navierra

FOOLS; how they met.

Sekotak kopi kemasan di tangan kiri sementara yang kanan sibuk mengetik di layar ponsel. Punggung bersandar di dinding sembari bergonta-ganti roomchat antara grup, teman kelas, serta Atsumu.

Semilir angin menyapa surai gelapnya seolah mengantarkan ingatan lama tentang dirinya yang berdiri didepan minimarket pukul sembilan lewat lima belas malam hari. Ia menghirup dalam udara yang menerpa wajahnya dan pandangan beralih lurus ke depan.

Akaashi mengerutkan dahinya ketika jalanan yang hanya diterangi lampu pinggir jalan disekitar begitu hampa dan hanya sosok bersurai emas yang berada tepat dihadapannya. Ia tahu betul siapa orang ini. Miya Atsumu, cerminan rupa dari si abu yang merupakan temannya. Orang dengan reputasi yang tidak terlalu baik di universitas.

Miya Atsumu sedang bersandar di mobil hitam yang beberapa kali Akaashi lihat memasuki wilayah kampus. Mobil Miya Atsumu, simpul Akaashi tanpa pikir panjang. Pemuda itu sama sekali tidak berniat untuk menyapa, tidak juga bertanya-tanya apa yang dilakukan Atsumu disana dengan raut kusut menghadap ponsel pintarnya.

Maka Akaashi segera berlalu seolah eksistensi putra Miya tidak disana. Meninggalkan minimarket dan kembali melangkah pulang ke rumah sederhana keluarganya, masuk ke kamar dan melanjutkan sesi belajar untuk ujian dua hari lagi. Setidaknya ia berniat untuk melampaui nilai ujian terakhirnya.

Itulah yang Akaashi pikirkan sebelum namanya terpanggil dan menjadi alarm berhenti untuk kedua kakinya.

“Bener Akaashi kan?” Begitu katanya setelah Akaashi menoleh. Dari semua kemungkinan yang ada, Akaashi tidak menyangka Miya Atsumu yang akan menyapanya lebih dulu.

Akaashi tidak menjawab dan membiarkan angin malam mengisi jeda sejenak itu. Kemudian menarik napas. “Gue gak inget kita punya urusan berdua,” ujarnya. Itu hanyalah kalimat yang memberi isyarat sang lawan bicara untuk tidak lagi berbasa-basi.

Atsumu mengusap tengkuk. “Memang gak ada. Gue cuma mau minta tolong,” tuturnya.

“Apa?”

“Lo punya korek gak?”

Kerutan di dahi pemuda bernama Keiji ini semakin dalam. Sebelum ia dapat bertanya, Atsumu mengeluarkan sebatang rokok dari kotak. “Gue lupa bawa uang untuk beli korek,” lanjutnya.

KebetulanーAtsumu mungkin beruntung malam ituーAkaashi baru saja membeli korek api untuk menyalakan lilin aroma di kamarnya sebagai teman begadang. Ia juga tidak keberatan untuk sekedar menyalakan rokok dari orang yang ia kenal.

“Ada,” sahut Akaashi.

Lucky! Nyalain rokok gue dong.”

Yang Akaashi ingat setelahnya adalah kedua manik coklat madu milik Atsumu yang bersinar memantulkan cahaya api. Berkilat terang seakan irisnya yang terbakar warna jingga itu. Kemudian pandangan Akaashi tertutupi asap tebal hingga dirinya mengernyit.

“Makasih.” Merupakan kata terakhir dari Miya Atsumu kepada Akaashi Keiji malam itu dengan mulut yang menghembuskan asap nikotin bersamaan dengan karbondioksida.

Kemudian malam berikutnya tahu-tahu Akaashi telah duduk di sebelah kursi kemudi dan Atsumu yang berbagi obrolan malam dengannya. Terkadang mengelilingi kota atau mengunjungi pojokan jalan yang sepi atau berhenti di jembatan untuk menikmati pemandangan lampu kendaraan dibawahnya. Satu bulan dan Miya Atsumu telah memperkenalkan dunia malam pada Akaashi.

