Mon Chéri
warning: explicit sex scene, public make out, pet name
Sorak para penggemar masih menggema di telinga ketika kami melangkah keluar dari panggung. Tungkai yang sedikit tertatih ini berusaha mencapai ruang tunggu. Pertunjukkan pertama selalu meguras tenaga hingga titik nol, tetapi tak pernah gagal membakar semangat. Semua yang telah kami persiapkan dari jauh-jauh hari telah tersaji sempurna. Reaksi penggemar yang fantastis selalu membuatku ingin berdiri di tengah panggung. Seakan tumpukan luka dan tangis terbayar dengan satu hari konser.
Staf mulai berhamburan menawarkan kami handuk dan sebotol air mineral dingin. Satu dari mereka mengipasiku dengan kipas angin kecil. Ia juga mengucapkan selamat kepadaku untuk malam yang meriah ini. Air dingin yang menjamah kerongkonganku terasa seperti oasis di tengah padang pasir. Suhu tubuh tinggi dan banjir keringat meninggalkan rasa lengket yang tak nyaman. Aku ingin segera mandi, lalu berpakaian tipis.
Ketika aku masih berusaha menyesuaikan diri, satu lengan kekar tanpa aba-aba melingkari bahu. Bau keringatnya yang khas menyeruak ke indra penciuman. “Kamu sangat luar biasa.” Ujaran singkat itu membuatku mendongak ke sumber suara. Pria bersurai kelam yang dibanjiri peluh dan terlihat sangat acak itu menatapku. “Tentu saja.” Balasku dengan nada menyombongkan diri, lalu ia tertawa kecil. Lengannya tak kunjung hempas, ia seolah menuntunku.
“Kakimu tak apa? Jangan sampai cedera.” Ia sepertinya menyadari gaya berjalanku yang sedikit aneh. Aku menggeleng, menghindari pertanyaan yang akan menimbulkan cemas. Sungguh aku tak apa, hanya terkejut karena sudah lama tidak menggelar konser. “Jangan terlalu memaksakan dirimu, masih banyak negara yang akan kita kunjungi.” Pria itu berujar lagi, berisik. Terkadang kecemasan berlebih membuatku terlihat sangat kecil nan lemah.
“Jangan menganggapku angin lalu, cantik.” Spontan sikuku menyikut pinggangnya setelah kalimat itu terlontar. Mark tertawa jahil, sementara staf yang ada di samping berlagak tak dengar. Panggilan konyol yang baru-baru ini sering digunakan olehnya begitu menggelitik. Semarak di hatiku tak terelakkan ketika Mark memujaku dengan kata yang terkesan feminim itu. Cepat-cepat aku menghindar darinya, tetapi pria itu lebih sigap memapah tubuhku.
“Turun! Turunkan aku!” Protes yang keluar dari bibirku kini dianggap angin lalu olehnya. Mark berjalan santai melewati member lain. Alih-alih membantu, mereka yang lebih tua daripadaku justru tertawa dan mendukung aksi Mark. “Get a room, love birds!” Ketua kami bersorak disusuli gelegar tawa yang lain. Pipiku sudah merona sejak Mark memapahku tadi. Hubungan kami memang tidak dirahasiakan dari mereka yang sudah aku anggap keluarga terdekat.
Tungkai Mark ternyata membawa kami ke kamar mandi khusus artis di ujung lorong. Sejauh mata memandang, tak kulihat batang hidung manusia lain di sekitar sini. Sepi, jauh dari suara member yang tak pernah berhenti berceloteh selepas konser. “Bagaimana kamu tahu tempat ini?” Tanyaku kepadanya, kemudian ia hanya mengangkat bahu. Pintu kamar mandi ini sedikit terbuka, memudahkan Mark untuk mendorongnya dengan kaki. Ia akhirnya menurunkanku di dalam.
