navierra

ーEUPHORIA; affection.

Meringkuk dibawah selimut, Atsumu meredam tangisnya di dalam bantal. Suara Suna samar-samar masih terdengar di bawah sana, bersama kembarannyaーsosok yang beribu kali lebih beruntung menurut Atsumu.

Ia tidak ingin kesenjangan tercipta diantara mereka karena keegoisan dan pemikiran jelek Atsumu. Tidak dengan Osamu, saudaranya. Meski begitu, ia tidak pernah menjadi yang utama. Semuanya hanya tentang Osamu.

Tentang jatah makanan dan mainan, tentang hadiah ulang tahun, tentang siapa yang lebih baik, juga tentang cinta. Atsumu tidak pernah menjadi pilihan pertama, tidak bagi siapapun yang pernah ia temui.

Berikutnya ia lirik lagi deretan pesan di ponselnya. Dari seorang pengirim yang sudah ia kenal sejak lama, Sakusa Kiyoomi. Membacanya lagi membuat hati Atsumu semakin gundah. Sebenarnya kenapa lelaki dingin itu sampai mampu memberinya kata-kata sehangat itu?

Atsumu merasa hangat. Masih lekat di permukaan kulitnya, kehangatan Sakusa kala dirinya dipeluk dan diusap lembut. Kala si ikal berkali-kali mengucapkan “tidak apa-apa” dan “nangis aja sampai ngerasa lega.” Kala itu, Atsumu merasa istimewa. Ia merasakan afeksi yang hanya ditujukan padanya.

Atsumu mengusap kasar air mata yang meleleh di pipinya. Padahal seharusnya ia tidak berlebihan begitu. Padahal dirinya yang salah, bukan Rintarou apalagi Osamu. Atsumu selalu mencoba untuk tidak mempedulikan apapun yang dikatakan orang lain. Apapun yang dipikirkan dan yang dipilih insan lain, asalkan dirinya bisa tetap bergerak maju. Lantas bagaimana jika sebuah rantai menghambat lajunya? Bagaimana jika duri yang menusuk kakinya semakin banyak dan tajam? Bagaimana jika dirinya jatuh?

Siapa yang akan bersedia mengulurkan tangannya?

Atsumu mengangkat pandangan ketika mendengar pintu kamarnya diketuk 3 kali. Suara Osamu terdengar dari luar. “Tsumu lo udah makan?” Tanya suara itu.

Atsumu tidak menjawab. Tidak dengan suara serak bekas tangis itu. Maka kembali raganya menyelam dalam selimut. Hingga tidak ada lagi suara yang didengar.

Hingga mimpi menjemputnya.

ーEUPHORIA; first hug.

Meski hatinya masih gundah, Atsumu memang tidak pernah kehilangan nafsu makannya. Ia melahap parfait di hadapannya sesaat setelah hidangan itu mencapai mejanya. Bagian bawah matanya masih terasa panas bekas tangis yang diluapkannya kemarin malam, ketika Suna Rintarou menyatakan penolakan atas perasaan tulus milik sang Miya.

“Pelan-pelan aja,” Sakusa menginterupsi sembari menyesap kopinya.

Atsumu mendengus kecil, kemudian menyibak rambut yang menghalangi dahi. “Dia bilang apa aja ke lo?” Tanya Atsumu.

Sakusa mengerutkan dahi. “Dia siapa?”

“Rintarou.”

“Hmm, ga banyak sih. Cuma bilang kalau lo sedih habis ditolak. Terus minta gue buat ngehibur lo,” jelas Sakusa singkat.

“Kenapa lo mau?”

“Kasian ngeliat lo ngegalau di timeline.”

Atsumu tertawa renyah, ia suap lagi irisan kue itu ke mulutnya. Pasti banyak yang tengah mengasihaninya, begitu pikirnya. Atsumu jadi merasa menyedihkan. Dengan menaruh harapan tinggi kemudian dijatuhkan dengan kerasnya, lalu merepotkan orang lain dengan kesenduannya. Tidak perlu dikatakan pun ia seharusnya mengerti.

Yang ia pikir terbaik untuknya, justru itu diciptakan untuk kembarannya. Miris sekali.

“Jangan mikir aneh-aneh.” Suara Sakusa menyadarkan Atsumu dari lamunan singkatnya. Ia mengangkat pandangan namun wajah Sakusa terlihat buram. “Lo mau makan atau nangis dulu?” Tanyanya.

Dengan cepat Atsumu mengusap matanya kasar. Ia menggigit bibir demi menahan tangisnya meledak dan menarik perhatian.

Sakusa menghela napas. Berikutnya, ia bangkit dan mengambil duduk disebelah si pirang. Agak ragu, Sakusa menggerakan tangannya dengan canggung. Mengusap pundak temannya itu. “Gausah ditahan. Nangis aja dulu biar lega,” katanya dengan lembut. Tanpa sadar, tangannya merangkul bahu Atsumu dan menariknya ke dalam pelukan. Mengelus puncak kepala Atsumu yang bersandar di pundaknya.

Atsumu menangis. Meski suaranya mampu ditahan namun air mata tak berhenti mengalir. Ia luluh dalam dekapan Sakusa. Meski langit semakin temaram, Sakusa tidak sekalipun menolak curahan Atsumu.

Detik itu, entah bagaimana, Sakusa ingin sekali menghapus sakit hati yang menggerogoti Miya Atsumu.

「 Pernah Bersama 」

Kita bukanlah siapa-siapa, hanya jiwa-jiwa yang pernah bersama dan berbagi suka serta luka. Kita pernah mencinta dan akhirnya melupa walau tangan pernah bertaut sembari berikrar untuk selalu bersama. Kita pernah berjalan beriringan ditengah warna kehidupan tanpa berpikir bahwa segalanya akan berakhir dan menjadi pernah semata.

Semuanya tidaklah sederhana bagi kita dikala benang merah tidak kunjung terurai dalam kepala dan bicara sudah terlambat dan sia-sia. Meski netra melukiskan secercah harapan, namun hati sudah terlanjur membeku di malam tak berbintang. Janji telah diingkar serta menorehkan luka yang tak diinginkan.

