navierra

Kiyoomi menekan lagi bel rumah milik keluarga Miya sampai Osamu menampakkan dirinya di balik pintu. “Oh, Kiyoomi. Mau ngapain?”

“Atsumu mana?” Tanya si surai gelap tanpa basa-basi lagi.

Osamu mengerutkan dahi. “Dia... pergi. Gue gak tau dia kemana tapi gue kira dia pergi sama lo,” tuturnya keheranan.

Kiyoomi berdecak sembari memutar otaknya yang kalut agar temukan titik terang tentang kemana Atsumu kira-kira pergi.

“Kalian ada masalah?” Osamu bertanya lagi melihat wajah kusut Kiyoomi. Ia mulai khawatir.

Kiyoomi garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Enggak, gue cuma harus ngomong sama dia.”

Osamu mengedarkan pandangan. Jalanan di perumahan mereka sudah begitu sepi dan langit kini sedang mendung. Sudah selarut ini dan tidak ada kabar, Atsumu mungkin saja tidak pulang.

“Taman kota,” celetuk Osamu seakan kilatan memori menghampirinya. “Biasanya dia kesana kalau lagi pengen sendiri.”

Kiyoomi mengangguk singkat, kemudian memelesat pergi. Melajukan motornya sampai pada kecepatan 60 km/jam ketika yang ada di pikirannya hanyalah Atsumu seorang.


Ada permadani indah yang biasa membentang di langit setiap ia menengadah pada pukul delapan atau sembilan malam. Sesuatu sesederhana hamparan bintang atau bulan purnama saja sudah cukup memanjakan mata dan hati Atsumu. Kini keduanya lenyap dibalik awan mendung.

Persis seperti Atsumu yang hampir jatuhkan hujan berupa air mata yang membendung di pelupuknya.

Taman itu sepi, jumlah orangnya dapat dihitung jari. Atsumu yang duduk termenung disana seperti anak kecil yang tengah tersesat dan tak tahu kemana harus pergi.

Padahal ia sudah kuatkan dirinya dan terima keadaan, namun gemuruh di dadanya tidak kunjung berhenti. Sebab Atsumu sudah jatuh dan tak seorang pun ulurkan tangan sekedar untuk bantu ia berdiri.

Atsumu menghela nafas lelah. Jadi pacaran itu seperti ini, batinnya.

Baru ia pejamkan mata untuk nikmati desir angin yang dinginnya menusuk kulit, Atsumu terlonjak karena tepukan di bahunya. Ia menoleh cepat. “Omi?” Suaranya serak tapi kini dirinya benar-benar kaget.

Kiyoomi yang masih terengah-engah memasang raut lega, lalu secara tiba-tiba mengambil posisi berlutut di hadapan Atsumu. Ia genggam erat tangan menggigil Atsumu seolah tak ingin melepaskannya pergi lagi. “Syukurlah kamu baik-baik aja.”

Kiyoomi pertemukan dahinya dengan punggung tangan Atsumu, lepas frustasi yang ganggu kepalanya sejak tadi. “Kenapa pergi tiba-tiba gitu? Gak angkat telpon, gak bales chat, aku jadi khawatir kamu kenapa-napa!” Ia tidak membentak, hanya sedikit kesal dan tinggikan suaranya.

Atsumu memalingkan muka, takut akan menangis jika tatap Kiyoomi terlalu lama. “Maaf,” katanya singkat dan pelan.

Kiyoomi mendengus sebal. “Kamu kenapa sih? Sakit?”

Atsumu gigit bibir dalamnya. Jujur saja, sifat Kiyoomi yang seperti ini bisa buat dirinya luluh kapan saja. “Iya, sakit. Sakit banget gak tau kenapa. Bahkan gak tau aku pantas ngerasa sakit atau enggak.” Atsumu tahan isakannya. Ia tak ingin meledak disana.

Kedua alis Kiyoomi senantiasa bertaut tunjukkan semakin banyak kebingungan. “Kenapa? Ada yang julidin kamu lagi? Ada yang ngomong kasar lagi?”

Namun Atsumu hanya menggeleng lemah. Dengan sisa keberanian yang ia punya, Atsumu kembali bersuara, “cewek tadi... siapa?”

Mata Kiyoomi melebar, mengerjap beberapa kali ketika cerna pertanyaan singkat itu. “Cewek? Yang mana?”

“Yang di twitter! Yang lo panggil sayang segala! Lo kalau emang udah ada yang lain, kenapa gak dari lama mutusin hubungan kita hah?! Mau bikin gue jatuh sejauh apa?!” Atsumu meledak, tangan Kiyoomi ditepis, kemudian ia menangis.

“Atsumu...” Kiyoomi menatap manik sewarna madu itu dalam-dalam. Paras menawan Atsumu kini berantakan, namun matanya tetap lebih indah daripada bulan. “Dengerin dulu, oke?” Suaranya melembut.

Kiyoomi tarik nafas dan berusaha meraih kembali kedua tangan Atsumu dalam genggaman. “Dia kakak aku,” pernyataan singkat itu sukses buat isakan Atsumu terhenti. Akhirnya mata mereka bertemu. “Aku pernah bilang kan, aku punya kakak yang udah kerja ke luar negeri? Nah tadi dia baru aja pulang, bawa oleh-oleh sama fotoan,” lanjutnya.

“Dia juga mau ketemu kamu loh.” Kiyoomi menarik senyuman lembut, mengusap punggung tangan Atsumu. “Jangan marah lagi ya?” Bujuknya sekali lagi.

Malu, Atsumu bisa rasakan wajahnya yang panas. Terlebih perlakuan Kiyoomi buat ia tidak kuasa menolak.

“Kamu cemburu?” Tanya Kiyoomi lagi, setengah meledek karena gemas lihat bibir ranum itu mengerucut.

Atsumu segera buang muka dan merutuki Kiyoomi dalam hati sementara Kiyoomi tertawa kecil. Goda Atsumu lebih banyak.

“Omi,” panggilan itu seakan mereset suasana tadi dan kembali pada sebuah ketegangan. Kiyoomi menunggu kalimat selanjutnya. “Aku suka...” ucapnya ragu. “Aku suka sama Omi, maaf.”

“Kenapa minta maaf?” Kiyoomi mengecup kedua punggung tangan Atsumu. Masih berlutut dan memandang Atsumu dalam-dalam.

“Karena harusnya gaboleh sampai suka. Padahal aku sendiri yang bikin aturannya.”

“Kalau gitu kita putus aja dari hubungan palsu ini, jadi kamu boleh suka sama aku.” Kiyoomi bangkit, melepas jaketnya dan memakaikannya pada Atsumu yang menggigil.

Atsumu dengan senang hati menerimanya. Ada hangat dan wangi khas dari Kiyoomi yang seketika ciptakan nyaman. “Maksudnya?”

Detik berikutnya, Kiyoomi sudah berjongkok memunggungi Atsumu. “Sini aku gendong.”

“Hah? Tapi aku gak sa-”

“Sini cepetan. Aku maksa.”

Tak bisa menolak, Atsumu perlahan melingkarkan tangan di leher Kiyoomi sebelum lelaki itu mengangkatnya. Atsumu tenggelamkan wajahnya di pundak Kiyoomi dan rasakan hangat yang menggantikan hawa dingin di tubuhnya.

Atsumu hanya pasrah akan kemana dirinya dibawa. Ia sudah lelah. Dan ia temukan bahu untuk bersandar dan rumah untuk beristirahat dalam diri Sakusa Kiyoomi. Kembali ia bisikkan, “i love you,” sebelum mendapat balasan.

I love you, too.

Atsumu tengah bersandar di pinggiran balkon sambil menyeruput habis sisa jus kotaknya ketika Kiyoomi menampakkan diri dengan sebuah gitar di tangannya. Atsumu tidak heran lagi karena beberapa waktu ia dengar petikan alat musik itu dari kamar Kiyoomi di seberang.

