itu nggak dekat. Kenapa pacarnya bisa senekat ini, sih? Kalau terjadi sesuatu di jalan siapa yang akan bertanggung jawab?

“Kangen tuh, nggak harus diobatin,” desisnya pelan, giginya bergemelutuk, pun telapak tangannya sudah mengepal. Kentara sekali jika dia tengah menahan gumpal kekesalan yang membelot di dada. “Nanti kalau diobatin dan kangennya sembuh, terus nggak ngerasa kangen lagi, gimana coba?”

Chandra mengerang kesal, rahangnya mengeras sebelum kembali berusaha meraup napas dalam dan mengendalikan diri. “Bukannya bagus? Kalau nggak kangen lagi berarti kan kita udah ketemu, kayak sekarang ini?”

“Kok bagus? Jadi kamu nggak mau kangen aku lagi, gitu?”

Intensitas tatapan cowok yang sudah dua tahun jadi pacarnya itu membuat Chandra refleks menelan ludah. Nada bicara Julian yang meninggi, membuat kepalanya tiba-tiba pusing. Dia nggak membentak, sih, tapi, tetap saja Chandra kesal. Kenapa Julian jadi marah, deh? Aneh.

Untuk sepersekian detik Chandra begitu tergugah menarik kedua pergelangan kekasihnya lantas mendekapnya erat—demi Tuhan, dia kangen. Tapi persentase rasa kesalnya jauh lebih tinggi, rupanya. Persetan dengan melepas rindu, Julian sudah membuatnya semakin kesal, sekarang.

Julian sama sekali nggak terlihat senang dengan kehadirannya malam ini. Chandra kecewa, jujur saja.

“Ngomong apa, sih? Nggak gitu konsepnya, Iyan Dodol. Males ah, kamu aneh. Ya udah, sekalian nggak usah ketemu selamanya aja kalau gitu,” sungut yang lebih muda sambil meraih kembali ranselnya dan bergegas bangkit. Bibirnya mengerucut, terus rapalkan umpatan.

Langkah Chandra kemudian sudah membawanya pergi dari hadapan sang pacar. Enggan berlama-lama di sana, lantaran cowok itu sudah cukup lelah dengan perjalanan panjang yang ditempuhnya dan dia nggak mau menambah penyakit hati kalau harus terus-terusan berdebat dengan pacarnya. Lagi-lagi, melihat kelakuan impulsif Chandra membuat Julian harus mengumpat kesal.

“Ca, mau ke mana? Caca, ini udah malem.” Julian panik, segera mengejar langkah sang pacar yang sudah pergi, namun kepalanya masih sedikit penuh dengan kabut ego yang membubung terlampau tinggi. “Chandra, kamu mau ke mana—ah, sialan!”

Selalu begini.

Mereka akan meributkan hal-hal kecil yang nggak penting (atau sedikit penting bagi Julian?) dan saling meninggikan ego masing-masing. Biasanya keduanya akan saling berjauhan sembari mencoba kendalikan diri sendiri selama beberapa waktu. Namun, ini sudah hampir tengah malam.

Situasi darurat. Nggak mungkin Chandra pulang ke rumah orangtuanya di saat seperti ini, bukan?

Julian jadi makin panik.

tw: mention of death, grief feelings


Seoul, September 2022.

“Ah, insomniaku kambuh lagi.”

Changmin hanya mendesahkan napas berat, segera mengangkat tubuh setelah hampir dua jam hanya berguling di atas ranjang. Langkah kakinya perlahan terarah menuju jendela kamar. Biarkan dinginnya angin malam menerobos masuk, mengusik permukaan wajah, serta menggerakkan helaian rambutnya ketika jendela berpelitur itu sudah terbuka lebar.

Dia meraup oksigen banyak-banyak demi mengisi paru-parunya yang sesak. Degup jantungnya belum melambat, masih berdebar cepat dan berisik. Sangat kontras dengan suasana sekitar yang terlampau sepi dan tenang. Tiba-tiba saja dahinya sudah basah dengan peluh, pun kedua kakinya gemetar hebat sementara tangannya terus berusaha menepuk dadanya, berharap hal tersebut mampu mengurangi rasa pengap dan sesak yang sejak tadi mendera.

This was one of those nights where insomnia extended it claws and caught him painfully and without any mercy.

Padahal, rasa kantuk jelas-jelas menyerbunya, tapi tertidur bukanlah jawaban untuk segala rasa gundah dan resah yang menyiksanya malam ini. Mimpi buruk itu selalu menghantuinya, membuatnya takut memejamkan mata barang sesekon.

Ada terlalu banyak hal yang mengganggu pikiran, pun terlalu banyak suara ribut dan teriakan yang menghantam kepalanya. Dan Changmin tidak tahu apakah ada jalan keluar atas semua rasa sakitnya ini? Meneriakkan segala ketakutan, rasa sakit, amarah, serta kebencian pada gelapnya malam pun seolah sia-sia.

Changmin hanya butuh dia.

“Juyeon....”

Tubuhnya gemetar hebat ketika nama tersebut terucap pelan oleh bibirnya. Semua orang tahu, Changmin selalu berusaha menjadi kuat selama ini, there had been nothing that could break him. Tapi sekarang, tepat di hari ke-365 dia berdiri sendiri, semua rasa percaya diri, pun keinginannya untuk terus hidup di bumi hampir lesap tak bersisa.

Changmin hancur.

Dan tidak ada satu pun yang sanggup menyelamatkan hatinya yang remuk tak berbentuk. Satu-satunya nama yang mampu melakukannya sudah pergi, satu nama yang selama ini masih tersimpan dalam-dalam—the only person he had ever loved with all of his soul—telah meninggalkannya.