Aku tidak pernah lupa meski memori atas segalanya bukanlah yang utama. Kurva lembut di bibirku tidak dapat tercipta kala netra hanya bisa meneteskan air mata. Sakusa, ucapmu saat itu hanya membawa bencana serta ribuan tombak untuk menusuk dada. Aku yang sekarang telah runtuh bahkan waktu pun harus bekerja keras untuk menyembuhkannya.

“Pergi saja,” katamu seolah esensiku tidak berarti apa-apa dalam dua puluh tahun hidupmu. Mungkin dirinya memang tak boleh ada diantara kita, aku yang salah. Mungkin jika aku tidak mengenalkannya padamu, kasih sayangku masih tinggal di wadah hatimu.

Sakusa, kita memang pernah bersama. Meski hangatmu kini hanya untuknya dan kecup manismu tidak lagi bisa menenangkanku, aku akan pergi seperti katamu. Tidak ada tempat bagiku dimanapun, tidak di mata maupun hatimu. Tidak ada nama Atsumu dalam kebahagiaan karena memang diri ini tak pantas.

Kerap kali sakitnya menggerogoti bagai rayap dalam kayu tua, meremat bagai lilitan ular dan menjatuhkan seolah sayapku telah patah. Wajah yang bersamamu, belum bisa kurelakan. Netra yang memandangmu bagai cerminan atas kemalanganku. Sejak awal aku tidak mampu menandinginya.

Cacatku tidak pantas bersanding dengan sosoknya yang menawan dan lebih bersinar. Galaksi telah memihaknya sejak lahir sedang diriku meringkuk dalam dinginnya angkasa.

Putra Miya ada dua dan aku bukanlah yang sempurna. Mereka memilihnya, dunia memilihnya, bahkan Sakusa, kau memilihnya. Bintang palsu sepertiku tidak akan mampu bertahan tanpa cahaya dirinya. Sebab keberuntungan terbaikku adalah menjadi kembarannya, memilikinya kemudian merelakan yang terbaik untuknya.

Sakusa, kumohon bahagiakan dia. Tak perlu berpikir seberapa lama diriku yang rumpang ini dapat bertahan dalam sesak. Memang sebenarnya aku menyayangi kalian berdua, tak mau ada benci untuk dua insan terbaik dalam hidupku yang miris.

Putra Miya ada dua, namun kau lebih mencintainya. Biarlah aku saja yang sengsara asal kalian bahagia.

Karena kau dan aku bukanlah warna jingga yang dapat menyatu dengan cakrawala dan semesta terkadang menolak untuk berbaik hati kepada kita.

ー fin.

「 The Night 」

Apartemen di lantai dua itu tidak lagi sama saat Sakusa memasukinya. Ada insan lain di dalamnya. Sosok atasan yang sudah ia dampingi selama satu tahun lamanya. Sakusa sendiri tak menyangka mimpi apa yang sudah membawanya kemari, dimana tuan mudanya ini bertingkah diluar nalar.

Pemandangan seperti apa yang Sakusa temui saat menginjakkan kaki ke dalam ruang pribadi alias kamarnya yang bernuansa monokrom itu? Suna Rintarou tengah berlutut diatas ranjang. Bertelanjang dada dengan rok hitam membalut paha atasnya. Kulit mulus tanpa luka dan tanda lahir itu terekspos hanya untuk mata asisten pribadinya. Mengenakan telinga kucing dan ekor di belakang sebagai pelengkap hidangan malam istimewa Sakusa.

Sakusa menghela napas panjang, berikutnya melepas dua kancing kemeja yang ia kenakan sembari mendekati Rintarou. Pemuda sipit itu berjengit memandang Sakusa dengan mata sayunya. Wajah semerah tomat yang matang dan keringat mengalir di pelipis. Mulutnya terbuka untuk meloloskan desahan kecil ketika ia memaksakan jari ketiga untuk masuk ke lubangnya yang sempit. Suna Rintarou sudah gila dan dada Sakusa rasanya terbakar hanya dengan pemandangan itu.

“Ini bukan pertama kalinya fingering sendiri kan?” Nada rendah Sakusa menyapu wajah Rintarou.

“Memang... bukan-” Rintarou tercekat saat jarinya mencapai titik lemahnya disana. Entah sudah berapa kali Rintarou diam-diam melakukan itu sembari membayangkan bukan jarinya melainkan jemari lentik Sakusa yang berada di posisi itu. Membuka dan menyiapkan lubangnya yang kelaparan. Kemudian digantikan oleh milik Sakusa yang lebih besar, menusuk prostat dan mengoyak dinding sempitnya. Ah.. tubuh Rintarou bergidik membayangkannya.

“Nakal,” desis Sakusa dingin. Ditariknya tali yang melingkar di leher Rintarou dengan paksa, kemudian mempertemukan bibir keduanya.

Sakusa menelusupkan lidahnya dengan mudah kedalam mulut hangat Rintarou. Bergelut dengan lidahnya serta mengabsen deretan giginya hingga liur mengalir di sudut bibir. Desah Rintarou teredam, tangannya yang bebas mencengkram bahu Sakusa sementara Sakusa sibuk memainkan dada Rintarou yang sensitif.

Berikutnya, Sakusa memasukkan jari tengah dan telunjuknya mengorek seisi mulut Rintarou dan mendorongnya masuk hingga pangkal lidanya. Rintarou hampir saja tersedak jika Sakusa tidak menarik jemarinya untuk bergelung bersama lidahnya.

“Hah.. Saku..sa,” Rintarou berusaha mengeluarkan suara. Jemari Sakusa yang mengapit putingnya membuat Rintarou tersentak pelan. Leher dan bahunya kini menjadi destinasi bagi bibir Sakusa berlabuh. “Sakusa... i'm ready,” pinta Rintarou yang perlahan menarik ketiga jarinya. “Please please.”

