Intoxicating

Malam telah menggilas apartemen yang kini kutinggali, langit sepekat tinta spidol yang biasa kugunakan untuk menulis ragam teori ekonomi atau mengajari murid-muridku cara membuat neraca pembayaran, raja malam yang tangguh bertengger kelabu. Pukul sebelas dan aku baru saja selesai mengecek tugas murid, mataku sedikit sakit karena terlalu lama menatap layar laptop. Aku meregangkan tangan agar bahuku rileks, lalu menyesap sisa kopi susu yang berenang di dasar gelas. Kulihat keadaan luar dari jendela di samping meja kerjaku, tak ramai dan hanya satu dua mobil berseliweran.

Aku bangkit dari duduk dan berjalan ke kamar mandi dengan senandung ringan di mulutku, tak tahu lagu apa yang berusaha kunyanyikan malam ini. Aku menyikat gigi dan buang air kecil, kebiasaan semua orang sebelum tidur. Kutatap pantulan diriku di cermin besar itu, mata elang yang menukik, netra sekelam malam yang tak menahu bintang atau bulan, rahang yang menyombongkan diri tanpa tahu malu, dan bibirku yang menjadi kunci kehidupan bercinta. Aku mengacak rambutku yang senada manik mata itu dengan kasar.

Hidupku selama tiga puluh tahun ini tak begitu berarti, tetapi aku menikmati semuanya tanpa banyak protes. Umur matang dengan pekerjaan yang mapan rasanya cukup untuk menyumpal mulutku dengan makanan, membeli beberapa barang mahal atau membayar jalang di klab ketika waktu bercintaku menggebu. Orang tuaku sudah berulang kali menyuruhku untuk menikahi seseorang karena tak sabar menggendong cucu pertama dari anak tunggalnya. Tetapi aku merasa belum cukup apalagi siap untuk satu komitmen sehidup semati yang mengikat sampai ajal menjemput. Aku terlalu banyak bermain, seperti itulah kalimat ibuku.

Ayah bahkan sempat merencanakan kencan buta dengan perempuan cantik yang merupakan anak rekan kerjanya, tetapi aku mengetahui rencana bodoh itu dan marah. Aku menolak untuk pulang sampai ibu mengunjungiku di New York sendiri dan meminta maaf sampai menangis. Saat itu, aku merasa seperti putra paling durhaka seantero bumi. Ibu bilang, ia percaya suatu hari nanti aku akan menemukan seseorang yang tepat untuk hatiku yang tak jauh dari definisi es ini. Baiklah, aku akan percaya pada wanita yang telah menaruhkan nyawanya untuk melahirkanku ke bumi.

Selama empat tahun tinggal dan bekerja di New York, aku sudah mengencani dua Omega menawan. Hubungan pertamaku bertahan satu tahun dan kami memutuskan untuk berpisah karena ia mencari seseorang yang serius untuk umur tiga puluh miliknya. Hubungan keduaku juga bertahan satu tahun dan harus mengucapkan selamat tinggal karena ia hamil dengan Alpha lain. Setelah hubungan itu, aku menjadi bosan karena ujungnya selalu sama dan menyayat perasaanku. Aku mencoba untuk mengencani beberapa wanita, tetapi mereka menolakku karena merasa tak pantas untuk aku yang begitu mapan. Akhirnya aku membayari beberapa jalang di klab langgananku jika tubuh ini minta dipuaskan, aku seperti pria kurang ajar di novel-novel.

Aku membaringkan diri di atas kasur yang memanjakan tulang belakangku yang penat, kucoba menutup mata, tetapi tak langsung tertidur. Mungkin karena kafein yang kukonsumsi saat bekerja tadi masih tersisa dalam darahku. Padahal aku memilih kopi susu yang tak begitu kental agar dapat tertidur tepat waktu, tetapi sesuatu dalam tubuhku benar-benar membuatku muak. Aku mengacak surai rambutku dan mengumpat karena mengubah posisi yang biasanya membuatku terpejam tak lagi manjur. “Sialan, aku ada kelas untuk diajar besok!” Aku berteriak sendiri karena tak kunjung tertidur.

