Nnonuwu

Wonwoo meregangkan badannya, terduduk di kursi kerjanya hampir 12 jam hari ini. Ia menoleh sekeliling, mendapati hanya lampu di atas mejanya saja yang masih menyala, tentu saja, karyawan lain sudah pulang jam 5 sore tadi. Ia mendengar sayup gemuruh dari sang langit, pertanda akan turunnya hujan. Jadi Wonwoo buru-buru mengemasi barangnya bersiap untuk pulang, tak lupa menyiapkan payung, barangkali begitu ia keluar dari gedung ini sudah turun air dari langit mendung itu.

Tebakan jitu, tepat setelah Wonwoo menginjakkan kaki di depan gedung kantornya, hujan turun dengan teratur. Aroma hujan yang membasahi tanah mulai tercium, Wonwoo suka aroma ini. Ia tersenyum tipis karenanya. Sebelum pandangannya menangkap suatu hal yang seharusnya tak ia saksikan malam itu.

Berbondong-bondong orang datang ke satu titik, membuat kerumunan disana. Ada mobil yang sudah tak berbentuk di seberang jalan itu, teriakan dan ramainya hujan bercampur jadi satu memenuhi telinga. Payung yang digenggam erat itu seketika terlepas, terbang tertiup angin, Wonwoo kehilangan tenaganya bahkan sekedar untuk menggenggam.

Aku mohon, jangan sekarang. Jangan datang sekarang.

Deja vu. Wonwoo kehilangan keseimbangannya hingga ia terduduk sembarang tempat. Jemari yang bergetar hebat itu dipaksa membongkar tasnya mencari ponselnya, ia ingin pulang.

“Yang tabah ya nak..” “Nduk, kamu harus kuat..” “Maaf nak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin...”

Wonwoo menutup kedua telinganya dengan mata terpejam. Menggeleng berulang. Ingatan itu terlintas lagi di kepalanya, berlalu lalang dengan kurang ajarnya di saat seperti ini.

”....Wonwoo”

“Tolong pergi... aku benci kalian... pergi...”

Wonwoo tersentak saat merasakan kedua tangannya digenggam erat, dijauhkan dari telinganya. Membuat ia akhirnya mendengar jelas-

“WONWOO”

Ada suara yang terus memanggilnya. Dan saat ia membuka matanya, ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Mingyu, menatapnya penuh kekhawatiran. Terlebih melihat air mata yang menggenang akhirnya jatuh membasahi pipi seputih salju itu.

“Wonwoo... are you okay...”

“Sa-saya.. say-”

Greb

Tubuh yang lebih kecil ditarik ke dalam pelukan dengan sekejap mata. Wonwoo bahkan tak dapat mencerna dengan baik apa yang terjadi saat ini.

Hangat

Itu saja yang muncul di kepala Wonwoo, semua lintasan buruk yang berlalu lalang tadi seketika hilang terganti dengan kehangatan yang ia tak ingat kapan terakhir kali ia rasakan.

“Wonwoo, kamu bisa jalan? Kita harus neduh, hujannya semakin deras, nanti kamu sakit”

Lembut, nada yang Mingyu ucapkan lembut sekali menyapa pendengaran Wonwoo. Lalu Mingyu membantu tubuh yang tak bertenaga itu bangkit, menuntunnya berjalan. Wonwoo hanya ikuti saja.

Ini bukan hanya sekedar dibantu berdiri di tepi jalan yang perlahan mulai basah itu. Bagi Wonwoo ini jauh lebih dari itu.

Pernahkah kamu merasa, ada seseorang yang membantumu bangkit, menarik tanganmu, hingga perlahan kamu bisa merangkak ke permukaan sedikit demi sedikit dari lubang gelap dan sunyi yang selama ini membelenggu?

Wonwoo meregangkan badannya, terduduk di kursi kerjanya hampir 12 jam hari ini. Ia menoleh sekeliling, mendapati hanya lampu di atas mejanya saja yang masih menyala, tentu saja, karyawan lain sudah pulang jam 5 sore tadi. Ia mendengar sayup gemuruh dari sang langit, pertanda akan turunnya hujan. Jadi Wonwoo buru-buru mengemasi barangnya bersiap untuk pulang, tak lupa menyiapkan payung, barangkali begitu ia keluar dari gedung ini sudah turun air dari langit mendung itu.

Tebakan jitu, tepat setelah Wonwoo menginjakkan kaki di depan gedung kantornya, hujan turun dengan teratur. Aroma hujan yang membasahi tanah mulai tercium, Wonwoo suka aroma ini. Ia tersenyum tipis karenanya. Sebelum pandangannya menangkap suatu hal yang seharusnya tak ia saksikan malam itu.

Berbondong-bondong orang datang ke satu titik, membuat kerumunan disana. Ada mobil yang sudah tak berbentuk di seberang jalan itu, teriakan dan ramainya hujan bercampur jadi satu memenuhi telinga. Payung yang digenggam erat itu seketika terlepas, terbang tertiup angin, Wonwoo kehilangan tenaganya bahkan sekedar untuk menggenggam.

Aku mohon, jangan sekarang. Jangan datang sekarang.

Deja vu. Wonwoo kehilangan keseimbangannya hingga ia terduduk sembarang tempat. Jemari yang bergetar hebat itu dipaksa membongkar tasnya mencari ponselnya, ia ingin pulang.

“Yang tabah ya nak..” “Nduk, kamu harus kuat..” “Maaf nak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin...”

Wonwoo menutup kedua telinganya dengan mata terpejam. Menggeleng berulang. Ingatan itu terlintas lagi di kepalanya, berlalu lalang dengan kurang ajarnya di saat seperti ini.

”....Wonwoo”

“Tolong pergi... aku benci kalian... pergi...”

Wonwoo tersentak saat merasakan kedua tangannya digenggam erat, dijauhkan dari telinganya. Membuat ia akhirnya mendengar jelas-

“WONWOO”

Ada suara yang terus memanggilnya. Dan saat ia membuka matanya, ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Mingyu, menatapnya penuh kekhawatiran. Terlebih melihat air mata yang menggenang akhirnya jatuh membasahi pipi seputih salju itu.

“Wonwoo... are you okay...”

“Sa-saya.. say-”

Greb

Tubuh yang lebih kecil ditarik ke dalam pelukan dengan sekejap mata. Wonwoo bahkan tak dapat mencerna dengan baik apa yang terjadi saat ini.