“Jadi? Mau ngonser disini?” Tanya si pirang menumpu dagunya dengan perasaan heran.

Kiyoomi mendengus kemudian duduk di kursi. “Lo yang nyanyi ya. Mau lagu apa?”

“Hah?” Atsumu sontak menjauh sedikit saat tahan rasa kagetnya. Ia belum pernah benar-benar menyanyi dengan seseorang sebelumnya, ditambah suasana yang sepi seperti ini membuatnya lumayan canggung.

Kiyoomi terkekeh. “Lo sering karaokean di kamar kan? Gak usah bertingkah kayak lo gak bisa nyanyi gitu.”

“Bukan gitu!” Wajah Atsumu masam, ia alihkan pandangan dan meremas kotak jus kosong di tangannya hingga mengkerut. Kemudian ia hela nafas pasrah. “Oke, terserah.”

“Hmm.” Kiyoomi mulai meletakkan jari-jari lentiknya pada senar gitar dan beberapa kali memetiknya, mengecek suara yang timbul. “Kalau gitu lagu ini aja. Lo pasti tau,” ucapnya santai.

Perlahan Atsumu kembali ke pinggir balkon, nikmati setiap melodi yang Kiyoomi lantunkan. Terdengar familiar, juga memanjakan telinga. Tanpa sadar, Atsumu sudah pejamkan mata dan senandungkan irama yang muncul di kepala.

Bosan sudah ku menyimpan rasa kepadamu. Tapi tak mampu ku berkata di depanmu.

Pandangan keduanya bertemu. Angin sepoi mengisi jarak yang ada diantaranya dan Atsumu bisa rasakan sensasi hangat yang menjalar di wajahnya.

Aku tak mudah mencintai, tak mudah bilang cinta.

Cengkraman pada pinggiran balkon jadi semakin erat ketika Kiyoomi berikan senyum tipis di bibirnya.

Tapi mengapa kini denganmu aku jatuh cinta?

Kembali, Atsumu pejamkan matanya dan nikmati semilir angin dan melodi yang selimuti raganya.

Tuhan tolong dengarkanku, beri aku dia.

Bersama Kiyoomi di seberang, Atsumu temukan nyaman. Meski detak jantungnya terlalu kencang atau matanya tak bisa fokus jika terbuka, Atsumu tetap bernyanyi.

Tapi jika belum jodoh, aku bisa apa?

Karena ia tahu Kiyoomi disana, maka Atsumu tidak akan melangkah pergi. Tidak sampai malam ini berakhir dan Kiyoomi kembali menjadi tetangga semata.

Atsumu ingin nikmati momen ini selagi mereka masih berpacaran.


Song : Menyimpan Rasa – Devano Danendra.

“Omi, pelan-pelan...”

Suara Atsumu hampir tak terdengar dan langsung tergantikan oleh lenguhan. Jantung miliknya tidak pernah berdetak sekencang ini dan tubuhnya tidak pernah sepanas ini sebelum Kiyoomi menyentuhnya.

“Hum,” Kiyoomi hanya menyahut dengan gumam sembari tangannya kembali berkerja. Mengelus lembut permukaan paha Atsumu sementara menekan satu per satu jarinya ke dalam ruang senggama yang hangat dan basah. Ia tersenyum, terhibur melihat bagaimana suaminya begitu lemah dan berantakan di bawahnya.

Kiyoomi menghujani dada hingga leher Atsumu dengan kecupan sampai punggung si pirang melengkung ke atas. “Disini? Enak?” Bisik Kiyoomi sebelum menjilat daun telinga Atsumu dan menghentakkan jarinya ke satu titik di dalam Atsumu.

Malu dengan reaksinya sendiri, Atsumu buru-buru menutup wajahnya dengan punggung tangan, mati-matian menahan suara yang menurutnya terdengar aneh di telinga. Rasanya memang nikmat, ia akui.

Kiyoomi lalu menarik seluruh jemarinya. Membiarkan lubang Atsumu kosong dan malah memasang wajah tak suka. “Jangan ditutup, aku mau lihat wajah cantik kamu,” tutur Kiyoomi menyingkirkan tangan Atsumu dari wajah meronanya. “Suaranya juga gak perlu ditahan ya?”

Cukup dengan mendengar suara Kiyoomi yang rendah dan berat itu saja sudah buat tubuh Atsumu yang sensitif itu semakin terangsang. Kini ia terisak, antara takut dan minta dipuaskan lebih banyak. “Omi,” panggilnya lemah. “Ini... ini yang pertama. Aku belum pernah-”

“Pertama ya?” Kiyoomi meraba torso Atsumu, mengirim sensasi menggelitik bagi suaminya itu, kemudian memainkan puting merah muda di dadanya. “Really?” Atensinya kembali pada manik coklat itu, memastikan.

Yes...” Atsumu menghembuskan nafas. “Be gentle, please..?” Kemudian ia memohon dengan air mata yang hampir tumpah.

Kiyoomi segera mencium dahinya, menenangkan Atsumu. “Okay.

Menikah di umur yang terbilang muda menjadi masuk akal jika Atsumu belum pernah melakukan seks sebelumnya. Atsumu yang tengah Kiyoomi rengkuh saat ini belum pernah disentuh siapa pun, Atsumu yang masih polos, sensitif dan tentunya sangat cantik. Kiyoomi menjadi semakin tak sabar membayangkan seberapa sempitnya lubang senggama suaminya itu.

“Shhh, rileks sayang. Gapapa... gak akan sakit kok,” Kiyoomi bisa rasakan tubuh telanjang di bawahnya itu gemetaran. Sekujur tubuhnya merona merah dan tangannya mencengkram sprei. Kiyoomi lantas melumat bibir ranum Atsumu, menjilati permukaannya sebelum melesakkan lidahnya ke dalam. Gerakannya lembut disertai elusan di pipi hingga Atsumu merasa sedikit lebih tenang.

“Omi, more. Aku mau...” si pirang itu kini mengangkat bagian bawahnya menemui milik Kiyoomi, menggesek pelan kemaluannya yang basah pada ereksi Kiyoomi yang masih terbalut celana.

Kiyoomi tersenyum simpul sebelum bangkit dan berlutut diantara kedua paha Atsumu yang sudah terbuka lebar untuk Kiyoomi masuki. “On all fours,” titahnya.

Dengan cepat Atsumu membalik tubuhnya ke posisi tengkurap, menekan wajahnya ke bantal, dada dan perut mengambang, serta bokongnya diangkat naik untuk dijamah suaminya. Kiyoomi menjilat bibirnya sendiri nikmati pemandangan erotis di depannya. Ia remas bongkahan pantat sintal itu ciptakan desah pelan dari Atsumu.

Detik berikutnya, Kiyoomi kembali memasukkan dua jemari lentiknya ke dalam Atsumu. Melonggarkan ruang sempitnya yang basah karena lubrikan. “Rileks, Tsumu,” lagi-lagi Kiyoomi menenangkan, menundukkan kepala sampai sejajar dengan belakang Atsumu.

“Omiii.” Atsumu memaju mundurkan pinggulnya kejar kenikmatan jari Kiyoomi di dalam. Ia menahan erangan ketika benda lunak dan basah ikut mengisi lubangnya, bergerak dengan ritme yang sama seperti jemari itu.

Kiyoomi pejamkan mata dan memperdalam lidahnya melewati cincin rektum untuk menggeliat di dalam Atsumu. Lelaki itu menyukai rasanya dinding Atsumu menghimpitnya, berkedut ketika ujung lidahnya menekan begitu dalam. Kedua paha Atsumu gemetaran dan suaranya meninggi.

“Ah, ah- omi wanna come!” Atsumu menegang dan punggungnya melengkung.