Setelah empat puluh menit tak dapat tertidur, aku akhirnya menarik laciku dan mengambil botol obat tidur. Tak baik memang, tetapi tak ada lagi yang dapat kulakukan untuk menutup kelopak mata sialan ini. Aku tak ingin tertidur di kelas, sial, itu akan merusak karismaku di depan murid-murid. Kutelan satu kapsul obat itu dengan dorongan air mineral. Setelah itu aku berbaring dan menghela napas pelan, kutatap langit-langit kamarku yang senada krem dan membiarkan obat ini mengambil alih tubuhku. Perlahan pandanganku mengabur dan aku tak lagi mendengar denting jarum jam di kamar.


Tak tahu pukul berapa mataku terbuka lebar karena merasa seseorang menindih perutku, langit masih gelap dan aku yakin itu. Aku memicingkan mata dan menangkap jarum pendek jam yang mengarah ke angka tiga. Pukul tiga pagi dan aku terbangun tanpa bisa menggerakan tubuh. Napasku memberat dan tubuhku mulai memanas seperti dilanda rut lebih awal dari jadwal biasanya. Aku meringis dan mencoba untuk bergerak mengepalkan tangan. Aku ingin merapalkan doa, tetapi sebuah bibir kenyal tiba-tiba menghantam milikku dengan ganasnya. Perlahan aku bisa melihat gambaran seseorang yang duduk di atas perutku, seorang lelaki dengan surai cokelat, telanjang bulat, dan mengeluarkan aroma manis memabukkan.

Ia berusaha mendominasi ciuman itu dengan menarik tengkukku. Bajingan, aku tak suka didominasi oleh siapapun karena hal itu merusak statusku sebagai Alpha. Aku mulai memberontak dan tidak mencium balik, lagi pula siapa dirinya? Mungkinkah dia penyusup gila yang masuk ke apartemenku untuk bersetubuh? Atau dia seorang pembunuh yang berusaha mengelabuiku dengan ciuman ini? Apakah ia membawa pisau untuk menancapkannya di dadaku? Tidak, dia tidak memiliki apapun. “Sialan, lepaskan aku!” Aku berteriak marah dan lelaki itu tiba-tiba menampakkan manik matanya yang senada emas, matanya penuh dengan nafsu tak tertampung.

“Lepas! Apakah kamu tuli?” Aku berteriak lagi karena ia kembali menciumi bahuku, aroma yang menguar dari tubuhnya kian kuat dan membuatku pening. Aroma itu juga mengundang Alpha yang bersemayam dalam diriku dan mengganti manik mataku dengan warna hijau. Aku melenguh ketika lidahnya yangg basah menjilat putingku, sialan, bajingan, seharusnya aku yang melakukan itu padanya. Harga diriku sudah hancur, tetapi egoku tak pernah mengalah pada apapun dan siapapun. Akhirnya aku bisa menyiku dada lelaki sialan ini dengan sekuat tenaga, ia terlempar ke belakang dan terbatuk.

“Tak mungkin.” Aku mendengarnya mendesis dan aku menarik sudut bibirku. Manik mataku telah menyulap diri menjadi hijau yang mematikan, feromonku mendominasi ruangan ini. Ia terbatuk karena feromonku yang tanpa aba-aba mengudara, mencekik siapapun yang tak terbiasa.

“Tidak! Ini tidak mungkin!” Aku menampar pipinya setelah mengatakan itu, ia tersungkur ke samping karena aku menggunakan kekuatan Alpha. Aku tertawa kecil dan mengambil ikat pinggang yang kuletakkan di nakas dengan cepat. Aku menarik kedua tangannya tanpa masalah dan mengikat kedua tangan itu dengan ikat pinggangku. Ah, sudah lama sekali ikat pinggang ini tidak kugunakan untuk membuat seseorang tak berdaya dan memohon ampun.

“Sekarang, katakan padaku. Siapa kamu dan apa maksudmu mengganggu tidurku? Aku punya kelas pagi, bajingan!” Aku menyentak dan ia menatapku. Ia sempat tertawa kecil, tetapi hal itu justru membuatku ingin menamparinya sampai mampus.

“Aku ingin mengganggu tidurmu dan memanfaatkan kelemahanmu untuk bersetubuh denganku.” Ia berujar dan hal itu membuatku benar-benar menamparnya sekali lagi. Aku menggertakan gigiku karena jawabannya membuat emosiku pecah dari ujung kepalaku, amarah menyelimuti sekujur tubuhku dan aku tak berusaha untuk menahannya sama sekali.

