Masklepond

Senjani

#Senjani

Angga membereskan barang barang di meja kantornya dengan cepat setelah anak sulungnya mengirimi pesan kalau istrinya sedang menuju ke rumah sakit.

Dengan sigap dia mengambil kunci mobil dan menyalakannya lalu menancap gas secepat mungkin.

Hari ini memang sudah saatnya anak kedua dari Angga dan Vina lahir. Setelah bertahun tahun mereka hidup bertiga akhirnya setelah ini akan ada anggota keluarga baru.

Betapa senangnya seorang Angga yang akan menjadi ayah untuk kedua anaknya nanti, memang itu agak beban tapi Angga tidak keberatan.

Sampai lah Angga di rumah sakit yang dimana itu adalah tempat yang sangat sakral untuk Angga, dia kehilangan Angkasa saat itu. Ah sudahlah itu kenangan masa lalu.

Angga lalu bertemu dengan Talisha dan Dew secara kebetulan dan berbincang sebentar.

“Loh Angga? Ih udah lama ga ketemu ya kita makin cakep aja ni orang. Mau ngapain?” Tanya Dew.

“Eh kak Dew kak Talisha kebetulan banget ketemu, itu mau ke Vina. Dia mau lahiran kayanya.” “Btw kalian udah beranak berapa nih ahaha.”

“Oh Vina mau lahiran? Anak keberapa ngga?” Tanya Talisha

“Dua kak.”

“Yaampun kirain lo udah ternak, ternyata masih 2 aja. Btw selamat ya mau jadi bapak lagi. Dan semoga persalinannya lancar ya ngga. Nanti pasti ketemu lagi, gue bagian obsgyn juga soalnya.” Jelas Dew.

“Oh iya kak, ini gue harus nemuin sapa ya?”

“Itu ada Puim, gue yakin dia udah meriksa Vina.”

“Oke makasih kak Dew, see you.”

Angga berlari kearah ruang ibu dan anak yang pasti nya Vina ada disana bersama Dirga.

Di lihatnya kamar bersalin nomor 05, yang disana ada Vina sedang terbaring dengan baju pasien dan Dirgantara yang duduk di sebelah kasur pasien.

“Angga.” Panggil Vina lirih, dia sudah kehabisan tenaga untuk berbicara, hanya dibalas senyuman oleh Angga

“Eh lo pasti puim ya?”

“Iya, kok tau?”

“Tadi kak Dew bilang gue harus nemuin Puim. Eh ternyata lo nya udah disini.”

“Iya, oiya dengan bapak?”

“Panggil Angga aja, iya gue suami nya Belvina. Dirga jagain mama dulu ya nak, papa keluar ngomong sama bu dokter.”

“Siap pa.” “Adek nya cewe ya ma? Mau dikasih nama sapa?”

“Tunggu papa dulu, Dirga.”

“Okay.” Senyuman Dirga makin lebar saat melihat Perut besar ibunya, dia sudah tidak sabar menanti kehadiran adik nya itu.


“Angga, sorry to say. Tapi ini Vina harus operasi, soalnya kepala bayi nya ga dibawah. Kalo disuruh nunggu pun bisa cuma pasti lama banget.”

“Tapi bisa kan? Gapapa operasi aja.” Jawab Angga tegas.

“Okay. Angga, tapi gue ga jamin buat Vina.”

“Maksud lo?” Pertanyaan Angga tidak di gubris oleh Puim. Puim menundukkan kepala dan menghela nafas.

“Gue bakal coba sebisa gue ya Angga.”

“Iya. Thankyou ya Puim.”

Angga lalu menuju masuk ke kamar Vina dan mendapati istrinya yang sedang menangis ditemani Dirga.

“Vina,” Panggil Angga.

“Ngga, beneran sakit banget yang ini ga boong.” Keluh Vina. Bisa di lihat kalau wajah Vina sekarang sepenuhnya pucat.

“Iya, tahan ya sayang. Abis ini kamu di operasi, tunggu ya? Tahan ya Vina.” Kata Angga sambil mengecup dahi istrinya.

“Haha, ini mau dikasih nama siapa, Ngga?” Tanya Vina sambil tersenyum walau sedang menangis.

“Karna dia lahirnya sore, gimana kalo Senja? Senjani?”

“Dirga setuju. Pasti nanti Senjani cantik banget kaya Senja.” Ujar Dirga. “Mama, yang kuat sebentar lagi adek dikeluarin. Semangat ya ma!”

“Ahah iya Dirga, makasih ya.”


Tepat pukul dua siang waktu setempat, Vina di bawa ke ruang operasi sore itu. Angga sudah siap menemani, sedangkan Dirga menunggu di kamar tadi sedang mengerjakan tugas sekolah.

“Pa, titip mama. Jagain yang bener. Awas aja ya.” Ujar Dirga tadi sebelum mereka akan ke ruang bersalin.

Vina benar benar terlihat kesakitan. Entah apa yang terjadi Angga juga tidak paham, di kehamilan Vina sebelumnya dia tidak sesakit ini.