Hangat

Itu saja yang muncul di kepala Wonwoo, semua lintasan buruk yang berlalu lalang tadi seketika hilang terganti dengan kehangatan yang ia tak ingat kapan terakhir kali ia rasakan.

“Wonwoo, kamu bisa jalan? Kita harus berteduh, hujannya semakin deras, nanti kamu sakit”

Lembut, nada yang Mingyu ucapkan lembut sekali menyapa pendengaran Wonwoo. Lalu Mingyu membantu tubuh yang tak bertenaga itu bangkit, menuntunnya berjalan. Wonwoo hanya ikuti saja.

Ini bukan hanya sekedar dibantu berdiri di tepi jalan yang perlahan mulai basah itu. Lebih dari itu. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang membantunya bangkit, menariknya tangannya, hingga ia bisa merangkak ke permukaan, dari lubang gelap dan sunyi yang selama ini membelenggunya.


Wonwoo meregangkan badannya, terduduk di kursi kerjanya hampir 12 jam hari ini. Ia menoleh sekeliling, mendapati hanya lampu di atas mejanya saja yang masih menyala, tentu saja, karyawan lain sudah pulang jam 5 sore tadi. Ia mendengar sayup gemuruh dari sang langit, pertanda akan turunnya hujan. Jadi Wonwoo buru-buru mengemasi barangnya bersiap untuk pulang, tak lupa menyiapkan payung, barangkali begitu ia keluar dari gedung ini sudah turun air dari langit mendung itu.

Tebakan jitu, tepat setelah Wonwoo menginjakkan kaki di depan gedung kantornya, hujan turun dengan teratur. Aroma hujan yang membasahi tanah mulai tercium, Wonwoo suka aroma ini. Ia tersenyum tipis karenanya. Sebelum pandangannya menangkap suatu hal yang seharusnya tak ia saksikan malam itu.

Berbondong-bondong orang datang ke satu titik, membuat kerumunan disana. Ada mobil yang sudah tak berbentuk di seberang jalan itu, teriakan dan ramainya hujan bercampur jadi satu memenuhi telinga. Payung yang digenggam erat itu seketika terlepas, terbang tertiup angin, Wonwoo kehilangan tenaganya bahkan sekedar untuk menggenggam.

Aku mohon, jangan sekarang. Jangan datang sekarang.

Deja vu. Wonwoo kehilangan keseimbangannya hingga ia terduduk sembarang tempat. Jemari yang bergetar hebat itu dipaksa membongkar tasnya mencari ponselnya, ia ingin pulang.

“Yang tabah ya nak..” “Nduk, kamu harus kuat..” “Maaf nak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin...”

Wonwoo menutup kedua telinganya dengan mata terpejam. Menggeleng berulang. Ingatan itu terlintas lagi di kepalanya, berlalu lalang dengan kurang ajarnya di saat seperti ini.

”....Wonwoo”

“Tolong pergi... aku benci kalian... pergi...”

Wonwoo tersentak saat merasakan kedua tangannya digenggam erat, dijauhkan dari telinganya. Membuat ia akhirnya mendengar jelas-

“WONWOO”

Ada suara yang terus memanggilnya. Dan saat ia membuka matanya, ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Mingyu, menatapnya penuh kekhawatiran. Terlebih melihat air mata yang menggenang akhirnya jatuh membasahi pipi seputih salju itu.

“Wonwoo... are you okay...”

“Sa-saya.. say-”

Greb

Tubuh yang lebih kecil ditarik ke dalam pelukan dengan sekejap mata. Wonwoo bahkan tak dapat mencerna dengan baik apa yang terjadi saat ini.

Hangat

Itu saja yang muncul di kepala Wonwoo, semua lintasan buruk yang berlalu lalang tadi seketika hilang terganti dengan kehangatan yang ia tak ingat kapan terakhir kali ia rasakan.

“Wonwoo, kamu bisa jalan? Kita harus berteduh, hujannya semakin deras, nanti kamu sakit”

Lembut, nada yang Mingyu ucapkan lembut sekali menyapa pendengaran Wonwoo. Lalu Mingyu membantu tubuh yang tak bertenaga itu bangkit, menuntunnya berjalan. Wonwoo hanya ikuti saja.

Ini bukan hanya sekedar dibantu berdiri di tepi jalan yang perlahan mulai basah itu. Lebih dari itu. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang membantunya bangkit, menariknya tangannya, hingga ia bisa merangkak ke permukaan, dari lubang gelap dan sunyi yang selama ini membelenggunya.


Mingyu pikir, hari ini ia adalah yang pertama datang ke kantornya. 06:15, ia memutuskan untuk berangkat sepagi ini karena, entahlah, hanya ingin saja, lagipula di rumah ia tidak punya pekerjaan. Namun, sepertinya tebakannya salah.

Tubuhnya berjengit sedikit kaget melihat seseorang yang entah itu tertidur atau terkapar di atas sofa, di lounge divisi marketing saat ia melewati area tersebut.

Dan saat ia mendekatinya, memastikan barangkali itu adalah orang gila atau bahkan penyusup. Mingyu dibuat lebih heran-

“Wonwoo??”

Karyawannya satu ini memang selalu penuh kejutan.

Mingyu putuskan untuk menyentuh tangan yang sedang tertidur pulas itu karena tak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun jika hanya dipanggil saja.

“Wonwoo” panggil Mingyu sekali lagi sambil sedikit mengguncang lengan Wonwoo, dan akhirnya sukses.

Wonwoo terduduk dengan sekejap mata saat yang pertama kali ia lihat setelah membuka matanya adalah sang Pak Bos.

“P-PAK MINGYU?–” Wonwoo mengecek ponselnya untuk melihat jam disana.

“Loh, baru jam setengah 7, kenapa pak bos udah disini?” batin Wonwoo

“Bapak ngapain dateng sepagi ini?” Ujar Wonwoo sambil merapikan penampilannya yang hanya mengenakan kaos hitam dan celana training, rambutnya mencuat kesana kemari dan-oh tidak, kaosnya bahkan sedikit tersingkap.

“Harusnya saya yang bertanya seperti itu ke kamu, kamu tidur di kantor? Ga pulang ke rumah?”

Wonwoo menelan ludahnya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Bu-bukan Pak, saya dateng jam 5 terus lanjut tidur disini... saya takut telat lagi”

Benar bukan? Karyawannya satu ini memang tidak biasa. Bukan luar biasa, tidak biasa. Mingyu bahkan tidak akan bertanya bagaimana ia bisa masuk ke gedung ini, jika satpam saja belum datang sepagi itu. Jawaban yang ia dengar pasti akan lebih mengagetkan.

