Masklepond

Angkasa

#Angkasa

“Mau bikin acara segede apa emang, Angga?” Tanya Angkasa lembut kepada Angga.

“Segede stadion gbk nanti harus ada lampu konser nya gamau tau ahahah”

“Oke oke, kita jalanin sama sama ya Ngga? Janji gaboleh ada yang berenti di tengah jalan. Kalo capek emm aku punya pundak buat disenderin. Kamu punya paha yang bisa aku tidurin yakan?”

“Janji! Kalo capek harus bilang okay?”

“Setujuu!”


Di pagi yang sepi dan mendung ini, dibawah langit ada seorang yang sedang menanti kabar tentang kekasihnya, Angkasa.

Sudah dua hari Angkasa tidak pulang dan kabar Angkasa hanya disampaikan Singkat oleh Satya. Sengaja Angga meninggalkan Angkasa, karena Satya dan teman temannya bergantian menengok Angkasa sehingga memberi Angga istirahat sebentar.

Angga menancap gas sekencang mungkin setelah mendapat pesan dari Talisha melalui hp Angkasa.

“Angkasa angkasa angkasa. Kenapa kudu lo sih. Kenapa.” Kata Angga sambil memukul setirnya kesal.

Dia akan menuju ke rumah sakit setelah mengambil beberapa baju untuk Angkasa dan dirinya.


Angkasa terbaring lemas di atas kasur rumah sakit dengan peralatan medis yang menempel di seluruh tubuhnya.

Dia masih bisa berbicara namun terbata bata. Pendarahannya makin memburuk tiap harinya.

“Tal, Angga mana?” Tanya Angkasa.

Talisha menggenggam tangan Angkasa dan mengusapnya halus untuk menenangkan Angkasa.

“Lagi perjalanan kesini.”

“Tal-.”

“Cincin gue? Cincin.” Katanya sambil melirik tangan kirinya.

“Iya cincin nya gue simpen, sekarang lo gaboleh pake apapun. Sa, bertahan ya? Kita lagi cari jalan keluar buat lo.”

“Berapa lama lagi?”

“As soon as possible.”

Disela sela perbincangan itu, seorang Angga mendorong paksa pintu kamar rumah sakit. Dan menemukan Angkasa dalam keadaan yang sangat buruk.

“Kak talisha! Angkasa kenapa kak? Kak angkasa kenapa kak. Kak talisha jawab dong hei.” Kata Angga panik

“Talisha Shaquita! Jawab gue. Kak.”

Talisha hanya diam dan memegang pundak Angga yang berlutut lemas sambil memegang selimut biru yang di pakai Angkasa.

“Ngga, elektrokardiogram nya masih normal, everything will be okay.”

“Gak. Ini not okay. Lo katanya bisa bantu Angkasa bisa membaik, apa buktinya? Gaada kan dia malah jadi lebih buruk.”

Mendengar ucapan itu, Talisha selaku dokter Angkasa selama ini merasa sangat sakit hati. Dia sudah berusaha sekeras mungkin.

“Gue tinggal dulu Ngga, ngomong berdua sama Angkasa. Dua hari kalian ga ketemu. Angkasa selalu nyariin lo, Ngga. Bahkan dia lebih khawatir sama lo daripada diri nya sendiri.”

“Oh iya Ngga, gue selama jadi dokter gapernah bisa ngira apa yang bakal kejadian selanjutnya. Kita cuma bantu sebisanya, soal yang lain kita berserah sama yang di atas.” Jelas Talisha.

“Kak maafin gue.”

“Gapapa.”

Sekarang hanya ada Angga dan Angkasa berdua di ruangan yang sepi dan hanya ada bunyi elektrokardiogram yang terletak di sebelah Angkasa.

“Angkasa..aku dateng.” Kata Angga menggenggam tangan Angkasa dan mendekatkan di wajahnya.

“Uh? Angga?”

“Angkasa.”

Angga menangis dan air mata nya menetes di tangan Angkasa. Lalu dia berdiri dan memeluk Angkasa.

“Ini hari apa?” Tanya Angkasa “Berapa hari lagi?”

“Harusnya hari ini kak.”

Angkasa menghela nafas nya dan menatap langit langit kamar berwarna putih disana.

Kosong, seperti hatinya sekarang yang melihat orang yang dia cinta menangis lagi.

“Maafin aku, Ngga. Gara gara lelaki brengsek ini semuanya jadi gagal. Hidup mu jadi ga karuan.” Lagi lagi Angkasa menyalahkan diri nya.

“Engga. Kakak ga brengsek. Ga brengsek sama sekali, kalo brengsek dulu aku gamau balik. Buktinya bisa sampe sejauh ini kan kita.”

“Seminggu lalu. Aku udah janji buat ngadain acara segede gbk. Tapi malah sekarang aku ga bisa wujud in.”

Angga semakin menangis mengingat percakapa paling bahagia saat itu. Kenangan tersebut harusnya terjejak bahagia, tapi sekarang mengingatnya hanya membuat hati sakit.

“Kak udah gausah dibahas.”

“Iya maaf.” “Angga.”

“Iya kak?”

“Sakit.”

“Mana nya kak yang sakit? Dimana?” Tanya Angga khawatir.

“Ahahah, liat kamu itu khawatir banget sama aku ya?”

“Kak berapa kali sih kamu tanya kaya gitu, ya pasti lah.”

“Waktu itu ahaha penerimaan siswa baru, kamu masih polos polos nya jadi orang. Padahal mah ga polos ya ahaha.” Angkasa memulai narasi dengan pelan sambil menatap lagit langit kamar.

