MusimGugur97


Pasca proyek pemotretan terakhir hubungan Sehun dan Jongin merenggang. Keduanya masih merasa canggung untuk sekadar bertukar pesan.

Ingin hati memperbaiki keadaan namun ingatan rasa kecupan selalu hadir. Membuat mereka urung melakukan perdamaian.

Sebenarnya tidak ada yang salah, tapi tetap saja bukan hal lumrah untuk dibicarakan. Mau pura-pura tidak terjadi pun tetap saja terpikirkan rasa bersalah.

Keduanya frustrasi dan Jongin yang lebih dahulu menyerah. Dia tidak sanggup berjauhan dengan Sehun begini. Apalagi setelah semua yang dilewati beberapa hari sebelumnya.

Awalnya ingin basa-basi kembali lewat pesan. Tapi karena sudah terlalu rindu sosok Sehun, maka Jongin putuskan untuk menelponnya.

Setelah nada dering ketiga, barulah suara Sehun terdengar. Membuat Jongin tanpa sadar menghela napas lega.

“Sehun, sibuk?”

“Tidak Jongin. Kenapa?”

“Aku ada rekomendasi restoran lagi. Mau temani makan malam tidak?”

Jongin harap-harap cemas. Takut Sehun malah semakin tidak suka padanya karena menganggu.

“Boleh. Share loc saja, nanti aku susul.”

“Sehun dimana?”

“Di Mall.”

“Oh sedang belanja?”

“Tidak. Mau nonton saja sih, cuma filmnya tidak ada yang bagus.”

“Ya sudah. Tunggu disana. Aku jemput.”

Sambungan berakhir dan Jongin langsung masuk dalam mobilnya. Sekali lagi menjemput Sehun.

Semoga setelah ini hubungan dengan Sehun membaik. Dirinya termaafkan. Sekaligus berpamitan.


Bagi Chuuya, berteman dengan Dazai itu seperti menanti bom waktu. Bisa meledak kapan saja tanpa diduga. Bisa menghancurkan seketika saja dalam satu kedipan.

Begitu juga dengan Dazai. Kau tidak tahu dimana orang itu akan langsung menceburkan diri ketika melihat air berharap mati tenggelam. Atau segera berlari sekencangnya ketika melihat lelaki itu berusaha terjun dari atap gedung.

Dazai dan obsesinya terhadap bunuh diri membuat Chuuya harus menghela napas lelah berulang kali setiap harinya. Setiap detik mungkin.

Dirinya seperti pawang hewan liar. Yang jika dilepas dari pandangan sebentar bisa menerkam orang lain.

Bedanya, hewan liar ini tidak membahayakan orang lain tapi membahayakan dirinya sendiri.

“Ne ne Chuuya.” Panggil Dazai di ranjang rumah sakit.

“Apa?” sahut Chuuya sambil menguap di sofa. Berusaha tidur walau memaksa raga terjaga.

“Kalau aku pergi, bukannya kau tidak perlu repot-repot tidur di sofa ya?”

Alis Chuuya mengerut. Tubuhnya dipaksa duduk menyender namun masih dengan mata terpejam.

“Kau bicara apa? Yang ada aku semakin repot mencarimu!” suara Chuuya tidak naik seperti biasa. Nadanya rendah dan terdengar lelah.

Dazai terdiam menatap keluar jendela kamar inap. Tangannya yang tidak terpasang selang infus diangkat menghalau cahaya bulan.

“Kau kan suka mengeluh, jadi lebih baik aku yang menghilang supaya Chuuya tidak berteriak-teriak.” Dazai bicara dengan nada ceria seperti biasanya.

Chuuya kemudian membuka mata. Memandang lurus sosok yang setengah duduk diranjang rumah sakit. Binarnya terasa hampa, rasanya tidak nyata.

“Chuuya apa tidak lelah berteriak? Aku saja yang mendengarnya sakit kepala.” Nada pura-pura sedih itu dialunkan.

“Oi... Dazai.” Chuuya memanggil pelan, berusaha membangkitkan dirinya tapi sia-sia. Tubuhnya serasa lumpuh.

“Kalau aku pergi, Chuuya jangan berteriak ya. Aku benci mendengarnya.” Dazai melanjutkan kalimat ejekan tapi disertai senyum.

Chuuya menggeleng cepat. Mencoba mencegah Dazai melukai dirinya lebih dalam.

“Kau juga jangan berisik terus. Tidak banyak yang betah dengan ocehanmu sepertiku.”

Dazai mencabut paksa selang infus, menumpahkan darah yang merembes bercucuran. Sprei kasur yang putih mulai ternoda merah.

“Dan kalau bisa, jangan berteman dengan maniak sepertiku lagi nanti. Kau hanya akan kerepotan.”

Chuuya berhasil berdiri tapi tetap terdiam. Suaranya tercekat, napasnya mulai sesak.

“Kau harus bahagia Chuuya. Lupakan aku, ya?”

Bersama senyum lebar Dazai menancapkan pisau buah kejantungnya. Membuat Chuuya histeris tak terkira.

Dokter dan perawat jaga langsung mengambil tubuh terkulai Dazai. Semua upaya dicoba, tapi nyawa telah berkelana.

Dazai pergi sesuai janjinya. Mati sebagai maniak bunuh diri.

Menjadi bom waktu yang meledak dahsyat di depan Chuuya. Menghancurkan bukan hanya mental Chuuya tapi juga hidupnya. Meleburkan semua perasaan yang dia bangun untuk ditempati bersama Dazai nantinya.

Dazai si maniak meninggalkan Chuuya untuk selama-lamanya dan separah-parahnya luka.


Sudah seminggu semenjak pertama kali Jongin bertemu Sehun. Keduanya sudah akrab bahkan seperti teman lama.

Bahkan sang fotografer yang menawarkan mereka untuk saling mengenal dibuat cukup terkejut karena keduanya benar-benar dekat sekarang.

Foto proyek kolaborasi berjalan dengan sangat baik. Dengan aura bintang dan kecocokan keduanya, tentu membuat proses pengerjaan proyek berjalan lancar.

“Kalian sudah sangat dekat ya?” komentar fotografer ketika memonitor hasil jepretannya. Sehun dan Jongin saling pandang kemudian tertawa.

“Mungkin karena kami banyak kesamaannya, jadi dekat.” kata Jongin yang diangguki Sehun.

“Baguslah, memang harus begitu. Selain menambah teman, kalian juga jadi enak bekerja. Oke yang ini cukup, lanjut set berikutnya. Kalian boleh ganti wardrobe.”

Jongin dan Sehun lalu segera melaksanakan perintah. Karena kedekatan mereka, syuting terasa cepat dan menyenangkan. Tidak ada kecanggungan atau kekakuan, semua mengalir mulus begitu saja.

“Sehun-ssi, touch up sebentar ya.” Sehun yang baru keluar dari ruang ganti langsung merentangkan kaki panjangnya supaya sang make up artis mungil bisa menggapai wajahnya.

“Bibir Sehun-ssi warnanya cerah alami ya, aku oles lipstiknya tidak setebal tadi tidak apa-apa?” Anggukan diberikan Sehun lalu kuas lipstik menyapu bibirnya perlahan.

Jongin yang sudah ada di set lebih dulu hanya memperhatikan partnernya yang sedang dirias. Model senior dari Sehun itu mencoba duduk dengan properti kursinya.

“Aku foto pakai ponsel saja ya, posemu bagus begitu!” Ujar sang fotografer yang disetujui oleh Jongin.

Sehun melirik Jongin yang sedang berpose dari sudut matanya. Mau bagaimanapun outfit yang digunakan Jongin, semua terlihat menawan.

“Sudah Sehun-ssi.”

“Oh terimakasih, Noona.”

Sehun lalu mulai memasuki set, Jongin segera bangkit dari kursinya. Sang fotografer mulai kembali pada posisi dibelakang kamera.

“Kalian boleh pakai semua properti! Satu dua tiga!”

Kilatan cahaya beradu suara tombol shuter. Jongin dan Sehun langsung masuk mode profesional terbaik nya.

Properti foto digunakan, dikalungkan, dimainkan, bahkan saling dilemparkan. Membuat suasana foto benar-benar hidup.

Jongin naik ke kursi yang diduduki Sehun. Menjaga keseimbangannya agar foto yang diambil bagus.

Fotografer tersenyum puas. Sehun juga ingin mencoba pose-pose berani dan menyenangkan seperti Jongin. Akhirnya meminta Jongin untuk ganti posisi dengannya.

“Hati-hati.” peringat Jongin. Sehun mengangguk semangat.

Sehun sudah naik, tapi Jongin belum duduk. Pria dengan nama KAI itu ingin memastikan Sehun aman dahulu.

Entah Sehun salah pijakan atau memang kehendak semesta, Sehun hilang keseimbangan.

Refleks Jongin bergerak luar biasa. Menangkap pinggang Sehun sebelum kepalanya jatuh membentur set lantai studio.

Kecelakaan berhasil dicegah. Tapi tautan bibir tidak bisa ditahan.

Bibir keduanya saling menempel karena Jongin juga ikut tertarik tubuh Sehun. Jemari Jongin yang siaga di kepala Sehun, jaga-jaga agar kepalanya tidak terbentur keras. Hasil tersebut membuat jarak wajah keduanya terhapus, menabrakkan dua belah bibir manis.

Untung mereka membelakangi kamera. Tidak ada yang menyaksikan mereka berciuman tanpa sengaja.

