navierra

(n) enjoy the pleasure of today.


Pagi menyingsing dan sinar mentari mengintip malu-malu dari balik gorden, menyapukan warna emas yang mengusik tidur nyaman Atsumu diatas king size bed dalam kamar hotel yang luas ini.

Kelopak matanya dengan enggan terbuka, kemudian tertutup lagi kala cahaya pagi menyilaukannya. Merasa badannya kaku, Atsumu membalikkan tubuhnya ke samping dan sontak meringis sakit. Pinggangnya terasa sakit dan kedua kakinya begitu lemas.

Atsumu menenggelamkan wajahnya di bantal sembari menggeram kecil ketika potongan ingatan dari kemarin malam mulai terbentuk dalam memorinya.

Semuanya terasa begitu cepat ketika Atsumu sampai di kamar yang berada di lantai 4 hotel bintang lima, bertemu dengan dua lelaki menawan yang telah memanjakannya sepanjang malam.


Atsumu menghembuskan napasnya perlahan, berusaha sebaik mungkin agar helaannya tidak terdengar seperti sebuah lenguhan. Tak masalah, kepalanya masih jernih dan suara lembut dari musik yang mengalun di sudut ruangan masih segar di telinganya.

Tak masalah, ia tidak akan luluh semudah itu.

Jemari meremat sprei dan kepalanya berpaling ke samping, hendak menghindari kontak mata dengan orang yang merengkuh tubuhnya dan memandikan Atsumu dengan kecupan-kecupan yang liar. Kancing kemejanya telah sepenuhnya tanggal dan dadanya naik turun akibat napas yang memburu. Atsumu berbaring di ranjang yang empuk dengan seseorang yang menindihnya.

Rintarou, katanya.

Nama salah seorang dari mereka yang melucuti dan menyentuh Atsumu lebih dulu sementara yang satunya masih berkutat di kamar mandi.

Rintarou yang miliki manik tajam nan jenaka serta senyum manis yang bisa buat siapa saja terpana. Rintarou yang lihai menggerakkan lidah dan tangannya, menanamkan gigitannya diatas kanvas berupa tubuh Atsumu Miya.

Kemudian Rintarou ini yang gemar menggoda Atsumu dengan menggigit area merah muda di dadanya demi mendengar rintihan manis dari bibir ranum itu.

“Nghh,” Atsumu melenguh rendah saat Rintarou menariknya duduk ke pangkuan, kemudian melesakkan lidahnya ke dalam rongga mulut Atsumu tanpa peringatan.

Rintarou raba dan elus punggung Atsumu sementara pundaknya dicengkram erat. Lidah beradu di dalam sana, menyapu deretan gigi dan berbagi saliva hingga sudut bibir keduanya basah. Lumatan bibir terhenti, kini Rintarou nikmati leher Atsumu.

Kecup, kecup, kecup lagi. Sesekali menggunakan giginya sebab candu.

“Atsumu.” Deru napas Rintarou di telinga buat si pirang bergidik. Atsumu menggumam kecil.

“Lepas pakaianmu lalu tidur tengkurap biar aku bisa prepare kamu ok?” Ujar Rintarou lembut sembari menjauhkan wajahnya untuk menatap netra madu lawan bicaranya.

Atsumu mengangguk dan segera menyingkirkan sisa pakaian di tubuhnya. Mengikuti instruksi Rintarou, dengan sedikit ragu Atsumu memposisikan diri dan mengekspos bugilnya untuk dijamah.

“Nungging.”

Atsumu mendengus, namun tetap menurut. Lututnya terbuka untuk mengapit Rintarou diantaranya. Pipinya begitu panas hanya dengan tatapan intens netra sipit itu di belakangnya.

Atsumu penasaran, dirinya sudah dibuat setengah mabuk disini tapi sosok di bilik kamar mandi itu belum juga menampakkan diri. Buat Atsumu tidak sabaran. Lagipula ia habiskan sepuluh juta bukan untuk menunggu orang mandi.

“Rintaー ah!” Atsumu memekik ketika sensasi dingin dan jemari lentik menerobos masuk ke liang intimnya dan menggesek dinding ketatnya.

Rintarou menempelkan dada bidangnya pada punggung Atsumu. Lalu menjilati daun telinganya seraya berbisik, “jangan alihin perhatianmu waktu lagi main. Nanti aku hukum, mau?”

Menekan wajahnya ke bantal, Atsumu dapat merasakan senyuman miring dari Rintarou. Desahannya teredam kala jemari itu terus bergerak.

Keluar perlahan, kemudian melesak masuk dengan cepat. Bertambah satu, berputar melonggarkan yang sempit untuk dimasuki yang lebih besar nanti.

Rintarou gigit bahu si pirang setiap kali dindingnya mengetat diantara jarinya. Buat Atsumu tak bisa lagi menahan desahannya. “Gak sabar ya? Tenang aja, nanti kita main sampai pagi kalau kamu mau. Be a good boy and we will give you what you want.

“Hah-” Atsumu tercekat ketika ujung jari Rintarou menumbuk prostatnya, membuat milik Atsumu berkedut dan semakin basah akan cairan precum.Shit...

No cursing.” Rintarou memperingati dengan menghentikan tempo jemarinya. “Kiyoomi gak akan suka kalau kamu pakai kata kasar. Anak baik kata-katanya gak boleh kotor ya. Ngerti, sayang?”

Atsumu menggeram frustrasi. Ia gerakkan pinggulnya maju dan mundur mengejar kenikmatan jari-jari dalam lubangnya. “Just... let me-

“Sstt...” Rintarou menarik semua jarinya keluar membiarkan Atsumu merasa kosong. Ditatapnya lingkar merah muda yang berkedut minta diisi itu sambil tersenyum nakal. “Atsumu, baby, kalau kamu gak nurut nanti kena hukuman.”

“Riiinn,” netra madu itu menatap Rintarou dengan tatapan memelas. Tangannya yang tak tahan spontan bergerak untuk memuaskan kejantanan yang sudah membasahi sprei dibawahnya itu.

“Jangan sentuh.”

Suara itu entah bagaimana mendominasi Atsumu hingga ia tidak cukup berani melanjutkan niatnya. Lalu tangannya kembali meremas bantal. Rintarou mengecup pipi Atsumu singkat. “Pinter.”

Kemudian presensi seseorang mengalihkan atensi keduanya. Atsumu menggigit bibir memandangi lelaki yang bertelanjang dada dengan handuk melingkar di pinggang. Rambut hitam yang setengah basah dan wangi lembut menyapa penciuman Atsumu.

“Udah selesai mandinya?” Tanya Rintarou santai yang dibalas gumam singkat.

Ia menunduk mendekati wajah Atsumu. Memberi senyuman ramah sembari menyemat anak rambut pirang itu ke belakang. “Cantik,” katanya.

Dan Kiyoomi adalah satu lagi nama yang akan Atsumu lantunkan di malam yang panjang itu.


What are you waiting for? I said, suck it.

Satu erangan lolos dari mulut Atsumu. Di belakangnya, Kiyoomi sudah menghentakkan miliknya ke dalam liang Atsumu. Kakinya yang bergetar hebat hampir saja oleng jika lengan kekar Kiyoomi tidak mendekap pinggangnya.

“Kok diem?” Atsumu yang napasnya tercekat menaikkan pandangan pada Rintarou yang tepat di hadapan. Kedua paha terbuka mengarahkan wajah Atsumu langsung pada selangkangannya.

Rintarou genggam helaian surai pirang itu dan mendorongnya paksa, mempertemukan bibir manis Atsumu dengan kepala penisnya yang basah terbalut kondom.

“Aghh... tung- unghh!” Sial. Atsumu bahkan tidak sempat membasahi bibir ketika Kiyoomi mulai menghentak begitu keras hingga liang sempitnya terasa sangat penuh.

Dengan terengah-engah, Atsumu mencecap milik Rintarou yang tak kalah gemuknya dengan Kiyoomi. Lidahnya menjulur lalu mengulum daging tak bertulang itu sedikit demi sedikit mengikuti arahan Rintarou.

Mata Atsumu terpejam memasukkan milik Rintarou semakin banyak dalam rongga mulutnya sementara Kiyoomi menarik keluar perlahan dirinya dari Atsumu, kemudian kembali mendorongnya cepat. Tubuh Atsumu bergetar hebat dan air mata berlinang di sudut matanya.

“Mmh...”

Kiyoomi tersenyum puas dan melayangkan kecupan pada tengkuk si pirang yang bersemu merah. “You're so good.” Pujiannya sukses membuat Atsumu semakin melayang.

And pretty,” sambung Rintarou mengelus pipi Atsumu sebelum melontarkan lenguhan nikmat sebab lihainya lidah Atsumu menari di dalam sana. Rintarou gerakkan pinggulnya sendiri tak sabaran sementara yang melahap mengerang tertahan.

Masuk, keluar, masuk. Kedua batang yang menusuk Atsumu di kedua sisi tiada ampun. Belum lagi racauan manis keduanya yang memuji betapa menawan dan baiknya Atsumu menerima sodokan mereka membuatnya begitu terbuai dan berharap waktu bisa berhenti saat itu juga.

Atsumu bahkan merasa ia bisa keluar tanpa disentuh.

“Ngghh ah- laghii d'sana...” Atsumu merengek sembari terbatuk-batuk ketika Kiyoomi menghentak prostatnya dengan keras dan dalam. Atsumu memekik kencang, abaikan Rintarou yang meminta perhatian dan terus bergerak mengikuti irama Kiyoomi di belakangnya.

So... fucking tight..” Kiyoomi tidak berhenti bahkan saat Atsumu terisak ditengah pelepasannya. Benang putih nan lengket Atsumu cipratkan kearah ranjang yang sudah berantakan seperti wajahnya kini.

“Atsumu.” Rintarou angkat dagu si pirang yang berlumuran saliva dan mendorong lagi batangnya ke mulut itu seakan itulah tempatnya tinggal.

Bola mata sewarna madu itu ditarik kebelakang, jari-jari kakinya menekuk dan kerongkongannya seperti terbakar. Pendengaran Atsumu dipenuhi gema suara kedua lelaki yang memanggil namanya.

Detik berikutnya, Atsumu rasakan cairan hangat menjalar di lubang dan kerongkongannya bersamaan dengan gigitan di pundak dan jambakan rambut yang sedikit kasar.

Mereka bertiga terengah-engah seolah hampir saja kehabisan stok oksigen. Atsumu tumbang begitu saja sementara dua lainnya melepas alat kontrasepsi yang tadi digunakan lalu mengambil yang baru.

Kiyoomi mendekat dan mengecup singkat dahi Atsumu yang basah berkeringat, kemudian kedua pipinya, kemudian bibirnya. Lumat pelan-pelan lalu lepas dan berbisik, “5 menit aja ya.”

“Hng? A-apanya?” Atsumu menatap bingung dan Rintarou terkekeh gemas.

“Istirahatnya.”

“Kalian mau ngapain lagi...?”

Kiyoomi mengusap sudut bibir Atsumu, sorot matanya menandakan haus seraya menarik senyum jenaka. “Gantian.”

Bukan Atsumu Miya namanya jika tidak ceroboh, melakukan hal yang bodoh kemudian jatuh ke lubang yang ia gali sendiri. Entah malapetaka atau rezeki yang dirinya dapat saat ini, Atsumu hanya ingin bersembunyi dan menghilang dari peradaban. Wajahnya semerah tomat matang dan telapak tangannya berkeringat dingin. Tumitnya menghentak-hentak senada dengan bunyi jarum jam yang terpajang di belakang tempatnya duduk saat ini.

Deru angin dari pendingin ruangan membuat sekujur tubuh Atsumu bergidik seolah sedang berada ditengah angin musim dingin padahal ini baru bulan April. Atsumu membeku seorang diri ditengah ruang tamu yang cukup luas milik seniornya itu, hampir kehabisan napas saking gugupnya.

Detik berikutnya, ketika Atsumu baru saja menarik napas panjang sembari memejamkan kelopak mata, sensasi tersengat bak sebuah alat kejut yang tiba-tiba menempel di pipi kanannya membuat tubuhnya melonjak. Dingin. Atsumu mengelus pipinya dan menengadah pada sosok di belakangnya.

“Kenapa diem aja? Kan udah kubilang santai aja, gak usah tegang,” ujar si pemilik manik zamrud yang terkekeh pelan dengan sekotak susu dingin di tangan. Atsumu mengerucutkan bibirnya.

So,” Suna duduk menyandarkan punggung di sofa berhadapan dengan Atsumu ketika jemarinya mengutak-atik ponsel demi mencari file yang menjadi masalah besar mereka saat ini hingga Atsumu harus rela menyusun alasan yang meyakinkan bagi orang tuanya untuk datang ke apartemen semalam itu. “Kamu gak mau bilang sesuatu tentang ini?” Tanya Suna memancing.

“Kak, itu um… gak sengaja. M-maaf,” suara Atsumu sangat pelan dan kepalanya tertunduk malu. Suna sampai harus mencondongkan tubuhnya kedepan agar perkataan Atsumu dapat terdengar. “Aku lagi ngantuk berat waktu masukin filenya jadi gak sengaja foto itu ikutan nyelip disana. Maafin Atsumu, kak! Tolong dihapus fotonya yaa..? Aku janji bakal lakuin apa aja!” Atsumu memelas dengan manik coklat madunya yang nampak berkaca-kaca. Tangisnya bisa saja meledak tergantung seperti apa jawaban dari Suna.

Suna menarik senyum melihat wajah Atsumu dengan semburat merah yang menggemaskan, membuatnya semakin ingin menggoda Atsumu lebih jauh. “Apa aja? Yakin?” Suna meletakkan ponselnya di meja kemudian bergerak mendekati Atsumu.

