myosmu

Hoseok memaksa kakinya untuk berlari berkelok-kelok dari ruangan putih penuh tawa dan raungan untuk mencapai titik dimana seluruh kegaduhan terjadi begitu menarik perhatiannya.

Disana, kamera saling menyorot seorang pemuda yang terduduk gemetar dengan tangis memilukan.

Sementara orang-orang berdiri menonton dan seorang tokoh menghakimi dirinya penuh sarat kebencian.

“Gara-gara kamu, kamu—BRENGSEK! KARIR MILIKKU HANCUR KARENA AKTOR TIDAK BERGUNA SEPERTI DIRIMU!”

“Lihat, pasti kamu yang melaporkan seluruh perbuatanku selama ini kan? Kamu tidak terima, dan mulai berani melawan ku kan?!”

Tangannya tergantung di atas, berniat memukul keras sosok Kim Mingyu yang meraung ketakutan. Namun seperti seorang pahlawan, disana Kim Seokjin berakting apik dengan membiarkan wajahnya menjadi samsak pengganti amarah Soo Jang.

“Sekarang kamu berlagak seperti pahlawan Dokter Seokjin?”

Seokjin mengabaikan perkataan Soo Jang, dirinya lebih memilih ingin menggapai pemuda dibawahnya dalam dekapan tapi penolakan keras didapatinya, ketika Mingyu menggeleng ketakutan dan menjauhinya.

“J-jangan.. Takut.. Ttakut.. PERGI!”

“Lihat, seperti ini aktor yang menurut kalian sangat berbakat itu. Dia orang gila! Orang bermental rendah, menjijikkan.”

“Mingyu..”

Kini perhatian Hoseok diambil alih paksa pada sosok pemuda cantik yang menaruh seluruh pusat khawatirnya pada seorang Kim Mingyu yang dengan gemetar berusaha memeluknya erat.

“Tarik nafas Mingyu, calm okay.” Tangan mungilnya menepuk-nepuk punggung besar Mingyu, membuat pemuda yang awalnya gemetar ketakutan itu berangsur tenang.

Seolah-olah menyaksikan keajaiban, Hoseok bahkan dibuat tidak bisa ikut campur selain menjadi penonton yang menganga lebar ketika dengan satu kalimat lembut menjadi obat penenang bagi kegelisahan seorang Kim Mingyu.

“Angel's, Angel's...”

“I'm here, Mingyu.”

“D—” “Harusnya hama pengerat kaya lo tuh membusuk di jalanan, bukannya jadi benalu di kehidupan Kak Gyu.”

Seokjin menutup rapat pintu kamar dimana Mingyu mengistirahatkan tubuhnya, ia memastikan pemuda itu benar-benar meminum obat, istirahat dan merasa nyaman berada di sekitar mereka.

Di liriknya sebentar jam besar yang menghiasi dinding apartement miliknya, menunjukkan jarum pendek hampir menyentuh angka satu dengan panjang pada angka enam.

Dini hari.

Tapi entah mengapa rasa kantuk seolah enggan menyapa dirinya, padahal seharian ini ia telah menyiksa tubuh serta pikirannya agar bisa berbaring dan segera pergi ke dalam alam bawah sadarnya.

“Hahhh..”

Tubuhnya sungguh lelah, tapi kaki tanpa alasnya malahan menuntut dirinya untuk kembali duduk memandangi Keyboard elektronik dihadapannya.

Dan tangannya yang menganggur mulai menekan satu demi satu tuts warna hitam putih secara bergantian, sementara bibirnya bergerak menyanyikan lagu seirama permainannya.

“Kak?”

Seokjin berhenti, kepalanya menengok pelan sebelum memberikan sebuah senyum hangat pada sosok Taehyung yang kini berjalan mendekat dan memeluk dirinya dari belakang.

“Kak serius, gue khawatir lo kesambet atau gimana.”

“Gue baik-baik aja Tae.”

“TUHKAN! Kak Seokjin tuh nggak pernah panggil gue Tae kecuali dia lagi bener-bener bingung.”

Seokjin tertawa melihat adiknya itu begitu hafal kebiasaannya, dan kini Taehyung tengah memaksa agar dirinya menatap pemuda yang masih berdiri membelakangi nya itu.

