mokhyuck

warning: explicit sex scene, public make out, pet name


Sorak para penggemar masih menggema di telinga ketika kami melangkah keluar dari panggung. Tungkai yang sedikit tertatih ini berusaha mencapai ruang tunggu. Pertunjukkan pertama selalu meguras tenaga hingga titik nol, tetapi tak pernah gagal membakar semangat. Semua yang telah kami persiapkan dari jauh-jauh hari telah tersaji sempurna. Reaksi penggemar yang fantastis selalu membuatku ingin berdiri di tengah panggung. Seakan tumpukan luka dan tangis terbayar dengan satu hari konser.

Staf mulai berhamburan menawarkan kami handuk dan sebotol air mineral dingin. Satu dari mereka mengipasiku dengan kipas angin kecil. Ia juga mengucapkan selamat kepadaku untuk malam yang meriah ini. Air dingin yang menjamah kerongkonganku terasa seperti oasis di tengah padang pasir. Suhu tubuh tinggi dan banjir keringat meninggalkan rasa lengket yang tak nyaman. Aku ingin segera mandi, lalu berpakaian tipis.

Ketika aku masih berusaha menyesuaikan diri, satu lengan kekar tanpa aba-aba melingkari bahu. Bau keringatnya yang khas menyeruak ke indra penciuman. “Kamu sangat luar biasa.” Ujaran singkat itu membuatku mendongak ke sumber suara. Pria bersurai kelam yang dibanjiri peluh dan terlihat sangat acak itu menatapku. “Tentu saja.” Balasku dengan nada menyombongkan diri, lalu ia tertawa kecil. Lengannya tak kunjung hempas, ia seolah menuntunku.

“Kakimu tak apa? Jangan sampai cedera.” Ia sepertinya menyadari gaya berjalanku yang sedikit aneh. Aku menggeleng, menghindari pertanyaan yang akan menimbulkan cemas. Sungguh aku tak apa, hanya terkejut karena sudah lama tidak menggelar konser. “Jangan terlalu memaksakan dirimu, masih banyak negara yang akan kita kunjungi.” Pria itu berujar lagi, berisik. Terkadang kecemasan berlebih membuatku terlihat sangat kecil nan lemah.

“Jangan menganggapku angin lalu, cantik.” Spontan sikuku menyikut pinggangnya setelah kalimat itu terlontar. Mark tertawa jahil, sementara staf yang ada di samping berlagak tak dengar. Panggilan konyol yang baru-baru ini sering digunakan olehnya begitu menggelitik. Semarak di hatiku tak terelakkan ketika Mark memujaku dengan kata yang terkesan feminim itu. Cepat-cepat aku menghindar darinya, tetapi pria itu lebih sigap memapah tubuhku.

“Turun! Turunkan aku!” Protes yang keluar dari bibirku kini dianggap angin lalu olehnya. Mark berjalan santai melewati member lain. Alih-alih membantu, mereka yang lebih tua daripadaku justru tertawa dan mendukung aksi Mark. “Get a room, love birds!” Ketua kami bersorak disusuli gelegar tawa yang lain. Pipiku sudah merona sejak Mark memapahku tadi. Hubungan kami memang tidak dirahasiakan dari mereka yang sudah aku anggap keluarga terdekat.

Tungkai Mark ternyata membawa kami ke kamar mandi khusus artis di ujung lorong. Sejauh mata memandang, tak kulihat batang hidung manusia lain di sekitar sini. Sepi, jauh dari suara member yang tak pernah berhenti berceloteh selepas konser. “Bagaimana kamu tahu tempat ini?” Tanyaku kepadanya, kemudian ia hanya mengangkat bahu. Pintu kamar mandi ini sedikit terbuka, memudahkan Mark untuk mendorongnya dengan kaki. Ia akhirnya menurunkanku di dalam.

Seriously, Mark?” Aku berucap jengkel, lalu berbalik badan untuk keluar. Namun, tangan sang kekasih lebih dulu memutar kunci. Ia mendorong tubuhku ke dinding dengan kasar, ringisan kecil lolos ketika punggungku menabrak keramik toilet. Tangan itu mencengkram leherku untuk satu cumbuan tergesa. Bibirku terpaksa meladeni miliknya yang ingin segera menghadirkan lidah. Aku tak mengerti apa yang merasukinya kali ini.

Satu gigitan di bibir membuatku mendorong dadanya kuat, sungguh terkejut. “Sial, jangan seperti ini, Mark!” Ia menatapku nanar, lalu belah bibir itu semakin turun ke leher hingga cekungan bahu. Kami berjanji untuk tidak meninggalkan jejak di area yang terjangkau kamera, tetapi Mark seperti melupakan janji tersebut. Ia tak ragu menggigit perpotongan leher dan bahuku. “Mark!” Amarahku seperti tak ada efeknya. Justru itu mengundang tindakan kasar, ia menantangku balik dan enggan diperintah.

Ketika selangkangan kami bergesekan, aku tahu betul kalau ia sudah ereksi total dan tidak dapat menahan diri. Kini tangannya melucuti kaus yang tengah kami gunakan. Telapak tangan itu sungguh tak bisa berhenti menggerayangi tiap inci kulit torsoku. “Cukup, tolong.” Aku mendesis ketika bibirnya meraup puting kananku, memainkannya dengan lidah. Kepalaku berputar, seolah mabuk hanya dengan sentuhan sensual sederhana.

Fuck.” Ia akhirnya bersuara ketika melihat celana dalamku yang basah. Aku bahkan tak sadar ketika ia menurunkan jeans yang tengah kupakai. Telanjang bulat di depannya bukanlah suatu hal baru, bahkan aku yakin Mark lebih mengenal lekuk tubuhku daripada siapapun. Kekasihku itu menarik celana dalam dengan giginya sembari mencengkram panggulku. Detik itu, aku sudah menyerahkan setiap jengkal tubuhku untuk ia habiskan malam ini. Aku tidak pernah berhasil mengelak ketika rongga mulutnya melingkari kelamin.

Tanganku mulai berusaha mencari pegangan ketika pria dominan ini mulai mengulum. Ia kemudian mengarahkan tangan kananku untuk meremat rambut acaknya, sesekali untuk mendorong kepalanya ke depan. “Shit, shit.” Bohong jika aku mengatakan mulutnya tak pandai membuatku kelimpungan. Sedari tadi, aku menggigiti bibir, menghalangi desahan untuk keluar. Sungguh, aku malu sekali karena ini pertama kali kami berbuat tak senonoh di publik. Mark pasti sudah gila ketika membawaku ke kamar mandi ini.

Let it out, princess. Tell them who you belong to.” Di sela blowjob, Mark menyuruhku untuk tak lagi menahan desah. Kalimatnya menyihir daun telingaku merah. Pria itu tahu betul kalau aku luluh dengan panggilan feminim. Terlepas dari gender, aku senang jika seseorang memuji dengan kata yang tak seharusnya diberikan kepada pria. Terutama pujian dari Mark yang selalu kunanti. Ribuan kupu-kupu seperti terbang mengelilingi perutku saat ia memuja parasku cantik.

Pria itu mendongak ke atas ketika desahanku lepas, mata tajamnya menatapku lamat. Lututku lemas ketika netra itu memantulkan nafsu berkabut pekat, aku adalah mangsa yang terjerat jaring. Telapak tangan Mark mulai meraba perut bagian bawahku yang naik-turun, tanda ejakulasi sangat dekat. Namun, ia tak pernah memberikan apa yang kumau secara instan. “Mark hhh, aku mohon. Sangat dekat, tidak kuat.” Sudut bibirnya tertarik ke atas setelah mendengar rengekanku untuk menyentuh titik putih. Ia menggeleng dan menyuruhku untuk berlutut.

“Lakukan hal yang sama sepertiku tadi.” Pria itu mendorong kepalaku ke depan, menyodorkan penisnya yang sudah tegak sempurna. Ludahku tertelan ketika melihat guratan nadi dan ujung kelaminnya yang mengeluarkan precum. Ukuran sang kekasih tidak pernah gagal membuatku bertanya-tanya, bagaimana hal seperti itu muat di analku? Seharusnya aku robek, bukan? Ia mendorong kepalaku sekali lagi, kemudian aku mulai melingkari ujung kelaminnya.

Come on, suck it up.” Kesal dengan cara bermain lidahku yang lambat, panggulnya menyentak paksa. Beberapa detik ujung penisnya menyentuh pangkal tenggorokan, sebelum aku terbatuk-batuk. Jujur, aku ingin mati tiap kali kelaminnya melesak dalam karena oksigen yang terputus. Air mataku mulai menetes setelah memaksa tenggorokan untuk menyesuaikan ukuran dengan miliknya yang besar. Sementara jemariku berusaha mengalihkan perhatian dengan memijat testisnya pelan-pelan.

“Berdiri.” Titah tak terbantahkan itu membuatku berhenti. Mark membalikkan tubuhku, lalu menekan punggung agar aku berada di posisi menungging. Mataku terpejam kuat ketika cairan dingin menetes di bibir anal. Lube dalam kemasan ternyata tergeletak di atas westafel, entah siapa yang menyiapkan, kemungkinan besar Mark. Telunjuk pria itu melumuri cairan pelumas dengan rata, tak lupa ketiga jarinya yang akan digunakan untuk menyiapkanku. Mark tidak pernah menyetubuhi tanpa pemanasan.

“Ini akan sedikit sakit, sayang. Gigit atau cakar lenganku sepuasmu.” Ia berujar seraya menyodorkan lengan kirinya di hadapanku. Aku mengangguk, kemudian telunjuknya perlahan memasuki anal. Rasa terbakar akibat benda asing yang masuk itu kembali lagi. Dua minggu kami tak bisa bercinta karena jadwal yang padat dan analku sudah menganggap jemarinya asing. Mungkin ini alasan Mark ingin menyetubuhiku tiap hari, agar tubuhku tidak lupa kelaminnya. “Ah, perih.” Desisku disusul ujaran Mark untuk tidak khawatir.

Telunjuk Mark perlahan bergerak keluar-masuk setelah aku sedikit tenang. Ronggaku belum terbiasa, tetapi tetap aku tahan karena aku tidak ingin berhenti sekarang. Kalau boleh jujur, aku sangat merindukan penis besarnya yang lihai melesak di dalam anal. Cara ia bermain dengan lemah gemulai di awal, lalu diakhiri dengan gerakan membabi buta itu sungguh candu. Terlebih jika ia keluar di dalam, meninggalkan rasa panas dan lengket yang luar biasa nikmat. Aku sudah tidak waras sejak Mark menyentuh tubuh ini dan menjadikannya hak milik.

Saat aku tengah memikirkan hal kotor, Mark menambah satu jari dengan mulus. Ia menggerakkan kedua jari dengan cara menyerupai gunting. “Sakit, sakit!” Proses ini memang hal tersulit untukku. Kedua jemarinya yang memaksa dindingku untuk melebar itu menyiksa, bahkan jumlah cairan pelumas yang banyak tidak bisa mengurangi rasa perihnya. “Sshh, tidak apa-apa, sayang. Sebentar lagi.” Bibirnya mengecupi tengkuk ketika aku mulai mengucurkan air mata.

Can we do it raw?” Ketika kalimat itu mendarat di gendang telinga, bulu romaku meremang seketika. Entah apa yang mendorongnya untuk bercinta tanpa pengaman malam ini. Namun, hatiku tak sampai hati untuk menolak tawaran sang kekasih. “Aku tak akan tahan lama kalau kamu tidak pakai kondom.” Balasku pelan. Sungguh, euforia yang memborbardir tubuh ketika kejantanannya melesak tanpa balutan pengaman itu luar biasa memabukkan.