“Aku juga bisa suruh kamu ngelakuin apa aja loh,” lanjut Suna yang kini sudah berdiri tepat didepan Atsumu, membungkuk untuk melihat wajah manis itu lebih dekat.

Tersipu malu dan terpesona menjadi satu dalam pikiran Atsumu tentang betapa menawannya wajah Suna Rintarou dari jarak sedekat ini. Mata sipit dan tajam dengan bulu mata lentik mengitari sepasang permata indahnya. Ditambah bibir merah muda yang mengurva lembut membuatnya seperti mimpi bagi Atsumu untuk dapat beradu pandang dengan sosok kakak tingkatnya itu.

Sayangnya, perasaan gelisah dan takut menginterupsi fantasi Atsumu tentang senior pujaannya. “Aku bisa kasi traktir sih, tapi jangan banyak-banyak,” ujarnya setengah ragu. Berpikir Suna bisa dibujuk dengan iming-iming traktiran seperti teman-temannya yang lain. Setidaknya demi harga dirinya, Atsumu rela mengeluarkan sebagian isi dompetnya.

Tawa Suna meledak. Ia menegakkan kembali punggungnya dan melipat kedua tangan di depan dada. “Kamu lucu deh, Atsu.”

Kalor kembali menjalari tulang pipi Atsumu kala mendengar panggilan itu.

“Gampang banget kamu nawarin traktiran. Kamu gak tau aku jajannya dimana?”

Atsumu menelan salivanya sendiri. “Dimana?”

“Starbucks itu udah yang paling murah buat aku.”

Sontak Atsumu melotot. Bagi orang yang terhitung baru dua kali menapaki kedai kopi yang terbilang mewah itu, Atsumu tak habis pikir bagian mana yang disebut paling murah oleh Suna. “Hah?” adalah satu-satunya kata yang terlontar.

Mampus udah tabungan gue, pikir Atsumu.

Suna kembali terkekeh melihat reaksi Atsumu. Lelaki sipit itu dengan gemas mengacak tatanan rambut Atsumu dan membuat sang adik tingkat salah tingkah sendiri. “Tenang, aku tau kamu miskin. Aku juga gak akan minta traktiran kok jadi jangan ketakutan gitu, entar aku makin betah godainnya,” ujarnya begitu ringan.

Kini Atsumu bisa bernapas lega. Mata hazelnya sedikit berbinar. “Jadi aku dimaafin?” Tanyanya memastikan.

“Gak segampang itu dong. Atas apa yang udah kamu lakukan walaupun itu gak sengaja, aku gak bisa maafin kamu gitu aja. Kan, tadi kamu sendiri yang bilang akan lakuin apa aja. Keep your words, Atsu.”

Tangan Atsumu mengepal erat diatas pahanya. “Lalu kamu maunya apa?”

“Kamu.”

Suna berlutut tanpa memutus kontak mata dengan Atsumu. Senyuman lembutnya kini berganti dengan senyum miring seolah akan menguak apapun rahasia Atsumu. “Mau sampai kapan kamu jadi secret admirer?”

Lagi-lagi, Atsumu membelalak kaget. Napasnya tercekat dan jantungnya seperti terlepas dari tempatnya.

“Kamu pikir aku gak tau? Aku cuma diem aja selama ini, gak nyangka kamu sendiri yang sekarang bikin kita berdua ketemu,” celotehan Suna hanya membuat Atsumu semakin ingin mengubur diri. “Jadi, apa maumu selama ini? Diem-diem merhatiin aku, mikirin aku, ngambil foto gak senonoh begitu dan secara gak sadar kamu mau aku lihat kan? Secara gak sadar kamu memang mau ngirimin foto itu ke aku?”

“E-enggak—“

“Atsumu, do you always starving for my touch?

Sorot mata yang tajam itu buat Atsumu tak dapat mengelak, kemanapun pikirannya menjelajah untuk dapatkan jawaban, akhirnya semua hanya terpusat pada pemuda di depannya. Atsumu menggigit bibir.

Hampir saja Atsumu menitikkan air mata, jemari Suna sudah meraihnya. Mengelus permukaan pipinya dan menyemat anak rambut yang menghalangi ke belakang. “Kak..”

Shh, it’s okay. I won’t mad at you.

Tangan hangat Suna yang menyentuh dinginnya permukaan kulit Atsumu mulai menjelajah wajah Atsumu sembari menenangkannya. Mengelus lembut kelopak mata, tulang pipi, bibir, sampai telinganya buat Atsumu terbuai sekaligus tergelitik dengan sentuhan itu. Jemari lentik Suna mulai bergerak ke leher dan bertengger di tengkuknya.

Secepat kedipan mata, wajah Suna sudah bertaut 5 senti dari Atsumu. Menyapu permukaan hidung Atsumu dengan napas hangat sampai keduanya bertemu. Mata terpejam, jantung mereka berdetak tak karuan. Bibir mereka saling beradu dan Atsumu tidak ingat bagaimana…

Bagaimana dirinya tenggelam dan meleleh dalam ciuman hangat dan penuh afeksi itu. Bibir Suna Rintarou terasa lembab dengan perisa manis dari susu yang tadi diminumnya. Tangan yang mencengkram belakang leher Atsumu tidaklah kasar atau memaksa, melainkan dengan perlahan membawa Atsumu masuk semakin dalam.

Tidak ada yang begitu special dari ciuman sederhana itu. Tidak ada perasaan tak nyaman seperti kupu-kupu yang beterbangan atau kelopak bunga yang bermekaran. Ciuman yang Suna berikan terasa sangat, sangat, nyaman dan candu. Bahkan hingga keduanya kehabisan napas atau kehilangan akal sehat, tubuh mereka tetap ingin saling menyatu dalam ciuman, sentuhan, lagi dan lagi.

Lidah Suna bermain dalam rongga mulut Atsumu dengan gencarnya membuat lenguhan si pirang terdengar. Ketika kecupan penuh hasrat itu terlepas dan benang saliva masih menghubungkan bibir keduanya, Atsumu mulai berpikir mungkin memang ini yang ia inginkan.

Mungkin ia memang haus akan sentuhan Suna Rintarou.

“Rin...” suara itu tidak sengaja lolos dari mulutnya. Suna yang sedari tadi sibuk mencecapi leher jenjang Atsumu sontak menaikkan pandangannya.

“Tadi kamu panggil aku apa?” Tanyanya memastikan.

“Ah... maaf-”

“Lagi,” pinta Suna. “Panggil pakai nama itu lagi. Panggil aku Rin.”

Suna kembali mengecup dan menciptakan bekas merah di permukaan leher Atsumu sementara yang bersurai pirang melenguh pelan dan mengucap nama panggilan Suna yang terdengar seperti melodi indah di telinga Suna.

Suna membuka kedua lutut Atsumu yang tadinya rapat. Tanpa menghentikan kegiatan bibirnya, Suna meraba paha Atsumu yang masih tertutupi celana jeans. Jemarinya bergerak naik dan sampai pada risletingnya.

“Atsu,” suara serak itu memenuhi gendang telinga Atsumu. “Do you wanna do this?

Atsumu menarik napas panjang dan menurunkan kedua bahunya yang tegang. Dengan tatapan sayu, ia memandang Suna yang berlutut diantara pahanya, menunggu jawaban jadi ia bisa melanjutkan. Atsumu mengangguk lemah. “Yes. Yes, please.

Suna tersenyum puas kemudian bangkit mengganti posisi keduanya. Membuat Atsumu berbaring di sofa dengan tubuh Suna diatasnya. Seraya menanggalkan celana jeans Atsumu, sang surai gelap itu terus mendaratkan kecupan pada leher dan tulang selangka hingga sang empunya meringis.

“Kamu kelihatan lebih cantik kalau dilihat secara langsung daripada di foto. Cantik sekali,” ujar Suna dengan lembut. “Gak kusangka kamu orang yang nakal karena suka ambil foto begituan.”

“Mmh...” Atsumu yang sudah setengah telanjang menggigit bibirnya dan buat desahannya teredam ketika sang senior mencengkram kedua paha bagian dalamnya hingga Atsumu yakin akan ada bekas merah yang tertinggal nantinya.

Suna memindah posisi kepalanya dan saat ini lidahnya tengah menari di permukaan paha mulus Atsumu. Menciptakan sensasi yang menggelitik sekaligus panas.

“Aw!” Ringis Atsumu saat Suna dengan nakal menggigit kulitnya, mengecup, menghisap, kemudian membaluri tanda kemerahan itu dengan salivanya. Sorot mata seduktif itu seolah mendominasi raga Atsumu dan membuatnya terbuai.

Atsumu menengadahkan kepala dan memejamkan kelopak mata sementara rangkaian ciuman dari Suna terus menghiasi pahanya. Membuat milik Atsumu semakin lama semakin mengeras di bawah sana.

Bagai melukis diatas kanvas, bekas gigitan serta kecupan terpatri cantik disana menjadikan yang lebih tua semakin candu.

“Nghh Rin...” pemandangan Suna di tubuh bagian bawahnya entah bagaimana sangat sexy di mata sayu Atsumu. Segala rintihan dan desah kenikmatan terus menerus meninggalkan bibir ranumnya.

Organ basah tak bertulang yang sedari tadi menyusuri permukaan kulit Atsumu sudah mencapai pangkal pahanya. Hampir saja menyentuh kejantanannya yang berkedut meminta perhatian.

Jika bisa dibilang, sentuhan tangan Suna sejak tadi begitu lembut dan sangat hati-hati. Meski cengkramannya lumayan erat, namun ia pastikan Atsumu tidak terluka. Bagai memegang sebuah gelas champagne yang rapuh, Suna Rintarou dengan lihai memanjakan Atsumu tanpa menyakitinya.

“Rin, please... i want more. Please touch me there,” pinta Atsumu yang isi kepalanya sudah dipenuhi konstelasi bintang.

Suna mengangkat belakang lutut Atsumu hingga menyentuh perutnya buat posisi Atsumu semakin mengekspos bagian intimnya. “Sabar, sayang.” Suna membasahi bibirnya lagi sebelum wajahnya ditenggelamkan ke lipatan pantat Atsumu.

“Ngh? Rin..? Ka-kamu mau ngapain?” Pertanyaan Atsumu mengambang di udara bersamaan dengan pekik kagetnya. Jemari kakinya tertekuk sebagai respons tubuhnya atas sensasi tak biasa yang ia rasakan di dalam tubuhnya. “Rin... Rintarou- ahh..”

Suna memisahkan kedua pipi tebal Atsumu di bawah sana, kemudian menggiring lidah tajamnya untuk merangsek masuk ke dalam rongga hangat yang sempit itu. Membasahi pintu masuknya dan membiarkan dinding Atsumu menjepit lidah Suna disana.

Sementara punggung Atsumu membusur, Suna Rintarou semakin memperdalam gerakannya. Masuk hingga menyentuh titik lemah Atsumu, lalu keluar dan menggoda bagian sekitar lubangnya. Sampai rasanya perut Atsumu bergemuruh akibat benda licin dan lunak itu mengobrak-abrik ruang intimnya.

Suna tidak menghiraukan tangan Atsumu yang menjambak rambutnya atau racauan yang memintanya berhenti sejenak. Hidangan didepannya terlalu nikmat untuk dilewatkan jadi ia hanya akan terus bergerak memberikan stimulasi dengan permainan lidahnya.

“Rin, udah... ahn- aku mau-”

Suna melekukkan lidahnya menumbuk sweet spot Atsumu buat partnernya itu menarik bola matanya ke belakang saking dekatnya ia dengan pelepasan.

Tanpa disentuh sedikitpun, Atsumu mencapai klimaks dan mengeluarkan benang putih dari kejantanannya. Mengotori kaos yang masih ia pakai dan permukaan sofa yang ia tempati.

Sungguh, itu adalah pelepasan paling nikmat yang pernah ia alami.

Detik berikutnya, dilihat Suna kembali menatapnya. Tersenyum puas. Kemudian Atsumu jatuh ke alam bawah sadar.

Goodnight, Atsumu.”

Sunflower

Hal pertama yang dirinya lihat adalah langit-langit berwarna putih dan cahaya lampu yang menyilaukan. Berbeda dengan yang dirinya lihat dalam ruang gelap tak berujung sebelum kesadarannya pulih, sebab ada tangan hangat Atsumu yang menuntunnya kembali pada cahaya. Namun Atsumu kini tidak bersamanya.

Dimana Atsumunya?

Dokter dan beberapa perawat tiba sementara tubuhnya masih lumpuh dan mati rasa. Kemudian Miya Osamu dengan raut wajah yang entah terkejut, tak percaya, atau lega. Atau semuanya. Suna Rintarou, kawan baik Atsumu pun hadir walau sejak tadi hanya menundukkan kepala.

Atsumu tidak ada.

Pertama, Kiyoomi lupa kenapa dirinya bisa berada disini, berbaring dengan balutan alat medis dan alat bantu pernapasan. Seingatnya, ia tengah di perjalanan untuk menemui Atsumu.

Kemudian, kenapa Osamu dan Suna tidak mengatakan apapun tentang Atsumu dan kenapa wajah mereka memaksakan suatu mimik bahagia, bahkan meski Kiyoomi tahu betul itu semua palsu.

“Syukurlah lo udah sadar, Sak. Jangan paksain buat bangun, entar badan lo sakit lagi,” ujar Suna.

Kiyoomi membuka sedikit mulutnya membentuk huruf A tapi tenggorokannya terlalu sakit untuk sekadar mengeluarkan suara. Meski begitu, bahkan mentari yang mengintip pun pasti paham akan maksudnya.

