MusimGugur97

[YoshiKyu] Perkara Baju


Yoshinori dibuat bingung dengan tingkah aneh Junkyu seharian ini.

Ya. Aneh.

Sebab Junkyu yang biasanya akan sibuk berceloteh apa saja tanpa henti sepanjang waktu dari membuka mata hingga terlelap mendadak diam seribu bahasa. Dia bungkam persis orang mogok bicara.

Semua orang sudah menggugah, bahkan Jihoon yang selalu menjahilinya ikut mundur tak berani menganggu.

Tapi Junkyu memasang raut muram dan menebarkan aura suram. Pokoknya membuat member-member sudah memilih mundur hingga malas mendekat dengan visual killer mereka.

Yoshinori mencoba jadi satu-satunya prajurit pemberani. Apa sih yang tidak untuk kekasih manisnya. Jangankan mendekati kandang singa tidur, bertaruh nyawapun akan diberikan Yoshinori kalau diminta.

“Kyu?” panggilnya pelan. Junkyu masih tak menyahut.

Kembali mendekat, Yoshinori berhasil menepuk pundak si manis pelan.

“Hm?” gumam tak minat menjadi sahutan. Yoshinori makin tak tega.

“Ada masalah? Sini cerita.” Yoshinori mengambil duduk rapat disebelah Junkyu. Mendapati kekasihnya kembali menggeleng, Yoshinori memilih untuk merengkuh dalam dekapan.

Mengelus punggung Junkyu agar ia merasa nyaman. Junkyu membalas dekapan tak kalah erat, menikmati aroma parfum Yoshinori.

Helaan napas terdengar cukup panjang mengisi hening. Yoshinori tak bertanya, Junkyu juga tetap tak mau bersuara.

Dalam kamar itu mereka menikmati sunyi. Hanya ada suara napas dan degub jantung. Sesekali gesekan jari-jari Yoshinori dengan serat kain pakaian yang dikenakan Junkyu.

“Yoshi aku-“ kelanjutan kalimat Junkyu tertahan. Dia tidak bisa melanjutkan karena atensi beralih pada denting notifikasi diponselnya.

Satu detik berikutnya, Junkyu berteriak heboh. Dia mengecup pipi Yoshinori sambil menggumamkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada lelaki tersebut.

Yoshinori tentu kembali heran dengan kelakuan Junkyu. Tadi lemas tak berdaya, sekarang ribut kelebihan energi.

“Aku sayang Yoshi banyak-banyak.” Junkyu membaringkan tubuhnya dikasur sambil berguling-guling dengan binar bahagia.

Pemuda Jepang hanya bisa mengusap wajahnya pelan. Antara menahan gemas dan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kekasihnya.

“Oke. Sebenarnya kau kenapa Junkyu?” Yoshinori akhirnya bertanya frontal. Dia malas disuruh berpikir, apalagi menghadapi pribadi tidak tertebak seperti Junkyu.

“Ini loh, diskon baju.”

“HAH!?”

Yoshinori refleks menaikkan suaranya. Jelas, siapa yang tidak dongkol dengan jawaban itu. Dia sudah dibuat khawatir tapi yang dikhawatirkan malah tenang-tenang saja.

Junkyu turun dari kasur mendekati Yoshinori. Pemuda Kim menunjukkan pengumuman di layar ponselnya.

“Kau tahu baju limited yang aku mau dari bulan lalu?” tanya Junkyu dan Yoshinori mengangguk. Dia jelas tahu cerita keinginan kekasihnya itu.

“Tadi pagi mereka membuat pengumuman kalau baju itu tidak akan direlease lagi. Tapi untuk 100 orang pertama yang mendaftar akan dapat diskon baju limited berikutnya dan free bonus.” Jelas Junkyu sambil tersenyum lebar.

Ingatkan Yoshinori untuk tidak memukul Junkyu saat ini. Karena jujur dia benar-benar sebal sekali dipermainkan begini.

Tarikan napas Yoshinori diambil sebagai langkah pencegahan untuk tidak melampiaskan amarah pada Junkyu.

“Lalu kau seharian murung karena itu?” tanya Yoshinori dan Junkyu mengangguk santai.

“Dan sekarang juga kau senang karena itu?” lagi-lagi pertanyaan Yoshinori dibalas anggukan oleh Junkyu.

Yoshinori menyandarkan punggungnya ke kursi di kamar Junkyu. Mencoba melemaskan otot tubuhnya yang dibuat tegang setengah hidup karena takut Junkyu kenapa-kenapa. Namun ternyata hanya bad mood masalah baju.

“Yoshi bantu pilih dong.” Junkyu menggulir gambar-gambar baju diponsel. Yoshinori menatap tak minat.