“Itu yang aku mau, sayang. I will make you come countless time. Squirt for me, will you?” Tidak waras. Aku tak mengerti iblis dari neraka mana yang merasukinya kali ini. Lagi-lagi aku tak kuasa untuk berucap enggan. Mark yang tidak mendengar kalimat penolakan dariku segera memposisikan kelaminnya di depan anal. Ia mulai masuk perlahan sembari mendekap tubuhku. Mataku terpejam ketika panjang kelaminnya sedikit demi sedikit tertelan liang. “Mark!” Sorakku lolos ketika sang kekasih melesak utuh sekuat tenaga, aku hampir terjatuh.

Kedua tungkaiku seperti kehilangan tenaga, bergetar tak karuan. Kelamin Mark sudah sepenuhnya menjadi bagian dari tubuhku. Setiap inci penisnya terasa begitu hidup, gurat halus, dan ujung yang basah itu seolah mendorongku hingga ujung jurang. “So fucking tight.” Bisikan serak dan pinggulnya yang mulai bergerak membuat benakku kosong. Hal yang kuingat adalah mendesah, lalu menyesuaikan ritme permainan. “Mark, khh, ahh! Mark! Mark!” Bahkan aku tak peduli jika ada yang mendengar desahanku saat digagahi sang kekasih.

Mark adalah pria gigih yang tak mengenal kata kalah. Begitu pula sifatnya di ranjang yang sangat dominan. Gigihnya ia mengobrak-abrik tubuhku tiap bercinta hingga pagi menyelinap. Hanya Mark yang berhak menggariskan selesai dalam permainannya. Sekuat apapun aku merengek untuk berhenti, ia akan menutup telinga. Seperti saat ini, ketika aku memintanya untuk bergerak lebih pelan, ia enggan menghiraukan. Tubuhku mulai tersentak-sentak.

I miss you, I need you. Wish I could fuck you every night.” Mark berujar lirih di samping telinga, disusuli dengan hentakan pinggul yang hampir membuatku terkapar. Kuku yang mencengkram lengannya kian kuat, membekas cakaran panjang. Gerakan yang semakin tak karuan dan membabi buta itu menunjukkan titik putih. Desah seraknya bertabrakan dengan teriakanku. Acak betul.

Cum inside please, please.” Rengekan kecil lolos setelah aku menyentuh klimaks dengan sempurna. Sekujur tubuh tremor, pandangan buram, aku jatuh bila Mark tidak segera menahan. “As you wish, my princess.” Kelaminnya yang berkedut hebat itu mulai melukiskan putih di dinding analku. Spermanya dengan cepat memenuhi tiap jengkal tubuh bagian bawah. Hangat sekali. Beberapa kali ia menyentak lembut, berusaha mengeluarkan segala cairan yang ditahannya selama ini.

Stay still.” Oh, Tuhan. Aku ingin pingsan. Ia mencuri satu ciuman panas dari kedua belah bibir ketika aku susah payah menarik oksigen. Penisnya yang masih berada di dalam perlahan menegang kembali, seirama dengan ciuman kami. Aku tidak berbohong ketika mengatakan Mark adalah pria yang tahan lama. “Spermamu bahkan masih menetes, Mark.” Ia tersenyum tipis setelah melepas cumbuan.

“Aku lebih menikmati anal yang sudah penuh dengan cairanku. Bengkak dan lengket.” Andai saja ada alat yang bisa menyaring kalimat kotornya. Pria jangkung itu lalu membalikkan tubuhku, netranya bagai pemburu yang membuntuti mangsa. Sementara mataku berkaca. “Aku akan menggendongmu kali ini, pegang bahuku erat.” Sial, aku sangat membenci posisi ini.

Mark jelas tahu kalau posisi bercinta yang satu ini merupakan kelemahanku. Kewarasanku hilang seperti diterjang ombak tiap kali penis itu memasukiku dari bawah. “Tidak mau, Mark.” Aku berusaha untuk menolak. “Ayolah, sayang. Kali ini saja.” Sebut aku pria yang tidak memiliki pendirian. Rengekan mendayu itu buatku mati kutu. Kekasihku lalu membisikan terima kasih setelah mengantungi anggukan untuk lanjut.

Mark menggendong tubuhku, kemudian lenganku bertengger di kedua bahunya. Kelaminnya masuk dengan perlahan, jauh lebih mudah dari kali pertama tadi. Desah seraknya menghantui telingaku, dekat sekali. Perutku terasa begitu penuh, sesak, seperti kelaminnya mengacak-acak organ perut. Ujung penisnya mudah betul menggesek titik termanisku dengan posisi ini. Sekarang aku mendesah riuh dengan uraian tangis. “Mmh. Enak, Haechan?”

“Lagi, mau lagi. Mau kasar. Gesek, hhh, gesek yang tadi.” Terpampang jelas alasanku membenci posisi ini. Racauan sudah tak terkendali, nafsu semata. Oh, andai aku bisa mendeskripsikan kenikmatan ini lebih detail. Prostat yang dihujam berulang kali, penis yang melesak dalam-dalam, lengket cairan kelaminnya, kedutan anal yang lecet, semua beradu dengan kasar. “Desperate cry baby.” Pria itu berbisik.

Oh, tentu saja aku putus asa. Bahkan pinggulku memaksa untuk bergerak sendiri, mengejar orgasme. Mark membiarkanku mengambil alih, seringai terlukis di belah ranumnya, mengolok. “Aku tahu kamu sudah dekat.” Kini permainannya berubah, tak lagi membabi buta, melainkan hentakan berjeda. Jadi ia menarik kelaminnya jauh, hampir melepas pagutan, lalu menyentak paksa dalam satu tarikan napas. “One.” Ia mulai berhitung tiap kali menyentak.

Two.”

Three.” Pada sentakan ketiga, aku tak kuasa menahan ejakulasi. Aku bersumpah kejantanannya mencumbu jalan buntu, ia menggagahiku hingga ujung terdalam. Pandanganku mulai kabur. Cairan kelamin lalu mengotori perut sang kekasih. Ia meciumku. Memujaku dengan kata yang segera menguap dari ingatan. Kepalaku sudah kacau, aku berada di ambang ketidaksadaran. Namun, Mark masih berhitung.

Five.” Sentakan kelima adalah titik putih Mark. Spermanya kembali memaksa masuk, walaupun analku sudah penuh dengan ejakulasinya tadi. Penisnya yang berkedut sukses membuat sekujur tubuhku bergidik. “Fuck, baby. You squirted?” Benakku sungguh kosong, tidak mampu memproses apa yang terjadi. Namun, samar aku merasa seperti sedang pipis tanpa aba-aba. Keluar begitu saja disusuli sumpah serapah dari mulut Mark.

Hh, I know you love it when I pounded you hard.” Mark masih mempertahankan posisi, ujung penisnya mencumbu titik terdalam analku. Lemas sekali.

“Baru ronde kedua dan kamu sudah membasahi sekujur tubuhku, cantik.” Ia akhirnya meletakkan tubuhku di lantai kamar mandi. Bibirnya mengecup dahiku cukup lama. Lalu jemari panjangnya menyusuri poniku, menyelipkan helaian rambut di belakang telinga. “Nanti lagi, ya?” Kali ini aku tak menjawab, terlalu lemah untuk sekadar angkat suara. Mark lagi-lagi sukses membuatku terkapar tanpa daya.

Mon chéri.” Ia berbisik lembut. Punggung tanganku diciumnya. Ritual kecil yang selalu ia lakukan selepas bercinta. Sebuah tanda terima kasih atas segenap waktu, tubuh, dan hati yang kucurahkan selama kami menjadi satu kesatuan. Juga maaf untuk perilakunya yang kerap kali didominasi nafsu. Butuh waktu lama bagiku untuk menafsirkan tindakan tersebut. Mark dan sejuta rahasia di balik layar.

“Papa!” Suara penuh keriangan itu menyambutku saat baru sampai di depan gedung berlantai tiga. Anak lelaki manis menghampiriku dengan tas di bahu dan kotak makan di tangan. Ia merentangkan kedua tangan mungilnya ketika mendapati kehadiranku di depannya. Aku berjongkok dan cepat menggendongnya sembari merekahkan senyum. Bibir kecilnya mengecup pipi kananku, disusuli oleh tawanya yang menggemaskan.

“Papa, tadi kami belajar tambah-tambahan, lalu aku dapat seratus!” Ia berujar penuh semangat karena mendapatkan banyak hal baru di kelas hari ini. Aku tersenyum dan tak bisa menahan diriku untuk mengecup dahi anak semata wayangku.

“Hebat, Niel! Niel memang jagoan papa!” Aku memujinya dengan menghujani pipi kanan dan kiri anak itu dengan kecupan ringan. Ia tertawa karena geli. Ah, aku sangat bersyukur karena dulu memutuskan untuk bertahan seorang diri. Niel menjadi pondasi terkuat hidupku yang setengahnya telah runtuh diterpa badai ganas. Niel adalah harapanku, alasanku malam itu membuang semua tali tambang yang kubeli ke tong sampah.

“Ayo pulang, sayang. Papa sudah masak chicken katsu kesukaan Niel!” Aku berujar senang dan Niel bertepuk tangan gembira. Aku berbalik badan, hendak berjalan kaki ke halte bus terdekat. Sampai tungkaiku membeku ketika melihat pria berjas hitam dengan kemeja putih yang dua kancing atasnya tidak dihiraukan. Manik mata kami bersirobok dan darahku bagai berhenti berdesir. Mata setajam bilah pisau baru diasah itu menghunusku dalam satu tatap.

Daddy!” Suara anak kecil lain datang dari belakang punggungku, ia mengarah ke pria itu dengan senyum lebarnya. Pria itu langsung menggendong anak itu dan entah kenapa aku terdiam, tak berkutik, tak mendengarkan celotehan Niel untuk cepat pulang. Tubuhku seperti diguyur air es dari ujung kepala, membuatku mati rasa. Aku ingin mengatakan sesuatu yang membebani hatiku selama lima tahun lamanya, tetapi lidahku kelu dan tak mampu mengucap sepatah kata berarti.

“Papa?”

“Mark.” Aku akhirnya berhasil mengucapkan nama itu setelah setengah mati melawan kelu. Pria itu menatapku sembari menggendong anak lelaki di lengannya. Mark. Pria yang selalu hadir di mimpi buruk pada malam-malamku yang suntuk. Pria yang hadir di hidupku tujuh tahun silam dan menghilang seperti diseret arus dahsyat. Pria yang pernah kutitipkan segalanya sampai tak ada lagi yang tersisa di tanganku. Pria yang bercinta denganku dan menabur seribu janji hidup.

“Oh, hei.” Begitu ia membalasku, seperti angin yang sekadar datang dan pergi dua detik setelahnya. Ia menatap Niel dan aku buru-buru menekan kepala anakku ke bahu. Niel tidak boleh mengenali muka yang berpotensi menyakiti dirinya setelah aku mati. Mark kemudian melemparkan senyum remehnya ke mukaku. Aku meringis, aku ingin sekali memukuli kepalanya hingga berdarah, tetapi selalu berakhir tanpa tenaga dan menangis.

“Ah, kamu mempertahankan anak itu rupanya.” Aku tahu ia akan mengatakan itu, kalimat yang tak mengerti hati orang lain dan tidak repot disaring agar lebih halus. Aku mendecih, walaupun benakku mulai memberontak dan berteriak tolong. Mark tersenyum lagi dan aku tak lagi bisa menahan riuh di kepalaku yang hampir pecah. Aku memilih untuk berlari menjauh sembari menggigiti bibir bawah.

