myosmu

Taehyung sesekali bersenandung, menikmati bagaimana sesi belanja dengan Seokjin yang benar-benar memilah dengan teliti promo, tanggal kadaluwarsa hingga harga makanan yang akan mengisi kulkas apartement keduanya.

“Kak, beli jajangmyeon satu ya?”

“Ambil aja, lagian gue larang juga pasti lo umpetin dibawah troli sampe kasir.”

“Hehehe tau aja, btw Kak Jinie mau nyetok makanan kesukaan Angel's nggak?”

Seokjin mengangguk sekilas, sebelum memasukkan beberapa makanan ringan dalam troli yang didorong oleh Taehyung. “Nyetok aja bear, dia sering bilang mau pergi lama tapi tiba-tiba udah di Seoul aja.”

“Bener—eh?!”


Hoseok dibuat jengah, ketika harus mendorong troli dengan isi dua buah semangka, tiga belimbing, dua mangga muda dan satu kilo cabai hijau.

Sementara Yoongi tersenyum cerah ketika mendapati sederet buah-buahan segar pada rak di hadapannya.

“Yoon, lo niat mau bikin rujak di apartement Jekay ya?”

“Yoi, udah ngidam dari lama nih kebetulan.”

Hoseok menggeleng pelan, “Yaudah lanjutin aja deh, gue ke rak makanan ringan bentar ya. Sekalian mau stok buat nonton drama barunya bapak Choi nanti malem.”

“Oke, kalau ada apa-apa langsung call aja Hoba.”

Hoseok mengacungkan jempolnya sebelum melangkah ke rak makanan ringan, mengambil beberapa ragam snack yang menurutnya bisa mengganjal perut selama ia menonton drama semalaman.

Tidak banyak kok, mungkin hanya sampai ia kesusahan melihat karena banyaknya snack dalam gendongannya.

Sampai-sampai ia tidak menyadari, ketika tanpa sengaja pinggulnya menyenggol troli belanjaan seseorang. Membuat ia hampir terjungkal jika pinggangnya tidak ditahan erat dan membiarkan snack di gendongannya menjadi berhamburan.

“KAK SEOKJIN!”

“HOBA.”

Hoseok yang disebut namanya masih memejamkan mata, takut-takut bila orang yang menahan pinggangnya akan mengamuk besar sebab kecerobohannya. “Hei, kamu baik-baik aja kan? Maafin Taehyung ya nggak perhatiin troli nya.”

“Eh?”

Hoseok memberanikan diri, membuka matanya perlahan hanya untuk disambut senyum teduh dan tatapan khawatir dari raut yang terbilang diluar nalar baginya. Aduh, Tuhan. Boleh nggak Hoseok pingsan dan dibawa pulang stranger ganteng ini?

Kim Taehyung, pemuda bermarga Kim itu benar-benar berpenampilan sangat miris sekarang. Sebab, semalaman ia harus membendung emosi kakak kandungnya yang hampir memarahi pasien yang berniat melarikan diri dari rumah sakit jiwa Park.

Dan ia baru diberi kemudahan tidur dipukul 3 pagi, bersama selesainya masalah pasien pula dengan dirinya yang menarik paksa Kim Seokjin agar tidur bersama di ruangannya.

Sebenarnya sudah menjadi hal awam untuk tidur bersama, mengingat bahwa mereka berdua sering berbagi banyak hal sejak masih usia belia. Kata bunda Kim sih, supaya keduanya akrab.

Mengabaikan fakta di atas, kini Taehyung hanya mencuci wajah, menyisir rambut asal, serta menyemprotkan parfum seadanya. Setidaknya ia masih terlihat wangi walaupun belum sempat mandi pagi.

Ruangannya juga sudah rapi, mengingat beberapa menit lagi Kim Mingyu akan datang untuk mengeksekusi peran dramanya kali ini. “Permisi, Dokter Kim?”

Taehyung menaikan alisnya, “Maaf, dengan siapa?”