Kiyoomi segera menjauhkan wajahnya dan menggerakkan tangannya yang bebas untuk menggenggam batang milik Atsumu, memberi stimulasi hingga Atsumu kehilangan akal. “Come, Atsumu.” Dengan itu, Kiyoomi bisa rasakan cairan hangat mengenai telapak tangannya bersamaan dengan namanya yang di pekikan lantang.

Nafas Atsumu tersenggal-senggal, tangan meremat bantal sembari kepalanya menoleh pada suaminya yang tiba-tiba turun dari ranjang. Raut muka Atsumu seketika berubah, sedikit gelisah dan semakin merona melihat Kiyoomi yang tengah melucuti seluruh pakaiannya yang tersisa dan membebaskan ereksinya.

“O-omi...?” Suara Atsumu bergetar dan alisnya saling bertautan.

“Hm?” Kiyoomi kembali menghampiri Atsumu dan berlutut di belakangnya, memposisikan diri.

“Omi gede... gak akan cukup...” rengek Atsumu.

Kiyoomi terkekeh pelan, mengelus pinggul Atsumu dan mengecup belakang lehernya. “Pasti cukup.”

“Pelan-pelan..”

“Okay, okay.”

Kiyoomi mengarahkan miliknya mencium cincin rektum Atsumu yang berkedut. Perlahan ia dorong pinggulnya rasakan ruang hangat nan sempit yang melingkupi. Kiyoomi menggeram rendah sambil tetap mempertahankan tubuh Atsumu yang sempat oleng. “Sempit banget, sayang,” Kiyoomi sandarkan dahinya pada pundak Atsumu ketika kejantanannya sudah sepenuhnya masuk mengisi Atsumu. “Sakit?”

Nafas Atsumu sempat tercekat dan ia merintih. “Nngh... penuh banget, ah-”

Bersamaan dengan kecupan-kecupan yang Kiyoomi berikan di leher dan punggung Atsumu, ia menarik keluar miliknya hingga hanya puncaknya yang menyentuh pintu masuk Atsumu, kemudian menghentak masuk dengan keras.

Atsumu hanya bisa melenguh dan lantunkan nama suaminya ketika Kiyoomi bergerak dengan brutal, menggenjot bagian dalam Atsumu sampai suaminya itu mengerang dan berantakan. Lengan besar Kiyoomi melingkar di pinggul Atsumu dan menariknya sehingga ia bisa merangsek lebih dalam dan lebih keras.

“AH!” Atsumu keluar untuk yang kedua kalinya ketika Kiyoomi menumbuk prostatnya bertubi-tubi, mengulangi hentakan pelan dan dalamnya kemudian cepat dan tanpa ampun.

Padahal baru kemarin Kiyoomi terlihat begitu lesu tanpa tenaga setelah rangkaian kegiatan pernikahan dari pagi hingga larut malam. Namun, malam ini seakan tenaganya sudah terisi penuh melihat bagaimana dirinya menggempur Atsumu.

Feels good- more.. please!

Sensitif karena terlalu banyak stimulasi, dinding Atsumu mengetat hingga Kiyoominya mendesah pelan dan gerakannya tak beraturan. Tangan Kiyoomi kembali memainkan puncak dada Atsumu dan memilin putingnya seraya hentakannya semakin tak beraturan.

“Keluar di dalem ya, sayang? Aku mau penuhin lubang kamu sampai tumpah-tumpah.” Ia melumat permukaan kulit leher Atsumu sampai ciptakan warna merah keunguan.

Suara Atsumu pecah, serak karena tangis dan lenguhan tak hentinya. Hanya bisa mengangguk cepat seolah lupa dengan segala hal kecuali nama Kiyoominya yang tengah menyetubuhi dirinya dengan sangat nikmat. “Good boy.”

Punggung Atsumu melengkung cantik, matanya terpejam kuat dan sekujur tubuhnya menegang. Ia mencapai klimaksnya lagi bersamaan dengan Kiyoomi setelah beberapa hentakan terakhirnya. Kiyoomi mewarnai senggama Atsumu dengan warna putih, beberapa menetes keluar saking banyaknya.

Kiyoomi tersenggal-senggal dan lepaskan dekapannya di pinggang Atsumu sementara suaminya itu sudah jatuh tertidur. Kiyoomi membalik Atsumu dan mengecup dahinya, kemudian merebahkan diri di sebelahnya seraya mengatur nafas dan detak jantungnya.

“Selamat malam, Sakusa Atsumu.”


Atsumu terpaksa membuka kelopak matanya ketika sinar mentari pagi mengusik tidurnya yang kelewat nyaman. Ia mengerjap-ngerjap dan menoleh ke samping. Tidak ada siapa-siapa.

Dimana Kiyoominya?

Dengan cepat Atsumu mendudukkan diri dan kaget melihat tubuhnya terbalut kaos putih yang kebesaran hingga menutupi sebagian pahanya. Selain itu, Atsumu bahkan tidak memakai celana dalam. Dengan malas, ia menyibak selimut dan bergerak turun dari ranjang.

Atsumu oleng dan meringis pelan rasakan bagian bawahnya yang pegal dan perih.

“Atsumu?” Suara berat Kiyoomi menyapa dari arah dapur saat Atsumu mengikuti wangi lezat yang mengundang nafsu makannya. “Kamu ngapain kesini? Masih sakit gak?” Tanya Kiyoomi lembut.

“Omi masak apa? Kenapa ninggalin aku sendirian?” Yang berambut pirang merengek manja, seenaknya mengalungkan lengan di leher Kiyoomi dan menenggelamkan wajah di ceruk lehernya. “Aku masih mau sama Omi...”

Takut masakannya bisa gosong, Kiyoomi segera matikan kompor dan menuntun Atsumu ke meja counter. Bibirnya melumat milik Atsumu yang masih bengkak dan merah, tangannya mendekap pinggang ramping Atsumu. “Tsumu, mau sarapan apa? Nanti aku bawain ke kamar,” rayu Kiyoomi yang malah dibalas dengan wajah manyun.

“Mau Kiyoomi.” Atsumu yang bersikeras kini menciumi leher jenjang hingga rahang tegas suaminya.

Ia tersentak pelan saat rasakan hangatnya tangan Kiyoomi mengelus paha belakang dan bokongnya. Nafas Kiyoomi berat menyapa daun telinga Atsumu kirimkan sensasi yang buat Atsumu bergidik. “Makannya nanti aja, Omi.”

“Hmm, sekarang aku makan kamu aja gimana?”

“Omi ayo cuddle...”

“Okay. Tapi habis satu ronde ya?”

“Tapi aku capek...”

“Sebentar aja, sayang. Aku mau ngerasain hangatnya di dalem kamu lagi.” Kiyoomi dengan mudah mengangkat tubuh Atsumu dan melingkarkan kaki Atsumu di pinggangnya. Bibir mereka menyatu lagi untuk beberapa detik.

“Tapi nanti beliin aku nasi padang, oke?”

Mana bisa Kiyoomi menang melawan wajah manyun itu dan menolak Atsumunya yang kelewat gemas. Ia tertawa kecil.

Anything for you, my dear.

Kiyoomi tidak sadar sudah berapa lama matanya menatap sosok Miya Atsumu di hadapannya.

Memandang bagaimana semilir angin menyapu anak-anak rambut pirangnya yang mencolok, lalu kelopak mata yang sedikit menyipit karena senyuman sederhana yang ditampilkan. Kemudian ia meneguk soda kaleng yang barusan mereka beli sebelum menepi di jembatan dan menikmati hamparan danau di bawahnya.

Atsumu yang meminta agar mereka berhenti sejenak di tempat itu, menunggu momen indah ketika matahari terbenam. “Kenapa?” Atsumu memecah hening sambil menoleh ke arah Kiyoomi.