Tapi rasa dan kenangan tidak bisa dihilangkan. Keduanya langsung berdeham canggung. Sehun meminta maaf karena merasa merepotkan, Jongin diam saja karena merasa kesempatan tadi terlalu tiba-tiba.

Sehun tidak lagi mencoba naik diatas kursi. Mereka melakukan pose-pose terakhir dengan cepat.

Hari pemotretan berakhir. Keduanya berpamitan. Tidak seperti awal yang penuh candaan. Kini mereka sangat canggung.

Tentu saja canggung. Keduanya berciuman tanpa sengaja. Terlebih itu adalah ciuman pertama. Untuk mereka.


Sehun sudah memulai syutingnya sejak dua jam yang lalu. Syuting iklan cukup lama tapi konsep yang dipakai hanya satu jadi dia hanya perlu mengulang-ulang bukan bolak-balik ganti baju atau properti.

“Ada kiriman Truk Kopi untuk seluruh staf dan kru produksi.”

“Dari siapa?”

“Penggemar Sehun-ssi.”

Sontak semua staf dan kru produksi langsung menatapnya dengan binar bahagia. Ramai-ramai ucapan terimakasih diberikan pada Sehun.

Sang manajer meminta penjelasan tapi Sehun sendiri tak mengerti bahwa ada yang mengiriminya truk kopi. Seingatnya tidak ada fans yang mengadakan proyek untuknya.

Lalu terlintasnya sebuah nama yang semalam bertanya kopi atau minuman Boba. Kim Jongin.

Sehun yakin dengan pasti kiriman truk kopi ini dari seniornya sekaligus temannya beberapa waktu kebelakang.

Kai-sunbaenim.


Junyoung tahu dia harusnya tidak pernah meragukan Yuchan.

Perihal mencintai, setia atau berkorban. Yuchan khatam semuanya.

Yuchan mencintai Junyoung dengan sangat. Baik sisi yang ditunjukkan pada publik atau yang disembunyikan rapat-rapat.

Yuchan setia kepada Junyoung dengan tulus. Walaupun harus selalu berjauhan dan jarang mengumbar kemesraan, dirinya tak berpaling dari Junyoung.

Yuchan berkorban banyak untuk Junyoung. Entah waktu, entah tenaga, entah hati. Dia tidak pernah mengeluh didepan Junyoung.

Pria itu akan selalu menjadi benteng kokoh tak tertembus bagi kalimat yang akan melukai Junyoung. Pria itu akan selalu berada dibarisan terdepan soal mendukung Junyoung.

Akan terus begitu jika Junyoung tidak meragukannya.

Tidak melepas kepercayaan itu sedetik saja. Tidak menaruh curiga barang sekejap. Tidak menuduh prasangka buruk secuilpun.

Mungkin Junyoung masih akan melihat kekasih manisnya duduk menonton nya di bangku paling depan. Mungkin Junyoung masih akan mendengar suara indah yang memanggil namanya. Mungkin Junyoung masih dapat merasakan halus kulit sang pujaan saat berbagi hangat di ranjang.

Harusnya. Sosok itu akan selalu berada digarda terdepan. Harusnya. Yuchan punya tempat spesial dibarisan awal.

Bukan malah hilang dari hidup Junyoung. Bukan malah menuruti ucapan emosi Junyoung. Bukan malah lenyap tanpa jejak.

Membuat Junyoung kacau bukan main. Menghancurkan Junyoung tanpa menyentuhnya. Membunuh Junyoung secara perlahan.

Junyoung bukan hanya kehilangan kekasih. Dia kehilangan cinta, teman, sahabat dan hidupnya dalam satu sosok. Dia ditinggalkan penggemar berat sekaligus penyokong terbesar dalam karirnya.

Terlebih, dia sudah tidak memiliki orang yang berdiri di garis terdepan untuk mencintainya.

Yuchan meninggalkannya yang begitu serakah.


Junyoung tahu dia harusnya tidak pernah meragukan Yuchan.

Perihal mencintai, setia atau berkorban. Yuchan khatam semuanya.

Yuchan mencintai Junyoung dengan sangat. Baik sisi yang ditunjukkan pada publik atau yang disembunyikan rapat-rapat.

Yuchan setia kepada Junyoung dengan tulus. Walaupun harus selalu berjauhan dan jarang mengumbar kemesraan, dirinya tak berpaling dari Junyoung.

Yuchan berkorban banyak untuk Junyoung. Entah waktu, entah tenaga, entah hati. Dia tidak pernah mengeluh didepan Junyoung.

Pria itu akan selalu menjadi benteng kokoh tak tertembus bagi kalimat yang akan melukai Junyoung. Pria itu akan selalu berada dibarisan terdepan soal mendukung Junyoung.

Akan terus begitu jika Junyoung tidak meragukannya.

Tidak melepas kepercayaan itu sedetik saja. Tidak menaruh curiga barang sekejap. Tidak menuduh prasangka buruk secuilpun.

Mungkin Junyoung masih akan melihat kekasih manisnya duduk menonton nya di bangku paling depan. Mungkin Junyoung masih akan mendengar suara indah yang memanggil namanya. Mungkin Junyoung masih dapat merasakan halus kulit sang pujaan saat berbagi hangat di ranjang.

Harusnya. Sosok itu akan selalu berada digarda terdepan. Harusnya. Yuchan punya tempat spesial dibarisan awal.

Bukan malah hilang dari hidup Junyoung. Bukan malah menuruti ucapan emosi Junyoung. Bukan malah lenyap tanpa jejak.

Membuat Junyoung kacau bukan main. Menghancurkan Junyoung tanpa menyentuhnya. Membunuh Junyoung secara perlahan.

Junyoung bukan hanya kehilangan kekasih. Dia kehilangan cinta, teman, sahabat dan hidupnya dalam satu sosok. Dia ditinggalkan penggemar berat sekaligus penyokong terbesar dalam karirnya.

Terlebih, dia sudah tidak memiliki orang yang berdiri di garis terdepan untuk mencintainya.

Yuchan meninggalkannya yang begitu serakah.


Sungchan mengusap wajahnya gelisah karena Mashiho menghilang seharian dari jangkauannya.

Telponnya tidak diangkat, bahkan pesannya tak dibaca.

Sebut saja dia overprotective tapi memang Mashiho itu makhluk kelewat manis nan polos yang harus dijaga. Sungchan mana mau berbagi kegulaan itu pada orang lain.

Apalagi Mashiho tidak sempat pamit bahkan tak memberi kabar jika memang akan pergi atau sedang sibuk hingga tidak mau diganggu.

Ayolah, Sungchan tipe pengertian yang akan menuruti keinginan Mashiho menyendiri asal pemuda itu memintanya. Bukan malah hilang tak berkabar begini.

Sebagai dominan, Sungchan membebaskan apapun dalam hubungan mereka kecuali satu. Hilang tanpa kabar.

Sesibuk-sibuknya Sungchan, dia akan memberitahu Mashiho kegiatannya dan orang yang bersamanya. Tujuannya supaya Mashiho tetap bisa menghubunginya lewat siapapun. Alasan utama tentu untuk mencegah cemburu.

Dan sekarang dia sukses dibuat cemas sekaligus khawatir oleh manusia manis miliknya. Bahkan teman-teman Mashiho tidak tahu-menahu kemana pria itu pergi.

Bertanya Jihoon tentu hanya akan mematik percikan perang karena Sungchan akan dinilai lalai menjaga adik kesayangannya. Sungchan tentu masih ingin hidup sambil terus bermanja pada Mashiho.

Baiklah, mari tunggu setengah jam lagi. Kalau sampai pukul setengah satu Mashiho tak ada kabar, Sungchan akan nekat menggunakan semua cara mencari manusia manis miliknya. Termasuk menghadapi amukan Jihoon sekalipun.

Tepat pukul 12.25, pintu basecamp terbuka. Menampilkan sosok manis yang sanggup menjungkirbalikkan hari Jung Sungchan.

Sungchan menghela napas lega namun rasa kesal juga ikut melingkupinya. Apalagi melihat Mashiho yang datang dengan hahahihi tanpa rasa bersalah sudah membuat Sungchan amburadul seharian.

“Darimana?” tanya Sungchan.

Dan benar. Respon kekehan ringan membuka jawaban Mashiho.

“Eh? Hehehehe tadi habis terkunci dikamar mandi.”

Sungchan langsung heboh, “Kok bisa? Kenapa ga telpon hah?”

“Hehehe handphoneku kan ditinggal diloker.”

Sungchan lupa, Mashiho tipe yang patuh peraturan. Dia akan menitipkan ponsel diloker walaupun tidak wajib. Keteraturan gen Jepang memang tak hilang.

Sadar sudah membuat Sungchan cemas, Mashiho menggeser tubuhnya merapat disamping Sungchan. Dia memeluk pria jangkung itu dari samping.

“Maafkan Mashiho ya Sungchan.”

Sungchan tentu tak bisa marah jika sudah dihadapkan dengan Mashiho mode merajuk begini. Antara berkah dan balada.

“Dimaafkan. Asal tidak menghilang lagi ya. Janji?” Sungchan mengulurkan jari kelingkingnya. Pria manis disampingnya mengangguk dan menautkan kelingkingnya juga.

“Janji!”

Kemudian, keduanya berbalas senyum.

“Ayo makan.” Sungchan memutus tatapan mereka dengan ajakan.

“Sungchan mau makan apa?”

“Mashiho mau makan apa?”

“Hehehe terserah. Mashi ikut Sungchan.”

Mendengar ultimatum, Sungchan kembali menghela napas.