Meski ketika terbangun di pagi hari yang tersisa hanyalah memori seolah semuanya tidak nyata dialami, Akaashi selalu bisa mengenal wangi samar yang masih tinggal di kaosnya.

Manis parfum strawberry bercampur pekatnya aroma asap rokok adalah wangi dari Miya Atsumu yang akan selalu familiar di penciumannya.

Forever

Sakusa membuka mata, kembali pada kesadarannya ketika suara isakan menyapa pendengaran. Ia mengangkat kepala yang tadinya tertunduk di pinggir ranjang, tangan Atsumu sudah tidak di genggaman.

“Atsumu? Kamu perlu sesuatu?” Sakusa mengusap kedua matanya yang suntuk sementara kekasihnya itu tengah terduduk.

“Engga.. maaf aku ganggu tidurmu,” sahut Atsumu lirih. Dengan cepat menghapus air mata yang tertinggal di pipi dan menelan tangis yang tertahan.

Sakusa yang khawatir pun naik dan duduk disebelah lelaki pirang yang tangannya terlilit alat medis. “Kenapa nangis? Ada yang sakit?” Suara Sakusa Kiyoomi begitu lembut hingga Atsumu bisa saja meleleh seperti lilin saat ini juga. Beruntung, hanya Atsumu yang mendapat itu.

Atsumu menggeleng sebagai jawaban. Tangan mereka kembali bertautan, hangat dan nyaman. Seakan sekujur tubuhnya tengah didekap oleh tangan besar itu. Wajah Atsumu menghangat, matanya kembali berkaca-kaca.

“Sabar ya, sayang. Besok kamu pulang, besok kita pulang,” ujar Sakusa sambil mengelus punggung tangan Atsumu. Berharap sosok itu merasa lebih baik.

Atsumu mengeraskan rahang. Tangan kirinya meremat selimut kala dadanya mencelos. “Maaf... Kiyoomi,” lirihnya.

Sakusa mengerutkan dahi. Tidak biasanya Atsumu memanggil namanya seperti itu.

“Maaf aku selalu ngerepotin, aku lemah, aku ngebebanin kamu, osamu dan semuanya..” air mata kembali menetes sementara Atsumu terus menggumamkan kalimat putus asa itu.

“Atsumu-”

“Kamu pasti capek ngurusin aku, Samu juga pasti capek karena begadang kemarin sedangkan aku cuma bisa berbaring disini.”

“Atsumu lihat aku.”

“Aku gamau ditinggal sendirian, aku takut. Tapi-”

Atsumu seketika bungkam saat Sakusa tiba-tiba mengecup keningnya. Tangannya yang bebas mengusap air mata di pipi Atsumu, kemudian mempertemukan dahi keduanya.

Netra madu yang bertemu dengan netra kelam Sakusa. Seolah meyakinkan Atsumu bahwa apa yang akan dikatakan bukanlah omong kosong semata.

I'm always here, everyone's here. Kamu gak akan sendirian, kamu bukan beban,” tutur Sakusa. “Kamu kuat, Atsumu. Kamu adalah manusia yang tegar, semuanya sayang sama kamu jadi jangan nyalahin diri sendiri kayak gini ok?”

Meleleh sudah air mata yang terbendung. Pandangan Atsumu menjadi buram tapi Sakusa masih menatapnya begitu dalam. “Kenapa... kamu masih nerima aku yang kayak gini?” Tanya Atsumu sembari mengontrol suaranya.

“Atsumu, seperti apapun kondisi atau situasinya, aku tetap sayang sama kamu. Jangan membeci dirimu sendiri, atau-”

“Atau?”

Sakusa menghela napasnya. Ia mengangkat sedikit tangan kanan Atsumu dan mencium punggungnya. Menyembunyikan wajahnya dibalik rambut gelap yang berantakan itu sebelum melanjutkan, “atau aku akan benci sama diriku juga.”

Mata Atsumu membola dan dadanya bergemuruh.

I love you, Atsumu.” Sakusa menaikkan pandangan. Kini senyumannya terlukis tipis. “Thank you. I like who i am when i'm with you.

Loved you.

Kepada Atsumu Miya yang sama terlukanya.

