Masklepond

Rumah

#Rumah.

Waktu menunjukkan jam sembilan malam, ini belum terlalu larut tapi Jay dan Thana sudah terlelap seperti yang dikatakan Beam tadi.

Pond sedang dalam perjalanan ke rumah baru nya. Hujan yang turun malam itu seolah menyambut kedatangan Pond di kota Semarang.

Semarang, akan jadi kota paling dia ingat seumur hidup. Kota dimana dia akan bertemu dengan sesuatu yang tidak asing baginya. Sebenarnya bukan sesuatu tapi “Seseorang”

Sampailah Pond di rumah yang lumayan besar dan terletak di pojok jalan gang yang rimbun.

tok tok tok “Beam?”

“Kak pond!”

“Hai. Mana ramennya?

“Itu didalem, masuk yuk.”


Mereka sedang sarapan bersama di meja makan pagi ini, terlihat Jay sudah mengenakan jasnya dan Thana sudah mengenakan baju coklat pns nya.

“Pa..” Kata Pond memulai pembicaraan. “Aku masuk fk. Snm kemarin.”

“Good job. Then belajar yang bener “Papa mama berangkat dulu. Beam, sayang belum masuk sekolah dulu ya.”

“Iya pa hati hati.”

“Pond, registrasi dan lain lain entar temen papa aja yang urus, biar kamu terima jadi aja.”

“Gausah pa, aku bisa sendiri.”

“Yakin bisa? Entar ga becus lagi.”

“Yaudah terserah.”

Jay dan Thana meninggalkan kedua anaknya di meja makan. Seperti pagi pagi sebelumnya, Pond selalu mendapat serangan seperti ini.

Kata kata yang kurang enak keluar dari mulut orang tuanya. Tapi tidak apa apa, dia sudah terbiasa.

“Kak?” Kata Beam menepuk pundak Pond yang sedang melamun.

“Eh?” “Paan Beam?”

“Abis makan gue ajak kenalan sama tetangga sebelah yuk?”

“Oh iya iya.”

Setelah makan pagi selesai, seperti yang dikatakan Beam, mereka akan berkenalan dengan orang sebelah rumahnya yang belum bertemu Pond.

Di depan rumah sudah terlihat Arm dan Alice sedang berkebun. Pond dan Alice segera menghampirinya.

“Pagi om, tante.”

“Eh pagi Beam. Siapa nih? Kemaren om belum ketemu ya? Pacarnya Beam?” Kata Arm sambil melepas sarung tangan yang dia kenakan untuk memotong dahan.

“Eh bukan om, ini kakak Beam. Pond namanya, baru datang tadi malam.”

“Oh gitu, ganteng ya kakak nya hahah.” Jawab Alice. “Neo! Phuwin! Keluar bentar sayang, kenalan sama anaknya pak Jay.”

“Bukannya udah? Beam?”

“Adalagi satunya baru sampe semalem.”

“Oh halo, Neo. Kamu?” Kata Neo menyulurkan tangannya.

“Pond.” Jawab Pond sambil menyaut tangan Neo.

Phuwin yang berdiri di depan pintu menatap Pond sangat lama, tidak sengaja bertatapan. Pond yang melihat Phuwin tiba tiba terdiam kaku. Entah apa.

“Ini Phuwin, Phuwin ini kak Pond. Pond semoga kita bisa jadi temen main ya ahaha. Di komplek ini yang punya anak belum kerja cuma ayah sama pak Jay doang.”

“Iya iya.” Balas Pond tersenyum.

“Tukeran nomer telpon yu? Kemarin udah tukeran sama Beam.”

“Boleh boleh, btw lo kuliah?”

“Iya kuliah udah semester 2, kalo Phuwin dia masih kelas 11.”

Selagi keduanya berbincang Beam dan Phuwin mengobrol.

“Eh kamu, ayo main ps sama aku.” Panggil Phuwin kepada Beam.

“Kak, gue main ps sama Phuwin dulu ya. Ga lama. Kakak ngobrol aja dulu sama kak Neo.”

“Heem” “Btw, kuliah di mana kak?”

“Undip.”

“Eh sama dong? Gue baru masuk Undip kemaren. Kak boleh minta bantuan ga?”