Tugasnya sebagai kekasih bukan hanya menjaga tapi juga memanja.

-The End-


Minhyun mendudukan dirinya bersama emosi yang melingkupi.

“Jangan cemberut begitu.” Jonghyun mencubit pipi Minhyun yang sedang merajuk.

“Ini tidak adil! Kau dapat banyak bagian, aku sedikit!”

“Tapi bagianmu bagus-bagus semua, Minhyun-ah. Bahkan seluruh staff memujimu.”

Jonghyun menarik tubuh Minhyun sedikit sebelum dia merangsek duduk menggantikan Minhyun lalu menarik lelaki yang sedang merajuk itu untuk duduk diatas pahanya.

Sambil melingkarkan kedua tangannya diperut Minhyun, Jonghyun menciumi tengkuk kekasihnya.

“Kau marah karena dapat sedikit bagian atau marah karena tidak dapat bagian bersamaku, hm?” Jonghyun berbisik pelan. Semburat merah langsung menjalar dipipi Minhyun.

“K-keduanya.” Minhyun balik memeluk Jonghyun dan menenggelamkan wajahnya dileher Jonghyun.

Jonghyun tidak dapat menahan kekehannya setelah mendengar jawaban malu-malu Minhyun.

“Padahal nanti ada foto kita berdua.” Jonghyun mengusap punggung Minhyun.

“Benarkah?” Minhyun langsung mendongak menatap Jonghyun.

“Ya. Aku yang minta. Khusus berdua denganmu, Manis.” Jonghyun menjepit hidung Minhyun dengan kedua jarinya.

“Kalau kau hanya ingin membuat hatiku senang tidak usah melambungkan harapan begitu.” Minhyun kembali dalam mode merajuknya. Dia sudah hapal dengan rayuan maut Jonghyun.

“Ya sudah kalau tidak percaya. Aku mau ganti baju selanjutnya. Kalau kau masih mau merajuk, aku foto sendiri.” Jonghyun menggerakkan kakinya kode kepada Minhyun untuk menyingkir.

“Terserahmu.” Balas Minhyun sekenanya. Jonghyun malah tersenyum sambil bergumam.

“Dasar tidak peka.” Jonghyun menarik pelan baju yang Minhyun kenakan. Kaos tanpa lengan sama sepertinya.

“Siapa yang kau bilang tidak peka?” Tanya Minhyun penasaran. Jonghyun hanya menggeleng.

“Ada. Seseorang.”

“Siapa?”

“Tanya bagian wardrobe saja kalau kau penasaran.” Jonghyun melangkah pergi meninggalkan Minhyun yang diliputi tanya.

“Hei Jonghyun! Tunggu!”

.

.

.

“Bagus sekali. Pemotretan hari ini sampai disini.” Tepuk tangan dan ucapan salam memenuhi studio pemotretan setelah konsep terakhir berhasil dikerjakan.

Minhyun masih diam di set pemotretan. Jonghyun mencolek dagu nya pelan.

“Ayo pulang.”

“Tidak mau.”

“Kenapa?”

“Kau berhutang penjelasan.”

“Bukannya sudah aku jelaskan? Kau saja yang tidak percaya.”

“Ya aku mau berfoto bersamamu tapi tidak seintim ini. Kau minta set sendiri untuk kita berdua Jonghyun, apa kata yang lain?”

“Kata yang lain kita cocok, makanya mereka setuju memberikan set tambahan.”

Minhyun mengusap wajahnya. Jonghyun kadang terlalu percaya diri.

“Tidak suka?”

“S-suka. Tapi aku malu.”

“Kenapa malu?”

“Terserahmu Kim!”

Minhyun sudah akan meninggalkan Jonghyun namun ditarik masuk dalam pelukan prianya.

“Aku milikmu Hwang Minhyun.”

“Aku tahu.”

“Kau milikku.”

“Iya Kim Jonghyun.”

Jonghyun kemudian mengecup bibir Minhyun.

“Terimakasih sudah mau mencintaiku setiap saat.” Minhyun mengucap pelan setelah tautan bibir mereka terputus.

“Perintah mencintaimu adalah mutlak, Hwang Minhyun. Wajib dikerjakan.” Jonghyun memberikan hormat ala petugas keamanan. Keduanya terkekeh.

“Bagus. Terus mencintaiku, kalau menipis hukuman gantung menunggumu!”

“Ya sudah ayo pulang.” Jonghyun melepaskan pelukan mereka dan menggandeng Minhyun.

“Tunggu, kau belum jelaskan soal konsep tadi.”

“Kau ini memang tidak peka ya.”

“Maksudmu?”

“Sudah, kau tinggal mencintaiku saja. Tidak usah memikirkan yang lain.”

“Apa maksudmu? Jelaskan dulu Jonghyun-ah! Kim Jonghyun!”

.

.

.

Sementara di tim wardrobe.

“Aku iri dengan Minhyun-oppa.”

“Sama. Dimana mencari pria dengan perangai sigap seperti Jonghyun-oppa?”

“Benar! Dia bahkan rela begadang memikirkan konsep dan pakaian khusus untuk Minhyun-oppa agar bisa tampil secantik tadi.”

“Jonghyun-oppa juga berusaha agar tampil serasi dengan Minhyun-oppa. Ah aku yang tahu saja ikut senang apalagi Minhyun-oppa yang diperlakukan seperti itu ya? pasti bahagia sekali.”

Keempat wanita yang sedang melipat baju dan membereskan peralatan sisa set pemotretan hanya bisa menggigit jari karena iri.

Sedangkan Hwang Minhyun masih tidak tahu alasan konsep kembar kaos tanpa lengan dan set khusus berdua dirinya dengan Jonghyun.

-the end-


Jungkook mematikan komputer kantornya setelah mengirim email hasil editing artikel penulis bimbingannya. Bekerja dibidang media online membuat dirinya sebisa mungkin menyelesaikan semua urusan di kantor karena kalau dibawa pulang yang ada malah tidak dikerjakan.

Lagipula, dia tipe yang kalau sampai dirumah akan berbaring seharian di kasur dan menjadi orang paling malas sedunia. Kekasihnya saja dibuat heran dengan sikapnya yang ini.

Bicara soal kekasih, Jungkook lantas membuka aplikasi pesannya untuk mengabari kekasihnya jika dia sudah akan pulang kerja. Sebuah kebiasaan yang dilakukan semenjak awal pacaran hingga mereka berada dititik ini.

Komitmen keduanya untuk tetap memberi kabar walau hanya sepenggal garis pemberitahuan diponsel sesibuk apapun mereka. Setidaknya komunikasi tetap dipertahankan mesti intensitas jumpa mulai berkurang dan jarang.

Mereka tidak lagi sering bertemu diakhir pekan. Kalaupun membuat rencana temu, harus dicari jadwal libur yang sama atau mengambil cuti jauh sebelumnya.

Mereka tidak lagi selalu bertukar videocall sebelum tidur. Kalaupun mau bertegur sapa, menelpon sebentar dirasa cukup yang kemudian terhenti karena lelah sebagai alasan.

Mungkin keduanya benar-benar lelah karena kesibukan masing-masing. Mungkin juga keduanya sedang jenuh dengan hubungan yang begini-begini saja.

Helaan napas panjang begitu Jungkook menekan tombol lift gedung. Mencoba membuang banyak pikiran negatif yang mengisi kepalanya tentang hubungan dia dan kekasihnya. Semoga saja mereka hanya sedang lelah, bukan tanda berpisah.

Pintu lift terbuka dilantai dasar. Ketika berjalan keluar dari gedung, Jungkook dipanggi oleh rekan kerjanya yang ternyata belum pulang.

“Jungkook-ssi!”

“Jimin-ssi? Belum pulang?”

Gelengan diberikan Jimin, “Belum. Kami rencana makan malam sekaligus minum sebentar. Mau ikut?”

Jungkook sudah mau menolak tawaran tersebut tapi dirinya sudah dirangkul dari samping oleh Hoseok.

“Jungkook-ssi ikut! Ayo!” Hoseok menjawab sambil menariknya pelan. Jungkook akhirnya hanya bisa tersenyum mengikuti.

Sepertinya, makan malam sambil minum sedikit tidak buruk untuk menghilangkan penat pikirannya.

.

.

.

Gelas-gelas kosong kembali diisi minuman berakohol. Tawa canda mengalun dimeja sudut restoran daging panggang, tempat Jungkook dan rekan kerjanya sedang berkumpul.

“Jungkook-ssi, lihat lihat, ini lucu balasannya apalagi.”

Jungkook menoleh pada ponsel yang disodorkan Jimin padanya, tertera tulisan akun seseorang entah siapa yang sanggup membuatnya menahan napas.

Katanya anak pertama jodohnya anak bungsu

Tawa lepas Jimin dibalas tawa seadanya oleh Jungkook. Terasa ada yang mencegahnya tertawa kencang seperti yang lainnya.

“Berarti anak pertama dan anak pertama tidak jodoh ya? Karena harus ada yang berkorban salah satu?” celetukan Hoseok kembali membawa riuh. Semua tertawa kecuali Jungkook yang perlahan meneguk minumannya.

Itu memang hanya harapan orang di media sosial. Komentar Hoseok juga hanya candaan. Jungkook tahu, tapi entah mengapa ada yang serasa menamparnya keras sekali setelah membaca dan mendengar kalimat-kalimat tadi.

Sebut saja dia pribadi overthinking. Tapi memang begitulah yang dia rasakan. Ditambah waktu yang seakan mendukung kegundahan hatinya. Jadilah dia sensitif.