Sakusa mendorong Rintarou hingga punggungnya menyentuh kasur. “What i said earlier? Be patient, baby.” Lelaki itu memegang paha mulus Rintarou, menyibak rok hitam yang menyembunyikan ereksinya yang sudah mengeras. Sakusa tersenyum miring.

“Ahn! Sak-” sedikit menggeliat, Rintarou menggigit bibir melihat kepala sakusa diantara pahanya. “Ngh..” Sakusa mencium, menggigit dan menandai paha bagian dalam Rintarou. Membiarkan paha seputih susu itu ternodai tanda merah dimana-mana.

Paha milik Suna Rintarou adalah satu dari sekian banyak hal yang telah lama ingin Sakusa rasakan. Cengkramannya semakin kuat, merasakan Rintarou yang gemetar dan tak sabaran dalam belaiannya. Pipi Sakusa bergesekan dengan kejantanan Rintarou membuatnya semakin tegang meminta perhatian. Memohon untuk dimanjakan oleh sentuhan Sakusa.

“Kiyoomi please.”

Sakusa menaikkan pandangan mendengar namanya disebut. Dada Rintarou naik turun dan napasnya berat. Alis bertautan dan rambutnya berantakan. Kucing satu ini benar-benar menggoda, pikir Sakusa. Lelaki itu akhirnya menjauhkan kepalanya dan bergerak naik kembali mensejajarkan netra keduanya. Ia mengelus lembut pipi Rintarou. “Lakukan sendiri, Rintarou. Selama ini selalu kamu yang ngerepotin gue, gimana kalau gantian?”

Rintarou berdecak dalam hati. Sebelah matanya berkedut, sebal karena telah dipermainkan. Ia mendorong Sakusa dan bangkit dari posisi nyamannya. Lihat bagaimana Sakusa memandang remeh dirinya. Netra gelap sedikit menyipit dan sudut bibirnya tertarik naik. Ekspresi tipis namun sukses membuat setiap inci dalam Rintarou menggebu dalam gairah. Tampar dia sekali agar ia yakin ini bukanlah mimpi.

Rintarou menginginkan Sakusa, begitu juga sebaliknya.

Tanpa basa-basi, tubuh Sakusa kini terbaring dengan Rintarou yang menindihnya. Senyumnya masih tinggal melihat Rintarou menjilat sudut bibir serta tajamnya manik yang seduktif itu. Seolah keduanya tengah bergulat lewat sorot mata memperebutkan siapa yang akan mendominasi. Rintarou membuka risleting Sakusa memperlihatkan gundukan yang setengah mengeras dibalik boxernya. Sakusa mendesah rendah.

Rintarou memposisikan dirinya. Satu tangan bertumpu di dada Sakusa, satunya lagi mencengkram paha. Bergerak perlahan demi menggoda ereksi si ikal, Rintarou menggesekkan lubangnya dan gundukan itu. Maju mundur dengan tempo pelan. Rintarou menggigit kuat bibirnya, menahan lenguhan lolos saat dirasanya milik Sakusa yang semakin berkedut tegang. Tubuhnya panas.

“Fuck... Rintarou darimana kamu belajar seperti ini?”

Rintarou tertawa geli. “Lo suka kan? Your cock seems so excited, wanna taste my asshole so bad, hm?” Ia masih terus menggesekkan kedua bidang itu sampai dirinya sendiri meloloskan lenguh nikmat tak tertahankan. Rintarou ingin. Ia ingin benda itu memenuhinya. Ia ingin mengapitnya begitu dalam hingga telinganya menangkap desah tertahan milik Sakusa. Bukan lagi tuan dan bawahan, tapi hanya dua insan yang dirundung nafsu dan rasa yang terpendam.

Tak tahan lagi, Rintarou membebaskan kejantanan Sakusa yang sesak. Ia menelan saliva berpikir akankah benda itu cukup memasuki ruang sempitnya. Rintarou menggenggamnya, melumuri organ tak bertulang itu dengan precum.

“Stop teasing me, Rintarou,” titah Sakusa yang semakin erat mencengkram paha Rintarou.

“Lihat siapa yang gak sabaran sekarang,” Rintarou mendekatkan wajahnya pada Sakusa. Saling beradu hangatnya napas yang memburu. Rintarou mengecup bibir Sakusa, melumatnya dan beradu lidah didalamnya. Sakusa meremat pinggang Rintarou untuk memaksanya bergerak turun, memasukkan kejantanannya kedalam Rintarou dengan hentakan yang kuat.

“Mngg!” Erang Rintarou dalam ciuman panasnya. Menerima benda yang jauh lebih besar dan berisi daripada tiga jari di dalam lubangnya. Rintarou diam sejenak untuk membiasakan diri sebelum akhirnya bergerak naik turun perlahan.

Tangan Sakusa membantu tempo Rintarou yang semakin cepat dan tajam. Menusuk prostat Rintarou hingga dindingnya berkedut dan kedua kakinya gemetaran. Rintarou menengadah ketika dunianya sudah mulai kabur digantikan dengan kenikmatan. Yang ia tahu saat ini hanyalah mulutnya yang mengulang-ulang nama Sakusa dan pinggulnya yang dihentakan lagi dan lagi, merangsek lebih dalam dan lebih cepat.

Rintarou memang sinting. Dibalik perlakuannya yang minim energi itu, ia ternyata begitu agresif diatas ranjang. Disaat pinggulnya bergerak, bibirnya leluasa mencecap permukaan kulit Sakusa. Ia meredam sendiri desahannya dengan menggigit ceruk leher Sakusa membuatnya menerima tamparan di pahanya. Mereka sama saja. Tidak mau mengalah dan ingin menundukkan lawan mainnya.

“Ahh! Sakit... Kiyoomi-” rengek Rintarou setelah tamparan yang kesekian kalinya. Air mata membasahi ekor matanya, mulut ternganga dan liur mengalir di sudut bibirnya.

Suna Rintarou sangatlah erotis.