“Wah mantep tuh, selamat ya. Boleh boleh apa tuh?”

“Bantuin gue registrasi ulang dong ahaha.”

“Boleh banget Pond, kabarin aja ya.”

“Kak boleh tanya sesuatu lagi?”

“Kenapa tuh?”

“Maaf lancang dan sotoy, tapi adek lo punya short term memory ya?”

“Kok bisa tau?”

“Perawakannya persis kaya orang yang gue kenal, dia sama sama punya short term memory.”

xxpastelline

#Rumah Sakit.

Semua yang terjadi hari ini, biarlah terjadi. Selama bersama mu, aku pasti bisa.

Angkasa sudah berbaring diatas ranjang ruang Melati dengan infus ditangannya.

“Talisha, Angga mana?” Tanya Angkasa lemas. “Gue berharap dia di deket gue sekarang. Sejak gue berangkat kesini tadi pagi, dia udah gaada di rumah.”

Angkasa menghela nafasnya berat. Sekarang dia hanya butuh Angga untuk penyemangat.

Tak lama setelahnya, Satya dan teman temannya datang. Senyum Angkasa mulai terlihat walaupun pucat.

“Angkasa! Selamat okay? Lo udah bisa reparasi badan lo ahaha.” Canda Satya yang setelahnya di pelototi suaminya, Brama.

“Gapapa kali Bram, dia ga salah juga ahaha. Iya iya thankyou.” “Eh iya, kalian gabareng Angga?”

“Haduh haduh, ini yang dicariin Angga mulu padahal yang udah lama ga ketemu mah kita kita ya.”

“Maaf maaf, gue butuh serotonin booster gue.”

“Bahasa lo bang serotonin booster serotonin booster kek apaan aja.” Sahut Ravi.

Satya lalu mendudukkan dirinya di sebelah ranjang Angkasa.

“Sa, gue tau lo kuat. Lo pasti bisa okay? Jadi kapan mau ngelamar Angga?” Bisik Satya.

“Heh ngada ngada ni orang, jangan keburu disuruh nikah dong.” Sahut Sita

“Mbak tenang, kalopun Angkasa ngajakin sekarang aku juga gabakal setuju.” Kata Angga yang tiba tiba masuk.

“Kaya nya kita harus bubar dulu deh, gue tunggu di luar ya? Kalian ngomong dulu.”

Satya dan kawannya keluar ruangan itu dengan bergantian. Memberi ruang dan waktu untuk Angkasa dan Angga berbicara.

“Darimana?”

“Jalan jalan.”

Suasananya sekarang menjadi canggung.

“Aku. Ga makan dari pagi.”

“Kan emang harus puasa kak.”

Angga menghela nafas. Hampir menangis tidak percaya harus melihat Angkasa terbaring lagi disini.

“Angga, kalo misal aku ga bangun setelah nya kamu bakal gimana?”

“Gak, kakak harus bangun. Apasih kemaren udah tanya mau nikah apa engga. Harus diwujud in, aku gasuka di gantungin.”

“Hmm takut banget ya kehilangan?”

“Kok tanya sih. Yaiya lah.”


“Angga sama temen temen tunggu disini ya? Gue sebisa mungkin bantu Angkasa. Kalian bantu doa ya?”

“Kak Talisha, gue percaya sama lo. Lo bisa pastiin Angkasa sehat kan?”

“Bisa, tapi gue ga janji.”

“Semangat Tal, gue titip Angkasa.”

Beberapa jam berlalu, Angga sudah duduk tersungkur di depan ruang operasi menunggu kabar.

Mahen dan Alena tiba terlambat karena datang dari luar kota. Mereka melihat Angga yang duduk tak berdaya membuat mereka sedikit berlari kearahnya.

“Angga, sini nak ada mama. Kamu harus percaya dokter didalem ya?” Kata Alen sambil menarik Angga kedalam pelukannya.

“Ma, Angga takut Angkasa gabisa liat Angga lagi.”

“Angga, Angkasa itu di bius. Pasti tidur lagi mimpi kali di dalem. Pasti bisa bangun, itu cuma bius.”

Angga menangis pelan di depan Mahen dan Alena, juga teman temannya.