Dalam hati Jungkook berdebat sendiri. Satu sisi berusaha sekuat tenaga membela hubungan dengan kekasihnya yang sanggup mereka jalani hingga menginjak tiga tahun lamanya. Satu sisi lagi mulai terkikis kepercayaan bahwa mereka sebenarnya tidak akan lanjut berjodoh.

Keduanya anak pertama, hubungan mereka juga tidak tahu mau dibawa kemana. Diam-diam Jungkook menyetujui perkataan Hoseok, mungkin mereka tidak akan bisa berjodoh karena harus ada yang berkorban diantara mereka.

Kebetulan kenyataan mendukung Jungkook, kisah cintanya sedang lesu dan tak berdetak jungkir balik seperti yang lain. Lurus, datar dan berusaha menghindari konflik. Menjadikan bosan dan jenuh mengisi celah kosong.

Niat awal ikut minum untuk membuang pikiran jelek malah tambah membebani pikiran Jungkook. Kemungkinan mereka harus berpisah untuk kebahagian masing-masing terasa lebih baik bagi Jungkook. Dia lelah sungguhan. Pikiran juga perasaan.

Gelas kosong kembali diisi oleh Jungkook untuk sekian kali. Masa bodoh dengan semua suara tawa memekakkan yang berusaha menyalurkan frustasi kerja disekelilingnya, Jungkook hanya ingin minum sebanyak mungkin.

Malam ini, Jungkook ingin mabuk hingga bisa melupakan segala kekacauan dalam kepalanya. Terutama berkaitan dengan hubungan kekasihnya. Sejenak ia ingin lupa tentang pacar tampannya –Kim Taehyung. Ia ingin lupa bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja.

.

.

.

Jeon Jungkook terbangun akibat rasa kepala pusing bagai dihantam palu raksasa berkali-kali. Lelaki awal duapuluhan itu mencoba duduk dari baringnya. Tangannya meraba ponsel untuk melihat jam, sudah jam 7 pagi. Dia tidak akan mungkin sempat bersiap untuk masuk kantor, terlebih kepalanya luar biasa sakit.

Jadilah dia mengabari atasannya untuk izin tidak masuk kerja. Lagipula, deadline artikelnya sudah terbit. Tidak begitu banyak pekerjaan mendesak, dia bisa istirahat sebentar.

Dia sedikit meruntuki kegilaannya semalam karena memutuskan untuk mabuk hanya sebagai penghilang keresahan. Kalau efek berikutnya semenyakitkan ini, lebih baik dia minum obat tidur saja supaya tidur seharian bukan malah pusing berkepanjangan begini.

Masih dengan kepala pening, Jungkook pelan-pelan bangun dari ranjangnya. Setidaknya membuat teh peppermint hangat bisa menyadarkannya. Setelah itu baru mencari sarapan pereda pengar.

Baru buka pintu kamar, aroma sup rempah dan teh yang terseduh air panas beradu masuk dalam penciuman Jungkook. Namun bukan itu yang membuat Jungkook sepenuhnya sadar hingga lupa akan sakit kepalanya.

Sosok pemuda tegak yang sibuk mencicipi sup buatannya sendiri adalah penyebabnya. Jungkook hampir berteriak histreris dan langsung memeluk punggung lebar kekasihnya jika tidak ingat bahwa sosok itu sudah lama sekali tidak hadir dalam sekitar Jungkook.

Hati Jungkook rasanya diaduk. Ada senang, ada rindu, ada takut, ada marah, ada gelisah yang terbagi saling isi menumpuk sisi perasaannya. Dia bahkan tidak bisa menjabarkan bagaimana dia harusnya bersikap saat ini.

Ketika tatap mata Taehyung bersinggungan dengannya, Jungkook ingin melarikan diri. Dia merasa senyum itu begitu asing untuknya. Jungkook rasa gemetar saat balas menatapnya.

“Sudah bangun? Ayo sarapan, aku buat sup rempah untuk hilangkan pengarmu.” Suara Taehyung membuat udara disekitar Jungkook kelam. Aneh sekali rasanya mendengar suara ini langsung setelah sekian waktu tak berjumpa.

Taehyung berpikir jika Jungkook masih dalam pengaruh alkohol sehingga diam saja tidak bergerak ke meja makan seperti biasa. Akhirnya dia yang inisiatif untuk menggiringnya.

Saat tangan Taehyung menyentuh kulit lengan Jungkook, kesadaran menyergap Jungkook seperti perampok. Jungkook lantas menyentak tanpa sengaja, seperti bentuk perlawanan akan ancaman.

Taehyung terjengit tapi tidak marah. Dia paham mungkin Jungkook masih belum sadar sepenuhnya. Hingga dia membiarkan Jungkook berjalan ke meja makan lebih dahulu.

Mereka duduk dalam hening. Yang satu membiarkan Jungkook sadar dulu, yang satu merasa bingung dengan kehadiran Taehyung.

Taehyung menelan potongan roti terakhir dan menghabiskan kopinya sebelum bangkit. Dia mengambil minuman botol pereda pengar yang dibelinya sebelum ke sini. Meletakkannya disamping piring Jungkook.

“Aku berangkat dulu.” Pamit Taehyung sambil mengenakkan jaket tebalnya. Jungkook mencengkram sendok makannya kuat.

Tidak bisa. Jungkook tidak bisa diperlakukan seperti ini. Dia bukanlah area istirahat yang mudah didatangi kemudian selalu ditinggal pergi. Taehyung selalu menganggap semuanya baik-baik saja, padahal hubungan mereka secara perlahan tenggelam.

“Apa aku harus sakit dulu baru kita bisa bertemu?” tanya Jungkook yang membuat Taehyung tidak jadi melangkah. Keningnya bertaut tak mengerti maksud Jungkook.

“Apa maksudmu Jungkook?”

Jungkook lantas mendecih. Bahkan Taehyung sekarang memanggil langsung namanya tanpa embel-embel panggilan Sayang atau Bunny seperti biasanya.

Pria Jeon mendorong kursi untuk berdiri dan menuju kekasihnya, “Kau… bahkan mengabaikan pesanku selama ini. Lalu tiba-tiba datang kesini. Maksudmu apa?”

“Apa katamu? Tentu saja untuk merawatmu karena temanmu menelponku, katanya kau pingsan saat mabuk. Kau sedang sakit, kan?”

“Oh jadi, aku harus terlihat menderita dulu baru kau luangkan waktu untuk bertemu, begitu Kim Taehyung?” Jungkook tahu nada bicaranya tidak berubah tapi jelas terselip sindiran.

Taehyung jelas tidak suka Jungkook yang menatapnya sengit penuh kemarahan. Hei apa salahnya dia pagi-pagi begini sampai ditantang seberani itu?

“Dengar, aku tidak mau bertengkar denganmu. Kau sedang sakit jadi istirahat saja. Jangan bicara aneh-aneh. Aku sibuk Jungkook-ah.”

“Aku tidak bicara aneh-aneh! Aku bicara tentang Kita!” Jungkook tidak berniat berteriak, dia mau semuanya diselesaikan tanpa naik pitam. Tapi entahlah, setumpuk emosi seperti dibakar perlahan dalam dadanya dan harus dikeluarkan.

Kekasihnya tentu terkejut mendengar nada tinggi tersebut. Taehyung ikut terpancing hingga sedikit menyudutkan Jungkook.

“Apa? Kau mau bicara apa tentang Kita? Kita baik-baik saja, Jungkook!”

“Tidak! Kita sedang tidak baik-baik saja!”

“Oke! Lalu jelaskan dimana letak rusaknya atau apa masalahnya? Katakan!”

Jungkook terdiam. Dia bingung harus mulai menjelaskan darimana. Semuanya terlampau cepat dan mendadak singkat untuk dijabarkan.

“Lihat? Kau bahkan tidak tahu perkaranya. Sudahlah, kau butuh istirahat.”

Taehyung berniat mengusak rambut Jungkook sambil meredam amarah. Tapi Jungkook kembali memanaskan suasana.

“Kau berubah! Aku dan hubungan kita ikut berubah! Kita hanya menunggu saling menghancurkan Hyung!”

“Apa kau bilang?”

“Hubungan kita sudah tidak punya tujuan. Mengambang, tidak jelas, dan kita sibuk mengejar urusan masing-masing. Kau bahkan sudah terasa sangat asing untukku.”

“Begitu? Kalau aku berubah aku tidak akan disini untuk mengurusimu! Kalau hubungan ini tidak punya tujuan karena memang dari awal kita tidak ada goals apapun! Kalau kau merasa asing denganku, harusnya kau mengusirku sejak tadi bukan malah berteriak tidak jelas!”

Akhirnya ledakkan amarah Taehyung ikut memperkeruh keadaan. Dadanya bergerak naik turun mengatur napas akibat rentetan kata cepat.

“Aku yang harusnya bertanya padamu, kau tidak pernah serius menanggapi seluruh usahaku. Padahal aku bekerja keras untuk kita berdua, tapi kau selalu merasa cukup dengan hasilmu sendiri. Sekarang contohnya. Kau sakit saja aku harus mendengarnya dari orang lain bukan kau sendiri. Kau tidak pernah mau bergantung apapun kepadaku, Jungkook. Bukan aku yang berubah, tapi kau yang tidak pernah menganggapku!”

Setelah mengumbar kata-kata pedas, Taehyung pergi dengan membanting pintu apartemen Jungkook. Meninggalkan pria itu yang kini menangis akibat terkejut karena teriakan dan kata-kata Taehyung. Tapi daripada itu, hatinya yang paling teriris sakit sebab kejujuran Taehyung yang selama ini disembunyikan.