“Saya Min Yoongi, yang membuat jadwal temu konsultasi untuk aktor Jeon Jungkook. Apa anda sudah lupa saya hubungi semalam?”

Ah, lagi-lagi seperti ini. Taehyung menunduk hormat sebelum menunjuk arah keluar ruangannya. “Maaf saudara Min Yoongi, sepertinya anda salah ruangan. Dan kemungkinan, yang anda maksud adalah Dokter Kim Seokjin kakak saya. Ruangannya hanya berjarak tujuh langkah dari sini.”

Yoongi mengangguk, “Terimakasih Dokter Kim—Taehyung, dan maaf untuk kekeliruan tadi.” dibalas senyum merekah dari Taehyung.

Keduanya sudah akan kembali beraktifitas, sebelum Taehyung sadar akan satu hal, sedari tadi aktor yang dibawa Min Yoongi terus menatapnya penuh dengan rasa tanda tanya besar.

#009 – EUPHORIA.

Kim Taehyung, pemuda bermarga Kim itu benar-benar berpenampilan sangat miris sekarang. Sebab, semalaman ia harus membendung emosi kakak kandungnya yang hampir memarahi pasien yang berniat melarikan diri dari rumah sakit jiwa Park.

Dan ia baru diberi kemudahan tidur dipukul 3 pagi, bersama selesainya masalah pasien pula dengan dirinya yang menarik paksa Kim Seokjin agar tidur bersama di ruangannya.

Sebenarnya sudah menjadi hal awam untuk tidur bersama, mengingat bahwa mereka berdua sering berbagi banyak hal sejak masih usia belia. Kata bunda Kim sih, supaya keduanya akrab.

Mengabaikan fakta di atas, kini Taehyung hanya mencuci wajah, menyisir rambut asal, serta menyemprotkan parfum seadanya. Setidaknya ia masih terlihat wangi walaupun belum sempat mandi pagi.

Ruangannya juga sudah rapi, mengingat beberapa menit lagi Kim Mingyu akan datang untuk mengeksekusi peran dramanya kali ini. “Permisi, Dokter Kim?”

Taehyung menaikan alisnya, “Maaf, dengan siapa?”

“Saya Min Yoongi, yang membuat jadwal temu konsultasi untuk aktor Jeon Jungkook. Apa anda sudah lupa saya hubungi semalam?”

Ah, lagi-lagi seperti ini. Taehyung menunduk hormat sebelum menunjuk arah keluar ruangannya. “Maaf saudara Min Yoongi, sepertinya anda salah ruangan. Dan kemungkinan, yang anda maksud adalah Dokter Kim Seokjin kakak saya. Ruangannya hanya berjarak tujuh langkah dari sini.”

Yoongi mengangguk, “Terimakasih Dokter Kim—Taehyung, dan maaf untuk kekeliruan tadi.” dibalas senyum merekah dari Taehyung.

Keduanya sudah akan kembali beraktifitas, sebelum Taehyung sadar akan satu hal, sedari tadi aktor yang dibawa Min Yoongi terus menatapnya penuh dengan rasa tanda tanya besar.

Here. The hate singing

Osamu—pemuda bermarga Miya itu kini tengah merebahkan tubuh lelahnya di atas tatakan jerami, sebab beberapa hari ini waktunya digunakan untuk sibuk melarikan diri.

Bukan, Osamu bukan sedang terlilit hutang atau habis memukuli anak sultan yang menyebabkan dirinya dikejar-kejar banyak orang. Melainkan, mereka berkeinginan membuka lebar mulut Osamu untuk membeberkan bagaimana cara kerja kamera polaroid peninggalan orang tuanya, yang bisa memutar kembali waktu ke masa lalu dan sekarang.

Ini juga tidak murni kesalahan Osamu, meski ia bisa memutar waktu ia tidak berkeinginan untuk kembali ke masa dimana ia menemukan abstraksi sang nenek moyang yang terselip dalam mesin polaroid. Dan mengabaikan, bahwa seorang makhluk mitologi sempat melirik penelitian miliknya, hanya untuk menyebar luaskan berita.

