Jungkook mematikan komputer kantornya setelah mengirim email hasil editing artikel penulis bimbingannya. Bekerja dibidang media online membuat dirinya sebisa mungkin menyelesaikan semua urusan di kantor karena kalau dibawa pulang yang ada malah tidak dikerjakan.
Lagipula, dia tipe yang kalau sampai dirumah akan berbaring seharian di kasur dan menjadi orang paling malas sedunia. Kekasihnya saja dibuat heran dengan sikapnya yang ini.
Bicara soal kekasih, Jungkook lantas membuka aplikasi pesannya untuk mengabari kekasihnya jika dia sudah akan pulang kerja. Sebuah kebiasaan yang dilakukan semenjak awal pacaran hingga mereka berada dititik ini.
Komitmen keduanya untuk tetap memberi kabar walau hanya sepenggal garis pemberitahuan diponsel sesibuk apapun mereka. Setidaknya komunikasi tetap dipertahankan mesti intensitas jumpa mulai berkurang dan jarang.
Mereka tidak lagi sering bertemu diakhir pekan. Kalaupun membuat rencana temu, harus dicari jadwal libur yang sama atau mengambil cuti jauh sebelumnya.
Mereka tidak lagi selalu bertukar videocall sebelum tidur. Kalaupun mau bertegur sapa, menelpon sebentar dirasa cukup yang kemudian terhenti karena lelah sebagai alasan.
Mungkin keduanya benar-benar lelah karena kesibukan masing-masing. Mungkin juga keduanya sedang jenuh dengan hubungan yang begini-begini saja.
Helaan napas panjang begitu Jungkook menekan tombol lift gedung. Mencoba membuang banyak pikiran negatif yang mengisi kepalanya tentang hubungan dia dan kekasihnya. Semoga saja mereka hanya sedang lelah, bukan tanda berpisah.
Pintu lift terbuka dilantai dasar. Ketika berjalan keluar dari gedung, Jungkook dipanggi oleh rekan kerjanya yang ternyata belum pulang.
“Jungkook-ssi!”
“Jimin-ssi? Belum pulang?”
Gelengan diberikan Jimin, “Belum. Kami rencana makan malam sekaligus minum sebentar. Mau ikut?”
Jungkook sudah mau menolak tawaran tersebut tapi dirinya sudah dirangkul dari samping oleh Hoseok.
“Jungkook-ssi ikut! Ayo!” Hoseok menjawab sambil menariknya pelan. Jungkook akhirnya hanya bisa tersenyum mengikuti.
Sepertinya, makan malam sambil minum sedikit tidak buruk untuk menghilangkan penat pikirannya.
.
.
.
Gelas-gelas kosong kembali diisi minuman berakohol. Tawa canda mengalun dimeja sudut restoran daging panggang, tempat Jungkook dan rekan kerjanya sedang berkumpul.
“Jungkook-ssi, lihat lihat, ini lucu balasannya apalagi.”
Jungkook menoleh pada ponsel yang disodorkan Jimin padanya, tertera tulisan akun seseorang entah siapa yang sanggup membuatnya menahan napas.
Katanya anak pertama jodohnya anak bungsu
Tawa lepas Jimin dibalas tawa seadanya oleh Jungkook. Terasa ada yang mencegahnya tertawa kencang seperti yang lainnya.
“Berarti anak pertama dan anak pertama tidak jodoh ya? Karena harus ada yang berkorban salah satu?” celetukan Hoseok kembali membawa riuh. Semua tertawa kecuali Jungkook yang perlahan meneguk minumannya.
Itu memang hanya harapan orang di media sosial. Komentar Hoseok juga hanya candaan. Jungkook tahu, tapi entah mengapa ada yang serasa menamparnya keras sekali setelah membaca dan mendengar kalimat-kalimat tadi.
Sebut saja dia pribadi overthinking. Tapi memang begitulah yang dia rasakan. Ditambah waktu yang seakan mendukung kegundahan hatinya. Jadilah dia sensitif.
Dalam hati Jungkook berdebat sendiri. Satu sisi berusaha sekuat tenaga membela hubungan dengan kekasihnya yang sanggup mereka jalani hingga menginjak tiga tahun lamanya. Satu sisi lagi mulai terkikis kepercayaan bahwa mereka sebenarnya tidak akan lanjut berjodoh.