Pagi itu Taehyung membentak dan mereka bertengkar hebat.

Pagi itu Jungkook menangis dan meraung keras.

Pada pagi itu pula, keduanya merasa bahwa semuanya terasa salah.

.

.

.

Harusnya hari ini jadi waktu istirahat ideal untuk Jungkook habiskan dengan bermalas-malasan dikasur sambil menyambung tontonan yang belum terkejar. Harusnya dia juga bisa jalan-jalan menghilangkan penat setelah pengarnya reda, padahal hari ini cuacanya begitu cerah.

Tapi sayangnya, dia malah meringkuk di ruang tengah menangisi pertengkarannya dengan sang kekasih tadi pagi. Emosi yang seharusnya dia lampiaskan malah berbalik menyerangnya ditambah amukan Taehyung jelas membuat Jungkook merasa kecil.

Jungkook takut sungguhan. Semarah-marahnya Taehyung, dia tidak akan membentak seperti tadi. Paling hanya mendesis atau mendiamkannya sebentar bukan malah langsung memaki. Terlebih kalimat terakhir Taehyung yang memenuhi pikirannya.

Bukan dia tidak pernah bergantung kepada Taehyung, dia hanya tidak mau merepotkan kekasihnya. Pekerjaan Taehyung punya peran dan tanggungjawab lebih besar darinya yang hanya seorang editor artikel. Dia mengurusi banyak orang dan Jungkook tidak mau menambah pikirannya lagi.

Dia hanya ingin Taehyung tahu perihal baik saja, makanya dia selalu mengabari Taehyung berita bagus dalam hari-harinya agar tidak khawatir. Jungkook hanya ingin meringankan beban Taehyung.

Sepertinya memang benar, dirinya dan Taehyung tidak akan bisa berjodoh. Dia harus mengubur semua kenangan indah selama mereka berpacaran tiga tahun lamanya.

Kenangan manis seperti awal mula berpacaran karena project semester akhir, curi-curi kencan ditengah survei tempat pagelaran, wisuda berdampingan sebagai lulusan terbaik masing-masing jurusan hingga bertahan menunggu sama-sama bekerja dan sukses.

Bahkan Jungkook juga harus mulai mengikhlaskan janji Taehyung yang akan melamarnya akhir tahun ini. Jika Taehyung sampai semarah tadi, bisa saja semuanya batal.

Kalau hubungan mereka runyam tak karuan seperti ini, jangankan bertahan sampai tunangan. Mungkin nantinya dia hanya akan datang sebagai undangan.

Jungkook tahu dirinya harus memperbaiki semuanya. Harusnya meluruskan kesalahpahaman diantara mereka. Tapi rasanya terlalu sulit.

Dia tidak tahu benang kusut mana yang sepantasnya diurai lebih dahulu. Dia juga tak siap menarik semuanya sendirian, apalagi jika sesuai kemungkinan yang dia perkirakan maka akan jauh lebih menyakitkan.

Maka Jungkook bertekad mengakhiri tanpa menuntaskan apapun. Biarkan mereka berakhir dengan sekumpulan masalah yang akan menjadi pelajaran keduanya dihubungan lain nanti.

Ya. Dia yang akan berkorban untuk mengalah dan mundur dari segala kerumitan hubungan ini.

Biarkan dia yang akan menderita jika memang tidak bisa berjodoh dengan kekasihnya Kim Taehyung.

.

.

.

Di kantornya, Taehyung tidak bisa fokus dalam bekerja semenjak bertengkar dengan Jungkook tadi pagi. Apalagi setelah melihat pandangan menyedihkan dari kedua mata Jungkook.

Dia tahu dia sudah sangat keterlaluan, mengucapkan seluruh sisi terpendamnya dengan amarah meletup-letup. Padahal harusnya dia menjadi pihak yang dingin menanggapi panasnya Jungkook. Bukan malah ikut mendidih seperti tadi.

Perasaannya mencelos tidak enak karena kesalahannya tadi. Teringat bayang-bayang Jungkook yang dia buat bungkam menahan airmata. Sudah dipastikan jika kekasih tercintanya akan menangis karena dirinya. Taehyung benci Jungkook menangis, terlebih karena dirinya.

Sebenarnya dari sisi Taehyung tidak masalah dengan sikap Jungkook. Dia akan tetap menjadi yang tersiaga bahkan tanpa Jungkook minta sekalipun. Dia hanya kesal karena tahu kabar kekasihnya jatuh sakit dari orang lain, rasanya Taehyung seperti kecolongan.

Orang yang harus dia jaga sepenuh hati malah sakit disaat dia tidak ada disisinya. Taehyung merasa kesal dengan dirinya sendiri sehingga meluapkan semuanya tadi. Dan kini dia menyesalinya.

Taehyung mana sanggup lama-lama bertengkar dengan Jungkook yang selalu mengerti dirinya melebihi orang lain. Apalagi teringat perkataan Jungkook bahwa hubungan mereka tidak jelas. Ya, Taehyung menyadari hubungan ini tidak punya arah dan tujuan apapun. Mereka berdua ingin semua mengalir lancar seperti air.

Tapi mungkin saat ini tidak bisa lagi seperti itu. Taehyung harus tegas menentukan kemana koordinat titik akhir hubungan mereka.

Sebenarnya solusi sudah ditemukan Taehyung dari tahun lalu dan dia sedang menyiapkan semuanya untuk Jungkook. Namun sepertinya rencana akan dia percepat bukan menunggu akhir tahun.

Laci meja kerja dibuka, sebuah kotak beludru diambil. Isinya cincin lapis emas putih dengan graver inisal namanya dan Jungkook disana. Napas ditarik dalam, Taehyung mengembuskan dengan keyakinan.

Malam ini dia akan meminta maaf sekaligus memantapkan pilihannya kepada Jungkook.

Ya, Taehyung akan melamarnya malam nanti.

.

.

.

Jungkook bersiap untuk pergi ke café langganannya dan Taehyung. Tempat dulu mereka jadian sekaligus tempat favorit mereka berdua.

Sebenarnya tadi saat makan siang, Taehyung menelpon tapi tidak ia angkat. Setelah melihat pesan, ternyata Taehyung mengajak makan malam diluar. Jungkook juga akhirnya memilih untuk mengakhiri keputusannya lebih cepat. Maka dia menyarankan untuk makan malam di café langganan mereka.

Jika awal mula dari café itu, maka akan lebih baik juga berakhir disana. Supaya mudah dilupakannya.

Merapatkan jaket tebalnya, Jungkook kemudian menepuk pipinya sekali. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa.

“Jeon Jungkook, kau hanya ingin dia bahagia. Jadi tidak ada salahnya berkorban, dia bukan jodohmu.” Gumamnya pada cermin.

.

.

.

Taehyung tiba di café lebih dahulu, memesan segala menu kesukaan Jungkook kemudian memberi tahu pemilik café kalau dia akan melamar kekasihnya. Sang pemilik ikut bahagia mendengarnya, bahkan bersedia langsung menutup café setelah Jungkook datang supaya tidak ada yang menganggu momen mereka.

Jungkook datang lima belas menit kemudian. Taehyung bisa melihat jejak bengkak mata Jungkook, dia meringis sambil meruntuki diri dalam hati karena dirinya Jungkook sampai menangis.

Makanan langsung datang dan keduanya makan dalam diam. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing karena sibuk mengatur rangkaian kata.

Hingga hidangan pun habis. Sambil menunggu menu desert, mereka berniat membuka obrolan.

“Jungkook/Hyung.” Ucap mereka berbarengan.

Taehyung tersenyum, dia mempersilakan Jungkook untuk bicara dahulu. Tapi Jungkook bungkam, seperti ada yang memaksanya diam. Lidahnya mendadak tidak bisa digerakkan. Hingga dia berdeham lalu menggeleng, mempersilakan Taehyung membuka topik.

“Aku minta maaf, soal tadi pagi dan soal aku yang berubah. Maaf karena membentakmu, aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi aku kesal karena kau sakit tanpa aku tahu, ditambah kau bicara seolah-olah aku berubah jahat dan ya… jadilah aku kelepasan seperti tadi. Maaf ya.” sesal Taehyung. Jungkook hanya mengangguk sebagai balasan.

Taehyung segera bangkit dari kursinya kemudian langsung bersimpuh disisi Jungkook. Jungkook tentu panik karena Taehyung bersimpuh disampingnya.

“Hyung, sudah aku memaafkanmu. Tidak perlu sampai bersimpuh begitu, bangun Hyung.” Jungkook menarik-narik lengan Taehyung agar berdiri.

Tawa disembunyikan Taehyung karena reaksi kelewat menggemaskan Jungkook, tapi dia kesampingkan sejenak. Dia punya misi melamar Jungkook dengan romantis.

“Jeon Jungkook, dengarkan aku. Aku tidak pernah berubah. Apalagi mengubah diri darimu. Kau satu-satunya yang menempati ruang dihatiku dan tidak akan pernah aku gantikan oleh siapapun. Jadi, agar hidupku juga sama penuhnya dengan hatiku, maukah kau juga mengisi hidupku sebagai pendamping hingga nanti kita dipisahkan maut?”

Jungkook segera menutup mulutnya menahan isakan. Ketika cincin diperlihatkan, rasa haru dan euforia jelas memenuhi hati Jungkook. Dia menangis lagi, tapi kali ini tangisan bahagia.