Karena menurutnya, mengembalikan waktu ke masa lampau bukanlah cara paling benar untuk mengakhiri permasalahan. Sebab, ia percaya memutar waktu hanya akan merusak keseimbangan tiga dunia dan jelas-jelas perbuatan tidak masuk akal yang menentang garis alam.

“Samu~”

Nah, sebenarnya ia awet melarikan diri dan lebih lincah tidak ketahuan, itu semua berkat pemilik raga manusia separuh rubah dihadapannya; yang kini tengah menenteng satu kresek putih penuh makanan.

“Rin!” Sapanya, sebelum meleburkan tubuhnya guna memeluk pemuda yang berdiri kaku tanpa membalasnya. “Samu, lo jangan sering-sering ngasih gue kejutan gini dong. Jantung gue deg-degan terus nih, kalau misal gue mati gimana?”

“Bukannya Rin punya sembilan nyawa ya?”

“Sam, gue bukan kucing!”

Osamu tertawa, tangan kecilnya menarik lengan Rintarou hanya untuk duduk bersama di atas tatanan jerami. “Rin, makasih buat selalu ada buat gue. Padahal gue selalu ngeribetin diri lo.” Rintarou menggeleng, membawa kepala Osamu untuk bersandar dipundaknya.

“Osamu, mau lo senyusahin apapun itu. Gue rela mempertaruhkan semuanya, asalkan lo selalu ada disisi gue Sam.”

“Lo lucu deh Rin, padahal pertemuan kita dulu ngga baik-baik aja. Malahan sekarang kaya remaja jatuh cinta pandangan pertama.”

Rintarou mengangguk, mengiyakan. “Lucu sih, soalnya lo langsung maki-maki gue karena tau wujud asli gue.”

“Hehehehe, Sorry Rin. Oh iya, gue nyiptain sebuah mantra biar gue bisa selalu ada disisi lo.”

“Wow, mantra kaya apatuh?”

“Panggil, Samu, Samu, Samu tiga kali!”

“Kaya Jin aja.”

“RINNNN!”

Rintarou melebarkan tawanya, “Samu, Samu, Samu. Gitukan mantra buat manggil lo biar selalu ada disisi gue Sam?


“Terus kenapa Sam, untuk kali ini mantra ciptaan lo. Seseorang yang amat jenius itu ngga berhasil? Atau gue salah pelafalan mantranya, makannya lo gaada disisi gue meskipun gue ulang-ulang terus kata Samu?”

Sam, i'm sorry, really sorry. Gue terpaksa untuk melakukan ini, walaupun gue tau konsekuensi yang akan terjadi.

Gue harap, hal pertama yang gue lihat dimasa lalu itu lo Sam, Miya Osamu punya Suna Rintarou.

Furudate High School, begitulah nama yang sering dibicarakan baik dari bibir makhluk MORTAL maupun IMMORTAL.

Karena pada dasarnya, sekolah swasta yang telah berdiri lebih dari dua ratus tahun lamanya itu menerapkan sebuah peraturan jalur masuk cukup unik, dimana memperbolehkan kedua dimensi saling berhubungan.

Dimensi MORTAL tempat para manusia, dan IMMORTAL tempat bagi sekawan makhluk abadi.

Sekolah swasta ini juga diketahui oleh ranah publik, dan berada ditengah-tengah garis dua dimensi. Yang mana membuat MORTAL maupun IMMORTAL percaya untuk menitipkan buah hatinya dibawah para pengajar Furudate.

Furudate sendiri memberikan sebuah jaminan, bahwa siswa-siswinya tidak akan melanggar perjanjian tiga dimensi yang telah disepakati ribuan tahun lalu.

Perjanjian yang menyatakan bahwa bangsa IMMORTAL akan dijatuhi hukuman apabila menyerang bangsa MORTAL, dan sebaliknya.