Saya melihat pelangi pagi ini sebagaimana kenangan manis terputar lagi. Ragamu begitu jauh meski berkali-kali saya coba gapai, karena kamu tidak pulang dan saya perlahan tenggelam.

Kaca yang pecah tak dapat diutuhkan lagi dan bahagia yang pernah kita rajut memang tak pernah lepas dari konsekuensi. Saya mengerti, maka jangan kejar lagi. Sebab Tuhan tidak ingin luka itu membesar dan membuat jiwa kita mati.

Jangan hiraukan Nava yang terombang-ambing di tengah lautan dan teruslah berlari menuju nirmala. Tidak ada yang tahu badai seperti apa yang datang esok hari atau apakah bintang-bintang itu akan tetap bersinar menemani bumi.

Tapi saya tidak akan lupa, Atsumu. Karena kamu adalah nyawa yang pernah saya cinta. Pulanglah kapan saja, namun pintu ini tidak akan dengan mudah terbuka.

Asmaraloka; tentangku dan putra sulung Miya

Gulungan ombak mengantar air asin itu untuk menyambut kakiku yang baru saja berpijak di pinggiran laut. Jemariku sedikit tertanam dalam pasir dan dersik angin menerpa wajahku. Kulayangkan pandangan kedepan, menatap samudra tak berujung dengan pantulan jingga dari mentari. Kemudian padanya, manusia sehangat mentari pagi yang juga mencintai laut.

Sepasang maniknya yang sewarna madu mencerminkan pesona senja yang merupakan lukisan semesta. Jatuh cinta pada Atsumu Miya seperti ombak dan batu karang yang bersua. Liar, bebas dan mendebarkan. Bertubrukan dengan ganas kemudian tenggelam dalam air laut pasang. Aku adalah batu karang dan segala tentangnya merupakan hempasan ombak.

Sorot matanya beralih padaku dimana sebuah pertanyaan selalu singgah di kepala, benarkah hanya aku yang menempati relung hatinya? Karena diri ini egois dan meminta netra itu untuk mencintaiku saja.

“Atsumu,” panggilan kecilku bersamaan dengan debur ombak mengenai daratan.

Kedua alis tertarik naik begitu juga dengan sudut bibirnya. “Kenapa?” Tanyanya.

Aku menelan saliva dan menghirup dalam-dalam udara bercampur aroma pantai, lalu berkata lagi, “kamu masih belum lupa perasaan tentangnya.”

Dadaku kembali bergemuruh seolah badai telah datang untuk mengusir pelangi yang sempat mewarnainya. Kaki terasa dingin namun wajahku menghangat. Melihat ekspresinya yang berubah setelah sebaris kalimat itu kulontarkan rasanya malah menusuk ulu hatiku. Merusak suasana mungkin memang keahlianku.

“Tolong jujur padaku, Atsumu. Tidak perlu memaksakan dirimu dan menjadikanku pelarianmu,” tuturku lirih.

Air kembali menyelimuti punggung kaki dan aku menunduk sebab wajah itu tengah menampilkan raut yang kubenci. Benar, aku mencintainya. Namun jika ia punya cinta yang lain, maka aku akan relakan.

Konsekuensinya berat dan aku tidak cukup berani untuk menantang takdir.

“Ngomong apa sih?” Atsumu berujar meski sudah pasti ia mengerti apa maksudku. “Pelarian? Memang aku pernah bilang gitu?”

Menaikkan pandangan, pemuda itu sudah ada tepat di hadapan. Tersenyum tipis bahkan cahaya redup dari sang surya masih kalah menawannya. “Lalu aku apa?” Sahutku kembali dengan pertanyaan.

Senja sudah hampir berakhir, deburan ombak semakin ganas dan warna merah perlahan memudar dari mega-mega yang tadinya bersua. Meski begitu, senyumnya semakin lebar terlukis di bibir manis itu.

“Kamu tidak pernah menjadi pelarianku,” Atsumu menyibak rambutku ke belakang telinga, kemudian dengan lembutnya menggenggam tanganku yang dingin. “Kamu adalah tempatku pulang.”