Angga hanya bisa berdoa selama proses bersalin yang sangat amat menegangkan sore itu.

Terlihat banyak dokter kandungan yang ikut ambil alih, termasuk Dew. Angga juga bingung mengapa banyak dokter disini, biasanya satu sampai dua dokter sudah cukup.

Senja mulai hilang digantikan luna. Bulan malam itu purnama. Bulat sempurna, indah sekali. Berharap kejadian indah juga akan terjadi di ruang bersalin ini.

Rasanya lama sekali proses bersalin kali ini, walau melihat dokter yang ulet menangani Vina, Angga sangat khawatir.

Dia mengelus kepala Vina yang masih tertidur pulas karena bius tadi.

“Vina, you did great. Thankyou for being my soulmate.” Bisik Angga.

Tak lama setelahnya, terdengar suara tangisan bayi yang menggema di seluruh ruang operasi.

“Angga,” Panggil Dew. “Anaknya cantik, kaya ibu nya.” Sambung Dew sambil menyerahkan Senjani kepada Angga.

“Vina, liat ini cantik banget.” Kata Angga pada Vina yang bahkan Vina saja belum sadarkan diri.

“Angga, Vina kayanya gue langsung bawa ke kamar aja, dia belum pulih seutuhnya. Tapi pasti entar bangun.” Kata Dew.

“Iya kak makasih banyak.”

Angga masih menggendong bayi itu sembari menangis bahagia. Kehadiran Senjani diharapkan dapat mewarnai kehidupan Angga dan Vina kedepannya.


“Dirga, ini mau liat Senjani?” Kata Angga pada anak sulungnya yang sedang fokus belajar.

“Eh papa? Udah selesai? Mana mama?” “Senjani cantik banget ya pa, eh emang boleh dibawa kesini pa?”

“Boleh, tapi nanti dibawa ke ruang bayi lagi. Mama masih di urus sama dokter nya, nanti juga dibawa kesini lagi.”

“Oh gitu, pa Dirga mau coba gendong.”

Angga menyerahkan Senjani kepada Dirgantara. Dirga sangat senang saat adik pertamanya jatuh dalam dekapannya sekarang.

“Senjani gaboleh nakal sama abang ya, abang bakal jaga Senjani apapun yang terjadi okay. Uwah lucu banget sih.” Kata Dirga yang membuat Angga tersenyum bahagia. “Pa, boleh telfon Angkasa ga? Mau Dirga ajak kesini biar bisa liat Senjani.”

“Angkasa?”

Hais sialan, kenapa gue inget nya kak Angkasa.

“Oh boleh. Em Dirga, Senjani nya papa bawa dulu ya? Nanti boleh liat lagi, sekalian papa nengokin mama.”

“Oh gitu okay pa.” Kata Dirga sembari menyerahkan Senjani.

Angga menuju ruang bayi, yang dimana banyak sekali bayi baru lahir di kumpulkan disitu, lalu Angga menitipkan Senjani pada salah satu suster disana dan menuju ke kamar bersalin dimana Vina berada.

Keadaan Vina memburuk sekarang, jantung yang berdetak lemah, badan yang mulai dingin, dia berkeringat walaupun tidak beraktivitas.

“Kak Dew, Vina gimana?”

“Buruk banget ngga, buruk.” “Abis ini gue minta suster buat nganter Vina ke ruang awal ya.”

“Kak. Tapi bangun kan?”

“Angga,” Kata Dew lesu

“Abisnya gue masih trauma kak.”

“Gue gabisa mastiin bangun apa engga nya, berdoa aja. Gue sama yang lain udah bener bener berusaha.”

“Iya kak Makasih.”

Dew meninggalkan Angga sendiri disana. Sekarang hanya ada Vina dan Angga di ruangan itu.

Angga mengambil kursi dan duduk tepat disebelah kasur pasien Vina. Digenggamnya tangan kesayangannya itu sambil memasang mimik khawatir.

Angga membenamkan wajahnya pada genggaman tangan itu dan sedikit menangis karena khawatir.

“Vina, ayo dong kamu gamau liat Senjani? Dia cantik banget beneran deh kaya bundanya. Vin ayo aku tau kamu kuat.”

Suara Angga menggema di ruangan itu, tidak ada jawaban sama sekali. Yang bisa Angga dengar hanya EKG dan detik jam dari tadi.

Benar yang dikatakan Dew, kondisi Vina buruk. Sangat buruk.

Tidak di sangka, tangan Vina yang daritadi di genggam erat oleh Angga bergerak. Angga langsung mendongakkan kepalanya melihat istrinya itu.

“Vina?”

“An-ggah.” Ucap Vina terbata.

“Vina akhirnya kamu bangun juga, aku khawatir banget loh.”

“Kk aku pasti bangun lah Angga.” Kata Vina sambil terkekeh pelan. “M-mana Senjani?” Tanya Vina

“Ada di ruangannya. Mau dibawa kesini atau kamu yang kesana?”

“Kesana aja.”

“Yakin kuat apa engga? Bentar aku panggil kak Dew ya sekalian bawa kursi roda.”