Selain jaminan keamanan, Furudate juga memberikan apresiasi beasiswa serta berkesempatan ikut dalam dewan kesiswaan sekolah.

Membicarakan mengenai dewan kesiswaan, bukan headmaster yang turun tangan. Melainkan siswa-siswinya sendiri yang mengelola dan memberikan aturan, tentunya seluruh aturan—perintah asal tidak menyalahi hukum tiga dimensi, headmaster akan dengan senang hati memberikan izin resmi.

Dan untuk sekarang, dewan kesiswaan masih dipegang baik selama tiga periode tanpa pergantian ketua, yaitu Shinsuke Kita dengan Tooru Oikawa sebagai wakilnya.


“Jadi... Kalian udah siap belum buat masuk sekolah Furudate minggu depan?”

“HAH?!”

Osamu melangkah mundur, takut menemui fakta bahwa Sugawara juga akan mengira dia asal kenal seperti kejadian Atsumu kemarin.

Namun sepertinya keberuntungan masih menemaninya yang membuat Sugawara tersenyum manis padanya. “Osamuuu!!!” Sapanya.

Ya Tuhan, semoga Osamu masih utuh sehat walafiat sampai pulang ke pelukan Bunda. Amiinnn

“Kok diem? Gajadi cari Akaashi kah?”

Osamu menetralkan deru nafasnya sebelum kembali menatap Sugawara, “A-ah, iya Kak. Itu anu.”

“Anu apa?”

“Aku anu, Keiji ada di Kantor kah?” Akhirnya, pertanyaan miliknya berhasil keluar juga. “Sayang banget kamu Sam, kebetulan Kei tadi langsung meluncur ke Prancis karena mau lihat bebek terbang.”

Apa lagi ini...

“B-bebek terbang?”

“Iya, itu fenomena bukan seumur hidup sekali sih. Tapi gatau, tiba-tiba atasan suruh Keiji ikut ke Prancis buat nonton. Itung-itung refreshing lah.”

“Begitu...”

“Oh ya Sam, mumpung gue lagi nganggur nih. Temenin gue jalan-jalan keliling yah, sekalian kita mukbang.”

Lama, itu kata yang ditelan bulat-bulat Osamu sembari mengigit sereal menanti kehadiran sang pahlawan asal Surabaya.

Katanya sih otw ya, tapi sampai tiga puluh menit belum nampak juga batang hidung si pemuda. Sebenarnya bisa saja Osamu pergi sendiri, tapi ia lebih menyayangi betisnya untuk mengayuh ontel dari rumah Kunimi menuju Kantor VOC.

Baru saja tangannya ingin kembali menyentuh gawai di atas meja, suara teriakan membuyarkan seluruh kekhawatiran miliknya. “OSAMU, SAMUUUU MAIN YUUUKK!”

“SEBENTAR BANG KONOHA, GUE NELEN SEREAL DULU.”

Cepat-cepat ia habiskan sereal tanpa susu itu, meninggalkan Kunimi yang masih setia belajar ilmu dasar congkak bersama Kageyama dan menghampiri Konoha yang menanti di atas kemudi gerobak sapinya.

“Sorry ya Sam, tadi gue kena tilang gara-gara lupa makein si Cantik kacamata hitam sama gabawa surat izin mengendarai gerobak sapi.”

Osamu awalnya melongo, tapi menepis kerja otaknya itu untuk ikut naik diantara padi di atas gerobak dan menyamankan posisinya. “Siap Sam?”

“Siap Bang.”

CANTIKKKKK GOOO!” Ingatkan Osamu lain kali, untuk tetap mempertahankan mentalnya selama berada disini.


Nafas Osamu memburu, ini karena Cantik—Sapi dan si pengemudi berlaku ugal-ugalan memecah kerumunan lalu lintas. Osamu jadi tak heran, bila Konoha dikenai tilang setiap kali jika membahayakan nyawa seperti ini.