“Papa! Papa! Kenapa?” Tak kuacuhkan teriakan penuh khawatir yang dilontarkan anakku. Aku menggendongnya lebih erat dan berlari ke halte bus secepatnya, beruntung bus yang kucari sudah datang. Aku langsung masuk tanpa menghiraukan beberapa orang yang kutabrak di pintu bus. Aku juga tidak membalas pertanyaan Niel yang ketakutan melihatku. Sekuat tenaga aku berusaha agar tidak tertarik kembali ke memori berdarah itu. Tentang kebodohanku, tentang Mark, tentang cinta yang pernah menjalari napasku.

“Hanya sekali, oke? Tidak akan sakit, jangan takut.” Tidak. Aku tidak mau melakukan apa yang kau pinta malam itu. Aku tidak mau berada di bawah tubuhmu dan mengatakan kalau aku mencintaimu dengan peluh yang mengguyur dahiku. Aku tidak mau bersetubuh denganmu tanpa pengetahuan luas tentang hubungan seks. Aku tidak mau disihir oleh ciumanmu yang memabukkan. Aku tidak mau menelan pujianmu saat tubuhku menelan kelaminmu rapat.

“Kamu luar biasa, sayang.” Tidak. Aku tidak mau disuapi bualanmu sehabis bercinta panas malam sebelumnya. Aku tidak perlu handuk basah yang mengusapi tubuh lengketku saat pagi. Aku tidak ingin makan sarapan yang kamu buat untuk mengisi perut kosongku setelah dikuras bercinta.

“Huh? Kamu hamil? Bukankah manusia mengonsumsi birth pill di dunia sekarang?” Tidak. Aku hanya rakyat jelata yang tak pernah dijamah pendidikan seks. Aku tak seperti dirimu yang elit dan mengenal segala informasi. Aku tak punya uang untuk membeli sesuatu seperti itu karena makanku sehari-hari saja sulit. Aku bodoh, sangat bodoh.

“Aku tidak bisa, Haechan! Pergilah ke dokter untuk menggugurkan bayi itu!” Lalu kamu memberikanku lembaran uang untuk menghilangkan dosa yang telah melekat di dagingku. Seperti lembaran uang itu mampu membilas semua dosa yang kita perbuat malam itu tanpa tanggung jawab. Seperti aku mampu meniadakan gumpalan darah yang berdetak di dalam tubuhku. Seperti aku tega membuang anugerah Tuhan yang tak berdosa setitikpun.

“Selamat, tuan. Anak Anda laki-laki yang sehat.” Dan sejak kalimat itu terucap dari bibir dokter yang membantuku, hidupku tak pernah sama, Mark.

“Papa, papa jangan menangis. Niel sayang papa.” Suara kecil itu membuyarkan segalanya yang hampir mematikanku. Tangan mungil itu berusaha menghapus jejak air mata di pipi kiriku. Aku tak ingat kapan aku mulai menangis, aku langsung memeluk erat Niel tanpa berpikir panjang. Niel, papa akan hidup selamanya untuk mimpimu yang cemerlang.


Bertahan.

Satu kata yang mampu mewakili dunia pelik ini. Jauh sebelum aku lahir, orang tua dan nenek moyangku telah hidup bersama makhluk penghisap darah. Vampir menjadi bagian dari hidup menusia bumi sejak populasi mereka meningkat pesat. Berpapasan dengan vampir bukanlah hal luar biasa di jalan raya. Mereka yang tergiur dengan hidup abadi tanpa mengenal umur dapat menyerahkan hidup mereka bagai upeti kepada vampir.

Populasi mereka melejit karena mereka berkembang biak lewat manusia. Vampir tidak bisa mengandung, tetapi mereka bisa menghamili manusia dan menuruskan keturunan mereka dengan manusia. Manusia biasanya menukar tubuhnya untuk mengandung anak mereka dengan kehidupan abadi yang terdengar begitu menggiurkan. Anak yang terlahir tak akan langsung menjadi vampir sampai sang ayah memberikan darahnya pada anak itu.

Niel adalah salah satu dari sekian anak manusia dan vampir. Ia belum menjadi vampir karena Mark tak pernah memberikan darahnya pada Niel. Aku juga tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku ingin Niel hidup normal layaknya manusia. Bukankah keabadian terasa mengerikan? Hidup puluhan ribu tahun, melintasi dekade, menyebrangi abad tanpa masalah. Meninggalkan orang terkasih, lalu menemukan orang baru dengan mudahnya. Bukankah itu sangat menakutkan?

Anak dalam gendongan Mark tadi adalah vampir, sudah pasti Mark memberikan darahnya saat ia lahir. Mark juga bisa mengenali Niel dalam sekali tatap, para vampir mengenali darah daging mereka dengan baik. Aku sedang berada di penghujung jurang, Mark telah melihat Niel. Mark memang memintaku untuk menggugurkannya, tetapi vampir tak akan melepaskan darah daging mereka begitu saja. Anak yang telah tumbuh sempurna seperti Niel adalah ladang emas, keturunan berharga yang menjaga populasi vampir.

Aku akan pergi dari sini dan membawa Niel jauh-jauh.

“Papa! Papa! Niel tidak mau pindah! Niel senang di sini!” Itu teriakan Niel yang tidak terima saat aku berkata bahwa kami akan pindah. Aku menulikan pendengaran dan tetap memasukkan barang-barang yang dapat kubawa dalam tas. Sama sekali tidak mengindahkan teriakan Niel yang mulai mengeras. Aku mendecih dan menutup tas pertama yang sudah penuh dengan baju-baju kami.

“Papa! Papa jahat!”

“Niel, diam!” Ini pertama kalinya aku membentak Niel dengan suara tinggi dan frustasi berat. Air muka Niel langsung berubah kilat dan muram saat aku membentaknya. Aku meringis dan cepat-cepat memeluknya sembari meminta maaf. Niel hampir menangis dan itu membuatku hancur. Aku tidak ingin melihat anakku menangis, air matanya terlalu berharga.

“Niel, tolong mengerti, sayang. Nanti papa jelaskan semua, oke? Kita benar-benar harus pergi sekarang.”

Dunia seperti menertawaiku keras-keras sekarang. Ketukan berulang di pintu depan itu menandakan segalanya telah usai, aku terlambat dan sang waktu telah menginjak tubuhku sampai mampus. Aku meringis dan memegang erat kedua bahu Niel. Aku berusaha untuk berpikir lurus, mencari celah yang masih bisa kugunakan untuk menghindar darinya. Tanpa perlu kubuka, aku juga sudah tahu kalau Mark berdiri di depan pintu. Mark melacak darah Niel.

“Niel, berlarilah keluar dari pintu belakang. Papa akan menyusul.”

“Tidak! Tidak mau! Niel mau pergi dengan papa!”

“Sayang, papa mohon.” Aku menatap Niel dengan mata berkaca, aku masih menahan tangisku agar tidak mencemaskan anakku. Aku berusaha meyakinkan dirinya bahwa aku akan menyusul dan pergi bersamanya. Aku berusaha untuk bertahan untuk napasnya. Aku berusaha untuk tak hancur saat kepalaku bising dan tubuhku mulai mati rasa. Aku berusaha mengais apa yang kupunya agar Niel tetap hidup. Aku berusaha. Aku.

“Papa.”

“Niel, jangan takut. Lari, nak. Papa selalu ada di belakang Niel.” Niel mendengarkanku dengan baik, dengan tangis yang terurai ia berlari ke pintu belakang dan keluar. Tinggallah diriku dengan pisau dapur di tangan, aku akan mengulur waktu Mark agar Niel bisa lari lebih jauh. Aku menelan ludahku yang pahit ketika pintu didobrak. Mark mendatangiku dengan mata merah mengkilatnya, aku seperti dikuras habis hanya dengan tatapan mengerikan itu.

“Anak itu, di mana kamu menyembunyikannya?”

Aku tidak menjawab dan menodongkan pisau itu di depan badanku. Tanganku tremor parah karena diterjang rasa takut. Aku ingin membunuh Mark, aku ingin membunuh memori yang bersarang di benakku, aku ingin membunuh rasa di hatiku, aku ingin membunuh semua ingatan tentangnya yang membuatku lumpuh, aku ingin membunuh diriku sendiri. Satu dua tetes air mata melewati pipiku.

“Kamu tidak bisa membunuhku, sayang.” Mark mendekatkan dirinya dengan pisau, sengaja menghunus dadanya dengan mata pisau tersebut. Aku mencoba untuk menusuknya lebih dalam sampai bajunya dipenuhi bercak merah pekat. Aku ingin membunuhnya, tetapi semua yang kulakukan bagai memahat di air. Aku memberanikan diri untuk meninju mukanya dan ia malah memutar pergelanganku. Aku tak tahu, mungkin lenganku patah bersama teriakan pedihku.

There, there. Kamu memang luar biasa, sayang.” Ia berujar serak setelah menjatuhkan badanku ke lantai. Kalimat sama yang ia gunakan waktu itu, waktu yang tak ingin aku ulang atau lewati sama sekali. Ia duduk di punggungku dan aku masih berusaha memberontak.

“Cih.” Mark mendecih dan ia menghantamkan mukaku ke lantai keras-keras sampai lidahku mengecap asin dan amis. Berulang kali sampai mataku membengkak dan lebih sulit melihat. Aku tak tahu lagi mana air mata dan darah di mukaku, campur aduk dengan naasnya. Aku berteriak-teriak meminta tolong, tetapi aku merasa hidup sendiri di bumi ini. Tak ada yang berusaha membantu atau sekadar mengecek keributan di rumah ini. Ujung jalanku semakin dekat, tetapi Niel menghampiri benakku.

Sudahkah ia berlari jauh?

Apakah aku berhasil mengulur waktu Mark untuknya?

“Manusia memang bodoh. Tidakkah kau sadar kalau tubuh ini hanyalah darah untuk dihisap dan disetubuhi?” Mark berujar datar sembari meremat leherku dari belakang. Aku mencoba untuk berbicara, berteriak, memohon, apapun yang dapat menyelamatkan nyawaku sekarang. Namun tak ada yang menyambut tanganku yang mengacung di permukaan, aku hampir tenggelam dan tidak terselamatkan. Tuhan, inikah caraku kembali yang telah Engkau rencanakan sebelum aku lahir?

“Ni-Niel.” Aku hanya mampu mengucapkan nama anak laki-laki itu dengan suara yang nyaris tak terdengar. Lalu aku mendengar suara tawa Niel ketika aku menghadiahkannya mainan robot sebagai hari ulang tahunnya. Aku merasakan lengan mungilnya berusaha merengkuh tubuhku erat ketika malam mendingin. Aku menangkap suara lembutnya yang menanyakan apakah aku baik-baik saja setiap pulang kerja dengan muka pucat pasi.

“Niel.” Aku berusaha meraih ilusi Niel yang duduk di hadapanku dengan tangan yang tak patah. Ia tampak kedinginan, hidungnya memerah. Aku khawatir sekali, Niel mudah mimisan jika kedinginan berlebih. Aku ingin memeluknya erat-erat, merelakan satu selimut untuk berdua itu untuknya seorang. Biarlah aku ditusuk es, asalkan anakku tetap hangat dan tidak mimisan. Tanganku masih berusaha untuk meraih bayang-bayang Niel di depan sampai Mark menghantamkan mukaku ke lantai lagi. Niel.