Keduanya anak pertama, hubungan mereka juga tidak tahu mau dibawa kemana. Diam-diam Jungkook menyetujui perkataan Hoseok, mungkin mereka tidak akan bisa berjodoh karena harus ada yang berkorban diantara mereka.
Kebetulan kenyataan mendukung Jungkook, kisah cintanya sedang lesu dan tak berdetak jungkir balik seperti yang lain. Lurus, datar dan berusaha menghindari konflik. Menjadikan bosan dan jenuh mengisi celah kosong.
Niat awal ikut minum untuk membuang pikiran jelek malah tambah membebani pikiran Jungkook. Kemungkinan mereka harus berpisah untuk kebahagian masing-masing terasa lebih baik bagi Jungkook. Dia lelah sungguhan. Pikiran juga perasaan.
Gelas kosong kembali diisi oleh Jungkook untuk sekian kali. Masa bodoh dengan semua suara tawa memekakkan yang berusaha menyalurkan frustasi kerja disekelilingnya, Jungkook hanya ingin minum sebanyak mungkin.
Malam ini, Jungkook ingin mabuk hingga bisa melupakan segala kekacauan dalam kepalanya. Terutama berkaitan dengan hubungan kekasihnya. Sejenak ia ingin lupa tentang pacar tampannya –Kim Taehyung. Ia ingin lupa bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja.
.
.
.
Jeon Jungkook terbangun akibat rasa kepala pusing bagai dihantam palu raksasa berkali-kali. Lelaki awal duapuluhan itu mencoba duduk dari baringnya. Tangannya meraba ponsel untuk melihat jam, sudah jam 7 pagi. Dia tidak akan mungkin sempat bersiap untuk masuk kantor, terlebih kepalanya luar biasa sakit.
Jadilah dia mengabari atasannya untuk izin tidak masuk kerja. Lagipula, deadline artikelnya sudah terbit. Tidak begitu banyak pekerjaan mendesak, dia bisa istirahat sebentar.
Dia sedikit meruntuki kegilaannya semalam karena memutuskan untuk mabuk hanya sebagai penghilang keresahan. Kalau efek berikutnya semenyakitkan ini, lebih baik dia minum obat tidur saja supaya tidur seharian bukan malah pusing berkepanjangan begini.
Masih dengan kepala pening, Jungkook pelan-pelan bangun dari ranjangnya. Setidaknya membuat teh peppermint hangat bisa menyadarkannya. Setelah itu baru mencari sarapan pereda pengar.
Baru buka pintu kamar, aroma sup rempah dan teh yang terseduh air panas beradu masuk dalam penciuman Jungkook. Namun bukan itu yang membuat Jungkook sepenuhnya sadar hingga lupa akan sakit kepalanya.
Sosok pemuda tegak yang sibuk mencicipi sup buatannya sendiri adalah penyebabnya. Jungkook hampir berteriak histreris dan langsung memeluk punggung lebar kekasihnya jika tidak ingat bahwa sosok itu sudah lama sekali tidak hadir dalam sekitar Jungkook.
Hati Jungkook rasanya diaduk. Ada senang, ada rindu, ada takut, ada marah, ada gelisah yang terbagi saling isi menumpuk sisi perasaannya. Dia bahkan tidak bisa menjabarkan bagaimana dia harusnya bersikap saat ini.
Ketika tatap mata Taehyung bersinggungan dengannya, Jungkook ingin melarikan diri. Dia merasa senyum itu begitu asing untuknya. Jungkook rasa gemetar saat balas menatapnya.
“Sudah bangun? Ayo sarapan, aku buat sup rempah untuk hilangkan pengarmu.” Suara Taehyung membuat udara disekitar Jungkook kelam. Aneh sekali rasanya mendengar suara ini langsung setelah sekian waktu tak berjumpa.
Taehyung berpikir jika Jungkook masih dalam pengaruh alkohol sehingga diam saja tidak bergerak ke meja makan seperti biasa. Akhirnya dia yang inisiatif untuk menggiringnya.
Saat tangan Taehyung menyentuh kulit lengan Jungkook, kesadaran menyergap Jungkook seperti perampok. Jungkook lantas menyentak tanpa sengaja, seperti bentuk perlawanan akan ancaman.
Taehyung terjengit tapi tidak marah. Dia paham mungkin Jungkook masih belum sadar sepenuhnya. Hingga dia membiarkan Jungkook berjalan ke meja makan lebih dahulu.
