myosmu

Lagi dan lagi seorang Kim Jimin dipermalukan, ditatap begitu hina dari bawah kaki hingga atas kepala, seolah-olah ia adalah satu dari sekian banyaknya bakteri yang bersarang pada teritori paling bersih sedunia.

“Ck, dasar anak pelacur, apa matamu buta sehingga tidak melihat aku akan lewat? KENAPA MASIH BERDIRI DITENGAH JALAN, MENYINGKIR BOCAH KOTOR!”

Jimin bukan anak pelacur, Jimin bukan bocah kotor. Jimin anak terbaik, anak kebanggaan, anak emas yang memiliki paras cantik dan otak pintar, hanya saja, hanya saja kekurangan Kim Jimin adalah tidak memiliki figur seorang Ibu.

Karena tidak adanya kata Ibu dalam keluarganya, Jimin dianggap lahir dari benih haram ayahnya. Dan karena fakta Jimin tidak pernah melihat Ibunya, semua orang berlomba-lomba mengatai ia berasal dari salah satu pelacur rumah bordil yang melimpahkan seluruh tanggungjawab pada pria Kim Seokjin, ayahnya.

“Woooh—girls kita tidak boleh meninggalkan luka pada wajahnya, nanti tikus pengerat ini akan melapor pada ayah pemilik restoran kuno yang tidak pernah laku itu, kkk~”

Salah satu gadis menarik dagu Jimin, “Kau akan diam jika bukan wajahmu yang kami lukai bukan, Jimin?” Jimin mengangguk patah-patah. “... Jadi, jangan mengadu pada Ayah miskinmu itu, oke? Kau tidak ingin menyusahkan Ayahmu bukan? Atau jika kau mengadu, akan ku suruh ayahku merusak fasilitas tidak bermutu dalam restoran kuno milik ayahmu itu.”

“T—ttidak.. Jangan.. Biar, lukai aku.. Jangan.. Jangan .. Jajgan libatkan Ayahku.”

“Okey, let's start the game girls.”


“Jiminnie Daddy kenapa pakai sweater panjang di musim panas, sayang?”

“Ah.. Jimin hanya mengikuti tren pakaian teman-teman sekolah Jimin Dad.” Seokjin menggeleng heran, “Kalian anak muda yang aneh, sweater di musim panas itu sangat gerah tau.”

“Hahha, kau benar Daddy, selalu benar. Aku mencintaimu.”

“OUCH—PENGAKUAN CINTA DARI JIMINNIE?! AKHIRNYA DADDY MENDENGARNYA LAGI SETELAH 10 TAHUN LAMANYA!!”

Jimin tertawa, menyaksikan bagaimana Seokjin mencubiti gemas pipi tirusnya. “Aku senang melihatmu tersenyum, dad. Dan aku tidak akan membiarkan dirimu menderita karena ku.” Bisiknya.

“Kau berbicara sesuatu, Jiminnie?”

“Tidak, aku hanya mengatakan. Aku sangat mencintaimu Dad.”

“Daddy juga mencintaimu sayang, sangat sangat mencintaimu.”

Sang Ibu Suri tertawa kecil, ketika melihat bagaimana interaksi anak dan menantunya yang mengelabui para dayang untuk melarikan diri ke danau di belakang istananya.

Keduanya terus saling melempar candaan, sebelum semuanya mulai menghitam.

Bukan lagi danau, tapi kini terpampang jelas aula dimana tubuh itu terbujur kaku—bibirnya membiru, sementara yang dianggap Raja tengah menangis keras tidak ingin melepas barang sedetik untuk merelakan kepergian kekasihnya—istri tercintanya.

“Kalau begitu, bakar keduanya.” Titah Sang Ibu Suri.

*

“TIDAK—ack!”

Pemuda itu meringis, merasakan betapa kerasnya si pelaku memukul kepalanya hingga membuatnya harus mengaduh.

“Yak! Park Jimin, kali ini apalagi sampai kau terbangun menangis!?”

“Ugh, aku hanya tengah bermimpi. Tapi aku bahkan tidak bisa mengingat mimpi itu lagi sekarang.”

“Semuanya abu-abu, menyenangkan tapi menyedihkan pada akhirnya, Kak.” Jimin mendesah frustasi, “Sudah yang keberapa kali minggu ini?”