“Atsumu lagi tidur... kalau mau nanya, besok aja. Sekarang fokus untuk pemulihan diri lo dulu. Setelah itu, gue bakal jelasin semuanya.” Osamu tampak kusut, suaranya lemah dan matanya memerah. Ia sedang tidak baik-baik saja.

Kiyoomi ingin menemui Atsumu saat ini juga. Memeluk dan menciumnya seperti rumah yang selalu hangat menyambutnya. Lalu pandangannya buram, sesuatu menariknya ke alam bawah sadar.

“Atsumu mana?”

“Udah gak ada.”

“Atsumu dimana, Sam?”

“Di dalem badan lo. Di pembuluh darah dan jantung lo.”

“Jangan bercanda. Gue tanya sekali lagi, Atsumu ada dimana sekarang?”

“DIA UDAH GAK ADA SAKUSA KIYOOMI. ATSUMU UDAH NINGGALIN KITA SEMUA.”

Miya Osamu kehilangan kesabarannya. Darahnya mendidih dan tangan terkepal erat hingga kukunya menyakitkan telapak tangan. “Tsumu... Atsumu udah gak ada...” kemudian suaranya lirih, hampir berbisik.

Kiyoomi tertegun setelah mendengar semua penjelasan mengenai kecelakaan, kehabisan darah, hingga Atsumu yang bersikeras dengan keputusan gilanya. Jika jiwanya memang masih ada, mungkin saat ini jiwa itu sudah hancur. Pertahanan Kiyoomi runtuh seolah langit tengah menimpa kepalanya.

Kaca yang pecah, bunga yang layu, langit yang gelap gulita.

Kamar sempit tempat Kiyoomi dirawat itu mendadak sunyi sebab ia tidak kunjung memberi respons. Sementara bahunya jatuh dan lidahnya kelu, Osamu memberinya secarik kertas dan bunga cantik yang selalu merepresentasikan Atsumu tercintanya.

Mahkota yang indah secerah mentari bagai surai dan netra terang milik Atsumu. Membawa kebahagiaan dan suka cita dengan warna kehidupan yang begitu nyata, seperti Atsumunya.

Setitik air mata menetes dan ia tahu, Atsumu ada disana. Surat dan bunga itu adalah dirinya.

“Ini pesan terakhirnya. Bahkan sampai saat-saat terakhir, dia masih sayang banget sama lo. You're lucky to have him in your life. You're the most lucky person to have Atsumu in your life.”

Miya Atsumu adalah permata terindah yang pernah Kiyoomi miliki.

Goodnight Kiss

Rasanya seperti mengedipkan kelopak mata. Secepat itu waktu berganti malam, Sabtu berganti Minggu, salju berganti semi, senyum berganti tangis. Seperti detak jarum jam juga detak jantung Atsumu yang semakin cepat. Seperti notifikasi dari Rintarou Suna juga derai hujan dibalik jendela kaca.

Semuanya begitu cepat berganti hanya dalam hitungan detik.

“Sakusa kecelakaan.” Adalah satu-satunya kalimat yang bisa Atsumu tangkap dengan pendengaran, selebihnya pikirannya kalut. Ulu hatinya mencelos dan perutnya mual. Atsumu hancur pada detik itu.

Miya pirang itu bergerak mengikuti instingnya, menurunkan kedua kaki lemahnya kemudian terjatuh.

“Tsumu! Hati-hati, jangan ceroboh. Tenang Tsumu, please,” suara kembarannya bagaikan angin lewat di telinga. Seperti bunyi rintik hujan yang mengetuk jendela tak lagi dihiraukan. Atsumu tuli. Panca indranya kini hanya ingin menemui sang kekasih tercinta. Kiyoominya.

“Bangun, Tsum. Naik ke kursi roda terus kita kesana ya? It'll be fine, jangan panik.”

Atsumu melirik. Ada air mata yang membendung sehingga pandangannya buram. Lidahnya terlalu kelu untuk sekadar memberi jawaban singkat. Ia mengangguk.

Unit Gawat Darurat kini benar-benar gawat dengan satu pasien kritis diatas ranjangnya. Tak sadarkan diri dengan darah berceceran dari kepala, tengah berusaha dihentikan. Berbagai peralatan medis menempel di tubuhnya yang entah masih bernapas atau tidak.

Atsumu hancur, kini berkeping-keping. Bahkan hembusan angin yang menyelinap masuk lewat ventilasi pun mampu menumbangkannya kala itu.

Ada Kiyoomi disana. Diujung tanduk antara hidup dan mati.

Miya Osamu menggenggam erat punggung tangan saudaranya, membuatnya tetap sadar sementara Suna mengatakan apa saja yang bisa ia katakan. Tentang dirinya yang melihat mobil Kiyoomi yang telah hancur. Tentang ambulans yang datang dan melarikan tubuh Kiyoomi ke rumah sakit. Tentang Kiyoomi yang kehilangan banyak darah hanya dalam beberapa menit.

Setiap kata yang dilontarkan hanya membuat Atsumu semakin teriris.

“Mereka sedang mengusahakan yang terbaik. Kita berdoa biar semuanya baik-baik aja,” ujar Suna diakhir ceritanya.

Netra madu Atsumu tidak lepas dari Kiyoominya. Berkedip pun ia takut. “Omi... nanti dia sadar kan? Iya kan?” Tanyanya entah pada siapa.

“Iya,” sahut Osamu mengeraskan rahangnya. “Dia pasti sadar.”

Atsumu mengepalkan tangan sementara pipinya semakin basah akan air mata. “Padahal udah gue bilang tunggu hujan reda...” lirihnya pelan.

Bilah pintu sewarna kapas itu terbuka besamaan dengan seorang dokter. Menghela napas. “Apa kalian keluarga pasien?” Tanya dokter paruh baya itu menatap tiga insan yang setia didepan ruang UGD.

“Iya. Ba-bagaimana keadaannya dok?” Atsumu memompa jantung begitu cepat, berharap satu saja hal yang melegakan keluar dari mulut sang dokter.

Dokter itu menghela napas lagi melihat kondisi Atsumu diatas kursi roda. “Begini, pasien saat ini telah kehilangan banyak darah dan membuatnya berada dalam kondisi koma.”

Suara sesuatu yang retak menggema di kepala Atsumu. Mungkin gemuruh dibalik awan, mungkin hatinya.

“Jadi kami memerlukan pendonor darah secepatnya..”

Retakan kedua.

“Jika tidak, nyawa pasien akan terancam dan persentasenya untuk bisa diselamatkan semakin kecil seiring waktu.”

Kemudian pecah.

Bunyi petir senantiasa menggelegar, butir hujan masih menari menghantam bumi dan nyawa yang tadinya hidup bisa saja hilang malam ini. Bahkan bunyi jarum jam kini terdengar mengerikan.

“Kalau begitu, saya bisa mendonorkan darah saya sekarang,” Osamu angkat bicara. Tangan mencengkram bahu Atsumu.

Sang dokter mengerutkan dahi. “Apa golongan darah anda cocok dengan pasien?” Tanyanya memastikan.

Kemudian si abu terdiam, ragu sebab kemungkinan besar golongan darahnya tak sama. Suna pun membisu dengan menggigit bibir dalamnya. Tinggal lah Atsumu yang dilanda keputusasaan.

Untuk sejenak Atsumu menunduk dan jemari saling bertautan, mencari setitik kehangatan. Ia tidak lagi bisa berpikir jernih. Apapun akan ia lakukan untuk membuat Kiyoomi aman. Sebab Atsumu berjanji tidak akan membiarkan Kiyoomi terluka dan dalam bahaya. Atsumu menangis.

Ia mendongak lagi sebelum dokter itu beranjak pergi. Tubuhnya gemetaran tapi hatinya dimantapkan. “Ambil darah saya saja,” ujarnya setelah ribuan pergulatan dalam kepala. “Golongan darah kami sama dan saya siap menanggung resiko apapun asalkan Sakusa Kiyoomi bisa diselamatkan.”

Sang dokter menatap kaget, namun sebelum sempat bicara apapun, suara tinggi Osamu menggema. “LO GILA?!”

Netra abu itu membelalak tak percaya berharap hanya kebohongan yang diucapkan oleh saudaranya. “Gak... gak boleh.. gak gini, tsum. Lo gak serius kan? Lo tau keadaan lo sekarang gimana kan? Gausah ngomong yang engga-engga.”

“Gue serius.”

Benar-benar tidak tersirat sedikitpun keraguan dalam kalimat Miya Atsumu. Seolah tidak sulit untuk menyerahkan hidupnya seperti merelakan potongan pudding terakhir untuk seseorang yang amat dicintai.

Miya Atsumu tengah hancur, namun ia akan lebih hancur lagi jika harus kehilangan Kiyoominya tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Gak boleh,” Osamu tetap bersikeras menahan niat gila Atsumu. Sorot matanya tajam sementara saudaranya memandang kosong, tanpa binar kehidupan. “Gak boleh, Tsumu. Lo... lo bisa-”

“Terus gue harus apaa Samu? Gue gabisa duduk diem disini sementara Omi lagi sekarat disana. Gue gabisa hidup kalau orang yang gue sayang sedang kesakitan,” Atsumu balik meninggikan suara seraknya bersamaan dengan isak tangis yang pecah.

“Gue gaakan hidup selama ini tanpa kasih sayang Omi, hidup gue yang menyedihkan ini gaakan ada artinya. Kalau sisa hidup gue yang pendek ini bisa berguna untuk seseorang yang gue cinta, gue rela ngasi semuanya, Samu. Kiyoomi harus hidup lebih lama dari gue, lebih bahagia, dengan begitu gue juga akan bahagia,” lanjutnya.

Osamu membungkus tangan lemah Atsumu dengan miliknya. Atsumu memang keras kepala, tapi bukan begini caranya. “Tapi... tapi gue juga sayang sama lo, Atsumu. Gue juga gamau kehilangan lo,” Osamu terisak. “Kenapa lo harus ngalamin ini?”

Perlahan, jemari Atsumu mengelus pipi kembarannya. Tangannya dingin dan pipi Osamu terasa hangat, begitu mudahnya Atsumu merasakan nyaman. “Dunia itu kejam, Samu. Apalagi bagi orang yang kurang beruntung. Makanya, lo harus bertahan.” Ia mengukir senyum. Menyakitkan, menyedihkan... cantik.

“Atsumu, tapi keadaan lo...”

“Gue gapapa, Suna.”

Sang dokter berdeham. “Maafkan saya, tuan. Tapi penderita anemia apalagi anemia aplastik seperti anda tidak diperbolehkan melakukan donor darah,” jelasnya dengan berat hati.

“Saya mohon, dokter. Saya tidak mau membuat dia menunggu dalam keadaan koma. Saya sudah bilang saya siap dengan resikonya.”

“Tapi tuan-”

“Saya tidak menerima penolakan! Jika masalahnya adalah saya bisa saja kehilangan nyawa, saya sama sekali tidak keberatan. Lagipula...” Atsumu mengeraskan rahang, menautkan alisnya. “Lagipula saya tidak yakin apa besok saya masih bisa bernapas.”

Sang dokter begitu ragu dengan konsekuensi yang ada, tapi berdebat lebih jauh hanya akan sia-sia. Osamu pun hanya bisa terisak, berlutut dihadapan Atsumu.

Setelah menelan salivanya sendiri, dokter itu kembali bicara. “Baiklah, ayo kita bicrakan terlebih dahulu.”

Miya pirang itu menarik senyum dan mengangguk. Ia mengusap puncak kepala Osamu dan mengecupnya singkat. Atensinya kembali pada ruang tempat Kiyoomi berbaring lemah. “Apa boleh... saya melihatnya sebentar?”

”.... tentu.”

Pukul sembilan malam ketika Atsumu memandang raga Sakusa Kiyoomi dengan kelopak mata tertutup dan alat penopang kehidupan memenuhi tubuhnya. Dadanya masih naik turun, napasnya masih ada walaupun samar. Kiyoominya mematung diatas ranjang.

Atsumu mendekat dan menyapu anak rambut di wajah Kiyoominya. Dipandangnya lekat sebab mungkin saja ini terakhir kalinya ia bisa memandang kekasihnya seperti ini. Kemudian Atsumu bangkit mendekatkan wajahnya pada Kiyoomi.

Seperti malam hari di apartemen sederhana mereka ketika Kiyoomi terlalu lelah untuk tetap terjaga. Seperti jam sembilan atau sepuluh saat Kiyoomi terlelap lebih dulu sementara Atsumu belum selesai membaca buku. Seperti malam-malam yang biasa ketika mereka mengucap selamat tidur sembari menghujani kecupan sayang.

Atsumu selalu menyukai wajah tidur Kiyoomi yang tenang dan nyaman. Dan ia selalu ingin Kiyoominya terbangun dengan bahagia esok paginya.

Maka, satu kecupan Atsumu berikan di kening lelaki ikal itu. Singkat dan sederhana, seperti biasanya. Kemudian berbisik pelan seolah tak mau mengusik tidurnya yang kelewat nyaman.

“Goodnight, Kiyoomi. I love you.”

Pretty in Pink

ーenjoy your meal, horny people.ー

Satu hembusan napas dan mobil itu melaju lebih cepat. Hari sudah cukup gelap namun kota yang sibuk tidak akan pernah sepi dari sorot lampu kendaraan serta manusia yang berlalu lalang. Sakusa tengah berusaha menjernihkan pikirannya selagi berkendara ditengah hawa dingin malam hari yang menusuk kulit. Mengatur baik-baik napas dan dentum jantungnya agar tidak mengambil alih kelogisannya.