Binar mata itu menyentuh nurani. Mengatakan bahwa ini adalah asmaraloka kami berdua. Sebentar saja, aku merasa waktu berhenti berputar kala suara Atsumu menggema di telinga.

“Aku sempat tersesat tapi kamu selalu menyambutku pulang. Terima kasih. Aku tidak akan pergi lagi.”

Ah... sepertinya aku jatuh cinta lagi.

Dari sudut pandang Akaashi Keiji.

Bahkan sampai purnama ketujuh pun sosokmu masih sejauh angkasa untuk diri ini gapai dari tanah Osaka.

Bokuto Koutarou namanya. Telah kususun ribuan puisi namun diksi tak lagi cukup untuk menggambarkan sosok cemerlang itu. Telah kutorehkan berbagai warna namun warnanya memanglah terlalu menyilaukan. Tidak ada bandingnya, bintang-bintang masih bersinar namun eksistensinya membuat mereka seolah samar.

Dirinya memang bukan nirmala dan netra ini selalu memandang belakangnya. Akankah asmaraloka bisa membuatku bersua dengan lintang benderang itu?

Bibirnya mengurva senyum seperti sang mentari yang membagi sinarnya. Membuatku tergerak, lalu kembali mengikuti. Masih dibelakang sebab tidak pernah dalam seabad sekalipun diri ini mendahului.

Karena kami memanglah protagonis dari dunia, namun bintangnya tetaplah Bokuto Koutarou. Karena dirinya akan terus berlari dan aku tidak akan berhenti mengikuti.

Dan lihatlah bintang itu kini, seolah telah mencapai galaksinya pada nabastala tak terhingga. Dunia harus melihatnya sebagaimana aku mengaguminya. Semesta tidaklah baik, tapi setidaknya aku bertemu dengan sosoknya.

Lalu pada satu saat, Bokuto Koutarou pun berbalik, padaku yang memandangi belakangnya. Ia tidak lagi berlari maju mengejar kecemerlangan. Kemudian tangannya merengkuh ragaku, hangat.

“Kenapa?” Tanyaku mengira-ngira apa yang membuat Bokuto mendekapku. Apa arti diriku dibandingkan dengannya.

“Rumah.” Begitu bisiknya dengan menggenggam jemariku. Membuatku tidak merasakan lagi jarak antara kami ketika wajahnya hanya terpaut beberapa senti dariku. Beradu pandang.

Kemudian, ia tersenyum lagi saat kusadari bahwa dirinya bukanlah di angkasa apalagi dunia yang berbeda. Ia disini, bersamaku. Karena.. ia selalu berkata,

Sejauh apapun aku pergi, aku akan selalu pulang padamu, Keiji.

Dari sudut pandang Akaashi Keiji.

Bahkan sampai purnama ketujuh pun sosokmu masih sejauh angkasa untuk diri ini gapai dari tanah Osaka.

Bokuto Koutarou namanya. Telah kususun ribuan puisi namun diksi tak lagi cukup untuk menggambarkan sosok cemerlang itu. Telah kutorehkan berbagai warna namun warnanya memanglah terlalu menyilaukan. Tidak ada bandingnya, bintang-bintang masih bersinar namun eksistensinya membuat mereka seolah samar.

Dirinya memang bukan nirmala dan netra ini selalu memandang belakangnya. Akankah asmaraloka bisa membuatku bersua dengan lintang benderang itu?

Bibirnya mengurva senyum seperti sang mentari yang membagi sinarnya. Membuatku tergerak, lalu kembali mengikuti. Masih dibelakang sebab tidak pernah dalam seabad sekalipun diri ini mendahului.

Karena kami memanglah protagonis dari dunia, namun bintangnya tetaplah Bokuto Koutarou. Karena dirinya akan terus berlari dan aku tidak akan berhenti mengikuti.

Dan lihatlah bintang itu kini, seolah telah mencapai galaksinya pada nabastala tak terhingga. Dunia harus melihatnya sebagaimana aku mengaguminya. Semesta tidaklah baik, tapi setidaknya aku bertemu dengan sosoknya.