Rasa marah dan sesaknya menguap ke udara. Tidak bersisa karena pria tampan kebanggaannya sedang melamarnya dengan ketulusan.

“Jungkook, jawabannya?” tanya Taehyung lembut sambil mengusap airmata Jungkook.

Jungkook menarik napas dan berdeham menjernihkan suaranya. Sebuah anggukan mantap diberikan.

“Ya, aku mau.”

Taehyung tidak bisa menyembunyikan senyum lega. Membuat Jungkook juga ikut menarik sudut bibirnya lebih lebar.

Cincin terpasang dijari manis keduanya. Membuat tanda kepemilikan sah bagi orang lain. Taehyung mengajak Jungkook untuk duduk di sofa sambil menunggu hidangan penutup. Kini mereka duduk berdampingan disofa kecil café.

“Hyung, maaf juga tadi aku keterlaluan.” Ucap Jungkook tiba-tiba. Taehyungpun mengangguk.

“Aku tahu, kau pasti sedang banyak pikiran. Sampai marah-marah begitu.” Kini mereka bisa kembali tertawa.

Jungkook akhirnya menceritakan segala pemikiran negatif dikepalanya. Mulai dari kemungkinan Taehyung bosan dengannya, Taehyung tertarik dengan orang lain, Taehyung tidak mau menikah dengannya, bahkan sampai pikiran bahwa Taehyung dan dia tidak berjodoh karena sama-sama anak pertama.

Taehyung hanya bisa tertawa dan mencuri kecupan dari bibir Jungkook karena gemas dengan semua pemikiran kekasihnya sendiri. Taehyung bersyukur sebanyak-banyaknya karena dia bisa bertemu dengan Jungkook dan juga segala tentang pria itu.

Hidangan penutup es krim kacang merah datang. Mereka menikmati desert kemudian berfoto sebagai kenang-kenangan. Kini keduanya sudah dalam mobil Taehyung untuk mengantarkan Jungkook pulang.

“Hyung, terimakasih sudah bicara duluan dan melamarku. Kalau aku yang bicara duluan tadi, mungkin kita sedang menangisi satu sama lain bukan berbagi cincin.” Kata Jungkook saat mobil berhenti di lampu merah.

Taehyung menoleh cepat, “Kau mau minta putus tadi?”

Jungkook mengangguk pelan. Taehyung tanpa sadar ikut menghela napas lega.

“Tidak bisa begini.” Gumam Taehyung yang langsung menyalakan lampu sein mobil untuk putar arah.

“Kita mau kemana Hyung?” tanya Jungkook setelah Taehyung memutar balik bukan ke apartemen Jungkook.

“Mulai malam ini kita tinggal bersama. Aku tidak mau pisah-pisah lagi darimu. Hitung-hitung mulai simulasi hidup rumah tangga dan berkeluarga.”

.

.

.

The End


Jungkook mematikan komputer kantornya setelah mengirim email hasil editing artikel penulis bimbingannya. Bekerja dibidang media online membuat dirinya sebisa mungkin menyelesaikan semua urusan di kantor karena kalau dibawa pulang yang ada malah tidak dikerjakan.

Lagipula, dia tipe yang kalau sampai dirumah akan berbaring seharian di kasur dan menjadi orang paling malas sedunia. Kekasihnya saja dibuat heran dengan sikapnya yang ini.

Bicara soal kekasih, Jungkook lantas membuka aplikasi pesannya untuk mengabari kekasihnya jika dia sudah akan pulang kerja. Sebuah kebiasaan yang dilakukan semenjak awal pacaran hingga mereka berada dititik ini.

Komitmen keduanya untuk tetap memberi kabar walau hanya sepenggal garis pemberitahuan diponsel sesibuk apapun mereka. Setidaknya komunikasi tetap dipertahankan mesti intensitas jumpa mulai berkurang dan jarang.

Mereka tidak lagi sering bertemu diakhir pekan. Kalaupun membuat rencana temu, harus dicari jadwal libur yang sama atau mengambil cuti jauh sebelumnya.

Mereka tidak lagi selalu bertukar videocall sebelum tidur. Kalaupun mau bertegur sapa, menelpon sebentar dirasa cukup yang kemudian terhenti karena lelah sebagai alasan.

Mungkin keduanya benar-benar lelah karena kesibukan masing-masing. Mungkin juga keduanya sedang jenuh dengan hubungan yang begini-begini saja.

Helaan napas panjang begitu Jungkook menekan tombol lift gedung. Mencoba membuang banyak pikiran negatif yang mengisi kepalanya tentang hubungan dia dan kekasihnya. Semoga saja mereka hanya sedang lelah, bukan tanda berpisah.

Pintu lift terbuka dilantai dasar. Ketika berjalan keluar dari gedung, Jungkook dipanggi oleh rekan kerjanya yang ternyata belum pulang.

“Jungkook-ssi!”

“Jimin-ssi? Belum pulang?”

Gelengan diberikan Jimin, “Belum. Kami rencana makan malam sekaligus minum sebentar. Mau ikut?”

Jungkook sudah mau menolak tawaran tersebut tapi dirinya sudah dirangkul dari samping oleh Hoseok.

“Jungkook-ssi ikut! Ayo!” Hoseok menjawab sambil menariknya pelan. Jungkook akhirnya hanya bisa tersenyum mengikuti.

Sepertinya, makan malam sambil minum sedikit tidak buruk untuk menghilangkan penat pikirannya.

.

.

.

Gelas-gelas kosong kembali diisi minuman berakohol. Tawa canda mengalun dimeja sudut restoran daging panggang, tempat Jungkook dan rekan kerjanya sedang berkumpul.

“Jungkook-ssi, lihat lihat, ini lucu balasannya apalagi.”

Jungkook menoleh pada ponsel yang disodorkan Jimin padanya, tertera tulisan akun seseorang entah siapa yang sanggup membuatnya menahan napas.

Katanya anak pertama jodohnya anak bungsu

Tawa lepas Jimin dibalas tawa seadanya oleh Jungkook. Terasa ada yang mencegahnya tertawa kencang seperti yang lainnya.

“Berarti anak pertama dan anak pertama tidak jodoh ya? Karena harus ada yang berkorban salah satu?” celetukan Hoseok kembali membawa riuh. Semua tertawa kecuali Jungkook yang perlahan meneguk minumannya.

Itu memang hanya harapan orang di media sosial. Komentar Hoseok juga hanya candaan. Jungkook tahu, tapi entah mengapa ada yang serasa menamparnya keras sekali setelah membaca dan mendengar kalimat-kalimat tadi.

Sebut saja dia pribadi overthinking. Tapi memang begitulah yang dia rasakan. Ditambah waktu yang seakan mendukung kegundahan hatinya. Jadilah dia sensitif.

Dalam hati Jungkook berdebat sendiri. Satu sisi berusaha sekuat tenaga membela hubungan dengan kekasihnya yang sanggup mereka jalani hingga menginjak tiga tahun lamanya. Satu sisi lagi mulai terkikis kepercayaan bahwa mereka sebenarnya tidak akan lanjut berjodoh.

Keduanya anak pertama, hubungan mereka juga tidak tahu mau dibawa kemana. Diam-diam Jungkook menyetujui perkataan Hoseok, mungkin mereka tidak akan bisa berjodoh karena harus ada yang berkorban diantara mereka.

Kebetulan kenyataan mendukung Jungkook, kisah cintanya sedang lesu dan tak berdetak jungkir balik seperti yang lain. Lurus, datar dan berusaha menghindari konflik. Menjadikan bosan dan jenuh mengisi celah kosong.

Niat awal ikut minum untuk membuang pikiran jelek malah tambah membebani pikiran Jungkook. Kemungkinan mereka harus berpisah untuk kebahagian masing-masing terasa lebih baik bagi Jungkook. Dia lelah sungguhan. Pikiran juga perasaan.

Gelas kosong kembali diisi oleh Jungkook untuk sekian kali. Masa bodoh dengan semua suara tawa memekakkan yang berusaha menyalurkan frustasi kerja disekelilingnya, Jungkook hanya ingin minum sebanyak mungkin.

Malam ini, Jungkook ingin mabuk hingga bisa melupakan segala kekacauan dalam kepalanya. Terutama berkaitan dengan hubungan kekasihnya. Sejenak ia ingin lupa tentang pacar tampannya –Kim Taehyung. Ia ingin lupa bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja.

.

.

.

Jeon Jungkook terbangun akibat rasa kepala pusing bagai dihantam palu raksasa berkali-kali. Lelaki awal duapuluhan itu mencoba duduk dari baringnya. Tangannya meraba ponsel untuk melihat jam, sudah jam 7 pagi. Dia tidak akan mungkin sempat bersiap untuk masuk kantor, terlebih kepalanya luar biasa sakit.

Jadilah dia mengabari atasannya untuk izin tidak masuk kerja. Lagipula, deadline artikelnya sudah terbit. Tidak begitu banyak pekerjaan mendesak, dia bisa istirahat sebentar.

Dia sedikit meruntuki kegilaannya semalam karena memutuskan untuk mabuk hanya sebagai penghilang keresahan. Kalau efek berikutnya semenyakitkan ini, lebih baik dia minum obat tidur saja supaya tidur seharian bukan malah pusing berkepanjangan begini.

Masih dengan kepala pening, Jungkook pelan-pelan bangun dari ranjangnya. Setidaknya membuat teh peppermint hangat bisa menyadarkannya. Setelah itu baru mencari sarapan pereda pengar.