Kiyoomi mengerjap-ngerjap dan sebelum dapat mengajukan pertanyaan, Atsumu kembali bersuara, “dari tadi lo ngeliatin gue mulu. Kenapa?”

Dengan cepat Kiyoomi alihkan pandangan, berdeham singkat. Atsumu bisa tebak lelaki ini tengah salah tingkah meski berusaha bersikap natural. Dan Atsumu berpikir itu hal yang lucu. “Enggak kok-”

“Jujur aja, Omi. Gue ganteng ya makanya lo liatin terus?” Atsumu menyenggol bahu Kiyoomi seenaknya, berniat menggodanya.

Kiyoomi mendengus dan tersenyum simpul. “Daripada ganteng, gue lebih suka nyebut lo cantik. Apalagi waktu sunset begini, rambut pirang lo jadi sewarna sama mataharinya.”

Perut Atsumu geli, ucapan Kiyoomi itu baginya terlalu... “sok puitis lo,” lalu tawanya menyembur.

Kiyoomi memutar bola mata tapi juga terhibur dengan tawa ledekan itu. “Terus kenapa lo minta berhenti disini? Memangnya ini tempat istimewa?” Tanya Kiyoomi yang sudah penasaran sejak tadi.

“Istimewa ya....” suara Atsumu pelan bahkan hampir ditelan suara angin, lebih seperti ia bicara pada dirinya sendiri. “Gue biasanya nonton kembang api dari sini,” lanjutnya.

“Kembang api?”

Atsumu mengangguk. “Setiap tahun, tapi tahun lalu yang terburuk. Seinget gue.”

Kiyoomi tidak bertanya kenapa, dirinya pikir Atsumu pun tidak ingin ditanya begitu. Pertunjukkan kembang api setiap merayakan tahun baru, Kiyoomi sudah lupa kapan terakhir kali ia melihat hal semacam itu. Tidak tahun ini, tidak juga tahun lalu, atau dua tahun sebelumnya. Mungkin saat ia masih bersekolah.

“Karena Samu tiba-tiba diemin gue dan gak mau ngomong apa-apa sampai.... seminggu? Iya, seminggu,” lanjut Atsumu yang kini terpaku menatap ujung danau dengan ekspresi datar. “Dan itu gara-gara kejadian waktu kembang api. Gue baru nyampe disini dan Samu udah kusut banget mukanya.”

Tapi sepertinya saat ini wajah Atsumu yang kusut. Kiyoomi masih diam mendengarkan.

“Dia ditolak.”

“Oh.” Kiyoomi tidak tahu respons seperti apa yang harus ia ucapkan.

“Jadi, daripada dibilang tempat yang istimewa...” Atsumu menegakkan punggungnya, memandang lurus pada Kiyoomi lagi. “Lebih seperti tempat yang penuh kenangan buat gue.”

”...oh.”

Jadi karena itu tahun lalu menjadi yang terburuk bagi Atsumu?

Atsumu terkekeh, matanya menyipit dan pipinya merona manis. “Omi,” panggilan itu seolah berdengung di telinga Kiyoomi dan merambat sampai ke dada bagian kirinya. “Hal istimewa bagi lo itu apa?”

Kiyoomi bungkam sejenak. Entah karena hawa dingin dari angin sepoi atau wajah Atsumu yang jaraknya kelewat dekat, tapi Kiyoomi merasakan hangat di telinganya. Lelaki itu menipiskan bibir sebelum menyahut dengan, “gak tau.”

Sepasang alis diatas manik karamel itu seketika bertaut tanda bingung.

Cahaya jingga mewarnai setengah dari tubuh mereka dan Atsumu tidak bermaksud menjadi puitis tapi paras Kiyoomi yang begitu elok dapat alihkan atensinya seakan dunia berhenti pada beberapa detik sebelum mentari benar-benar tertidur. Lagi, Atsumu merasa perutnya geli.

“Lain waktu mau lihat kembang api bareng?” Pertanyaan itu lolos dari bibir Kiyoomi dan ia bukan main-main saat menanyakannya.

“Huh?”

“Yah, mungkin aja itu bisa jadi hal yang istimewa buat gue.”

Pukul sembilan lewat empat belas menit dan mobil mewah itu baru sampai di depan gerbang kediaman keluarga Miya. Jalanan di sekitar sana sudah sepi dan di depan mereka terparkir satu mobil lagi tanpa penghuni.

“Makasih, Kiyoomi.” Yang disebut namanya menoleh pada si abu yang tergesa ingin menghilang ke balik gerbang.

Kiyoomi mengangguk dan menyunggingkan senyum tipis yang tidak akan terlihat tanpa lampu remang-remang di pinggir jalan. Kiyoomi khawatir ia tidak cukup ramah hari ini karena Osamu sering memalingkan wajahnya.

“Kalau gitu, sampai bes-”

“Oi Samu!”

Keduanya berjengit kaget mendengar seseorang berteriak dari dalam rumah di depan mereka. Kiyoomi menoleh heran.

“Gak usah teriak kali Tsum. Malu-maluin,” ketus Osamu pada sosok cerminan dirinya yang berlari kearah mereka berdua.

Hari memang sudah gelap tapi Kiyoomi jelas tidak salah lihat. Lelaki berambut pirang di hadapannya sangat mirip dengan Miya Osamu. Ia melebarkan mata berpikir sejak kapan Osamu bisa membelah diri, kemudian menggeleng pelan.

“Ngajak pacar kok gak bilang-bilang? Kenalin dong,” goda si Miya pirang itu sampai Osamu mendengus kesal.

Memecah kebingungan Kiyoomi, akhirnya Osamu bersuara, “ini Sakusa Kiyoomi, bukan pacar gue. Kiyoomi, ini Atsumu kembaranku. Maaf sebelumnya gak pernah cerita soal ini.”

Kiyoomi hanya menganggukan kepala menatap Osamu dan Atsumu bergantian. Mereka memang mirip sekali jika warna rambut mereka tidak berbeda. Kemudian, Kiyoomi teliti sosok Atsumu dari atas ke bawah. Ia punya aura yang lebih kuat dan cemerlang, sepasang manik mata sewarna madu dan lekuk senyuman percaya diri. Sepasang kembar yang serupa, namun tak sama.

“Jadi lo Kiyoomi? Denger-denger kita seumuran kan, kok diem aja daritadi?” Atsumu seenaknya mengikis jarak diantara dirinya dengan Kiyoomi yang berdiri mematung.

“Salam kenal, Miya Atsumu.”

Atsumu terkekeh geli dengan sapaan itu. “Jangan formal gitu deh, geli. Kan kita bakal sering ketemu juga, jadi biasain aja oke?”

Kiyoomi memandang lurus sepasang mata yang memantulkan cahaya lampu jalan itu. Seolah ikut tersedot oleh antusiasmenya, Kiyoomi menarik senyum. “Oke, Atsumu.”

Atsumu menepuk pundak si ikal dua kali, merasa puas. “Yaudah, pulang gih. Makasih udah nganterin Samu dengan selamat ya.” Ia memberi senyum lebar sebelum ditarik paksa oleh Osamu masuk ke rumah.

Kiyoomi menaikkan sebelah alis setelah jeda beberapa saat karena melamun. Atsumu, batinnya sembari mendengus kecil. Kayaknya orangnya menarik.


Part 1 ; https://twitter.com/sumumyaa/status/1400807273736273921?s=19


“Roknya dipake lagi dong, kita lanjutin sampai pagi sekalian.”

Atsumu memekik kala punggungnya melengkung. Kakinya mati rasa dan napasnya memburu. Ia gemetar hebat ketika mencapai pelepasan ketiganya malam ini dengan benda yang bergetar di dalam tubuhnya. Atsumu kini tengah duduk di pangkuan Sakusa sementara leher dan dadanya dikecupi hingga meninggalkan bekas merah dan keunguan.