“Gatau kapan aku jatuh hati sama kamu, oh. Roti karamel, roti karamel yang kamu kasih enak banget. Tapi sayang nya setelah beberapa saat aku sadar kalo itu buatan Brama.” Angga meneteskan air matanya perlahan sambil mendengarkan Angkasa bercerita.

“Aku cuek banget ga sih? Gamau banget sama yang namanya Angga, tapi eh sekarang malah aku yang terlalu sayang.”

“Angga, maafin aku ya? Udah bikin kamu sejatuh cinta itu sama aku. Seharus nya kamu gaboleh sejatuh itu, sakitnya entar kelebihan ahah.”

“Kak jangan bilang gitu deh, aku ga disuruh pun sayang banget sama kak Kasa.” “Kak, sembuh ya?” Kata Angga terisak.

“Iya. Janji! Btw, how was your day, dek? Mau cerita sesuatu ga? Aku dengerin sampe ketiduran ya?”

“Gaada apa apa hari ini, kemarin aku tidur di kamar kakak di temenin mama soalnya aku nangis terus semaleman kangen sama kak Angkasa.” Angkasa terkekeh.

“Dasar, jangan diambil itu mama Angkasa, tapi abis ini juga jadi mama Angga.”

Angga tertawa kecil melihat kelakuan tunangannya itu. Sesekali dia melihat Angkasa. Dia masih terlihat tampan walaupun tertutup alat medis.

Dia sangat takut jika hari ini terjadi apa apa dengan Angkasa, jadi dia menggenggam tangannya erat.

“Lanjutin.”

“Terus sekitar jam 3 aku bangun keluar kamar mandi sempet keseleo di tangga karna liat penampakan. Eh ternyata itu papa lagi lembur di meja makan. Apes deh aku ahaha.”

“Hh.” Angkasa terkekeh.

“Terus papa bukannya bilang aku kenapa malah tanyain tangga nya rusak apa engga, emang selera humornya kak Angkasa sama papa itu beda tipis ahaha.”

“Tadi pagi yang paling menengangkan waktu kak Talisha ngechat aku pake hp nya-”

Tiiiiittttttt

Angga terkejut saat alat elektrokardiograf disamping Angkasa menunjukkan garis lurus dan berbunyi kencang.

Angga panik bukan main. Lalu dia berlari keluar dan berteriak “Talisha! Dew! Gue butuh kalian gue butuh! Talishaa!”

Setelah menemukan Talisha dan Dew, mereka segera berlari ke ruang melati dimana Angkasa berada.

“Ekg nya bunyi terus garisnya jadi lurus. Kak please gue takut, bilang kalo alatnya rusak.”

“Dew ambilin Kejut jantung!!” Perintah Talisha yang langsung di respon Dew.

Angga terduduk menangis di pojok ruangan dan ketakutan, dia takut semua yang dia pikirkan selama ini akan terjadi.

“1 2 3!” Talisha berusaha sangat keras sekarang.

“Angga, keluar dulu ya? Pak mahen sama bu Alena di depan.” Kata Dew yang di balas anggukan Angga.

“Papa! Mama! Angkasa.” Kata Angga yang lalu duduk di sebelah mereka sambil menangis.

“Gapapa Angga gapapa, Talisha lagi berusaha kita harus percaya ya?”

Kata Alena sambil memeluk Angga dan mengusap punggungnya.

Setelah menunggu beberapa saat, paramedis yang membantu Angkasa keluar dari ruangan termasuk Dew dan Talisha.

Talisha, dia menangis. Dew, dia mencoba menenangkan Talisha. Wajah Dew juga sangat pucat dan terlihat penuh kesedihan

“Kak Talisha. Ngomong. Gimana Angkasa?” Tanya Angga yang hanya di beri gelengan oleh Talisha.

“Kak Dew, kak Dew jawab kak. Kak!” Angga menggoyang goyangkan tubuh Dew dan hanya di balas gelengan juga.

Angga masuk paksa kedalam ruangan dan menemukan perawat yang menutup Angkasa dengan kain putih.

“Bu ini mimpi kan? Ini bukan Angkasa kan? Angkasa di pindahin ya? Dimana dipindahinnya?”

“Maaf mas, itu mas Angkasa.”

“Enggak engga enggak! Dia janji buat sembuh dia janji. Mah! Pah! Bilang sama Angga kalo Angkasa masih hidup. Bilang kalo ini mimpi.”

Angga membuka kain tersebut dan melihat wajah Angkasa yang pucat. Alena dan Mahen hanya menangis dari balik pintu dan tidak berani masuk.

“Kak? Ketiduran kan?” “Kak aku belum selesai cerita, kak?”

Angkasa diam. Tidak ada suara apapun selain detik jam di ruangan itu.

“Kak. Udah ga sakit ya?” Tanya Angga sambil terisak.

“Tidur yang tenang ya? Angga disini.”

Semesta nya hancur, segalanya hancur. Orang satu satunya yang dia sayangi dan cintai sudah berpulang ke rumah yang lebih indah.

Angga menatap cincin tunangan yang masih terpaut di jari manis tangan kirinya. Dia semakin sakit. Bagaimanapun di dunia ini tidak ada yang abadi.

Sebenarnya Angga sudah sangat siap jika harus kehilangan Angkasa sewaktu waktu. Begitupun Angkasa. Tapi ternyata, Angga yang harus merasakannya duluan.

Istirahat yang tenang, Angkasa. Langit sudah menunggu kehadiranmu, dibawah sini seseorang akan terus memandangmu lewat bintang.

xxpastelline