“Seriously, Mark?” Aku berucap jengkel, lalu berbalik badan untuk keluar. Namun, tangan sang kekasih lebih dulu memutar kunci. Ia mendorong tubuhku ke dinding dengan kasar, ringisan kecil lolos ketika punggungku menabrak keramik toilet. Tangan itu mencengkram leherku untuk satu cumbuan tergesa. Bibirku terpaksa meladeni miliknya yang ingin segera menghadirkan lidah. Aku tak mengerti apa yang merasukinya kali ini.
Satu gigitan di bibir membuatku mendorong dadanya kuat, sungguh terkejut. “Sial, jangan seperti ini, Mark!” Ia menatapku nanar, lalu belah bibir itu semakin turun ke leher hingga cekungan bahu. Kami berjanji untuk tidak meninggalkan jejak di area yang terjangkau kamera, tetapi Mark seperti melupakan janji tersebut. Ia tak ragu menggigit perpotongan leher dan bahuku. “Mark!” Amarahku seperti tak ada efeknya. Justru itu mengundang tindakan kasar, ia menantangku balik dan enggan diperintah.
Ketika selangkangan kami bergesekan, aku tahu betul kalau ia sudah ereksi total dan tidak dapat menahan diri. Kini tangannya melucuti kaus yang tengah kami gunakan. Telapak tangan itu sungguh tak bisa berhenti menggerayangi tiap inci kulit torsoku. “Cukup, tolong.” Aku mendesis ketika bibirnya meraup puting kananku, memainkannya dengan lidah. Kepalaku berputar, seolah mabuk hanya dengan sentuhan sensual sederhana.
“Fuck.” Ia akhirnya bersuara ketika melihat celana dalamku yang basah. Aku bahkan tak sadar ketika ia menurunkan jeans yang tengah kupakai. Telanjang bulat di depannya bukanlah suatu hal baru, bahkan aku yakin Mark lebih mengenal lekuk tubuhku daripada siapapun. Kekasihku itu menarik celana dalam dengan giginya sembari mencengkram panggulku. Detik itu, aku sudah menyerahkan setiap jengkal tubuhku untuk ia habiskan malam ini. Aku tidak pernah berhasil mengelak ketika rongga mulutnya melingkari kelamin.
Tanganku mulai berusaha mencari pegangan ketika pria dominan ini mulai mengulum. Ia kemudian mengarahkan tangan kananku untuk meremat rambut acaknya, sesekali untuk mendorong kepalanya ke depan. “Shit, shit.” Bohong jika aku mengatakan mulutnya tak pandai membuatku kelimpungan. Sedari tadi, aku menggigiti bibir, menghalangi desahan untuk keluar. Sungguh, aku malu sekali karena ini pertama kali kami berbuat tak senonoh di publik. Mark pasti sudah gila ketika membawaku ke kamar mandi ini.
“Let it out, princess. Tell them who you belong to.” Di sela blowjob, Mark menyuruhku untuk tak lagi menahan desah. Kalimatnya menyihir daun telingaku merah. Pria itu tahu betul kalau aku luluh dengan panggilan feminim. Terlepas dari gender, aku senang jika seseorang memuji dengan kata yang tak seharusnya diberikan kepada pria. Terutama pujian dari Mark yang selalu kunanti. Ribuan kupu-kupu seperti terbang mengelilingi perutku saat ia memuja parasku cantik.
Pria itu mendongak ke atas ketika desahanku lepas, mata tajamnya menatapku lamat. Lututku lemas ketika netra itu memantulkan nafsu berkabut pekat, aku adalah mangsa yang terjerat jaring. Telapak tangan Mark mulai meraba perut bagian bawahku yang naik-turun, tanda ejakulasi sangat dekat. Namun, ia tak pernah memberikan apa yang kumau secara instan. “Mark hhh, aku mohon. Sangat dekat, tidak kuat.” Sudut bibirnya tertarik ke atas setelah mendengar rengekanku untuk menyentuh titik putih. Ia menggeleng dan menyuruhku untuk berlutut.