Ditengah sesi yang panas itu, Sakusa tiba-tiba bangkit dan mengambil posisi duduk. Masih memeluk pinggang Rintarou. “Hahh.. kamu jadi semakin liar ya, tuan muda? Mana bisa gue diem aja kalau udah gini?”

“Kiyo- mmhgg.. kiyoomi. I want-” susah payah Rintarou berucap sembari memeluk erat leher Sakusa.

“Want what baby?”

“I want.. more.. Kiyoomi please,” pinta Rintarou bak anak kecil yang meminta lebih banyak permen di hari helloween. Kakinya sudah melemah dan tubuhnya bergetar hebat disetiap tumbukan.

Sakusa bisa merasakan ereksi Rintarou yang berkedut di perutnya. Ia sudah sangat dekat dengan klimaksnya. Pun Sakusa yang telah terstimulasi dengan menggairahkannya. Ia bisa saja mati malam ini dan ia tidak akan keberatan. Berpikir bahwa ini semua hanyalah mimpi belaka jauh lebih mengerikan daripada apapun. Namun, mereka pun tahu. Nikmat dan sakit yang tercipta terlalu nyata untuk disebut mimpi.

Maka, disinilah mereka. Apartemen Sakusa Kiyoomi, asisten pribadi Suna Rintarou sang pewaris utama perusahaan besar milik keluarga Suna. Bercumbu, saling menyatukan dua fisik yang terpisah karena harga diri.

Sudut ruangan itu kini dipenuhi aroma keringat yang bercampur dengan cairan intim dua insan yang tak kenal lelah. Kedua pergelangan tangan Rintarou telah diikat kencang menggunakan seutas pita. Membiarkannya diam dan terkekang diatas kepala saat Sakusa mendorong pinggulnya menemui milik Rintarou. Pekikan keras dan sensual terus bersahutan dari bibir ranum Rintarou. Kedua pahanya menyentuh perut dan pergelangan kaki kirinya berada di pundak Sakusa. Ruang intimnya ditumbuk berkali-kali dengan tempo yang tak masuk akal. Ranjangnya ikut terguncang hebat dan sprei yang tadinya rapi kini tak lagi berbentuk.

Rintarou tersiksa. Ia ingin meremat punggung Sakusa. Mencakarnya hingga berbekas. Ia ingin memeluk Sakusa dan mencengkram rambut ikalnya. Netra jelaga Sakusa diatasnya berkata untuk tetap diam dan menerima setiap sentuhannya. Rintarou tak mau jika mulutnya yang dibungkam selanjutnya, jadi ia menurut. Kali ini saja, Rintarou lah yang harus menuruti Sakusa.

Sakusa turun dan menjilati daun telinga Rintarou. Berikutnya, mencubit puting merah mudanya sembari melumat rahang tajam Rintarou. Sakusa menyukainya ketika Rintarou begitu luluh dengan sentuhannya sekecil apapun itu. Sakusa menyukainya ketika tubuh Rintarou bereaksi sesuai keinginannya. Sakusa menyukai tubuh Rintarou yang bisa ia rengkuh seolah tak ada hari esok baginya.

Sakusa menyukai Rintarou.

Dorongannya sekali lagi menemui titik nikmat Rintarou. Ia dihimpit semakin kencang oleh dinding hangat itu. “Feels so good, Rintarou. Such a good boy you are.”

“Fuck- i'm close.” Punggung Rintarou melengkung keatas kala pupil matanya tertarik naik menemui hamparan bintang bagai pasir pantai.

Beberapa dorongan lagi hingga Sakusa menemui pelepasannya setelah Rintarou. Memenuhi lubangnya dengan cairan kental hingga energinya tersedot keluar. Keduanya tersenggal-senggal kehabisan tenaga dan hanya menghabiskan beberapa detik di posisi itu, dengan Sakusa yang menindih Rintarou dan dada mereka yang naik turun saling beradu.

“Next time i'll make you suffer,” ketus Rintarou setengah sadar. Sakusa bangun dari rebahnya dan menarik kasar tali yang masih tinggal di leher Rintarou hingga hidung keduanya hampir bersentuhan. Menatap lapar manik terang nan sayu kala darahnya mendidih dalam rangsangan.

“Next time i'll fuck your shitty mouth instead.”

「 Love Shower. 」

Mentari telah tenggelam dibawah garis cakrawala dan waktu telah menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh dua. Disinilah mereka. Penuh hasrat tanpa akal sehat, saling cumbu dan bercinta.

Mau itu surai emas bak mentari pagi ataupun surai kelam bak malam tak berbintang, keduanya tak lagi tertata rapi dengan belah ke kanan dan kiri. Napas dan debar jantung beradu dibawah guyuran hangat air mandi. Tak terhitung sudah berapa desah dan erang terpatri dikala sang dominan tak kunjung mau berhenti.

Tangan kekar milik Kiyoomi melingkar dipinggang Atsumu. Merangsek lebih dalam ruang intimnya yang begitu sensitif, kemudian menggerayangi pundak serta punggung yang terbuka itu dengan ganasnya. Kulit mulus nan manis itu kini berhias warna merah tanda kepemilikan.

Atsumu sudah tidak mampu memercayai kedua kakinya. Tangannya menumpu pada dinding sementara punggungnya dipaksa untuk merendah lagi. Memberi akses yang lebih mudah bagi sosok dibelakangnya untuk mengisi lubang pemuas nafsu itu.

Tak bisa lagi membedakan mana air mana keringat dan keduanya sama-sama merasakan panas menyengat. Suara buliran air bertemu keramik, rintih nikmat didepan dinding, serta kulit bertemu kulit dengan tempo yang cepat mengisi sudut kamar mandi bernuansa putih nan terang.

“Harder.. Omi- ahn..”

Suara Atsumu tercekat ketika Kiyoomi mendekapnya lebih erat dan membawanya mengikuti irama. Lebih cepat, dalam dan tajam. Membuat Atsumu semakin kencang menghimpit benda milik Kiyoomi didalamnya.