“Pilih sesukamu saja.”

Junkyu memajukan bibirnya tak suka karena Yoshinori nampak tak peduli dengan kesenangannya.

“Yoshi jahat! Aku hanya minta bantu pilih baju tapi malah marah begitu. Memang aku salah apa?”

Oh Yoshinori ingin membenturkan kepalanya ke dinding hingga pingsan agar dia lupa perbuatan uring-uringan kekasihnya yang sudah embuatnya cemas sepanjang hari.

“Tidak. Tidak ada salah. Aku tak tahu makanya lebih baik kau pilih sesukamu.” Yoshinori membiasakan nada bicaranya. Tidak sedingin tadi tapi masih tak menoleh ke arah Junkyu.

“Tuh, marah. Masa bicara tidak lihat aku.” Balas Junkyu sambil memelintir ujung bajunya.

“Kim Junkyu. Sayang. Terserah. Silahkan pilih sendiri.” Yoshinori berkata dalam tempo lambat yang ditekan tiap penggalannya.

“Tuh, marah. Masa bicaranya sindir-sindir begitu.” Junkyu kembali mencebikkan bibirnya. Kali ini disertai hentakkan kaki.

“Astaga, terserahmu Kim Junkyu! Kau bebas pilih apapun!”

Yoshinori tak sengaja menaikkan nada bicaranya. Dia tak sadar kalau membentak Junkyu. Sebab dia benar-benar dibuat kesal dengan tingkah laku Junkyu dari tadi.

Pemuda Jepang itu memang sabar, tapi kalau dibuat kesal dia juga bisa emosi. Apalagi ini menyangkut orang terkasihnya.

HIks –isakan meluncur dari sosok indah.

“Yoshi marah sekali ya? Maafkan Junkyu.” Junkyu menutup wajahnya yang memerah menahan tangis.

Pertahanan Yoshinori runtuh mendengarnya. Niat mengabaikan kekasihnya jadi senjata makan tuan. Dia tidak mungkin melanjutkan amarahnya jika Junkyu sudah menangis begini.

“Tidak Sayang. Kyu, maaf ya membentakmu. Aku hanya kesal karena seharian mengkhawatirkanmu.” Yoshinori menarik Junkyu mendekat dan membawanya dalam pelukkan.

“Memang aku kenapa?” Junkyu bertanya dengan raut polos dan berdosa.

“Kau murung tidak cerewet seperti biasa. Aku pikir kau sedang dapat masalah serius. Ternyata hanya menunggu diskon baju.” Ungkap Yoshinori.

Sekarang ganti Junkyu yang menaikkan nada suaranya emosi. Dia tidak terima dengan pemikiran sepihak Yoshinori.

“Ini bukan masalah menunggu diskon ya! Ini masalah kebagian stok baju limited atau tidak! Aku sudah coba semua akun tapi tidak berhasil juga. Tapi pakai akunmu baru bisa! Makanya aku sesenang itu karena lewat akunmu aku bisa dapat baju limited!”

Junkyu bicara dengan nada tinggi dan satu tarikan napas. Yoshinori yang berposisi rapper sampai dibuat diam mendengar ocehan berkecepatan ekstrem dari kekasihnya.

“Napas Kyu. Tarik napas.”

“Hump!”

Yoshinori akhirnya paham kenapa kekasihnya serandom itu, karena memang dia sudah banyak usaha tapi tidak berhasil. Ada rasa bangga dalam hati Yoshinori kala Junkyu ternyata melibatkannya dalam segala sisi.

“Ya sudah, sini aku bantu pilih bajunya.” Yoshinori sudah akan mengambil ponsel Junkyu tapi ditepis sang pemilik.

“Tidak mau! Aku bisa pilih sendiri.”

Bibir itu dimajukan lucu sambil menggembungkan pipinya tanda protes.

“Itu pakai akunku kan?”

Junkyu masih diam tanda merajuk ketika dicolek pipinya oleh Yoshinori. Tapi bukan Yoshinori namanya kalau tidak hapal dengan segala bentuk pribadi Junkyu.

“Aku yang bayar deh.”

Setelah mendengar penawaran itu barulah Junkyu menoleh dengan penuh harap, “Tiga setel dengan model berbeda ya?”

Yoshinori hanya bisa mengangguk pasrah mengiyakan keinginan sang kekasih ketika dihadiahi ciuman oleh Junkyu sambil mengucap bahwa dia sayang sekali kepadanya.

Lihat, Junkyu memang selalu tidak bisa ditebak kelakuannya dan hal itu pula yang membuat Yoshinori semakin tenggelam dalam lautan cintanya pada pemuda itu.