He was taken away, by the cruel fate, forever.

“Lee Juyeon.”

Isakannya mulai terdengar, memecah heningnya malam. Dadanya kembali sesak mengingat nama tersebut lagi dan lagi. Seolah terbakar dan habis dimakan rasa sakit yang begitu menghantam, Changmin kembali susah menambah pasokan oksigen di paru-parunya. Dia menangis, biarkan lelehan air mata membasahi seluruh wajahnya.

“Juyeon....”

Rasanya masih sangat sakit.

“Juyeon....”

Aku rindu.

“Lee Juyeon, kamu bisa dengar aku?”

Maaf.

Lee Juyeon ada di mana-mana. Semua hal di sekitarnya selalu mengingatkan Changmin pada sosok pemilik senyum kucing itu. Bagaimana bisa dia melupakan semua hal yang mengelilinginya selama ini?

Juyeon yang selalu membuatkannya tteokpokki, makanan kesukaan Changmin. Juyeon yang selalu menemaninya menari. Juyeon yang selalu jadi orang pertama yang mengiriminya ucapan selamat ulang tahun setiap tanggal 5 November. Juyeon, Juyeon, dan Juyeon... hampir separuh lebih dari isi dunia Changmin adalah Lee Juyeon.

Tentu saja nama kekasihnya, Lee Hyunjae, juga ikut andil dalam mewarnai kehidupannya. Namun, Lee Juyeon tetap mengambil alih hampir enampuluh persen dari total 25 tahun memori hidup seorang Ji Changmin.

Dan Changmin cukup paham jika apa yang terjadi di masa lalu tidak akan pernah bisa diubah. Alih-alih memutar waktu dan merangkai kembali semua yang hancur, Changmin mengerti jika dirinya hanya perlu fokus menyongsong masa depan dan tak perlu lagi menyesali diri.

But with Juyeon's death everything had changed.

Changmin tidak bisa menghapus nama Juyeon dari ingatannya, dia tidak akan pernah mengizinkan dirinya sendiri untuk melakukannya. Juyeon masih akan selalu hidup di sana—di dalam hati Changmin. Airmatanya masih mengalir deras, namun dengan sekali gerakan punggung tangannya mengusap kasar, seolah dengan menghentikan laju air asin tersebut, rasa sakit di seluruh pembuluh darahnya turut menghilang.

Dadanya seperti dihantam habis-habisan. Sakit, ngilu, perih, remuk—membuatnya semakin susah sekadar untuk menarik napas. Kedua telapak tangannya dingin terbungkus angin malam, sementara tubuhnya yang masih gemetar beranjak hampiri nakas di samping ranjang.

Lengan Changmin terulur, meraih sebuah benda pipih berwarna lilac tersebut sebelum tubuhnya luruh, terduduk di atas dinginnya lantai. Di sela napasnya yang tersengal, pun jemari yang masih diserang tremor, Changmin menggulir akun Twitter yang kini terpampang di layar.

Dia kembali memikirkan Lee Juyeon. Because, every night, it always comes back to him, Lee Juyeon and Lee Juyeon only.

“Juyeon, kenapa lo nggak pernah jujur sama perasaan lo? Kenapa...?”

It wouldn't be this hard, if you told me about your feeling earlier, no? Sekarang semuanya sudah terlambat, huh? Sorry, Juyeon. I'm sorry.

notes: please bear with me, soalnya takutnya bakal cringe hehehe. fluff, 1k+ words.


Lee Juyeon itu cowok paling aneh, super pede dan kadang-kadang suka agak nekat.

Katakan saja jika Changmin lupa bagaimana detail kejadiannya. Kala itu dia baru sampai di sekolah, lekas sadar jika setiap langkahnya sedang diperhatikan banyak pasang mata. Masih pagi, dan Changmin sudah merasa sangat tidak nyaman. Chanhee kemudian datang, merangkulnya dengan heboh sambil menyodorkan ponsel.

“Lihat, deh. Di web sekolah lagi rame soal ini, polling the cutest couple,” ujar Chanhee ketika Changmin memintanya untuk segera menjelaskan situasinya. “Dan lo... ternyata ada di nominasinya.”

Manik Changmin spontan melebar ketika dia membaca salah satu halaman di web sekolah dengan judul The Cutest Couple Polling. Nama Changmin ada di sana... dan sementara ini berada di urutan tertinggi dengan vote paling banyak—oh, lebih tepatnya Changmin dan seorang lainnya, sih.

“Hah? Gue bahkan nggak ngerti Lee Juyeon yang mana? Ini siapa yang bikin, sih? Aneh banget, deh. Minta di-take down, dong.” Changmin mendecakkan lidah, sebal. “Gimana bisa masuk the cutest couple... kita bahkan nggak dating?”

Oh, jadi ini penyebab kenapa semua orang melihat ke arahnya sejak tadi?

Chanhee hanya tertawa heboh, meraih ponsel dari tangan Changmin dan lekas memasukkan ke dalam saku sebelum jadi korban amukan Changmin. “Lucu, dong? Kalian nggak kencan beneran aja votenya setinggi ini, berarti banyak yang mikir kalian cocok. Coba ajak kenalan si Lee Juyeon ini.”

Yeah, ajak kenalan terus sekalian ajak kencan?!” sungut Changmin sarkas sambil terus melangkah. Masih kesal, namun dia akan membiarkannya untuk saat ini. Masih terlalu pagi untuk memulai keributan. “Haruskah gue minta tolong anak radio buat bacain salam gue buat Lee Juyeon sekalian?”