Satya terlihat paling gugup. Tapi firasatnya baik kali ini. Dia beranjak dari duduknya dan menghampiri Angga.

“Ngga, sabar. Mereka lagi berjuang sebisanya.”

“Gue benci rumah sakit. Setiap gue kesini, gue inget bunda.”

“Hei ngga. Liat gue. Liat gue.” “Angkasa cuma di bius, persis sama kaya yang dibilang bokapnya Angkasa. Dibius bakal bangun Ngga. Jangan Overthinking.”

xxpastelline

#Rumah Sakit.

Semua yang terjadi hari ini, biarlah terjadi. Selama bersama mu, aku pasti bisa.

Angkasa sudah berbaring diatas ranjang ruang Melati dengan infus ditangannya.

“Talisha, Angga mana?” Tanya Angkasa lemas. “Gue berharap dia di deket gue sekarang. Sejak gue berangkat kesini tadi pagi, dia udah gaada di rumah.”

Angkasa menghela nafasnya berat. Sekarang dia hanya butuh Angga untuk penyemangat.

Tak lama setelahnya, Satya dan teman temannya datang. Senyum Angkasa mulai terlihat walaupun pucat.

“Angkasa! Selamat okay? Lo udah bisa reparasi badan lo ahaha.” Canda Satya yang setelahnya di pelototi suaminya, Brama.

“Gapapa kali Bram, dia ga salah juga ahaha. Iya iya thankyou.” “Eh iya, kalian gabareng Angga?”

“Haduh haduh, ini yang dicariin Angga mulu padahal yang udah lama ga ketemu mah kita kita ya.”

“Maaf maaf, gue butuh serotonin booster gue.”

“Bahasa lo bang serotonin booster serotonin booster kek apaan aja.” Sahut Ravi.

Satya lalu mendudukkan dirinya di sebelah ranjang Angkasa.

“Sa, gue tau lo kuat. Lo pasti bisa okay? Jadi kapan mau ngelamar Angga?” Bisik Satya.

“Heh ngada ngada ni orang, jangan keburu disuruh nikah dong.” Sahut Sita

“Mbak tenang, kalopun Angkasa ngajakin sekarang aku juga gabakal setuju.” Kata Angga yang tiba tiba masuk.

“Kaya nya kita harus bubar dulu deh, gue tunggu di luar ya? Kalian ngomong dulu.”

Satya dan kawannya keluar ruangan itu dengan bergantian. Memberi ruang dan waktu untuk Angkasa dan Angga berbicara.

“Darimana?”

“Jalan jalan.”

Suasananya sekarang menjadi canggung.

“Aku. Ga makan dari pagi.”

“Kan emang harus puasa kak.”

Angga menghela nafas. Hampir menangis tidak percaya harus melihat Angkasa terbaring lagi disini.

“Angga, kalo misal aku ga bangun setelah nya kamu bakal gimana?”

“Gak, kakak harus bangun. Apasih kemaren udah tanya mau nikah apa engga. Harus diwujud in, aku gasuka di gantungin.”

“Hmm takut banget ya kehilangan?”

“Kok tanya sih. Yaiya lah.”


“Angga sama temen temen tunggu disini ya? Gue sebisa mungkin bantu Angkasa. Kalian bantu doa ya?”

“Kak Talisha, gue percaya sama lo. Lo bisa pastiin Angkasa sehat kan?”

“Bisa, tapi gue ga janji.”

“Semangat Tal, gue titip Angkasa.”

Beberapa jam berlalu, Angga sudah duduk tersungkur di depan ruang operasi menunggu kabar.

Mahen dan Alena tiba terlambat karena datang dari luar kota. Mereka melihat Angga yang duduk tak berdaya membuat mereka sedikit berlari kearahnya.

“Angga, sini nak ada mama. Kamu harus percaya dokter didalem ya?” Kata Alen sambil menarik Angga kedalam pelukannya.

“Ma, Angga takut Angkasa gabisa liat Angga lagi.”

“Angga, Angkasa itu di bius. Pasti tidur lagi mimpi kali di dalem. Pasti bisa bangun, itu cuma bius.”

Angga menangis pelan di depan Mahen dan Alena, juga teman temannya.

