myosmu

Osamu meregangkan tangannya, manakala adonan dalam wadah merah muda telah terkikis habis dengan buah hasil lintingan dollar rapi karya Kunimi.

“Wih, Bang Osamu hebat banget. Onde-ondenya enak lagi.”

Osamu terkikik geli, mendengar pujian dari Kageyama yang telah melepas Semi Eita untuk kembali berkonser ria dengan sekelompok kompeni di bawah langit malam Batavia.

“Hebatan gue lah.” Itu Kunimi mulai unjuk gigi, memamerkan deretan nominal mencengangkan dalam pemasukan rekeningnya. “Harusnya lo masuk STOVIA jalur undangan korupsi gasih Kun.”

“Iya juga ya.” Kini giliran Konoha tertawa mendengar jawaban atas cibiran perkataannya.

“Ini gue tadi sisain buat lo Kags, btw Kunimi besok anterin beli baju ya.”

“Bang Osamu ketagihan naik ontel ya? Tapi mending beli online ajasih, lewat Ijo atau Oren.”

Osamu mengkerutkan dahinya, “Ada online juga zaman ini?” dibalas anggukan mantap Kunimi. “Norak banget sih Bang, tapi ongkirnya aja yang mahal. Soalnya kebanyakan pemasok dari luar negeri.”

Kini hanya kata Oh besar yang bisa Osamu lontarkan, pasal banyak sekali yang membuatnya bertanya-tanya. Benarkah ini timeline 43 atau tempat khayalan kembarannya.

Mengingat tentang kembarannya, ia masih mengira-ngira posisi pemuda surai pirang itu dalam timeline 43 ini. Karena sepertinya kata pribumi tidak disematkan dalam perawakannya.

“Bang Samu, pulang yuk. Besok shift pagi berangkat subuh soalnya.”

Lantaran tidak enak hati, tangan Osamu kini cekatan membumbui adonan Onde-onde setengah jadi dihadapannya.

Beruntungnya, ia tidak sekali dua kali berada dalam ranah dapur kuliner tradisional.

Jadi dengan mudah ia menarik hampir puluhan pribumi dan penjajah untuk berderet-deret antri ingin mencicipi makanan buatannya.

“Kang maaf ya, malahan ngeramein gini.” Si penjual menggeleng keras, “Gapapa dek, saya seneng malahan laku keras. Mana buatanmu lebih enak.”

Sementara Kunimi sendiri, duduk berleha-leha di kursi belakang ontel kesayangan pakdenya sembari memberikan kembalian. “Wah, i ingin beli four tolong dibungkuskan secepatnya. Karena i harus menjajah Jogja besok.”

Kunimi mengangguk, “Mister, uangnya kurang ini.” Orang asing itu menaikan alis. “Memang berapa money yang harus i keluarkan?”

“Satu onde-onde itu harganya 10 dollar Mister, jadi karena Mister pesen empat dan cepat 50 dollar saja.”

“Tapi i tidak ada uang saku, you ada m-banking kah? Biar i transfer sekarang.”

Kunimi mengacungkan jempolnya, sebelum menggulirkan angka-angka rekening pribadinya. Benar-benar calon terbaik masuk STOVIA kan?

Mengabaikan pasal pembayaran di atas, kini Kuroo dibuat melongo perkara dengan lihainya Kunimi menipu pribumi sekaligus penjajah dengan Konoha yang santai menikmati onde-ondenya.

“Sumpah, si Kunimi sama Osamu ini masa depan negara banget.”

Miya Osamu—pemuda kelahiran 05 Oktober asal Salatiga itu mengerjapkan mata, manakala yang didapati bukan kasur busa melainkan jalanan raya.

Tunggu.

Otaknya masih memproses, sebelum tepukan pada pundak menyadarkan lamunannya. “Bang, jangan tidur. Kita bentar lagi ganti shift nih.”

HAH?

Matanya kini melebar, “SHIFT APAAN?!” menanyai pemuda surai gelap dihadapannya. “Abang lupa ya? Atau efek perjalanan dari Maluku pakai gerobak bikin Abang imnesia?”

“Amnesia, Kageyama.”

Kageyama terkikik, mendaratkan dua jari meminta ampun pada yang lebih tua. “Maaf Bang Dai, EH KANG SEMI MAU KEMANA?!”

Osamu melongo, mendapati pemuda belah silver yang mengenakan sarung motif kotak-kotak awu layan tengah memegangi seruling di tangan kirinya. “Kak Suga?”

“Suga teh saha atuh? Ini Semi, panggil aja Aa Semi biar akrab.”

“Sem, jangan nakutin anak baru elah. First im-impres lo nanti jelek.”

First impression. Bang Konoha.” Kepalanya kini menoleh, mengikuti sudut pandang Konoha. “Wih, si calon penghuni STOVIA.”

“Kunimi mah calon doang, tahun kemarin ketolak snm STOVIA.”