“Aku incubus dan kamu hanya seorang Alpha lajang.” Ia berujar lagi dan kesabaranku habis sudah. Aku menindihnya, memperhatikan bagaimana cara Tuhan melukis makhluk kotor yang cuma tahu bersetubuh dan merugikan orang lain ini. Menyetubuhi orang yang sedang tertidur, sialan, hal itu membuatku mual karena jijik. Aku menatap manik mata yang senada emas itu, seolah libidonya tergambar secara terang-terangan di obsisdian yang tak pernah peduli tentang dosa itu. Aku mendecih karena aroma tubuhnya kian kuat, feromonku kini beradu dengan aroma tubuhnya yang membuatku sedikit mabuk dan hilang kendali.

“Kau menjijikan. Kau pikir aku bisa didominasi? Sial, memikirkan itu saja membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Kau saja gagal membuatku membeku, lihatlah dirimu sekarang, terikat dengan ikat pinggang seperti jalang.” Aku berujar tajam dan ia mendecih tak suka. Ia salah sekali memilih mangsanya malam ini, seorang incubus yang gagal mendominasi manusia di tahap awal, tawaku pecah karena mengingat hal itu. Ia ingin menendangku, tetapi aku lebih cepat meremat lehernya dengan kuat sampai kesulitan bernapas. Aku tertawa penuh kemenangan melihatnya mengais-ngais oksigen dengan cengkraman tanganku yang membirukan bibir.

“Ayolah bernapas, kau akan mati.” Aku mengejek mukanya yang mulai memerah karena tak mendapat pasokan oksigen yang cukup. Ia merintih-rintih tak jelas karena sulit bernapas, aku menarik bibirku, sebentar lagi ia bisa pingsan karena pasokan oksigennya kuputus. Aku memutuskan untuk menarik kausku ke atas dengan satu tangan, sementara satu tangan lain tetap mencekiknya. Kaus itu kugunakan untuk menyumpal mulutnya yang terbuka susah payah untuk meraup oksigen. Aku melepaskan cekikan mematikan itu ketika sudah menyumpal mulutnya dengan kaus.

“Kebetulan penisku sudah lama tak dijamah sesuatu yang hangat. Berbaik hatilah untukku malam ini.” Aku berujar di samping telinganya dengan suara serak. Aku tak bohong, sudah sebulan aku tak bercinta karena waktuku habis untuk tugas-tugas sebagai guru ekonomi. Tak masalah juga bila aku bercinta dengan makhluk kotor ini, mungkin sensasinya akan berbeda dari manusia biasa. Ia menggeleng-gelengkan kepala enggan, meracau tak jelas lagi karena sumpalan di mulutnya. Aku tertawa melihatnya berusaha menolak, kapan lagi aku melihat incubus tunduk pada manusia?

“Kau pasti tak akan merasakan sakit seperti manusia jadi aku tak perlu mempersiapkan lubang ini.” Aku berujar sembari melebarkan kedua kakinya dan menaruhnya di atas bahuku. Aku menatap anal itu dan terdiam sebentar, tidak berkedut karena mungkin ia belum terangsang atau mungkin tak pernah menikmatinya dari belakang seperti Omega lelaki. Hal itu justru membuat Alpha dalam diriku mengaum keras, seseroang yang belum terjamah terdengar lebih menggiurkan ketimbang jalang yang dilempar kesana kemari.

Aku bangkit dan berjalan ke arah lemari untuk mengambil sesuatu di bagian paling bawah, sebuah vibrator untuk merangsang analnya yang belum pernah menikmati rasa bersetubuh dari belakang. Ia menatapku bingung ketika melihat alat getar di tanganku, aku tersenyum miring dan membuka lebar kakinya lagi. Tanpa aba-aba aku memasukkan vibrator itu ke dalam analnya, ia berteriak, tetapi diredam oleh sumpalan kaus di mulutnya. Aku bertambah puas ketika melihatnya menahan rasa sakit yang menggerogoti dindingnya, sensasi asing pasti sedang menjarah tubuhnya sekarang.

“Aku tak mau menggunakan jariku untuk menyiapkan makluk kotor sepertimu.” Aku berujar di sela racauan tak hentinya. Beberapa menit berselang, air muka perih itu tergantikan denga bola mata yang mengarah ke atas karena menahan nikmat. Barulah ia tahu kenikmatan yang menjalari tubuhnya, aku tertawa kecil dan melepas sumpalan kaus itu udah mendengar desahannya. Tak terlalu buruk, setidaknya desahan itu bisa merangsang kelaminku.