Satya terlihat paling gugup. Tapi firasatnya baik kali ini. Dia beranjak dari duduknya dan menghampiri Angga.

“Ngga, sabar. Mereka lagi berjuang sebisanya.”

“Gue benci rumah sakit. Setiap gue kesini, gue inget bunda.”

“Hei ngga. Liat gue. Liat gue.” “Angkasa cuma di bius, persis sama kaya yang dibilang bokapnya Angkasa. Dibius bakal bangun Ngga. Jangan Overthinking.”

xxpastelline

#Rumah.

Angga sudah berada di depan rumah Angkasa tanpa sepengetahuan Angkasa. Angga sudah mengemas pakaiannya untuk seminggu kedepan.

“Halo Kak Angkasa? Aku di depan cepet turun.” Kata Angga lewat telepon

“Beneran? Bentar bentar aduh.”


Angkasa segera turun dengan sangat bersemangat karena akan bertemu dengan pacarnya itu.

jeduak Suara pintu yang ditarik Angkasa dengan tidak sabaran, langsung memeluk Angga yang berdiri di depan pintunya.

“Kak aduh jangan erat erat, udah disini juga. Seminggu kedepan bisa meluk ampe sesek napas.”

“Beneran seminggu disini ngga? Gausa boong.”

“Liat tuh aku bawa koper. Yakali mau semalem doang. Itung itung jagain kak Kasa selama papa sama mama gaada.” . .. ... Angkasa sedang memperhatikan Angga di ruang keluarga, Angga sedang sibuk dengan series nya di tv.

“Kak apaan sih liat liat mulu?”

“Kamu, ganteng.” Angga terlihat salah tingkah dan berdiri lalu berjalan ke arah dapur. “Mau kemana hei?”

“Ambil minum, laper.”

“Dimana mana orang minum itu lagi haus, kalo laper itu makan. Jangan jauh jauh gini dong, udah ada kesempatan kaya gini harus di pake baik baik.”

“Kamu nih kak, kesempatan kesempatan apaan. Aku kesini pure mau jagain kamu.”

Angkasa beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Angga yang sedang meneguk air di dapur.

“Beneran?” Suara berat Angkasa tepat di belakang Angga yang bisa membuat Angga merinding.

“Uhuk. Iya lah apa lagi?”

“Sapa tau. Ehem.” Kata Angkasa sambil memeluk Angga dari belakang. “Angkasa takut kehilangan Angga lagi. Jangan kemana mana ya? Sama Kasa terus, walaupun Angkasa brengsek, jangan pergi ya?” Sambung Angkasa yang sekarang kepalanya di pundak Angga.

“Mana ada mau ninggalin kakak, aku disini. Kakak yang gaboleh ninggalin Angga. Udah minum obat?”

“Belum, ambilin sayang” Lagi lagi Angkasa menggoda Angga dengan suara beratnya.

“Hus hus sana duduk, aku ambil dulu.”

Angkasa hanya tertawa cekikian karena berhasil menggoda Angga tadi.

“Nih minum terus tidur. Gausah ngeyel.”

“Tidur sama aku ya?”

“Gak. Aku tidur di kamar tamu.”

“Tapi kan aku maunya sama kamu. Gamau minum obat nih.” Kata Angkasa sambil memeluk pinggang Angga yang sedang berdiri.

“Kamu tuh udah gede kak gausa kaya gini, yaudah oke. Sekarang minum obatnya ya?” Kata Angga sambil mengusap kepala Angkasa.


Mereka berdua sekarang ada di atas kasur Angkasa dengan posisi Angga tidur di lengan Angkasa yang setengah duduk.

“Kak ayo tidur, ga capek apa posisi nya gitu mulu?”

“Kalo itu kamu, engga.”

“Kak.” Panggil Angga lirih. “Tiduran disini, ngadep ke aku.”

Angga menatap Angkasa lama sekali, mengusap pipinya lembut. Dia hampir menangis karena mengingat yang dialami Angkasa selama ini.

“Heh ngapain nangis?” Tanya Angkasa khawatir.

“Kak, sakit ya?”

“Engga, karna kamu disini. Ga sakit sama sekali.” “Udahan yuk nangisnya ya?” Kata Angkasa lalu mendekap Angga kedalam pelukannya.