Lalu pada satu saat, Bokuto Koutarou pun berbalik, padaku yang memandangi belakangnya. Ia tidak lagi berlari maju mengejar kecemerlangan. Kemudian tangannya merengkuh ragaku, hangat.

“Kenapa?” Tanyaku mengira-ngira apa yang membuat Bokuto mendekapku. Apa arti diriku dibandingkan dengannya.

“Rumah.” Begitu bisiknya dengan menggenggam jemariku. Membuatku tidak merasakan lagi jarak antara kami ketika wajahnya hanya terpaut beberapa senti dariku. Beradu pandang.

Kemudian, ia tersenyum lagi saat kusadari bahwa dirinya bukanlah di angkasa apalagi dunia yang berbeda. Ia disini, bersamaku. Karena.. ia selalu berkata,

Sejauh apapun aku pergi, aku akan selalu pulang padamu, Keiji.

ーEUPHORIA; happiness.

Atsumu menoleh ketika mendapati sosok Sakusa tengah berlari mendekatinya. Bahkan saat malam yang dingin di pinggiran jalan seperti ini pun tetap membuat pipi Atsumu merona hangat. Ia tersenyum lebar sembari merentangkan kedua tangannya menyambut yang tercinta.

“Omi!!” Detik berikutnya, Sakusa mendekap erat tubuh Atsumu seolah takut pemuda pirang itu bisa membeku kedinginan. Sakusa menenggelamkan wajahnya di pundak Atsumu sementara sang Miya mengacak rambut ikalnya yang sewarna langit malam itu.

Kemilau bintang bertabur menghiasi angkasa seakan menjadi saksi akan semesta yang menyatukan hati Atsumu dan Sakusa. Hembusan angin yang menusuk kulit pun tidak terhiraukan kala keduanya sibuk saling menghangatkan.

Atsumu mendorong pelan tubuh Sakusa demi berhadapan dengannya. Ditatapnya dalam-dalam jelaga Sakusa yang indah. “I love you, Omi. Thank you for everything.”

Sakusa menyugar rambut Atsumu, kemudian mengecup lembut dahinya. “I love you more,” bisiknya.

Atsumu terkekeh. Dipegangnya kedua pundak Sakusa tanpa memutus kontak mata. Berikutnya, ia mendekat hingga menutup mata. Mempertemukan bibir keduanya dalam ciuman. Sakusa pun mendekap Atsumu semakin erat, tidak ingin waktu mengakhiri momen bahagia itu.

Syukurlah, mereka berdua dipertemukan untuk bersama dan saling jatuh hati. Meski sempat merasakan sakit, namun tidak ada yang memutuskan untuk pergi.

Karena euforia itu ada dan itu adalah mereka berdua.

ーEUPHORIA; confession.

Atsumu bergegas mempercepat langkahnya ketika diliriknya jam tangan. Ia terlambat. Atsumu membuka pintu salah satu kafe yang dipilih Bokuto, kemudian melayangkan pandangan demi menemukan sosok berambut tegak itu.

“Atsumu hey!” Atensi Atsumu ditarik oleh seseorang di sudut ruangan. Bokuto sudah menunggu dengan secangkir kopi di hadapannya.

Segera Atsumu menghampiri. “Maaf kak, tadi ada urusan bentar.” Atsumu mengambil duduk di hadapan Bokuto. “Jadi, mau ngomong apa?”

Salah tingkah, Bokuto menggaruk tengkuknya. “To the point banget ya tsum. Gamau pesen minum dulu?”

“Umm enggak deh. Gue masih ada urusan jadi... maaf gabisa lama-lama kak,” sahut Atsumu.

Bokuto menghembuskan napas panjang, kemudian menoleh ke kanan dan kiri sebagai gestur bahwa dirinya sangat gugup saat ini.

“Tapi jangan marah ya,” ucap Bokuto sebelum memulai pengakuannya. Atsumu menggeleng.

“Gak kok, tenang aja. Emang apaan sih? Gue jadi penasaran banget.”

“Jadi gini...” Bokuto menjeda kala jantungnya bergemuruh. “Gue sebenernya suka sama lo, Atsumu.”