.

.

.

The End.

Supportive Boyfriend (Jaesahi Version)


Mari membantu Jaehyuk berdoa hari ini. Semoga kekasih manisnya membalas pesan atau sekadar membaca saja. Jaehyuk dibuat gemas karena Asahi masih tak berkabar sejak kemarin.

Asahi itu ambisius. Sangat malah. Dia cenderung tak peduli dengan sekitar jika sudah fokus dengan keinginannya. Termasuk membuat lagu.

Obsesi yang sering dipuji dan diumpati Jaehyuk secara bersamaan. Dipuji karena Asahi selalu bisa menghasilkan lagu-lagu yang bagus karena menekuninya. Sering diumpati Jaehyuk karena membuat Asahi tenggelam hanyut berjam-jam.

Kalau sudah masuk terlalu jauh dalam konsentrasi supernya, Asahi benar-benar lupa segalanya. Lupa makan, lupa minum, dan lupa Jaehyuk.

Tidak. Jaehyuk tidak marah –dia tidak akan bisa marah kepada Asahi melupakan dirinya karena terlalu asik dengan dunianya sendiri. Yang membuat Jaehyuk kesal adalah Asahi seperti tidak peduli dengan tubuhnya sendiri.

Asahi itu tubuhnya sudah kurus. Ditambah suka mengurangi porsi nasi diam-diam dan tak suka sayur. Belum lagi akan lanjut tidak tidur jika tidak dipaksa Jaehyuk.

Sebagai kekasih yang baik, Jaehyuk berusaha menjadi alarm sukarela bagi Asahi untuk tetap menyambung hidup –mengingatkan makan dan tidur tentu saja. Tapi sialnya dari kemarin Jaehyuk harus menginap diluar dorm untuk melakukan pemotretan.

Jaehyuk sih tidak masalah soal berjauhan dengan Asahi. Tapi masalahnya, member lain tidak sesabar dirinya untuk mengingatkan Asahi soal makan dan tidur. Apalagi setelah dia bertanya ke Mashiho, jawaban yang didengar malah membuat Jaehyuk ingin pulang lalu memaksa Asahi makan dan memeluknya agar tidur.

“Ayo jawab, Asahi.”

Masih berjuang menelpon Asahi, Jaehyuk mondar-mandir di ruang rias seperti setrika butut. Manajer yang sudah bosan melihatnya jalan-jalan tidak jelas dengan ponsel ditelinga akhirnya memutuskan untuk keluar. Membiarkan Jaehyuk gelisah sendirian.

“Ayolah angkat, Hamada Asa –Halo?” Jaehyuk hampir menjerit begitu panggilannya tersambung namun hanya hampir. Sebab sambungan sudah diputus sepihak oleh oknum diujung sana.

Jaehyuk lantas menggerakkan jari untuk membuka layanan pesan. Mengetik cepat tak melewatkan kesempatan karena tahu Asahi sedang menengok ponselnya.

Jaehyuk meminta Asahi mengangkat panggilannya lagi. Dia harus memastikan kekasihnya menjawab seluruh kegundahannya.

“Halo?” suara pelan menyapa telinga Jaehyuk ketika percobaan kesekiannya diangkat oleh Asahi.

“Asa masih buat lagu, hm?” Niat mengomel Jaehyuk menghilang setelah mendengar suara Asahi. Dia kembali menjadi Yoon Bucin Jaehyuk.

“Masih.”

“Jaehyuk menganggu?”

“Eung tidak.”

“Asa sudah makan?”

“Be–sudah.”

Jaehyuk tahu kekasihnya mencoba berbohong. Asahi kelewat polos dan Jaehyuk hapal itu.

“Makan apa?”

“Ramyeon.”

“Kapan?”

“Um-“

Baiklah. Keputusan final dibuat Jaehyuk.

“Jaehyuk pesankan sushi ya. Asa makan sambil lanjut buat lagu lagi oke?” Jelas itu bukan pertanyaan. Melainkan pernyataan yang dijatuhkan Jaehyuk kepada kekasihnya.

“Hm.”

“Nanti Jaehyuk minta tolong antarkan Yedam atau Junghwan ke kamar Asa. Jadi Asa masih tetap bisa compose lagu.”

“Hm.”

Jaehyuk tersenyum. Dia bisa membayangkan Asahi sedang menaruh pandangannya ke layar monitor bukan ke ponsel. Jawaban berupa gumaman kecil itu sebagai kebiasannya.

“Ya sudah, nanti sushinya dimakan. Jaehyuk lanjut pemotretan dulu.” Sambungan sudah akan diputus Jaehyuk yang akan memesan sushi untuk Asahi. Tapi diurungkan karena suara Asahi mencegahnya.