“Dulu, semester akhir.”

Angkasa fokus mendengarkan Angga sekarang.

“Iya kenapa? Lanjutin.”

“Bunda sakit ginjal kaya kak Kasa. Tapi bedanya, punya bunda masih berfungsi satu. Akhirnya bunda hidup pake satu ginjal doang.”

“Angga-”

“Bunda itu wanita hebat. Walaupun emang jarang di rumah sama kaya ayah, bunda bisa dan pernah ngasih beberapa waktu luang buat Angga.” Sudah terdengar suara Angga yang tidak jelas pertanda dia menangis.

Angkasa berusaha menenangkan Angga dengan mengusap kepalanya.

“Kalo ga kuat buat cerita, jangan di lanjutin.”

“Hidup pake satu ginjal itu gaenak. Aku bisa tau karna bunda ngalamin. Aku yang nganter bunda bolak balik cuci darah. Ayah? Ayah sibuk. Gapunya waktu buat keluarga.”

“Maafin aku ngga, waktu itu aku gaada disamping kamu.”

“Gapapa kak, bukan salah kak Kasa. Sampe pada akhirnya bunda nyerah sama keadaan. Tuhan kebih sayang sama bunda, jadi diajak pulang. Makanya, aku gamau kak Kasa nyerah sama keadaannya kakak.” Angga makin terisak. “Aku gamau kehilangan orang yang Angga sayang buat kedua kalinya. Aku mohon ya kak?”

“Iya ngga, aku ga nyerah. Ga nyerah sama sekali. Selama ada Angga, Angkasa bisa. Maafin Angkasa ya?”

Angkasa lalu memeluk Angga hingga akhirnya mereka tertidur.

#Rumah.

Angga sudah berada di depan rumah Angkasa tanpa sepengetahuan Angkasa. Angga sudah mengemas pakaiannya untuk seminggu kedepan.

“Halo Kak Angkasa? Aku di depan cepet turun.” Kata Angga lewat telepon

“Beneran? Bentar bentar aduh.”


Angkasa segera turun dengan sangat bersemangat karena akan bertemu dengan pacarnya itu.

jeduak Suara pintu yang ditarik Angkasa dengan tidak sabaran, langsung memeluk Angga yang berdiri di depan pintunya.

“Kak aduh jangan erat erat, udah disini juga. Seminggu kedepan bisa meluk ampe sesek napas.”

“Beneran seminggu disini ngga? Gausa boong.”

“Liat tuh aku bawa koper. Yakali mau semalem doang. Itung itung jagain kak Kasa selama papa sama mama gaada.” . .. ... Angkasa sedang memperhatikan Angga di ruang keluarga, Angga sedang sibuk dengan series nya di tv.

“Kak apaan sih liat liat mulu?”

“Kamu, ganteng.” Angga terlihat salah tingkah dan berdiri lalu berjalan ke arah dapur. “Mau kemana hei?”

“Ambil minum, laper.”

“Dimana mana orang minum itu lagi haus, kalo laper itu makan. Jangan jauh jauh gini dong, udah ada kesempatan kaya gini harus di pake baik baik.”

“Kamu nih kak, kesempatan kesempatan apaan. Aku kesini pure mau jagain kamu.”

Angkasa beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Angga yang sedang meneguk air di dapur.

“Beneran?” Suara berat Angkasa tepat di belakang Angga yang bisa membuat Angga merinding.

“Uhuk. Iya lah apa lagi?”

“Sapa tau. Ehem.” Kata Angkasa sambil memeluk Angga dari belakang. “Angkasa takut kehilangan Angga lagi. Jangan kemana mana ya? Sama Kasa terus, walaupun Angkasa brengsek, jangan pergi ya?” Sambung Angkasa yang sekarang kepalanya di pundak Angga.

“Mana ada mau ninggalin kakak, aku disini. Kakak yang gaboleh ninggalin Angga. Udah minum obat?”

“Belum, ambilin sayang” Lagi lagi Angkasa menggoda Angga dengan suara beratnya.

“Hus hus sana duduk, aku ambil dulu.”

Angkasa hanya tertawa cekikian karena berhasil menggoda Angga tadi.