“Ni-” Suaraku seperti habis setelah dihantam lantai keras-keras tadi. Pandanganku memburam, tetapi aku masih bisa melihat Niel yang berusaha meraih tanganku. Anakku menangis dan aku tidak berkutik, aku orang tua yang buruk. Aku berbohong pada Niel, aku tak mampu hidup selamanya untuk merajut mimpi cemerlang anakku. Aku berbohong pada Niel, aku tetap meminum obat tidur saat ia sudah terlelap. Aku berbohong pada Niel, aku tidak pernah kuat seperti superhero favoritnya, aku amat rapuh.

“Niel, Niel, Niel. Seperti hidupmu berputar di Niel.” Mark berujar lagi. Lalu hal apa yang kujadikan sebagai poros duniaku jika bukan anak semata wayangku? Hal apa yang menahanku untuk menggantung diri dan tidak pernah pulang? Hal apa yang memberhentikanku menyayat lengan? Katakan padaku, Mark. Aku juga ingin memiliki jutaan hal untuk tetap bertahan di dunia pelik ini sepertimu.

“Aku akan menemukan anak itu dan memberikannya darahku. Ia akan hidup abadi, sementara kamu mati membusuk.” Mark mengucapkan hal yang tak pernah ingin kudengar. Aku tak lagi sanggup memberontak karena pening mulai menggerogoti kepalaku. Niel, lari. Lari sejauh mungkin sampai kamu tidak pernah mendapati batang hidung Mark. Lari dan hiduplah seperti biasa, papa tak akan pergi.

“Oh, aku sedang membaca poem, Haechan. What can I hold you with karya Jorge Luis Borges.” Ah, sore hari itu di perpustakaan sekolah, setelah bel pulang berdering. Aku dan Mark berlari ke perpustakaan untuk membaca buku. Mark yang pandai berbahasa Inggris lebih sering membaca buku barat yang tidak diterjemahkan. Sementara aku menikmati karya lokal atau terjemahan novel barat. Sore itu Mark membacakan puisi tersebut dengan suara pelan karena takut ditegur penjaga perpustakaan. Ia juga membantu menerjemahkannya untukku.

“Aku tidak tahu harus membelikanmu lili atau bunga matahari, jadi kubelikan keduanya.” Hari kasih sayang di mana para pasangan bertukar cokelat dan bunga. Aku dan Mark adalah salah satu dari pasangan di sekolah yang bertukar kado hari itu. Aku masih ingat senandung riangku selama perjalanan pulang dengan menggenggam erat buket bunga pemberian Mark. Aku merasa dicintai. Aku merasa berharga di mata Mark.

“Eh, pukul sebelas lewat sebelas. Make a wish!” Aku tidak tahu kalau kita bisa mengucapkan permintaan pukul 11.11 itu. Sejak mengenal Mark, aku selalu mengucapkan permintaan dan doaku di rentang waktu itu. Lalu aku bertanya pada Mark, “apa yang kamu minta?” Ia menjawab, “bersama denganmu lebih lama.” Dan aku menangis saat mendengar jawabannya, aku tak pernah mengecap kasih sayang yang begitu hebat karena orang tuaku meninggal saat aku bayi. Mark mampu menghadirkan segala yang kupinta pada pukul 11.11.

Perlahan semuanya tenggelam bersama luka-luka yang kujinjing seorang diri. Aku mencoba menyelamatkan kepingan kebahagianku, tetapi semua telah menjumpai tanda titik.

Au Revoir.” Suara Mark mengisi penuh kepalaku, berebut ruang dengan tangis Niel, suara tawaku dan Mark senja itu, rintih tangisku menahan lapar untuk Niel, bentakkan Mark yang menyuruhku untuk menggugurkan kandungan, derit ranjang saat kami bercinta, suara Mark yang membacakan selarik puisi, semuanya menghablur menjadi warna hitam pekat yang buruk rupa. Samar, aku bisa merasakan Mark yang merobek kulitku dan merampas semua darah di pembuluhku.

What can I hold you with? I offer you lean streets, desperate sunsets, the moon of the jagged suburbs. I offer you the bitterness of a man who has looked long and long at the lonely moon.

Aku tidak akan pernah bisa menahanmu, Mark. Hidup, hiduplah lama. Jaga Niel untukku, dia anakmu juga.


Malam telah menggilas apartemen yang kini kutinggali, langit sepekat tinta spidol yang biasa kugunakan untuk menulis ragam teori ekonomi atau mengajari murid-muridku cara membuat neraca pembayaran, raja malam yang tangguh bertengger kelabu. Pukul sebelas dan aku baru saja selesai mengecek tugas murid, mataku sedikit sakit karena terlalu lama menatap layar laptop. Aku meregangkan tangan agar bahuku rileks, lalu menyesap sisa kopi susu yang berenang di dasar gelas. Kulihat keadaan luar dari jendela di samping meja kerjaku, tak ramai dan hanya satu dua mobil berseliweran.

Aku bangkit dari duduk dan berjalan ke kamar mandi dengan senandung ringan di mulutku, tak tahu lagu apa yang berusaha kunyanyikan malam ini. Aku menyikat gigi dan buang air kecil, kebiasaan semua orang sebelum tidur. Kutatap pantulan diriku di cermin besar itu, mata elang yang menukik, netra sekelam malam yang tak menahu bintang atau bulan, rahang yang menyombongkan diri tanpa tahu malu, dan bibirku yang menjadi kunci kehidupan bercinta. Aku mengacak rambutku yang senada manik mata itu dengan kasar.

Hidupku selama tiga puluh tahun ini tak begitu berarti, tetapi aku menikmati semuanya tanpa banyak protes. Umur matang dengan pekerjaan yang mapan rasanya cukup untuk menyumpal mulutku dengan makanan, membeli beberapa barang mahal atau membayar jalang di klab ketika waktu bercintaku menggebu. Orang tuaku sudah berulang kali menyuruhku untuk menikahi seseorang karena tak sabar menggendong cucu pertama dari anak tunggalnya. Tetapi aku merasa belum cukup apalagi siap untuk satu komitmen sehidup semati yang mengikat sampai ajal menjemput. Aku terlalu banyak bermain, seperti itulah kalimat ibuku.

Ayah bahkan sempat merencanakan kencan buta dengan perempuan cantik yang merupakan anak rekan kerjanya, tetapi aku mengetahui rencana bodoh itu dan marah. Aku menolak untuk pulang sampai ibu mengunjungiku di New York sendiri dan meminta maaf sampai menangis. Saat itu, aku merasa seperti putra paling durhaka seantero bumi. Ibu bilang, ia percaya suatu hari nanti aku akan menemukan seseorang yang tepat untuk hatiku yang tak jauh dari definisi es ini. Baiklah, aku akan percaya pada wanita yang telah menaruhkan nyawanya untuk melahirkanku ke bumi.

Selama empat tahun tinggal dan bekerja di New York, aku sudah mengencani dua Omega menawan. Hubungan pertamaku bertahan satu tahun dan kami memutuskan untuk berpisah karena ia mencari seseorang yang serius untuk umur tiga puluh miliknya. Hubungan keduaku juga bertahan satu tahun dan harus mengucapkan selamat tinggal karena ia hamil dengan Alpha lain. Setelah hubungan itu, aku menjadi bosan karena ujungnya selalu sama dan menyayat perasaanku. Aku mencoba untuk mengencani beberapa wanita, tetapi mereka menolakku karena merasa tak pantas untuk aku yang begitu mapan. Akhirnya aku membayari beberapa jalang di klab langgananku jika tubuh ini minta dipuaskan, aku seperti pria kurang ajar di novel-novel.

Aku membaringkan diri di atas kasur yang memanjakan tulang belakangku yang penat, kucoba menutup mata, tetapi tak langsung tertidur. Mungkin karena kafein yang kukonsumsi saat bekerja tadi masih tersisa dalam darahku. Padahal aku memilih kopi susu yang tak begitu kental agar dapat tertidur tepat waktu, tetapi sesuatu dalam tubuhku benar-benar membuatku muak. Aku mengacak surai rambutku dan mengumpat karena mengubah posisi yang biasanya membuatku terpejam tak lagi manjur. “Sialan, aku ada kelas untuk diajar besok!” Aku berteriak sendiri karena tak kunjung tertidur.

Setelah empat puluh menit tak dapat tertidur, aku akhirnya menarik laciku dan mengambil botol obat tidur. Tak baik memang, tetapi tak ada lagi yang dapat kulakukan untuk menutup kelopak mata sialan ini. Aku tak ingin tertidur di kelas, sial, itu akan merusak karismaku di depan murid-murid. Kutelan satu kapsul obat itu dengan dorongan air mineral. Setelah itu aku berbaring dan menghela napas pelan, kutatap langit-langit kamarku yang senada krem dan membiarkan obat ini mengambil alih tubuhku. Perlahan pandanganku mengabur dan aku tak lagi mendengar denting jarum jam di kamar.


Tak tahu pukul berapa mataku terbuka lebar karena merasa seseorang menindih perutku, langit masih gelap dan aku yakin itu. Aku memicingkan mata dan menangkap jarum pendek jam yang mengarah ke angka tiga. Pukul tiga pagi dan aku terbangun tanpa bisa menggerakan tubuh. Napasku memberat dan tubuhku mulai memanas seperti dilanda rut lebih awal dari jadwal biasanya. Aku meringis dan mencoba untuk bergerak mengepalkan tangan. Aku ingin merapalkan doa, tetapi sebuah bibir kenyal tiba-tiba menghantam milikku dengan ganasnya. Perlahan aku bisa melihat gambaran seseorang yang duduk di atas perutku, seorang lelaki dengan surai cokelat, telanjang bulat, dan mengeluarkan aroma manis memabukkan.

Ia berusaha mendominasi ciuman itu dengan menarik tengkukku. Bajingan, aku tak suka didominasi oleh siapapun karena hal itu merusak statusku sebagai Alpha. Aku mulai memberontak dan tidak mencium balik, lagi pula siapa dirinya? Mungkinkah dia penyusup gila yang masuk ke apartemenku untuk bersetubuh? Atau dia seorang pembunuh yang berusaha mengelabuiku dengan ciuman ini? Apakah ia membawa pisau untuk menancapkannya di dadaku? Tidak, dia tidak memiliki apapun. “Sialan, lepaskan aku!” Aku berteriak marah dan lelaki itu tiba-tiba menampakkan manik matanya yang senada emas, matanya penuh dengan nafsu tak tertampung.

“Lepas! Apakah kamu tuli?” Aku berteriak lagi karena ia kembali menciumi bahuku, aroma yang menguar dari tubuhnya kian kuat dan membuatku pening. Aroma itu juga mengundang Alpha yang bersemayam dalam diriku dan mengganti manik mataku dengan warna hijau. Aku melenguh ketika lidahnya yangg basah menjilat putingku, sialan, bajingan, seharusnya aku yang melakukan itu padanya. Harga diriku sudah hancur, tetapi egoku tak pernah mengalah pada apapun dan siapapun. Akhirnya aku bisa menyiku dada lelaki sialan ini dengan sekuat tenaga, ia terlempar ke belakang dan terbatuk.

“Tak mungkin.” Aku mendengarnya mendesis dan aku menarik sudut bibirku. Manik mataku telah menyulap diri menjadi hijau yang mematikan, feromonku mendominasi ruangan ini. Ia terbatuk karena feromonku yang tanpa aba-aba mengudara, mencekik siapapun yang tak terbiasa.

“Tidak! Ini tidak mungkin!” Aku menampar pipinya setelah mengatakan itu, ia tersungkur ke samping karena aku menggunakan kekuatan Alpha. Aku tertawa kecil dan mengambil ikat pinggang yang kuletakkan di nakas dengan cepat. Aku menarik kedua tangannya tanpa masalah dan mengikat kedua tangan itu dengan ikat pinggangku. Ah, sudah lama sekali ikat pinggang ini tidak kugunakan untuk membuat seseorang tak berdaya dan memohon ampun.