“Lakukan hal yang sama sepertiku tadi.” Pria itu mendorong kepalaku ke depan, menyodorkan penisnya yang sudah tegak sempurna. Ludahku tertelan ketika melihat guratan nadi dan ujung kelaminnya yang mengeluarkan precum. Ukuran sang kekasih tidak pernah gagal membuatku bertanya-tanya, bagaimana hal seperti itu muat di analku? Seharusnya aku robek, bukan? Ia mendorong kepalaku sekali lagi, kemudian aku mulai melingkari ujung kelaminnya.
“Come on, suck it up.” Kesal dengan cara bermain lidahku yang lambat, panggulnya menyentak paksa. Beberapa detik ujung penisnya menyentuh pangkal tenggorokan, sebelum aku terbatuk-batuk. Jujur, aku ingin mati tiap kali kelaminnya melesak dalam karena oksigen yang terputus. Air mataku mulai menetes setelah memaksa tenggorokan untuk menyesuaikan ukuran dengan miliknya yang besar. Sementara jemariku berusaha mengalihkan perhatian dengan memijat testisnya pelan-pelan.
“Berdiri.” Titah tak terbantahkan itu membuatku berhenti. Mark membalikkan tubuhku, lalu menekan punggung agar aku berada di posisi menungging. Mataku terpejam kuat ketika cairan dingin menetes di bibir anal. Lube dalam kemasan ternyata tergeletak di atas westafel, entah siapa yang menyiapkan, kemungkinan besar Mark. Telunjuk pria itu melumuri cairan pelumas dengan rata, tak lupa ketiga jarinya yang akan digunakan untuk menyiapkanku. Mark tidak pernah menyetubuhi tanpa pemanasan.
“Ini akan sedikit sakit, sayang. Gigit atau cakar lenganku sepuasmu.” Ia berujar seraya menyodorkan lengan kirinya di hadapanku. Aku mengangguk, kemudian telunjuknya perlahan memasuki anal. Rasa terbakar akibat benda asing yang masuk itu kembali lagi. Dua minggu kami tak bisa bercinta karena jadwal yang padat dan analku sudah menganggap jemarinya asing. Mungkin ini alasan Mark ingin menyetubuhiku tiap hari, agar tubuhku tidak lupa kelaminnya. “Ah, perih.” Desisku disusul ujaran Mark untuk tidak khawatir.
Telunjuk Mark perlahan bergerak keluar-masuk setelah aku sedikit tenang. Ronggaku belum terbiasa, tetapi tetap aku tahan karena aku tidak ingin berhenti sekarang. Kalau boleh jujur, aku sangat merindukan penis besarnya yang lihai melesak di dalam anal. Cara ia bermain dengan lemah gemulai di awal, lalu diakhiri dengan gerakan membabi buta itu sungguh candu. Terlebih jika ia keluar di dalam, meninggalkan rasa panas dan lengket yang luar biasa nikmat. Aku sudah tidak waras sejak Mark menyentuh tubuh ini dan menjadikannya hak milik.
Saat aku tengah memikirkan hal kotor, Mark menambah satu jari dengan mulus. Ia menggerakkan kedua jari dengan cara menyerupai gunting. “Sakit, sakit!” Proses ini memang hal tersulit untukku. Kedua jemarinya yang memaksa dindingku untuk melebar itu menyiksa, bahkan jumlah cairan pelumas yang banyak tidak bisa mengurangi rasa perihnya. “Sshh, tidak apa-apa, sayang. Sebentar lagi.” Bibirnya mengecupi tengkuk ketika aku mulai mengucurkan air mata.
“Can we do it raw?” Ketika kalimat itu mendarat di gendang telinga, bulu romaku meremang seketika. Entah apa yang mendorongnya untuk bercinta tanpa pengaman malam ini. Namun, hatiku tak sampai hati untuk menolak tawaran sang kekasih. “Aku tak akan tahan lama kalau kamu tidak pakai kondom.” Balasku pelan. Sungguh, euforia yang memborbardir tubuh ketika kejantanannya melesak tanpa balutan pengaman itu luar biasa memabukkan.