“Empat.”

“Ah, makin parah dari minggu lalu. Kalau begini terus, kau tidak akan fokus. Aku akan buatkan jadwal konsultasi ke Dokter Choi besok pagi.”

“Kay, thankyou Yoonie!”

Anytime little brother.”

Tangannya gemetaran, menatapi satu persatu orang yang menundukkan kepala sebagai tanda kehormatan sekaligus kesedihan.

Jusang, biarkan Wangbi Jungjeon pergi ke peristirahatan terakhirnya.”

“Tidak.”

“WANGBI JUNGJEON TIDAK BOLEH PERGI DARIKU!”

“Kalau begitu, bakar keduanya.”

ARGHHHHHHHHHH

“ASTAGA KIM TAEHYUNG KAU KENAPA SIH?!”

Kim Mingyu, teman dekat sekaligus partner si pembuat rusuh yang tiba-tiba berteriak heboh itu menaikan alisnya. “Kau bermimpi buruk, sehabis membaca ulang naskah tentang Kerajaan JungSang itu ya?”

Si pemilik mimpi mengangguk, dirinya masih disibukkan menenggak segelas air di sebelah komputer nya.

“Yah, aku juga bakal banyak bermimpi buruk sih, kalau-kalau dapat client yang meminta detail observasi Kerajaan JungSang.”

“Kau tau kan, mengerikan. Aku masih tak habis fikir, bagaimana bisa seorang Ibu membakar hidup-hidup putra bersama jasad menantunya.”

“Kau benar, tubuhku merinding Ming. Seolah-olah ikut terbakar dalam mimpiku.” Sahutnya.

Mingyu menepuk sabar punggung Taehyung sebelum mengudarakan tangannya. “Semangat sayang, beginilah cara kita bekerja untuk bertahan hidup. Dan yah, tadi kalau tidak salah atasan memanggil dirimu.”

“Untuk apa?”

“Katanya kau disuruh mengeksekusi sejarah Vantee yang terkenal selama berabad-abad dari kota kecil Eropa itu.”

“Vantee..”

Mereka akan segera bertemu Chagiya.

Tangannya gemetaran, menatapi satu persatu orang yang menundukkan kepala sebagai tanda kehormatan sekaligus kesedihan.

Jusang, biarkan Wangbi Jungjeon pergi ke peristirahatan terakhirnya.”

“Tidak.”

“WANGBI JUNGJEON TIDAK BOLEH PERGI DARIKU!”

“Kalau begitu, bakar keduanya.”

ARGHHHHHHHHHH

“ASTAGA KIM TAEHYUNG KAU KENAPA SIH?!”

Kim Mingyu, teman dekat sekaligus partner si pembuat rusuh yang tiba-tiba berteriak heboh itu menaikan alisnya. “Kau bermimpi buruk, sehabis membaca ulang naskah tentang Kerajaan JungSang itu ya?”

Si pemilik mimpi mengangguk, dirinya masih disibukkan menenggak segelas air di sebelah komputer nya.

“Yah, aku juga bakal banyak bermimpi buruk sih, kalau-kalau dapat client yang meminta detail observasi Kerajaan JungSang.”

“Kau tau kan, mengerikan. Aku masih tak habis fikir, bagaimana bisa seorang Ibu membakar hidup-hidup putra bersama jasad menantunya.”

“Kau benar, tubuhku merinding Ming. Seolah-olah ikut terbakar dalam mimpiku.” Sahutnya.

Mingyu menepuk sabar punggung Taehyung sebelum mengudarakan tangannya. “Semangat sayang, beginilah cara kita bekerja untuk bertahan hidup. Dan yah, tadi kalau tidak salah atasan memanggil dirimu.”

“Untuk apa?”

“Katanya kau disuruh mengeksekusi sejarah Vantee yang terkenal selama berabad-abad dari kota kecil Eropa itu.”

“Vantee..”

Mereka akan segera bertemu Chagiya.

Tangannya gemetaran, menatapi satu persatu orang yang menundukkan kepala sebagai tanda kehormatan sekaligus kesedihan.

Jusang, biarkan Wangbi Jungjeon pergi ke peristirahatan terakhirnya.”

“Tidak.”