Kata-kata Miya Atsumu terbayang lagi dalam ketikannya beberapa menit yang lalu. Tak disangka ia akan bersedia bermain bersama orang selain Sakusa. Jika dipikir lagi, memang tidak ada aturan dalam kontrak mereka yang melarang salah satunya berhubungan dengan orang lain. Lalu kenapa Sakusa semarah ini?

Lelaki bersurai kelam itu menggeleng kuat ketika kata cemburu melintasi kepalanya. Mana mungkin. Hubungan mereka hanya sebatas teman bercinta tanpa ikatan kepemilikan. Hanya saling memuaskan nafsu tanpa pernyataan cinta yang tulus. Sakusa mendecak.

Apa Atsumu hanya mempermainkannya?

Segera setelah mobil mewah itu terparkir rapi, Sakusa memelesat menuju kamar apartemen milik Atsumu. Tidak aneh jika ia tahu password apartemennya mengingat kegiatan itu sering mereka lakukan disana. Maka, Sakusa dengan terburu menekan setiap nomor dan membuka pintu itu.

“Ba!”

Sakusa terperanjat menemukan Atsumu sudah berada tepat di depan matanya. Kerut di dahinya semakin dalam saat si pirang itu terkekeh geli, seolah tahu Sakusa pasti akan muncul dari balik pintu itu maka dirinya menunggu untuk bisa mengejutkannya.

Menyebalkan.

“Gimana penampilanku? Suka kan?” Atsumu berputar untuk memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya dalam balutan sweater merah muda yang kebesaran. Kalung lonceng melingkar manis di leher jenjangnya dan kaki mulus itu dipamerkan begitu saja tanpa kain apapun untuk menutupi.

“You look pretty,” sahut Sakusa sembari membelai pipi Atsumu.

Atsumu mengulas senyum miring. “Aku tau. Bukan cuma kamu yang bilang gitu,” ujarnya dengan sengaja membuat tatapan lembut dari netra gelap itu berubah.

Sakusa mencengkram kedua bahu si pirang dan mendorongnya dengan kasar hingga punggungnya menubruk pintu. “Mulutmu itu benar-benar mau disumpal sesuatu ya?” Tatapan Sakusa tajam, suaranya berat dan mengintimidasi.

Tapi Atsumu belum menyerah. Ia ingin melihat seberapa jauh Sakusa Kiyoomi bisa merasa cemburu. Atsumu balas menatap Sakusa dengan agak sayu dan nafsu. Senyuman masih tinggal tak kenal gentar. “Coba aja,” bisiknya.

Detik berikutnya, Sakusa sudah mendaratkan ciuman pada bibir manis Atsumu. Ciuman itu tidaklah pelan dan lembut, namun kasar dan memaksa. Satu tangan Sakusa memegang tengkuk Atsumu untuk memperdalam ciuman mereka. Saling melumat dan beradu lidah, napas yang terengah-engah, hingga saliva mengalir dari sudut bibir. Atsumu mendorong tubuh Sakusa karena kehabisan napas, jantungnya bergemuruh dan otaknya tidak bisa berpikir jernih lagi.

“Omi- mmh..”

Sakusa tidak membiarkan Atsumu bicara barang satu kata saja, lagi-lagi mulutnya dibungkam dalam ciuman panas bahkan sekujur tubuhnya pun dijalari kalor bersuhu tinggi. Meski begitu, Atsumu tidak menolak. Sentuhan itu, perkataan, aroma tubuh dan tatapan tajamnya, serta ciuman yang terkesan kasar, tidak ada yang bisa memuaskan Atsumu Miya melebihi Sakusa. Adalah salah satu alasan mengapa Atsumu menerima hubungan macam ini dengannya.

“Ahh..” Atsumu tersentak kaget saat lutut Sakusa berada diantara pahanya, menekan bagian bawahnya yang sudah setengah tegang. “Omi... ngh- not here..” racau Atsumu sembari lehernya disinggahi oleh bibir nakal sang dominan.

Terlalu banyak. Sakusa menelusuri setiap lekuk tubuh Atsumu yang sensitif. Tangan kirinya memainkan dada Atsumu sementara yang satunya meremas bokongnya. Lututnya masih gencang bergesekan pada selangkangan Atsumu dan lidahnya kini mencecapi pundak yang lebih pendek. Putra Miya itu dibuat tak berdaya dalam kendalinya. Terlalu banyak stimulasi yang diberikan Kiyoomi padanya.

“Omi, omi, please..”

“Kenapa? Kemana ucapan nakalmu yang tadi hm? Gabisa ngomong apa-apa selain namaku?” Ketus Sakusa dingin. Napasnya beradu dengan permukaan kulit Atsumu sementara yang ditanyai napasnya tercekat. “Ke kamar,” titahnya.

Atsumu menghembuskan napas panjang. “Kamu juga gak sabaran kan?” Tanyanya lagi-lagi menggoda pertahanan Sakusa dengan wajah merah nan erotisnya.

Sakusa menaikkan sebelah alis dengan tatapan santai. “Siapa bilang? Aku mau mandi.”

Hah? Netra madu itu jelas menampakkan kebingungan seolah tak yakin dengan pendengarannya barusan. Mau mandi katanya? Disaat Atsumu sudah hampir mencapai puncak dengan segala rangsangan yang diterima, saat dirinya sudah dibuat berantakan sampai-sampai selangkangannya terasa basah, lelaki ini mau membuatnya menunggu lagi? Yang benar saja.

Padahal Atsumu pikir partner sexnya itu sudah dikalahkan oleh hasrat dan hawa nafsu. Atsumu menelan saliva. Dari tenangnya raut Sakusa saat ini, Atsumu bisa menebak bahwa itu bukan hanya tindakan untuk membuatnya kesal, namun ada sesuatu yang lain dalam pikiran kotornya saat ini.

Sepertinya Atsumu dalam bahaya.

“Nghh... stop- AKHH!” Lagi-lagi Atsumu mencapai pelepasannya tanpa disentuh sedikitpun. Napasnya hampir habis, sekujur tubuh gemetar hebat dan keringat membasahi permukaan kulit. Sweater merah muda yang ia kenakan sudah ternodai cairan putih, begitu juga dengan sprei putihnya yang kini berantakan.

Atsumu tengah tersiksa dalam tiga puluh menit yang terasa seperti selamanya. Tak kuasa melakukan apapun selagi benda di dalam lubangnya terus bergetar dalam volume yang tinggi, membuat tubuhnya menggelinjang ditengah desah dan pekikan. Kedua tangannya terikat kuat di kepala ranjang, jadi tinggal menunggu waktu saja sampai ia kehilangan kesadaran jika sosok yang ditunggu tidak kunjung keluar dari kamar mandi.

Air mata menetes dari ekor matanya. Atsumu terisak memohon agar vibrator yang tertanam dalam tubuhnya itu berhenti, tapi justru badannya sendiri yang tak mau berhenti menggesekkan bagian bawahnya di kasur. Sengaja agar benda itu masuk lebih dalam dan mengejar klimaksnya.

“Omii.. aghh... e-enough..” jari-jari kaki Atsumu menekuk, wajahnya merah padam. Sakusa masih belum menampakkan diri untuk memenuhi hasrat Atsumu. Untuk menyentuh dan menandai tubuh Atsumu dengan lebih banyak bercak merah. Untuk meletakkan kaki jenjang Atsumu pada bahunya selagi dirinya merangsek masuk memenuhi lubang Atsumu. Untuk melantunkan berbagai racauan dan saling memanggil nama seperti sebuah mantra.

Atsumu menginginkan Sakusa. Ingin memeluk dan menciumi setiap jengkal wajahnya. Ingin merasakan hangat dan aroma wangi dari sabun mandinya. Ingin melihat senyuman lembut yang pernah terukir saat sedang menikmati tayangan televisi berdua. Atsumu ingin menghabiskan malam ini dengan Sakusa, bagaimanapun caranya. Apapun kegiatannya. Bahkan jika hanya duduk berhadapan dengan sajian makan malam sederhana atau merusak tatanan kasur dengan panasnya kegiatan bercinta.

Atsumu ingin melakukan semuanya bersama Sakusa.

Atsumu ingin memiliki-

“Are you done?”

Seperti terkena sengatan listrik, Atsumu melonjak kaget mendengar suara berat yang menginterupsi imajinasinya. “Omii?” Ia masih melantunkan desahan sepanjang getaran itu masih menetap. “Omi hhh.. m-matiin... pleaseee,” pinta si surai emas yang sudah kelelahan.

Sakusa menutup pintu di belakangnya dan berjalan mendekati lelaki satunya. Ia tersenyum memandangi sosok yang kacau diatas ranjang. Sprei yang kusut sama dengan rambut pirangnya. Paha yang basah akibat keringat dan cairan bekas pelepasannya. Kedua tangan yang terikat diatas kepala terlihat bersusah payah untuk dilepaskan. Vibrator yang masih menyala dengan remotnya yang berada di tangan Sakusa. Volume paling tinggi.

Sakusa menjambak tumpukan surai pirang itu dan membuat Atsumu menatapnya. “Matiin? Ini hukuman buatmu karena banyak bertingkah, ngerti?”

Atsumu tidak menjawab dan hanya mengeluarkan desahan panjang. Sakusa menghela napas, akhirnya melepaskan ikatan tangan Atsumu yang kelewat kencang itu. Pergelangan tangan pemuda Miya itu sampai meninggalkan bekas berwarna merah. “You are a mess.”

Pandangan Atsumu buram sebab air mata. Melihat Sakusa yang bertelanjang dada duduk di tepi kasur. “Sini.” Tangan Atsumu ditarik dan dipaksa untuk menuruni ranjang. Kakinya begitu lemah sehingga ia langsung jatuh bersimpuh dihadapan Sakusa. Dadanya naik turun dan saliva menodai sudut bibir. Atsumu menatap Sakusa kebingungan dengan mata sayunya.

“Jangan sok polos, ini kan yang kamu mau? Suck it, Atsumu.”

Atsumu menelan salivanya dan membasahi bibir sebelum merangkak mendekati pangkal paha si ikal yang terbuka untuknya. “Hngh..” getaran dari vibrator masih mengusik meski volumenya kini sudah berkurang. Ia membuka risleting Sakusa dan menatap lapar seolah menyambut hidangan malam istimewa. Libidonya memuncak.

“Are you getting bigger?” Tanya Atsumu sembari tangannya perlahan memijat milik Sakusa. Lelaki rambut emas itu mulai memainkan lidahnya pada benda dalam genggamannya. Menyapukan saliva pada puncak hingga pangkal sampai Sakusa menggeram dibuatnya.

“Hah- ja..jangan dikerasin lagi.. mnghh omii!” Lenguhan kembali dilontarkan bibir ranum itu ketika tangan nakal Sakusa menaikkan lagi volume getaran mainannya.

Yang berambut legam mendorong belakang kepala Atsumu, mengarahkan wajahnya langsung pada benda milik Sakusa. Netranya mengisyaratkan untuk tidak berlama-lama atau hukuman Atsumu akan bertambah.

Atsumu mengulum milik Sakusa perlahan hingga desahannya teredam. Kedua mata tertutup dan membiarkan tangan Sakusa menuntunnya, mengeluar masukkan benda itu dalam rongga hangat Atsumu.

“Sshh.. Atsu-” berbagai racauan diucapkan Sakusa melihat bagaimana lihainya Atsumu bekerja. Bibir ranum itu dengan gencarnya memanjakan Sakusa membuat kepalanya kalut dan berkabut. Sakusa menarik senyum. Akhirnya Atsumu bungkam dan patuh pada ucapannya.

Dijauhkannya wajah Atsumu mengeluarkan Sakusa dari mulutnya. Wajah itu begitu erotis dengan perpaduan warna merah dan precum yang menghiasi sekitar bibir. Atsumu merajuk dan mengerucutkan bibirnya, meminta lebih karena Sakusa belum keluar.

“Lepas bajumu, naik ke kasur.”

Atsumu membaringkan punggungnya dalam keadaan telanjang bulat. Ia refleks membuka kedua lututnya untuk memberi Sakusa akses yang lebih mudah. Atsumu ingin Sakusa cepat-cepat merangsek masuk ke dalam ruang intimnya, mengoyak dan bergerak dalam dinding sempitnya.

Sakusa memposisikan diri, menunduk dan melayangkan ciuman lembut pada bibir Atsumu. Sakusa menatap lekat sepasang manik sewarna madu itu. Sosok dibawahnya kini tak berdaya dan hanya dapat dipandang oleh Sakusa saja. Bercak merah di leher dan pundak itu, serta sorot mata yang memohon itu. Hanya Sakusa yang dapat menikmati pesona Atsumu yang seperti ini.

Malam ini Atsumu hanya miliknya.

Dan ia harap malam berikutnya pun sama.

Jika bisa, besar keinginan untuk memiliki Atsumu sepenuhnya.

Sakusa kembali melumat bibir merah muda itu sembari tangannya perlahan mengeluarkan vibrator dari dalam Atsumu. Lenguhan pelan terdengar seperti helaan napas lega.

“I know you look pretty in pink, Tsumu. But you look even prettier when you are naked,” ujar Sakusa tepat di telinga si pirang.

“Omi.. cepetann hhh..”

“Tapi aku lupa beli kondom loh.”

Atsumu mendengus. “It's okay... i want you to fill me up, please..”

Jika raut muka dan kata-kata bisa membunuh, mungkin Sakusa sudah mati berkali-kali dibuatnya. Atsumu Miya itu berbahaya maka Sakusa tidak pernah bisa menolaknya.