“Wonwoo, I told you to take a rest. Bukan malah makin push diri kamu, sampai tidur di kantor? Sesulit itu mengerti perkataan saya? Jika kamu melakukan ini untuk menarik simpati saya atau para petinggi disini-”

“Bukan begitu Pak-” tentu bukan begitu yang dimaksud Wonwoo, tapi ia bingung harus menjelaskannya bagaimana, dan berakhir

“Maaf Pak, saya tidak akan mengulanginya lagi, tapi saya ga pernah ada niat seperti yang Bapak pikir” hanya itu saja yang bisa ia ucapkan

“Kamu ga capek bilang maaf terus? Saya yang dengarnya aja capek. Coba hitung, berapa kali kamu bilang maaf dalam minggu ini ke saya? Minggu ini aja, karena sebelum-sebelumnya mungkin ga akan terhitung. Lagipula, this is not your home, kamu tidak bisa tidur disini”

Wonwoo menghela napasnya lalu menunduk, perkataan Mingyu memang benar, tapi ia tidak bisa menahan untuk tidak sedih mendengar itu.

Andai saja, andai saja mereka mengerti, tapi tanpa diberi tahu, siapa yang akan mengerti? Dan untuk itu, Wonwoo memilih untuk diam, daripada menjelaskan, toh dirinya tidak sepenting itu untuk dimengerti.

Tanpa sadar pelupuk mata Wonwoo menggenang, dan sebelum itu mulai mengalir, Wonwoo buru-buru beranjak-

“Sa-saya permisi dulu Pak, mau ganti baju”

dari sana, membawa setelan kantornya ke toilet, ia tau perilakunya barusan sangatlah tidak sopan, tapi akan lebih buruk jika Pak Bos-nya melihat ia menangis hanya karena ditegur ringan.

Mingyu melihat Wonwoo tampak mengusap pipinya sesaat sebelum ia mulai hilang dari pandangannya. Ia membuat Wonwoo menangis? Apakah dia sekasar itu barusan?

“Masuk”

Usai mendengar sahutan tersebut dengan sedikit ragu Wonwoo masuk ke dalam ruangan super luas dengan furniture mewah itu. Tangannya tidak bisa untuk ditahan agar tidak bergetar. Dan kini ia tepat berada di depan meja sang CEO atau yang sering disebutnya Pak Bos itu. Mingyu menaikkan pandangannya, menjumpai Wonwoo yang tak bisa menyembunyikan wajah tegangnya, bulir keringat memenuhi hampir seluruh dahi yang tertutup poni itu.

“Mana?”

“A-apa... Pak?”

“File yang saya minta, mana?”

Oh sial, Wonwoo bahkan melupakan file itu, ia tak sempat berpikir apa-apa karena terlalu takut saat pergi ke ruang Pak Bos-nya itu.

“A-anu Pak, saya lupa- ketinggalan di bawah..” berantakan, Wonwoo tidak bisa menyusun kalimat dengan baik apalagi kini Mingyu menatapnya dengan tajam.

Mingyu bangun dari duduknya, mendekati Wonwoo yang semakin dilanda cemas. Terus ditatapnya mata Wonwoo hingga jarak mereka kini hanya 1 langkah.

“Saya a-akan ke bawah mengamb-”

Wonwoo tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena napasnya terhenti sejenak saat dia merasakan telapak tangan hangat Mingyu menyentuh sebelah pipinya yang sedikit lembab oleh keringat.

Jantung Wonwoo kian berdetak tidak beraturan, wajahnya tidak pernah sedekat ini dengan pria manapun, apalagi ini adalah Mingyu. Wonwoo tidak tau apakah hanya perasaannya saja atau wajah Mingyu memang kian mendekat, hingga Wonwoo akhirnya memutuskan untuk memejamkan matanya, tak tau apa lagi yang harus dilakukan.

“Why you close your eyes?”

Setelah mengatakan itu, Mingyu menarik tangannya dari wajah Wonwoo. Sontak Wonwoo pun membuka matanya kembali dan tanpa sadar pipinya bersemu tipis, pertanyaan itu menyadarkan Wonwoo akan satu hal, apakah ia berpikir Mingyu benar-benar akan memberikan ciu-

“Kamu terlihat lebih pucat dari biasanya, makanya saya memastikan dari dekat”

Oh- ternyata memang pikiran Wonwoo saja.

“Saya ngga apa-apa..”

“Wonwoo”

“Ya?”

“Saya tau pekerjaan divisi kamu saat ini- maksud saya pekerjaan kita semua saat ini sedang membludak tinggi, tentu karena launching koleksi terbaru kita yang semakin dekat. Tapi saya sarankan kamu untuk beristirahat 1 atau 2 hari, kamu terlihat seperti mayat hidup.”

“Saya ngga apa-apa Pak, saya cuma-”

“Kamu akhir-akhir ini sering terlambat, yang paling parah saat kemarin presentasi dengan klien, lalu hari ini? Kamu tau sendiri kesalahan kamu.”

“Maaf Pak, saya benar-benar mohon maaf atas kesalahan saya beberapa hari ini”

“Iya, karena itu saya menyarankan kamu untuk istirahat.”

Tapi nggak mungkin aku ninggalin kerjaan gitu aja, tim aku pasti makin kesulitan Tentunya, Wonwoo tidak mengucapkan itu di depan Mingyu. Melawan Mingyu secara langsung sama saja dengan bunuh diri.

“A-akan saya pikirkan, Pak”

“Sebaiknya kamu pulang sekarang, sudah lewat jam pulang, maaf terkesan menahan kamu disini”

“File yang tadi saya ambilkan dulu-”

“Besok saja”

“Baik kalau begitu terima kasih Pak, dan maaf sekali lagi”

Dengan itu Wonwoo meninggalkan ruang Pak Bos-nya. Wonwoo menghirup napas sebanyak yang bisa ia hirup. Ia pikir hari ini adalah terakhirnya bekerja, namun kenyataannya, Mingyu bahkan berbaik hati menyuruhnya istirahat.