“WANGBI JUNGJEON TIDAK BOLEH PERGI DARIKU!”

“Kalau begitu, bakar keduanya.”


ARGHHHHHHHHHH

“ASTAGA KIM TAEHYUNG KAU KENAPA SIH?!”

Kim Mingyu, teman dekat sekaligus partner si pembuat rusuh yang tiba-tiba berteriak heboh itu menaikan alisnya. “Kau bermimpi buruk, sehabis membaca ulang naskah tentang Kerajaan JungSang itu ya?”

Si pemilik mimpi mengangguk, dirinya masih disibukkan menenggak segelas air di sebelah komputer nya.

“Yah, aku juga bakal banyak bermimpi buruk sih, kalau-kalau dapat client yang meminta detail observasi Kerajaan JungSang.”

“Kau tau kan, mengerikan. Aku masih tak habis fikir, bagaimana bisa seorang Ibu membakar hidup-hidup putra bersama jasad menantunya.”

“Kau benar, tubuhku merinding Ming. Seolah-olah ikut terbakar dalam mimpiku.” Sahutnya.

Mingyu menepuk sabar punggung Taehyung sebelum mengudarakan tangannya. “Semangat sayang, beginilah cara kita bekerja untuk bertahan hidup. Dan yah, tadi kalau tidak salah atasan memanggil dirimu.”

“Untuk apa?”

“Katanya kau disuruh mengeksekusi sejarah Vantee yang terkenal selama berabad-abad dari kota kecil Eropa itu.”

“Vantee..”

Mereka akan segera bertemu Chagiya.

Tubuh keduanya beriringan dalam sebuah melodi klasik, kanan-kiri-depan-belakang dan berakhir putaran sebelum tubuh yang lebih kecil jatuh dalam dekapan erat sang patner dansanya.

“Anda masih terlihat seperti anak kecil, tuan muda.”

Pemuda itu terkekeh kecil, “Jangan terlalu kaku, Vantee. Kamu tidak sedang melayani diriku sebagai penerus, tapi sebagai teman bermain ku.” Tangannya kini menarik agar wajah partner dansanya—Vantee kian mendekat.

Ji...

“Aku mencintaimu Vantee, sangat. Sampai rasanya, disini—” Pemuda itu memegangi dadanya sendiri sebelum melukiskan sebuah senyum teduh, “—disini sakit sekali, dia terus berdegup kencang saat kamu disekitar ku Vantee.”

“Bukan hanya sekarang, tapi di masa lalu, disaat kita pertama bertemu 20 tahun lalu hingga aku meregang nya—”

Bibir bertemu bibir, Vantee menghentikan Ji ketika pemuda itu ingin mengikrarkan janji.

“Aku juga, aku sangat mencintai dirimu, tuanku, kekasih hatiku, ilusi ku, jiwaku.”

“Biarkan aku, biarkan aku yang mencintaimu hingga meregang nyawa Ji. Karena aku tidak ingin, kamu diambil seenaknya dariku, dan selama aku masih membuka mataku, kamu. Kamu tidak akan lepas dari belenggu ku.” Tangannya meremat pinggang kecil sang tuan muda, membiarkan bibir kembali bertemu dengan lumatan penuh nafsu.


“PHIM BERHENTI!”

Pemuda Phim itu hanya tertawa mengejek, sebelum kedua sayapnya terbuka lebar dan ditarik paksa oleh sang pengejar. “Awh—EL SAKIT!”

“BOHONG.”

“Ayolah Azrael, kamu itu terlalu kaku dan kasar padaku.”

Azrael mendengus, “Kamu pantas mendapatkannya, Seraphim. Setidaknya dewasalah dengan posisimu itu.” Dibalas cekikikan dari sang lawan bicara.

“Kalau aku serius, kau tidak akan pernah berani membentak diriku seperti tadi, El.”

Azrael cuek mendengarnya, toh memang benar adanya. Kini tangannya merebut kertas yang tergulung apik dari tangan Seraphim.

“Kamu memang berniat membuatku lelah ya?”

“Hehehe, selamat menjalankan tugasmu El. Aku akan menantikan dirimu membawa mereka.”


Penggal kepalanya.”

Vantee mendesis—mengejek, ketika ujung pedang rucing dengan berani ingin melubangi lehernya.