“Ah, ah! Lepas! Le-pas!” Ia berujar dengan suara terputus-putus, ia menendang-nendang, tetapi semuanya percuma karena aku menumpulkan telinga. Ia mendongakkan kepala ke belakang karena tak kuat menahan serangan dari tubuh bagian bawahnya. Aku tersenyum melihat manik senada emas itu berkaca, seolah meminta sebuah pengampunan di bawah kakiku. Sungguh makhluk yang malang.

“Oh, ayolah, demon yang memanfaatkan tidur seseorang untuk bersetubuh tentu bisa menahan vibrator kecil itu.” Aku berujar dengan nada meledek, aku mengusap dahinya yang kini dihiasi peluh. Sungguh, aku lupa kalau lelaki yang berada di kasurku sekarang bukanlah Omega yang biasanya meredam nafsu. Tetapi dirinya yang bengal dan sok mendominasi ini adalah hal baru yang mengajakku bermain.

“Ngh, ah!” Ia mendesah lagi ketika aku mendorong alat getar itu lebih dalam dan menyetelnya dengan kekuatan penuh. Tubuhnya menggelinjang setelah aku merubah kekuatan vibrator itu. Napasnya tercekat dan aku melihat perutnya bergetar hebat. Ia orgasme dengan alat getar, sungguh menjijikan.

Such a bitch.” Aku mendesis sembari menarik paksa alat getar itu dari analnya. Ia masih terpejam dan mengejar napasnya. Dadanya naik turun, aku mendecih melihat incubus itu meraih pelepasannya dengan alat getar. Sungguh murahan tubuhnya sampai orgasme begitu mudah.

Lick it.” Aku berujar sembari menyodorkan tanganku yang dikotori sperma dari atas perutnya. Ia menatapku heran dan aku kehilangan kesabaran. Aku membuka mulutnya paksa dan memasukkan cairannya tadi ke dalam mulut itu. Ia ingin muntah, tetapi ancamanku membuatnya tersentak dan buru-buru menelan spermanya habis.

“Jangan mengotori kasurku dengan cairan menjijikanmu itu.” Aku berujar tajam saat ia bersusah payah menelan spermanya sendiri. Kini fokusku terkunci pada lubang yang memerah total dan berkedut karena terangsang. Menggiurkan betul, ingin rasanya aku menyentakkan penis ini dalam-dalam sampai ia mampus.

“Kau tak bisa hamil, bukan? I'm in the mood for breeding a pussy.” Aku berujar dalam sembari memberikan hand job singkat pada penisku. Ia tidak menjawab dan aku tertawa kecil melihat mukanya yang lusuh setelah kupaksa menelan sperma. Ia menggoda juga ternyata.

“Kau tahu? Kalau kamu adalah Omega, aku sudi mengencanimu dan mengacak-acak tubuh ini setiap malam.” Aku berujar sembari menggesekkan ujung kelaminku dengan analnya. Ia berusaha memberontak dan menendangku, tetapi cengkraman kuat di paha kirinya membuat ia tak berkutik. Aku mencengkramnya dengan kuku dan ia berteriak kesakitan.

“Tangan dijerat ikat pinggang, leher memerah bekas cengkraman, anal berkedut, bau sperma, kamu sungguh menyedihkan malam ini. Bagaimana rasanya didominasi seorang Alpha?” Aku bertanya sembari memasukkan penisku ke dalam analnya. Ia tersentak, punggungnya membusur karena sensasi membakar yang datang dari analnya. Air mata mulai mengalir dari manik emas itu tanpa banyak pinta.

“Sakit! Sakit! Ah!” Ia berteriak dengan suara yang pecah di akhir karena menangis. Aku menulikan pendengaran dan terus melesak masuk meskipun tangis, serta teriakannya pedih. Ia tak bisa banyak bergerak karena penisku sudah tertelan setengah. Sial, analnya sungguh nikmat. Ketat, hangat, dan berkedut menyambut penisku. Aku mendesah dan melontarkan sumpah serapah, walaupun ini baru setengah.

“Kumohon.” Aku mendengarnya memohon dengan suara pelan. Aku menatapnya dan ia sudah dibanjiri air mata. Aku mendecih, peduli setan tentang ia yang kesakitan, aku tak tahan dan segera menyentak seluruh penisku masuk. Ia berteriak kesakitan, napasnya tercekat dan aku melenguh nikmat. Sial, bercinta dengan Omega tak pernah senikmat ini. Aku ditelan nafsu saat menggerakkan pinggul dengan tajam dan dalam.