Salivanya mengalir di sudut bibir bersamaan dengan keringat di pelipis. Tangannya mencengkram erat bahu Sakusa sambil memohon agar alat dalam lubangnya dihentikan, meski yang ia dapat justru getaran benda itu yang semakin tinggi. “Omi,” bisiknya di telinga si rambut gelap, hampir menangis.

Rok hitam yang baru saja ia beli sudah ternodai dengan cairan ejakulasinya. Sekujur tubuhnya meremang ketika telapak tangan Sakusa meraba pahanya. Sepertinya Atsumu menjadi lebih sensitif akibat apa yang mereka lakukan di fitting room tadi.

“Enak?”

Atsumu terisak pelan sembari menggeleng lemah. “Engga ena... sakit... maunya Omi, punya Omi lebih enaak...” begitu racaunya sambil menggesekkan bagian bawah dengan milik Sakusa, buatnya mendapat geraman dari si ikal.

Sementara ereksi Sakusa di balik celana terasa semakin sesak meminta dibebaskan, basah sebab terkena cairan milik Atsumu. Dirinya mendorong pelan tubuh Atsumu dan memandang lurus ke manik karamelnya yang sayu dan berair. Oh. Berapa kali Sakusa harus bilang bahwa manusia di hadapannya ini begitu cantik?

Sakusa menarik senyum, kemudian membawa Atsumu ke dalam ciuman lembut antara bibir dengan bibir. Atsumu tersentak pelan ketika Sakusa menarik keluar vibrator yang tertanam di lubang senggamanya. “Sayang, kamu bisa genjot sendiri? Aku suka lihat kamu diatasku gini.” Sakusa berujar dengan jemarinya menyugar surai Atsumu.

Kedua alis Atsumu bertaut, ia masih mengatur napasnya sebelum menyahut. “Tapi kamu bantuin ya.” Mengingat tubuh Atsumu sudah kehilangan banyak tenaga, ia akan sedikit kesusahan. Sakusa terkekeh.

Atsumu mulai mendorong tubuh Sakusa untuk berbaring di ranjang, mengecup dan menjilati bibirnya hingga desahannya sendiri teredam. Dada telanjang mereka bersentuhan dan saling beradu degup jantung yang kencang. Ereksi Sakusa berkedut merasakan hangatnya selangkangan Atsumu yang menindih. Ingin sekali ia cengkram pinggang ramping itu, menghempasnya ke ranjang dan menyetubuhi Atsumu sampai pagi menyingsing.

Tapi Sakusa menahan hasratnya dan membiarkan Atsumunya yang memimpin permainan mereka malam ini.

Perlahan, Atsumu mulai menurunkan risleting Sakusa dan membebaskan kejantanannya yang sudah keras. Atsumu bangun dari duduknya, bertumpu pada lutut dengan mata yang tak lepas dari wajah Sakusa. “Omi,” Atsumu melenguh sembari mengocok pelan milik Sakusa. “Gede...”

Tangan Sakusa bergerak untuk membelai pipi Atsumu. “Yeah? Do you think you can take it?

Atsumu mengangguk mantap dan menurunkan pinggulnya, pelan-pelan sembari meyakinkan diri sendiri bahwa dia bisa. Atsumu tidak akan mengecewakan Kiyoominya.

Napasnya tercekat ketika milik Sakusa mencium cincin rektumnya yang sudah basah dengan lubrikan. Atsumu menggeram, memasukkan organ tak bertulang itu lebih dalam sampai ditelan seluruhnya oleh Atsumu. Barulah Atsumu membuang napasnya, rasakan benda itu memenuhi lubangnya yang sempit.

“Ah... hangat, Tsumu.” Sakusa memegang paha dibalik rok hitamnya, sengaja tidak menyibak rok itu dan membiarkan kejantanan Atsumu tersembunyi. “Move.” Berpindah ke pinggang, Sakusa membantu Atsumu untuk bergerak naik turun, mengeluar masukkan penisnya dari lubang Atsumu.

Tangan Atsumu bertumpu pada dada bidang Sakusa demi menjaga keseimbangannya, sementara tubuhnya mematuhi arahan Sakusa. Ia merasa sangat penuh, ditambah posisi ini membuat milik Sakusa bisa masuk lebih dalam di setiap hentakan.

Atsumu memejamkan mata ketika gerakannya semakin cepat, memantul diatas Sakusa hingga roknya sedikit tersibak angin menampilkan bagian bawahnya yang basah dan lengket. Sakusa mungkin akan sangat membencinya jika itu bukan Atsumu.

“Omi,” adalah satu-satunya kosa kata di kepalanya disamping segala racauan tak jelas yang ia lantunkan. Atsumu rasanya sudah gila, kepalanya tidak bisa memikirkan apapun lagi selain mempercepat hentakannya.

Sakusa menggigit bibirnya. Ia kuatkan cengkramannya kemudian mendorong pinggulnya naik, menemui setiap genjotan Atsumu yang semakin liar. Atsumu memekik kencang.

“Lagi, Omi-” Atsumu tumbang diatas dada Sakusa sementara kekasihnya itu melanjutkan temponya.

Sakusa seketika bangkit dari rebahnya dan mendorong Atsumu hingga punggungnya menyentuh kasur yang empuk. Tanpa basa-basi, ia angkat kedua kaki Atsumu dan kembali memasukkan miliknya dalam lubang senggama yang hangat dan sempit. Menggempur Atsumu tanpa ampun sampai sekujur tubuhnya menegang.

Sakusa mengecup lembut kening si pirang, kemudian tulang pipinya, hidung, rahang hingga bibirnya. Bersamaan dengan hentakannya yang keras, Sakusa melesakkan lidahnya dalam mulut Atsumu. Manis. Basah.

Sakusa teliti baik-baik setiap inci dari Atsumu. Rambut pirang yang berantakan dan basah karena keringat. Wajah yang merah padam sampai telinga dan bola mata tertarik ke belakang. Mulutnya terbuka melantunkan nama Sakusa Kiyoomi di udara. Sakusa meraba dada Atsumu dan memilin tonjolan di dadanya. Rok hitam yang melingkar di pinggang itu tersibak naik, kini terlihat jelas penis Atsumu yang berkedut diatas perutnya.

“Barengan, Atsumu. Sedikit lagi,” bisik Sakusa ketika hentakannya semakin pelan. Dinding Atsumu yang menjepitnya pun menjadi semakin ketat.

“Kiyo-” punggung Atsumu melengkung cantik. Cairan putih keluar lagi mengotori rok dan dadanya. Sakusa menyusul, membenamkan cairan ejakulasinya dalam-dalam pada Atsumu, berharap itu mencapai perutnya.

Sakusa akhirnya menjatuhkan kepala pada ceruk leher Atsumu. Menciuminya sekali, kemudian diam mengatur napas yang terengah-engah. “Kiyoomi... capek... udahan ya?” Pinta Atsumu lemah. Ia sudah tidak kuat lagi melanjutkan.

Atsumu hampir saja kehilangan kesadarannya jika Sakusa tidak menggigit dadanya tiba-tiba. Ia meringis menatap kekasihnya dengan kesal. Sementara Sakusa hanya tersenyum jenaka sekaligus gemas.

“Kok udahan? Kan kita baru aja mulai, sayang.”


Tidak jarang bagi Atsumu untuk pergi mengunjungi mall demi sekedar melihat baju-baju yang menarik tanpa membelinya dan tidak jarang bagi Sakusa untuk menemani kekasihnya itu meski harus berkeliling berjam-jam, untungnya pusat perbelanjaan itu kini tidak terlalu ramai.

Namun, ada sesuatu yang membuat Sakusa terusik sejak tadi. Atsumu memang sedang memilih pakaian, entah sengaja atau tidak, Atsumu membungkukkan tubuhnya di depan Sakusa. Lebih tepatnya memamerkan bagian belakangnya yang terbungkus celana yang lumayan ketat, buat Sakusa mengerutkan dahinya risih.