“Anda tidak akan bisa membunuh saya, Yang Mulia.”

Sang Raja mengeram marah, “Bawa putra mahkota kemari.” Katanya, sebelum sebuah teriakan berhasil membuat Vantee total tersenyum lebar.

“TERIAKAN APA ITU?!”

“YANG MULIA! PUTRA—PUTRA MAHKOTA! D-DIA DIA MEMBANTAI SELURUH PRAJURIT YANG MENGITARI PENGADILAN.”

“B-bagaiman- anakku..” Sang Raja kontan termangu, sebab ruang pengadilan dibuka kasar, menampakkan sosok putra mahkota—putih pucat, cantik, berlumuran darah dan mata tajam menatap nyalang dirinya.

“Aku menghormati dirimu sebagai Ayahku, dan aku menuruti dirimu sebagai Raja ku.”

Kakinya terus berjalan maju, sementara pedang runcing nya kian nyaring menyapa marmer dingin.

“Kau, memberikan Vantee. Illusionist gila itu sebagai hadiah ku saat berusia tujuh tahun.” Matanya beralih, menatap bagaimana kondisi pemudanya yang tampak mengenaskan dengan belenggu rantai pada leher, kedua tangan serta kakinya.

“Menjadikan dirinya kepercayaan ku, menjadikan ia temanku, menjadikan ia tameng hidupku lalu sekarang..?”

“Kau tidak lagi membutuhkannya Putra Mahkota, Illusionist itu menjijikkan. Lihat, dia membuat dirimu membunuh prajuritmu, membuatmu membangkang padaku dan menolak pernikahan mu dengan Putra Mahkota Jeo.”

Vantee terkikik geli, tangannya menarik rantai yang mengikatnya. Membuat Sang Putra Mahkota membalik arah menuju dirinya. “BERHENTI PUTRA MAHKOTA!”

“Kau pasti kesakitan.”

“Ini tidak lebih sakit, daripada aku melihat dirimu bersanding dengan Jeo, Ji.”

Ji menggeleng kuat, “Bagaimana bisa aku meninggalkan dewa-ku hanya untuk bersanding dengannya, Vantee.” Tangan berlumuran darah itu menelusuri wajah pemudanya, hingga berhenti pada senyum kotaknya.

“Aku mencintaimu, Ji.”

“Aku jugajuga—akh.”

Ji meringis, hampir limbung bila tangan Vantee tak kuat-kuat menahannya dalam pelukan. Pasalnya, Sang Raja telah menuruni singgasananya untuk menusuk jantung putranya dihadapan seluruh dewan penghakiman.

“Tidak.. Ji..” Tangannya terkepal, membawanya memutuskan rantai belenggu sebelum dengan cepat menarik pedang pada jantung kekasihnya, untuk memenggal kepala Sang Raja.

Semuanya terdiam, Raja mereka tiada oleh seseorang yang ingin mereka penggal sebelumnya, dan Putra Mahkota mereka tengah sekarat dalam pangkuan tersangka.

Ji, tidak..– kau tidak boleh pergi, ARGHHHHHHHH.” Tangannya terus mengguncang kekasihnya, mengharapkan bibir plum membiru itu memberikan sebuah pernyataan yang mempertandakan sebuah kehidupan.

Wajahnya ia dekatkan, mengecap pelan rasa darah yang menodai pelipis kekasihnya sebelum melumat bibir biru tanpa balasan, membagi setiap jejak pembantaian dengan belati yang mulai ia tancapkan sendiri pada jantungnya.

“K-kita a-akkan bersama Ji.” Lirihnya, menjatuhkan segala tangis duka untuk membagi kematian bersama terkasih nya.


“Senior Azrael?”

Azrael menengok pada sang pemanggil, “Mingyu?” Tanyanya memastikan. “Apa yang kau lakukan disini?” Lanjutnya.

“Seraphim menyuruhku membawa jiwa yang membunuh dirinya itu untuk menyebrang duluan, dan mengirim informasinya ditengah sungai pengadilan nantinya.”

“Dia akan turun?”

Mingyu mengangguk, “Benar, aku kurang tau mengapa. Tapi mungkin dia akan menawarkan lembaran pekerja penebusan dosa, oh ya Senior. Jiwa yang kau bawa, dia terlihat sangat suci bahkan setelah melakukan pembantaian.”