“Gue merasa bersalah bear karena kemungkinan besar Seokie suka sama gue.”

Taehyung menaikan alisnya, “Terus? Lo nggak kaya biasanya kak jujur aja.”

“Gue juga gatau bear, rasanya ada sesuatu yang ngeganjel aja entah apa itu.”

“Yah, mau gimana lagi ya kak.” Kini Taehyung ikut menekan tuts keyboard sebelum kembali menatap saudara kandung nya itu. “Kita nggak bisa nentuin perasaan orang lain kak.”

“Mau seberapa keras kita memperingati seseorang buat dia lari dan pergi daripada ngasih perasaan sama orang yang salah, dia nggak bakal mau sebelum dia liat sendiri dan ngerasain kalau dia udah salah ngasih seluruh hatinya buat seseorang itu.”

“Dan jelas dia harus lewatin fase belajar rasa sakit, buat capai tujuannya.”

“Btw gue punya ide nih kak.”

Mingyu, pemuda yang akan menginjak usia 26 tahun itu melotot horror. Sebab setelah ia menggulirkan angka-angka sulit untuk membuka keamanan pintu apartement yang menyambutnya bukanlah sapa atau senyum, melainkan kekacauan.

Dilihatnya sofa apartement yang menjadi sarang pakaian termasuk dua jas dokter dengan nametag hitam yang masih menggantung apik.

Beberapa ruangan terbuka termasuk ruangan yang katanya pribadi bagi mereka, disana Mingyu dapat mencium bau menyengat alkohol dari beberapa botol yang terbuka dan bekas makan malam yang belum dibereskan.

“Serius deh. Mereka habis pesta pora atau gimana sih?!”

Kini langkahnya berganti, membuka sebuah pintu bercat putih yang mengukir nama Kim Seokjin dengan sempurna. “Hello, Dokter Jin and Dokter Kim.” Tidak ada sahutan.

Akhirnya ia memberanikan diri, melangkah lebih jauh dari pintu untuk mendapati dua saudara kandung tengah tertidur pulas. Sang kakak, Kim Seokjin membiarkan tangannya menjadi bantal adiknya yang meringkuk bak anak kecil penuh ketakutan.

“Dokter Jin...”

“Ugh—Ming, eh Mingyu?!”

Seokjin mengerjapkan matanya, tangannya keram tapi ketika menyadari Taehyung menjadikannya bantal ia malah membawa adiknya itu dalam sebuah pelukan. “Sorry ya Mingyu, padahal pasti kamu dateng buat konsultasi dan main sama Taebear. Tapi semalem kita kelewatan minum. “

“Gapapa Dok, btw ini aku sewa cleaning up buat beresin apartement kalian ya. Kayaknya Dokter Kim juga bakal susah buat dibangunin.”

“Thankyou Mingyu, kamu duduk di sofa itu aja kita sambil ngobrol dan nungguin bear bangun.”

“Kay Dokter Jin.”


“JUNG HOSEOK!?”

“Halo Yoongi sayang.”

Yoongi tak habis fikir, ketika melihat temannya itu terbaring dilantai Genius Lab dengan kantung mata hitam ketara. Tangannya melambai-lambai menyapanya, dan Yoongi yakin betul bahwa Hoseok tengah berada diambang kesadaran akhir.

Ia melangkahi pemuda itu hanya untuk mengamati laptop yang masih menyala dengan sebuah file yang diberi judul besar dan tebal.

REVISI SKENARIO BAJINGAN BG. 03-16

Yoongi menggeleng sebelum mengacungkan jempolnya, hanya seorang Jung Hoseok yang berani memberi nama bajingan pada skenario yang akan disetor pada Sutradara dan tim mereka.

“Ini udah final kan Hoba?”

“Udah gan.”

“Yaudah, gue kirim filenya ke bagian tim produksi buat di print-out ya.”

Hoseok hanya menganggukkan kepalanya, sementara tubuhnya diseret untuk mengamankan diri di atas karpet bulu Genius Lab.

Yoongi yang duduk dan memperhatikan sembari memakan sarapannya itu tertawa kecil. “Btw gue punya informasi tambahan nih, tadi Sutradara Kim baru kirim file aktor yang bakal meranin Kang Brothers.”