Sakusa menaikkan maskernya sementara pandangannya masih lekat pada pemuda di hadapannya. “Kenapa Hinata? Bilang aja sebelum gue kehabisan kesabaran.”

Hinata, pemuda berambut jeruk itu sibuk memainkan jemarinya akibat canggung dan ragu. Dengan takut-takut, ia menengadah demi bertemu pandang dengan seniornya itu.

“Kalau kubilang, kakak gaakan marah kan?” Tanyanya memastikan.

Sakusa mendengus. “Justru kalau lo terus ngulur waktu gini gue bakal kesel, jadi bilang aja cepet.”

Hinata menggigit bibir bawahnya. Berikutnya, ia meraih satu tangan Sakusa untuk dipegang dengan takut dan canggung. “Maaf, padahal kak Sakusa udah punya pacar tapi aku udah mendem ini dari lama banget.”

Sakusa mengernyit tak mengerti. Ia bisa merasakan tangan Hinata yang gemetar pelan.

“Maaf banget kak. Tapi aku masih suka sama kak Omi.”

ーEUPHORIA; comfort person.

Sakusa menekan bel rumah itu 3 kali sebelum pintunya terbuka, menampilkan sang tuan rumah bersurai kelabu menyambut. “Sakusa? Kenapa kesini malem-malem?” Tanyanya heran.

“Atsumu yang minta, maaf ganggu.” Sakusa dipersilahkan masuk sebelum dirinya membeku kedinginan diluar.

“Dia kenapa? Ada masalah?”

Sakusa memandang netra kelabu milik Miya Osamu yang nampak lelah itu. Ternyata Atsumu masih menutup diri setelah lebih dari seminggu. Sakusa merasa kasihan, tapi ia tidak punya hak untuk ikut campur dalam urusan dua bersaudara itu. Tugasnya hanya untuk menyembuhkan Atsumu, tidak lebih.

“Gue gak tau, tiba-tiba minta gue dateng. Dimana dia?” Tanya Sakusa.

Osamu menghela napas kemudian menunjuk kearah kamar milik Atsumu di lantai atas.

“Thanks. Mending lo istirahat dulu sana, jangan banyak pikiran,” celetuk Sakusa sebelum memelesat menemui Atsumu.

“Maaf manggil tiba-tiba padahal baru tadi jalan berdua.”

Sakusa menatap sepasang netra madu yang tak lagi berbinar seperti biasanya. Helaian emas mahkotanya berantakan dan bibirnya nampak kering akibat suhu ruangan. Sosok sehangat mentari pagi itu kini telah redup bagai malam bersalju. Adalah Miya Atsumu dalam kesenduannya.

Sakusa masih diam melekatkan pandangan pada Atsumu yang duduk bersebelahan dengannya di ranjang.

“Aku kangen bunda,” ucap Atsumu berikutnya. “Dia udah pergi duluan ninggalin aku dan Samu, lalu ayah juga sering pergi urusan bisnis jadi di rumah ini cuma ada kami berdua,” lanjutnya.

Ah.. jadi itu alasannya. Baru saja Sakusa ingin bertanya karena ia tidak pernah melihat sosok orang tua di kediaman Miya ini.

“Biasanya.. bunda selalu peluk aku dan Samu kalau kami sedih, beliau selalu bikinin aku minuman hangat dan pudding, lalu pat pat kepalaku sampai aku membaik.” Atsumu menjeda, menatap langit-langit kamar dengan mata yang panas. “Bunda juga kenal sama Rintarou, anak yang irit bicara tapi suka jahil, katanya. Tapi juga baik dan pengertian dengan orang terdekatnya.

“Mungkin kalau masih ada, bunda akan marahin aku karena terlalu berlebihan ngegalauin anak itu. Bakal bilang ini cuma buang-buang waktu jadi lebih baik move on secepatnya.” Atsumu mendesah pelan, berikutnya memeluk lutut seolah tengah menenangkan dirinya sendiri.