“Sekarang, katakan padaku. Siapa kamu dan apa maksudmu mengganggu tidurku? Aku punya kelas pagi, bajingan!” Aku menyentak dan ia menatapku. Ia sempat tertawa kecil, tetapi hal itu justru membuatku ingin menamparinya sampai mampus.

“Aku ingin mengganggu tidurmu dan memanfaatkan kelemahanmu untuk bersetubuh denganku.” Ia berujar dan hal itu membuatku benar-benar menamparnya sekali lagi. Aku menggertakan gigiku karena jawabannya membuat emosiku pecah dari ujung kepalaku, amarah menyelimuti sekujur tubuhku dan aku tak berusaha untuk menahannya sama sekali.

“Aku incubus dan kamu hanya seorang Alpha lajang.” Ia berujar lagi dan kesabaranku habis sudah. Aku menindihnya, memperhatikan bagaimana cara Tuhan melukis makhluk kotor yang cuma tahu bersetubuh dan merugikan orang lain ini. Menyetubuhi orang yang sedang tertidur, sialan, hal itu membuatku mual karena jijik. Aku menatap manik mata yang senada emas itu, seolah libidonya tergambar secara terang-terangan di obsisdian yang tak pernah peduli tentang dosa itu. Aku mendecih karena aroma tubuhnya kian kuat, feromonku kini beradu dengan aroma tubuhnya yang membuatku sedikit mabuk dan hilang kendali.

“Kau menjijikan. Kau pikir aku bisa didominasi? Sial, memikirkan itu saja membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Kau saja gagal membuatku membeku, lihatlah dirimu sekarang, terikat dengan ikat pinggang seperti jalang.” Aku berujar tajam dan ia mendecih tak suka. Ia salah sekali memilih mangsanya malam ini, seorang incubus yang gagal mendominasi manusia di tahap awal, tawaku pecah karena mengingat hal itu. Ia ingin menendangku, tetapi aku lebih cepat meremat lehernya dengan kuat sampai kesulitan bernapas. Aku tertawa penuh kemenangan melihatnya mengais-ngais oksigen dengan cengkraman tanganku yang membirukan bibir.

“Ayolah bernapas, kau akan mati.” Aku mengejek mukanya yang mulai memerah karena tak mendapat pasokan oksigen yang cukup. Ia merintih-rintih tak jelas karena sulit bernapas, aku menarik bibirku, sebentar lagi ia bisa pingsan karena pasokan oksigennya kuputus. Aku memutuskan untuk menarik kausku ke atas dengan satu tangan, sementara satu tangan lain tetap mencekiknya. Kaus itu kugunakan untuk menyumpal mulutnya yang terbuka susah payah untuk meraup oksigen. Aku melepaskan cekikan mematikan itu ketika sudah menyumpal mulutnya dengan kaus.

“Kebetulan penisku sudah lama tak dijamah sesuatu yang hangat. Berbaik hatilah untukku malam ini.” Aku berujar di samping telinganya dengan suara serak. Aku tak bohong, sudah sebulan aku tak bercinta karena waktuku habis untuk tugas-tugas sebagai guru ekonomi. Tak masalah juga bila aku bercinta dengan makhluk kotor ini, mungkin sensasinya akan berbeda dari manusia biasa. Ia menggeleng-gelengkan kepala enggan, meracau tak jelas lagi karena sumpalan di mulutnya. Aku tertawa melihatnya berusaha menolak, kapan lagi aku melihat incubus tunduk pada manusia?

“Kau pasti tak akan merasakan sakit seperti manusia jadi aku tak perlu mempersiapkan lubang ini.” Aku berujar sembari melebarkan kedua kakinya dan menaruhnya di atas bahuku. Aku menatap anal itu dan terdiam sebentar, tidak berkedut karena mungkin ia belum terangsang atau mungkin tak pernah menikmatinya dari belakang seperti Omega lelaki. Hal itu justru membuat Alpha dalam diriku mengaum keras, seseroang yang belum terjamah terdengar lebih menggiurkan ketimbang jalang yang dilempar kesana kemari.

Aku bangkit dan berjalan ke arah lemari untuk mengambil sesuatu di bagian paling bawah, sebuah vibrator untuk merangsang analnya yang belum pernah menikmati rasa bersetubuh dari belakang. Ia menatapku bingung ketika melihat alat getar di tanganku, aku tersenyum miring dan membuka lebar kakinya lagi. Tanpa aba-aba aku memasukkan vibrator itu ke dalam analnya, ia berteriak, tetapi diredam oleh sumpalan kaus di mulutnya. Aku bertambah puas ketika melihatnya menahan rasa sakit yang menggerogoti dindingnya, sensasi asing pasti sedang menjarah tubuhnya sekarang.

“Aku tak mau menggunakan jariku untuk menyiapkan makluk kotor sepertimu.” Aku berujar di sela racauan tak hentinya. Beberapa menit berselang, air muka perih itu tergantikan denga bola mata yang mengarah ke atas karena menahan nikmat. Barulah ia tahu kenikmatan yang menjalari tubuhnya, aku tertawa kecil dan melepas sumpalan kaus itu udah mendengar desahannya. Tak terlalu buruk, setidaknya desahan itu bisa merangsang kelaminku.

“Ah, ah! Lepas! Le-pas!” Ia berujar dengan suara terputus-putus, ia menendang-nendang, tetapi semuanya percuma karena aku menumpulkan telinga. Ia mendongakkan kepala ke belakang karena tak kuat menahan serangan dari tubuh bagian bawahnya. Aku tersenyum melihat manik senada emas itu berkaca, seolah meminta sebuah pengampunan di bawah kakiku. Sungguh makhluk yang malang.

“Oh, ayolah, demon yang memanfaatkan tidur seseorang untuk bersetubuh tentu bisa menahan vibrator kecil itu.” Aku berujar dengan nada meledek, aku mengusap dahinya yang kini dihiasi peluh. Sungguh, aku lupa kalau lelaki yang berada di kasurku sekarang bukanlah Omega yang biasanya meredam nafsu. Tetapi dirinya yang bengal dan sok mendominasi ini adalah hal baru yang mengajakku bermain.

“Ngh, ah!” Ia mendesah lagi ketika aku mendorong alat getar itu lebih dalam dan menyetelnya dengan kekuatan penuh. Tubuhnya menggelinjang setelah aku merubah kekuatan vibrator itu. Napasnya tercekat dan aku melihat perutnya bergetar hebat. Ia orgasme dengan alat getar, sungguh menjijikan.

Such a bitch.” Aku mendesis sembari menarik paksa alat getar itu dari analnya. Ia masih terpejam dan mengejar napasnya. Dadanya naik turun, aku mendecih melihat incubus itu meraih pelepasannya dengan alat getar. Sungguh murahan tubuhnya sampai orgasme begitu mudah.

Lick it.” Aku berujar sembari menyodorkan tanganku yang dikotori sperma dari atas perutnya. Ia menatapku heran dan aku kehilangan kesabaran. Aku membuka mulutnya paksa dan memasukkan cairannya tadi ke dalam mulut itu. Ia ingin muntah, tetapi ancamanku membuatnya tersentak dan buru-buru menelan spermanya habis.

“Jangan mengotori kasurku dengan cairan menjijikanmu itu.” Aku berujar tajam saat ia bersusah payah menelan spermanya sendiri. Kini fokusku terkunci pada lubang yang memerah total dan berkedut karena terangsang. Menggiurkan betul, ingin rasanya aku menyentakkan penis ini dalam-dalam sampai ia mampus.

“Kau tak bisa hamil, bukan? I'm in the mood for breeding a pussy.” Aku berujar dalam sembari memberikan hand job singkat pada penisku. Ia tidak menjawab dan aku tertawa kecil melihat mukanya yang lusuh setelah kupaksa menelan sperma. Ia menggoda juga ternyata.

“Kau tahu? Kalau kamu adalah Omega, aku sudi mengencanimu dan mengacak-acak tubuh ini setiap malam.” Aku berujar sembari menggesekkan ujung kelaminku dengan analnya. Ia berusaha memberontak dan menendangku, tetapi cengkraman kuat di paha kirinya membuat ia tak berkutik. Aku mencengkramnya dengan kuku dan ia berteriak kesakitan.

“Tangan dijerat ikat pinggang, leher memerah bekas cengkraman, anal berkedut, bau sperma, kamu sungguh menyedihkan malam ini. Bagaimana rasanya didominasi seorang Alpha?” Aku bertanya sembari memasukkan penisku ke dalam analnya. Ia tersentak, punggungnya membusur karena sensasi membakar yang datang dari analnya. Air mata mulai mengalir dari manik emas itu tanpa banyak pinta.

“Sakit! Sakit! Ah!” Ia berteriak dengan suara yang pecah di akhir karena menangis. Aku menulikan pendengaran dan terus melesak masuk meskipun tangis, serta teriakannya pedih. Ia tak bisa banyak bergerak karena penisku sudah tertelan setengah. Sial, analnya sungguh nikmat. Ketat, hangat, dan berkedut menyambut penisku. Aku mendesah dan melontarkan sumpah serapah, walaupun ini baru setengah.

“Kumohon.” Aku mendengarnya memohon dengan suara pelan. Aku menatapnya dan ia sudah dibanjiri air mata. Aku mendecih, peduli setan tentang ia yang kesakitan, aku tak tahan dan segera menyentak seluruh penisku masuk. Ia berteriak kesakitan, napasnya tercekat dan aku melenguh nikmat. Sial, bercinta dengan Omega tak pernah senikmat ini. Aku ditelan nafsu saat menggerakkan pinggul dengan tajam dan dalam.

Fucking hell. Seharusnya kamu mendatangi ranjangku sejak dulu.” Aku berucap parau di samping telinganya, kugigit pula daun telinga itu sampai ia meringis. Gerakan pinggulku tak berhenti dan kian cepat, membuat perut incubus itu tersentak-sentak. Tanganku mengusapi perutnya dan tertawa kecil karena bisa merasakan penisku yang melesak masuk, dekat sekali dengan kulitnya. Tubuhnya agak kurus dan tidak banyak berlemak.

“Bagaimana rasanya menelan penis Alpha, jalang?” Aku berbisik dan ia melenguh karena aku sengaja menyentak penisku dalam-dalam setelah menarik keseluruhannya.

“Cukup.” Ia berujar lemah karena tak kuat mengimbangi tempo bermainku yang ganas. Aku menutup mulutnya dan dengan sengaja menggempur habis anal yang kurang ajar itu. Mungkin analnya akan lecet dan berdarah setelah ini, tetapi aku tak peduli. Ia bukan manusia yang bisa merasakan sakit setelah bersetubuh. Malam ini aku ingin berdosa seperti neraka hanya bualan semata.

Ia menangis lagi karena aku mengganti posisi secepat kilat. Kini ia menungging dengan bokongnya yang menyombongkan diri. Aku menekan mukanya ke bantal dengan paksa, ia akan kesulitan bernapas sebentar lagi. Kedua tangannya yang masih dijerat ikat pinggang berada di belakang kepalanya. Lebam merah mulai tercipta karena jeratan ikat pinggang yang terlalu kuat.

Shit.” Aku mendesis ketika merasakan penisku berkedut, dekat sekali dengan orgasme pertama. Gerakanku semakin acak dan membabi-buta, hentakkan penisku membuatnya berteriak-teriak meminta berhenti. Aku semakin menekan kepalanya, sesekali menjambak surai rambut itu. Aku tak punya tanda titik dalam menggerakkan pinggul ini, terus mengejar orgasme yang sudah bergerumul di perut.