Wonwoo membuka helm berwarna hijau khas ojek online yang mengantarnya di tempatnya saat ini, rumah Mingyu. Saat SMA dulu, hampir tiap minggu Wonwoo dibawa Mingyu ke rumahnya, entah itu dengan alasan kerja kelompok, belajar bersama, atau hanya sekedar ingin ditemani karena orang tua Mingyu seringkali ditugaskan ke luar kota.

Baru melihat dari luar pagar, Wonwoo langsung merasa aneh melihat lampu teras rumah itu tidak dihidupkan. Wonwoo memeriksa pintu gerbang, ternyata tidak terkunci. Lalu Wonwoo langsung membuka sedikit pintu gerbang itu, melangkahkan kaki ke halaman rumah Mingyu.

Diketuknya pintu kayu berwarna coklat tua itu, puluhan kali, sampai punggung jari Wonwoo mulai lelah. Wonwoo mencoba menelpon nomor Mingyu, namun bukan lagi tak diangkat seperti yang dikatakan Seokmin tadi, kali ini bahkan tidak aktif. Wonwoo sempat berpikir mungkin Mingyu tidak di rumah dan ingin pulang saja, sampai tangannya memutuskan mencoba memutar gagang pintu itu, dan ternyata bukan hanya gerbang, pintu utama rumah itu juga tidak terkunci.

Wonwoo sudah berpikiran negatif, bayangan kemungkinan hal buruk memenuhi pikirannya, apa mungkin rumah Mingyu dirampok? Dan Mingyu dilukai- Wonwoo langsung menggelengkan kepalanya ribut, Jeon Wonwoo dan segala overthinking-nya.

Seluruh rumah itu gelap gulita. Wonwoo mencari sakelar lampu dengan lampu flash ponselnya. Setelah lampu dihidupkan, Wonwoo agak lega, rumah itu rapi dan tidak ada tanda-tanda perampokan seperti yang dipikirkannya.

Masih tak kunjung menemukan siapapun di rumah itu, Wonwoo membawa langkahnya menaiki tangga ke lantai atas, kamar Mingyu yang ditujunya. Setelah tiba di depan pintu kamar Mingyu, Wonwoo langsung membuka pintu itu, tanpa mengetuknya terlebih dahulu, jujur saja ia sangat penasaran dan khawatir sekarang.

Pintu terbuka, menampilkan gundukan selimut di atas ranjang Mingyu. Wonwoo mendekat dengan ragu, entah kenapa ia jadi takut. Walaupun ragu, Wonwoo memberanikan diri untuk membuka selimut itu dengan sekali hentakan.

Mata Wonwoo membulat seketika ia melihat ternyata di balik selimut itu adalah Mingyu yang sedang memejamkan mata, wajahnya sangat pucat dengan keringat memenuhi keningnya.

Wonwoo menepuk pelan pipi Mingyu untuk membangunkannya dan lagi-lagi Wonwoo dibuat makin khawatir, telapak tangan dingin Wonwoo merasakan panas dari pipi Mingyu, seluruh tubuhnya sangat panas.

“Mingyu? Mingyu bangun… Gyu kenapa ga bangun-bangun?”

Kali ini Wonwoo mengguncang tubuh Mingyu dengan panik, ia sudah hampir menangis. Akhirnya usaha Wonwoo membuahkan hasil, mata Mingyu mengerjap lalu terbuka perlahan.

“Mingyu kita ke rumah sakit ya? Badan lo panas banget-”

Tangan Wonwoo yang berusaha membopong tubuh Mingyu ditahan oleh Mingyu membuat Wonwoo akhirnya kembali duduk di sisi ranjang.

“Gue ngigau apa ya? Kok gue lihat Wonwoo sih… bisa dipegang juga, nyata banget” ucap Mingyu setengah bergumam yang membuat Wonwoo keheranan. Setelah mengucapkan itu mata Mingyu kembali terpejam.


Mingyu merasakan kepalanya sangat pusing, matanya pun terasa perih, namun ia berusaha membuka matanya. Saat kesadarannya sudah benar pulih, Mingyu merasakan sesuatu menempel di keningnya, rasanya dingin, batinnya menerka mungkin itu adalah plester penurun panas. Badannya juga terasa sudah sedikit turun panasnya.

Baru hendak bertanya dalam hati siapa yang merawatnya, pintu kamarnya terbuka menampilkan Wonwoo yang membawa nampan. Wonwoo mempercepat langkahnya melihat Mingyu yang tiba-tiba berusaha duduk, Wonwoo lantas membantunya.

“Syukurlah akhirnya lo bangun juga” ucap Wonwoo setelah menyamankan posisi duduk Mingyu dengan menegakkan bantal dibelakang punggungnya.

Lalu Wonwoo mengambil mangkuk yang berisi bubur hangat yang dibawanya diatas nampan tadi, diambilnya satu sendok bubur itu dan mengarahkannya ke mulut Mingyu.

“Makan dulu yuk? Biar setelah ini lo bisa minum obat” ucap Wonwoo namun Mingyu hanya menatapnya dengan tatapan tak percaya.

“Ini gue beli kok, enak rasanya. Bukan masakan gue yang ga jelas itu” Wonwoo pikir Mingyu ragu membuka mulutnya takut itu bubur buatannya yang rasanya seperti racun.

Tubuh Wonwoo berjengit karena tiba-tiba tangan Mingyu menangkup sebelah sisi wajahnya. Ia merasakan panas telapak tangan Mingyu yang membuat pipinya ikut memanas, mungkin rona merah muda juga muncul di pipi putih pucatnya.

“Beneran Wonwoo… bukan mimpi” ucap Mingyu pelan menatap Wonwoo lekat, kini jemarinya bergerak mengusap pelan pipi Wonwoo.

Wonwoo dengan cepat menyingkirkan tangan Mingyu dari pipinya, jantungnya berdetak heboh, ia benci suasana ini.

“Buka mulut lo Mingyu, ayo makan, jangan cuma bengong gitu! Gue bukan hantu. Lebay banget drama lo”

Akhirnya Mingyu membuka mulutnya menerima suapan bubur dari Wonwoo.

“Papa sama Mama lo kemana?” tanya Wonwoo disela kegiatannya menyuapi Mingyu.

“Ke Bandung, berangkat 2 hari yang lalu ke tempat tante ada acara keluarga”

“Jadi lo jagain rumah sendiri?” Mingyu mengangguk pelan.

“Jagain rumah apanya?! Dari pintu gerbang sampe pintu rumah ga ada yang dikunci. Gimana kalo ada maling? Lagian kenapa bisa sakit sih? Kebanyakan pacaran-“ Wonwoo tiba-tiba mengatupkan bibirnya rapat, ia mengumpat dirinya sendiri dalam hati, mulutnya itu kenapa selalu hilang kendali.

