Tubuh keduanya beriringan dalam sebuah melodi klasik, kanan-kiri-depan-belakang dan berakhir putaran sebelum tubuh yang lebih kecil jatuh dalam dekapan erat sang patner dansanya.
“Anda masih terlihat seperti anak kecil, tuan muda.”
Pemuda itu terkekeh kecil, “Jangan terlalu kaku, Vantee. Kamu tidak sedang melayani diriku sebagai penerus, tapi sebagai teman bermain ku.” Tangannya kini menarik agar wajah partner dansanya—Vantee kian mendekat.
“Ji...“
“Aku mencintaimu Vantee, sangat. Sampai rasanya, disini—” Pemuda itu memegangi dadanya sendiri sebelum melukiskan sebuah senyum teduh, “—disini sakit sekali, dia terus berdegup kencang saat kamu disekitar ku Vantee.”
“Bukan hanya sekarang, tapi di masa lalu, disaat kita pertama bertemu 20 tahun lalu hingga aku meregang nya—”
Bibir bertemu bibir, Vantee menghentikan Ji ketika pemuda itu ingin mengikrarkan janji.
“Aku juga, aku sangat mencintai dirimu, tuanku, kekasih hatiku, ilusi ku, jiwaku.”
“Biarkan aku, biarkan aku yang mencintaimu hingga meregang nyawa Ji. Karena aku tidak ingin, kamu diambil seenaknya dariku, dan selama aku masih membuka mataku, kamu. Kamu tidak akan lepas dari belenggu ku.” Tangannya meremat pinggang kecil sang tuan muda, membiarkan bibir kembali bertemu dengan lumatan penuh nafsu.
“PHIM BERHENTI!”
Pemuda Phim itu hanya tertawa mengejek, sebelum kedua sayapnya terbuka lebar dan ditarik paksa oleh sang pengejar. “Awh—EL SAKIT!”
“BOHONG.”
“Ayolah Azrael, kamu itu terlalu kaku dan kasar padaku.”
Azrael mendengus, “Kamu pantas mendapatkannya, Seraphim. Setidaknya dewasalah dengan posisimu itu.” Dibalas cekikikan dari sang lawan bicara.
“Kalau aku serius, kau tidak akan pernah berani membentak diriku seperti tadi, El.”
Azrael cuek mendengarnya, toh memang benar adanya. Kini tangannya merebut kertas yang tergulung apik dari tangan Seraphim.
“Kamu memang berniat membuatku lelah ya?”
“Hehehe, selamat menjalankan tugasmu El. Aku akan menantikan dirimu membawa mereka.”
“Penggal kepalanya.”
Vantee mendesis—mengejek, ketika ujung pedang rucing dengan berani ingin melubangi lehernya.
“Anda tidak akan bisa membunuh saya, Yang Mulia.”
Sang Raja mengeram marah, “Bawa putra mahkota kemari.” Katanya, sebelum sebuah teriakan berhasil membuat Vantee total tersenyum lebar.
“TERIAKAN APA ITU?!”
“YANG MULIA! PUTRA—PUTRA MAHKOTA! D-DIA DIA MEMBANTAI SELURUH PRAJURIT YANG MENGITARI PENGADILAN.”
“B-bagaiman- anakku..” Sang Raja kontan termangu, sebab ruang pengadilan dibuka kasar, menampakkan sosok putra mahkota—putih pucat, cantik, berlumuran darah dan mata tajam menatap nyalang dirinya.
“Aku menghormati dirimu sebagai Ayahku, dan aku menuruti dirimu sebagai Raja ku.”
Kakinya terus berjalan maju, sementara pedang runcing nya kian nyaring menyapa marmer dingin.
“Kau, memberikan Vantee. Illusionist gila itu sebagai hadiah ku saat berusia tujuh tahun.” Matanya beralih, menatap bagaimana kondisi pemudanya yang tampak mengenaskan dengan belenggu rantai pada leher, kedua tangan serta kakinya.
“Menjadikan dirinya kepercayaan ku, menjadikan ia temanku, menjadikan ia tameng hidupku lalu sekarang..?”
“Kau tidak lagi membutuhkannya Putra Mahkota, Illusionist itu menjijikkan. Lihat, dia membuat dirimu membunuh prajuritmu, membuatmu membangkang padaku dan menolak pernikahan mu dengan Putra Mahkota Jeo.”
Vantee terkikik geli, tangannya menarik rantai yang mengikatnya. Membuat Sang Putra Mahkota membalik arah menuju dirinya. “BERHENTI PUTRA MAHKOTA!”
“Kau pasti kesakitan.”
“Ini tidak lebih sakit, daripada aku melihat dirimu bersanding dengan Jeo, Ji.”
Ji menggeleng kuat, “Bagaimana bisa aku meninggalkan dewa-ku hanya untuk bersanding dengannya, Vantee.” Tangan berlumuran darah itu menelusuri wajah pemudanya, hingga berhenti pada senyum kotaknya.
“Aku mencintaimu, Ji.”
“Aku jugajuga—akh.”
Ji meringis, hampir limbung bila tangan Vantee tak kuat-kuat menahannya dalam pelukan. Pasalnya, Sang Raja telah menuruni singgasananya untuk menusuk jantung putranya dihadapan seluruh dewan penghakiman.
“Tidak.. Ji..” Tangannya terkepal, membawanya memutuskan rantai belenggu sebelum dengan cepat menarik pedang pada jantung kekasihnya, untuk memenggal kepala Sang Raja.
Semuanya terdiam, Raja mereka tiada oleh seseorang yang ingin mereka penggal sebelumnya, dan Putra Mahkota mereka tengah sekarat dalam pangkuan tersangka.
“Ji, tidak..– kau tidak boleh pergi, ARGHHHHHHHH.” Tangannya terus mengguncang kekasihnya, mengharapkan bibir plum membiru itu memberikan sebuah pernyataan yang mempertandakan sebuah kehidupan.
Wajahnya ia dekatkan, mengecap pelan rasa darah yang menodai pelipis kekasihnya sebelum melumat bibir biru tanpa balasan, membagi setiap jejak pembantaian dengan belati yang mulai ia tancapkan sendiri pada jantungnya.
“K-kita a-akkan bersama Ji.” Lirihnya, menjatuhkan segala tangis duka untuk membagi kematian bersama terkasih nya.
“Senior Azrael?”
Azrael menengok pada sang pemanggil, “Mingyu?” Tanyanya memastikan. “Apa yang kau lakukan disini?” Lanjutnya.
“Seraphim menyuruhku membawa jiwa yang membunuh dirinya itu untuk menyebrang duluan, dan mengirim informasinya ditengah sungai pengadilan nantinya.”
“Dia akan turun?”
Mingyu mengangguk, “Benar, aku kurang tau mengapa. Tapi mungkin dia akan menawarkan lembaran pekerja penebusan dosa, oh ya Senior. Jiwa yang kau bawa, dia terlihat sangat suci bahkan setelah melakukan pembantaian.”
“Menarik ya?”
“Aku rasa ia akan langsung bereinkarnasi, bukan?”
Azrael hanya tersenyum, tidak membalas perkataan juniornya itu. Membuat Mingyu bertanya-tanya, apakah ia mengatakan sebuah kesalahan?
“Aku menantikan nya Seraphim-ku.“