“Menarik ya?”

“Aku rasa ia akan langsung bereinkarnasi, bukan?”

Azrael hanya tersenyum, tidak membalas perkataan juniornya itu. Membuat Mingyu bertanya-tanya, apakah ia mengatakan sebuah kesalahan?

Aku menantikan nya Seraphim-ku.

Yoongi, pemuda yang akan memasuki kepala tiga itu kini tengah menata dengan apik makanan ke atas meja kecil disamping kasur milik sahabatnya.

Tangannya cekatan meletakkan daging keatas pemanggang, sementara matanya masih terus melirik kondisi mengenaskan sahabat kecilnya itu.

“Hoba, makan dulu.”

Yang dipanggil hanya menyauti hm sebagai tanggapan, dan kembali mengabaikan eksistensi seorang Min Yoongi yang tengah membolak-balikan daging dengan wajah mengejek.

“Ini tuh konsekuensi lo Hoseok, sebagai manusia yang jatuh cinta nggak pada tempatnya.”

Hoseok masih membisu, tangannya merengkuh kuat bantal yang menutupi tangisnya. Entahlah, Hoseok juga bertanya-tanya, mengapa ia bisa menangis seperti ini hanya dengan melihat Seokjin menatap penuh puja pemuda asing bernama Minie.

Ah, makin diingat makin membuatnya muak.

“Mending lo makan daripada sedih, soalnya wajah lo makin keliatan jelek.”

“Lo kesini mau ngejek gue doang kan, Yoon.”

Pemuda itu mengangguk keras. “Brengsek.” Dan dihadiahi tawa lebar dari seorang Min Yoongi.

“Gue kesini beneran mau nemenin lo kok, Bubun lo khawatir karena doi ga bisa pulang karena nemenin bokap lo buat ketemu kolega.”

“Mmh..”

Yoongi kian menggelengkan kepalanya, rasanya lidahnya pahit merasakan daging panggang dihadapannya karena isakan teman kecilnya.

“Hoseok, coba noleh bentar.”

“Wh—mh.” Yoongi memaksa, agar mulut itu mau mengunyah daging yang susah-susah ia panggang-rawat seperti anak sendiri.

“Hati lo boleh sakit, nggak ada yang ngelarang. Lo mau nangis pun itu hak lo, tapi lo gaboleh nyiksa diri sendiri dengan ngebiarin perut lo kosong.”

“Lo emang salah, dari awal gue udah bilang. Yang jatuh sendiri disini itu lo, sementara psikiater itu cuma aggep pertemuan kalian nggak lebih sebagai awal pertemanan.”

Yoongi menepuk kepala yang kini bersandar pada pangkuannya. “Tenangin diri lo, Hoseok itu matahari. Matahari yang selalu bikin keluarga lo dan gue ngerasain hangatnya.”

“Yoongi tumben lo ceramahin gue sebegininya.”

Yoongi tersenyum samar sebelum kembali memakan daging bakarnya, “Mungkin, karena gue juga pernah ngerasa jatuh cinta sendirian.” Membuat Hoseok melotot akan pernyataannya.

“Hah—?! Tunggu deh, lo gapernah cerita ke gue Yoongi-ah.”

“Buat apa?”

“Ya, ya karena..”

Yoongi kembali menepuk kepala di pangkuannya. “Gue ga pernah cerita, bukan karena gamau. Tapi menurut gue, karena gue yang repot duluan buat mencintai, gue gapunya hak buat di kasih timbal balik dicintai.”

“Konsep hidup lo aneh Yoon.”

“Emang, seaneh lo. Sekarang makan atau gue abisin sendirian, biar lo kelaparan kaya gembel.”

“Iya-iya, btw thanks Yoongi.”

“Always.”

Yoongi, pemuda yang akan memasuki kepala tiga itu kini tengah menata dengan apik makanan ke atas meja kecil disamping kasur milik sahabatnya.

Tangannya cekatan meletakkan daging keatas pemanggang, sementara matanya masih terus melirik kondisi mengenaskan sahabat kecilnya itu.

“Hoba, makan dulu.”

Yang dipanggil hanya menyauti hm sebagai tanggapan, dan kembali mengabaikan eksistensi seorang Min Yoongi yang tengah membolak-balikan daging dengan wajah mengejek.