Sakusa meletakkan salah satu kaki Atsumu di bahunya dan mengarahkan miliknya pada pintu masuk Atsumu. Lelaki itu mendorong masuk ke dalam ruang sempit milik Atsumu yang sudah basah dan licin menimbulkan erangan dari yang berambut emas.

“Move, faster... Kiyoomi- nghh hahhn..” lantunan kata lebih cepat, lagi dan Omi memenuhi ruangan ditengah kegiatan panas itu.

Pinggul Sakusa maju mundur dalam tempo cepat hingga suara decakan kulit menggema di udara. Perutnya seperti diaduk-aduk selagi dadanya bergemuruh hebat. Macam-macam racauan dan sumpah serapah dilontarkan ketika Atsumu menjepit miliknya di dalam. “Atsu- shit. Are you close..?”

Atsumu meremat sprei dengan kuat mendekati puncak kenikmatannya lagi. Sakusa berkali-kali menumbuk titik sensitifnya dan membuat kakinya gemetaran. “Omi, Omi, aku mau-”

Yang disebut namanya hanya mempercepat gerakannya, mengangkat paha Atsumu sampai hampir bersentuhan dengan dadanya yang membuat milik Sakusa bisa masuk lebih dalam lagi.

“Tu-tunggu! Omi- aghh.. slow down-” Atsumu sudah tak kuat lagi. Punggungnya membusur dan matanya terpejam menemui bintang-bintang. Cairan berwarna putih keluar lagi mengotori perutnya sementara mulutnya menganga dengan lenguhan panjang. Atsumu sudah mencapai batas, namun Sakusa masih senantiasa bergerak menanamkan bendanya memenuhi lubang milik Atsumu.

Merasakan benda itu berkedut di dalamnya, Atsumu tahu Sakusa sudah mendekati klimaksnya. “Inside, Omi... please,” ujar Atsumu ditengah erangan lemahnya.

Gerakan Sakusa memelan dan bibirnya melumat kulit di ceruk leher Atsumu. Ia dapat merasakan getaran tubuh lelaki pirang itu kala dirinya menemui pelepasan dan mengisi lubang hangat Atsumu.

Atsumu menghembuskan napas panjang dan memeluk pria diatasnya seolah tidak mau orang itu pergi meninggalkannya terkapar diatas ranjang. “Jangan pergi dulu, Omi,” lirihnya sembari mengatur napas. “Apa... hahh apa aku boleh jujur?”

Sakusa bangun dan menopang tubuh dengan kedua sikunya. Beradu pandang dengan Atsumu saat hidung mereka hampir bersentuhan. “Kenapa?”

Ragu-ragu, Atsumu menyugar rambut legam Sakusa dan mengelus pipinya. Ia tersenyum. Bukan senyuman sombong dan mengejek, namun senyuman hangat dan tulus yang hanya diperlihatnya untuk sesuatu yang dicintainya.

Sebab Atsumu benar-benar jatuh cinta pada detik yang melelahkan itu.

“I love you...” bisiknya.

Sakusa membelalak. Kiranya ia salah dengar tapi suara Atsumu begitu nyata untuk disebut halusinasi semata. “Tapi kontraknya-”

“Aku gak peduli. Aku selalu tersiksa setiap kali memendam semua ini, maaf...”

Ada raut gelisah dan takut dalam sorot mata Atsumu. Jatuh cinta selama menjalani kontrak sebagai friend with benefit berarti otomatis memutus ikatan mereka.

Sakusa menghela napas, dengan hati-hati mengeluarkan miliknya dari dalam Atsumu kemudian kembali menimpakan dirinya ditas Atsumu. Merasakan dada yang naik turun dan detak jantung yang saling berpadu. Sakusa mengecup leher jenjang Atsumu. “Kukira cuma aku yang ngerasa gitu,” sahut Sakusa.

Atsumu mengerjap kebingungan. “Eh? Maksudnya?”

Sakusa mengecup pipi, kening, hidung, sampai bibir Atsumu dengan gemas. “You are mine, Atsumu.”

Kemudian Atsumu terkekeh pelan setelah mengerti maksud tersembunyi dari partnernya ini. Ia menangkup kedua pipi Sakusa. “That's not how you say i love you, Omi.”

“Tapi kamu ngerti kan.”

“Iya. I'm yours, Kiyoomi.”

Pretty in Pink

enjoy your meal, horny people.

Satu hembusan napas dan mobil itu melaju lebih cepat. Hari sudah cukup gelap namun kota yang sibuk tidak akan pernah sepi dari sorot lampu kendaraan serta manusia yang berlalu lalang. Sakusa tengah berusaha menjernihkan pikirannya selagi berkendara ditengah hawa dingin malam hari yang menusuk kulit. Mengatur baik-baik napas dan dentum jantungnya agar tidak mengambil alih kelogisannya.

Kata-kata Miya Atsumu terbayang lagi dalam ketikannya beberapa menit yang lalu. Tak disangka ia akan bersedia bermain bersama orang selain Sakusa. Jika dipikir lagi, memang tidak ada aturan dalam kontrak mereka yang melarang salah satunya berhubungan dengan orang lain. Lalu kenapa Sakusa semarah ini?

Lelaki bersurai kelam itu menggeleng kuat ketika kata cemburu melintasi kepalanya. Mana mungkin. Hubungan mereka hanya sebatas teman bercinta tanpa ikatan kepemilikan. Hanya saling memuaskan nafsu tanpa pernyataan cinta yang tulus. Sakusa mendecak.

Apa Atsumu hanya mempermainkannya?

Segera setelah mobil mewah itu terparkir rapi, Sakusa memelesat menuju kamar apartemen milik Atsumu. Tidak aneh jika ia tahu password apartemennya mengingat kegiatan itu sering mereka lakukan disana. Maka, Sakusa dengan terburu menekan setiap nomor dan membuka pintu itu.

“Ba!”

Sakusa terperanjat menemukan Atsumu sudah berada tepat di depan matanya. Kerut di dahinya semakin dalam saat si pirang itu terkekeh geli, seolah tahu Sakusa pasti akan muncul dari balik pintu itu maka dirinya menunggu untuk bisa mengejutkannya.

Menyebalkan.

“Gimana penampilanku? Suka kan?” Atsumu berputar untuk memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya dalam balutan sweater merah muda yang kebesaran. Kalung lonceng melingkar manis di leher jenjangnya dan kaki mulus itu dipamerkan begitu saja tanpa kain apapun untuk menutupi.

“You look pretty,” sahut Sakusa sembari membelai pipi Atsumu.

Atsumu mengulas senyum miring. “Aku tau. Bukan cuma kamu yang bilang gitu,” ujarnya dengan sengaja membuat tatapan lembut dari netra gelap itu berubah.

Sakusa mencengkram kedua bahu si pirang dan mendorongnya dengan kasar hingga punggungnya menubruk pintu. “Mulutmu itu benar-benar mau disumpal sesuatu ya?” Tatapan Sakusa tajam, suaranya berat dan mengintimidasi.

Tapi Atsumu belum menyerah. Ia ingin melihat seberapa jauh Sakusa Kiyoomi bisa merasa cemburu. Atsumu balas menatap Sakusa dengan agak sayu dan nafsu. Senyuman masih tinggal tak kenal gentar. “Coba aja,” bisiknya.

Detik berikutnya, Sakusa sudah mendaratkan ciuman pada bibir manis Atsumu. Ciuman itu tidaklah pelan dan lembut, namun kasar dan memaksa. Satu tangan Sakusa memegang tengkuk Atsumu untuk memperdalam ciuman mereka. Saling melumat dan beradu lidah, napas yang terengah-engah, hingga saliva mengalir dari sudut bibir. Atsumu mendorong tubuh Sakusa karena kehabisan napas, jantungnya bergemuruh dan otaknya tidak bisa berpikir jernih lagi.

“Omi- mmh..”

Sakusa tidak membiarkan Atsumu bicara barang satu kata saja, lagi-lagi mulutnya dibungkam dalam ciuman panas bahkan sekujur tubuhnya pun dijalari kalor bersuhu tinggi. Meski begitu, Atsumu tidak menolak. Sentuhan itu, perkataan, aroma tubuh dan tatapan tajamnya, serta ciuman yang terkesan kasar, tidak ada yang bisa memuaskan Atsumu Miya melebihi Sakusa. Adalah salah satu alasan mengapa Atsumu menerima hubungan macam ini dengannya.

“Ahh..” Atsumu tersentak kaget saat lutut Sakusa berada diantara pahanya, menekan bagian bawahnya yang sudah setengah tegang. “Omi... ngh- not here..” racau Atsumu sembari lehernya disinggahi oleh bibir nakal sang dominan.

Terlalu banyak. Sakusa menelusuri setiap lekuk tubuh Atsumu yang sensitif. Tangan kirinya memainkan dada Atsumu sementara yang satunya meremas bokongnya. Lututnya masih gencang bergesekan pada selangkangan Atsumu dan lidahnya kini mencecapi pundak yang lebih pendek. Putra Miya itu dibuat tak berdaya dalam kendalinya. Terlalu banyak stimulasi yang diberikan Kiyoomi padanya.

“Omi, omi, please..”

“Kenapa? Kemana ucapan nakalmu yang tadi hm? Gabisa ngomong apa-apa selain namaku?” Ketus Sakusa dingin. Napasnya beradu dengan permukaan kulit Atsumu sementara yang ditanyai napasnya tercekat. “Ke kamar,” titahnya.

Atsumu menghembuskan napas panjang. “Kamu juga gak sabaran kan?” Tanyanya lagi-lagi menggoda pertahanan Sakusa dengan wajah merah nan erotisnya.

Sakusa menaikkan sebelah alis dengan tatapan santai. “Siapa bilang? Aku mau mandi.”

Hah? Netra madu itu jelas menampakkan kebingungan seolah tak yakin dengan pendengarannya barusan. Mau mandi katanya? Disaat Atsumu sudah hampir mencapai puncak dengan segala rangsangan yang diterima, saat dirinya sudah dibuat berantakan sampai-sampai selangkangannya terasa basah, lelaki ini mau membuatnya menunggu lagi? Yang benar saja.

Padahal Atsumu pikir partner sexnya itu sudah dikalahkan oleh hasrat dan hawa nafsu. Atsumu menelan saliva. Dari tenangnya raut Sakusa saat ini, Atsumu bisa menebak bahwa itu bukan hanya tindakan untuk membuatnya kesal, namun ada sesuatu yang lain dalam pikiran kotornya saat ini.

Sepertinya Atsumu dalam bahaya.

“Nghh... stop- AKHH!” Lagi-lagi Atsumu mencapai pelepasannya tanpa disentuh sedikitpun. Napasnya hampir habis, sekujur tubuh gemetar hebat dan keringat membasahi permukaan kulit. Sweater merah muda yang ia kenakan sudah ternodai cairan putih, begitu juga dengan sprei putihnya yang kini berantakan.

Atsumu tengah tersiksa dalam tiga puluh menit yang terasa seperti selamanya. Tak kuasa melakukan apapun selagi benda di dalam lubangnya terus bergetar dalam volume yang tinggi, membuat tubuhnya menggelinjang ditengah desah dan pekikan. Kedua tangannya terikat kuat di kepala ranjang, jadi tinggal menunggu waktu saja sampai ia kehilangan kesadaran jika sosok yang ditunggu tidak kunjung keluar dari kamar mandi.

Air mata menetes dari ekor matanya. Atsumu terisak memohon agar vibrator yang tertanam dalam tubuhnya itu berhenti, tapi justru badannya sendiri yang tak mau berhenti menggesekkan bagian bawahnya di kasur. Sengaja agar benda itu masuk lebih dalam dan mengejar klimaksnya.

“Omii.. aghh... e-enough..” jari-jari kaki Atsumu menekuk, wajahnya merah padam. Sakusa masih belum menampakkan diri untuk memenuhi hasrat Atsumu. Untuk menyentuh dan menandai tubuh Atsumu dengan lebih banyak bercak merah. Untuk meletakkan kaki jenjang Atsumu pada bahunya selagi dirinya merangsek masuk memenuhi lubang Atsumu. Untuk melantunkan berbagai racauan dan saling memanggil nama seperti sebuah mantra.

Atsumu menginginkan Sakusa. Ingin memeluk dan menciumi setiap jengkal wajahnya. Ingin merasakan hangat dan aroma wangi dari sabun mandinya. Ingin melihat senyuman lembut yang pernah terukir saat sedang menikmati tayangan televisi berdua. Atsumu ingin menghabiskan malam ini dengan Sakusa, bagaimanapun caranya. Apapun kegiatannya. Bahkan jika hanya duduk berhadapan dengan sajian makan malam sederhana atau merusak tatanan kasur dengan panasnya kegiatan bercinta.

Atsumu ingin melakukan semuanya bersama Sakusa.

Atsumu ingin memiliki-

“Are you done?”

Seperti terkena sengatan listrik, Atsumu melonjak kaget mendengar suara berat yang menginterupsi imajinasinya. “Omii?” Ia masih melantunkan desahan sepanjang getaran itu masih menetap. “Omi hhh.. m-matiin... pleaseee,” pinta si surai emas yang sudah kelelahan.

Sakusa menutup pintu di belakangnya dan berjalan mendekati lelaki satunya. Ia tersenyum memandangi sosok yang kacau diatas ranjang. Sprei yang kusut sama dengan rambut pirangnya. Paha yang basah akibat keringat dan cairan bekas pelepasannya. Kedua tangan yang terikat diatas kepala terlihat bersusah payah untuk dilepaskan. Vibrator yang masih menyala dengan remotnya yang berada di tangan Sakusa. Volume paling tinggi.

Sakusa menjambak tumpukan surai pirang itu dan membuat Atsumu menatapnya. “Matiin? Ini hukuman buatmu karena banyak bertingkah, ngerti?”