“Hei, kenapa nggak? Itu ide bagus, Changmin!” pekik Chanhee tiba-tiba. “Biar lo sekalian bisa move on dari Kak Younghoon.”

“Lee Juyeon, nama kita di peringkat pertama di polling The Cutest Couple web sekolah, harusnya kita nge-date beneran nggak, sih?” Changmin mendengus, tentu saja kalimatnya yang tadi juga bentuk celotehan asal. “Gitu, 'kan, yang lo pengenin, Chanhee?”

“Gue nggak keberatan kalau emang lo ngajak nge-date beneran, by the way.”

Chanhee menolehkan kepalanya lebih dulu ketika sebuah suara tiba-tiba menginterupsi percakapannya dengan Changmin. Mulut menganga dan maniknya yang berdilatasi sempurna cukup menandakan kalau si Choi itu sedang terkejut. Lantas, cowok yang lebih muda turut membalikkan badan dan tubuhnya nyaris limbung ketika temukan presensi cowok tinggi dan tampan—yang Changmin nggak tahu namanya—berdiri tepat di depannya dengan senyuman lebar di wajah.

Siapa?

“Gimana kalau besok? Lo nggak ada jadwal kelas tambahan?”

“E-eh. Lee... J-juyeon?” Changmin total kehilangan kata-kata, netranya nggak berkedip menatap sosok di depannya yang belum melepas senyum dari wajah tampannya.

Sialan, dia emang ganteng, sih. Lebih ganteng dari Kak Younghoon.

“Jadi, kapan? Tadi kamu ngajakin nge-date beneran, 'kan?”

“A-ah, nggak gitu. G-gue cuma bercanda...” Changmin panik, pipinya total memerah sementara kedua tangannya bergerak gelisah, kentara sekali jika dia sedang menampilkan gestur gugup. “Haha, anggep aja lo nggak dengar.”

Dahi Juyeon mengerut, airmukanya juga sedikit berubah sebelum kembali berujar, “oke, sekarang anggep aja gue yang lagi ngajak lo nge-date? What do you say?”

“H-hah?”

Changmin mengumpat di dalam hati. Demi Tuhan, keberadaan Chanhee yang sedang tertawa kecil di sebelahnya itu sama sekali nggak membantu. Pertahanan Changmin runtuh seketika, dia belum berikan respons lantaran kepalanya masih memproses pertanyaan yang ditujukan kepadanya barusan. Dadanya bergemuruh dan dia sudah nggak tahu lagi bagaimana kondisi mukanya yang mungkin sudah merupa buah tomat yang sudah masak kali ini.

Juyeon tertawa. Sama sekali nggak menyangka dengan reaksi yang diberikan Changmin soal ajakan spontannya. Lucu sekali, batinnya.

“Besok gue tunggu selesai kelas, oke? Oh iya, gue Lee Juyeon, pasangan lo menurut polling the cutest couple di web sekolah. Salam kenal, Ji Changmin?”


“Sayang, kamu ini ngapain, sih? Aku niatnya mau tidur siang, lho.”

Juyeon sedang berbaring di kasur ruang kesehatan kantornya, ketika dirinya tiba-tiba merasakan sebuah beban cukup berat di atas tubuhnya. Dia hampir terlelap, namun bau parfum milik sang pacar tiba-tiba tertangkap penciuman. Dan ketika membuka mata, dia temukan Ji Changmin sudah menyamankan diri di atas badannya.

“Nggak usah tidur, aku kangen.”

Changmin menyurukkan wajahnya di perpotongan leher yang lebih tua dan menggumam. Sementara Juyeon hanya tersenyum kecil sebelum mengelus rambut cowok kesayangannya itu.

Baby,” bisiknya lembut sambil memainkan rambut legam Changmin. “Inget nggak waktu dulu aku pertama ngajak kamu kencan? Kamu merah banget, nahan malu, tapi lucu. Kalau aku nggak inget itu hari pertama kali kita ketemu, kayaknya aku udah cubitin pipi kamu, deh. Gemes.”

Changmin tersenyum, alih-alih merespons dia malah menempelkan bibirnya di leher Juyeon sebelum sebuah ciuman panjang dia sematkan di sana. Si cowok Lee hanya mendesah, sebelum mengangkat kepala Changmin pelan untuk mencium bibirnya kemudian. Keduanya saling menempelkan bibir, ciuman lembut dan hangat, Juyeon bahkan bisa melihat Changmin tersenyum kecil di antara ciumannya.

Saling bertukar ciuman selama beberapa menit, Changmin akhirnya mengakhiri pagutannya dan berujar, “kita masih di ruang kesehatan, inget. Dan kayaknya aku nggak akan pernah lupa soal hari itu, deh?” Cowok berparas manis itu terkekeh sebelum menempelkan dahinya dengan milik Juyeon.

“Udah tahu masih di ruang kesehatan, tapi kamu malah di atas aku begini.”

Changmin menjulurkan lidah sebelum mengigit hidung pacarnya itu, gemas. “Biarin, nggak akan ada yang lihat juga, semuanya sibuk di kantin kantor—plus, badan kamu hangat dan aku emang niatnya ganggu kamu, sih?”

“Dasar usil. Oh ya, aku juga nggak akan pernah nyesel udah ngajak kamu nge-date di hari pertama kita kenal waktu itu. It's been five years, no? Thanks to that random polling in our school web back then, I finally found the love of my life.”

Cheesy.”