“Itu yang aku mau, sayang. I will make you come countless time. Squirt for me, will you?” Tidak waras. Aku tak mengerti iblis dari neraka mana yang merasukinya kali ini. Lagi-lagi aku tak kuasa untuk berucap enggan. Mark yang tidak mendengar kalimat penolakan dariku segera memposisikan kelaminnya di depan anal. Ia mulai masuk perlahan sembari mendekap tubuhku. Mataku terpejam ketika panjang kelaminnya sedikit demi sedikit tertelan liang. “Mark!” Sorakku lolos ketika sang kekasih melesak utuh sekuat tenaga, aku hampir terjatuh.
Kedua tungkaiku seperti kehilangan tenaga, bergetar tak karuan. Kelamin Mark sudah sepenuhnya menjadi bagian dari tubuhku. Setiap inci penisnya terasa begitu hidup, gurat halus, dan ujung yang basah itu seolah mendorongku hingga ujung jurang. “So fucking tight.” Bisikan serak dan pinggulnya yang mulai bergerak membuat benakku kosong. Hal yang kuingat adalah mendesah, lalu menyesuaikan ritme permainan. “Mark, khh, ahh! Mark! Mark!” Bahkan aku tak peduli jika ada yang mendengar desahanku saat digagahi sang kekasih.
Mark adalah pria gigih yang tak mengenal kata kalah. Begitu pula sifatnya di ranjang yang sangat dominan. Gigihnya ia mengobrak-abrik tubuhku tiap bercinta hingga pagi menyelinap. Hanya Mark yang berhak menggariskan selesai dalam permainannya. Sekuat apapun aku merengek untuk berhenti, ia akan menutup telinga. Seperti saat ini, ketika aku memintanya untuk bergerak lebih pelan, ia enggan menghiraukan. Tubuhku mulai tersentak-sentak.
“I miss you, I need you. Wish I could fuck you every night.” Mark berujar lirih di samping telinga, disusuli dengan hentakan pinggul yang hampir membuatku terkapar. Kuku yang mencengkram lengannya kian kuat, membekas cakaran panjang. Gerakan yang semakin tak karuan dan membabi buta itu menunjukkan titik putih. Desah seraknya bertabrakan dengan teriakanku. Acak betul.
“Cum inside please, please.” Rengekan kecil lolos setelah aku menyentuh klimaks dengan sempurna. Sekujur tubuh tremor, pandangan buram, aku jatuh bila Mark tidak segera menahan. “As you wish, my princess.” Kelaminnya yang berkedut hebat itu mulai melukiskan putih di dinding analku. Spermanya dengan cepat memenuhi tiap jengkal tubuh bagian bawah. Hangat sekali. Beberapa kali ia menyentak lembut, berusaha mengeluarkan segala cairan yang ditahannya selama ini.
“Stay still.” Oh, Tuhan. Aku ingin pingsan. Ia mencuri satu ciuman panas dari kedua belah bibir ketika aku susah payah menarik oksigen. Penisnya yang masih berada di dalam perlahan menegang kembali, seirama dengan ciuman kami. Aku tidak berbohong ketika mengatakan Mark adalah pria yang tahan lama. “Spermamu bahkan masih menetes, Mark.” Ia tersenyum tipis setelah melepas cumbuan.
“Aku lebih menikmati anal yang sudah penuh dengan cairanku. Bengkak dan lengket.” Andai saja ada alat yang bisa menyaring kalimat kotornya. Pria jangkung itu lalu membalikkan tubuhku, netranya bagai pemburu yang membuntuti mangsa. Sementara mataku berkaca. “Aku akan menggendongmu kali ini, pegang bahuku erat.” Sial, aku sangat membenci posisi ini.
Mark jelas tahu kalau posisi bercinta yang satu ini merupakan kelemahanku. Kewarasanku hilang seperti diterjang ombak tiap kali penis itu memasukiku dari bawah. “Tidak mau, Mark.” Aku berusaha untuk menolak. “Ayolah, sayang. Kali ini saja.” Sebut aku pria yang tidak memiliki pendirian. Rengekan mendayu itu buatku mati kutu. Kekasihku lalu membisikan terima kasih setelah mengantungi anggukan untuk lanjut.