Atsumu tidak menjawab dan hanya mengeluarkan desahan panjang. Sakusa menghela napas, akhirnya melepaskan ikatan tangan Atsumu yang kelewat kencang itu. Pergelangan tangan pemuda Miya itu sampai meninggalkan bekas berwarna merah. “You are a mess.”

Pandangan Atsumu buram sebab air mata. Melihat Sakusa yang bertelanjang dada duduk di tepi kasur. “Sini.” Tangan Atsumu ditarik dan dipaksa untuk menuruni ranjang. Kakinya begitu lemah sehingga ia langsung jatuh bersimpuh dihadapan Sakusa. Dadanya naik turun dan saliva menodai sudut bibir. Atsumu menatap Sakusa kebingungan dengan mata sayunya.

“Jangan sok polos, ini kan yang kamu mau? Suck it, Atsumu.”

Atsumu menelan salivanya dan membasahi bibir sebelum merangkak mendekati pangkal paha si ikal yang terbuka untuknya. “Hngh..” getaran dari vibrator masih mengusik meski volumenya kini sudah berkurang. Ia membuka risleting Sakusa dan menatap lapar seolah menyambut hidangan malam istimewa. Libidonya memuncak.

“Are you getting bigger?” Tanya Atsumu sembari tangannya perlahan memijat milik Sakusa. Lelaki rambut emas itu mulai memainkan lidahnya pada benda dalam genggamannya. Menyapukan saliva pada puncak hingga pangkal sampai Sakusa menggeram dibuatnya.

“Hah- ja..jangan dikerasin lagi.. mnghh omii!” Lenguhan kembali dilontarkan bibir ranum itu ketika tangan nakal Sakusa menaikkan lagi volume getaran mainannya.

Yang berambut legam mendorong belakang kepala Atsumu, mengarahkan wajahnya langsung pada benda milik Sakusa. Netranya mengisyaratkan untuk tidak berlama-lama atau hukuman Atsumu akan bertambah.

Atsumu mengulum milik Sakusa perlahan hingga desahannya teredam. Kedua mata tertutup dan membiarkan tangan Sakusa menuntunnya, mengeluar masukkan benda itu dalam rongga hangat Atsumu.

“Sshh.. Atsu-” berbagai racauan diucapkan Sakusa melihat bagaimana lihainya Atsumu bekerja. Bibir ranum itu dengan gencarnya memanjakan Sakusa membuat kepalanya kalut dan berkabut. Sakusa menarik senyum. Akhirnya Atsumu bungkam dan patuh pada ucapannya.

Dijauhkannya wajah Atsumu mengeluarkan Sakusa dari mulutnya. Wajah itu begitu erotis dengan perpaduan warna merah dan precum yang menghiasi sekitar bibir. Atsumu merajuk dan mengerucutkan bibirnya, meminta lebih karena Sakusa belum keluar.

“Lepas bajumu, naik ke kasur.”

Atsumu membaringkan punggungnya dalam keadaan telanjang bulat. Ia refleks membuka kedua lututnya untuk memberi Sakusa akses yang lebih mudah. Atsumu ingin Sakusa cepat-cepat merangsek masuk ke dalam ruang intimnya, mengoyak dan bergerak dalam dinding sempitnya.

Sakusa memposisikan diri, menunduk dan melayangkan ciuman lembut pada bibir Atsumu. Sakusa menatap lekat sepasang manik sewarna madu itu. Sosok dibawahnya kini tak berdaya dan hanya dapat dipandang oleh Sakusa saja. Bercak merah di leher dan pundak itu, serta sorot mata yang memohon itu. Hanya Sakusa yang dapat menikmati pesona Atsumu yang seperti ini.

Malam ini Atsumu hanya miliknya.

Dan ia harap malam berikutnya pun sama.

Jika bisa, besar keinginan untuk memiliki Atsumu sepenuhnya.

Sakusa kembali melumat bibir merah muda itu sembari tangannya perlahan mengeluarkan vibrator dari dalam Atsumu. Lenguhan pelan terdengar seperti helaan napas lega.

“I know you look pretty in pink, Tsumu. But you look even prettier when you are naked,” ujar Sakusa tepat di telinga si pirang.

“Omi.. cepetann hhh..”

“Tapi aku lupa beli kondom loh.”

Atsumu mendengus. “It's okay... i want you to fill me up, please..”

Jika raut muka dan kata-kata bisa membunuh, mungkin Sakusa sudah mati berkali-kali dibuatnya. Atsumu Miya itu berbahaya maka Sakusa tidak pernah bisa menolaknya.

Sakusa meletakkan salah satu kaki Atsumu di bahunya dan mengarahkan miliknya pada pintu masuk Atsumu. Lelaki itu mendorong masuk ke dalam ruang sempit milik Atsumu yang sudah basah dan licin menimbulkan erangan dari yang berambut emas.

“Move, faster... Kiyoomi- nghh hahhn..” lantunan kata lebih cepat, lagi dan Omi memenuhi ruangan ditengah kegiatan panas itu.

Pinggul Sakusa maju mundur dalam tempo cepat hingga suara decakan kulit menggema di udara. Perutnya seperti diaduk-aduk selagi dadanya bergemuruh hebat. Macam-macam racauan dan sumpah serapah dilontarkan ketika Atsumu menjepit miliknya di dalam. “Atsu- shit. Are you close..?”

Atsumu meremat sprei dengan kuat mendekati puncak kenikmatannya lagi. Sakusa berkali-kali menumbuk titik sensitifnya dan membuat kakinya gemetaran. “Omi, Omi, aku mau-”

Yang disebut namanya hanya mempercepat gerakannya, mengangkat paha Atsumu sampai hampir bersentuhan dengan dadanya yang membuat milik Sakusa bisa masuk lebih dalam lagi.

“Tu-tunggu! Omi- aghh.. slow down-” Atsumu sudah tak kuat lagi. Punggungnya membusur dan matanya terpejam menemui bintang-bintang. Cairan berwarna putih keluar lagi mengotori perutnya sementara mulutnya menganga dengan lenguhan panjang. Atsumu sudah mencapai batas, namun Sakusa masih senantiasa bergerak menanamkan bendanya memenuhi lubang milik Atsumu.

Merasakan benda itu berkedut di dalamnya, Atsumu tahu Sakusa sudah mendekati klimaksnya. “Inside, Omi... please,” ujar Atsumu ditengah erangan lemahnya.

Gerakan Sakusa memelan dan bibirnya melumat kulit di ceruk leher Atsumu. Ia dapat merasakan getaran tubuh lelaki pirang itu kala dirinya menemui pelepasan dan mengisi lubang hangat Atsumu.

Atsumu menghembuskan napas panjang dan memeluk pria diatasnya seolah tidak mau orang itu pergi meninggalkannya terkapar diatas ranjang. “Jangan pergi dulu, Omi,” lirihnya sembari mengatur napas. “Apa... hahh apa aku boleh jujur?”

Sakusa bangun dan menopang tubuh dengan kedua sikunya. Beradu pandang dengan Atsumu saat hidung mereka hampir bersentuhan. “Kenapa?”

Ragu-ragu, Atsumu menyugar rambut legam Sakusa dan mengelus pipinya. Ia tersenyum. Bukan senyuman sombong dan mengejek, namun senyuman hangat dan tulus yang hanya diperlihatnya untuk sesuatu yang dicintainya.

Sebab Atsumu benar-benar jatuh cinta pada detik yang melelahkan itu.

“I love you...” bisiknya.

Sakusa membelalak. Kiranya ia salah dengar tapi suara Atsumu begitu nyata untuk disebut halusinasi semata. “Tapi kontraknya-”

“Aku gak peduli. Aku selalu tersiksa setiap kali memendam semua ini, maaf...”

Ada raut gelisah dan takut dalam sorot mata Atsumu. Jatuh cinta selama menjalani kontrak sebagai friend with benefit berarti otomatis memutus ikatan mereka.

Sakusa menghela napas, dengan hati-hati mengeluarkan miliknya dari dalam Atsumu kemudian kembali menimpakan dirinya ditas Atsumu. Merasakan dada yang naik turun dan detak jantung yang saling berpadu. Sakusa mengecup leher jenjang Atsumu. “Kukira cuma aku yang ngerasa gitu,” sahut Sakusa.

Atsumu mengerjap kebingungan. “Eh? Maksudnya?”

Sakusa mengecup pipi, kening, hidung, sampai bibir Atsumu dengan gemas. “You are mine, Atsumu.”

Kemudian Atsumu terkekeh pelan setelah mengerti maksud tersembunyi dari partnernya ini. Ia menangkup kedua pipi Sakusa. “That's not how you say i love you, Omi.”

“Tapi kamu ngerti kan.”

“Iya. I'm yours, Kiyoomi.”

Pretty in Pink

enjoy your meal, horny people.

Satu hembusan napas dan mobil itu melaju lebih cepat. Hari sudah cukup gelap namun kota yang sibuk tidak akan pernah sepi dari sorot lampu kendaraan serta manusia yang berlalu lalang. Sakusa tengah berusaha menjernihkan pikirannya selagi berkendara ditengah hawa dingin malam hari yang menusuk kulit. Mengatur baik-baik napas dan dentum jantungnya agar tidak mengambil alih kelogisannya.

Kata-kata Miya Atsumu terbayang lagi dalam ketikannya beberapa menit yang lalu. Tak disangka ia akan bersedia bermain bersama orang selain Sakusa. Jika dipikir lagi, memang tidak ada aturan dalam kontrak mereka yang melarang salah satunya berhubungan dengan orang lain. Lalu kenapa Sakusa semarah ini?

Lelaki bersurai kelam itu menggeleng kuat ketika kata cemburu melintasi kepalanya. Mana mungkin. Hubungan mereka hanya sebatas teman bercinta tanpa ikatan kepemilikan. Hanya saling memuaskan nafsu tanpa pernyataan cinta yang tulus. Sakusa mendecak.

Apa Atsumu hanya mempermainkannya?

Segera setelah mobil mewah itu terparkir rapi, Sakusa memelesat menuju kamar apartemen milik Atsumu. Tidak aneh jika ia tahu password apartemennya mengingat kegiatan itu sering mereka lakukan disana. Maka, Sakusa dengan terburu menekan setiap nomor dan membuka pintu itu.

“Ba!”

Sakusa terperanjat menemukan Atsumu sudah berada tepat di depan matanya. Kerut di dahinya semakin dalam saat si pirang itu terkekeh geli, seolah tahu Sakusa pasti akan muncul dari balik pintu itu maka dirinya menunggu untuk bisa mengejutkannya.

Menyebalkan.

“Gimana penampilanku? Suka kan?” Atsumu berputar untuk memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya dalam balutan sweater merah muda yang kebesaran. Kalung lonceng melingkar manis di leher jenjangnya dan kaki mulus itu dipamerkan begitu saja tanpa kain apapun untuk menutupi.

“You look pretty,” sahut Sakusa sembari membelai pipi Atsumu.

Atsumu mengulas senyum miring. “Aku tau. Bukan cuma kamu yang bilang gitu,” ujarnya dengan sengaja membuat tatapan lembut dari netra gelap itu berubah.

Sakusa mencengkram kedua bahu si pirang dan mendorongnya dengan kasar hingga punggungnya menubruk pintu. “Mulutmu itu benar-benar mau disumpal sesuatu ya?” Tatapan Sakusa tajam, suaranya berat dan mengintimidasi.

Tapi Atsumu belum menyerah. Ia ingin melihat seberapa jauh Sakusa Kiyoomi bisa merasa cemburu. Atsumu balas menatap Sakusa dengan agak sayu dan nafsu. Senyuman masih tinggal tak kenal gentar. “Coba aja,” bisiknya.

Detik berikutnya, Sakusa sudah mendaratkan ciuman pada bibir manis Atsumu. Ciuman itu tidaklah pelan dan lembut, namun kasar dan memaksa. Satu tangan Sakusa memegang tengkuk Atsumu untuk memperdalam ciuman mereka. Saling melumat dan beradu lidah, napas yang terengah-engah, hingga saliva mengalir dari sudut bibir. Atsumu mendorong tubuh Sakusa karena kehabisan napas, jantungnya bergemuruh dan otaknya tidak bisa berpikir jernih lagi.

“Omi- mmh..”

Sakusa tidak membiarkan Atsumu bicara barang satu kata saja, lagi-lagi mulutnya dibungkam dalam ciuman panas bahkan sekujur tubuhnya pun dijalari kalor bersuhu tinggi. Meski begitu, Atsumu tidak menolak. Sentuhan itu, perkataan, aroma tubuh dan tatapan tajamnya, serta ciuman yang terkesan kasar, tidak ada yang bisa memuaskan Atsumu Miya melebihi Sakusa. Adalah salah satu alasan mengapa Atsumu menerima hubungan macam ini dengannya.

“Ahh..” Atsumu tersentak kaget saat lutut Sakusa berada diantara pahanya, menekan bagian bawahnya yang sudah setengah tegang. “Omi... ngh- not here..” racau Atsumu sembari lehernya disinggahi oleh bibir nakal sang dominan.

Terlalu banyak. Sakusa menelusuri setiap lekuk tubuh Atsumu yang sensitif. Tangan kirinya memainkan dada Atsumu sementara yang satunya meremas bokongnya. Lututnya masih gencang bergesekan pada selangkangan Atsumu dan lidahnya kini mencecapi pundak yang lebih pendek. Putra Miya itu dibuat tak berdaya dalam kendalinya. Terlalu banyak stimulasi yang diberikan Kiyoomi padanya.

“Omi, omi, please..”