Seperti lantai yang dipijak, tubuh keduanya licin dalam guyuran shower. Jemari Kiyoomi masih gencar menelusur setiap inci dari Atsumu. Memainkan dada serta tonjolan merah muda disana. Sementara ia menghentak titik terlemah Atsumu, erangan rendah terdengar dari tenggorokan.

Tumbukan demi tumbukan Atsumu terima membuat kepalanya tak lagi bisa mengingat apapun selagi dipenuhi taburan bintang. Nama Sakusa dilantunkan bagai harmoni musik yang indahnya melekat di telinga. Mengantar keduanya ke alam fantasi penuh cinta dan hawa nafsu.

Panas... rasanya tubuh Atsumu terbakar semakin lama kegiatan itu berlangsung. Dibawah hujan yang telah diatur kehangatannya seolah melelehkan kaki Atsumu yang seperti jelly itu. Prostatnya sudah dihentak beberapa kali hingga desahannya meninggi.

Nyaman sekali. Sakusa selalu menikmati bagaimana tubuh Atsumu menuruti setiap perintahnya. Bagaimana Atsumu menerima kejantanan Sakusa dengan liang hangat nan sempitnya, serta bagaimana bibir semanis madu itu dengan nafsunya merapal namanya. Sakusa masih tak percaya figur menawan, egois dan keras kepala dihadapannya ini luluh begitu saja dalam genggamannya.

“Tsumu...” Sakusa menenggelamkan wajahnya di tengkuk Atsumu ketika dorongannya semakin kuat.

“Mghh Omi... hah.. i'm so close-”

Sakusa tersenyum miring, menghirup dalam wangi lemon di permukaan kulit lembab itu. “Padahal aku gak nyentuh kamu sama sekali,” bisiknya sembari menjilati daun telinga kekasihnya itu.

“Omi please..”

Seolah tersiksa, Atsumu menangis ditengah lenguhan lemahnya. Memohon untuk disentuh dan dibawa hingga ke puncak. Ia menyandarkan dahinya di dinding dan memejamkan matanya erat. Baru saja ia menggerakkan tangan untuk memuaskan bagian bawahnya yang kesakitan itu, jemari Sakusa sudah lebih dulu membungkus miliknya. Bergerak maju dan mundur mengikuti tempo cepat pinggul Sakusa.

Atsumu dibuat gila dengan sentuhan sensual Sakusa. Hampir saja tangannya terpeleset saking licinnya permukaan keramik yang ditumpu.

Sakusa meremas dan menggerakkan tangannya dengan lihai. Ia tahu Atsumu sudah hampir mencapai klimaksnya. Tangan satunya mengeratkan dekapan pada pinggang Atsumu selagi gerakkannya mulai melambat, namun tetap dalam.

“Omi- Omi... ah!”

“Go on, Atsumu. Cum.”

Dengan satu perintah itu, pekikan lolos dari mulutnya. Cairannya menodai dinding putih serta telapak tangan Sakusa. Atsumu kacau, galaksinya berputar hingga pupil mata tertarik ke belakang.

Yang bersurai gelap pun menyusul setelah beberapa detik. Mengeluarkan benih kentalnya memenuhi keintiman Atsumu. Hangat dan banyak. Atsumu mungkin akan kenyang dengan itu.

Keduanya jatuh berlutut, shower masih mengalirkan air menyapu noda putih sebagai bagian akhir dari sesi percintaan yang menggairahkan. Pelukan pun belum dilepas, ciuman sekali lagi mendarat. Bibir mereka bertemu seolah saling merindukan satu sama lain.

“Omi... aku gak bisa berdiri,” rajuk Atsumu manja sembari bersandar di bahu lebar kekasihnya.

“Gapapa, aku yang gendong.”

Atsumu mengatur napasnya yang berat. Badannya masih terasa panas tapi enggan untuk menjauh. Pemuda itu justru menikmati posisi mereka. Terduduk di lantai yang dingin, basah, saling mendekap dan menyalurkan cinta.

Memejamkan kelopak mata dengan tenang, Atsumu mulai berpikir. Bintang dari galaksi mana yang tengah mengisi nadi mereka saat ini?

ー fin.

「 Waiting for You 」

Aku masih disini, dengan setia duduk dibangku berbahan kayu yang catnya sudah keropos. Mengayun kaki setelah bosan bermain gawai. Memandang teriknya sang surya yang membakar kulit ditengah musim panas. Masih bertanya kapan kau akan datang.

Hey, apa kau akan datang? Kau tidak lupa kan dengan janjinya? Aku sudah menghabiskan waktu untuk duduk manis disini hingga keringat menghiasi setiap lekuk tubuhku. Dua jam bukan waktu yang sebentar tapi tak apa, aku tidak akan beranjak sampai kau menampakkan diri.

Kau tahu? Ada seorang wanita paruh baya yang menghampiriku. Bertanya tentang siapa yang kutunggu. Sebenarnya dia sudah lewat tiga kali dihadapanku jadi mungkin saja ia khawatir. Wanita itu membawa tas kertas berisi buah, bercerita tentang anak perempuannya yang merengek minta dibelikan apel dan stroberi. Wanita yang ramah itu dengan baik hati menawariku sebuah apel seolah aku adalah anak yang hilang atau kabur dari rumah tanpa tujuan. Ah, kalau tidak salah ada umeboshi juga didalamnya. Kau sangat menyukainya kan?

Hey, berapa lama lagi? Apa kau mungkin sedang dalam perjalanan kemari? Atau baru bersiap mencari jaketmu yang kau sendiri lupa menaruhnya dimana? Atau jangan-jangan kau masih menjelajah alam mimpi? Aku rindu, jadi cepatlah.

Suara seseorang membuatku menoleh. Oh, itu adalah bocah berambut jeruk alumni universitas yang sama denganmu. Dia bertanya siapa yang kutunggu. Padahal aku yakin sudah menyebutkan namamu dengan jelas, kenapa dia tidak mengerti juga? Kenapa ia sebegitu kagetnya?