Juyeon tersenyum, mengecup bibir Changmin sekilas sebelum melingkarkan lengannya pada pinggang cowok yang lebih pendek dan merasakan kehangatan tubuhnya. “Tapi serius, aku kayaknya beneran naksir kamu sejak hari itu, deh. Rasanya kayak... Tuhan, gue mau dia. Gue harus dapetin dia. Hahah, secara nggak langsung kita berdua kayak dijodohin sama satu sekolah nggak, sih?”

“Haha, apaan sih? Ngaco.”

“Iya, nggak? Aneh, kita bahkan nggak saling kenal tahu-tahu jadi pasangan yang dapet vote tertinggi buat the cutest couple? Tapi kita emang lucu sih?”

“Yeuh.”

“Eh, nggak. Kamu aja yang lucu, aku ganteng.”

Changmin hanya terkekeh lantas menundukkan kepala dan menyandar di dada Juyeon, kembali menyamankan posisinya sambil mendengarkan detak jantung pacarnya sejak masa sekolah itu. Lucu. Kalau diingat-ingat, dulu Changmin sempat berniat untuk meminta take down polling iseng di web sekolahnya itu.

“Changmin?”

“Hm?”

“Denger nggak?”

“Apaan?”

“Detak jantung aku terus-terusan nyebut nama kamu, lho. Aku sayang kamu.”

“APA SIH, JUYO. CHEESY BANGET KAYAK ANAK SMA!” Detik itu Changmin sudah menghujani pundak dan telinga Juyeon dengan gigitan kecil. Hanya berniat main-main, sih. Nggak mungkin Changmin meninggalkan bite mark di sana... bisa-bisa Juyeon kena masalah kalau kembali bekerja dengan banyak bekas gigitan.

“Hahaha, ampun, Sayang. Tapi serius, kamu sayang aku, nggak?”

“Ya, iya? Kenapa masih ditanya?”

“Mana buktinya, mau dengar kamu ngomong sayang.”

“Iyaaaa, aku sayang kamu juga, Lee Juyeon cowokku yang paling bawel dan nyebelin.”

Jadi, katakan saja Changmin terlampau peka kalau hal itu menyangkut pacarnya. Karena sore itu, tepat ketika tubuh ramping sang pacar sudah berdiri di depan pintu kamar, Changmin lekas beranjak dari kasur dan berjalan menghampiri Chanhee. Cowok yang lebih tua bahkan belum mengatakan apa pun, namun Changmin sudah bergegas dan menyambar kacamata, masker, dompet serta ponselnya.

“Kok tumben banget gercep?” sindir Chanhee sambil terkekeh.

“Malas dengar omelanmu kalau aku lelet. Ayo, cepet, sebelum kemaleman.”

Keduanya melangkah menuju supermarket terdekat, Chanhee bilang mereka harus segera mengisi kulkas yang sudah melompong jika tak ingin kelaparan. Awalnya Changmin menolak, namun akhirnya mengiakan setelah Chanhee mengancam akan mengajak Sunwoo kalau Changmin nggak mau menemaninya.

Dan desahan napas itu kembali terdengar ketika keduanya sampai di tempat tujuan. Suasana supermarket cukup ramai, tapi mereka nggak bisa pulang begitu saja.

“Mau gimana lagi, kita udah jalan sampai sini masa mau pulang nggak bawa apa-apa?”

“Ya udah, ini mending kita bagi dua aja nggak, sih? Kamu beli isi kulkas, aku cari tisu sama perlengkapan mandi di sebelah sana, gimana?” tanya Changmin sementara maniknya masih mengedar, menyorot tiap sudut tempat tersebut sebelum menarik sebuah troli. “Chanhee?”

Chanhee menarik ujung kaus Changmin dari belakang, menghela napas dalam sebelum tampilkan seringai usil ketika sebuah ide tiba-tiba muncul di kepala.

“Gimana kalau aku hilang?”

Changmin mendengus, omongan Chanhee konyol dan nggak masuk akal. Siapa yang mau nyulik dia juga? Namun, siapa sangka jika detik berikutnya Changmin malah meraih jemari Chanhee untuk digenggam sementara satu tangannya lagi mendorong troli.

Cowok yang lebih tua hampir memekik ketika merasakan telapak tangan pacarnya sudah membungkus jemarinya. Dia cukup terkejut dan tentu saja aksi tiba-tiba dari Changmin itu berhasil membuat kedua pipi si Choi memanas dan berwarna merah muda.

“Mau nggak?”

“H-hah? Mau apa?”

Changmin menatap pipi merona Chanhee dari balik kacamata tanpa lensa kesukaannya, tersenyum tipis sambil mengeratkan genggamannya.

“Kalau aku gandeng begini, mau nggak?”

Sialan, Ji Changmin.

Kalau nggak lagi di supermarket, Chanhee mungkin sudah memintanya untuk menciumnya sekalian. Bisa-bisanya membuat Chanhee merasa malu dan salah tingkah begini?

“Y-ya, boleh. Ngapain masih tanya, sih?”

“Hahaha, kalau begini kamu nggak bakal hilang, 'kan? Nggak usah blushing di sini, nanti aku nggak tahan terus cium kamu gimana?”

“Ah, Ji Changmin!!” Chanhee mendesis sambil mempercepat langkahnya lantaran keduanya malah jadi tontonan ibu-ibu sejak tadi. “Bisa nggak sih, diem sebentar aja... dan jangan sinting?”