“Kenapa? Kemana ucapan nakalmu yang tadi hm? Gabisa ngomong apa-apa selain namaku?” Ketus Sakusa dingin. Napasnya beradu dengan permukaan kulit Atsumu sementara yang ditanyai napasnya tercekat. “Ke kamar,” titahnya.

Atsumu menghembuskan napas panjang. “Kamu juga gak sabaran kan?” Tanyanya lagi-lagi menggoda pertahanan Sakusa dengan wajah merah nan erotisnya.

Sakusa menaikkan sebelah alis dengan tatapan santai. “Siapa bilang? Aku mau mandi.”

Hah? Netra madu itu jelas menampakkan kebingungan seolah tak yakin dengan pendengarannya barusan. Mau mandi katanya? Disaat Atsumu sudah hampir mencapai puncak dengan segala rangsangan yang diterima, saat dirinya sudah dibuat berantakan sampai-sampai selangkangannya terasa basah, lelaki ini mau membuatnya menunggu lagi? Yang benar saja.

Padahal Atsumu pikir partner sexnya itu sudah dikalahkan oleh hasrat dan hawa nafsu. Atsumu menelan saliva. Dari tenangnya raut Sakusa saat ini, Atsumu bisa menebak bahwa itu bukan hanya tindakan untuk membuatnya kesal, namun ada sesuatu yang lain dalam pikiran kotornya saat ini.

Sepertinya Atsumu dalam bahaya.

“Nghh... stop- AKHH!” Lagi-lagi Atsumu mencapai pelepasannya tanpa disentuh sedikitpun. Napasnya hampir habis, sekujur tubuh gemetar hebat dan keringat membasahi permukaan kulit. Sweater merah muda yang ia kenakan sudah ternodai cairan putih, begitu juga dengan sprei putihnya yang kini berantakan.

Atsumu tengah tersiksa dalam tiga puluh menit yang terasa seperti selamanya. Tak kuasa melakukan apapun selagi benda di dalam lubangnya terus bergetar dalam volume yang tinggi, membuat tubuhnya menggelinjang ditengah desah dan pekikan. Kedua tangannya terikat kuat di kepala ranjang, jadi tinggal menunggu waktu saja sampai ia kehilangan kesadaran jika sosok yang ditunggu tidak kunjung keluar dari kamar mandi.

Air mata menetes dari ekor matanya. Atsumu terisak memohon agar vibrator yang tertanam dalam tubuhnya itu berhenti, tapi justru badannya sendiri yang tak mau berhenti menggesekkan bagian bawahnya di kasur. Sengaja agar benda itu masuk lebih dalam dan mengejar klimaksnya.

“Omii.. aghh... e-enough..” jari-jari kaki Atsumu menekuk, wajahnya merah padam. Sakusa masih belum menampakkan diri untuk memenuhi hasrat Atsumu. Untuk menyentuh dan menandai tubuh Atsumu dengan lebih banyak bercak merah. Untuk meletakkan kaki jenjang Atsumu pada bahunya selagi dirinya merangsek masuk memenuhi lubang Atsumu. Untuk melantunkan berbagai racauan dan saling memanggil nama seperti sebuah mantra.

Atsumu menginginkan Sakusa. Ingin memeluk dan menciumi setiap jengkal wajahnya. Ingin merasakan hangat dan aroma wangi dari sabun mandinya. Ingin melihat senyuman lembut yang pernah terukir saat sedang menikmati tayangan televisi berdua. Atsumu ingin menghabiskan malam ini dengan Sakusa, bagaimanapun caranya. Apapun kegiatannya. Bahkan jika hanya duduk berhadapan dengan sajian makan malam sederhana atau merusak tatanan kasur dengan panasnya kegiatan bercinta.

Atsumu ingin melakukan semuanya bersama Sakusa.

Atsumu ingin memiliki-

“Are you done?”

Seperti terkena sengatan listrik, Atsumu melonjak kaget mendengar suara berat yang menginterupsi imajinasinya. “Omii?” Ia masih melantunkan desahan sepanjang getaran itu masih menetap. “Omi hhh.. m-matiin... pleaseee,” pinta si surai emas yang sudah kelelahan.

Sakusa menutup pintu di belakangnya dan berjalan mendekati lelaki satunya. Ia tersenyum memandangi sosok yang kacau diatas ranjang. Sprei yang kusut sama dengan rambut pirangnya. Paha yang basah akibat keringat dan cairan bekas pelepasannya. Kedua tangan yang terikat diatas kepala terlihat bersusah payah untuk dilepaskan. Vibrator yang masih menyala dengan remotnya yang berada di tangan Sakusa. Volume paling tinggi.

Sakusa menjambak tumpukan surai pirang itu dan membuat Atsumu menatapnya. “Matiin? Ini hukuman buatmu karena banyak bertingkah, ngerti?”

Atsumu tidak menjawab dan hanya mengeluarkan desahan panjang. Sakusa menghela napas, akhirnya melepaskan ikatan tangan Atsumu yang kelewat kencang itu. Pergelangan tangan pemuda Miya itu sampai meninggalkan bekas berwarna merah. “You are a mess.”

Pandangan Atsumu buram sebab air mata. Melihat Sakusa yang bertelanjang dada duduk di tepi kasur. “Sini.” Tangan Atsumu ditarik dan dipaksa untuk menuruni ranjang. Kakinya begitu lemah sehingga ia langsung jatuh bersimpuh dihadapan Sakusa. Dadanya naik turun dan saliva menodai sudut bibir. Atsumu menatap Sakusa kebingungan dengan mata sayunya.

“Jangan sok polos, ini kan yang kamu mau? Suck it, Atsumu.”

Atsumu menelan salivanya dan membasahi bibir sebelum merangkak mendekati pangkal paha si ikal yang terbuka untuknya. “Hngh..” getaran dari vibrator masih mengusik meski volumenya kini sudah berkurang. Ia membuka risleting Sakusa dan menatap lapar seolah menyambut hidangan malam istimewa. Libidonya memuncak.

“Are you getting bigger?” Tanya Atsumu sembari tangannya perlahan memijat milik Sakusa. Lelaki rambut emas itu mulai memainkan lidahnya pada benda dalam genggamannya. Menyapukan saliva pada puncak hingga pangkal sampai Sakusa menggeram dibuatnya.

“Hah- ja..jangan dikerasin lagi.. mnghh omii!” Lenguhan kembali dilontarkan bibir ranum itu ketika tangan nakal Sakusa menaikkan lagi volume getaran mainannya.

Yang berambut legam mendorong belakang kepala Atsumu, mengarahkan wajahnya langsung pada benda milik Sakusa. Netranya mengisyaratkan untuk tidak berlama-lama atau hukuman Atsumu akan bertambah.

Atsumu mengulum milik Sakusa perlahan hingga desahannya teredam. Kedua mata tertutup dan membiarkan tangan Sakusa menuntunnya, mengeluar masukkan benda itu dalam rongga hangat Atsumu.

“Sshh.. Atsu-” berbagai racauan diucapkan Sakusa melihat bagaimana lihainya Atsumu bekerja. Bibir ranum itu dengan gencarnya memanjakan Sakusa membuat kepalanya kalut dan berkabut. Sakusa menarik senyum. Akhirnya Atsumu bungkam dan patuh pada ucapannya.

Dijauhkannya wajah Atsumu mengeluarkan Sakusa dari mulutnya. Wajah itu begitu erotis dengan perpaduan warna merah dan precum yang menghiasi sekitar bibir. Atsumu merajuk dan mengerucutkan bibirnya, meminta lebih karena Sakusa belum keluar.

“Lepas bajumu, naik ke kasur.”

Atsumu membaringkan punggungnya dalam keadaan telanjang bulat. Ia refleks membuka kedua lututnya untuk memberi Sakusa akses yang lebih mudah. Atsumu ingin Sakusa cepat-cepat merangsek masuk ke dalam ruang intimnya, mengoyak dan bergerak dalam dinding sempitnya.

Sakusa memposisikan diri, menunduk dan melayangkan ciuman lembut pada bibir Atsumu. Sakusa menatap lekat sepasang manik sewarna madu itu. Sosok dibawahnya kini tak berdaya dan hanya dapat dipandang oleh Sakusa saja. Bercak merah di leher dan pundak itu, serta sorot mata yang memohon itu. Hanya Sakusa yang dapat menikmati pesona Atsumu yang seperti ini.

Malam ini Atsumu hanya miliknya.

Dan ia harap malam berikutnya pun sama.

Jika bisa, besar keinginan untuk memiliki Atsumu sepenuhnya.

Sakusa kembali melumat bibir merah muda itu sembari tangannya perlahan mengeluarkan vibrator dari dalam Atsumu. Lenguhan pelan terdengar seperti helaan napas lega.

“I know you look pretty in pink, Tsumu. But you look even prettier when you are naked,” ujar Sakusa tepat di telinga si pirang.

“Omi.. cepetann hhh..”

“Tapi aku lupa beli kondom loh.”

Atsumu mendengus. “It's okay... i want you to fill me up, please..”

Jika raut muka dan kata-kata bisa membunuh, mungkin Sakusa sudah mati berkali-kali dibuatnya. Atsumu Miya itu berbahaya maka Sakusa tidak pernah bisa menolaknya.

Sakusa meletakkan salah satu kaki Atsumu di bahunya dan mengarahkan miliknya pada pintu masuk Atsumu. Lelaki itu mendorong masuk ke dalam ruang sempit milik Atsumu yang sudah basah dan licin menimbulkan erangan dari yang berambut emas.

“Move, faster... Kiyoomi- nghh hahhn..” lantunan kata lebih cepat, lagi dan Omi memenuhi ruangan ditengah kegiatan panas itu.

Pinggul Sakusa maju mundur dalam tempo cepat hingga suara decakan kulit menggema di udara. Perutnya seperti diaduk-aduk selagi dadanya bergemuruh hebat. Macam-macam racauan dan sumpah serapah dilontarkan ketika Atsumu menjepit miliknya di dalam. “Atsu- shit. Are you close..?”

Atsumu meremat sprei dengan kuat mendekati puncak kenikmatannya lagi. Sakusa berkali-kali menumbuk titik sensitifnya dan membuat kakinya gemetaran. “Omi, Omi, aku mau-”

Yang disebut namanya hanya mempercepat gerakannya, mengangkat paha Atsumu sampai hampir bersentuhan dengan dadanya yang membuat milik Sakusa bisa masuk lebih dalam lagi.

“Tu-tunggu! Omi- aghh.. slow down-” Atsumu sudah tak kuat lagi. Punggungnya membusur dan matanya terpejam menemui bintang-bintang. Cairan berwarna putih keluar lagi mengotori perutnya sementara mulutnya menganga dengan lenguhan panjang. Atsumu sudah mencapai batas, namun Sakusa masih senantiasa bergerak menanamkan bendanya memenuhi lubang milik Atsumu.

Merasakan benda itu berkedut di dalamnya, Atsumu tahu Sakusa sudah mendekati klimaksnya. “Inside, Omi... please,” ujar Atsumu ditengah erangan lemahnya.

Gerakan Sakusa memelan dan bibirnya melumat kulit di ceruk leher Atsumu. Ia dapat merasakan getaran tubuh lelaki pirang itu kala dirinya menemui pelepasan dan mengisi lubang hangat Atsumu.

Atsumu menghembuskan napas panjang dan memeluk pria diatasnya seolah tidak mau orang itu pergi meninggalkannya terkapar diatas ranjang. “Jangan pergi dulu, Omi,” lirihnya sembari mengatur napas. “Apa... hahh apa aku boleh jujur?”

Sakusa bangun dan menopang tubuh dengan kedua sikunya. Beradu pandang dengan Atsumu saat hidung mereka hampir bersentuhan. “Kenapa?”

Ragu-ragu, Atsumu menyugar rambut legam Sakusa dan mengelus pipinya. Ia tersenyum. Bukan senyuman sombong dan mengejek, namun senyuman hangat dan tulus yang hanya diperlihatnya untuk sesuatu yang dicintainya.

Sebab Atsumu benar-benar jatuh cinta pada detik yang melelahkan itu.

“I love you...” bisiknya.

Sakusa membelalak. Kiranya ia salah dengar tapi suara Atsumu begitu nyata untuk disebut halusinasi semata. “Tapi kontraknya-”

“Aku gak peduli. Aku selalu tersiksa setiap kali memendam semua ini, maaf...”

Ada raut gelisah dan takut dalam sorot mata Atsumu. Jatuh cinta selama menjalani kontrak sebagai friend with benefit berarti otomatis memutus ikatan mereka.

Sakusa menghela napas, dengan hati-hati mengeluarkan miliknya dari dalam Atsumu kemudian kembali menimpakan dirinya ditas Atsumu. Merasakan dada yang naik turun dan detak jantung yang saling berpadu. Sakusa mengecup leher jenjang Atsumu. “Kukira cuma aku yang ngerasa gitu,” sahut Sakusa.

Atsumu mengerjap kebingungan. “Eh? Maksudnya?”

Sakusa mengecup pipi, kening, hidung, sampai bibir Atsumu dengan gemas. “You are mine, Atsumu.”

Kemudian Atsumu terkekeh pelan setelah mengerti maksud tersembunyi dari partnernya ini. Ia menangkup kedua pipi Sakusa. “That's not how you say i love you, Omi.”

“Tapi kamu ngerti kan.”

“Iya. I'm yours, Kiyoomi.”

Night breeze and the twins.

“Lo bakal baik-baik aja meski gue gaada.”