“Jaehyuk.”

“Ya? Asa butuh sesuatu?”

Jeda cukup lama. Jaehyuk masih setia menunggu kelanjutan.

“Jaehyuk.”

“Iya?”

“Tidak jadi. Sushinya beli dua ya, buat Mashiho juga.”

“Oke siap.”

“Jaehyuk.”

“Ya, Sayang?”

“Jaehyuk masih lama?”

“Pemotretannya? Lumayan. Ini baru set pertama. Ada tiga set lagi.” Jelas Jaehyuk sabar. “Asa mau titip sesuatu? Mumpung Jaehyuk ada di Busan?” lanjutnya.

“Tidak ada.”

Jaehyuk kembali tersenyum, “Ya sudah. Jaehyuk tutup ya? Ingat sushinya dimakan. Bye Asa.”

Setelah mendengar dengungan gumam Asahi diseberang barulah Jaehyuk mematikan sambungan. Dia segera memesan kedai sushi langganannya dan menyelesaikan pesanan makanan kesukaan kekasihnya.

Jaehyuk menghela napas lega. Kecemasannya terangkat dan bebannya berkurang setelah sedikit berbincang dengan Asahi. Setidaknya dia sudah melaksanakan tugasnya sebagai kekasih sambil mengikis rindunya yang mulai tergerus.

Pemuda Yoon akhirnya bisa memasang senyum sumringah ketika dipanggil manajer untuk melakukan pemotretan. Moodnya menjadi sangat bagus juga tenaganya terisi penuh. Dia sanggup melakukan pemotretan ini seharian, sebab Asahi sudah mewarnai harinya.

.

.

.

Asahi memandang ponselnya lama. Dia mengerjap beberapa kali kemudian mengela napas panjang. Mashiho yang daritadi ada di kamar Asahi sampai dibuat bingung dengan teman senegaranya itu.

“Kenapa?” tanya Mashiho. Asahi menggeleng singkat.

“Rindu Jaehyuk?” tebak Mashiho. Punggung Asahi nampak tegang beberapa saat sebelum sebuah anggukan pelan menjadi jawaban.

Mashiho tersenyum lalu turun dari kasur Asahi. Dia berjalan keluar untuk meninggalkan Asahi sendirian. Mashiho tahu, Asahi butuh ruang sepi melampiaskan rindunya.

Dan benar, setelah pintu ditutup dari luar. Asahi segera membuka galeri ponselnya mencari foto-foto Jaehyuk yang dia simpan kala kekasihnya suka seenaknya memakai ponselnya untuk selca.

Asahi itu jago membuat lagu dan segala liriknya. Yang kurang adalah dia tidak bisa mengekspresikan perasaannya secara jelas. Jaehyuk paling mengerti dirinya bahkan sebelum dia sendiri.

Kalau boleh jujur, Asahi tidak membuat apapun dari kemarin. Dia hanya membuka tutup fail-fail projectnya. Tidak ada yang benar-benar digarap karena dia terserang kehampaan tanpa Jaehyuk.

Sepanjang waktu dihabiskan Asahi dengan melamun sambil berusaha menahan diri tak menjawab panggilan Jaehyuk. Dia tidak mau semakin rindu kepada Jaehyuk setelah mendengar suaranya.

Pertahanannya kendor saat tidak sengaja menggeser layar sehingga panggilan terjawab. Dia mau mengabaikan tapi Jaehyuk sudah lebih dahulu membacanya, pilihan menjawab tidak terhindarkan.

Seperti dugaannya, Asahi terlalu bingung hingga dia tidak bisa merespon banyak hal dari Jaehyuk. Dia hanya bisa diam sambil mendengarkan suara Jaehyuk yang selalu lembut padanya. Padahal kalau dipikir-pikir, dia adalah pihak yang sering mengabaikan Jaehyuk.

Sekarang Asahi tahu, dipisahkan jauh dari Jaehyuk rasanya tidak menyenangkan. Dia tidak suka.

Asahi rindu Jaehyuknya yang mengomel atau bahkan langsung menyuapinya makan jika dia lupa.

Asahi juga rindu dipeluk Jaehyuknya untuk tidur karena dia bisa lanjut membuat lagu sampai pagi.

Asahi sungguh rindu Jaehyuk.

Rindu kekasih super pengertiannya.

.

.

.

Lima belas menit kemudian, sushi pesanan Jaehyuk datang. Mashiho yang membawakan ke kamar Asahi lengkap dengan jajanan ringan kesukaan Asahi.

“Aku tidak pesan jajan?”

“Tapi ini datang dengan pesanan sushi, coba kau tanya Jaehyuk.”