“Siapa tuh?”

“Yang bakal jadi Kang Soo Min itu Kang Taehyun.”

“Oh, aktor dibawah Jekay itukan umurnya? Tapi dia udah dapet banyak penghargaan juga, dan gue denger bukannya dia lagi di Paris buat drama lain ya Yoon?”

Yoongi mengangguk, “Yang gue tau juga dia ada drama lain, tapi gatau kenapa dia acc drama Serendipity dan percaya diri meranin Kang Soo Min.”

“Terus Kang Jeo Seo bakal diambil sama siapa?”

“Lo pasti kaget, ini aktor favorit lo yang lagi di Milan dan pemotretan brand.”

“ANJING JANGAN BILANG ITU DIA?!”

“Yes, thats Hyuka. Atau Huening Kai, aktor favorit lo.”

  • hanya sebuah obrolan dalam zoom meeting team Park Psychiatric Hospital.

🐥: Hai para penyokong dana rumah sakit ku. 🐻: JIMINIEEE. 🐥: Bear lo beneran gapunya kerjaan ya, kok nyaut duluan mulu. 🐻: Sembarangan ya anjir, gue baru kelar dandan di apartement nih buat berangkat ke rumah sakit. 🐥: Hahaha, terus Jinnie mana nih kok belum oncam? 🐹: Sebentar, gue baru sampe rumah sakit Minie. Tes halo, nah udah lanjut berantemnya kalian. 🐥: IH ITU JINNIE BAWA APA?! 🐹: Bekel masakan sendiri dong, buat dipamerin ke kalian. 🐻: OH, JADI BEGINI KELAKUAN LO GA PULANG KARENA NGAMBEK SOAL EUNHYUK DAN MENINGGALKAN ADEK KESAYANGAN LO. 🐥: HAHAHAHAHAHAHAHA UHUK— 🐹: Ssstt, anak-anak kalian berisik sekali. Menganggu Dokter Seokjin ini. 🐥: Uhuk, bear uh- 🐹: Sweetie kenapa? 🐻: Jiminie lo baik-baik aja kan? 🐥: Sorry, gue demam semalem dan masih nyisa kayaknya. 🐻: Lo mah kebiasaan, kak Seokjin ayo pesen tiket ke Milan deh. 🐹: Ini gue udah atur jadwal biar kita bisa berangkat sekarang bear. 🐥: JANGAN! Lebay banget lo berdua ah, gue cuman demam karena kecapean. Lagian gue udah pulang 3 hari lagi. 🐹: Tapi nggak ada yang jagain lo Minie. Gimana kalau lo tiba-tiba jatuh atau ah gue gamau mikir yang buruk. 🐻: Bener tuh kata Kak Seokjin. 🐥: Tenang, ada yang jagain gue disini kok. 🐻🐹: HAH SIAPA?! 🐥: Aduh signalnya tiba-tiba jelek, gue udahin dulu ya. 👋 🐻: YAH ANJING KABUR TUH ANAK. 🐹: Emang siapa sih yang jagain Minie, btw mumpung Minie udah leave kita bahas masalah tadi sekalian bear. 🐻: Oke Direktur Kim Seokjin.

Seokjin menjalankan mobilnya perlahan melewati pekarangan keluarga Jung dengan membawa buah hati mereka—Jung Hoseok disamping kemudi nya.

Ia melihat bagaimana wajah itu terlihat gugup memegangi kotak bekal yang ia buat bersama sang Ibunda Jung tadi pagi.

“Seokie kamu kedinginan?”

Hoseok yang ditanya menggeleng, harus bagaimana ia menjelaskan bahwa sebenarnya ia gemetar harus berada dalam satu mobil dengan Seokjin ke lokasi syuting.

Sementara Seokjin yang tak kunjung mendapati jawaban itu nekat menggenggam tangan Hoseok dan mengusapnya pelan. “Tangan kamu dingin.”

Tuhan, Hoseok butuh oksigen tambahan sekarang, sungguh.

“Seokie kamu jangan diem aja, saya takut kamu kesambet. Nanti saya harus bilang apa ke Bubun Jung dan Ayah Jung, kalau nggak bisa jagain anaknya.”