Selain itu, mereka berdua kini bukanlah sedang dalam area baju atau aksesoris pria.

“Atsumu, kita ngapain disini?”

Atsumu menoleh dengan raut wajah santai berbanding terbalik dengan Sakusa yang kusut. “Hm? Bukannya kamu suka aku pakai ini? Makanya-”

“Kan gak harus beli kesini, sayang.”

Atsumu terkekeh geli. “Liat, ini cocok aku pake kan?” Tanyanya sembari menunjukkan sebuah rok pendek berwarna hitam yang menawan, yang akan terlihat sangat cantik jika Atsumu memakainya. “Ayo Omi,” Atsumu kemudian menarik tangan Sakusa dengan rok itu di tangan yang satunya.

Baru saja Sakusa ingin bertanya, mereka sudah sampai di ruang ganti yang cukup sepiーmungkin karena ini hari kerja. Sakusa menghela napas dan mengikuti si pirang menuju fitting room paling ujung.

“Tunggu aku coba ini ya- eh, omii?” Sakusa seenaknya menerobos masuk ketika Atsumu hendak menutup pintu bilik, menarik Atsumu masuk bersamanya kemudian mengunci pintu itu. Atsumu memandang heran, sekaligus salah tingkah.

Sakusa melipat lengan di depan dada dengan punggung yang bersandar di dinding. “Tunggu apa? Cepet ganti biar aku liat.”

Atsumu membelalak kaget. Detik berikutnya, ia malah tersenyum nakal. “Mesum Omi,” ucapnya. Buat yang diajak bicara memutar bola mata.

Ruangan itu cukup sempit dengan sebuah cermin berukuran full body di hadapan, perlihatkan keseluruhan tubuh mereka terang-terangan. Atsumu nampak sedikit ragu menanggalkan celananya sementara mata Sakusa terkunci padanya, tidak sedikitpun berpaling demi memikirkan privasi Atsumu.

Atsumu akhirnya membelakangi Sakusa dan dengan gerakan cepat mengganti bawahannya dengan rok pendek berwarna hitam, serasi dengan kaus putihnya. Dirinya berputar pelan tampilkan sisi depan dan belakangnya buat Sakusa berusaha menahan senyumannya saat dilihat Atsumu bersemu merah di pantulan cermin itu.

Kakinya kini terekspos bebas beserta kedua paha tebalnya. Manik karamel milik Atsumu bertemu dengan jelaga milik Sakusa di cermin. Si pirang itu membeku menatap pantulan Sakusa di belakangnya, semakin mendekat sebelum melayangkan sebuah tangan pada Atsumu.

So... you like it?” Tanya Atsumu malu-malu ketika tangan kekasihnya meraba paha belakangnya yang terekspos. Ia merinding seperti diterpa hawa dingin, namun wajahnya kian memanas dan napasnya semakin berat.

“Hmm,” gumam Sakusa yang nampak terhibur dengan pemandangan itu. Sakusa gigit dalam mulutnya guna menahan segala umpatan yang hampir terlontar. Sialan. Sakusa sandarkan dagunya pada bahu si pirang sementara kedua tangan melingkar erat pada pinggangnya. Dekap, rasakan permukaan tubuh yang hangat.

Atsumu tersenyum dengan bibir ranumnya yang menggoda untuk dilumat dan semburat merah di pipi hingga telinganya. Kelopak matanya berkedip beberapa kali, nampak gelisah tapi tak sedikitpun memberontak. Perpaduan manis antara rok dan kaus putih yang agak kebesaran membuatnya menggemaskan. “Cantik banget,” puji Sakusa singkat sebab hanya itu yang ada di kepalanya.

Atsumu yang cantik memakai apapun, bahkan jauh lebih cantik jika tidak memakai apa-apa.

Sakusa mengendus permukaan leher Atsumu rasakan wangi segar dan manis yang menyeruak di penciumannya. Napas hangat Sakusa buat Atsumu bergidik dan spontan ia cengkram pergelangan tangan si surai gelap. “Gak disini, Omi,” bisiknya, membujuk yang lebih tinggi untuk menahan diri dan hasratnya untuk melakukan sesuatu yang lebih intim.

“Kenapa? Bukannya daritadi kamu godain aku, hm?” Suara berat Sakusa berdengung di telinga Atsumu sementara tangannya mulai menjamah bokong Atsumu yang sejak tadi mengusiknya. “Sengaja nungging-nungging di depanku, terus pake acara nyoba rok segala. Nakal banget.”

Atsumu menggeram tertahan merasakan bongkahan dagingnya diremas kasar oleh Sakusa, juga leher jenjangnya yang disesap dan digigiti bak sebuah permen. Yang bersurai gelap kembali dekap Atsumu tanpa menghentikan gerakan agresif dari bibir dan tangannya. Ia gesekkan ereksinya yang sudah bangun pada Atsumu yang mana mengundang cicitan kecil kekasihnya yang berusaha ia redam.

Sakusa menarik dagu Atsumu menghadapnya sebelum melumat sepasang bibir lembut itu dengan liar. Sementara jemarinya mencari celah masuk ke balik rok hitam itu, Sakusa melesakkan lidahnya untuk bergulat dalam rongga mulut Atsumu, ciptakan suara decakan basah dan lenguhan pelan.

Lidah Sakusa menari dengan agresifnya menyapu permukaan mulut dan mengabsen deretan gigi Atsumu. Ia lumat dan sesap bibir ranum itu hingga saliva mengalir di sudut bibir. Kemudian Sakusa melepas ciuman panas itu sambil terengah-engah, ciptakan benang saliva diantara keduanya.

“Omi... udah,” pinta yang pirang sebelum dirinya kehilangan akal dan terbang lebih tinggi gara-gara nafsu yang kian membuncah.

Seolah tuli, Sakusa mengabaikan suara lemah Atsumu dan malah mendorong punggungnya untuk merendah, membuka akses yang lebih mudah bagi Sakusa untuk menjamah bagian belakang yang menggoda itu. Atsumu hanya bisa kuatkan tumpuan tangannya pada cermin sembari pejam erat matanya menahan malu melihat pantulannya yang tengah dilucuti.

Sakusa tidak melepas rok itu, namun hanya menarik turun boxer pacarnya tanpa ragu. Ia mendesis. Sakusa menyibak baju Atsumu naik dan mengarahkan ujung bajunya pada bibir Atsumu. “Gigit,” titahnya bersamaan dengan telunjuk yang mencari celah diantara pantat sintal Atsumu.

Atsumu menurut dan menggigit ujung baju yang barangkali bisa memendam suaranya. Dirinya sama sekali tidak menyangka Sakusa akan nekat melakukannya di tempat seperti ini. Mereka bisa saja ditangkap karena melakukan hal tidak senonoh disana, namun kemungkinan itu justru buat adrenalin mereka terpacu. Lagipula siapa Atsumu untuk menolak tawaran ini? Saat ini, ia hanya ingin Sakusa menyentuhnya, menumbuk bagian terdalamnya dan membawanya terbang.

Atsumu selalu ingin jadi yang terbaik bagi Sakusa.

“Ngh!” Atsumu menyentak kaget saat Sakusa memilin tonjolan dadanya yang sensitif.

Surai pirangnya seketika dijambak buat dirinya meringis sebelum suara rendah Sakusa menggelitik telinganya. “Jangan merem. Lihat, lihat ke cermin gimana mukamu sampai jadi berantakan gitu gara-gara disentuh sedikit. Lihat seberapa basah selangkanganmu padahal belum disentuh sama sekali. Lihat gimana tubuhmu tunduk dan nurut kayak peliharaan yang baik. Lihat baik-baik, sayang.”