Asahi mengangguk setelah menggumam terimakasih kepada Mashiho yang kini keluar kamarnya dengan jatah sushi.

Ragu-ragu, Asahi mengetik pesan untuk Jaehyuk. Dia mempertanyakan soal jajan yang datang kepadanya. Ketika pesan selesai dikirim, Asahi memukul dahinya sendiri karena lupa Jaehyuk sedang sibuk pemotretan. Dia tak seharusnya menganggu.

Jaehyuk pasti tidak akan menjawabnya. Harusnya dia tanyakan nanti-nanti saja, lagipula dia cukup kenyang dengan makan sushi saja.

Drrt drrt

Baru menyuapkan satu potong sushi, ponsel Asahi bergetar. Panggilan lagi dari kekasihnya.

“H-halo?”

“Iya Sayang, itu jajan untukmu juga. Minuman dan permennya juga. Semua buat Asa supaya semangat buat lagunya.”

Asahi dibuat bungkam dengan suara Jaehyuk yang ceria. Asahi merasa dirinya sangat beruntung bisa dicintai sedalam ini oleh Jaehyuk.

Hingga tanpa sadar isakan lolos dari bibir Asahi.

“Asa? Asa menangis? Sayang? Kenapa?” nada panik Jaehyuk malah makin membuat Asahi meneteskan airmatanya.

“Aku sedang nonton film. Sedih ceritanya, makanya nangis.” Alasan yang dibuat-buat. Pokoknya Asahi berkilah dulu.

“Astaga! Berani-beraninya itu film buat kamu nangis. Nanti aku pulang, aku marahin filmnya! Seenaknya buat kamu nangis. Aku berusaha bikin kamu senang, kok dia malah bikin kamu nangis.”

Asahi malah makin menangis mendengar kata-kata Jaehyuk. Faktor rindu dan faktor haru menjadi satu disaat bersamaan membuat isakannya terdengar memilukan.

“Sayang, sudah jangan nangis ya? Aku tinggal satu set lagi lalu pulang. Apa judul filmnya? Sini aku beri pelajaran sekarang karena sudah buat Asa nangis.”

Jaehyuk terdengar sangat serius disana. Asahi menutup bibirnya agar isakan tidak makin terdengar. Dia sudah sangat bersyukur karena dicintai begitu besar oleh Yoon Jaehyuk.

“J-jaehyuk.” Panggil Asahi pelan beserta getar dibibir. Dia mau Jaehyuknya secepatnya.

“Ya?”

“Nanti pulang, Jaehyuk peluk Asa ya. Asa kangen.”

Terdengar suara berisik diujung sambungan itu. Selang beberapa detik barulah Jaehyuk bersuara kembali.

“Iya, nanti Asa Jaehyuk peluk erat-erat. Jaehyuk selesaikan pemotretan dulu ya? Supaya bisa cepat pulang, ya Sayang?”

Asahi refleks mengangguk walaupun tahu Jaehyuk tak bisa melihatnya. “Iya, Asa tunggu.”

Kembali suara berisik terdengar. Sebelum akhirnya benar-benar diputuskan oleh Jaehyuk.

Asahi mengusap airmatanya dan kembali memakan potongan sushi. Setidaknya dia harus sudah selesai makan saat Jaehyuknya pulang nanti.

.

.

.

Jaehyuk pulang lebih cepat dan langsung masuk ke kamar Asahi. Tidak peduli dengan dia yang masih pakai make up sisa pemotretan atau bau keringat yang menempel. Asahi prioritasnya saat ini.

“Asa?” panggilnya dan Asahi menoleh dari monitor.

Jaehyuk langsung mendekat dan membawa Asahi masuk dalam pelukkannya. Mengelus punggung Asahi yang kini sudah membalas pelukkannya erat.

“Mana filmnya? Sini Jaehyuk marahi.” Ujar Jaehyuk pelan kepada Asahi tapi tangannya beralih menggeser tetikus berusaha mencari riwayat film yang ditonton Asahi.

“Tidak usah.” Asahi merebut tetikus dan menjauhkannya dari Jaehyuk. Dia kembali memeluk Jaehyuk.

Jaehyuk menuruti kemauan kekasihnya. Dia melirik sekilas pada bungkusan sushi yang tandas. Membuat senyum Jaehyuk terkembang sesaat tahu kekasihnya menuruti perintahnya.

“Good boy.” Puji Jaehyuk sambil mengusak rambut Asahi. Yang diusak malah memejamkan matanya menikmati sentuhan sang kekasih dikepalanya.

“Mengantuk?” tanya Jaehyuk dan Asahi mengangguk karena dia memang sedikit lelah –lebih tepatnya ingin dipeluk sampai tertidur.