“Itu- anu, mmh-”

Seokjin tertawa kecil menanggapi respon pemuda disebelahnya, “Kita bentar lagi sampe ke lokasi syuting, saya titip totebag yang warna ungu nanti buat Mingyu ya.”

“Iya.” Sial, Hoseok tidak bisa merespon dengan benar karena terlalu fokus pada hangat genggaman Seokjin.

Rasanya perjalanan yang memakan waktu 30 menit dari pekarangan rumahnya itu berasa berabad-abad baginya, apalagi ketika sampai ke lokasi syuting si Kim Seokjin ini membukakan pintu lalu menyerahkan coat hangat keatas pundaknya dan memberikan senyum lebar yang menjatuhkan jantungnya.

Sungguh sekali lagi Tuhan, Hoseok merapal doa agar Kim Seokjin menjadi jodoh masa depannya, tanpa sadar si Kim dihadapannya menatap orang lain dengan penuh minat kebencian.

Hoseok membawa dua bekas cup isi tteokbokki, dua mangkuk bekas nasi dan daging panggang ke tempat cuci piring.

Sebenarnya Seokjin tadi ingin membantu, tapi pemuda itu menolak keras. Sebab sudah mau pukul 3 pagi ia ditemani dan dibawakan makan oleh Seokjin, sebagai tata krama pemilik rumah ia membiarkan pemuda yang setengah mengantuk itu merebahkan dirinya di atas sofa empuk ruang tamunya.

“Seokie... Sudah selesai?”

Hoseok mengangguk, tangannya masih cukup basah bekas mencuci tapi dengan telaten Seokjin mengeringkan nya dengan tisu dihadapannya.

“Terimakasih udah nerima saya buat makan dirumah kamu ya.”

“Eh—harusnya aku yang berterimakasih karena dibawain makanan waktu laper Jinnie.”

“Mmh, kay kalau gitu saya pulang dulu ya.”

Seokjin yang hampir berdiri itu ditahan Hoseok agar kembali duduk, dengan posisi agak ambigu ia mengatakan dengan cukup gugup. “Ng, bisa ngga kamu nginep aja. Nggak baik buat nyetir waktu ngantuk gini.”

“Boleh?”

“BANGET.”

“Tapi Seokie, saya gabisa tidur kalau ngga dipeluk dulu. Jadi saya izin meluk kamu sampai ketiduran boleh kan?”

“Jadi, tujuan kamu kesini apa Seokjin?” Tuan Park tersenyum, sebelum menggeser secangkir kopi hitam yang mengepul panas kehadapan pemuda bermarga Kim itu.

Seokjin menerimanya dengan senang hati, tangannya yang menganggur mengaduk pinggiran cangkir coklat tanpa merasakan panasnya.

“Seperti biasa, aku mau menyingkirkan seseorang atas perintah Direktur utama Park Company.”

“Ah, kau sembarangan memakai nama anakku lagi demi tujuanmu ya.”

Seokjin menggeleng, “Kali ini sih dia sendiri yang minta, Tuan Park. Kalau aku, mana bisa sih nolak Angel's kaya dia.”

Tuan Park menghela nafas pelan, sebelum menyesap teh herbal yang sedari tadi ia anggurkan. “Kalian memang orang sakit jiwa.”

“Kalian?”

“Kamu dan Taehyung, kalau anakku sih emang salahnya ketularan virus kalian.”

Seokjin hampir tertawa keras bila tak ingat orang tua dihadapannya akan terkejut total. “Yah emang cetakan keluarga Kim begini, mau diapain juga emang takdirnya kita sama-sama sakit.”

“Ahh, selain sakit kalian jago bikin orang sakit juga ya. Kalau gitu biar kamu ngga kelamaan disini, saya bakal bantu kamu soal skenario yang menarik di Park Psychiatric Hospital itu.”

Mengacungkan jempolnya, Seokjin ikut menyesap kopi hitamnya. “Tuan Park mau nonton lewat CCTV atau videocall?”

“Suruh Taehyung oncam saja, orang tua ini juga butuh tontonan.”