Mereka duduk dalam hening. Yang satu membiarkan Jungkook sadar dulu, yang satu merasa bingung dengan kehadiran Taehyung.
Taehyung menelan potongan roti terakhir dan menghabiskan kopinya sebelum bangkit. Dia mengambil minuman botol pereda pengar yang dibelinya sebelum ke sini. Meletakkannya disamping piring Jungkook.
“Aku berangkat dulu.” Pamit Taehyung sambil mengenakkan jaket tebalnya. Jungkook mencengkram sendok makannya kuat.
Tidak bisa. Jungkook tidak bisa diperlakukan seperti ini. Dia bukanlah area istirahat yang mudah didatangi kemudian selalu ditinggal pergi. Taehyung selalu menganggap semuanya baik-baik saja, padahal hubungan mereka secara perlahan tenggelam.
“Apa aku harus sakit dulu baru kita bisa bertemu?” tanya Jungkook yang membuat Taehyung tidak jadi melangkah. Keningnya bertaut tak mengerti maksud Jungkook.
“Apa maksudmu Jungkook?”
Jungkook lantas mendecih. Bahkan Taehyung sekarang memanggil langsung namanya tanpa embel-embel panggilan Sayang atau Bunny seperti biasanya.
Pria Jeon mendorong kursi untuk berdiri dan menuju kekasihnya, “Kau… bahkan mengabaikan pesanku selama ini. Lalu tiba-tiba datang kesini. Maksudmu apa?”
“Apa katamu? Tentu saja untuk merawatmu karena temanmu menelponku, katanya kau pingsan saat mabuk. Kau sedang sakit, kan?”
“Oh jadi, aku harus terlihat menderita dulu baru kau luangkan waktu untuk bertemu, begitu Kim Taehyung?” Jungkook tahu nada bicaranya tidak berubah tapi jelas terselip sindiran.
Taehyung jelas tidak suka Jungkook yang menatapnya sengit penuh kemarahan. Hei apa salahnya dia pagi-pagi begini sampai ditantang seberani itu?
“Dengar, aku tidak mau bertengkar denganmu. Kau sedang sakit jadi istirahat saja. Jangan bicara aneh-aneh. Aku sibuk Jungkook-ah.”
“Aku tidak bicara aneh-aneh! Aku bicara tentang Kita!” Jungkook tidak berniat berteriak, dia mau semuanya diselesaikan tanpa naik pitam. Tapi entahlah, setumpuk emosi seperti dibakar perlahan dalam dadanya dan harus dikeluarkan.
Kekasihnya tentu terkejut mendengar nada tinggi tersebut. Taehyung ikut terpancing hingga sedikit menyudutkan Jungkook.
“Apa? Kau mau bicara apa tentang Kita? Kita baik-baik saja, Jungkook!”
“Tidak! Kita sedang tidak baik-baik saja!”
“Oke! Lalu jelaskan dimana letak rusaknya atau apa masalahnya? Katakan!”
Jungkook terdiam. Dia bingung harus mulai menjelaskan darimana. Semuanya terlampau cepat dan mendadak singkat untuk dijabarkan.
“Lihat? Kau bahkan tidak tahu perkaranya. Sudahlah, kau butuh istirahat.”
Taehyung berniat mengusak rambut Jungkook sambil meredam amarah. Tapi Jungkook kembali memanaskan suasana.
“Kau berubah! Aku dan hubungan kita ikut berubah! Kita hanya menunggu saling menghancurkan Hyung!”
“Apa kau bilang?”
“Hubungan kita sudah tidak punya tujuan. Mengambang, tidak jelas, dan kita sibuk mengejar urusan masing-masing. Kau bahkan sudah terasa sangat asing untukku.”
“Begitu? Kalau aku berubah aku tidak akan disini untuk mengurusimu! Kalau hubungan ini tidak punya tujuan karena memang dari awal kita tidak ada goals apapun! Kalau kau merasa asing denganku, harusnya kau mengusirku sejak tadi bukan malah berteriak tidak jelas!”
Akhirnya ledakkan amarah Taehyung ikut memperkeruh keadaan. Dadanya bergerak naik turun mengatur napas akibat rentetan kata cepat.