Atsumu ingin melebur menatap dirinya yang tak kuasa melawan. Roknya disibak naik sehingga terlihat jelas batang keras yang bercucuran cairan precum miliknya. Sakusa menarik pinggulnya sampai menyentuh ereksinya sekali lagi. Mengikuti insting, Atsumu gesekkan bokongnya pada gundukan dalam celana itu.

Sakusa menggigit bibir sementara cengkramannya mendorong Atsumu untuk merendah lagi. Kemudian ia membungkuk untuk berbisik, “let's make this quick.


“Mmff-”

Atsumu berusaha sekuat tenaga menutup mulutnya agar pekikannya tidak lolos menghebohkan siapapun diluar sana. Sakusa menarik kejantanannya dari dalam Atsumu hingga tersisa kepala kemudian menghentak masuk dengan keras. Rasanya Atsumu tak kuat lagi menumpu tubuhnya dengan satu tangan, namun lengan Sakusa membantu mempertahankan posisi pinggulnya.

Hentak, hentak, hentak. Ruang senggama yang sempit melingkupi milik Sakusa dengan sempurna. Lelaki itu hanya bisa mendesis dan gigit bibirnya, terus menghantam prostat si pirang dengan ganas. Sesekali tubuhnya merendah 'tuk layangkan kecupan di tengkuknya. Sakusa memandang lekat wajah Atsumu di cermin serta bagaimana batang Atsumu yang mengintip dari balik rok berkedut meminta perhatian.

“Ah-”

Dinding Atsumu mengetat dan Sakusa semakin mempercepat tempo hentakannya. Sepertinya dengan melihat pantulan dirinya sendiri yang tengah disetubuhi membuat Atsumu jauh lebih cepat mengejar orgasmenya. Lihat manik sewarna madunya berkaca-kaca, saliva menghiasi sudut bibir dan bola mata yang tertarik ke belakang. Lihat bagaimana tubuhnya digunakan dan dibuai dengan hentakan-hentakan kasar dan dalam. Atsumu sudah gila.

“Sst... don't be too loud, Atsumu. Unless you want them to hear you moaning my name while being fucked.

Atsumu menggigit tangannya sendiri, takut akan mengeluarkan suara seminim apapun. Suara kulit bertemu kulit menggema di ruangan kecil itu dan lantai tempatnya berpijak menjadi basah akan cairan putih. Lubang senggamanya masih ditumbuk cepat tanpa ampun meski berkali-kali Atsumu beri isyarat untuk memelankan sedikit.

“Sempit banget, sayang. Ssh.. udah deket?” Atsumu mengangguk cepat sebagai respons akan pertanyaan Sakusa. Dirinya benar-benar sudah di puncaknya.

“Barengan...” Sakusa mulai memompa milik Atsumu pelan namun sukses buat si pirang melonjak.

Sakusa memijat, kemudian mengocok daging tak bertulang itu mengikuti irama hentakannya. “Omi,” bisik Atsumu kehabisan napas. Sakusa dapat rasakan cairan hangat tumpah di telapak tangannya ketika tubuh Atsumu bergetar hebat dalam rengkuhannya.

Cermin memperlihatkan wajah erotis putra Miya itu kala mencapai orgasmenya, hingga Sakusa menyusul mengeluarkan cairannya di dalam liang hangat itu, mengisinya penuh.

Mereka berdua terengah dengan degup jantung yang tak karuan. Atsumu ambruk dan berlutut, begitu juga Sakusa. Lelah. Mata mereka bertemu di cermin, beradu pandang kemudian menarik senyum. Tadi itu luar biasa.

“Permisi, ada orang di dalam?”

Keduanya terlonjak kaget mendengar ketukan pintu diiringi suara seseorang. Benar juga, sudah berapa lama mereka disini? Sepertinya waktu berhenti sesaat tadi.

“Y-ya sebentar,” sahut Atsumu dengan suara seraknya, mengundang tawa kecil Sakusa. “Jangan ketawa! Cepetan bersihin ini,” ketusnya pelan.

“Roknya dipake lagi ya nanti? Kita lanjutin di rumah.”

“Omi!”

Inui menatap lekat pantulan dirinya pada cermin. Sementara pacarnya menonton tayangan televisi di ruang tamu, Inui melesat ke kamar mandi ketika sensasi mual sekaligus sesak menyerang ulu hatinya.

Wajahnya nampak pucat, curiga dirinya masuk angin karena berlama-lama di pantai. Inui terbatuk dengan kondisi tenggorokan yang sangat kering, sakit. Ia berkumur lagi kemudian mendesah panjang.

Inui tidak mengerti ada apa dengan dirinya belakangan ini. Sering terbatuk, mual dan wajahnya memucat. Tenggorokannya terasa kering mau berapa banyak pun dirinya minum. Inui menyeka sudut bibirnya ketika entah sejak kapan pikirannya memutar perkataan Kokonoi beberapa menit yang lalu.

Maaf.

Aku sayang kamu.

Tentu saja Inui merasa senang ditengah emosinya yang kacau balau. Ia bahkan membalas pelukan hangat dari Koko, melepas rindu dengan perasaan lega.

Lalu berapa kali lagi ia harus yakinkan diri bahwa cintanya memang terbalas?

“Should we end this?”

Inui mengacak rambut terangnya frustrasi. Bukan sekali dua kali Koko melontarkan pertanyaan semacam itu, sebanyak itu pula Inui menahannya pergi. Sebab dirinya berpikir permasalahan mereka hanya karena buruknya komunikasi, semuanya masih bisa diperbaiki.

Inui tulus mencintai Koko tak peduli seperti apapun masa lalunya, atau siapa pun yang dulu Koko cintai. Koko pun menerima perasaannya, jadi tidak ada masalah.

Inui merasa sakit setiap kali memutar kenangan lamanya dengan Koko, dengan kakaknya, Akane. Dari yang manis sampai pahit, menyenangkan sampai menyakitkan. Inui meremas pinggiran wastafel.

“Uhuk! Uhuk!”

Rasanya perih sekaligus gatal. Pemuda itu tercekat dan terbatuk beberapa kali seolah seluruh isi perutnya akan keluar. Kepalanya pusing dan kakinya lemas, saliva mengalir di sudut bibirnya. Inui memejamkan mata merasakan air mata yang telah membendung.

Kemudian ada sensasi menggelitik di pangkal lidahnya ketika batuk-batuk itu mereda. Inui sontak melotot memandang percikan darah di wastafel beserta sehelai kelopak bunga berwarna putih.

Napasnya tersenggal-senggal dan dadanya bergemuruh hebat.

Yakinkan dirinya ini hanyalah mimpi.

“Makasih, Ji.”

Inui menuntun tubuh sempoyongan Koko yang sepertinya hanya setengah sadar untuk duduk di sofa. Ia mengernyit akibat bau alkohol yang menguar setiap kali lelaki bersurai gelap itu membuka mulut lontarkan racauan tak jelasnya.

Ditatapnya manik sayu itu berharap ada sepenggal jawaban di dalamnya. Koko begitu berantakan dan Inui tidak tahu mengapa, tidak sekalipun pacarnya itu bercerita. Lantas ia hembuskan napas panjang sebagai alternatif singkat dibanding keluarkan unek-unek di kepala.

“Kenapa?” Adalah satu-satunya yang terucap. Inui memandang lekat wajah berhias semburat merah di hadapannya.

Manik jelaga itu terkunci sebentar dalam diam, kemudian Koko menyunggingkan senyum. “Hai, cantik...” ujarnya seakan tak menangkap pertanyaan Inui barusan. Entah karena pengaruh alkohol yang kelewat berat atau lelaki ini memang hanya mengalihkan pembicaraan, yang manapun Inui tetap merasa jengah.

Telapak tangan Inui menangkup kedua pipi pacarnya dengan sedikit memaksa. “Kamu kemana aja dari tadi?” Tanyanya sekali lagi.