Fucking hell. Seharusnya kamu mendatangi ranjangku sejak dulu.” Aku berucap parau di samping telinganya, kugigit pula daun telinga itu sampai ia meringis. Gerakan pinggulku tak berhenti dan kian cepat, membuat perut incubus itu tersentak-sentak. Tanganku mengusapi perutnya dan tertawa kecil karena bisa merasakan penisku yang melesak masuk, dekat sekali dengan kulitnya. Tubuhnya agak kurus dan tidak banyak berlemak.

“Bagaimana rasanya menelan penis Alpha, jalang?” Aku berbisik dan ia melenguh karena aku sengaja menyentak penisku dalam-dalam setelah menarik keseluruhannya.

“Cukup.” Ia berujar lemah karena tak kuat mengimbangi tempo bermainku yang ganas. Aku menutup mulutnya dan dengan sengaja menggempur habis anal yang kurang ajar itu. Mungkin analnya akan lecet dan berdarah setelah ini, tetapi aku tak peduli. Ia bukan manusia yang bisa merasakan sakit setelah bersetubuh. Malam ini aku ingin berdosa seperti neraka hanya bualan semata.

Ia menangis lagi karena aku mengganti posisi secepat kilat. Kini ia menungging dengan bokongnya yang menyombongkan diri. Aku menekan mukanya ke bantal dengan paksa, ia akan kesulitan bernapas sebentar lagi. Kedua tangannya yang masih dijerat ikat pinggang berada di belakang kepalanya. Lebam merah mulai tercipta karena jeratan ikat pinggang yang terlalu kuat.

Shit.” Aku mendesis ketika merasakan penisku berkedut, dekat sekali dengan orgasme pertama. Gerakanku semakin acak dan membabi-buta, hentakkan penisku membuatnya berteriak-teriak meminta berhenti. Aku semakin menekan kepalanya, sesekali menjambak surai rambut itu. Aku tak punya tanda titik dalam menggerakkan pinggul ini, terus mengejar orgasme yang sudah bergerumul di perut.

“Ah, fuck! Damn God.” Aku berujar saat berhenti di titik terdalam analnya. Menyemburkan sperma kental yang hangat ke dalam anal ketat itu. Aku mendesis karena dindingnya seolah melarang untuk menarik penisku. Ia mendesah karena merasakan cairanku memenuhi perutnya tanpa celah. Aku menekan perutnya dan ia menggelinjang. Ia membusur dan orgasme lagi karena disulut spermaku di dalam perutnya. Aku tertawa remeh dan menarik penisku keluar.

“Lihatlah dirimu sekarang. Orgasme karena sperma Alpha, menjijikan.” Aku berujar setelah membalik tubuhnya. Ia kacau sekali, rambutnya acak, saliva turun ke dagu sampai leher, manik mata emas itu masih berkaca, perutnya penuh bercak sperma, dan aroma tubuhnya kian kuat.

“Aku memberikan ini padamu. Jangan coba-coba untuk membuangnya.” Aku berujar serak ketika melihat sedikit sperma yang berusaha keluar dari analnya yang masih berkedut. Merah betul analnya, sepertinya ia bengkak karena mainku malam ini terlalu kasar dan tak manusiawi. Aku mendorong kembali sperma yang tercecer di bokongnya ke dalam anal bengkak itu. Ia melenguh pelan dengan pasrah.

“Lagi, aku mau lagi.” Ia berujar sensual sembari membuka lebar kedua kakinya. Aku sempat terkejut, tetapi langsung tertawa karena berhasil membuatnya ketagihan bersetubuh.

“Kau suka menerimanya dari belakang, huh? Bagaimana rasanya perut penuh sperma?” Aku berujar sembari menggesekkan ujung penisku pada anal bengkaknya. Ia tersenyum senang dan tangannya berusaha memasukkan lebih banyak penisku. Aku bisa merasakan spermaku yang mengerubungi dindingnya.

Never thought that a hole filled with my cum would feel this good.” Aku mendesis karena kenikmatan yang terduga dari anal penuh spermaku sendiri. Ia mendesah nikmat dan aku langsung bergerak tanpa memberikan ruang bernapas. Ia melontarkan teriakan yang memenuhi kamarku tanpa sisa. Feromonku kian kental, beradu dengan aroma tubuhnya yang memabukkan. Kabut nafsu telah menyelimuti manik mata hijauku.