“Aku yang harusnya bertanya padamu, kau tidak pernah serius menanggapi seluruh usahaku. Padahal aku bekerja keras untuk kita berdua, tapi kau selalu merasa cukup dengan hasilmu sendiri. Sekarang contohnya. Kau sakit saja aku harus mendengarnya dari orang lain bukan kau sendiri. Kau tidak pernah mau bergantung apapun kepadaku, Jungkook. Bukan aku yang berubah, tapi kau yang tidak pernah menganggapku!”
Setelah mengumbar kata-kata pedas, Taehyung pergi dengan membanting pintu apartemen Jungkook. Meninggalkan pria itu yang kini menangis akibat terkejut karena teriakan dan kata-kata Taehyung. Tapi daripada itu, hatinya yang paling teriris sakit sebab kejujuran Taehyung yang selama ini disembunyikan.
Pagi itu Taehyung membentak dan mereka bertengkar hebat.
Pagi itu Jungkook menangis dan meraung keras.
Pada pagi itu pula, keduanya merasa bahwa semuanya terasa salah.
.
.
.
Harusnya hari ini jadi waktu istirahat ideal untuk Jungkook habiskan dengan bermalas-malasan dikasur sambil menyambung tontonan yang belum terkejar. Harusnya dia juga bisa jalan-jalan menghilangkan penat setelah pengarnya reda, padahal hari ini cuacanya begitu cerah.
Tapi sayangnya, dia malah meringkuk di ruang tengah menangisi pertengkarannya dengan sang kekasih tadi pagi. Emosi yang seharusnya dia lampiaskan malah berbalik menyerangnya ditambah amukan Taehyung jelas membuat Jungkook merasa kecil.
Jungkook takut sungguhan. Semarah-marahnya Taehyung, dia tidak akan membentak seperti tadi. Paling hanya mendesis atau mendiamkannya sebentar bukan malah langsung memaki. Terlebih kalimat terakhir Taehyung yang memenuhi pikirannya.
Bukan dia tidak pernah bergantung kepada Taehyung, dia hanya tidak mau merepotkan kekasihnya. Pekerjaan Taehyung punya peran dan tanggungjawab lebih besar darinya yang hanya seorang editor artikel. Dia mengurusi banyak orang dan Jungkook tidak mau menambah pikirannya lagi.
Dia hanya ingin Taehyung tahu perihal baik saja, makanya dia selalu mengabari Taehyung berita bagus dalam hari-harinya agar tidak khawatir. Jungkook hanya ingin meringankan beban Taehyung.
Sepertinya memang benar, dirinya dan Taehyung tidak akan bisa berjodoh. Dia harus mengubur semua kenangan indah selama mereka berpacaran tiga tahun lamanya.
Kenangan manis seperti awal mula berpacaran karena project semester akhir, curi-curi kencan ditengah survei tempat pagelaran, wisuda berdampingan sebagai lulusan terbaik masing-masing jurusan hingga bertahan menunggu sama-sama bekerja dan sukses.
Bahkan Jungkook juga harus mulai mengikhlaskan janji Taehyung yang akan melamarnya akhir tahun ini. Jika Taehyung sampai semarah tadi, bisa saja semuanya batal.
Kalau hubungan mereka runyam tak karuan seperti ini, jangankan bertahan sampai tunangan. Mungkin nantinya dia hanya akan datang sebagai undangan.
Jungkook tahu dirinya harus memperbaiki semuanya. Harusnya meluruskan kesalahpahaman diantara mereka. Tapi rasanya terlalu sulit.
Dia tidak tahu benang kusut mana yang sepantasnya diurai lebih dahulu. Dia juga tak siap menarik semuanya sendirian, apalagi jika sesuai kemungkinan yang dia perkirakan maka akan jauh lebih menyakitkan.
Maka Jungkook bertekad mengakhiri tanpa menuntaskan apapun. Biarkan mereka berakhir dengan sekumpulan masalah yang akan menjadi pelajaran keduanya dihubungan lain nanti.
Ya. Dia yang akan berkorban untuk mengalah dan mundur dari segala kerumitan hubungan ini.
Biarkan dia yang akan menderita jika memang tidak bisa berjodoh dengan kekasihnya Kim Taehyung.
.
.
.
Di kantornya, Taehyung tidak bisa fokus dalam bekerja semenjak bertengkar dengan Jungkook tadi pagi. Apalagi setelah melihat pandangan menyedihkan dari kedua mata Jungkook.
