Jatuh
Kiyoomi menekan lagi bel rumah milik keluarga Miya sampai Osamu menampakkan dirinya di balik pintu. “Oh, Kiyoomi. Mau ngapain?”
“Atsumu mana?” Tanya si surai gelap tanpa basa-basi lagi.
Osamu mengerutkan dahi. “Dia... pergi. Gue gak tau dia kemana tapi gue kira dia pergi sama lo,” tuturnya keheranan.
Kiyoomi berdecak sembari memutar otaknya yang kalut agar temukan titik terang tentang kemana Atsumu kira-kira pergi.
“Kalian ada masalah?” Osamu bertanya lagi melihat wajah kusut Kiyoomi. Ia mulai khawatir.
Kiyoomi garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Enggak, gue cuma harus ngomong sama dia.”
Osamu mengedarkan pandangan. Jalanan di perumahan mereka sudah begitu sepi dan langit kini sedang mendung. Sudah selarut ini dan tidak ada kabar, Atsumu mungkin saja tidak pulang.
“Taman kota,” celetuk Osamu seakan kilatan memori menghampirinya. “Biasanya dia kesana kalau lagi pengen sendiri.”
Kiyoomi mengangguk singkat, kemudian memelesat pergi. Melajukan motornya sampai pada kecepatan 60 km/jam ketika yang ada di pikirannya hanyalah Atsumu seorang.
Ada permadani indah yang biasa membentang di langit setiap ia menengadah pada pukul delapan atau sembilan malam. Sesuatu sesederhana hamparan bintang atau bulan purnama saja sudah cukup memanjakan mata dan hati Atsumu. Kini keduanya lenyap dibalik awan mendung.
Persis seperti Atsumu yang hampir jatuhkan hujan berupa air mata yang membendung di pelupuknya.
Taman itu sepi, jumlah orangnya dapat dihitung jari. Atsumu yang duduk termenung disana seperti anak kecil yang tengah tersesat dan tak tahu kemana harus pergi.
Padahal ia sudah kuatkan dirinya dan terima keadaan, namun gemuruh di dadanya tidak kunjung berhenti. Sebab Atsumu sudah jatuh dan tak seorang pun ulurkan tangan sekedar untuk bantu ia berdiri.
Atsumu menghela nafas lelah. Jadi pacaran itu seperti ini, batinnya.
Baru ia pejamkan mata untuk nikmati desir angin yang dinginnya menusuk kulit, Atsumu terlonjak karena tepukan di bahunya. Ia menoleh cepat. “Omi?” Suaranya serak tapi kini dirinya benar-benar kaget.
Kiyoomi yang masih terengah-engah memasang raut lega, lalu secara tiba-tiba mengambil posisi berlutut di hadapan Atsumu. Ia genggam erat tangan menggigil Atsumu seolah tak ingin melepaskannya pergi lagi. “Syukurlah kamu baik-baik aja.”
Kiyoomi pertemukan dahinya dengan punggung tangan Atsumu, lepas frustasi yang ganggu kepalanya sejak tadi. “Kenapa pergi tiba-tiba gitu? Gak angkat telpon, gak bales chat, aku jadi khawatir kamu kenapa-napa!” Ia tidak membentak, hanya sedikit kesal dan tinggikan suaranya.
Atsumu memalingkan muka, takut akan menangis jika tatap Kiyoomi terlalu lama. “Maaf,” katanya singkat dan pelan.
Kiyoomi mendengus sebal. “Kamu kenapa sih? Sakit?”
Atsumu gigit bibir dalamnya. Jujur saja, sifat Kiyoomi yang seperti ini bisa buat dirinya luluh kapan saja. “Iya, sakit. Sakit banget gak tau kenapa. Bahkan gak tau aku pantas ngerasa sakit atau enggak.” Atsumu tahan isakannya. Ia tak ingin meledak disana.
Kedua alis Kiyoomi senantiasa bertaut tunjukkan semakin banyak kebingungan. “Kenapa? Ada yang julidin kamu lagi? Ada yang ngomong kasar lagi?”
Namun Atsumu hanya menggeleng lemah. Dengan sisa keberanian yang ia punya, Atsumu kembali bersuara, “cewek tadi... siapa?”
Mata Kiyoomi melebar, mengerjap beberapa kali ketika cerna pertanyaan singkat itu. “Cewek? Yang mana?”
“Yang di twitter! Yang lo panggil sayang segala! Lo kalau emang udah ada yang lain, kenapa gak dari lama mutusin hubungan kita hah?! Mau bikin gue jatuh sejauh apa?!” Atsumu meledak, tangan Kiyoomi ditepis, kemudian ia menangis.
“Atsumu...” Kiyoomi menatap manik sewarna madu itu dalam-dalam. Paras menawan Atsumu kini berantakan, namun matanya tetap lebih indah daripada bulan. “Dengerin dulu, oke?” Suaranya melembut.
Kiyoomi tarik nafas dan berusaha meraih kembali kedua tangan Atsumu dalam genggaman. “Dia kakak aku,” pernyataan singkat itu sukses buat isakan Atsumu terhenti. Akhirnya mata mereka bertemu. “Aku pernah bilang kan, aku punya kakak yang udah kerja ke luar negeri? Nah tadi dia baru aja pulang, bawa oleh-oleh sama fotoan,” lanjutnya.
“Dia juga mau ketemu kamu loh.” Kiyoomi menarik senyuman lembut, mengusap punggung tangan Atsumu. “Jangan marah lagi ya?” Bujuknya sekali lagi.
Malu, Atsumu bisa rasakan wajahnya yang panas. Terlebih perlakuan Kiyoomi buat ia tidak kuasa menolak.
“Kamu cemburu?” Tanya Kiyoomi lagi, setengah meledek karena gemas lihat bibir ranum itu mengerucut.
Atsumu segera buang muka dan merutuki Kiyoomi dalam hati sementara Kiyoomi tertawa kecil. Goda Atsumu lebih banyak.
“Omi,” panggilan itu seakan mereset suasana tadi dan kembali pada sebuah ketegangan. Kiyoomi menunggu kalimat selanjutnya. “Aku suka...” ucapnya ragu. “Aku suka sama Omi, maaf.”
“Kenapa minta maaf?” Kiyoomi mengecup kedua punggung tangan Atsumu. Masih berlutut dan memandang Atsumu dalam-dalam.
“Karena harusnya gaboleh sampai suka. Padahal aku sendiri yang bikin aturannya.”
“Kalau gitu kita putus aja dari hubungan palsu ini, jadi kamu boleh suka sama aku.” Kiyoomi bangkit, melepas jaketnya dan memakaikannya pada Atsumu yang menggigil.
Atsumu dengan senang hati menerimanya. Ada hangat dan wangi khas dari Kiyoomi yang seketika ciptakan nyaman. “Maksudnya?”
Detik berikutnya, Kiyoomi sudah berjongkok memunggungi Atsumu. “Sini aku gendong.”
“Hah? Tapi aku gak sa-”
“Sini cepetan. Aku maksa.”
Tak bisa menolak, Atsumu perlahan melingkarkan tangan di leher Kiyoomi sebelum lelaki itu mengangkatnya. Atsumu tenggelamkan wajahnya di pundak Kiyoomi dan rasakan hangat yang menggantikan hawa dingin di tubuhnya.
Atsumu hanya pasrah akan kemana dirinya dibawa. Ia sudah lelah. Dan ia temukan bahu untuk bersandar dan rumah untuk beristirahat dalam diri Sakusa Kiyoomi. Kembali ia bisikkan, “i love you,” sebelum mendapat balasan.
“I love you, too.“