“Pacaran? Wonwoo, gue-“

“Ekhem-bentar dulu Gyu, gue lupa bawa obatnya, tadi ketinggalan di meja dapur” alibi Wonwoo untuk menghilangkan malu, secepat kilat ia menghilang dari balik pintu kamar Mingyu.


Mingyu sudah minum obat yang diberikan oleh Wonwoo, kini dia sudah kembali berbaring dengan selimut menutupi sampai lehernya. Wonwoo tengah merapikan pakaiannya di depan cermin di kamar itu bersiap untuk pulang.

“Mingyu gue pulang ya, udah malem banget, Mama juga udah nelpon nyuruh pulang”

“Sekarang jam berapa Won?” tanya Mingyu membuat Wonwoo yang hendak melangkah menuju pintu kamar berhenti, Wonwoo lalu melihat jam yang tertera di ponselnya.

“Jam setengah 12”

“Pulang naik apa?”

“Emm naik grab mungkin?” jawab Wonwoo ragu

“Nginep di sini aja ya Won?”

“Hah?”

“Iya, nginep aja. Udah malem banget, bahaya pulang sendirian”

“Rumah gue ga jauh banget dari sini Gyu. Lagian gue kan cowok, mana ada orang mau jahatin cowok”

“Ada Won. Nginep aja ya?”

“Masa gue tidur pake jeans sama baju yang udah gue pake seharian ini? Udah ga apa-apa gue pulang aja, ga usah kha-“

“Pake baju gue. Pilih aja di lemari mau yang mana” potong Mingyu dengan cepat

“Tapi-“

“Oh iya, sikat gigi baru yang belom dipake ada di laci di samping wastafel. Kalo mau sabun yang lain juga ada disana”

Wonwoo diam, menatap Mingyu dengan tajam. Bibirnya tanpa sadar mengerucut kesal, ia tak punya alasan lagi untuk menolak. Akhirnya dengan langkah malas Wonwoo menuju lemari pakaian Mingyu.

“Oh iya! Tadi kan Mama nyuruh pulang” Wonwoo masih mencari cara lainnya

“Telpon aja Tante Yoona biar gue yang ngomong minta izinin lo nginep disini” jawab Mingyu enteng. Wonwoo berdecak kesal membuka kunci layar ponselnya.

“Gue chat aja” ucap Wonwoo ketus.

“Gimana? Dikasih izin kan?” tanya Mingyu kemudian

“Ya” jawab Wonwoo singkat, lalu mengambil baju dan celana dengan cepat dari lemari Mingyu dan setelahnya langsung ke kamar mandi.

Mingyu mengulum senyumnya, gemas dengan tingkah Wonwoo yang kesal dengannya.

Tak lama, Wonwoo keluar dari kamar mandi dengan telah berganti celana kain panjang berwarna hitam dan sweater abu-abu, ujung telapak tangannya hilang ditelan lengan sweater itu.

Wonwoo berjalan gontai menuju ranjang mingyu, mengambil 1 bantal di samping kepala Mingyu. Lalu ia jatuhkan bantal itu di karpet berbulu yang terletak di lantai. Ia sudah duduk dan bersiap untuk merebahkan tubuhnya di sana sebelum Mingyu yang dari tadi diam memperhatikannya membuka mulutnya.

“Won… mau ngapain?”

“Ya tidurlah” jawab Wonwoo lalu hendak berbaring kembali, ia menepuk-nepuk bantal itu

“Kok tidur di lantai?”

“Ini di karpet. Emang mau di mana lagi kalo bukan di sini?”

“Di sini” jawab Mingyu sambil menepuk sisi kasur yang kosong di sebelahnya. Wonwoo mengernyit heran dan menatap Mingyu tidak suka.

“Ga. Di sini aja. Dah gue mau tidur, mending lo diem” kini Wonwoo sudah berbaring membelakangi Mingyu dan mulai menutup matanya.

“Tapi di situ dingin Won, lo kan ga tahan dingin.. nanti sakit” Wonwoo tidak menghiraukan ucapan Mingyu, berharap Mingyu akan berhenti sendirinya.

Hening beberapa saat, Wonwoo lega akhirnya bisa tidur dengan tenang, sebelum tiba-tiba

“Heh! Mau ngapain lo?!”

Kedua mata Wonwoo terbuka lebar ketika menyadari ada tangan yang mengangkat tubuhnya dan dengan secepat kilat tubuhnya kini sudah terbaring di ranjang Mingyu.

“Udah, pokoknya tidur di sini. Nanti lo sakit, gue yang kena marah Tante Yoona”

Wonwoo yang sudah terlalu mengantuk memilih tidak ingin berdebat lagi dengan Mingyu walaupun ia sangat kesal, saat sakit saja tingkahnya menyebalkan. Ia memiringkan tubuhnya membelakangi Mingyu, ia hanya ingin tertidur sekarang.

“Won….” Panggil Mingyu pelan. Tampaknya Mingyu benar-benar menguji kesabaran Wonwoo.

“Apalagiiiiii” jawab Wonwoo kesal sembari berbalik menghadap Mingyu, Mingyu hanya tersenyum tanpa dosa.

“Boleh aku peluk?”

Wonwoo tidak salah dengar? Mata Wonwoo mengerjap beberapa kali. Sebelum Wonwoo sempat menjawab, Mingyu telah melingkarkan kedua tangannya di pinggang Wonwoo, dibawanya tubuh pria yang lebih kecil itu mendekat, hingga kini wajah Wonwoo berada tepat berhadapan dengan dada Mingyu.

‘Hangat’ ucap Wonwoo dalam hati tanpa sadar.

Wonwoo membuka helm berwarna hijau khas ojek online yang mengantarnya di tempatnya saat ini, rumah Mingyu. Saat SMA dulu, hampir tiap minggu Wonwoo dibawa Mingyu ke rumahnya, entah itu dengan alasan kerja kelompok, belajar bersama, atau hanya sekedar ingin ditemani karena orang tua Mingyu seringkali ditugaskan ke luar kota.

Baru melihat dari luar pagar, Wonwoo langsung merasa aneh melihat lampu teras rumah itu tidak dihidupkan. Wonwoo memeriksa pintu gerbang, ternyata tidak terkunci. Lalu Wonwoo langsung membuka sedikit pintu gerbang itu, melangkahkan kaki ke halaman rumah Mingyu.

