Pagi ini seorang yang berbadan tinggi sedang menyapu halaman rumah yang tidak terlalu besar. Sabima, mahasiswa psikolog semester 4 yang tinggal merantau di desa kecil dekat kampus tempat dia belajar. Hari ini tidak ada jadwal kuliah yang harus dia ambil, jadi dia memilih untuk membersihkan rumah dan bersantai ria.
Sebenarnya ada janji dengan temannya, Argantara. Arga mengidap Panic Attack jadi dia meminta Bima untuk mendengarkan keluh kesahnya sambil Bima melakukan penelitian untuk skripsinya nanti. Karena hal ini Bima pun sangat dekat dengan Arga. Kemanapun dan kapan pun Bima pasti selalu bersama Arga.
”Bima, jangan kesana. Banyak orang gasuka.” ”Gapapa Arga, cuma lewat doang gapapa ayo ya? Ada gue disini, sini gue gandeng. Gausah takut ya.”
Bagaimana bisa Arga tidak jatuh cinta pada Bima? Bima adalah orang yang paling mengerti dirinya, selalu menjaganya dan selalu ada. Bima selalu bicara halus dengan Arga, apapun keadaannya.
Memang terlihat aneh jika dua manusia raksasa ini jalan berdua sambil bergandengan tangan. Tapi itu bukan masalah bagi Bima, selama itu bisa membuat Arga tenang Bima dengan senang hati melakukannya. Bahkan tidak sering mereka berpelukan, untuk menenangkan Arga.
Tapi Arga memilih untuk diam atas perasaannya. Dia takut Bima tidak mempunyai rasa yang sama.
“Ga, jadi ketemu ga? Kalo iya gue siap siap nih.” Tanya Bima lewat telepon
“Bentar Bim, di depan rumah rame banget.”
“Yaudah gue aja yang ke rumah lo ya.”
“Yaudah deh, maaf ngerepotin ya bim.”
Bima menuju ke rumah Arga dengan motor benelli nya, berpakaian santai namun rapi. Style Bima yang seperti ini seringkali membuat Arga kewalahan menerima pompa darah ke pipinya hingga membuatnya merah. Bima sangat tampan, Arga suka.
Tin tin~~
“Arga! Argaa!” Panggil bima dari depan rumah Arga, di depan rumah Arga memang sedang ramai sekali, banyak bapak bapak dan ibu ibu yang berkumpul entah kenapa. Jika dilihat mereka akan mengadakan suatu pernikahan, karena ada terop di depan rumah.
“Bim ayo pergi cepet, ke rumah lo aja. Cepetan”
“Tapi lo kan tau rumah gue di..”
“Gapapa cepetan.”
Bima menancap gas nya menuju ke rumahnya, jalanan ramai pagi menuju siang ini. Arga yang duduk dibelakang hanya bisa bersalting ria karena mencium parfum favoritnya keluar dari badan Bima, melihat ke arah spion motor menatap wajah Bima yang tertutup helm full face tanpa kaca bisa membuatnya setengah gila.
Kenapa hari ini lo ganteng banget, Bim? Hati gue udah gatahan. Apa iya gue harus confess sekarang? Kata Arga dalam hati.
Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Arga mengingin kan Bima sepenuhnya, ingin menjadi bagian dari semua detik kehidupan Bima, menjadi yang pertama Bima lihat saat pagi hari, menjadi tempat bersandar saat Bima membutuhkan. Bagaimanapun Bima adalah manusia yang terlihat kuat namun sebenarnya lemah juga, alasan Bima mengambil Psikologi ya tidak lain untuk menyembuhkan dirinya sendiri dari kenangan lama.
Arga akan sangat sedih jika Bima tiba tiba punya pacar atau menghilang entah kemana. Tidak akan bisa dia bayangkan jika Bima tidak ada di sekitarnya. Seperti yang dikatakan di awal, hanya Bima yang mengerti Arga.
“Dah Arga butuh apa? Gue ambilin?”
“Butuh lo aja udah cukup Bim, as always”
Bima terkekeh sambil mengusap kepala Arga, Arga hanya bisa berpasrah jika Bima melakukan hal hal seperti ini, dia tidak mungkin menolak kan?
“Bim.”
“Hm?” Bima berdeham sambil mengaduk teh untuk Arga.
“Gue mau konsul.”
“Duh Arga lo kaya sama siapa aja sih, tinggal ngomong gue dengerin.”
Arga pun menceritakan segala keluh kesahnya pada Bima dari ketakutannya kalau akan berangkat ke kampus bertemu banyak orang dan dosen, hingga ketakutannya saat keluarga nya menghubungi. Arga hendak meneteskan air mata kenapa dirinya begini, tapi sudah di bendung karena Bima merangkul Arga di sebelahnya.
“Arga, everything will be okay ya. Ada lagi yang mau diceritain? Gue siap dengerin.”
“Ada Bim tapi gue gamau cerita sekarang,”
“Okay gapapa. Gue bakal siap setiap saat kok, Ga.” “Oh iya Ga, gue ada berita juga.”
“Kenapa Bim?”
“Ternyata bokap gue udah dapet cewe buat gue nikahin bulan depan, Ga.”
“H-hah?” “Selamat.” Arga menahan tangis nya mendengar berita Bima barusan, kalau saja dia hari ini jadi menyatakan perasaan mungkin akan berlipat ganda rasa sakitnya. Memang paling benar untuk tidak jatuh cinta dengan sahabat.
“Terus lo kan masih kuliah, apa iya beneran lo nikah?” Tanya Arga.
“Iya, gue bisa sambil kerja.”
“Congrats ya bro.”
“Yoi makasih Ga.”
. .. …
Sesampainya dirumah Arga hanya bisa menangis di atas kasurnya. Dia dihancurkan oleh segala ekspetasi di kepalanya, dia kira atas semua yang Bima lakukan, Bima juga tertarik kepada Arga tapi ternyata tidak.
Dia memikirkan hari hari kedepannya tanpa Bima, apakah dia bisa melewatinnya? Tanpa Bima semenit saja seperti satu hari untuknya. Semesta yang bahkan belum sempat dia pijak sekarang sudah menghilang.
Dia terlalu bergantung pada Bima hingga lupa jika sewaktu waktu bisa saja Bima meninggalkannya.
xxpastelline