So good.” Ia melenguh nikmat saat aku sedang fokus menggempur analnya. Aku menarik sudut bibirku, sangat terangsang dengan ucapannya tadi. Aku seperti orang gila yang bersetubuh dengan sembarang jalang tanpa pengaman, persetan, ia bukan manusia. Ia menabur dosa di mulutku dengan ciuman panas, cara bibir kenyal itu melumat bibirku lapar, lidahnya bermain asal sampai aku merenggut rambutnya.

Stupid bitch. Greedy.” Aku berujar tajam setelah melepas ciuman paksa. Ia tertawa dengan salivanya yang tercecer ke dagu. Aku menyentak penisku dalam dan desahan melengkingnya kutahan karena ketiga jariku berada dalam mulutnya. Ia menjilati jariku, berusaha mengulumnya seperti anak kucing yang lapar. Satu persatu hentakkan yang dalam itu menghadiahkan orgasmenya.

“Tidak bisa menahan spermamu, huh?” Aku bertanya sembari melihat mata lesunya. Ia mengangguk lemah, tetapi tubuhnya malah bermain dengan hentakkan penisku.

Aku mengeluarkan penisku dari analnya ketika merasa orgasme sudah di ujung. “Say aahh.” Pintaku dan ia menurut, membuka mulutnya lebar sembari menjulurukan lidahnya. Aku memasukkan ujung penisku ke dalam mulutnya setelah memberikan hand job singkat. Mulutnya membingkai penisku dan aku mendapatkan pelepasan di dalam mulutnya. Ia terkejut setengah mati ketika spermaku menyembur ke mulutnya. Aku mendesah nikmat karena mulutnya sama hangat dengan analnya.

“Telan.” Pintaku mutlak dan ia kesulitan untuk menelan spermaku, ia hampir memuntahkannya. “Telan. Jangan pernah membantahku, jalang.” Ia panik dan menelan semuanya dengan mata terpejam. Sesudah itu aku mengacak surai rambutnya.

Good boy.

Aku bangkit dari ranjang untuk mengambil handuk yang dibasahi air hangat dan sebotol air mineral. Entah kenapa ia menguraikan air mata saat aku kembali, menangis tersedu-sedu sampai aku yang baru masuk ke kamar langsung menghampirinya panik. Ia menangis sembari menutupi kedua matanya dengan tangan terikat. Aku buru-buru melepaskan jeratan ikat pinggang di lengannya. Alpha milikku tak lagi mengambil alih, kini hatiku ketakutan setengah mampus melihat seseorang menangis hebat karenaku.

“Maaf, sungguh, aku kehilangan kendaliku ketika Alpha dalam diri mengambil alih. Maaf.” Aku berujar pelan sembari mengusap air mata yang berderetan di pipinya. Ia masih menangis dan aku memilih untuk membersihkan tubuhnya dengan handuk ditemani suara tangis yang tak kunjung reda.

“Kumohon tandai aku.”

Ucapannya itu membuatku tersentak mundur dan berhenti membersihkan tubuhnya. Aku belum pernah menandai seseorang menjadi hak milik, sementara lelaki di ranjangku ini meminta untuk ditandai saat pertama kali berjumpa. Aku menelan ludah susah payah dan ia mengulangi kalimatnya. Aku bingung sekali, ia bukan Omega yang bisa kutandai, incubus bukan manusia, semuanya berkecamuk di benakku.

“Namaku Haechan, umurku delapan belas, aku terlahir sebagai Omega. Tetapi aku dijadikan tebusan atas dosa orang tuaku oleh iblis, aku disihir menjadi incubus saat berumur lima belas. Selama ini aku mencari cara untuk kembali ke kodratku, konon, incubus bisa kembali ke kondisi asal jika menemukan seseorang yang dapat mendominasi kekuatannya. Kamu manusia pertama yang dapat membuatku tertunduk mutlak.”

“Jadi kumohon, tuan. Tandai aku, aku ingin hidup normal lagi. Aku akan berikan apapun yang kamu inginkan sebagai gantinya. Aku mohon.” Ia memohon sembari mengepalkan kedua tangannya, air matanya tetap terurai sendu. Aku menggaruk tengkuk, menatapnya sedih. Ia begitu tak berdaya dan hatiku mencelos karenanya. Bagaimanapun juga menandai seseorang berarti bertanggung jawab sehidup semati, biasanya dilakukan mereka yang telah menikah di depan agama.