“Ah, fuck! Damn God.” Aku berujar saat berhenti di titik terdalam analnya. Menyemburkan sperma kental yang hangat ke dalam anal ketat itu. Aku mendesis karena dindingnya seolah melarang untuk menarik penisku. Ia mendesah karena merasakan cairanku memenuhi perutnya tanpa celah. Aku menekan perutnya dan ia menggelinjang. Ia membusur dan orgasme lagi karena disulut spermaku di dalam perutnya. Aku tertawa remeh dan menarik penisku keluar.

“Lihatlah dirimu sekarang. Orgasme karena sperma Alpha, menjijikan.” Aku berujar setelah membalik tubuhnya. Ia kacau sekali, rambutnya acak, saliva turun ke dagu sampai leher, manik mata emas itu masih berkaca, perutnya penuh bercak sperma, dan aroma tubuhnya kian kuat.

“Aku memberikan ini padamu. Jangan coba-coba untuk membuangnya.” Aku berujar serak ketika melihat sedikit sperma yang berusaha keluar dari analnya yang masih berkedut. Merah betul analnya, sepertinya ia bengkak karena mainku malam ini terlalu kasar dan tak manusiawi. Aku mendorong kembali sperma yang tercecer di bokongnya ke dalam anal bengkak itu. Ia melenguh pelan dengan pasrah.

“Lagi, aku mau lagi.” Ia berujar sensual sembari membuka lebar kedua kakinya. Aku sempat terkejut, tetapi langsung tertawa karena berhasil membuatnya ketagihan bersetubuh.

“Kau suka menerimanya dari belakang, huh? Bagaimana rasanya perut penuh sperma?” Aku berujar sembari menggesekkan ujung penisku pada anal bengkaknya. Ia tersenyum senang dan tangannya berusaha memasukkan lebih banyak penisku. Aku bisa merasakan spermaku yang mengerubungi dindingnya.

Never thought that a hole filled with my cum would feel this good.” Aku mendesis karena kenikmatan yang terduga dari anal penuh spermaku sendiri. Ia mendesah nikmat dan aku langsung bergerak tanpa memberikan ruang bernapas. Ia melontarkan teriakan yang memenuhi kamarku tanpa sisa. Feromonku kian kental, beradu dengan aroma tubuhnya yang memabukkan. Kabut nafsu telah menyelimuti manik mata hijauku.

So good.” Ia melenguh nikmat saat aku sedang fokus menggempur analnya. Aku menarik sudut bibirku, sangat terangsang dengan ucapannya tadi. Aku seperti orang gila yang bersetubuh dengan sembarang jalang tanpa pengaman, persetan, ia bukan manusia. Ia menabur dosa di mulutku dengan ciuman panas, cara bibir kenyal itu melumat bibirku lapar, lidahnya bermain asal sampai aku merenggut rambutnya.

Stupid bitch. Greedy.” Aku berujar tajam setelah melepas ciuman paksa. Ia tertawa dengan salivanya yang tercecer ke dagu. Aku menyentak penisku dalam dan desahan melengkingnya kutahan karena ketiga jariku berada dalam mulutnya. Ia menjilati jariku, berusaha mengulumnya seperti anak kucing yang lapar. Satu persatu hentakkan yang dalam itu menghadiahkan orgasmenya.

“Tidak bisa menahan spermamu, huh?” Aku bertanya sembari melihat mata lesunya. Ia mengangguk lemah, tetapi tubuhnya malah bermain dengan hentakkan penisku.

Aku mengeluarkan penisku dari analnya ketika merasa orgasme sudah di ujung. “Say aahh.” Pintaku dan ia menurut, membuka mulutnya lebar sembari menjulurukan lidahnya. Aku memasukkan ujung penisku ke dalam mulutnya setelah memberikan hand job singkat. Mulutnya membingkai penisku dan aku mendapatkan pelepasan di dalam mulutnya. Ia terkejut setengah mati ketika spermaku menyembur ke mulutnya. Aku mendesah nikmat karena mulutnya sama hangat dengan analnya.

“Telan.” Pintaku mutlak dan ia kesulitan untuk menelan spermaku, ia hampir memuntahkannya. “Telan. Jangan pernah membantahku, jalang.” Ia panik dan menelan semuanya dengan mata terpejam. Sesudah itu aku mengacak surai rambutnya.

Good boy.

Aku bangkit dari ranjang untuk mengambil handuk yang dibasahi air hangat dan sebotol air mineral. Entah kenapa ia menguraikan air mata saat aku kembali, menangis tersedu-sedu sampai aku yang baru masuk ke kamar langsung menghampirinya panik. Ia menangis sembari menutupi kedua matanya dengan tangan terikat. Aku buru-buru melepaskan jeratan ikat pinggang di lengannya. Alpha milikku tak lagi mengambil alih, kini hatiku ketakutan setengah mampus melihat seseorang menangis hebat karenaku.

“Maaf, sungguh, aku kehilangan kendaliku ketika Alpha dalam diri mengambil alih. Maaf.” Aku berujar pelan sembari mengusap air mata yang berderetan di pipinya. Ia masih menangis dan aku memilih untuk membersihkan tubuhnya dengan handuk ditemani suara tangis yang tak kunjung reda.

“Kumohon tandai aku.”

Ucapannya itu membuatku tersentak mundur dan berhenti membersihkan tubuhnya. Aku belum pernah menandai seseorang menjadi hak milik, sementara lelaki di ranjangku ini meminta untuk ditandai saat pertama kali berjumpa. Aku menelan ludah susah payah dan ia mengulangi kalimatnya. Aku bingung sekali, ia bukan Omega yang bisa kutandai, incubus bukan manusia, semuanya berkecamuk di benakku.

“Namaku Haechan, umurku delapan belas, aku terlahir sebagai Omega. Tetapi aku dijadikan tebusan atas dosa orang tuaku oleh iblis, aku disihir menjadi incubus saat berumur lima belas. Selama ini aku mencari cara untuk kembali ke kodratku, konon, incubus bisa kembali ke kondisi asal jika menemukan seseorang yang dapat mendominasi kekuatannya. Kamu manusia pertama yang dapat membuatku tertunduk mutlak.”

“Jadi kumohon, tuan. Tandai aku, aku ingin hidup normal lagi. Aku akan berikan apapun yang kamu inginkan sebagai gantinya. Aku mohon.” Ia memohon sembari mengepalkan kedua tangannya, air matanya tetap terurai sendu. Aku menggaruk tengkuk, menatapnya sedih. Ia begitu tak berdaya dan hatiku mencelos karenanya. Bagaimanapun juga menandai seseorang berarti bertanggung jawab sehidup semati, biasanya dilakukan mereka yang telah menikah di depan agama.

“Aku mohon.”

“Aku bisa memenuhi semua permintaanmu, tuan.”

“Tolong aku, tu-”

Aku tak tahan melihatnya merengek untuk hidup normal, kutindih badan itu secara tiba-tiba. Napasku menyapu bahunya tanpa kecuali, ia bergidik di bawah badanku. “Ini akan sangat sakit, cakar punggungku jika tidak kuat.” Ia mengangguk dan aku kembali memasukkan penisku ke dalam analnya. Ia berteriak karena aku masuk dengan sekali hentak, aku menghela napas kasar dan kelaminku mulai membentuk knot dengan cepat karena terangsang spermaku yang membekas di dalam analnya.

“S-sakit.” Ia merintih ketika knot milikku mulai membengkak dan aku mengalihkannya dengan ciuman panas. Aku mendesah karena ikatan akan mencapai titik sempurna sebentar lagi.

Mine.” Aku berujar parau, mataku kembali senada hijau, emerald yang menghunus nyawa. Aku menjilat bahunya, lalu menggigit kulitnya dengan gigi taringku. Ia berteriak, tetapi berhenti begitu saja ketika knot milikku memenuhi perutnya. Ia bungkam dan aku menarik diri dari bahu kanan, berpindah ke bahu kiri. Aku menggigit bahu kirinya juga dan knot milikku perlahan mereda seiring keluarnya cairan Alpha dari penisku. Cairan yang tidak sama dengan sperma, digunakan untuk menandai tubuh Omega.

Ia berteriak saat aku melepas gigitan di bahu kirinya, darah menetes dari kedua bekas gigitan. Aku menjilati darahnya habis dengan ganas, sementara ia mencakar punggungku karena tak kuat melawan sakit. Cairan Alpha akan masuk ke dalam perutnya, sebuah tanda kepemilikan mutlak. Tak ada Alpha lain yang berani menyentuhnya setelah ini. Perlahan tandaku muncul melingkari lehernya, membentuk garis hitam yang melingkari leher dan namaku akan membekas di tengkuknya.

“Ahh.” Aku melenguh ketika semua mulai mereda, lalu menatap lelaki yang baru saja kutandai. Kulihat manik emasnya berubah menjadi cokelat tua. Bayang hitam di sekelilingnya luruh dan tubuhnya lebih mirip postur Omega yang sempit nan rapuh. Mataku terbelalak melihat pergantian fisiknya, terlebih ketika hidungku menangkap feromon karamel dari tubuhnya, manis. Dia benar-benar seorang Omega.

“Tuan.”

“Namaku Mark. Mark Lee. Nama itu membekas di tengkukmu juga.” Aku berujar, lalu merapikan rambut lepeknya sebentar.

“Terima kasih, Mark. Aku berutang hidup padamu.”

“Hah, aku tak menyangka hidup memberikanku takdir untuk menandai seseorang yang hanya setengah dari umurku. Tapi tubuhmu menerima knot milikku, kurasa kita memang ditakdirkan bersama sejak awal tercipta.” Aku berujar lagi dan meneguk air. Aku tak menelannya, lantas membuka mulut Haechan dengan tanganku dan berbagi air dengan ciuman.

“Kalau kamu masih remaja, aku sudah matang, Haechan. Umurku tiga puluh dan tidak punya waktu untuk bermain cinta monyet. Mungkin aku akan mengenalkanmu pada orang tuaku setelah ini, kuharap kamu tidak keberatan.” Ia mengangguk dan aku tersenyum tipis. Entah apa yang akan diucapkan ibu dan ayah ketika aku membawa seorang lelaki berumur delapan belas yang sudah kutandai. Hal gila yang ternyata aku lakukan.

“Terima kasih, Mark.”

“Sstt, sudah cukup terima kasihnya. Tubuhmu pasti sangat lelah, tidurlah.” Ia mengangguk lugu dan mengambil posisi tidur setelah menarik selimut. Aku tersenyum tipis melihat Omega yang terbaring di ranjangku. Bukan sekadar jalang biasa yang menemani malamku, lalu pulang setelah menelan uang. Ia adalah lelaki yang patut kujaga dengan segenap hidup, yang akan membawakan keturunanku ke bumi, yang akan meniti semesta bersamaku sampai ajal menjemput.

“Semoga kita akan baik-baik saja.”

“Janji ini balapan kamu yang terakhir, ya?” Lelaki manis yang masih menggunakan apron itu berujar lembut sembari menaruh sepiring japchae yang harum betul dengan taburan daging potong. Aku mengangguk serius sembari memegang erat sendok di tanganku, tak sabar ingin melahap masakan kekasihku yang pandai betul ini. Kau harus tahu, masakan Haechan sangat lezat dan dapat bersanding dengan buatan koki di televisi itu. Beruntung sekali diriku yang dapat memuja salah satu malaikat Tuhan di bumi yang porak-poranda ini.