Dia tahu dia sudah sangat keterlaluan, mengucapkan seluruh sisi terpendamnya dengan amarah meletup-letup. Padahal harusnya dia menjadi pihak yang dingin menanggapi panasnya Jungkook. Bukan malah ikut mendidih seperti tadi.
Perasaannya mencelos tidak enak karena kesalahannya tadi. Teringat bayang-bayang Jungkook yang dia buat bungkam menahan airmata. Sudah dipastikan jika kekasih tercintanya akan menangis karena dirinya. Taehyung benci Jungkook menangis, terlebih karena dirinya.
Sebenarnya dari sisi Taehyung tidak masalah dengan sikap Jungkook. Dia akan tetap menjadi yang tersiaga bahkan tanpa Jungkook minta sekalipun. Dia hanya kesal karena tahu kabar kekasihnya jatuh sakit dari orang lain, rasanya Taehyung seperti kecolongan.
Orang yang harus dia jaga sepenuh hati malah sakit disaat dia tidak ada disisinya. Taehyung merasa kesal dengan dirinya sendiri sehingga meluapkan semuanya tadi. Dan kini dia menyesalinya.
Taehyung mana sanggup lama-lama bertengkar dengan Jungkook yang selalu mengerti dirinya melebihi orang lain. Apalagi teringat perkataan Jungkook bahwa hubungan mereka tidak jelas. Ya, Taehyung menyadari hubungan ini tidak punya arah dan tujuan apapun. Mereka berdua ingin semua mengalir lancar seperti air.
Tapi mungkin saat ini tidak bisa lagi seperti itu. Taehyung harus tegas menentukan kemana koordinat titik akhir hubungan mereka.
Sebenarnya solusi sudah ditemukan Taehyung dari tahun lalu dan dia sedang menyiapkan semuanya untuk Jungkook. Namun sepertinya rencana akan dia percepat bukan menunggu akhir tahun.
Laci meja kerja dibuka, sebuah kotak beludru diambil. Isinya cincin lapis emas putih dengan graver inisal namanya dan Jungkook disana.
Napas ditarik dalam, Taehyung mengembuskan dengan keyakinan.
Malam ini dia akan meminta maaf sekaligus memantapkan pilihannya kepada Jungkook.
Ya, Taehyung akan melamarnya malam nanti.
.
.
.
Jungkook bersiap untuk pergi ke café langganannya dan Taehyung. Tempat dulu mereka jadian sekaligus tempat favorit mereka berdua.
Sebenarnya tadi saat makan siang, Taehyung menelpon tapi tidak ia angkat. Setelah melihat pesan, ternyata Taehyung mengajak makan malam diluar. Jungkook juga akhirnya memilih untuk mengakhiri keputusannya lebih cepat. Maka dia menyarankan untuk makan malam di café langganan mereka.
Jika awal mula dari café itu, maka akan lebih baik juga berakhir disana. Supaya mudah dilupakannya.
Merapatkan jaket tebalnya, Jungkook kemudian menepuk pipinya sekali. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa.
“Jeon Jungkook, kau hanya ingin dia bahagia. Jadi tidak ada salahnya berkorban, dia bukan jodohmu.” Gumamnya pada cermin.
.
.
.
Taehyung tiba di café lebih dahulu, memesan segala menu kesukaan Jungkook kemudian memberi tahu pemilik café kalau dia akan melamar kekasihnya. Sang pemilik ikut bahagia mendengarnya, bahkan bersedia langsung menutup café setelah Jungkook datang supaya tidak ada yang menganggu momen mereka.
Jungkook datang lima belas menit kemudian. Taehyung bisa melihat jejak bengkak mata Jungkook, dia meringis sambil meruntuki diri dalam hati karena dirinya Jungkook sampai menangis.
Makanan langsung datang dan keduanya makan dalam diam. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing karena sibuk mengatur rangkaian kata.
Hingga hidangan pun habis. Sambil menunggu menu desert, mereka berniat membuka obrolan.
“Jungkook/Hyung.” Ucap mereka berbarengan.
Taehyung tersenyum, dia mempersilakan Jungkook untuk bicara dahulu. Tapi Jungkook bungkam, seperti ada yang memaksanya diam. Lidahnya mendadak tidak bisa digerakkan. Hingga dia berdeham lalu menggeleng, mempersilakan Taehyung membuka topik.