Yah, Seokjin yakin betul. Ketika seorang Park Jimin membuka pintu kaca Park Psychiatric Hospital akan menjadi awal sebuah cerita baru ketiganya.

Jung Hoseok membawa dirinya keluar bersamaan dengan Min Yoongi dan Jeon Jungkook yang juga turut mengekori dirinya.

Wajah ketiganya terlihat benar-benar fresh pagi ini, entah karena tidur teratur dan perawatan atau mungkin efek dari sarapan lezat buatan chef Yoongi yang memberi dampak besar.

“Seokie?”

Tunggu, Hoseok tidak tengah bermimpi kan?

“Halo, Seokie.” INI SERIUS BUKAN MIMPI. MIN YOONGI TOLONG TAMPAR HOSEOK SEKARANG.

“Ha-ah Jinnie..”

Seokjin tertawa kecil sebelum menepuk punggung tangan Hoseok. “Calm down kay, tarik nafas hembuskan. Baru kamu bisa bicara lancar sama saya.”

“Oh ah ya, maaf.”

“Maaf buat apa Seokie? Harusnya saya tau yang minta maaf sama kamu, kemaren waktu bear nganterin ponsel saya kamu sempet chat kan?”

“Karena terlalu hectic sampai malam saya lupa buat cek room chat kamu, tolong jangan marah ya?”

Bagaimana, bagaimana Hoseok bisa mengatakan dengan jelas kalau dirinya sempat marah. Tapi melihat raut wajah menyesal Seokjin, seketika membuat hatinya luruh menyapa lantai.

“Gapapa kok, aku ngga marah Jinnie. Btw kamu kok bisa ke lokasi syuting?”

“Oh itu, saya nganterin Mingyu. Karena semalem dia nginep di apartement saya sama bear. Sama mastiin biar dia ngga ngalamin tremor parah kaya semalem dan bikin Angel's khawatir berat.”

“Angel's?”

“Loh Dokter Jin?” Pertanyaan Hoseok dipotong, ketika Jungkook menyapa dengan senyum lebar disusul dengan Yoongi yang membawa teks skenario dalam genggamannya.

“Halo Jeon, gimana kabar kamu?”

“Baik kok Dokter, maaf ya saya cuman bikin jadwal konsul sekali. Tapi karena katanya lokasi syuting bakal pindah ke RSJ Park, saya mau bikin jadwal sering ketemu Dokter buat bedah karakter lagi.”

“Hahaha, santai Jeon. Oh ya, maaf gabisa lama-lama ya. Soalnya Taehyung udah nelfon mulu minta ditemenin visit, dan ah Seokie saya bakal bales chat kamu agak siangan nanti. Jangan cemberut dan semangat buat merhatiin syutingnya, see you!”

Jungkook tertawa ketika proses syuting telah usai, mendapati dua orang yang ia anggap sebagai kakak tengah bertengkar entah perkara apa.

Pasalnya mereka berdua terlalu banyak bertengkar, entah itu karena masalah kecil hingga besar. Tapi tenang, ia sudah biasa untuk melihat mereka berdebat dan berakhir saling berpelukan erat.

Memang ya, pertengkaran orang tua itu sulit dipahami.

Mengabaikan itu, Jungkook melirik kearah Mingyu lawan mainnya selama 16 episode Serendipity, sebenarnya pemuda itu sangat kompeten saat berakting. Tapi ketika break atau syuting dinyatakan selesai, pemuda itu sama sekali tidak bisa didekati.

Jungkook merasa, seperti pemuda itu memiliki tembok tinggi dan menekan seluruh perasaannya di permukaan.

Ah, benar juga selain tembok milik Mingyu. Jungkook dapat melihat bagaimana manager milik Mingyu terus menekan dan mengontrol pemuda itu agar menurut.

Miris sekali, beruntung ia memiliki Min Suga atau Min Yoongi sebagai manager yang mengurusnya.

“Kak please, aku cuman mau tambah sesi konsul sama Dokter Kim.”

“Engga. Lo pasti cuman mau main sama Dokter ga bertanggungjawab itukan, Mingyu lo harus sadar. Lo itu public figure gabisa seenaknya, dan gue bakal atur buat lo dapet Psikiater baru.”