Sakusa bergerak ragu mendekati sang lawan bicara. Kemudian mengelus pelan surai keemasan itu seperti yang pernah dirinya lakukan sebelumnya. Menyalurkan kasihnya pada hati yang rapuh itu. Sakusa tidak tahu harus mengatakan apa, maka bibirnya masih terkatup daripada bersuara kemudian menyinggung.

“Aku ngerasa bersalah sama Samu, dia pasti khawatir. Bukannya gimana, tapi aku juga gabisa ngadepin dia karena pikiranku bawaannya jelek mulu. Aku mau minta maaf dengan benar, aku juga sayang sama dia,” lanjut Atsumu lagi.

“Kalian bisa bicarakan baik-baik, Osamu pasti ngerti. Tapi jangan kelamaan mengabaikan dia. Jangan sampai masalah ini berakibat buruk bagi hubungan persaudaraan kalian, gimana pun kalian udah bersama sejak masih di rahim bunda kan?” Ujar Sakusa dengan nada lembut dan hangat.

Atsumu mengangguk lemah. Sakusa bergerak lagi, kini merangkul Atsumu dan menariknya ke dalam pelukan. Membiarkan kepala Atsumu bersandar di dadanya sembari terus mengelus puncak kepalanya. Seakan dirinya ingin mengatakan 'aku disini' namun ditelan begitu saja sebelum lolos dari bibirnya.

“Aku belum bisa ngelupain rasaku ke Rintarou, maaf.”

Sakusa mengeraskan rahang. “Gapapa..” bisiknya.

“Rintarou pun gaakan pernah punya rasa yang sama, jadi lebih baik aku menjauh dan mencari cinta yang lain. Yang bisa nerima aku dan bikin aku merasa aman,” kata Atsumu di dalam pelukan itu. Tanpa sadar bahwa setiap katanya telah mengiris Sakusa sedikit demi sedikit.

Anak panah yang menusuk keduanya terasa semakin sakit, namun enggan bagi dua pemuda itu untuk melepaskan diri. Atsumu menghirup dalam-dalam aroma Sakusa yang menenangkan, nyaman dan segar. Ia bisa saja jatuh tertidur dalam dekapan itu semakin larutnya malam itu.

“Jangan pergi dulu, Omi,” pinta Atsumu dengan suara serak.

“I'm always here, Atsumu.”

Atsumu menarik senyum tipis. Baginya, Sakusa mirip seperti bunda. Dan ia sangat nyaman bersamanya.

ーEUPHORIA; them.

Miya pirang menyisir rambutnya dengan jemari sembari menuruni tangga. Tas disampirkan di sebelah tubuh dan ponsel di tangan.

Ini sangat tiba-tiba dan keadaan hatinya masih kacau. Menghabiskan waktu dengan tugas-tugas bersama dengan segelas kopi mungkin bisa menjadi distraksi. Ditambah lagi, hubungannya dengan Sakusa baru saja dimulai. Kasar rasanya jika disebut hubungan palsu, bagaimanapun Atsumu ingin hubungan yang mereka jalin tidak berat sebelah. Karena jika bukan dengan Sakusa, Atsumu mungkin tidak akan setuju dengan hubungan ini.

Atensi pemuda itu diarahkan pada putra Miya yang kedua. Tengah duduk di depan televisi yang menyala tapi tatapannya mengarah pada si saudara. “Mau kemana?” Tanyanya.

“Mau nugas bareng Omi. Mungkin pulang malem,” sahut Atsumu terburu-buru. Ia merapatkan jaket sebelum kakinya mencapai pintu keluar.

“Maaf gue gabisa jadi orang yang lo percaya, Tsumu.”

Atsumu terhenti. Tangan yang sudah menggenggam kenop pintu itu membeku. Ia tidak menoleh tapi tetap menunggu kalimat selanjutnya, meski itu butuh waktu beberapa detik.

“Selama ini lo kalau kenapa-napa selalu ke gue. Gue juga gitu. Gue gak paham kenapa lo selalu diem waktu gue tanya, kenapa lo gamau berbagi masalah lo kayak biasanya,” Osamu menjedanya sejenak. Sepertinya menarik napas panjang.