“Jaehyuk mandi dulu ya. Baru temani Asa tidur.”

“Lama?”

“Sepuluh menit, Sayang.”

“Tiga menit.”

“Delapan.”

“Lima menit atau Asa kunci.”

“Oke oke. Lima menit, tunggu.”

Jaehyuk segera berlari keluar kamar Asahi untuk mandi kilat. Dia tidak mau membuat Asahi menunggu lama dan berakhir terkunci.

Asahi terkekeh pelan. Sepertinya hari ini dia akan memberikan waktu dirinya untuk berduaan menikmati aroma dan kehangatan Jaehyuk yang memeluknya. Dia akan menjeda dulu kegiatan membuat lagunya.

Menepati janjinya, Jaehyuk benar-benar mandi cepat bahkan kurang dari lima menit. Saat masuk dalam kamar Asahi, dia tidak melihat Asahi duduk depan monitor melainkan sudah masuk dalam selimut.

“Jaehyuk, mau peluk.” Permintaan Asahi dibalas erangan tertahan Jaehyuk.

“Asa, jangan gemas-gemas ya. Bahaya buat jantung Jaehyuk.” Ujar Jaehyuk saat ikut naik dalam kasur Asahi lantas memeluknya.

Asahi merapatkan tubuhnya hingga wajahnya bersandar nyaman di dada Jaehyuk.

“Hari ini Asa mau manja ke Jaehyuk boleh? Soalnya Jaehyuk pengertian terus sama Asa. Asa sayang Jaehyuk.”

Jaehyuk mengerjap berulang kali karena Asahi cukup tiba-tiba bertingkah manis. Walaupun dia diam dan bernapas saja sudah manis sih.

“Hanya hari ini?” tanya Jaehyuk. Lalu semburat merah memenuhi pipi Asahi.

“Besok dan seterusnya juga tapi-“

“Tapi?”

“Tapi hanya berdua ya.”

Oh. Tenangkan seorang Yoon Jaehyuk agar dia tidak kalap malam ini dan bisa selamatkan hatinya dari Asahi yang sungguh menggemaskan.

“Asa, gemasnya disimpan buat Jaehyuk saja ya? Janji?”

Asahi mengangguk lalu mencuri kecupan dibibir Jaehyuk. Membuat Jaehyuk terpaku dibuatnya.

“Terimakasih Jaehyuk, sudah mencintai Asa sebanyak ini.” Ucap Asahi yang dibalas ciuman sayang di keningnya oleh Jaehyuk.

Mereka berdua menutup hari dengan bertukar cerita dalam pelukan hangat hingga keduanya terlelap.

.

.

.

The end.

Selamat (?)

Kuroo masuk dalam kamar dan langsung menjatuhkan tubuhnya di kasur.

Mengabaikan omelan pelan yang mulai terdengar tak sabar begitu melihat kondisinya.

“Mandi dulu baru tidur, Ku-”

Belum selesai lawan bicaranya menyelesaikan kalimat, pria yang lebih tua menarik sang pasangan hidup agar masuk dalam pelukkannya.

“Sebentar ya Kenma, aku butuh mengisi daya.”

Suara Kuroo begitu rendah antara lelah atau memang sengaja, membuat pria dalam dekapan akhirnya membiarkan.

Dekapan makin erat tiba-tiba ketika Kuroo hampir masuk dalam alam mimpi. Memaksa sadar mendadak.

Kuroo bangkit dan mengecup kening Kenma sebelum beranjak menuju kamar mandi tanpa sepatah katapun.

Kenma mengernyit heran. Ia sadar ada yang berbeda dari Kuroo hari ini.

Hanyalah insting teman sejak kecil juga teman berbagi hidup beberapa tahun ke belakang yang membuatnya yakin ada yang tidak beres dengan kekasihnya.

Kenma memutuskan untuk membereskan tempat tidur dan memasukkan makan malam sebelum Kuroo selesai mandi, nanti saat tidur dia akan memaksa deep talk.

.

.

.

Hampir setengah jam Kuroo tidak juga keluar dari kamar mandi membuat Kenma nyaris menelpon panggilan darurat.

Tapi diurungkan setelah manusia yang dikhawatirkan keluar sendiri dari kamar mandi dengan rambut basah yang menetes.

Kenma mendecak lelah, Kuroo seperti bayi besar yang butuh perhatian dan tak bisa ditinggal saat ini.

Akhirnya rambut Kuroo dikeringkan Kenma dipinggir kasur. Keduanya diam. Hal yang membuat Kenma canggung luar biasa.