Diketuknya pintu kayu berwarna coklat tua itu, puluhan kali, sampai punggung jari Wonwoo mulai lelah. Wonwoo mencoba menelpon nomor Mingyu, namun bukan lagi tak diangkat seperti yang dikatakan Seokmin tadi, kali ini bahkan tidak aktif. Wonwoo sempat berpikir mungkin Mingyu tidak di rumah dan ingin pulang saja, sampai tangannya memutuskan mencoba memutar gagang pintu itu, dan ternyata bukan hanya gerbang, pintu utama rumah itu juga tidak terkunci.

Wonwoo sudah berpikiran negatif, bayangan kemungkinan hal buruk memenuhi pikirannya, apa mungkin rumah Mingyu dirampok? Dan Mingyu dilukai- Wonwoo langsung menggelengkan kepalanya ribut, Jeon Wonwoo dan segala overthinking-nya.

Seluruh rumah itu gelap gulita. Wonwoo mencari sakelar lampu dengan lampu flash ponselnya. Setelah lampu dihidupkan, Wonwoo agak lega, rumah itu rapi dan tidak ada tanda-tanda perampokan seperti yang dipikirkannya.

Masih tak kunjung menemukan siapapun di rumah itu, Wonwoo membawa langkahnya menaiki tangga ke lantai atas, kamar Mingyu yang ditujunya. Setelah tiba di depan pintu kamar Mingyu, Wonwoo langsung membuka pintu itu, tanpa mengetuknya terlebih dahulu, jujur saja ia sangat penasaran dan khawatir sekarang.

Pintu terbuka, menampilkan gundukan selimut di atas ranjang Mingyu. Wonwoo mendekat dengan ragu, entah kenapa ia jadi takut. Walaupun ragu, Wonwoo memberanikan diri untuk membuka selimut itu dengan sekali hentakan.

Mata Wonwoo membulat seketika ia melihat ternyata di balik selimut itu adalah Mingyu yang sedang memejamkan mata, wajahnya sangat pucat dengan keringat memenuhi keningnya.

Wonwoo menepuk pelan pipi Mingyu untuk membangunkannya dan lagi-lagi Wonwoo dibuat makin khawatir, telapak tangan dingin Wonwoo merasakan panas dari pipi Mingyu, seluruh tubuhnya sangat panas.

“Mingyu? Mingyu bangun… Gyu kenapa ga bangun-bangun?”

Kali ini Wonwoo mengguncang tubuh Mingyu dengan panik, ia sudah hampir menangis. Akhirnya usaha Wonwoo membuahkan hasil, mata Mingyu mengerjap lalu terbuka perlahan.

“Mingyu kita ke rumah sakit ya? Badan lo panas banget-”

Tangan Wonwoo yang berusaha membopong tubuh Mingyu ditahan oleh Mingyu membuat Wonwoo akhirnya kembali duduk di sisi ranjang.

“Gue ngigau apa ya? Kok gue lihat Wonwoo sih… bisa dipegang juga, nyata banget” ucap Mingyu setengah bergumam yang membuat Wonwoo keheranan. Setelah mengucapkan itu mata Mingyu kembali terpejam.

***

Mingyu merasakan kepalanya sangat pusing, matanya pun terasa perih, namun ia berusaha membuka matanya. Saat kesadarannya sudah benar pulih, Mingyu merasakan sesuatu menempel di keningnya, rasanya dingin, batinnya menerka mungkin itu adalah plester penurun panas. Badannya juga terasa sudah sedikit turun panasnya.

Baru hendak bertanya dalam hati siapa yang merawatnya, pintu kamarnya terbuka menampilkan Wonwoo yang membawa nampan. Wonwoo mempercepat langkahnya melihat Mingyu yang tiba-tiba berusaha duduk, Wonwoo lantas membantunya.

“Syukurlah akhirnya lo bangun juga” ucap Wonwoo setelah menyamankan posisi duduk Mingyu dengan menegakkan bantal dibelakang punggungnya.

Lalu Wonwoo mengambil mangkuk yang berisi bubur hangat yang dibawanya diatas nampan tadi, diambilnya satu sendok bubur itu dan mengarahkannya ke mulut Mingyu.

“Makan dulu yuk? Biar setelah ini lo bisa minum obat” ucap Wonwoo namun Mingyu hanya menatapnya dengan tatapan tak percaya.

“Ini gue beli kok, enak rasanya. Bukan masakan gue yang ga jelas itu” Wonwoo pikir Mingyu ragu membuka mulutnya takut itu bubur buatannya yang rasanya seperti racun.

Tubuh Wonwoo berjengit karena tiba-tiba tangan Mingyu menangkup sebelah sisi wajahnya. Ia merasakan panas telapak tangan Mingyu yang membuat pipinya ikut memanas, mungkin rona merah muda juga muncul di pipi putih pucatnya.

“Beneran Wonwoo… bukan mimpi” ucap Mingyu pelan menatap Wonwoo lekat, kini jemarinya bergerak mengusap pelan pipi Wonwoo.

Wonwoo dengan cepat menyingkirkan tangan Mingyu dari pipinya, jantungnya berdetak heboh, ia benci suasana ini.

“Buka mulut lo Mingyu, ayo makan, jangan cuma bengong gitu! Gue bukan hantu. Lebay banget drama lo”

Akhirnya Mingyu membuka mulutnya menerima suapan bubur dari Wonwoo.

“Papa sama Mama lo kemana?” tanya Wonwoo disela kegiatannya menyuapi Mingyu.

“Ke Bandung, berangkat 2 hari yang lalu ke tempat tante ada acara keluarga”

“Jadi lo jagain rumah sendiri?” Mingyu mengangguk pelan.

“Jagain rumah apanya?! Dari pintu gerbang sampe pintu rumah ga ada yang dikunci. Gimana kalo ada maling? Lagian kenapa bisa sakit sih? Kebanyakan pacaran-“ Wonwoo tiba-tiba mengatupkan bibirnya rapat, ia mengumpat dirinya sendiri dalam hati, mulutnya itu kenapa selalu hilang kendali.

“Pacaran? Wonwoo, gue-“

“Ekhem-bentar dulu Gyu, gue lupa bawa obatnya, tadi ketinggalan di meja dapur” alibi Wonwoo untuk menghilangkan malu, secepat kilat ia menghilang dari balik pintu kamar Mingyu.