Changmin hanya tertawa, puas dan gemas melihat Chanhee yang selalu malu jika dirinya menggodanya di depan umum seperti itu. Sebenarnya, Changmin juga nggak terlalu kenceng sih ngomongnya, nggak akan ada yang dengar juga, tapi Chanhee sudah kepalang salah tingkah. Jadi, dia nggak punya alasan lain untuk kabur dari kelakuan usil Changmin tadi.

Padahal Chanhee cuma berniat iseng, namun Changmin akhirnya tak melepas genggaman jemarinya selama mereka berada di sana. Sesekali menyimpan tangan Chanhee ke dalam saku celana atau menyuruhnya hanya sekadar berpegang pada kaus Changmin—benar-benar nggak melepaskan Chanhee satu sekon pun dari genggamannya.

“Changmin.”

“Hm?”

“Ji Changmin!”

“Iya.”

“Ji Changmin, Ji Changmin.”

“Apa sih, Chanhee?” Changmin sedang membalas pesan dari Juyeon saat itu, tapi Chanhee sudah mengganggunya dengan terus-terusan memanggilnya seperti anak ayam.

Manik Chanhee melirik ke arah genggaman tangan mereka yang terlepas sejak beberapa menit yang lalu, dan Changmin lekas paham kenapa sejak tadi bibir pacarnya itu terus-terusan berisik.

“Iya, sebentar. Aku masih balas pesan, nih. Lama-lama aku cium beneran ya, kamu?” ujar Changmin setelah memasukkan ponsel ke dalam saku dan meraih tangan Chanhee lagi. Jemarinya menyelip di antara milik Chanhee sebelum mengeratkannya dan kembali timbulkan rasa hangat setelah tergenggam sempurna.

Senyum lebar dari bibir sang pacar tiba-tiba saja sudah merekah.

“Udah, seneng?”

“Hahaha, siapa suruh dari tadi gandeng tanganku? Sekalinya dilepas rasanya aneh, jadi kamu harus tanggung jawab gandeng aku terus sampai nanti.”

Choi Chanhee 1: Ji Changmin 0.

Safe Place

Kaki Changmin yang melangkah lebar-lebar, berlari demi menemui seseorang yang membuatnya panik setengah mati selama beberapa hari ini. Tepat saat maniknya temukan sosok yang begitu dirindu, dirinya lekas menubrukkan diri pada yang lebih tinggi. Memeluk tubuhnya erat dan coba merasakan hangat tubuh yang sangat ia rindukan.

“Juyeon.”

Tangisnya pecah ketika merasakan lengan Juyeon sudah melingkar di pinggangnya, pun menumpukan dagu di puncak kepala Changmin sambil mengeratkan pelukannya. Tak ada yang bersuara selama beberapa menit. Keduanya fokus mengeratkan pelukan, berbagi kehangatan, dan melepas rindu.

Melepaskan pelukannya, Changmin kemudian menatap cowok di depannya dengan lebih jelas, selagi telapak tangannya masih menangkup pipi si cowok Lee. “Aku senang kamu pulang, aku senang kamu balik, Juyeon. Jangan pergi lagi, jangan hilang lagi,” bisiknya pelan sembari berikan usapan lembut pada tulang pipi cowok yang lebih tua.

Juyeon masih tak bergeming, sepasang lensanya yang sendu terus menatap Changmin tanpa ragu. Dadanya menghangat dengan semua perhatian yang diberikan si cowok Ji. Ya, hanya itu yang Juyeon butuhkan saat ini. Hanya Changmin dan pelukannya yang selalu hangat.

“Juyeon...” Lagi, Changmin bergumam lembut selagi ia mengusap punggung lebar lawan bicaranya. “Aku masih di sini. Kalau kamu belum bisa cerita, aku bisa nunggu.” Changmin mengambil napas dalam sebelum melanjutkan, “Nggak usah maksain diri, yang penting kamu balik ke sini.”

Detik berikutnya, Changmin lantas merengkuh pundak lebar Juyeon untuk kembali menariknya ke dalam pelukan. Melihat bagaimana kondisi Juyeon yang tiba-tiba datang malam ini, Changmin berpikir jika dia memang harus berikan waktu. Juyeon cuma butuh teman dan pelukan, jadi Changmin tidak akan memaksanya lagi.

“Makan, yuk? Aku tahu kamu pasti belum makan malam. Kita ke resto fast food yang nggak jauh dari sini aja, kamu kelihatan kurus banget padahal belum ada seminggu kamu pergi.”

“Changmin, maaf....”

Senyum lebar itu sudah terlukis di wajah tampan Changmin. Jantungnya berdegup cepat ketika mendengar suara Juyeon lagi. Setelah berikan tepukan pelan pada lengannya, Changmin menggenggam telapak tangan Juyeon erat.

No, i'm fine. As long as you're here then I'm totally fine, Juyo.”

writer's note: — cw: slight!nsfw (ciuman doang, sih), jadi kiss, kiss, and kissing, sexual tension, and making out. — 1k+ words.


Ini semua dimulai saat cowok yang hobi usil bernama Kim Sunwoo itu melontarkan kalimat isengnya, hari Rabu kemarin. Ah, tidak, tidak. Kalau dipikir lagi, Ji Changmin sudah memendam rasa aneh ini sejak pertama kali dia mengencani pacarnya yang super tampan—sekitar dua bulan yang lalu?

Hubungannya memang masih hangat, Changmin menyukai Jaehyun pun sebaliknya. Catatan: cowoknya itu selalu memperlakukannya dengan baik. Tapi, Changmin tetap saja seorang Changmin. Kepalanya bisa secara ajaib memikirkan hal-hal kecil menjadi yang lebih kompleks, sampai membuatnya pusing dan mual.