“Terkadang wujudnya Kerbau itu Kang Semi.”

Sumpah, mendengarkan percakapan ngalor-ngidul sekelompok pemuda dihadapannya membuat kepala Osamu kian pusing. Rasa-rasanya, ingin sekali ia jatuhkan tubuh itu kembali ke aspal jalanan.

“Eh, anak baru. Boleh saya minta nomor kamu buat di masukin grup shift pagi nggak?”

Tuhan, kali ini apalagi..

Satori Tendou, pemuda berusia genap 19 tahun itu kini melongo dengan tangan kanan menjatuhkan tas berisi buku-buku pendidikan miliknya.

Pasalnya, yang didapati melewati bubble bewarna putih beberapa waktu lalu adalah;

Seorang Semi Eita tengah terkunci dalam apartemen miliknya sendiri. Bukan seorang pemuda belah silver yang menahan tangis sesenggukan depan pintu apartemen bekas bobolan.

Dengan tangan kanan memegang tang besi gemetaran.

“Astagaaaa! Semisemi lo kenapa lagi Tuhan.” Suara Tendou akhirnya melorot juga, menyadarkan paras pucat pemuda dibawahnya.

“T-tendou g—ggue takut, tadi tadi apartemen gue mati lampu terus terus kekunci dari luar... T-ttangan gue tangan gue gerak sendiri... Tendou—–”

Tendou bingung, antara ia harus merasa iba atau tertawa melihat teman dari tk-nya itu kini memeluk lututnya sendiri. Berusaha keras menahan getar isak tangis yang kian kentara. “Ssstt. Tenang-tenang—ashhh

Bibir Tendou meringis, manakala tang menganggur menggores telapak tangannya—sebenarnya tak seberapa sakit. Lebih cepat memulihkan warna biru kental sebelum terlihat siluet teman kecilnya.

“Ten—”

No prob cuman kesenggol inimah, sekarang lo mandi aja dulu gue hubungin tukang listrik sekalian benerin pintu apart lo.”

Semi mengangguk, tersenyum kecil sebelum berdiri dan melangkah gemetar memasuki ranah apartemen luas miliknya. “Anw Thanks udah mau nyamper gue Ten.”

“Ouch, gapapa sih Semisemi lagian gue juga ninggalin lo buru-buru banget tadi.

Sampe lo lepas dari pengawasan gue.” Bisiknya kecil.

Kali ini Semi tertawa, tanda benar-benar sudah lepas dari kepanikan awalnya.

Tubuhnya bergetar—mata madunya menatap tak awas sekitar, sementara moncong pistolnya kaku terdiam.

Ini serius, bukan lagi-lagi kasus yang dilabeli seharga rujak cingur oleh saudaranya.

Diibaratkan saja, ini sudah mencapai level kacang almond di pasaran orang kaya.

Sreet

Lagi, suara seretan menggema seolah memaki kebodohannya, bukan—bukan ia sebodoh itu untuk sadar. Bahkan bisa dikatakan intuisinya lah yang selalu benar, dari awal ia sudah mencurigai tapi tak pernah ia bayangkan orang itu sekeji ini.

Benar-benar layak dicap sebagai sekelas bajingan.

Kini sembari meneliti, tangannya tak henti-henti menari; mengirimi beberapa cacian deretan isyarat dalam sebuah bubble text bewarna biru pada saudaranya.

“Gue harap kita masih bisa bercanda Sam, dan gue harap dia bener-bener bukan monster yang terobsesi sama lo.”

“L o h, ke na pa ngga bi la ng kalau a da di si ni Little Prince~”

Dua kali, sudah dua kali Sakusa Kiyoomi memarkirkan kendaraan roda empat miliknya berkat seorang Semi Eita.

Pemuda yang katanya dipindah tugaskan oleh Bos-nya untuk memberi salam hangat pada kota Tokyo itu, sudah merasa mual dan hampir mengeluarkan seluruh isi perutnya selama satu jam perjalanan.

Sebenarnya Sakusa bisa saja menendang Semi keluar dari mobilnya, tapi rasanya tetap kasihan terlebih ini semua karena pengharum yang asal diganti oleh Kuroo Tetsuro ketika meminjam kendaraannya.

“Bang, lo udah gapapa?”

Si kelabu yang ditanya menegakkan badan, masih dengan nafas putus-putus diwarnai wajah putih pucat. “Fine, but—hgggh Sak lahannya masih jauh kah?”

“Deket sih, kalau lo mau kita jalan aja sekalian nyari angin. Lagian, gue masih belum mau beresin muntahan lo di mobil gue Bang.”

Dasar. Semi terpaksa menurut, daripada harus bertahan lama-lama dalam mobil antik beraroma jeruk milik Sakusa. Dan tolong, ingatkan pemuda itu untuk mampir membeli pengharum pengganti nantinya.