“Ayo aku antar pulang kak,” katanya sembari meraih lenganku. Tidak mau. Kenapa aku harus pulang? Aku sedang menunggumu disini.

“Kak Atsumu... ayo pulang dan beristirahat.”

Sudah kubilang aku tidak mau! Ia sangat keras kepala sampai aku harus membentaknya. Aku tidak akan beranjak dari sini. Sebentar lagi... sebentar lagi kau akan sampai kan?

“Kak Omi udah gak ada... apa kakak lupa?”

Apa-apaan? Aku tahu kau memang tak ada disini, makanya aku duduk menunggumu sejak berjam-jam yang lalu. Sejak mentari masih tepat diatas kepala hingga ia condong ke garis cakrawala, pijakanku masih tetap disini.

Tidak... aku tidak mengerti dengan Shoyo. Dia bilang kau sudah tidak ada. Mengapa? Apa maksudnya?

“Kakak lupa kecelakaan satu bulan yang lalu?”

Satu bulan yang lalu? Bukankah kita masih bersama saat itu? Benar kan, Omi?

Satu bulan yang lalu aku menunggumu disini, tempat yang sama, waktu serta bangku yang sama. Saat itu kau tak kunjung datang sampai aku bosan dan kesal. Ah benar... aku sudah kehilangan kesabaran dan akhirnya beranjak.

Aku masih ingat saat air mata mulai menghalangi pandanganku dan berkumpul di pelupuk mata. Masih ingat jalanan aspal tempatku menapak kaki walaupun lampu belum menyala hijau. Iya. Aku masih ingat dengan suara klakson truk yang datang menghampiriku.

Omi... saat itu kau dimana?

Saat ajal hampir menjemputku... dirimu ada dimana?

“Kak Omi tewas saat menyelamatkanmu.”

Kenapa bocah ini tak diam juga. Mana mungkin kau tewas kan? Haha...

Omi... aku melihat darah. Berceceran dari tubuh yang tergeletak ditengah jalan. Rasanya napas dan jantungku berhenti kala itu. Rasanya sakit.

Katakan, Omi. Siapa orang itu? Kenapa dadaku kembali sesak saat mengingatnya? Kenapa air mata kembali menetes saat wajah bersimbah darah itu terbayang lagi? Kenapa... kenapa itu kamu?

Omi, jangan pergi. Aku tidak akan kemana-mana lagi, sungguh. Aku disini, Omi, tolong jemput aku. Maafkan aku karena egoku saat itu. Maaf karena tak bisa menahan emosiku. Aku yang salah, jadi kumohon kembali.

Katakan, kalau aku tetap disini apa kau akan datang?

Bunga yang kubawa nampaknya sudah layu termakan waktu. Kaki ini pun sudah terlalu lemah untuk diajak bangkit. Kalau kau benar-benar pergi, lantas siapa yang akan menghapus air mata ini? Aku butuh kamu, Sakusa Kiyoomi.

“Kak Omi ada. Dia ada dihatimu, kak. Dia gak akan kemana-mana.”

Sungguh? Omi, apa yang dikatakannya benar? Apa aku bisa mempercayainya?

Tidak.

Aku hanya percaya padamu.

Aku pejamkan mataku yang panas dan rasakan hangat menjalari punggungku. Tangis dan senyum telah bersatu di wajahku yang berantakan.

Kiyoomi.. aku tahu kau tengah memelukku.

Aku tahu... aku sudah datang.

ー fin.

「 Sweetheart – 1 」

Sebuah keberuntungan bagi Suna untuk bertemu dengan pujaan hatinya secara kebetulan, ditambah dalam keadaan seperti ini. Pesta yang meriah untuk merayakan ulang tahun perusahaan Ayahnya, ratusan tamu dan ratusan wajah, namun semua itu hanya membuatnya muak.

Ditengah kota yang semakin sepi dan hembusan angin melalui sela pepohonan. Lampu remang-remang yang menghiasi pinggiran jalan. Sosok bermahkota abu yang terhuyung itu menciptakan gemuruh di dada Suna.

Suna rindu padanya.

Lelaki sipit itu menarik satu sudut bibirnya naik. Ia melangkah mendekat kepada sosok si abu yang tengah sempoyongan berjalan menjauhi bar. Astaga... siapa orang yang tega membiarkan manusia menawan ini kehilangan arah?

“Need some help, pretty?” Yah mau bagaimana pun, Suna tetaplah manusia bermulut manis walau yang ditanya telah sering menepisnya. Seenaknya ia menarik lengan si abu sembari menampilkan senyum penuh arti.

“Uungghh mau pulangg,” rengeknya manja.

Suna mendengus geli. Baru kali ini ia bertemu seorang yang mabuk menjadi begitu manja dan menggemaskan. Lagipula, ini memang pertama kalinya ia melihat Osamu yang mabuk. “Mau gue anter pulang?” tanya Suna lembut.

Osamu melekatkan pandangannya yang sayu itu pada Suna. Terlihat jelas wajahnya yang memerah dan kesal. Tapi kini Osamu hanya setengah sadar akibat pengaruh alkohol yang baunya menguar tipis setiap ia bicara. Karena itu, Suna yakin betul kalimat selanjunya dari Osamu kemungkinan besar tidak dilontarkan secara sadar.

“Suunaa... kenapa lo ganteng banget sihh?” celetuk Osamu ditengah cegukannya.

Sontak Suna melebarkan mata tak percaya. Osamu melanjutkan dengan gumaman yang hampir tak terdengar, “gimana gue bisa nyuekin lo... hik.. kalau lo pake jas begitu..”

Ada sinyal aneh yang muncul di kepala Suna. Osamu yang selalu mengabaikan dan tidak menggubris apapun rayuannya sejak pertama kali Suna jatuh cinta itu ternyata punya perasaan yang mutual terhadap Suna. Osamu mabuk, Suna tahu tidak baik jika mengambil kesempatan dalam keadaan ini, tapi... bukankah ini semacam harapan bagi Suna? Sayang jika disia-siakan.