“Ini tuh konsekuensi lo Hoseok, sebagai manusia yang jatuh cinta nggak pada tempatnya.”

Hoseok masih membisu, tangannya merengkuh kuat bantal yang menutupi tangisnya. Entahlah, Hoseok juga bertanya-tanya, mengapa ia bisa menangis seperti ini hanya dengan melihat Seokjin menatap penuh puja pemuda asing bernama Minie.

Ah, makin diingat makin membuatnya muak.

“Mending lo makan daripada sedih, soalnya wajah lo makin keliatan jelek.”

“Lo kesini mau ngejek gue doang kan, Yoon.”

Pemuda itu mengangguk keras. “Brengsek.” Dan dihadiahi tawa lebar dari seorang Min Yoongi.

“Gue kesini beneran mau nemenin lo kok, Bubun lo khawatir karena doi ga bisa pulang karena nemenin bokap lo buat ketemu kolega.”

“Mmh..”

Yoongi kian menggelengkan kepalanya, rasanya lidahnya pahit merasakan daging panggang dihadapannya karena isakan teman kecilnya.

“Hoseok, coba noleh bentar.”

“Wh—mh.” Yoongi memaksa, agar mulut itu mau mengunyah daging yang susah-susah ia panggang-rawat seperti anak sendiri.

“Hati lo boleh sakit, nggak ada yang ngelarang. Lo mau nangis pun itu hak lo, tapi lo gaboleh nyiksa diri sendiri dengan ngebiarin perut lo kosong.”

“Lo emang salah, dari awal gue udah bilang. Yang jatuh sendiri disini itu lo, sementara psikiater itu cuma aggep pertemuan kalian nggak lebih sebagai awal pertemanan.”

Yoongi menepuk kepala yang kini bersandar pada pangkuannya. “Tenangin diri lo, Hoseok itu matahari. Matahari yang selalu bikin keluarga lo dan gue ngerasain hangatnya.”

“Yoongi tumben lo ceramahin gue sebegininya.”

Yoongi tersenyum samar sebelum kembali memakan daging bakarnya, “Mungkin, karena gue juga pernah ngerasa jatuh cinta sendirian.” Membuat Hoseok melotot akan pernyataannya.

“Hah—?! Tunggu deh, lo gapernah cerita ke gue Yoongi-ah.”

“Buat apa?”

“Ya, ya karena..”

Yoongi kembali menepuk kepala di pangkuannya. “Gue ga pernah cerita, bukan karena gamau. Tapi menurut gue, karena gue yang repot duluan buat mencintai, gue gapunya hak buat di kasih timbal balik dicintai.”

“Konsep hidup lo aneh Yoon.”

“Emang, seaneh lo. Sekarang makan atau gue abisin sendirian, biar lo kelaparan kaya gembel.”

“Iya-iya, btw thanks Yoongi.”

“Always.”

Yoongi, pemuda yang akan memasuki kepala tiga itu kini tengah menata dengan apik makanan ke atas meja kecil disamping kasur milik sahabatnya.

Tangannya cekatan meletakkan daging keatas pemanggang, sementara matanya masih terus melirik kondisi mengenaskan sahabat kecilnya itu.

“Hoba, makan dulu.”

Yang dipanggil hanya menyauti hm sebagai tanggapan, dan kembali mengabaikan eksistensi seorang Min Yoongi yang tengah membolak-balikan daging dengan wajah mengejek.

“Ini tuh konsekuensi lo Hoseok, sebagai manusia yang jatuh cinta nggak pada tempatnya.”

Hoseok masih membisu, tangannya merengkuh kuat bantal yang menutupi tangisnya. Entahlah, Hoseok juga bertanya-tanya, mengapa ia bisa menangis seperti ini hanya dengan melihat Seokjin menatap penuh puja pemuda asing bernama Minie.

Ah, makin diingat makin membuatnya muak.

“Mending lo makan daripada sedih, soalnya wajah lo makin keliatan jelek.”

“Lo kesini mau ngejek gue doang kan, Yoon.”

Pemuda itu mengangguk keras. “Brengsek.” Dan dihadiahi tawa lebar dari seorang Min Yoongi.