“Jaehyun hyung tuh jago kissing! Dulu waktu dia sama....”

Sunwoo menyeletuk iseng kala itu, Changmin paham. Tapi kenapa kalimat simpel dan usil seperti itu justru berhasil menghantam akal sehatnya akhir-akhir ini, ya? Changmin tahu soal hubungan terakhir Jaehyun dengan mantannya yang sama-sama super terkenal itu, tapi dia tidak pernah dengar jika hubungan mereka pernah berada di tahap yang seperti 'itu'.

Cowok Skorpio itu mengembuskan napas panjang, nggak sadar kalau sejak tadi sepasang netra sang pacar sedang mengamatinya.

“Sayang, kenapa? Sakit? Pusing? Panas?”

Manik Changmin turut memandang cowok yang lebih tinggi di antara keduanya, memerhatikan lekat-lekat betapa sempurnanya Tuhan menciptakan seorang Lee Jaehyun.

Changmin menyukai Jaehyun. Sangat.

Maka, ketika melihat mimik khawatir itu terlukis di wajah tampannya, Changmin lekas-lekas mengulurkan lengan sebelum mengalungkannya di leher sang pacar. Belum merespons kuriositasnya, cowok Ji itu lebih memilih untuk mengeratkan pelukannya lagi. Merasakan bagaimana hangat tubuh Jaehyun turut mendekapnya, hingga mencium bau parfum yang samar-samar masih melekat pada tubuhnya.

“Aku mau cium.”

Jangan tanya lagi bagaimana ekspresi Jaehyun ketika kalimat itu ditangkap gendang telinganya. Spontan memerah, bukan malu, namun sedikit salah tingkah. Changmin kembali menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Jaehyun, dia juga malu. Tapi, tak pelak dirinya memang sedang ingin mencium pacarnya itu sampai puas—eh, pokoknya mau cium Lee Jaehyun.

“Tinggal cium aja, 'kan, biasanya juga gitu?”

No. I would like it to be more intimate with you—I mean, the kiss.”

Kalau nggak lihat raut muka Changmin yang terlampau serius, Jaehyun mungkin sudah akan mencubiti pipi cowoknya itu dan menghujaninya dengan ratusan kecupan. Ah, pacarnya kenapa jadi sangat menggemaskan begini, sih?

“Changmin.” Suara Jaehyun terdengar sangat lembut, siapa pun yang mendengarnya pasti nggak akan percaya kalau seorang Lee Jaehyun punya sisi soft seperti ini yang hanya dia tunjukkan di depan pacarnya. “Aku pacar kamu, inget? Kamu boleh minta cium, kamu boleh minta peluk, kamu boleh minta apa pun, aku sama sekali nggak akan nolak?”

“T-tapi aku nggak ngerti caranya?” cicit Changmin pelan, suaranya masih teredam lantaran dia semakin malu dan memilih untuk menyembunyikan wajah dari pacarnya itu.

“Ya udah, aku ajarin?” Jaehyun terkekeh kecil, tangannya sedikit memaksa untuk melepaskan diri dari pelukan Changmin, mengangkat dagu cowok di depannya agar manik mereka bertemu—dan demi Tuhan, Jaehyun bersumpah jika Changmin terlihat begitu menggemaskan dengan rona merah muda di kedua pipinya. “Mau dicium beneran?”

Jaehyun tetap saja Jaehyun yang usil.

“Aku yang cium kamu, tutup mata sekarang!” perintahnya cepat sambil menempelkan telapak tangannya di depan mata Jaehyun—yang otomatis membuat cowok tampan itu tersenyum tapi tetap menurut.

Tangan Changmin perlahan terangkat, menangkup kedua pipi Jaehyun sebelum biarkan jemarinya mengelus lembut permukaan wajah pacarnya yang terlampau tampan itu. Jemarinya masih menelusuri rahang dan tulang pipi Jaehyun, ketika dia merasakan embusan napas dari sang pacar menerpa wajahnya. Uh, apa dia sedang gugup?

Changmin menggigit bibir bawahnya ketika ibu jarinya menyentuh bibir cowok yang lebih tua, mukanya total memerah. Perutnya kembali merasa aneh, a slow fire starts to build inside him, dan mulutnya tiba-tiba saja terasa sangat kering.

Jarak yang membentang di antara keduanya semakin terkikis ketika Changmin memajukan wajah dan akhirnya menempelkan bibirnya di sana, tepat pada bibir Jaehyun.

Di tengah debaran jantungnya yang semakin menggebu, Changmin menekan ciumannya, coba merasakan kelembutan serta kehangatan bibir Jaehyun yang akhir-akhir ini membuatnya gila tiap kali membayangkannya. Ciuman tersebut semakin dalam dan menuntut ketika tangan Jaehyun sudah berada di pinggang Changmin, berusaha menempelkan tubuh keduanya.

Beberapa sekon berlalu dan kini lengan Changmin sudah mengalung di leher Jaehyun, hampir hilang kendali ketika rasa panas—yang menguar di dada dan melilit perutnya—seolah menitahnya untuk mencium lebih dalam lagi. Lagi, lagi. Changmin mau lagi. Tubuh mereka yang sudah menempel sempurna serta mulut yang masih saling mengunci, tandakan keduanya sudah terperangkap dan saling memuaskan diri, sebelum akhirnya suara lenguhan dan erangan mulai memenuhi udara.

“Mnh- Kak, lihat aku,” ucap Changmin pelan sebelum memutus pagutannya. Bibir basah itu perlahan melengkungkan senyum kecil, dan di antara napas yang masih memburu itu Changmin kembali berujar, “u-uh, gimana... ciumanku?”