***

Mingyu sudah minum obat yang diberikan oleh Wonwoo, kini dia sudah kembali berbaring dengan selimut menutupi sampai lehernya. Wonwoo tengah merapikan pakaiannya di depan cermin di kamar itu bersiap untuk pulang.

“Mingyu gue pulang ya, udah malem banget, Mama juga udah nelpon nyuruh pulang”

“Sekarang jam berapa Won?” tanya Mingyu membuat Wonwoo yang hendak melangkah menuju pintu kamar berhenti, Wonwoo lalu melihat jam yang tertera di ponselnya.

“Jam setengah 12”

“Pulang naik apa?”

“Emm naik grab mungkin?” jawab Wonwoo ragu

“Nginep di sini aja ya Won?”

“Hah?”

“Iya, nginep aja. Udah malem banget, bahaya pulang sendirian”

“Rumah gue ga jauh banget dari sini Gyu. Lagian gue kan cowok, mana ada orang mau jahatin cowok”

“Ada Won. Nginep aja ya?”

“Masa gue tidur pake jeans sama baju yang udah gue pake seharian ini? Udah ga apa-apa gue pulang aja, ga usah kha-“

“Pake baju gue. Pilih aja di lemari mau yang mana” potong Mingyu dengan cepat

“Tapi-“

“Oh iya, sikat gigi baru yang belom dipake ada di laci di samping wastafel. Kalo mau sabun yang lain juga ada disana”

Wonwoo diam, menatap Mingyu dengan tajam. Bibirnya tanpa sadar mengerucut kesal, ia tak punya alasan lagi untuk menolak. Akhirnya dengan langkah malas Wonwoo menuju lemari pakaian Mingyu.

“Oh iya! Tadi kan Mama nyuruh pulang” Wonwoo masih mencari cara lainnya

“Telpon aja Tante Yoona biar gue yang ngomong minta izinin lo nginep disini” jawab Mingyu enteng. Wonwoo berdecak kesal membuka kunci layar ponselnya.

“Gue chat aja” ucap Wonwoo ketus.

“Gimana? Dikasih izin kan?” tanya Mingyu kemudian

“Ya” jawab Wonwoo singkat, lalu mengambil baju dan celana dengan cepat dari lemari Mingyu dan setelahnya langsung ke kamar mandi.

Mingyu mengulum senyumnya, gemas dengan tingkah Wonwoo yang kesal dengannya.

Tak lama, Wonwoo keluar dari kamar mandi dengan telah berganti celana kain panjang berwarna hitam dan sweater abu-abu, ujung telapak tangannya hilang ditelan lengan sweater itu.

Wonwoo berjalan gontai menuju ranjang mingyu, mengambil 1 bantal di samping kepala Mingyu. Lalu ia jatuhkan bantal itu di karpet berbulu yang terletak di lantai. Ia sudah duduk dan bersiap untuk merebahkan tubuhnya di sana sebelum Mingyu yang dari tadi diam memperhatikannya membuka mulutnya.

“Won… mau ngapain?”

“Ya tidurlah” jawab Wonwoo lalu hendak berbaring kembali, ia menepuk-nepuk bantal itu

“Kok tidur di lantai?”

“Ini di karpet. Emang mau di mana lagi kalo bukan di sini?”

“Di sini” jawab Mingyu sambil menepuk sisi kasur yang kosong di sebelahnya. Wonwoo mengernyit heran dan menatap Mingyu tidak suka.

“Ga. Di sini aja. Dah gue mau tidur, mending lo diem” kini Wonwoo sudah berbaring membelakangi Mingyu dan mulai menutup matanya.

“Tapi di situ dingin Won, lo kan ga tahan dingin.. nanti sakit” Wonwoo tidak menghiraukan ucapan Mingyu, berharap Mingyu akan berhenti sendirinya.

Hening beberapa saat, Wonwoo lega akhirnya bisa tidur dengan tenang, sebelum tiba-tiba

“Heh! Mau ngapain lo?!”

Kedua mata Wonwoo terbuka lebar ketika menyadari ada tangan yang mengangkat tubuhnya dan dengan secepat kilat tubuhnya kini sudah terbaring di ranjang Mingyu.

“Udah, pokoknya tidur di sini. Nanti lo sakit, gue yang kena marah Tante Yoona”

Wonwoo yang sudah terlalu mengantuk memilih tidak ingin berdebat lagi dengan Mingyu walaupun ia sangat kesal, saat sakit saja tingkahnya menyebalkan. Ia memiringkan tubuhnya membelakangi Mingyu, ia hanya ingin tertidur sekarang.

“Won….” Panggil Mingyu pelan. Tampaknya Mingyu benar-benar menguji kesabaran Wonwoo.

“Apalagiiiiii” jawab Wonwoo kesal sembari berbalik menghadap Mingyu, Mingyu hanya tersenyum tanpa dosa.

“Boleh aku peluk?”

Wonwoo tidak salah dengar? Mata Wonwoo mengerjap beberapa kali. Sebelum Wonwoo sempat menjawab, Mingyu telah melingkarkan kedua tangannya di pinggang Wonwoo, dibawanya tubuh pria yang lebih kecil itu mendekat, hingga kini wajah Wonwoo berada tepat berhadapan dengan dada Mingyu.

‘Hangat’ ucap Wonwoo dalam hati tanpa sadar.

Mata yang semula tertutup rapat itu mulai mengerjap kala mendengar suara ketukan yang ia yakin berasal dari pintu di seberangnya. Ia menggeliat malas, kembali mencari posisi nyaman untuk melanjutkan tidurnya, berusaha tidak menanggapi ketukan pintu itu, namun gagal.

“Iya Maaa! Nanti Wonu makan sendiriii! Belum laper”

Wonwoo berteriak cukup kencang dengan suara serak khas baru bangun tidur tanpa mengangkat badannya sedikit pun dari tempat tidurnya.

Baru saja hendak ingin memejamkan matanya kembali, suara ketukan pintu mengganggu itu terdengar lagi, dan lebih kencang dari sebelumnya.

Wonwoo berdecak kesal, tidak biasanya Mamanya bertingkah menyebalkan seperti itu. Dengan langkah berat Wonwoo menuju pintu kamarnya, membuka pintunya dengan cepat dan bersiap untuk mengamuk.

“Ih Mama kenapa- loh Mingyu?”

