FOOLS; how they met.
Sekotak kopi kemasan di tangan kiri sementara yang kanan sibuk mengetik di layar ponsel. Punggung bersandar di dinding sembari bergonta-ganti roomchat antara grup, teman kelas, serta Atsumu.
Semilir angin menyapa surai gelapnya seolah mengantarkan ingatan lama tentang dirinya yang berdiri didepan minimarket pukul sembilan lewat lima belas malam hari. Ia menghirup dalam udara yang menerpa wajahnya dan pandangan beralih lurus ke depan.
Akaashi mengerutkan dahinya ketika jalanan yang hanya diterangi lampu pinggir jalan disekitar begitu hampa dan hanya sosok bersurai emas yang berada tepat dihadapannya. Ia tahu betul siapa orang ini. Miya Atsumu, cerminan rupa dari si abu yang merupakan temannya. Orang dengan reputasi yang tidak terlalu baik di universitas.
Miya Atsumu sedang bersandar di mobil hitam yang beberapa kali Akaashi lihat memasuki wilayah kampus. Mobil Miya Atsumu, simpul Akaashi tanpa pikir panjang. Pemuda itu sama sekali tidak berniat untuk menyapa, tidak juga bertanya-tanya apa yang dilakukan Atsumu disana dengan raut kusut menghadap ponsel pintarnya.
Maka Akaashi segera berlalu seolah eksistensi putra Miya tidak disana. Meninggalkan minimarket dan kembali melangkah pulang ke rumah sederhana keluarganya, masuk ke kamar dan melanjutkan sesi belajar untuk ujian dua hari lagi. Setidaknya ia berniat untuk melampaui nilai ujian terakhirnya.
Itulah yang Akaashi pikirkan sebelum namanya terpanggil dan menjadi alarm berhenti untuk kedua kakinya.
“Bener Akaashi kan?” Begitu katanya setelah Akaashi menoleh. Dari semua kemungkinan yang ada, Akaashi tidak menyangka Miya Atsumu yang akan menyapanya lebih dulu.
Akaashi tidak menjawab dan membiarkan angin malam mengisi jeda sejenak itu. Kemudian menarik napas. “Gue gak inget kita punya urusan berdua,” ujarnya. Itu hanyalah kalimat yang memberi isyarat sang lawan bicara untuk tidak lagi berbasa-basi.
Atsumu mengusap tengkuk. “Memang gak ada. Gue cuma mau minta tolong,” tuturnya.
“Apa?”
“Lo punya korek gak?”
Kerutan di dahi pemuda bernama Keiji ini semakin dalam. Sebelum ia dapat bertanya, Atsumu mengeluarkan sebatang rokok dari kotak. “Gue lupa bawa uang untuk beli korek,” lanjutnya.
KebetulanーAtsumu mungkin beruntung malam ituーAkaashi baru saja membeli korek api untuk menyalakan lilin aroma di kamarnya sebagai teman begadang. Ia juga tidak keberatan untuk sekedar menyalakan rokok dari orang yang ia kenal.
“Ada,” sahut Akaashi.
“Lucky! Nyalain rokok gue dong.”
Yang Akaashi ingat setelahnya adalah kedua manik coklat madu milik Atsumu yang bersinar memantulkan cahaya api. Berkilat terang seakan irisnya yang terbakar warna jingga itu. Kemudian pandangan Akaashi tertutupi asap tebal hingga dirinya mengernyit.
“Makasih.” Merupakan kata terakhir dari Miya Atsumu kepada Akaashi Keiji malam itu dengan mulut yang menghembuskan asap nikotin bersamaan dengan karbondioksida.
Kemudian malam berikutnya tahu-tahu Akaashi telah duduk di sebelah kursi kemudi dan Atsumu yang berbagi obrolan malam dengannya. Terkadang mengelilingi kota atau mengunjungi pojokan jalan yang sepi atau berhenti di jembatan untuk menikmati pemandangan lampu kendaraan dibawahnya. Satu bulan dan Miya Atsumu telah memperkenalkan dunia malam pada Akaashi.
Meski ketika terbangun di pagi hari yang tersisa hanyalah memori seolah semuanya tidak nyata dialami, Akaashi selalu bisa mengenal wangi samar yang masih tinggal di kaosnya.
Manis parfum strawberry bercampur pekatnya aroma asap rokok adalah wangi dari Miya Atsumu yang akan selalu familiar di penciumannya.