Lee Jaehyun terkekeh sebelum menarik tubuh ramping Changmin, membuat cowok yang lebih pendek itu memekik ketika keduanya kembali saling menempel. “Hoo, sebelah mananya yang kamu nggak bisa, huh? Udah ahli tuh, kayaknya.”

Jaehyun menggodanya sambil mengecup cepat ujung bibir Changmin. Telapak tangannya lantas mengelus pinggang pacarnya itu pelan, sengaja biarkan Changmin mendesis dan menggigit bibir bawahnya lagi. Muka Changmin mungkin sudah merupa kepiting rebus ketika dirinya tiba-tiba berinisiatif untuk melompat dan melingkarkan kedua kakinya di pinggul Jaehyun dengan cepat—membuat Jaehyun mau tak mau menahan berat tubuh cowoknya itu dengan kedua tangan.

“Sayang, kalau kamu mendadak minta gendong begini, nanti aku pengen cium lagi, lho.”

Changmin menjulurkan lidah, kemudian mencuri sebuah ciuman di hidung mancung Jaehyun, sengaja ingin menantang pacarnya. “Ayo, cium lagi?”

Seringai tipis itu tercipta dari bibir Jaehyun, sebelum kembali menempelkan bibirnya dan mencium Changmin lagi. Tidak ada ciuman lembut, karena keduanya sudah saling membuka mulut, beradu lidah, dan saling menuntut. Suara desahan dan pekikan Changmin ketika tangan Jaehyun meremas pantatnya, semakin menambah intensitas dan rasa panas di dada masing-masing.

Changmin then realizes he's painfully aroused and shaking from it.

Tubuh Changmin tiba-tiba lemas, rasa panas sudah menggerayangi seluruh tubuhnya sementara mulutnya terus mengerang dan mendesah di antara ciuman panas itu. Well, beruntung lengan Jaehyun masih kuat menggendongnya sejak tadi. Masih saling beradu lidah, memperdalam jejak di mulut, tubuh bagian bawah yang menggesek dan memeluk semakin erat, juga remasan pada bokong Changmin membuat kedua cowok itu benar-benar diselubungi kabut nafsu dan hampir hilang kendali.

“K-kak aah... s-stop! Jangan di sini- aah, Kak Jaehyun.”

Sekuat tenaga Changmin mencoba mendorong tubuh Jaehyun agar menghentikan ciuman panasnya. Rasa aneh di dalam perut membuat Changmin kembali sadar, dia lantas menatap Jaehyun sayu di tengah napasnya yang masih tidak beraturan. Keduanya terlihat sangat berantakan.

Jaehyun kini memandangnya lekat, napas cowok yang lebih tua juga menderu, namun bibirnya sudah mengembangkan senyum lebar sebelum Changmin menggigit pipinya tak terlalu keras.

“Jangan senyum begitu! Aku bisa gila kalau kamu kayak tadi. Turunin cepet!” pintanya sok galak padahal mukanya masih memerah akibat rasa malu yang sudah menggunung. “Kak, turunin, ih! Kita masih di ruang klub, tahu. Kalau ada anak lain masuk gim—KAK JAEHYUN!” Pekikan Changmin kembali memenuhi ruangan ketika tangan Jaehyun kembali usil menggoda pantat Changmin dengan meremasnya tiba-tiba.

Changmin menendang tulang kering pacarnya itu sambil menggembungkan pipi, kesal karena Jaehyun masih menggodanya.

“Hahaha, kamu lucu, sih? Kenapa tiba-tiba pengen cium coba? Omongan Sunwoo yang kemarin jangan didengerin. Aku mau pacaran sama kamu itu ya karena aku sayang, nggak ada hubungannya sama jago kissing.”

Jaehyun kembali menarik tubuh Changmin ke dalam pelukannya, mengusap rambut cowok yang lebih pendek sambil sesekali mengecupinya lembut. “Tapi kalau kamu mau kayak yang tadi... ya, tinggal bilang. Aku lho, pacarmu. Masa masih malu-malu?”

“Ih, diem. Udah jangan ngomong lagi, mending kita makan aja. Aku udah laper.”

“Ooooh, sok-sokan malu, padahal barusan udah hampir tegang tuh?”

“LEE JAEHYUN DIEM!!!”

Full Moon.

Bunyi ketukan pintu dan bel di studionya lekas tertangkap pendengaran Juyeon yang memang berada di puncaknya sensitif. Cowok jangkung yang semula bergelung, memeluk tubuhnya yang masih gemetar itu, lekas melompat dari kursi. Sedikit heran kenapa Jaehyun yang biasanya asal masuk sekarang malah membunyikan bel dan mengetuk pintu, namun dia tak memusingkannya lagi.

Pikirannya tak jernih, yang ada di kepala hanya minum, minum, makan. Dia haus dan lapar. Mati-matian dia sedang berjuang menahan hasratnya untuk membunuh orang lain dan tidak melakukan kebodohan.

Tepat ketika pintu terbuka, manik birunya melebar spontan. Pun begitu dengan sosok yang sudah berdiri di depan pintu, dia bahkan menjatuhkan bungkusan makanan yang sejak tadi dia genggam. Juyeon mengumpat lirih, sebelum berusaha menutup kembali pintu studionya. Namun, pergerakan si tamu rupanya lebih cepat, karena kini dia sudah menahan pintu tersebut dengan sepatunya.

“Juyeon?”