“Samu... sekarang lo maunya apa? Mau gue anter pulang?” Tanya Suna sekali lagi. Ia mengelus pipi Osamu sambil terus mempertahankan senyum itu. Senyum yang tanpa ia sadari selalu membuat pertahanan Osamu nyaris runtuh.

Dahi Suna mengerut ketika Osamu menekan pangkal hidungnya dan mulai bergumam tidak jelas. Sebenarnya seberapa banyak ia minum? Sepengetahuan Suna, Osamu bukanlah orang yang mempunyai toleransi tinggi terhadap alkohol, berbeda dengan kembarannya.

“Hik.. kangen sunaa hehe...”

Bahaya. Jantung Suna tidak kuat lagi menghadapi keimutan Osamu. Jalanan malam itu sudah semakin sepi dan dingin. Tidak ada tanda-tanda seseorang yang menyusul Osamu dari dalam bar. Haruskah ia mengantar Osamu pulang dengan selamat saat ini juga, atau...

“Mau Sunaa,” Osamu mendekap Suna tiba-tiba hingga lelaki sipit itu melonjak kaget. Masih meracau sembari menyelam di ceruk leher Suna, Osamu benar-benar membuat Suna tidak bisa berpikir rasional lagi.

Suna mengumpat dalam hati atas kelakuan Osamu yang semena-mena ini. Kalau begini, sudah pasti Suna tidak bisa menolak.

“Lo curang, Sam.” Suna melepas pelukan Osamu, kemudian merangkulnya. “Lo harus tanggung jawab kalau nanti gue hilang kendali.”

Dalam gelapnya malam, Suna menuntun Osamu yang setengah sadar kearah yang berlawanan dengan jalan pulang.

「 Sweetheart – 2 」

Kamar hotel deluxe menjadi pilihan Suna alih-alih membawa Osamu ke rumah tinggalnya. Osamu yang tidak mampu berpijak dengan seimbang hanya bisa menurut pada Suna yang menuntunnya ke kamar mandi. Ia melepas kancing kemeja Osamu hingga dirinya kini bertelanjang dada.

Suna menggigit bibir. Ia menggeleng keras guna menghilangkan pikiran kotor kala melihat pemandangan erotis dihadapannya. Selanjutnya, ia menyalakan shower dan mengaturnya ke titik hangat.

“Rin... mau mandi bareng ya..?” Racau Osamu tak tahu diri.

Suna menghela napas. Ia menarik Osamu, memposisikan kepala pemuda itu tepat di bawah shower. “Lo sadarin diri dulu, Sam. Gue gamau kena pasal gara-gara ngambil kesempatan waktu lo mabuk.” Syukurlah Suna masih bisa menahan diri, walaupun sulit sekali menepis godaan seorang Osamu.

Osamu ditinggalkan begitu saja saat ia sudah mulai berhenti bergumam aneh. Membiarkan air mengalir itu menghanyutkan pengaruh alkohol dalam dirinya.

Suna menghela napas, lagi. Ponsel yang sengaja dimatikan dilempar begitu saja keatas meja nakas. Lelah menanggapi pesan-pesan yang masuk tentang kenapa dirinya menghilang dari pesta. Ia harap pegawai hotel yang tadi berpapasan dengannya mau menutup mulut dengan beberapa lembar uang yang ia berikan.

Rintarou benar-benar muak jika terus dikelilingi manusia-manusia yang tengah menikmati hidangan dengan senyum palsu itu.

Pintu kamar mandi terbuka ketika Suna tengah menanggalkan kancing terakhir kemejanya. Mengekspos dada bidang yang begitu menggoda itu. Osamu memalingkan wajah, menolak untuk beradu pandang dengan Suna.

“Udah sadar?” Tanya Suna yang perlahan berjalan mendekat.

Osamu menelan salivanya enggan untuk bersuara. Ia belum sepenuhnya sadar sehingga rasa takut menyelimutinya, takut akan melontarkan kalimat yang ia tidak inginkan. Suna dihadapannya yang bertelanjang dada cukup membuatnya berdebar hebat sampai kepalanya pusing. Pada titik ini, Osamu masih berharap wajah memerahnya tidak kentara.

“Osamu?”

“Hm?”

“Udah sadar belom?”

“Hm.”

“Masih pusing ya?”

“Hm.”

Kesal, Suna berdecak dalam batinnya. Pemuda abu ini sama sekali tak mau menatapnya atau menjawabnya dengan benar. Wajahnya yang mengarah ke samping membuat Suna berhadapan langsung dengan telinganya.

Sedikit jahil, Suna meniup pelan daun telinga Osamu. Lelaki itu seketika melonjak kaget dengan wajahnya yang kini sewarna tomat.

Itu sudah seperti rangsangan bagi Osamu.

Suna menarik senyum miring di bibirnya. Mengelus pipi Osamu serta bibir ranumnya. Kemudian menghirup aroma mahkota abu yang setengah basah itu. Ia ingin bersenang-senang dengan Osamu. Ia ingin menghabiskan malam yang melelahkan ini bersama Osamu. Ia ingin memiliki Osamu.

Seolah mengikuti instingnya, Suna secara bertahap mengecup kening, pipi, sudut bibir, hingga bertengger di leher mulus Osamu dan menikmatinya seperti permen. Melihat tidak ada perlawanan dari si abu, Suna semakin gencar. Ia mengusap punggung Osamu yang tak tertutup apapun sementara tangan satunya menelusupkan jempol ke dalam mulut hangat Osamu.

Osamu menghela napas berat. Otaknya ingin melawan, namun tubuhnya enggan. Tak ia sangka sedikit sentuhan dari Suna dapat membuatnya begitu candu. Mungkin saja ini karena pengaruh alkohol, atau mungkin Osamu memang ingin belaian.