“Gimana enak ga?”

“Sorry Bang tapi—UGH!” Lepas sudah luapan perut Osamu di tanah parkir khusus pribumi, disambut gelak tawa Konoha yang tak henti-henti.

“G—ggue tau begini, mending pake ontel pakde-nya Kunimi.”

Kata-katanya hanya mengawang, dengan langkah pelan-pelan mulai meninggalkan Konoha yang sibuk menurunkan barang setoran kedalam Kantor VOC.

“Assalamualaikum, my name is Osamu— i need sebuah pertolongan untuk mencari Akaashi Keiji. Bisakah i bertemu dengannya Mister—?”

“KAK SUGA?!”

Tenang, sekarang satu gelas bir pletok telah melengsak masuk kedalam tenggorokan Osamu.

Panas, namun menyegarkan hatinya yang meringis.

Ia tahu, harusnya tahu betul bahwa alternatif 43 ini bukanlah miliknya. Sehingga tak bisa seenak hati mengklaim Atsumu juga saudaranya disini.

Calm, Osamu. Kamu masih bisa mabuk sampai dini hari. Dan soal shift, aku bisa izinin sakit nanti.”

“Seriously? Udah kaya ngampus aja.”

Akaashi tertawa, “Yeah, jokes kamu masih aja ya. Oh soal Atsumu aku minta maaf, sepertinya dia masih sensitif mengenai kembaran dan bukti kelahiran sebagai seorang pribumi.”

“Aku tanya, memang apa salahnya menjadi seorang pribumi?”

Akaashi ingin menjawab, namun perkataannya kembali tertelan. “Apa karena kami belum di merdeka kan? Atau karena kami hanya seseorang yang dilabeli tidak berpendidikan sehingga dianggap sebelah mata?”

“Osamu—”

Thanks, buat bir pletok nya Akaashi. Kayaknya Bang Konoha bakal marah, kalau tahu aku ke markas seorang kompeni Belanda.” Tatapannya nanar, sembari meletakkan gelas setengah isi keatas meja bundar.

“Bukan itu maksud—”

“Cukup Akaashi.”

Osamu berbalik hendak kembali, sebelum Akaashi dengan cekatan mendorongnya hingga membentur tiang kayu penyangga teras rumah.

“A—”

Akaashi membungkam mulut itu, hanya untuk menuntaskan sedikit masalahnya. “Aku bukan melarang kamu untuk pergi, cuma benerin dulu resleting kamu Osamu.”

“Tadi hampir aja, celana kain kamu melorot nunjukin bokser gambar buaya punya kamu!”

Astaga, tolong tampar dan kembalian Osamu ke kesadarannya sekarang.

Mata Osamu melebar, ketika tanpa sengaja menangkap perawakan pemuda sama rupa bersurai pirang tengah berdiri mengenakan setelan khas Jenderal dengan senapan bertengger di bahunya.

Raut wajahnya ceria, masih sama seperti masa di Salatiga.

Tsumu...” Panggilnya pelan, masih was-was mengenai peringatan Konoha kemarin malam dalam balon percakapan.

Yang dipanggil mendongak, mempertemukan warna madu dan abu-abu. Sebelum sempat langkah kaki Osamu mencapai Atsumu, senapan ukuran 120cm itu menggelapkan pandangan sang surai abu.

“Who's?”

Rasanya sakit, “Tsumu, ini Samu.”

Matanya masih menutup, tidak ingin menatap moncong senapan yang mengacung tepat kearah kepalanya.

Tunggu,

Oh, really? Atsumu kamu dipanggil ke Amsterdam sekarang, jangan mengacungkan senjata sembarangan pada seorang pribumi.”

“Atsumu!”

Benar-benar, kala siluet abu itu terbuka untuk mencari si pemuda ia telah hilang ditelan bumi kembali. Menyisakan raganya yang terduduk, dengan tepukan hangat seseorang.

“You okay'?”

“Yeah, Akaashi?”