Pasalnya Kuroo adalah manusia tercerewet dilingkar kehidupannya, jika sampai diam begini berarti ada pikiran yang membebaninya.

Pengering rambut sudah mati, tepukan halus dipipi Kuroo memaksanya angkat kepala. Kenma menunjuk baju disamping Kuroo. Dengan anggukan Kuroo mengambilnya.

“Kalau kau ada masalah langsung ceritakan saja.” Kenma membuka suara. Momen langka yang teramat jarang.

Kuroo terdiam kemudian menatap Kenma sejenak. Cukup intens hingga Kenma dibuat merona.

“A-ada yang salah dengan ucapanku?”

Gelengan diberikan Kuroo. Tanda Kenma tak melakukan kesalahan apapun. Dia lah yang bermasalah.

“Ayo tidur, aku ceritakan sambil baring.”

Mendengar jawaban Kuroo, Kenma tanpa sadar langsung melesat ke kamar mandi untuk ritual skincare malam.

.

.

.

“Jadi? Ada apa?”

Kenma membuka topik lebih dulu ketika keduanya sudah berada dibalik selimut. Saling memeluk.

Helaan napas panjang terdengar beberapa kali. Kenma dengan sabar menunggu.

“Aku naik jabatan.” Kuroo berkata pelan. Kenma tentu heran mengapa berita bahagia itu malah disampaikan dengan nada tak rela.

“Selamat Kuroo, kau sudah bekerja keras untuk itu.”

Elusan dan kecupan diberikan Kenma sebagai bentuk apresiasi atas semua pencapaian Kuroo. Anggukan dan senyum simpul menjadi balasan.

“Lalu kenapa sedih begitu?”

“Ada syaratnya.”

“Apa?”

“Aku harus pindah. Sebagai kepala cabang baru.”

Keduanya terdiam cukup lama. Kenma kembali memimpin percakapan.

“Ya tinggal pindah. Kau punya tanggungjawab baru bukan?”

“Lalu kau?”

Kenma mengerjap beberapa kali mencerna tatapan penuh harap Kuroo.

“Aku tinggal sendiri disini tidak apa-apa.” Kenma berujar tenang. Walaupun rasanya begitu berat.

“Tapi aku tidak bisa Kenma, a-aku tidak mau jauh darimu.”

Kenma menghela napas, Kuroo sefrustasi itu karena perkara akan terpisah jauh dengannya.

“Kemana? Okinawa?” Tebak Kenma. Sebab Kuroo memang sering dinas ke sana beberapa bulan belakangan.

“Tidak. Ke Jerman.”

Hening kembali tercipta. Ini bukan lagi beda wilayah ranahnya sudah beda benua.

Helaan napas menjadi penyela, “Tapi aku juga bekerja Kuroo, tidak mungkin bisa ikut denganmu.”

Kuroo tentu saja paham itu. Apalagi Kenma sedang berada diposisi jaya untuk mengembangkan karirnya.

“Aku tahu, karena itu aku bingung.” Kuroo mengusap wajahnya. Kenma juga tak tega.

“Kapan kau pindah?”

“Bulan depan.”

Hitungan satu bulan amatlah cepat jika diukur dengan kadar aktivitas dan kegiatan kerja mereka yang sama-sama padat.

Kenma meringis pelan, “Tidak bisa diundur ya?”

“Urgent. Mereka butuh pengganti segera.”

Kembali hening menyelimuti keduanya. Saling tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Aku ada solusi.” ujar Kuroo. Kenma menatapnya tertarik.

“Kita... menikah?” Ajakan itu terdengar ragu namun sanggup membuat Kenma bersemu merah.

“Kau gila.”

“Ya, dan sayangnya ini satu-satunya cara yang terpikirkan. Kalau kau tanggungjawabku, akan beda lagi ceritanya.”

“Apa yang berbeda? Kau tetap akan pindah.”

“Ya, tapi dengan membawamu sebagai keluarga. Mereka tidak akan bisa menolak alasanku.”

Kenma terdiam. Dia berpikir keras.

“Kau tahu, pekerjaan ini mimpiku. Aku tidak mungkin melepasnya. Terlebih, jika harus menikah. Kau tahu sendiri aku tidak mau menikah Kuroo.”

Kuroo sudah tahu akan begini. Kenma dan semua traumanya akan komitmen. Maka dari itu, pikiran Kuroo terbagi bercabang-cabang sejak siang.

“Ya sudah, aku yang akan lepaskan posisi itu.”

“Jangan bercanda Kuroo!”

“Aku tidak bercanda Kenma. Lebih baik aku tidak naik jabatan daripada harus pisah denganmu.”