“Aku mohon.”

“Aku bisa memenuhi semua permintaanmu, tuan.”

“Tolong aku, tu-”

Aku tak tahan melihatnya merengek untuk hidup normal, kutindih badan itu secara tiba-tiba. Napasku menyapu bahunya tanpa kecuali, ia bergidik di bawah badanku. “Ini akan sangat sakit, cakar punggungku jika tidak kuat.” Ia mengangguk dan aku kembali memasukkan penisku ke dalam analnya. Ia berteriak karena aku masuk dengan sekali hentak, aku menghela napas kasar dan kelaminku mulai membentuk knot dengan cepat karena terangsang spermaku yang membekas di dalam analnya.

“S-sakit.” Ia merintih ketika knot milikku mulai membengkak dan aku mengalihkannya dengan ciuman panas. Aku mendesah karena ikatan akan mencapai titik sempurna sebentar lagi.

Mine.” Aku berujar parau, mataku kembali senada hijau, emerald yang menghunus nyawa. Aku menjilat bahunya, lalu menggigit kulitnya dengan gigi taringku. Ia berteriak, tetapi berhenti begitu saja ketika knot milikku memenuhi perutnya. Ia bungkam dan aku menarik diri dari bahu kanan, berpindah ke bahu kiri. Aku menggigit bahu kirinya juga dan knot milikku perlahan mereda seiring keluarnya cairan Alpha dari penisku. Cairan yang tidak sama dengan sperma, digunakan untuk menandai tubuh Omega.

Ia berteriak saat aku melepas gigitan di bahu kirinya, darah menetes dari kedua bekas gigitan. Aku menjilati darahnya habis dengan ganas, sementara ia mencakar punggungku karena tak kuat melawan sakit. Cairan Alpha akan masuk ke dalam perutnya, sebuah tanda kepemilikan mutlak. Tak ada Alpha lain yang berani menyentuhnya setelah ini. Perlahan tandaku muncul melingkari lehernya, membentuk garis hitam yang melingkari leher dan namaku akan membekas di tengkuknya.

“Ahh.” Aku melenguh ketika semua mulai mereda, lalu menatap lelaki yang baru saja kutandai. Kulihat manik emasnya berubah menjadi cokelat tua. Bayang hitam di sekelilingnya luruh dan tubuhnya lebih mirip postur Omega yang sempit nan rapuh. Mataku terbelalak melihat pergantian fisiknya, terlebih ketika hidungku menangkap feromon karamel dari tubuhnya, manis. Dia benar-benar seorang Omega.

“Tuan.”

“Namaku Mark. Mark Lee. Nama itu membekas di tengkukmu juga.” Aku berujar, lalu merapikan rambut lepeknya sebentar.

“Terima kasih, Mark. Aku berutang hidup padamu.”

“Hah, aku tak menyangka hidup memberikanku takdir untuk menandai seseorang yang hanya setengah dari umurku. Tapi tubuhmu menerima knot milikku, kurasa kita memang ditakdirkan bersama sejak awal tercipta.” Aku berujar lagi dan meneguk air. Aku tak menelannya, lantas membuka mulut Haechan dengan tanganku dan berbagi air dengan ciuman.

“Kalau kamu masih remaja, aku sudah matang, Haechan. Umurku tiga puluh dan tidak punya waktu untuk bermain cinta monyet. Mungkin aku akan mengenalkanmu pada orang tuaku setelah ini, kuharap kamu tidak keberatan.” Ia mengangguk dan aku tersenyum tipis. Entah apa yang akan diucapkan ibu dan ayah ketika aku membawa seorang lelaki berumur delapan belas yang sudah kutandai. Hal gila yang ternyata aku lakukan.

“Terima kasih, Mark.”

“Sstt, sudah cukup terima kasihnya. Tubuhmu pasti sangat lelah, tidurlah.” Ia mengangguk lugu dan mengambil posisi tidur setelah menarik selimut. Aku tersenyum tipis melihat Omega yang terbaring di ranjangku. Bukan sekadar jalang biasa yang menemani malamku, lalu pulang setelah menelan uang. Ia adalah lelaki yang patut kujaga dengan segenap hidup, yang akan membawakan keturunanku ke bumi, yang akan meniti semesta bersamaku sampai ajal menjemput.

“Semoga kita akan baik-baik saja.”