“Iya.”

Angga keluar ruangan dan segera mencari Dew, membawa kabar bahagia karena Vina sudah sadar.

“Kak Dew kak Dew!” Panggil Angga.

“Iya Angga?”

“Vina udah siuman, mau liat Senjani boleh kan? Pinjem kursi roda.”

“Oh boleh tapi ati ati ya.”

“Siap.”

Angga membantu Vina duduk di kursi roda dan membawa infus dan segera mendorongnya pelan menuju ruangan bayi.

“Angga, ambil Senjani bentar aku mau gendong. Ajak jalan keluar juga.” Pinta Vina.

“Bentar sayang.”

Vina melihat kesayangannya menggendong Senjani dengan hati hati dan membawanya kepada Vina.

Lalu Angga perlahan membawa Vina menuju pintu keluar ke taman rumah sakit yang disana banyak bunga dan pohon pohon rimbun. Oksigen disini sangat banyak dan baik untuk Vina yang baru saja melahirkan.

“Angga, Senjani cantik.”

“Iya kaya kamu lah.” Usap Angga pada kepala Vina.

“Angga, sakit banget sumpah.”

“Apanya vin? Mana yang sakit? Mana?” Kata Angga khawatir.

“Pengen tidur.”

“Lah tadi kan udah tidur Vina.”

Vina menyandarkan kepalanya ke pundak Angga.

“Makasih udah jadi ayah dan suami yang baik ya Ngga, maafin aku kalo banyak salah selama ini.”

“Engga, kamu yang hebat. Makasih udah nemenin aku sampe sini sampe detik ini.”

“Angga aku tidur ya?”

“Iya tidur disini,” Kata Angga sambil memeluk pundak Vina. “Nanti kalo Senjani udah gede, pasti cantiknya ga jauh dari kamu Vin.”

Vina diam.

“Semoga Dirgantara juga jaga Senjani ya, kaya langit yang selalu jagain senja setiap hari.”

Lagi lagi Vina diam.

Tiba tiba tangan Vina lemas dan hampir saja menjatuhkan Senjani dari dekapannya.

“Vina- ati ati ah itu Senjani nya.” Kata Angga sambil mengambil Senjani.

“Vin?” “Vina? Lelap banget tidurnya sampe lupa anaknya masih di gendong?” “Vina? Aku anter ke kamar ya?” “Vin.” Kata Angga menggerak gerakkan tubuh Vina yang tidak ada respon.

“VINA!” Panggil Angga lagi dengan nada lebih keras.

Angga menaruh Senjani dengan terpaksa di meja dekat mereka duduk lalu Angga mengecek nadi dan detak Vina. Tangan, leher, jantung dan nafas.

Nihil.

“Vin.” “Vina jawab aku dong.”

Diam. Vina hanya diam di kursi roda. Angga menahan tangis, karena belum percaya.

“Vina, kalo beneran kamu gaada. Aku gatau bisa apa lagi, Vin. Liat Dirga mau kuliah, Senjani baru beberapa jam lalu lahir, Vin. Aku tau kamu masih disini.” Angga mulai terisak.

“Vina!” Tangisan Angga semakin kencang karena tidak ada respon sama sekali dari kesayangannya itu.

“Vin, udah ga sakit ya? Beneran? Tidur yang nyenyak, Vin.” Kata Angga mengusap air matanya.

Tak lama kemudian, ternyata Dirga dan Angkasa sudah berdiri di dekat taman mencari mereka.

“Pa!” Panggil Dirga. Bukannya menahan tangisan, Angga malah semakin menangis melihat anak sulungnya ini.

“Loh papa kenapa? Mama kok tidur disini?”

“Dirga- mama ga tidur.” “Mama-”

Terlihat Abimanyu dan Meyra menyusul anaknya kesana karena Angkasa sedang bersama Dirga.

“Angga? Mey ambil itu bayinya gendong dulu.”

Meyra mengambil Senjani yang daritadi di taruh di atas meja oleh Angga.

“Bi. Vina bi.” Kata Angga menunjuk Vina yang duduk di kursi roda. “Vina pulang lebih cepet daripada gue.”

Abi hanya terdiam dan kaget.

“Panggil dokter bi.”

“Pa? Mama gaada?” Dirga mulai sesak lalu terisak.

“Mah! Mama tega banget ninggalin papa dirga sama senjani! Mama bahkan belum liat senja masuk tk mah!” Ujar Dirga sambil menangis.

“Dirga udah ya? Ikhlas ya? Dirga bisa kok. Ada Angkasa disini.” Kata Angkasa.

“Angkasa janji ga bakal ninggalin Dirgantara ya? Om Angga minta tolong temenin Dirga ya Kasa?” Tak tau mengapa tapi Angga semakin terisak.


Malam ini Vina pulang ke tempat yang lebih indah. Meninggalkan Angga, Dirgantara dan Senjani.

Selamat beristirahat sayang ku. Tunggu aku disana. Kak Angkasa, tolong jagain Vina dulu ya?

xxpastelline