Kenma merasa menjadi manusia paling egois saat ini. Kuroo sudah bekerja keras untuk karirnya dan jika dia yang membuat karir Kuroo hancur, Kenma tidak bisa memaafkan dirinya.

“Pergilah, kita masih bisa bertukar kabar lewat video call. Hm?” Kenma mengelus dada Kuroo perlahan, tahu kekasihnya sedang dididihkan emosi.

“Lalu siapa yang akan memelukmu saat tidur? Siapa yang akan mengurusimu saat sibuk? Siapa yang akan menemanimu saat kau dalam fase jenuh? Aku tidak sanggup membayangkan kau menghabiskan waktumu selain denganku!”

Sebut saja Kuroo kelewat posesif, tapi Kenma memang sudah jadi alasannya untuk hidup. Jika dilepaskan, Kuroo tentu akan hilang arah.

Kenma hampir menangis mendengar nada tinggi dan juga perkataan Kuroo yang mengirisnya.

Dia juga tidak mau pisah dengan Kuroo-nya. Kuroo terlalu mengerti dirinya dan selalu bisa membuatnya nyaman. Kenma tidak mau dijauhkan dari Kuroo.

“Lalu aku harus apa Kuroo?”

“Terima tawaranku. Kita menikah, soal pekerjaanmu kau masih bisa bicarakan untuk dikerjakan secara remote?”

Kenma tercekat. Tangannya mendadak gemetar. Pernikahan dikepalanya selalu bewarna abu dan gelap. Tak ada kata bahagia untuknya.

Trauma yang pernah diukir kedua orang tuanya dan juga hampir dilakukannya sendiri beberapa tahun silam dengan mantannya sebelum Kuroo.

Tangan gemetar Kenma diraih Kuroo untuk dielus dan dikecup. Menyalurkan perasaan tenang disana.

“Aku tidak akan menjanjikan apapun. Aku hanya butuh kau sebagai teman sehidup semati yang jelas dimata hukum Kenma. Kau tidak perlu berpikir macam-macam.”

Kenma menyelami netra Kuroo. Mencari titik kebohongan yang mungkin ada. Tapi nihil. Dia hanya menemukan keyakinan Kuroo begitu tulus padanya.

“K-kau janji tidak berharap apapun?”

Kuroo mengangguk cepat.

“Termasuk anak?”

Bukannya menjawab, Kuroo malah mengecup kening Kenma lama.

“Bukannya sudah aku bilang, aku hanya butuh kau sebagai teman hidup. Tidak mengharap yang lain. Aku sudah cukup bahagia dengan mengganti namamu dengan namaku, Kenma.”

Tangis Kenma pecah. Dia tidak pernah merasakan dicintai sedalam dan setulus ini.

Ya, hanya Kuroo yang bisa melihatnya sebagai berlian dan menghargainya sangat mahal.

Dan sepertinya Kenma memang harus takluk oleh seorang Kuroo Tetsurou.

“Aku mau, Kuroo.”

“Mau apa?”

“Mau m-menikah denganmu.”

Binar kegembiraan bercampur haru tidak bisa Kuroo sembunyikan. Akhirnya penantiannya terbalas. Akhirnya kesabarannya berbuah hasil.

'T-tunggu aku harus melamarmu dengan benar.”

Kuroo turun dari ranjang mereka dan merogoh tas kerjanya. Diambilnya kotak cincin yang sejak lama dia simpan. Kenma nampak terkejut melihatnya.

“Sejak kapan?”

“Aku lupa, yang jelas sudah lama.”

Kenma kembali merasa kecil dihadapan Kuroo yang mencintainya sebanyak ini.

“Kozume Kenma, maukah kau menemani serta menjadi teman hidup dan matiku?”

Kuroo berlutut dibawah ranjang, sedangkan Kenma yang masih diatas kasur mengangguk pelan.

“Aku mau, Kuroo.” Kuroo memasangkan cincin berlapis emas putih yang sederhana.

“Terimakasih Kenma.” Kuroo mengecup Kenma kemudian memeluknya.

“Sama-sama Kuroo.”

“Jangan panggil Kuroo lagi. Kau juga jadi Kuroo sebentar lagi.”

Kenma sontak mencubit perut berotot Kuroo. Malu sekali dengan ucapan sang calon suami.

“T-tetsurou?” panggilnya tercicit. Kuroo malah membeku.

“Panggil lagi.”

“Tetsurou.”

Jantungnya berdetak anomali berkali-kali lipat mendengar Kenma memanggil nama kecilnya. Keinginan untuk cepat-cepat mengikatnya menjadi kepemilikannya utuh bergejolak kuat.

“Kenma, kalau kita menikah besok bagaimana?”

.

.

.

THE END