“Padahal gue bisa jadi sahabat lo, bukan saudara. Gue bisa jadi keluarga atau sekedar teman cerita. Asal lo gak nganggep gue orang asing, gue gabisa,” lanjutnya dengan suara yang makin memelas.

Atsumu mengeraskan rahang. Cengkramannya semakin kuat hingga buku tangannya memutih. Detik berikutnya, setelah badai dalam dadanya mereda, dirinya berkata setengah berbisik. “Give me time, Samu.” Kemudian melangkah keluar menjauhkan raganya dari sosok cerminannya itu.

Sakusa menegakkan punggungnya ketika dilihat sosok yang ia nanti sudah tiba. Memang mereka bilang akan mengerjakan tugas bersama, tapi tetap saja pergi berdua dengan Atsumu kini terasa seperti “kencan”. Jangan ingatkan dirinya bahwa ini hanya pura-pura.

“Nunggu lama, Omi?” Sapa Atsumu dengan senyum yangーyah setidaknya bagi Sakusaーmanis. Sudut matanya masih meninggalkan warna merah meski netranya telah secerah mentari pagi.

“Enggak. Sekarang mau kemana dulu?” Tanya Sakusa sembari menelusupkan ponselnya ke dalam saku.

“Ke kafe aja daripada perpustakaan entar boring.”

“Mau belajar atau mau nongkrong sih?” Sindir Sakusa.

“Hehe.. keduanya.”

Sakusa tahu betul bahwa senyuman di bibir ranum Atsumu itu palsu. Itu bukan bahagia ataupun canda. Itu hanya cara untuk menyembunyikan lukanya.

Sakusa menghela napas, akhirnya berjalan mendahului Atsumu. “Omi tunggu!” Tubuh Sakusa tersentak bagai terkena sengatan listrik statis. Dengan cepat ia menoleh ketika jemari hangat Atsumu membungkus miliknya.

“Ah.. maaf. Gamau pegangan tangan?” Atsumu seketika sungkan, namun disaat ia ingin menarik diri, telapak Sakusa justru menggenggam lebih erat.

“Siapa bilang gamau?”

Sang pirang melebarkan mata tak percaya. Ia merasakan kembali kehangatan itu dari tangan Sakusa. Nyaman dan aman, seolah memperlakukannya seperti kaca yang rapuh.

Tak apa-apa. Ini semua nyata. Hangatnya, aromanya, teksturnya. Tidak ada yang palsu apalagi mimpi. Setidaknya untuk saat ini Sakusa berharap agar Tuhan tidak memutar waktunya dengan cepat, agar dirinya masih bisa bersua dengan bahagia yang fana sebelum rembulan menyingsing.

“Sakusa?”

Dua pemuda itu berbalik mendengar suara berat memanggil. “Kuroo, Bokuto...” sebut Sakusa pada dua lelaki yang menyapa. Jelas sekali kedua orang itu bukan tipe manusia yang betah berdiam di rumah sehingga kebetulan macam ini tidak dapat dihindari.

“Kalian jalan berdua? Ngapain pake pegangan tangan?” Celetuk yang namanya Bokuto. Sakusa kaget, tapi Atsumu tetap mempertahankan genggaman.

“Jangan bilang... kalian pacaran?” Kali ini Kuroo dengan insting tajamnya, atau memang mereka berdua yang terlalu jelas.

Lantas bagaimana Sakusa harus menjawab?

“Iya.”

Itu Atsumu. Tanpa ragu dan canggung membuat sang lawan bicara terkesiap, bahkan Sakusa sendiri.

“Serius lo?!” Bokuto nampak tak santai. Tidak heran karena ini semua terlalu tiba-tiba, tanpa angin ataupun hujan, tanpa tanda-tanda pendekatan dan langsung jadian. Siapa yang tak kaget?

“Iya, dan sekarang kita lagi kencan jadi jangan diganggu ya. See you.” Atsumu menarik Sakusa pergi menjauh sebelum mereka diserbu pertanyaan yang makin merepotkan.

“Kok bohong?” Tanya Sakusa.

Atsumu mendengus selagi menyungging senyum. “Bukannya kita ngelakuin ini untuk bohongin orang lain?”