Baru buka pintu kamar, aroma sup rempah dan teh yang terseduh air panas beradu masuk dalam penciuman Jungkook. Namun bukan itu yang membuat Jungkook sepenuhnya sadar hingga lupa akan sakit kepalanya.

Sosok pemuda tegak yang sibuk mencicipi sup buatannya sendiri adalah penyebabnya. Jungkook hampir berteriak histreris dan langsung memeluk punggung lebar kekasihnya jika tidak ingat bahwa sosok itu sudah lama sekali tidak hadir dalam sekitar Jungkook.

Hati Jungkook rasanya diaduk. Ada senang, ada rindu, ada takut, ada marah, ada gelisah yang terbagi saling isi menumpuk sisi perasaannya. Dia bahkan tidak bisa menjabarkan bagaimana dia harusnya bersikap saat ini.

Ketika tatap mata Taehyung bersinggungan dengannya, Jungkook ingin melarikan diri. Dia merasa senyum itu begitu asing untuknya. Jungkook rasa gemetar saat balas menatapnya.

“Sudah bangun? Ayo sarapan, aku buat sup rempah untuk hilangkan pengarmu.” Suara Taehyung membuat udara disekitar Jungkook kelam. Aneh sekali rasanya mendengar suara ini langsung setelah sekian waktu tak berjumpa.

Taehyung berpikir jika Jungkook masih dalam pengaruh alkohol sehingga diam saja tidak bergerak ke meja makan seperti biasa. Akhirnya dia yang inisiatif untuk menggiringnya.

Saat tangan Taehyung menyentuh kulit lengan Jungkook, kesadaran menyergap Jungkook seperti perampok. Jungkook lantas menyentak tanpa sengaja, seperti bentuk perlawanan akan ancaman.

Taehyung terjengit tapi tidak marah. Dia paham mungkin Jungkook masih belum sadar sepenuhnya. Hingga dia membiarkan Jungkook berjalan ke meja makan lebih dahulu.

Mereka duduk dalam hening. Yang satu membiarkan Jungkook sadar dulu, yang satu merasa bingung dengan kehadiran Taehyung.

Taehyung menelan potongan roti terakhir dan menghabiskan kopinya sebelum bangkit. Dia mengambil minuman botol pereda pengar yang dibelinya sebelum ke sini. Meletakkannya disamping piring Jungkook.

“Aku berangkat dulu.” Pamit Taehyung sambil mengenakkan jaket tebalnya. Jungkook mencengkram sendok makannya kuat.

Tidak bisa. Jungkook tidak bisa diperlakukan seperti ini. Dia bukanlah area istirahat yang mudah didatangi kemudian selalu ditinggal pergi. Taehyung selalu menganggap semuanya baik-baik saja, padahal hubungan mereka secara perlahan tenggelam.

“Apa aku harus sakit dulu baru kita bisa bertemu?” tanya Jungkook yang membuat Taehyung tidak jadi melangkah. Keningnya bertaut tak mengerti maksud Jungkook.

“Apa maksudmu Jungkook?”

Jungkook lantas mendecih. Bahkan Taehyung sekarang memanggil langsung namanya tanpa embel-embel panggilan Sayang atau Bunny seperti biasanya.

Pria Jeon mendorong kursi untuk berdiri dan menuju kekasihnya, “Kau… bahkan mengabaikan pesanku selama ini. Lalu tiba-tiba datang kesini. Maksudmu apa?”

“Apa katamu? Tentu saja untuk merawatmu karena temanmu menelponku, katanya kau pingsan saat mabuk. Kau sedang sakit, kan?”

“Oh jadi, aku harus terlihat menderita dulu baru kau luangkan waktu untuk bertemu, begitu Kim Taehyung?” Jungkook tahu nada bicaranya tidak berubah tapi jelas terselip sindiran.

Taehyung jelas tidak suka Jungkook yang menatapnya sengit penuh kemarahan. Hei apa salahnya dia pagi-pagi begini sampai ditantang seberani itu?

“Dengar, aku tidak mau bertengkar denganmu. Kau sedang sakit jadi istirahat saja. Jangan bicara aneh-aneh. Aku sibuk Jungkook-ah.”

“Aku tidak bicara aneh-aneh! Aku bicara tentang Kita!” Jungkook tidak berniat berteriak, dia mau semuanya diselesaikan tanpa naik pitam. Tapi entahlah, setumpuk emosi seperti dibakar perlahan dalam dadanya dan harus dikeluarkan.

Kekasihnya tentu terkejut mendengar nada tinggi tersebut. Taehyung ikut terpancing hingga sedikit menyudutkan Jungkook.

“Apa? Kau mau bicara apa tentang Kita? Kita baik-baik saja, Jungkook!”

“Tidak! Kita sedang tidak baik-baik saja!”

“Oke! Lalu jelaskan dimana letak rusaknya atau apa masalahnya? Katakan!”

Jungkook terdiam. Dia bingung harus mulai menjelaskan darimana. Semuanya terlampau cepat dan mendadak singkat untuk dijabarkan.

“Lihat? Kau bahkan tidak tahu perkaranya. Sudahlah, kau butuh istirahat.”

Taehyung berniat mengusak rambut Jungkook sambil meredam amarah. Tapi Jungkook kembali memanaskan suasana.

“Kau berubah! Aku dan hubungan kita ikut berubah! Kita hanya menunggu saling menghancurkan Hyung!”

“Apa kau bilang?”

“Hubungan kita sudah tidak punya tujuan. Mengambang, tidak jelas, dan kita sibuk mengejar urusan masing-masing. Kau bahkan sudah terasa sangat asing untukku.”

“Begitu? Kalau aku berubah aku tidak akan disini untuk mengurusimu! Kalau hubungan ini tidak punya tujuan karena memang dari awal kita tidak ada goals apapun! Kalau kau merasa asing denganku, harusnya kau mengusirku sejak tadi bukan malah berteriak tidak jelas!”

Akhirnya ledakkan amarah Taehyung ikut memperkeruh keadaan. Dadanya bergerak naik turun mengatur napas akibat rentetan kata cepat.

“Aku yang harusnya bertanya padamu, kau tidak pernah serius menanggapi seluruh usahaku. Padahal aku bekerja keras untuk kita berdua, tapi kau selalu merasa cukup dengan hasilmu sendiri. Sekarang contohnya. Kau sakit saja aku harus mendengarnya dari orang lain bukan kau sendiri. Kau tidak pernah mau bergantung apapun kepadaku, Jungkook. Bukan aku yang berubah, tapi kau yang tidak pernah menganggapku!”

Setelah mengumbar kata-kata pedas, Taehyung pergi dengan membanting pintu apartemen Jungkook. Meninggalkan pria itu yang kini menangis akibat terkejut karena teriakan dan kata-kata Taehyung. Tapi daripada itu, hatinya yang paling teriris sakit sebab kejujuran Taehyung yang selama ini disembunyikan.

Pagi itu Taehyung membentak dan mereka bertengkar hebat.

Pagi itu Jungkook menangis dan meraung keras.

Pada pagi itu pula, keduanya merasa bahwa semuanya terasa salah.

.

.

.

Harusnya hari ini jadi waktu istirahat ideal untuk Jungkook habiskan dengan bermalas-malasan dikasur sambil menyambung tontonan yang belum terkejar. Harusnya dia juga bisa jalan-jalan menghilangkan penat setelah pengarnya reda, padahal hari ini cuacanya begitu cerah.

Tapi sayangnya, dia malah meringkuk di ruang tengah menangisi pertengkarannya dengan sang kekasih tadi pagi. Emosi yang seharusnya dia lampiaskan malah berbalik menyerangnya ditambah amukan Taehyung jelas membuat Jungkook merasa kecil.

Jungkook takut sungguhan. Semarah-marahnya Taehyung, dia tidak akan membentak seperti tadi. Paling hanya mendesis atau mendiamkannya sebentar bukan malah langsung memaki. Terlebih kalimat terakhir Taehyung yang memenuhi pikirannya.

Bukan dia tidak pernah bergantung kepada Taehyung, dia hanya tidak mau merepotkan kekasihnya. Pekerjaan Taehyung punya peran dan tanggungjawab lebih besar darinya yang hanya seorang editor artikel. Dia mengurusi banyak orang dan Jungkook tidak mau menambah pikirannya lagi.

Dia hanya ingin Taehyung tahu perihal baik saja, makanya dia selalu mengabari Taehyung berita bagus dalam hari-harinya agar tidak khawatir. Jungkook hanya ingin meringankan beban Taehyung.

Sepertinya memang benar, dirinya dan Taehyung tidak akan bisa berjodoh. Dia harus mengubur semua kenangan indah selama mereka berpacaran tiga tahun lamanya.

Kenangan manis seperti awal mula berpacaran karena project semester akhir, curi-curi kencan ditengah survei tempat pagelaran, wisuda berdampingan sebagai lulusan terbaik masing-masing jurusan hingga bertahan menunggu sama-sama bekerja dan sukses.

Bahkan Jungkook juga harus mulai mengikhlaskan janji Taehyung yang akan melamarnya akhir tahun ini. Jika Taehyung sampai semarah tadi, bisa saja semuanya batal.

Kalau hubungan mereka runyam tak karuan seperti ini, jangankan bertahan sampai tunangan. Mungkin nantinya dia hanya akan datang sebagai undangan.

Jungkook tahu dirinya harus memperbaiki semuanya. Harusnya meluruskan kesalahpahaman diantara mereka. Tapi rasanya terlalu sulit.