Osamu mengernyit bingung dengan satu kalimat itu. Disebelahnya, Atsumu hanya tertunduk lesu tanpa ingin melanjutkan bicara. Osamu menghela napas. “Gausah sok tau,” ketusnya membantah. “Berhenti bikin asumsi kayak gitu seolah lo udah pernah liat masa depan.”

“Tapi lo selalu bilang gue bakal sembuh, bakal baik-baik aja, bisa main voli lagi padahal lo tau itu gak bener. Lalu kenapa lo harus bohongin gue?” Sorot matanya mengarah pada Osamu, marah sekaligus putus asa. “Gue tau gue gabisa sembuh. Semakin hari cuma tambah parah dan badan gue makin lemah, jadi-”

Osamu mencengkram kedua bahu saudaranya. Memohon untuk tidak melanjutkan kalimatnya lebih jauh sebab semakin banyak yang terlontar, semakin besar sayatan yang dirinya terima dan semakin sesak ulu hatinya. Osamu tidak ingin mendengarnya lebih banyak dari itu.

Osamu mengerti. Pemuda itu hanya bisa berharap pada sebuah kemustahilan dan kembarannya bisa pulih kembali. Ia ingin menutup mata dan telinga dengan harapan ini hanyalah mimpi. “Tsumu.. udah cukup.”

Atsumu menggigit bibir kala dadanya mencelos, saling beradu pandang dengan si surai abu. “Jadi gue harus gimana, Samu?” Pandangannya buram oleh air mata yang mulai membendung dan emosinya bercampur membuat kepalanya kalut.

Hanya dua insan dengan rupa yang sama dan nasib yang berbeda. Dalam kamar sepi dibawah gelapnya malam yang melingkupi. Canda tawa beberapa menit yang lalu kini berganti dengan sunyi yang mencekam, sebab keduanya tengah ditelan oleh keputusasaan.

“Tsumu, kita dilahirkan bersama dan hidup bersama. Kita udah melewati berbagai rintangan dan kesenangan bersama. Kita bermain, berantem, tertawa dan sedih bersama. Kita sama-sama bersorak saat tim unggulan kita menang, kita sama-sama menangis saat Bunda ninggalin kita. Kita ke sekolah bareng, makan bareng dan main game bareng,” Osamu menarik napasnya. “Kenapa lo berpikir untuk ninggalin gue? Setelah itu, gue cuma akan nangis sendirian.”

“Jangan nangis, Samu.”

“Gue akan makan sendirian, berangkat sekolah sendirian dan ngelewatin semuanya sendirian. Kalau gue jatuh... siapa yang akan bantuin gue?” Cengkramannya semakim erat seolah Atsumu akan menghilang jika ia lepaskan. “Gue gak bohong...” lirihnya. “Bilang aja gue naif karena berharap lo bisa sembuh tapi gak ada satupun dari perkataan gue yang bohong Tsum.”

Atsumu kembali menunduk tak kuasa melihat wajah saudaranya. “Gue takut. Setiap malem gue selalu takut untuk tidur, kebangun karena mimpi buruk dan gak berani nutup mata lagi,” tuturnya pelan. “Gue takut gabisa bangun lagi kalau tidur, takut gabisa buka mata lagi...”

“Lo pasti bangun. Lo gaakan pergi dengan cara kayak gitu.”

Atsumu mengepal tangan dan menggigit bibirnya semakin kuat demi meredam isakannya. Ia bergerak dan menyandarkan dahi pada bahu Osamu, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tak sendirian.

Bahwa orang tersayangnya sedang disana dan mendekapnya erat.

“Samu...” suaranya terdengar seperti bisikan. Napas hangat menyapa permukaan kulit si abu. “Gue masih mau bangun pagi dan berangkat sekolah. Lalu latihan voli dan makan onigiri,”

“Gue masih mau hidup...”

Precious smile.

Jangan tanya kenapa Sakusa begitu khawatir dengan seorang pemuda 17 tahun yang dirawat di rumah sakit ayahnya karena itu semua tampak wajar bagi Sakusa sebagai tenaga kesehatan. Tidak aneh jika ia mengkhawatirkan pasien dan mencari keberadaannya hingga mengelilingi sepenjuru lantai 4 walau tak kunjung menemukan eksistensinya.

Sakusa segera menaiki lift menuju lantai 1 setelah akhirnya menemukan jawaban akan dimana Miya Atsumu biasanya singgah. Rasa penasaran dan sedikit iba mendorongnya untuk mengunjungi sosok bersurai emas itu lagi, meski sifatnya yang sok akrab cukup mengganggu kenyamanan Sakusa sendiri.

Kakinya melangkah menuju taman di area luar rumah sakit, dimana para pasien biasanya mencari udara segar karena bosan berada di kamar rawat. Sakusa menebar pandangan demi menemukan Miya Atsumu yang dicari. Pemuda yang mencolok sepertinya tidak mungkin sulit ditemukan dengan hawa keberadaan yang kuat.

Duduk di bangku taman sendirian, sambil menggoyangkan kaki dan bersiul bersama angin sepoi. Infus masih lekat di tangan kanan dan cahaya matahari mengenai setengah badan. Disanalah Miya Atsumu dengan polosnya menikmati angin pagi padahal ia seharusnya berbaring di ranjangnya.

Sakusa menghela napas sebelum berjalan mendekat. “Hey, kamu dapat izin dari siapa buat kesini?” Tanya Sakusa di hadapan Atsumu yang tampak sedikit kaget. Sakusa mengernyit menyadari kedua mata Atsumu yang terlihat lelah dengan bekas merah disudut mata.

“Kak Kiyoomi..? Kok kesini?” Bukannya menjawab, Atsumu malah balik bertanya.

Sakusa mengambil duduk disebelah Atsumu, kemudian menghirup dalam-dalam udara yang berhembus. “Kamu belum sarapan kan? Kalau dipaksa doang mau mau makan, hm?”

“Aku makan. Makan pudding yang dibawa temen kemarin,” ujar Atsumu.

Miya Atsumu tersenyum tipis. Meski Sakusa tahu itu bukan senyuman yang tulus karena netranya menyiratkan kepedihan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana dirinya melewati setiap malam sendirian, tanpa kehadiran keluarga disisi. “Teman-temanmu sering datang?” Tanya Sakusa lagi.

Atsumu menggeleng lemah. “Cuma Osamu, saudaraku yang sering jenguk. Itupun pasti sore sehabis latihan voli.”

Sakusa menaikkan sebelah alisnya. “Voli?”

“Iya. Aku juga anggota tim voli di sekolah tapi karena sering kambuh aku gak diizinkan main terlalu sering.”

“Aku juga... dulu anggota tim voli di SMA.” Sakusa menengadah kepada hamparan awan yang menghiasi birunya langit.

Sepasang netra madu itu berbinar sekaligus kaget. “Beneran?! Apa posisimu?”

Spiker, ACE.”

“Keren! Aku setter!”

Sakusa menarik senyum ketika raut wajah cerah itu kembali. Tidak sepenuhnya terlihat bahagia, namun setidaknya ia mendapat distraksi. Perbincangan tentang voli dan masa SMA membuat Sakusa bernostalgia pada saat dirinya berdiri di lapangan dengan sorot lampu dan sorakan pendukung. Jika saja, Sakusa bertemu dengan Atsumu diumur yang sama mungkin saja mereka akan sulit untuk akrab mengingat sifat Atsumu yang menyebalkan.

“Hm?” Atsumu menghentikan bicaranya saat sebuah bola kecil mengenai kakinya. Ia meraih bola merah itu tepat saat seorang anak perempuan berlari menghampiri. “Ini bolamu?”

Anak perempuan yang berusia sekitar 6 tahun itu mengangguk malu-malu dan takut. Sakusa kembali melirik Miya Atsumu dan dadanya seketika berdenyut seolah tengah diremas.

Miya Atsumu disana tersenyum hangat hingga matanya menyipit, sedikit membungkuk untuk menyamakan wajah dengan anak perempuan itu lalu tangannya menyodorkan bola. “Kamu takut lihat jarum ditanganku ini? Gapapa, kamu gak akan disuntik kok. Kan kamu sehat,” ucapnya dengan lembut.

Dengan ragu, anak itu menerima bolanya. “Hati-hati mainnya, jangan pergi jauh dari mama ya?” Lanjut Atsumu sembari mengelus puncak kepala anak itu.

Anak itu mengangguk mantap dengan menggenggam erat bola merah itu. “Makasih kak! Semoga kakak cepat sembuh ya!” Kemudian berlari lagi meninggalkan mereka berdua.

Sungguh, dengan melihatnya saja Sakusa begitu tersentuh. Meski sedang menanggung beban yang amat berat, pemuda dihadapannya ini masih bisa tersenyum sehangat itu untuk seseorang. Seolah dengan senyuman itu saja bisa membuat anak 6 tahun mempercayainya. Sakusa kagum.

Ia kagum pada pesona Miya Atsumu.

“Miya.” Satu panggilan yang menarik atensi si pirang beralih padanya. “Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi aku. Mungkin gak bisa langsung respons tapi aku pasti datang,” tutur Sakusa dengan menyodorkan sebuah kartu nama berisikan nomor telepon.

“Eh? Boleh?”

Refleks, Sakusa menyugar rambut terang milik Atsumu yang sewarna mentari pagi itu. “Kenapa enggak? Kita kan temen.”

Kemudian senyum manis itu terukir lagi.

Daylight.

Sakusa menoleh ke kanan dan kiri kearah kamar pasien yang berpenghuni. Memang akhir-akhir ini Itachiyama Hospital tengah ramai sehingga para perawat dan dokter selalu sibuk. Mengintip sedikit dari jendela, yang Sakusa lihat adalah pemandangan manusia yang tengah berbaring di ranjang pasien. Seorang lansia, wanita dewasa, bahkan anak-anak sampai balita. Tidak ada batas umur bagi seseorang untuk terkena suatu penyakit.

Lalu disanalah Sakusa berhenti. Ketika dersik angin berhembus dari sela-sela jendela di ujung lorong. Matahari pagi mewarnai sebagian lorong dengan warna emas, juga surai yang diterpa angin lembut dengan palet warna yang senada. Sakusa mendekat pada sosok berbalut baju pasien itu.

Tidak bohong, pemuda berambut emas itu seperti dilahirkan dari mentari pagi ketika awan sekalipun tidak berani menghalangi. Matanya tertutup dan wajahnya nampak hangat. Anak-anak rambut menggelitik kelopak matanya sementara bibirnya kering. Pemuda ini lebih pendek serta lebih kurus dari Sakusa, kemungkinan juga lebih muda. Sakusa membeku seolah baru saja melihat sebuah seni yang diciptakan sang surya.

Sakusa tersentak pelan setelah sadar ia sudah sembarangan menatap orang. Sosok di hadapannya membuka mata perlahan dan menyadari keberadaan Sakusa. Netra coklat madu yang nampak lelah memandang Sakusa bingung.

Baru saja Sakusa membuka mulut, pemuda itu sudah mendahului. “Aku cuma jalan sebentar karena bosen. Nanti pasti balik ke kamar kok,” tuturnya.

Dia pasti mengira Sakusa adalah perawat dengan pakaiannya sekarang. Dan lagi, dia mungkin saja pasien yang tak seharusnya meninggalkan kamar.

Sakusa berdeham. “Kalau begitu, mari saya antar ke kamar. Tidak baik berjemur jika sudah lewat jam 10,” jelas Sakusa sembari mengulurkan tangan. Berinteraksi dengan orang baru bukanlah keahliannya, tapi membantu pasien seperti ini juga bagian dari kewajibannya.

Bukannya menurut, pemuda itu malah mengerutkan dahi dan bertanya, “Kamu orang baru?”

“Saya adalah karyawan magang jadi pastinya masih asing dengan Anda.”

“Oh.. pantesan ngomongnya formal banget.” Ia mendengus dan tersenyum simpul sementara kedua maniknya menyorot Sakusa dengan lembut. “Namaku Miya Atsumu dan hampir semua perawat mengenalku. Gak perlu formal gitu, gaenak rasanya.”

Yah... Sakusa sedikit tersinggung saat caranya berinteraksi dikritik seperti itu. Kelakuan orang ini seperti seorang remaja belasan tahun yang bicara dengan santai ke semua orang. “Sakusa Kiyoomi,” sahutnya.

Kedua mata Miya Atsumu membelalak. “Sakusa?! Bukannya itu nama pemilik RS ini?” Sakusa mengangguk sebagai jawaban atas kagetnya pasien satu ini. “Enak banget...” gumamnya. “Umur berapa? Aku 17 tahun.”

Bingo. Ternyata perkiraan Sakusa benar adanya. “22 tahun dan ini hari pertama saya disini.”

“Jangan pakai 'saya'!”

“Maaf.. kebiasaan.”

“Memangnya kalau sama temen pakai saya-kamu?”

Jeda sejenak, Sakusa tengah mencerna pertannyaan polos itu. “Enggak.”

Seketika, kedua netra madu itu berbinar dan senyumnya merekah. “Aku mau jadi temenmu, makanya jangan pakai sebutan formal ya!”

Sakusa kaget dengan reaksi itu. Bagaimana bisa ia semudah itu memutuskan untuk menjalin hubungan pertemanan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa menit yang lalu? Bahkan orang yang jelas lebih tua darinya. “Tapiー”

“Aku mau balik ke kamar,” potong Atsumu. “Gak perlu diantar, deket kok. Nanti kita ketemu lagi ya, Kak Kiyoomi.”

Terlalu banyak hal yang membuat Sakusa terkejut hanya karena satu orang. Pemuda 17 tahun dengan surai emas serta sepasang manik coklat madu dan garis senyum yang penuh semangat.

Miya Atsumu.

Sepertinya Sakusa tidak dapat mengelak darinya.