“Hhh.. Sun..a..” ujarnya susah payah dengan saliva yang mengalir dari sudut bibirnya. Ia mencengkram erat bahu yang lebih tinggi kala kedua kakinya sudah tak kuat dipakai berdiri.

“Yeah? Samu, what do you want?” Bisik Suna di telinga.

Berhenti. Menjauh. Pulang. Hanya itu yang butuh ia ucapkan pada pemuda sipit yang mendekapnya ini. Namun, bibirnya berkehendak lain. Mengikuti hasrat daripada akal sehat.

“Milk...” ucapnya lemah.

Mungkin benar, susu hangat bisa mengurangi keruhnya rasa alkohol di kerongkongannya.

“What milk?” Tanya Suna memastikan.

“Yours.”

Suna memandang Osamu yang seolah terbakar padahal pendingin ruangan sudah di setel ke suhu terendah. Iya tersenyum lagi. “I don't have any.”

Osamu mendengus frustasi. “Then, i have to milking you first.”

Suna tertawa geli, sedikit meremehkan. “Terus lo mau ngapain? Handjob?”

“Oh... i can show you my gag reflex.”

Suna menaikkan satu alisnya, kemudian kembali terkekeh. Ia menarik lengan Osamu mendekati ranjang, duduk di pinggirannya kemudian memaksa si abu untuk berlutut di hadapannya.

Suna mengelus mahkota abu milik Osamu.

“it's been a stressful night, let's see if you can make me feel good with your sweet mouth.”

Osamu meneguk salivanya, melupakan semua masalah harga dirinya didepan putra sulung Suna kemudian menggerakkan jemarinya. Detik berikutnya, dagunya diangkat oleh sebuah telunjuk.

“You won't spit it, right?” Tanya Suna dengan nada rendah yang mengintimidasi.

“I won't.”

“Good.” Berikutnya, Suna mengarahkan pandangan Osamu pada miliknya yang sudah sesak dibalik celana. “Then, suck it and get your milk, baby.”

Osamu memang gila.

Suna tak menyangka mulut yang menyimpan segudang ucapan pedas itu ternyata memiliki kebolehan lain yang juga mampu membuat Suna panas.

Suna menghela napas berat, kemudian menggigit bibirnya untuk menahan desahan lolos dari sana. Matanya masih lekat pada Osamu yang tengah memaju mundurkan kepalanya. Memasukkan kejantanan Suna hingga menyentuh tenggorokan, kemudian segera mengeluarkannya lagi saat Suna mulai keenakkan.

Osamu kembali menjilati milik Suna dari puncak hingga pangkalnya. Mengecup bagian kepalanya, kemudian melumatnya dengan bibir.

“Mmh... Samu, lo sengaja kan?” Suna menatap Osamu kesal yang dibalas dengan pandangan tak peduli.

Sudah lama, Osamu diam-diam ingin melihat Suna yang seperti ini. Ia ingin mempermainkan lelaki itu dan membuatnya frustasi seperti bagaimana Suna membuatnya frustasi dengan sikap keras kepalanya.

“Hm,” sahut Osamu singkat sembari menelan cairan precum yang membasahi bibirnya.

Gemas dengan tingkahnya, Suna meremat rambut belakang Osamu dan memasukkan paksa miliknya memenuhi rongga mulut Osamu. “Mngh!” Erang Osamu kaget sementara Suna tersenyum puas.

Tangan Suna menuntun kepala Osamu. Membuat gerakan keluar masuk dengan tempo yang teratur hingga air mata menyembul dari ekor mata Osamu.

Suasana menjadi semakin panas ditambah bibir Suna tak henti-hentinya melantunkan nama si surai abu. “Ah... Samu your mouth is so good around my cock huh.” Suna menarik sedikit rambut Osamu untuk saling beradu pandang. Wajah merah serta mulut manisnya yang candu memuaskan Suna membuatnya terlihat...

“Menawan.”

Osamu kembali menunduk. Ia mengulum kejantanan Suna sekali lagi hingga menemui tenggorokan sembari lidahnya ikut bermain di dalam. Ia tidak mengerti rasa apa yang tengah memenuhi indra pengecapnya ini. Namun bukannya berhenti, ia malah semakin gencar. Mempercepat gerakannya tak peduli ia dapat tersedak atau bagaimana. Osamu hanya.... menyukainya.

“Good, baby. Ngh... fuck..” Suna menengadah ketika klimaksnya sudah sangat dekat. Tangannya yang memegang belakang kepala Osamu semakin memperdalam hentakan terakhir.

Suna mengeluarkan cairan kentalnya tepat di kerongkongan Osamu, membuat pemuda abu itu menyentak kaget. “Mmh...” Osamu mendesah tertahan saat dirinya hampir saja tersedak akibat banyaknya yang Suna keluarkan.

“Telan semua, sayang. Aku gak ngasi susu itu ke sembarang orang asal kamu tahu,” ucap Suna setelah Osamu melepas kulumannya.

Ibu jari Suna tergerak ke bibir ranum Osamu. Mengisyaratkan pemuda itu untuk membuka mulutnya yang basah. Hingga Osamu menampilkan rongga mulut yang kosong dengan sisa cairan berwarna putih di permukaan lidahnya.

Pemandangan yang erotis.

“Good job. Sekarang giliranmu?” Pandangan Suna beralih ke bagian bawah Osamu yang nampaknya sudah lama tegang. “You're hard, baby.”

“Gue bisa sendiri,” sahut Osamu ketus ditengah napasnya yang tersenggal-senggal.

Ia bangkit, berniat untuk menuju toilet dan memuaskan hasratnya dengan tangannya sendiri. Sebelum pergelangannya dicengkram dan tubuhnya dihempaskan ke ranjang yang empuk. Sebelum ia sadar pemilik manik tajam itu telah menahan tubuhnya.

Osamu masih merasa pusing. Sejak awal, dirinyalah yang terbawa alur permainan di malam yang panjang ini. Sampai yang bisa terdengar hanyalah suara berat dari Suna Rintarou.

“I'll make you beg me for more, Osamu.”