Dia tidak tahu benang kusut mana yang sepantasnya diurai lebih dahulu. Dia juga tak siap menarik semuanya sendirian, apalagi jika sesuai kemungkinan yang dia perkirakan maka akan jauh lebih menyakitkan.

Maka Jungkook bertekad mengakhiri tanpa menuntaskan apapun. Biarkan mereka berakhir dengan sekumpulan masalah yang akan menjadi pelajaran keduanya dihubungan lain nanti.

Ya. Dia yang akan berkorban untuk mengalah dan mundur dari segala kerumitan hubungan ini.

Biarkan dia yang akan menderita jika memang tidak bisa berjodoh dengan kekasihnya Kim Taehyung.

.

.

.

Di kantornya, Taehyung tidak bisa fokus dalam bekerja semenjak bertengkar dengan Jungkook tadi pagi. Apalagi setelah melihat pandangan menyedihkan dari kedua mata Jungkook.

Dia tahu dia sudah sangat keterlaluan, mengucapkan seluruh sisi terpendamnya dengan amarah meletup-letup. Padahal harusnya dia menjadi pihak yang dingin menanggapi panasnya Jungkook. Bukan malah ikut mendidih seperti tadi.

Perasaannya mencelos tidak enak karena kesalahannya tadi. Teringat bayang-bayang Jungkook yang dia buat bungkam menahan airmata. Sudah dipastikan jika kekasih tercintanya akan menangis karena dirinya. Taehyung benci Jungkook menangis, terlebih karena dirinya.

Sebenarnya dari sisi Taehyung tidak masalah dengan sikap Jungkook. Dia akan tetap menjadi yang tersiaga bahkan tanpa Jungkook minta sekalipun. Dia hanya kesal karena tahu kabar kekasihnya jatuh sakit dari orang lain, rasanya Taehyung seperti kecolongan.

Orang yang harus dia jaga sepenuh hati malah sakit disaat dia tidak ada disisinya. Taehyung merasa kesal dengan dirinya sendiri sehingga meluapkan semuanya tadi. Dan kini dia menyesalinya.

Taehyung mana sanggup lama-lama bertengkar dengan Jungkook yang selalu mengerti dirinya melebihi orang lain. Apalagi teringat perkataan Jungkook bahwa hubungan mereka tidak jelas. Ya, Taehyung menyadari hubungan ini tidak punya arah dan tujuan apapun. Mereka berdua ingin semua mengalir lancar seperti air.

Tapi mungkin saat ini tidak bisa lagi seperti itu. Taehyung harus tegas menentukan kemana koordinat titik akhir hubungan mereka.

Sebenarnya solusi sudah ditemukan Taehyung dari tahun lalu dan dia sedang menyiapkan semuanya untuk Jungkook. Namun sepertinya rencana akan dia percepat bukan menunggu akhir tahun.

Laci meja kerja dibuka, sebuah kotak beludru diambil. Isinya cincin lapis emas putih dengan graver inisal namanya dan Jungkook disana. Napas ditarik dalam, Taehyung mengembuskan dengan keyakinan.

Malam ini dia akan meminta maaf sekaligus memantapkan pilihannya kepada Jungkook.

Ya, Taehyung akan melamarnya malam nanti.

.

.

.

Jungkook bersiap untuk pergi ke café langganannya dan Taehyung. Tempat dulu mereka jadian sekaligus tempat favorit mereka berdua.

Sebenarnya tadi saat makan siang, Taehyung menelpon tapi tidak ia angkat. Setelah melihat pesan, ternyata Taehyung mengajak makan malam diluar. Jungkook juga akhirnya memilih untuk mengakhiri keputusannya lebih cepat. Maka dia menyarankan untuk makan malam di café langganan mereka.

Jika awal mula dari café itu, maka akan lebih baik juga berakhir disana. Supaya mudah dilupakannya.

Merapatkan jaket tebalnya, Jungkook kemudian menepuk pipinya sekali. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa.

“Jeon Jungkook, kau hanya ingin dia bahagia. Jadi tidak ada salahnya berkorban, dia bukan jodohmu.” Gumamnya pada cermin.

.

.

.

Taehyung tiba di café lebih dahulu, memesan segala menu kesukaan Jungkook kemudian memberi tahu pemilik café kalau dia akan melamar kekasihnya. Sang pemilik ikut bahagia mendengarnya, bahkan bersedia langsung menutup café setelah Jungkook datang supaya tidak ada yang menganggu momen mereka.

Jungkook datang lima belas menit kemudian. Taehyung bisa melihat jejak bengkak mata Jungkook, dia meringis sambil meruntuki diri dalam hati karena dirinya Jungkook sampai menangis.

Makanan langsung datang dan keduanya makan dalam diam. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing karena sibuk mengatur rangkaian kata.

Hingga hidangan pun habis. Sambil menunggu menu desert, mereka berniat membuka obrolan.

“Jungkook/Hyung.” Ucap mereka berbarengan.

Taehyung tersenyum, dia mempersilakan Jungkook untuk bicara dahulu. Tapi Jungkook bungkam, seperti ada yang memaksanya diam. Lidahnya mendadak tidak bisa digerakkan. Hingga dia berdeham lalu menggeleng, mempersilakan Taehyung membuka topik.

“Aku minta maaf, soal tadi pagi dan soal aku yang berubah. Maaf karena membentakmu, aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi aku kesal karena kau sakit tanpa aku tahu, ditambah kau bicara seolah-olah aku berubah jahat dan ya… jadilah aku kelepasan seperti tadi. Maaf ya.” sesal Taehyung. Jungkook hanya mengangguk sebagai balasan.

Taehyung segera bangkit dari kursinya kemudian langsung bersimpuh disisi Jungkook. Jungkook tentu panik karena Taehyung bersimpuh disampingnya.

“Hyung, sudah aku memaafkanmu. Tidak perlu sampai bersimpuh begitu, bangun Hyung.” Jungkook menarik-narik lengan Taehyung agar berdiri.

Tawa disembunyikan Taehyung karena reaksi kelewat menggemaskan Jungkook, tapi dia kesampingkan sejenak. Dia punya misi melamar Jungkook dengan romantis.

“Jeon Jungkook, dengarkan aku. Aku tidak pernah berubah. Apalagi mengubah diri darimu. Kau satu-satunya yang menempati ruang dihatiku dan tidak akan pernah aku gantikan oleh siapapun. Jadi, agar hidupku juga sama penuhnya dengan hatiku, maukah kau juga mengisi hidupku sebagai pendamping hingga nanti kita dipisahkan maut?”

Jungkook segera menutup mulutnya menahan isakan. Ketika cincin diperlihatkan, rasa haru dan euforia jelas memenuhi hati Jungkook. Dia menangis lagi, tapi kali ini tangisan bahagia.

Rasa marah dan sesaknya menguap ke udara. Tidak bersisa karena pria tampan kebanggaannya sedang melamarnya dengan ketulusan.

“Jungkook, jawabannya?” tanya Taehyung lembut sambil mengusap airmata Jungkook.

Jungkook menarik napas dan berdeham menjernihkan suaranya. Sebuah anggukan mantap diberikan.

“Ya, aku mau.”

Taehyung tidak bisa menyembunyikan senyum lega. Membuat Jungkook juga ikut menarik sudut bibirnya lebih lebar.

Cincin terpasang dijari manis keduanya. Membuat tanda kepemilikan sah bagi orang lain. Taehyung mengajak Jungkook untuk duduk di sofa sambil menunggu hidangan penutup. Kini mereka duduk berdampingan disofa kecil café.

“Hyung, maaf juga tadi aku keterlaluan.” Ucap Jungkook tiba-tiba. Taehyungpun mengangguk.

“Aku tahu, kau pasti sedang banyak pikiran. Sampai marah-marah begitu.” Kini mereka bisa kembali tertawa.

Jungkook akhirnya menceritakan segala pemikiran negatif dikepalanya. Mulai dari kemungkinan Taehyung bosan dengannya, Taehyung tertarik dengan orang lain, Taehyung tidak mau menikah dengannya, bahkan sampai pikiran bahwa Taehyung dan dia tidak berjodoh karena sama-sama anak pertama.

Taehyung hanya bisa tertawa dan mencuri kecupan dari bibir Jungkook karena gemas dengan semua pemikiran kekasihnya sendiri. Taehyung bersyukur sebanyak-banyaknya karena dia bisa bertemu dengan Jungkook dan juga segala tentang pria itu.

Hidangan penutup es krim kacang merah datang. Mereka menikmati desert kemudian berfoto sebagai kenang-kenangan. Kini keduanya sudah dalam mobil Taehyung untuk mengantarkan Jungkook pulang.

“Hyung, terimakasih sudah bicara duluan dan melamarku. Kalau aku yang bicara duluan tadi, mungkin kita sedang menangisi satu sama lain bukan berbagi cincin.” Kata Jungkook saat mobil berhenti di lampu merah.

Taehyung menoleh cepat, “Kau mau minta putus tadi?”

Jungkook mengangguk pelan. Taehyung tanpa sadar ikut menghela napas lega.

“Tidak bisa begini.” Gumam Taehyung yang langsung menyalakan lampu sein mobil untuk putar arah.

“Kita mau kemana Hyung?” tanya Jungkook setelah Taehyung memutar balik bukan ke apartemen Jungkook.

“Mulai malam ini kita tinggal bersama. Aku tidak mau pisah-pisah lagi darimu. Hitung-hitung mulai simulasi hidup rumah tangga dan berkeluarga.”

.

.

.

The End