Rasa hangat yang merambat di pipinya itu buat Koko terenyuh. Mata Inui nampak begitu teduh dan sentuhan dari tangan kasarnya terasa begitu nyaman. Koko menggenggam dan mengisi ruang diantara jemari lentik itu, menautkan jari-jari mereka dan saling bertukar kehangatan.

Koko menunduk menatap tangan mereka. “Pemakaman Akane,” sahutnya berbisik.

Inui menelan saliva mengabaikan rasa mual di perutnya dan sesak di ulu hatinya. “Ngapain kesana? Padahal kamu sendiri janji gaakan sembunyiin apa-apa dariku, padahal aku selalu bilang kalau aku disini buat kamu, whenever you need someone to rely on, i'm always here for you. Can't you see me, Ko?”

“Inupi-”

“Jangan ngomong apa-apa kalau kamu lagi mabuk. Yang ada omonganmu ngaco semua.”

Ada sebuah retakan yang membuat jarak mereka semakin jauh. Mereka bersentuhan, bertatapan, namun Inui tidak merasakan kehadiran Koko sepenuhnya disana. Pikirannya tidak disana. Hatinya tidak disana.

Inui bangkit berdiri melepas genggaman hangat itu. “Aku ambil air.” Kemudian berlalu meninggalkan Koko yang otaknya berkabut.

Kokonoi Hajime mungkin belum bisa menerima Inui sepenuhnya.

Dan sekalipun Inui menyadarinya, ia hanya bisa mengepalkan telapak tangan menahan kekecewaan dan susah payah menelan saliva sebab tenggorokannya terasa sakit lagi.

Sakuatsu nsfw

Semakin lama waktu berjalan, semakin berantakan ia dibuat.

Atsumu kini meremat helaian rambut gelap milik sosok diatasnya yang keseluruhan wajahnya terbenam dalam dada Atsumu. “Omi,” adalah nama yang berulang kali bibirnya senandungkan disela-sela ringisan sakit akibat kulitnya yang digigit.

Napas hangat Atsumu menyatu dengan udara dalam kamarnya serta suara lenguhan ketika bagian sensitifnya dipermainkan tidak dapat lagi ditahan. Atsumu kini setengah telanjang meski bajunya telah disibak keatas sementara Kiyoomi masih utuh berpakaian. Membuat Atsumu merutuk dalam hati.

Kiyoomi menindih tubuh Atsumu dengan tangan kanannya mengeratkan cengkraman di paha dalam Atsumu dan yang satunya sibuk memainkan dada Atsumu. Mengikuti pergerakan lidah dan giginya untuk menorehkan tanda merah diatas kulit mulusnya.

Kini Kiyoomi tahu kalau dada dan paha yang kerap kali dirinya perhatikan itu adalah bagian sensitif dari Atsumu. Ia tersenyum puas.

“Aw! Omi, sakit... jangan gigit disana.” Rematan tangan Atsumu semakin kencang ketika Kiyoomi dengan nafsunya menjilati dan menggigit puting merah mudanya. Kemudian ketika jemari Kiyoomi bergerak untuk menyapa bagian intimnya di bawah sana.

Kiyoomi berhenti tepat sebelum menyentuh pintu masuknya. Sentuhannya itu benar-benar membuat Atsumu merinding.

Kemudian Kiyoomi menaikkan pandangan untuk menatap wajah si pirang yang berantakan. “Boleh?” Tanyanya memastikan.

Atsumu menelan salivanya, menatap dalam manik jelaga Kiyoomi yang berkilat cantik. Menampilkan aura dominan dan lembut secara bersamaan. Teduh dan damai, namun juga mendebarkan.

Kemudian Atsumu melingkarkan tangan di lehernya dan menarik Kiyoomi dalam ciuman. Bibir lembut dan manis milik Atsumu beradu dengan Kiyoomi hingga suara decakan menggema di telinga. Dilanjutkan dengan lidah yang memaksa masuk dan saling bersilahturahmi hingga saliva mengalir di sudut bibir yang entah milik siapa itu.

Lidah Kiyoomi gencar menari di rongga mulut Atsumu menciptakan erangan tertahan. Sepertinya Atsumu baru saja mengonsumsi madu sehingga bibir dan lidah terasa semanis ini. Kiyoomi mabuk.

Benang saliva terbentuk saat kedua bibir itu berpisah dan Atsumu meringis lagi sebab Kiyoomi mencubit lagi tonjolan dadanya yang mengeras. Seolah tidak memberikan Atsumu waktu untuk mengambil napas.

“Jadi... boleh?” Tanya Kiyoomi lagi dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya.

Atsumu mengangguk mantap. Ia memberikan instruksi dengan melebarkan kedua kakinya yang mengapit tubuh Kiyoomi. Menunjukkan lubang merah mudanya yang sudah siap digempur.

Kiyoomi menyunggingkan senyum jenaka. Akhirnya ia melepaskan kaos hitamnya dan memamerkan dada bidangnya yang sudah cukup membuat Atsumu tergiur. Kiyoomi meraih lub yang tergeletak di meja nakas dan segera melumuri jemari lentiknya hingga basah.

Kiyoomi mengangkat kaki Atsumu kemudian memasukkan jari tengah dan telunjuknya bersamaan. Atsumu memekik sementara Kiyoomi dengan santai mengecup dan menyapukan lidah di pahanya.

Kiyoomi mengeram rendah merasakan dinding Atsumu yang menjepit jarinya dengan kencang, membayangkan bagaimana jika miliknya yang lebih besar bersarang disana. Sempit dan hangat.

Jarinya bergerak keluar masuk guna membuat celah yang lebih besar. Setiap gerakan menciptakan desahan yang semakin liar dari si pirang. Suara yang ditimbulkan akibat permukaan yang basah pun sukses menaikkan libido Kiyoomi dan membuatnya semakin tak sabar.

“Omi... Omi... more.”

“Hmm.”

Kiyoomi menggigit permukaan paha Atsumu seperti santapan malam alih-alih memberikan apa yang surai emas itu pinta. Semakin frustrasi Atsumu dibuatnya.

Jari Kiyoomi bertambah satu dan mulai menumbuk titik lemahnya. Atsumu sudah kehilangan akal sehatnya dan hanya bisa menerima segala stimulasi yang Kiyoomi berikan.

“Kiyo- hngg mm...” Atsumu menggigit bibir dan pergerakan Kiyoomi semakin cepat, membuatnya semakin dekat dengan klimaks. Precum membasahi perutnya, namun Kiyoomi tidak menghiraukannya.

Lelaki bermanik gelap itu terus menghujani setiap jengkal tubuh Atsumu dengan kecupan dan gigitan kecil hingga tanda merah menghias indah permukaan kulitnya. Ia menurunkan kepalanya dan menyesap puting Atsumu buat sang empunya melonjak.

“Omii i'm so close!” Bola matanya ditarik ke belakang, berpikir akan menemui pelepasan yang ia dambakan.

Kemudian jari Kiyoomi berhenti dan ditarik keluar seketika. Ada sensasi kosong yang aneh sekarang dan Atsumu sedikit terisak karena klimaksnya tertunda.

“Jangan keenakan dulu, aku bahkan belum mulai.” Kiyoomi dengan cepat melepas celananya danーakhirnyaーmembebaskan miliknya yang sudah sepenuhnya menegang dan basah, tak sabar untuk mengisi penuh Atsumu.

“Kondom?”

Atsumu menggeleng cepat sebagai jawaban, lalu melingkarkan kaki di pinggang Kiyoomi dan menarik tubuhnya mendekat sampai lubang Atsumu bersentuhan dengan ereksi Kiyoomi. “I like it raw,” bisiknya.

“Hmm.” Kiyoomi memberi kecupan singkat pada bibir ranum itu sembari memposisikan dirinya. “Jangan salahin aku kalau besok gak bisa jalan.”