“AKU GAMAU! AKU CUMAN MAU SAMA DOKTER KIM, DOKTER JIN, DAN ANGEL'S.”

“DIEM MINGYU. KITA MASIH DILOKASI SYUT—”

Jungkook yang sedari tadi menyaksikan perdebatan itu akhirnya melangkah, dan menggandeng Mingyu agar menjauh dari managernya. “Saya gatau apa masalah kalian, tapi kamu sebagai manager ngga seharusnya berteriak sama aktor yang kamu rawat. Dasar gapunya sopan santun.”

“LO AKTOR BARU GAUSAH SOK. GUE TAU APA YANG TERBAIK BUAT MINGYU.”

“Dasar manipulatif, kamu gatau apa-apa soal aktor kamu dan berlagak paling senioritas dalam dunia yang bahkan kamu sendiri ga bakal bisa hadapi.”

Jungkook menghela nafasnya sebelum melirik kearah Yoongi dan Hoseok yang tengah memperhatikan dirinya, “Mingyu gabakal pulang sama kamu, saya dengar dia bakal pulang sama Dokter Kim. Itu jauh lebih baik, daripada dia satu mobil dengan manusia pengerat seperti kamu.”

“GU—”

“Kamu udah denger dari dia kan? Dan keputusan Mingyu jelas dari awal tetap akan memilih saya.” Itu Taehyung, yang entah datang darimana dan merangkul erat Mingyu hingga terlepas dari genggaman Jungkook.

“Lebih baik kamu perbaiki sikap kamu itu, sebelum kamu di depak dengan tidak sopan Tuan Soo Jang.”

“Dan kamu, aktor yang meranin Lee Tae kan? Mingyu banyak cerita kalau kamu hebat, dan saya tadi lihat sendiri. Kapan-kapan kita harus ngobrol berdua sambil makan mungkin? Hahaha, see you next time. Sekarang saya bawa Mingyu dulu, lain kali kamu ya.”

Kak Suga, kalau besok aku tiba-tiba sakit itu salah kamu ya.

Hoseok memacu mobilnya dengan perlahan, menikmati setiap hembusan angin Seoul yang menyapa dirinya lewat jendela yang memang sengaja ia buka sedari tempat singgah nya.

Ia melirik pergelangan tangannya, melihat dengan teliti bahwa masih ada waktu setengah jam untuk datang lebih awal ke Park Psychiatric Hospital.

Senyumnya merekah, benar-benar tidak sabar bertemu dengan stranger—ah, maksudnya psikiater tampan yang kebetulan menarik erat pinggangnya semalam.

Rasanya, Hoseok rela bila jadi salah satu pasien yang dirawat kalau tiap hari bisa melihat dokter tampan menengok dalam ruangan rawatnya.

“Eh—”

Hoseok yang baru memarkirkan mobilnya dan berniat keluar, dibuat cukup terkejut ketika sosok lain juga ikut keluar dari mobil yang terparkir apik disebelahnya. “Kamu yang semalam kan? Gimana kondisi pinggangnya, dan ada keperluan apa ya ke sini?”

“Ah itu, anu.” Hoseok dimana keberanian dirimu?!

“Hahaha, santai aja. Tarik nafas, hembuskan perlahan terus baru deh kamu ngomong ke saya.”

“Itu—ekhem, maksudnya aku kesini karena udah buat janji temu sama Psikiater Kim Seokjin. Sama kebetulan ketemu kamu, aku mau minta maaf atas kecerobohan semalem.”

Seokjin yang melihat kegugupan itu sedikit tertawa. “Yaampun rileks, semalem itu bukan kesalahan kamu aja. Dan kebetulan juga nih yang mau kamu kunjungi itu saya.”

“Jadi gimana kalau kita langsung ke ruangan saya aja? Sekalian saya mau ganti ke outfit formal nih, tadi gasempet karena nganterin loundry dulu hehe.”

“Boleh dok, sekalian kita ke altar pelaminan juga boleh.”

“Hahaha ada-ada aja kamu, kamu temenin saya mancing ikan dulu ya sebelum ke pelaminan gimana?”

Tuhan, kalau Jung Hoseok tinggal nama hari ini, maka salahkan Kim Seokjin atas segalanya ya?