“Selamat makan, sayang.” Aku berucap senang setelah menundukkan kepala, berdoa kepada Tuhan untuk segala anugerah yang dititipkan di kedua tanganku. Terkadang, aku masih merasa tak pantas untuk semua hal baik yang menghujani hidupku yang payah ini. Lalu aku mengenal Haechan Lee, lelaki manis yang lahir bersama bintang-bintang langit, seseorang yang begitu sederhana dan mencintai cokelat lebih daripada mencintaiku (aku enggan mengakui ini). Ia yang menyadarkanku tentang hidup ini, memberiku nilai yang tak kumiliki dari manapun, dan mengajariku pentingnya bersyukur.

“Selamat makan, Mark.” Haechan membalas kalimatku dengan suaranya yang selembut sutra atau mungkin pintalan payung langit yang membiru terang itu. Ia tak pernah lupa menyendokkan lauk ke mangkuk nasiku sebelum mulai makan, hal kecil yang bermetamorfosis menjadi bunga mekar sempurna di hatiku. Hal sederhana yang menjadi satu dari ribuan alasan hatiku jatuh untuknya seorang, tak pernah aku mencintai seseorang sehebat ini sampai-sampai rela mati untuknya. Haechan memiliki setengah hidupku, ialah penyusun puing-puing kehidupanku yang kacau, tangan-tangan mungilnya berhasil menyatukanku setelah badai riuh yang menerpa tanpa ampun, napasnya menyapu seluruh penatku sampai habis, dan bibir penuh itu menurunkan hujan pada ladangku yang kering kerontang.

Makan malam yang teduh itu usai, Haechan kini berkutat dengan piring dan alat makan kotor yang kami gunakan. Aku ingin membantu, tetapi ditolak Haechan begitu saja. Akhirnya aku memilih untuk menjahilinya karena ingin mendengar tawa renyah yang terdengar lebih merdu dari simponi karya Beethoven. “Aku mencintaimu, Haechan.” Aku berujar sembari memeluk tubuhnya dari belakang, lelaki manis itu hanya bergumam menanggapi dan tak minat. Aku lalu menggelitiki pinggang rampingnya sampai lelaki itu tertawa geli, ia menyipratkan air ke mukaku dan menggerutu kesal karena menggangu kerjanya.

“Mark, ih! Berhenti, Mar-” Gerutuan itu terputus begitu saja. Katakan selamat pada bibirku yang berhasil membungkam bibir penuh lelaki manis itu. Aku menciumnya singkat dan Haechan terdiam menerima ciuman ringan itu tanpa banyak menolak. Ah, Haechan tak pernah menolak ciumanku.

“Kalau begitu aku pergi dulu, sayang. Tidak perlu menungguku pulang dan tidurlah sebelum jam sepuluh malam.” Aku berucap, tanganku mengacak surai rambut cokelat milik Haechan. Lelaki manis itu mengerucutkan bibirnya karena akan kutinggal semalaman, balapan ini biasanya menyita malamku, tak jarang aku pulang pukul tiga pagi karena balapan.

Aku bukan pria terbaik tanpa celah yang sering disanjung dalam novel laris, aku pria payah, bekas kekacauan hidup yang serba sulit. Merokok sampai paru-paruku memohon untuk berhenti, minum-minum sampai mampus, hampir mati karena balapan liar, beradu jotos sampai patah tulang, semua pernah kulahap habis sebelum bertemu Haechan.

“Aku janji ini yang terakhir. Setelah ini, malamku hanya dimilikimu seorang.” Aku berujar lagi, lalu bibirku menyambar bibirnya yang mengerucut lucu itu. Aku mencumbu bibir atas dan bawahnya bergantian, menciptakan rasa hangat di hatiku yang dingin ini. Haechan yang menyudahi ciuman kali ini, ia tersenyum manis dan menepuk-nepuk bahuku. Setelah itu aku melangkah keluar, kulihat Haechan menutup pintu apartemen kami dengan senyum manis yang setia bertengger di bibirnya. Aku mengambil lift untuk mencapai basement dan tersenyum tipis saat mataku menenangkap Audi hitam yang akan kuajak berpacu setengah sinting malam ini.


“Aku tak tahu kamu masih sama bajingannya dengan ayahmu.” Kalimat itu yang kudengar pertama kali setelah susah payah membuka kelopak mata yang amat berat ini. Pening kemarin malam masih tersisa, perutku tak nyaman, sial. Aku tak ingat apapun tentang kemarin malam selain menenggak anggur putih yang dibayar Alex, anggur merah, dan beberapa gelas Moscow Mule sampai sedikit mabuk. Kalau aku sedikit mabuk, kenapa aku melupakan banyak kepingan waktu yang terjadi kemarin malam?

“Kau bodoh! Kenapa pula kau menerima minum dari seorang rival? Bukankah sudah pasti ia ingin melakukan sesuatu padamu?” Kalimat Jeno itu membuat otakku berputar sejenak, aku menerima segelas Soave dari Alex setelah memenangi balapan tanpa mencurigai apapun. Dengan mudahnya aku menelan anggur putih itu seperti tidak dicampur dengan zat kimia lain. Aku meringis, memukul dahiku.

“Mungkin Alex memasukkan afrodisiak dengan sedikit bius ringan yang membuatmu lupa dan buram saat kejadian.” Jeno berujar lagi, ia menyodorkanku segelas air untuk menggilas rasa pahit yang tertinggal. Aku menerimanya dan menelan air sampai habis, kepalaku langsung tertunduk. Ini apartemen Jeno, berarti aku tak pulang dan matahari sudah terbit. Jarum pendek menunjukkan angka tujuh, ah, Haechan pasti akan marah padaku sebulan penuh.

“Aku ingin pulang, Haechan pasti menungguku.”

“Gila. Masih berani pulang kau? Setelah semua hal yang berlalu, Haechan pasti sedang mengemasi barang-barangmu untuk ditaruh di depan pintu!” Jeno berteriak, ia merenggut rambutnya frustasi. Aku mendelik tak mengerti dan Jeno tanpa aba-aba meninju ujung bibirku keras. Aku tak pernah menerima tinju seseorang, tetapi saat aku ingin membalas, Jeno menertawaiku.

“Tempurungmu tak ada isinya atau apa, sialan? Kamu mencumbu wanita asing di pangkuanmu kemarin malam, kau hampir mengajaknya ke toilet bersama, beruntung aku meninggalkan dompetku di sofa dan kembali ke klab. Saat itu, aku langsung menarik dan menghajarmu sampai tumbang. Tetapi Alex sudah memiliki semua rekaman yang ia perlukan untuk dikirim ke instagram milik Haechan. Habislah hidupmu, Mark.” Jeno menjelaskan dengan suara tajam yang menahan frustasi. Aku terdiam, tak tahu harus bereaksi apa, amarah berkecamuk di ubun-ubunku, tetapi hatiku meringis menahan tangis.

“Aku harus bertemu Haechan, Jen. Aku tak peduli, akan aku jelaskan semuanya pada Haechan. Ia selalu percaya padaku.” Aku berujar datar dan bangkit dari posisiku, Jeno meringis menanggapi. Pandanganku menjauh, bisa kuterka bagaimana raut muka yang akan dilukis Haechan saat aku mengetuk pintu, mungkin ia akan menamparku dua kali, tetapi aku tak akan bisa melihatnya menangis karena tercabik luka. Haechan tidak bisa menelan pengkhianatan.


Aku melupakan Audi milikku di basement apartemen Jeno begitu saja, terlalu kacau untuk menyetir yang bisa membuatku mencelakai lebih banyak orang. Aku mengambil bus dan berhenti di halte terdekat, berlari ke gedung abu-abu yang ada di seberang jalan. Benakku tak tahu harus berpikir tentang apa dan bagaimana cara aku menjelaskan semuanya pada Haechan. Seperti orang bodoh yang bermodal keberanian sia-sia, aku mencoba mengetuk pintu yang kemarin masih menjadi saksi atas senyum manis Haechan untukku. Andai saja aku menurut untuk tak pergi balapan kemarin, andai aku menolak tawaran minum, andai egoku tak seperti gedung pencakar langit, semua andaian yang tak ada lagi nilainya itu membuatku pusing.

“Haechan, ini Mark. Aku mohon bukakan pintunya,” aku berucap karena lelaki manis itu tak kunjung berbaik hati membukakan pintu. Ia pasti tahu kalau aku yang datang, tetapi ia juga berhak menolakku karena kelakuanku malam itu. Aku meringis, mengusap kasar muka. Aku hanya ingin Haechan mendengarkanku sebentar, sebentar saja. Aku tak bisa kehilangan Haechan, semestaku akan serta-merta runtuh bila pondasi terkuatnya sirna. Hidup dengan separuh jiwa bernilai nol besar. Aku tak bisa.

“Haechan.” Aku meringis ketika melihatnya membukakan pintu. Ia muncul dengan ekspresi dingin, salah satu air muka yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku menghela napas kasar dan masuk dengan tungkai yang lemas. Ia menyuruhku untuk duduk dan lelaki manis itu menyodorkanku sebotol air mineral. Setahuku, Haechan hanya memberikan botol air mineral pada tamu yang tak begitu ia kenal, ia memberikan botol air mineral karena merasa asing dengan kehadiran sesorang. Aku menatapnya tak percaya, walaupun berakhir mengambil botol tersebut.

“Apartemen ini atas namaku dan kita pernah sepakat untuk membagi dua uang sewanya. Ini bulan November, jadi kamu hanya berutang satu kali sewa sebelum angkat kaki di akhir tahun.” Haechan berujar dengan nada datarnya, suara lembutnya yang masih menari-nari di ingatanku musnah.

“Haechan jangan seperti ini, dengarkan aku dulu, sayang.” Aku berujar pelan, berusaha menggengam kedua tangannya dan Haechan menatapku sinis. Aku meringis perih, ini jauh lebih menyakitkan ketimbang dua tamparan atau mematahkan tulang. Dadaku seperti dibebani puluhan karung beras yang membuat sesak. Haechan tidak menarik tangannya ketika aku berhasil menggenggam kedua tangan mungil itu.

“Minumku malam itu dimasukkan perangsang dan sedikit bius, Haechan. Aku bahkan tak ingat apa yang kulakukan kemarin selain minum alkohol. Ini benar-benar di luar kendaliku, Haechan. Kumohon, mengertilah.” Aku bersusah payah merangkai kalimat yang benar ketika berbicara padanya. Aku mencoba menerka hatinya dari manik mata yang tak pernah berbohong itu, kehancuran dan sebuah pengkhianatan besar telah mencabik keindahan obisidiannya. Dan akulah yang berulah, merusak segala seperti biasa.

“Mengerti, Mark? Kau memintaku untuk mengerti sebuah pengkhianatan? Kau tahu kalau aku tak bisa menelan hal itu, Mark! Kamu selalu saja egois! Memangnya kamu tersakiti di sini? Apakah kamu yang merasakan gelisah tak dapat tidur semalaman, lalu terbangun kaget setengah mampus karena pesan berisi video kekasihmu sedang mencumbu wanita? Apa hal gila yang akan kamu lakukan bila berada di atas sepatuku, Mark?” Haechan berteriak, suaranya pecah di akhir dan lelaki itu menangkup mukanya. Aku tahu ia menangis, Haechan jarang menangis dengan suara.

Aku meraih bahunya, tinggi keinginanku untuk membawanya dalam dekapku, tetapi tubuhku merasa hina betul. Terlebih bibir yang pernah berjanji tak akan mencumbu bibir selain Haechan ini, aku melanggar semua janjiku dalam semalam, menelan ludah sendiri. Lidahku kelu, tak mampu berucap.