“Gue kesini beneran mau nemenin lo kok, Bubun lo khawatir karena doi ga bisa pulang karena nemenin bokap lo buat ketemu kolega.”

“Mmh..”

Yoongi kian menggelengkan kepalanya, rasanya lidahnya pahit merasakan daging panggang dihadapannya karena isakan teman kecilnya.

“Hoseok, coba noleh bentar.”

“Wh—mh.” Yoongi memaksa, agar mulut itu mau mengunyah daging yang susah-susah ia panggang-rawat seperti anak sendiri.

“Hati lo boleh sakit, nggak ada yang ngelarang. Lo mau nangis pun itu hak lo, tapi lo gaboleh nyiksa diri sendiri dengan ngebiarin perut lo kosong.”

“Lo emang salah, dari awal gue udah bilang. Yang jatuh sendiri disini itu lo, sementara psikiater itu cuma aggep pertemuan kalian nggak lebih sebagai awal pertemanan.”

Yoongi menepuk kepala yang kini bersandar pada pangkuannya. “Tenangin diri lo, Hoseok itu matahari. Matahari yang selalu bikin keluarga lo dan gue ngerasain hangatnya.”

“Yoongi tumben lo ceramahin gue sebegininya.”

Yoongi tersenyum samar sebelum kembali memakan daging bakarnya, “Mungkin, karena gue juga pernah ngerasa jatuh cinta sendirian.” Membuat Hoseok melotot akan pernyataannya.

“Hah—?! Tunggu deh, lo gapernah cerita ke gue Yoongi-ah.”

“Buat apa?”

“Ya, ya karena..”

Yoongi kembali menepuk kepala di pangkuannya. “Gue ga pernah cerita, bukan karena gamau. Tapi menurut gue, karena gue yang repot duluan buat mencintai, gue gapunya hak buat di kasih timbal balik dicintai.”

“Konsep hidup lo aneh Yoon.”

“Emang, seaneh lo. Sekarang makan atau gue abisin sendirian, biar lo kelaparan kaya gembel.”

“Iya-iya, btw thanks Yoongi.”

“Always.”

Yoongi, pemuda yang sedari tadi diam sembari duduk di kursi sutradara itu tersenyum kecil sebelum menarik kemeja milik teman kecilnya.

“Seok..”

“Jung Hoseok!”

Hoseok yang dipanggil menelengkan kepalanya, “Yoongi, gue barusan liat apa ya?” tanyanya masih dibawah ambang kesadaran.

“Serendipity.”

“Hah?”

“Kita barusan nonton sebuah kebetulan managernya Mingyu diseret keluar sama pihak berwajib.”


Kini Mingyu tengah terlelap nyaman dalam pangkuan pemuda yang dianggap cukup familiar tapi asing bagi Hoseok.

Dan seluruh staff atas perintah Sutradara Kim, setuju untuk melanjutkan proses syuting mereka besok pagi demi kebaikan dan kesehatan para aktor mereka.

“Jinnie are you okay?” Pemuda itu bertanya, membuat Hoseok sadar bahwa wajah Seokjin masih terlihat merah bekas tamparan keras Soo Jang tadinya.

Ia ingin bergerak mendekat, namun tubuhnya ditahan Yoongi untuk menyaksikan seorang Seokjin terduduk dan sedikit terisak.

“Sakit sekali Minie.”

“Gausah lebay!” Walau sedikit membentak, tangan pemuda itu tetap saja dengan hati-hati mengompres pipi membengkak yang beberapa kali menghasilkan ringisan dari Seokjin.

“Terimakasih Minie.”

Entah mengapa, ada sedikit rasa tidak enak dalam hati Hoseok ketika Seokjin menatap penuh puja terhadap pemuda yang dipanggil Minie secara lembut dari belah bibirnya itu.

Minie, Minie, Minie.

Hoseok mencengkram erat tangan Yoongi, berusaha menyalurkan perasaannya yang langsung menjadi paham sahabat kecilnya itu.

“Skenario yang hebat Kim's.”

“Gatau aja lo, ini tanpa briefing tau.”

“Wow, jadi yang tadi itu spontan?”

“Hm, tapi kalau yang nangis—”

“Bisa nggak kalian end call saya dulu, saya muak dengerin omongan kalian. Cuman bisa nambahin encok saya aja.”