“Nih minum terus tidur. Gausah ngeyel.”

“Tidur sama aku ya?”

“Gak. Aku tidur di kamar tamu.”

“Tapi kan aku maunya sama kamu. Gamau minum obat nih.” Kata Angkasa sambil memeluk pinggang Angga yang sedang berdiri.

“Kamu tuh udah gede kak gausa kaya gini, yaudah oke. Sekarang minum obatnya ya?” Kata Angga sambil mengusap kepala Angkasa.


Mereka berdua sekarang ada di atas kasur Angkasa dengan posisi Angga tidur di lengan Angkasa yang setengah duduk.

“Kak ayo tidur, ga capek apa posisi nya gitu mulu?”

“Kalo itu kamu, engga.”

“Kak.” Panggil Angga lirih. “Tiduran disini, ngadep ke aku.”

Angga menatap Angkasa lama sekali, mengusap pipinya lembut. Dia hampir menangis karena mengingat yang dialami Angkasa selama ini.

“Heh ngapain nangis?” Tanya Angkasa khawatir.

“Kak, sakit ya?”

“Engga, karna kamu disini. Ga sakit sama sekali.” “Udahan yuk nangisnya ya?” Kata Angkasa lalu mendekap Angga kedalam pelukannya.

“Dulu, semester akhir.”

Angkasa fokus mendengarkan Angga sekarang.

“Iya kenapa? Lanjutin.”

“Bunda sakit ginjal kaya kak Kasa. Tapi bedanya, punya bunda masih berfungsi satu. Akhirnya bunda hidup pake satu ginjal doang.”

“Angga-”

“Bunda itu wanita hebat. Walaupun emang jarang di rumah sama kaya ayah, bunda bisa dan pernah ngasih beberapa waktu luang buat Angga.” Sudah terdengar suara Angga yang tidak jelas pertanda dia menangis.

Angkasa berusaha menenangkan Angga dengan mengusap kepalanya.

“Kalo ga kuat buat cerita, jangan di lanjutin.”

“Hidup pake satu ginjal itu gaenak. Aku bisa tau karna bunda ngalamin. Aku yang nganter bunda bolak balik cuci darah. Ayah? Ayah sibuk. Gapunya waktu buat keluarga.”

“Maafin aku ngga, waktu itu aku gaada disamping kamu.”

“Gapapa kak, bukan salah kak Kasa. Sampe pada akhirnya bunda nyerah sama keadaan. Tuhan kebih sayang sama bunda, jadi diajak pulang. Makanya, aku gamau kak Kasa nyerah sama keadaannya kakak.” Angga makin terisak. “Aku gamau kehilangan orang yang Angga sayang buat kedua kalinya. Aku mohon ya kak?”

“Iya ngga, aku ga nyerah. Ga nyerah sama sekali. Selama ada Angga, Angkasa bisa. Maafin Angkasa ya?”

Angkasa lalu memeluk Angga hingga akhirnya mereka tertidur.

#Rumah

Angga sudah berada di depan rumah Angkasa tanpa sepengetahuan Angkasa. Angga sudah mengemas pakaiannya untuk seminggu kedepan.

“Halo Kak Angkasa? Aku di depan cepet turun.” Kata Angga lewat telepon

“Beneran? Bentar bentar aduh.”


Angkasa segera turun dengan sangat bersemangat karena akan bertemu dengan pacarnya itu.

jeduak Suara pintu yang ditarik Angkasa dengan tidak sabaran, langsung memeluk Angga yang berdiri di depan pintunya.

“Kak aduh jangan erat erat, udah disini juga. Seminggu kedepan bisa meluk ampe sesek napas.”

“Beneran seminggu disini ngga? Gausa boong.”

“Liat tuh aku bawa koper. Yakali mau semalem doang. Itung itung jagain kak Kasa selama papa sama mama gaada.” . .. ... Angkasa sedang memperhatikan Angga di ruang keluarga, Angga sedang sibuk dengan series nya di tv.

“Kak apaan sih liat liat mulu?”

“Kamu, ganteng.” Angga terlihat salah tingkah dan berdiri lalu berjalan ke arah dapur. “Mau kemana hei?”