“Aku minta maaf, soal tadi pagi dan soal aku yang berubah. Maaf karena membentakmu, aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi aku kesal karena kau sakit tanpa aku tahu, ditambah kau bicara seolah-olah aku berubah jahat dan ya… jadilah aku kelepasan seperti tadi. Maaf ya.” sesal Taehyung. Jungkook hanya mengangguk sebagai balasan.
Taehyung segera bangkit dari kursinya kemudian langsung bersimpuh disisi Jungkook. Jungkook tentu panik karena Taehyung bersimpuh disampingnya.
“Hyung, sudah aku memaafkanmu. Tidak perlu sampai bersimpuh begitu, bangun Hyung.” Jungkook menarik-narik lengan Taehyung agar berdiri.
Tawa disembunyikan Taehyung karena reaksi kelewat menggemaskan Jungkook, tapi dia kesampingkan sejenak. Dia punya misi melamar Jungkook dengan romantis.
“Jeon Jungkook, dengarkan aku. Aku tidak pernah berubah. Apalagi mengubah diri darimu. Kau satu-satunya yang menempati ruang dihatiku dan tidak akan pernah aku gantikan oleh siapapun. Jadi, agar hidupku juga sama penuhnya dengan hatiku, maukah kau juga mengisi hidupku sebagai pendamping hingga nanti kita dipisahkan maut?”
Jungkook segera menutup mulutnya menahan isakan. Ketika cincin diperlihatkan, rasa haru dan euforia jelas memenuhi hati Jungkook. Dia menangis lagi, tapi kali ini tangisan bahagia.
Rasa marah dan sesaknya menguap ke udara. Tidak bersisa karena pria tampan kebanggaannya sedang melamarnya dengan ketulusan.
“Jungkook, jawabannya?” tanya Taehyung lembut sambil mengusap airmata Jungkook.
Jungkook menarik napas dan berdeham menjernihkan suaranya. Sebuah anggukan mantap diberikan.
“Ya, aku mau.”
Taehyung tidak bisa menyembunyikan senyum lega. Membuat Jungkook juga ikut menarik sudut bibirnya lebih lebar.
Cincin terpasang dijari manis keduanya. Membuat tanda kepemilikan sah bagi orang lain. Taehyung mengajak Jungkook untuk duduk di sofa sambil menunggu hidangan penutup. Kini mereka duduk berdampingan disofa kecil café.
“Hyung, maaf juga tadi aku keterlaluan.” Ucap Jungkook tiba-tiba. Taehyungpun mengangguk.
“Aku tahu, kau pasti sedang banyak pikiran. Sampai marah-marah begitu.” Kini mereka bisa kembali tertawa.
Jungkook akhirnya menceritakan segala pemikiran negatif dikepalanya. Mulai dari kemungkinan Taehyung bosan dengannya, Taehyung tertarik dengan orang lain, Taehyung tidak mau menikah dengannya, bahkan sampai pikiran bahwa Taehyung dan dia tidak berjodoh karena sama-sama anak pertama.
Taehyung hanya bisa tertawa dan mencuri kecupan dari bibir Jungkook karena gemas dengan semua pemikiran kekasihnya sendiri. Taehyung bersyukur sebanyak-banyaknya karena dia bisa bertemu dengan Jungkook dan juga segala tentang pria itu.
Hidangan penutup es krim kacang merah datang. Mereka menikmati desert kemudian berfoto sebagai kenang-kenangan. Kini keduanya sudah dalam mobil Taehyung untuk mengantarkan Jungkook pulang.
“Hyung, terimakasih sudah bicara duluan dan melamarku. Kalau aku yang bicara duluan tadi, mungkin kita sedang menangisi satu sama lain bukan berbagi cincin.” Kata Jungkook saat mobil berhenti di lampu merah.
Taehyung menoleh cepat, “Kau mau minta putus tadi?”
Jungkook mengangguk pelan. Taehyung tanpa sadar ikut menghela napas lega.
“Tidak bisa begini.” Gumam Taehyung yang langsung menyalakan lampu sein mobil untuk putar arah.
“Kita mau kemana Hyung?” tanya Jungkook setelah Taehyung memutar balik bukan ke apartemen Jungkook.
“Mulai malam ini kita tinggal bersama. Aku tidak mau pisah-pisah lagi darimu. Hitung-hitung mulai simulasi hidup rumah tangga dan berkeluarga.”
.
.
.
The End