Mark menggendong tubuhku, kemudian lenganku bertengger di kedua bahunya. Kelaminnya masuk dengan perlahan, jauh lebih mudah dari kali pertama tadi. Desah seraknya menghantui telingaku, dekat sekali. Perutku terasa begitu penuh, sesak, seperti kelaminnya mengacak-acak organ perut. Ujung penisnya mudah betul menggesek titik termanisku dengan posisi ini. Sekarang aku mendesah riuh dengan uraian tangis. “Mmh. Enak, Haechan?”
“Lagi, mau lagi. Mau kasar. Gesek, hhh, gesek yang tadi.” Terpampang jelas alasanku membenci posisi ini. Racauan sudah tak terkendali, nafsu semata. Oh, andai aku bisa mendeskripsikan kenikmatan ini lebih detail. Prostat yang dihujam berulang kali, penis yang melesak dalam-dalam, lengket cairan kelaminnya, kedutan anal yang lecet, semua beradu dengan kasar. “Desperate cry baby.” Pria itu berbisik.
Oh, tentu saja aku putus asa. Bahkan pinggulku memaksa untuk bergerak sendiri, mengejar orgasme. Mark membiarkanku mengambil alih, seringai terlukis di belah ranumnya, mengolok. “Aku tahu kamu sudah dekat.” Kini permainannya berubah, tak lagi membabi buta, melainkan hentakan berjeda. Jadi ia menarik kelaminnya jauh, hampir melepas pagutan, lalu menyentak paksa dalam satu tarikan napas. “One.” Ia mulai berhitung tiap kali menyentak.
“Two.”
“Three.” Pada sentakan ketiga, aku tak kuasa menahan ejakulasi. Aku bersumpah kejantanannya mencumbu jalan buntu, ia menggagahiku hingga ujung terdalam. Pandanganku mulai kabur. Cairan kelamin lalu mengotori perut sang kekasih. Ia meciumku. Memujaku dengan kata yang segera menguap dari ingatan. Kepalaku sudah kacau, aku berada di ambang ketidaksadaran. Namun, Mark masih berhitung.
“Five.” Sentakan kelima adalah titik putih Mark. Spermanya kembali memaksa masuk, walaupun analku sudah penuh dengan ejakulasinya tadi. Penisnya yang berkedut sukses membuat sekujur tubuhku bergidik. “Fuck, baby. You squirted?” Benakku sungguh kosong, tidak mampu memproses apa yang terjadi. Namun, samar aku merasa seperti sedang pipis tanpa aba-aba. Keluar begitu saja disusuli sumpah serapah dari mulut Mark.
“Hh, I know you love it when I pounded you hard.” Mark masih mempertahankan posisi, ujung penisnya mencumbu titik terdalam analku. Lemas sekali.
“Baru ronde kedua dan kamu sudah membasahi sekujur tubuhku, cantik.” Ia akhirnya meletakkan tubuhku di lantai kamar mandi. Bibirnya mengecup dahiku cukup lama. Lalu jemari panjangnya menyusuri poniku, menyelipkan helaian rambut di belakang telinga. “Nanti lagi, ya?” Kali ini aku tak menjawab, terlalu lemah untuk sekadar angkat suara. Mark lagi-lagi sukses membuatku terkapar tanpa daya.
“Mon chéri.” Ia berbisik lembut. Punggung tanganku diciumnya. Ritual kecil yang selalu ia lakukan selepas bercinta. Sebuah tanda terima kasih atas segenap waktu, tubuh, dan hati yang kucurahkan selama kami menjadi satu kesatuan. Juga maaf untuk perilakunya yang kerap kali didominasi nafsu. Butuh waktu lama bagiku untuk menafsirkan tindakan tersebut. Mark dan sejuta rahasia di balik layar.