“Ambil minum, laper.”

“Dimana mana orang minum itu lagi haus, kalo laper itu makan. Jangan jauh jauh gini dong, udah ada kesempatan kaya gini harus di pake baik baik.”

“Kamu nih kak, kesempatan kesempatan apaan. Aku kesini pure mau jagain kamu.”

Angkasa beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Angga yang sedang meneguk air di dapur.

“Beneran?” Suara berat Angkasa tepat di belakang Angga yang bisa membuat Angga merinding.

“Uhuk. Iya lah apa lagi?”

“Sapa tau. Ehem.” Kata Angkasa sambil memeluk Angga dari belakang. “Angkasa takut kehilangan Angga lagi. Jangan kemana mana ya? Sama Kasa terus, walaupun Angkasa brengsek, jangan pergi ya?” Sambung Angkasa yang sekarang kepalanya di pundak Angga.

“Mana ada mau ninggalin kakak, aku disini. Kakak yang gaboleh ninggalin Angga. Udah minum obat?”

“Belum, ambilin sayang” Lagi lagi Angkasa menggoda Angga dengan suara beratnya.

“Hus hus sana duduk, aku ambil dulu.”

Angkasa hanya tertawa cekikian karena berhasil menggoda Angga tadi.

“Nih minum terus tidur. Gausah ngeyel.”

“Tidur sama aku ya?”

“Gak. Aku tidur di kamar tamu.”

“Tapi kan aku maunya sama kamu. Gamau minum obat nih.” Kata Angkasa sambil memeluk pinggang Angga yang sedang berdiri.

“Kamu tuh udah gede kak gausa kaya gini, yaudah oke. Sekarang minum obatnya ya?” Kata Angga sambil mengusap kepala Angkasa.


Mereka berdua sekarang ada di atas kasur Angkasa dengan posisi Angga tidur di lengan Angkasa yang setengah duduk.

“Kak ayo tidur, ga capek apa posisi nya gitu mulu?”

“Kalo itu kamu, engga.”

“Kak.” Panggil Angga lirih. “Tiduran disini, ngadep ke aku.”

Angga menatap Angkasa lama sekali, mengusap pipinya lembut. Dia hampir menangis karena mengingat yang dialami Angkasa selama ini.

“Heh ngapain nangis?” Tanya Angkasa khawatir.

“Kak, sakit ya?”

“Engga, karna kamu disini. Ga sakit sama sekali.” “Udahan yuk nangisnya ya?” Kata Angkasa lalu mendekap Angga kedalam pelukannya.

“Dulu, semester akhir.”

Angkasa fokus mendengarkan Angga sekarang.

“Iya kenapa? Lanjutin.”

“Bunda sakit ginjal kaya kak Kasa. Tapi bedanya, punya bunda masih berfungsi satu. Akhirnya bunda hidup pake satu ginjal doang.”

“Angga-”

“Bunda itu wanita hebat. Walaupun emang jarang di rumah sama kaya ayah, bunda bisa dan pernah ngasih beberapa waktu luang buat Angga.” Sudah terdengar suara Angga yang tidak jelas pertanda dia menangis.

Angkasa berusaha menenangkan Angga dengan mengusap kepalanya.

“Kalo ga kuat buat cerita, jangan di lanjutin.”

“Hidup pake satu ginjal itu gaenak. Aku bisa tau karna bunda ngalamin. Aku yang nganter bunda bolak balik cuci darah. Ayah? Ayah sibuk. Gapunya waktu buat keluarga.”

“Maafin aku ngga, waktu itu aku gaada disamping kamu.”

“Gapapa kak, bukan salah kak Kasa. Sampe pada akhirnya bunda nyerah sama keadaan. Tuhan kebih sayang sama bunda, jadi diajak pulang. Makanya, aku gamau kak Kasa nyerah sama keadaannya kakak.” Angga makin terisak. “Aku gamau kehilangan orang yang Angga sayang buat kedua kalinya. Aku mohon ya kak?”

“Iya ngga, aku ga nyerah. Ga nyerah sama sekali. Selama ada Angga, Angkasa bisa. Maafin Angkasa ya?”

Angkasa lalu memeluk Angga hingga akhirnya mereka tertidur.