“Pergi,” ucapnya pelan namun tegas sambil berusaha menyembunyikan rupanya yang sudah berubah total di malam bulan purnama ini. Telapak tangannya mengepal, kesal lantaran lawan bicaranya tak kunjung berlari atau berteriak, kabur, atau apa pun. Alih-alih, dia justru mengikis langkahnya dan semakin mendekat.

“Hey, Juyeon, dengar!” Lengan cowok itu masih gemetar, namun berusaha meraih telapak tangan besar Juyeon yang masih mengepal. Maniknya kentara sekali pancarkan rasa ketakutan, namun tetap mengamati entitas di depannya dengan lekat. Rambut Juyeon berubah menjadi berwarna biru, pun begitu dengan kedua maniknya. Oh, jangan lupakan sepasang taring tajam yang memanjang dan terlihat jelas.

Lee Juyeon benar-benar vampir.

“J-juyeon, lo… lo bisa ambil darah gue kalau mau.”

Lensa kebiruan itu menyorotnya lekas-lekas, sedikit tidak percaya namun melihat cowok di depannya tersenyum kecil dan menganggukkan kepala, Juyeon akhirnya meraih telapak tangan yang lebih kecil dan menariknya menuju sofa terdekat di dalam studio tatonya.

“Lo yakin?” tanya Juyeon sekali lagi, ingin memastikan jika cowok itu serius dengan tawarannya. “Ini bakalan sakit,”

Changmin, yang benar-benar memutuskan untuk menghampiri Juyeon dan mengabaikan Chanhee, hanya mengangguk lemah. Tubuhnya memang masih menegang, dia tak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya namun, dia tetap tidak bisa membiarkan Juyeon yang tampak tersiksa begini.

“Cepat sebelum gue ralat omongan gue!”

Lee Juyeon kembali mengusap lengan Changmin, membawa dengan pelan ke depan mulutnya, bersiap menyobek kulit putih tersebut dengan sepasang taringnya. Manik Changmin spontan terpejam merasakan taring tajam itu akhirnya menembus kulitnya, cukup dalam hingga dia bisa merasakan aliran darahnya yang diisap kuat oleh Juyeon.

Changmin mendesis, rasanya sangat sakit, lebih sakit daripada waktu dia ditato beberapa hari yang lalu. Sementara Juyeon menepuk-nepuk punggungnya sambil mencoba memeluk cowok yang lebih kecil, berusaha untuk menenangkannya.

“Changmin?” Juyeon menatap cowok di dekapannya yang kini tiba-tiba melemas dan pucat. Tangannya kembali mengusap lengan Changmin hingga bekas gigitannya menghilang dan sembuh, namun Changmin masih terlihat sangat lemah.

“Terima kasih,” bisik Juyeon pelan. Bibirnya lantas mengecup dahi cowok yang sudah tak sadarkan diri itu lantas memeluknya erat. “Terima kasih, Changmin.”

notes: consists of three drables—for the world full of fluffy milkyu


“Kapan ya manusia bisa beneran pindah ke Mars?” ujar Changmin tiba-tiba. “Bosen di Bumi. Capek. Semua manusia ngeselin, mau temenan sama alien aja.”

Jaehyun menelengkan kepala, menatap ke arah pacarnya yang sudah membenamkan wajah di antara kedua lengan, dengan sebelah alis terangkat. Tidak biasanya Changmin mengeluh dengan kata-kata konyol seperti tadi.

Alih-alih menggoda—seperti yang selalu dia lakukan setiap hari—Jaehyun hanya mengulurkan lengan panjangnya. Berikan usapan pelan pada rambut legam kekasihnya sebelum berujar, “ya boleh aja? Tapi harus ngajakin aku, ya?”

“Huh? Aku mau sendiri?”

“Ajak aku, biar kalau kamu kesel sama alien, aku tetep di sana buat kasih kamu pelukan.”


“Hujannya masih gede, Kak.”

“Hmm...”

Cowok berparas manis itu merapatkan selimut, ekor matanya lantas melirik sosok sang pacar yang masih tak bergeming, sibuk menatap ponselnya lagi.

“Dih! Padahal aku udah seneng kalau hujan kamu nggak jadi pergi. Terus ngabisin waktu berdua sama aku, bukannya malah lihatin kamu sibuk dengan ponselmu sendiri.” Changmin bersungut-sungut, kesal lantaran Jaehyun terus mengabaikannya sejak tadi.

Dia beranjak pergi, melempar selimut ke arah Jaehyun dengan bibir mengerucut. Namun, belum genap tiga langkah menjauh, sepasang lengan sudah melingkar di pinggangnya tiba-tiba.

“Marah-marah terus, nih, pacarku. Maaf deh? Tadi masih ribet soal kerjaan. Maaf, ya? Sini cium dulu!”


Hari itu Jaehyun pulang dengan kepala berkabut, pun dada penuh kemelut. Namun, ketika maniknya temukan tubuh kecil pacarnya yang tertidur dan terbungkus selimut, senyum di wajahnya pun turut mengembang takjub.

Lekas, di menghampiri sang kekasih. Ditatapnya lekat wajah damai cowok manis yang tengah lelap itu, sebelum mengikis jarak dan berikan kecupan lembut di dahi.

Sialnya, Changmin malah jadi terbangun.

“Kak? Udah pulang?”

“Mhm. Maaf, ganggu tidurnya.”

Cowok yang lebih kecil mengulas senyum, dia lantas duduk dan menyuruh Jaehyun mengambil tempat di sebelahnya.

“Pasti harinya jelek, muka kamu jadi jelek banget gitu. Mau peluk, nggak?”

“Hmm, boleh. Peluk dan bonus cium, ya?”