“Aku menaruh seluruh percaya yang kupunya padamu, Mark. Aku mengiyakan pintamu untuk tinggal bersama, untuk merenggut kali pertamaku, untuk selalu percaya bahwa balapan tak akan merusak kita karena aku yakin kamu tak akan mengkhianati dan berlari dariku. Apakah aku kurang memberimu kebebasan? Apakah aku egois? Aku sangat kecewa, Mark.” Haechan berujar lagi. Kini kedua pipinya dihiasi rantai air mata, hatiku pecah tanpa banyak pinta. Suara di dalam kepala ini menyudutkanku sembari tertawa puas.

“Haechan, aku minta maaf.” Haechan meringis, lalu menyeka air mata di pipinya dengan kasar. Aku masih menatapnya penuh harap, mungkin netraku berkaca, aku tak bisa merasakan apapun. Lelaki itu bangkit dan aku ikut berdiri, tergesa tungkaiku mendekatinya. Lenganku merengkuh tubuhnya, tak peduli lagi bila Haechan menamparku karena bertindak kurang ajar. Air jatuh satu persatu dan berubah jadi hujan deras yang bernaung di bahu sempitnya, sesak sekali.

“Maafkan aku. Jangan menghapusku, aku akan lakukan apapun untuk membenahi kesalahan ini. Aku mohon, sayang.” Aku berujar dengan tersedu-sedu, lenganku semakin erat melilit tubuhnya. Ketakutan terburukku adalah kehilangan penyangga semestaku, tak berarti lagi segalanya di bumi bila Haechan harus musnah dari hidupku yang payah ini.

“Haechan.” Aku berujar lirih karena lelaki manis itu tak kunjung membalas ucapanku.

“Satu, Mark. Ada satu lagi emas yang bisa kau gali di kedalaman tanah pekat dan penuh luka ini.” Haechan berujar parau.

“Aku ingin kamu membuatku mengecap lagi kali pertama kita di segala hal.” Itu pintanya, aku tertegun beberapa detik karena masih tak percaya akan kesempatan kedua yang Haechan suguhkan. Kali pertama di segala hal? Benakku berputar memainkan kaset tentang kali pertama kita bertemu di supermarket, kencan pertama di toko es krim, membelah malam bersama dengan Audi milikku yang dirangkap bersama ciuman pertama kami, beradu cinta pertama yang luar biasa, aku harus membuatnya merasakan semua gelora kali pertama kami.


“Ayo berbelanja bulanan.” Aku berujar setelah keluar dari kamar mandi. Dua hari telah berlalu secepat kilat dan rencanaku telah tersusun matang kali ini. Pertama, aku akan mengajaknya ke supermarket tempat kami bertemu untuk yang pertama kali. Seingatku, kami bertemu di rak mie instan. Maka aku akan membawanya ke rak yang sama dan berkenalan dengan Haechan. Perbincangan kami yang pertama berusaha kuingat betul agar ia bisa kembali merasakan pertemuan pertama yang menjadi benih hidup kami sekarang.

“Mm, ayo.” Haechan memang masih bersungut padaku. Aku saja tak dibolehkan tidur seranjang dengannya, alih-alih tidur bersama, Haechan menyuruhku untuk tidur di kasur lipat yang tak sehangat pelukannya tentu saja. Tak apalah, sebentar lagi aku membenahi badai ini.

Perjalanan ke supermarket itu memakan waktu empat puluh lima menit, cukup lama karena lokasinya lumayan jauh dari apartemen kami. Haechan sudah menggerutu delapan kali di mobil karena aku tidak menepikan mobil di supermarket terdekat. Nampaknya ia belum bisa menebak rencanaku. Aku hanya tertawa kecil menanggapi gerutuannya, barulah ia terdiam ketika mobilku sampai di parkiran supermarket ini. Ia menatapku sekilas, lalu membuang muka ke arah kaca mobil.

Kami masuk dan aku menarik dua troli. Satu untuknya dan satu untukku. Lelaki manis itu menatapku aneh karena biasanya kami hanya memerlukan satu troli saat belanja bulanan. Belum sempat ia bertanya, aku sudah berlari sembari mendorong troli. Haechan yang tertinggal di belakang memanggilku dan mengikuti arahku ke rak mie instan. Syukurlah rak-rak produk di sini tak banyak mengalami perombakkan, aku mendekati jajaran ramen dan Haechan menyusulku di samping.

“Dasar bodoh,” Haechan mengataiku dan mengambil sebungkus ramen dengan merek yang tak begitu populer di pasar. Ramen instan favorit Haechan yang ajaibnya membawa percakapan ringan kami waktu itu. Aku tak pernah menyangka ada orang lain yang menyukai merek ramen itu, hampir semua temanku mengatakan rasanya tak sedap. Tetapi aku dan Haechan menyukainya.

“Kamu suka ramen itu juga?” Aku bertanya, persis dengan kalimatku waktu lalu. Haechan terdiam, ia menatap bungkus ramen di tangannya sebentar, lalu menatapku. Aku tersenyum tipis dan Haechan mengangguk. Akhirnya ia mengerti kalau aku ingin membuatnya mengecap kembali rasa pertemuan pertama kami di supermarket ini.

“Hanya aku yang suka rasa ramen ini di antara teman-temanku, mereka bilang rasa ramen itu tak enak.” Ucapku lagi dan Haechan tertawa kecil.

“Sepertinya kita punya selera yang sama,” Haechan membalas dengan suara pelan, aku tersenyum dan ikut mengambil tiga bungkus ramen yang sama. Persis sekali, seperti waktu ditarik kembali pada hari kami bertemu.

“Hahaha, iya.” Aku tertawa canggung, kugaruk tengkuk yang tak gatal itu dan Haechan tersenyum menanggapi.

“Haechan.” Ia mengulurkan salah satu tangan untuk kujabat, bunga yang sama mekar di hatiku yang dingin ini. Ah, aku rindu hari itu.

“Mark.” Aku membalas seolah kami tak pernah mengenal satu sama lain. Haechan menjabat tanganku, setelah itu ia mendorong bahuku. Lelaki manis itu menggerutu lagi karena rencanaku. Aku tertawa lepas, senang sekali membuatnya menggerutu gemas.

“Sekarang aku mengenalmu, Haechan.” Dan lelaki itu tersipu.


“Katamu es krim cokelat tiada duanya, jadi ini kubelikan gratis.” Ujarku sembari menaruh satu mangkuk kecil berisi es krim cokelat di atas meja. Toko es krim yang sama di siang hari yang berlangit biru terang, angin akhir tahun menerpa dingin, tetapi kami senang-senang saja makan es krim di bulan November. Mungkin ini tak begitu mirip dengan kencan pertama kami di musim panas, tetapi aku dituntut untuk terus menjalankan semua misi agar Haechan memberikanku kesempatan terakhir itu.

“Terima kasih.” Sejak keberhasilan rencanaku di supermarket itu, Haechan tak lagi begitu keras padaku. Walaupun aku masih tidak boleh tidur seranjang dengannya, ia kembali memasakkanku makanan rumah. Senang sekali lidahku bertemu masakan lezat buatan Haechan.

“Apakah aku terlalu canggung?” Aku bertanya, sama persis seperti kalimatku sewaktu mengajaknya berkencan di toko es krim. Aku duduk di depannya, Haechan menatapku sebentar, lalu menyuapkan sesendok es krim ke mulutnya. Lelaki manis itu menggeleng disusuli senyum manis.

“Tidak juga, tapi kamu agak dingin. Itukah alasanmu menyukai es krim?”

“Ah, aku memang dingin. Maaf kalau itu membuatmu tak nyaman. Tetapi aku serius ingin mengenalmu lebih jauh, Haechan. Aku menyukaimu.” Kalimatku begitu frontal memang untuk kencan pertama. Beruntung Haechan meladeni rencanaku dengan lihai, aku senang sekali.

“Aku tahu, aku juga menyukaimu.” Haechan membalasku dengan kalimat yang waktu itu membuatku tak dapat tidur saking berbunga-bunganya. Aku tersenyum dan Haechan tertawa kecil.

“Rencanamu lucu.” Itu pujian Haechan. Wah. Aku ingin menyelami samudera.


Midnight drive?” Haechan berujar bingung ketika aku mengambil arah yang berbeda setelah makan malam di restoran. Aku berencana mengajak Haechan membelah malam dengan Audi milikku. Waktu itu, aku mengajaknya untuk ikut menemaniku di mobil sampai dini menyambut. Haechan mengiyakan pintaku untuk tinggal seapartemen malam itu, aku terlalu senang sampai mengajaknya menghabisi malam dengan makanan cepat saji dan lagu-lagu Troye Sivan.

“Mm, kamu mau apa? Aku ingin drive thru,” aku berkata sembari menyetir. Haechan ingin apa saja karena tak punya pilihan tertentu. Aku akhirnya menepikan mobil ke McDonald's untuk memesan beberapa makanan dan minuman yang akan menemani kami malam ini. Tak baik memang, tapi tak apalah jika jarang. Aku memilih rute yang sama seperti malam itu agar bisa menemukan lampu merah yang menjadi saksi ciuman pertama kami.

“Ciuman pertama, huh?” Haechan berujar ketika mobilku berhenti di lampu merah. Keadaan jalan begitu lenggang karena ini memasuki pukul dua belas malam, sebentar lagi pergantian hari dan salju di luar kian deras. Aku menarik sudut bibirku dan tertawa kecil. Tanpa pikir panjang, tanganku menarik tengkuknya dan menyatukan belah bibir kami. Haechan memang tidak membalas cumbuan bibirku, tak apalah, aku masih punya banyak cara memenangi hatinya kembali.

“Aku mencintaimu, Haechan Lee.” Persis seperti apa yang kukatakan malam itu di bawah bintang.


Aku baru saja keluar dari kamar mandi ketika Haechan menarik tanganku, belum sempat mulut ini berbicara, suaraku langsung dibungkam tangannya yang mendorongku ke kasur. “Haechan?” Aku bertambah bingung ketika lelaki manis itu jatuh ke atas badanku, lengannya memeluk erat tubuhku seperti mencari kehangatan di antara serpihan es yang turun dari langit. Aku menghela napas pelan, kuusap kepala belakangnya lembut. Akhirnya aku kembali pulang dan tak kehilangan definisi rumah.

“Satu lagi yang belum kamu lakukan untuk mendapatkan maafku, Mark.” Haechan berujar dengan senyum manis.

Aku tertawa, rencanaku berhasil, Haechan telah mengecap semua rasa kali pertama kami di segala hal. “Bolehkah?” Aku bertanya pelan dan Haechan mengangguk. Kukecup kelopak matanya lembut, membuahkan senyum yang menampakkan deretan gigi mungilnya. Di ujung malam yang meredakan badai, kuhadirkan gelora yang tak kalah dengan kali pertama kami. Beradu cinta dalam dekap kasih sayang.

“Pft, kau luar biasa.” Begitu katanya. Aku mengecup dahinya yang kini dihiasi peluh, ia meringsut dalam pelukku.

“Atas namaku dan semesta, aku berjanji tak akan mengulangi hal buruk, Haechan. Aku akan setia pada satu cinta yang akarnya telah merambati sekujur tubuhku, yang batangnya begitu kokoh menopang duniaku, yang bunganya mekar beraneka menghiasi hatiku, dan buahnya menghidupi tiap napasku. Itu kamu, Haechan. Tempat aku berpulang dan merekah.” Aku berujar lembut dan Haechan tersenyum. Ia menarikku untuk satu cumbuan ringan. Ah, aku bisa jatuh hati padanya berulang kali.