Wonwoo yang membuka pintu dengan mata setengah terpejam kini telah bangun sepenuhnya. Yang sedari tadi mengetuk pintu kamarnya itu ternyata Mingyu bukan Mamanya, pantas saja terdengar menjengkelkan.

Mingyu tidak bisa menahan senyumnya, disuguhkan pemandangan Wonwoo yang baru bangun tidur dengan muka bantal dan rambutnya yang mencuat kesana kemari, sungguh menggemaskan.

“Kok ga bilang mau kesini?”

“Udah puluhan kali gue telpon tapi ga diangkat, jadi langsung pergi aja”

Wonwoo seketika menoleh ponselnya yang tergeletak di atas ranjangnya, disampingnya saat ia tidur tadi, namun dia tidak mendengar dering ponsel itu sama sekali.

“Ga di izinin masuk nih?” tanya Mingyu kemudian.

Wonwoo hanya menggeser sedikit tubuhnya ke samping, memberikan akses kepada Mingyu untuk masuk ke kamarnya. Ditutupnya kembali pintu itu setelah Mingyu melangkahkan kakinya ke dalam kamarnya.

“Belom makan kan?” tanya Mingyu lagi saat ia telah duduk di karpet berbulu dekat tempat tidur Wonwoo.

Yang ditanya menggeleng singkat sambil mengucek matanya, kucing galak itu masih mengantuk.

“Gue bawain soto ayam kampung yang kemaren, sini makan yuk”

Mata Wonwoo seketika berbinar melihat soto yang masih tersimpan rapi di dalam kotak sterofoam di hadapan Mingyu. Lalu Wonwoo membawa langkahnya mendekat kepada Mingyu.

“Jangan biasain sengaja telat makan won, nanti lambungnya kambuh lagi” ujar Mingyu Ketika Wonwoo sudah duduk dihadapannya.

“Ngga sering kok, tadi ngantuk banget jadi males makan” jawa Wonwoo sambil tangannya meraih kotak sterofoam yang berisi soto dihadapannya itu.

“Ngga sering tapi tetep aja pernah beberapa kali kan” Wonwoo mencebikkan bibirnya tanpa menjawab Mingyu lagi.

“Tadi gue sempat ngira lo ngambek”

Gerakan tangan Wonwoo yang sedang membuka kotak sterofoam itu seketika berhenti, matanya kemudian bertemu tatap dengan Mingyu.

“Kok mikir gitu?” tanya Wonwoo setelah beberapa saat hanya diam bertatapan dengan Mingyu.

“Karena gue batalin janji?”

Wonwoo belum menjawab.

“Gue mampir ke kedai soto itu pas jalan pulang karena inget lo, lo minta itu kan kemaren? Walaupun perginya ga jadi, setidaknya soto nya tetep ada” Sebuah senyuman manis menjadi penutup penuturan panjang Mingyu itu.

Walaupun hatinya perlahan kembali menghangat, namun ketika mengingat Mingyu hari ini pergi bersama pacarnya, senyuman yang hampir terulas dibibir tipis itu dengan cepat ditariknya kembali.

“Lo kenapa segitunya baik sama gue padahal lo-“ udah punya pacar, Wonwoo menutup mulutnya ketika menyadari kalimat yang ia sebutkan tak seharusnya terucap, dirinya sendiri terkejut kenapa tiba-tiba ia menjadi sekesal ini.

Mingyu menatap Wonwoo dengan kebingungan, ingin membuka suara namun takut membuat Wonwoo lebih kesal.

“G-gue ambil mangkok di dapur dulu”

Setelah mengucapkan itu, Wonwoo langsung berdiri dari duduknya dan dengan cepat menghilang dari balik pintu kamarnya, meninggalkan Mingyu yang terdiam dengan pikirannya sibuk menerka kalimat selanjutnya yang ingin Wonwoo ucapkan. Tapi sebanyak apapun Mingyu memikirkannya, ia tidak bisa menemukannya.

Hingga beberapa saat kemudian Wonwoo telah kembali masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan yang diatasnya terdapat 2 mangkuk, 2 gelas, dan botol air dingin. Mingyu hanya mampu memandangi setiap gerakan Wonwoo dihadapannya. Membantunya dengan ragu-ragu ketika dilihatnya tak ada gestur penolakan dari Wonwoo.

“Maaf”

Wonwoo akhirnya membuka suara setelah cukup lama suasana di dalam kamar itu menjadi canggung. Mingyu yang hendak menyendokkan soto ke dalam mulutnya berhenti sejenak, memberikan seluruh atensinya kepada Wonwoo yang masih enggan bertemu tatap kembali dengannya.

“Maaf untuk apa?”

“Tadi sempat kesel ga jelas, aneh banget deh gue… masih bawaan ngantuk kali ya, mulut gue kadang ga sinkron sama otak” jelas Wonwoo setelahnya lanjut melahap soto hangat itu.

“Ga apa-apa won, gue ngerti kok. Gue ngerti lo dari dulu ga suka sama orang yang batalin janji, tapi walaupun gue udah tau itu, masih tetep gue lakuin” terdengar nada penyesalan dari ucapan Mingyu.

“Udah Mingyu, jangan dibahas lagi, gue juga ga berhak marah kalo lo punya urusan lain” Wonwoo memaksakan senyumnya.

“Kata siapa lo ga berhak?”

Wonwoo memilih tidak menjawabnya, ia melirik Mingyu sedikit dari sudut matanya.

“Eh lo abis ini langsung mau pulang?”

Mingyu mengernyit bingung, pertanyaan macam apa itu? Kenapa Wonwoo dengan mudahnya malah mengganti topik pembicaraan. Namun Mingyu tak mau ambil pusing, Wonwoo memang seperti itu.

“Ini ceritanya ngusir atau gimana?”

“Bukan gitu Mingyu.. gue cuma nanya”

Senyum Mingyu mengembang ketika matanya kembali menangkap ekspresi Wonwoo mulai berubah kembali seperti biasanya, menunjukkan kekesalannya, namun ini dengan versi yang lebih imut.

“Kalo gue mau lama-lama disini?”

“Mau ngapain? Gue ga bisa ngeladenin lo main PS, sibuk”

“Mau nemenin lo ngerjain revisian” Wonwoo mendelik sesaat, menangkap Mingyu dengan senyum sumringahnya.

“Ngga ah… lo ganggu, pulang aja sana” dan seketika senyum lebar itu berubah menjadi lengkungan ke bawah.

“Yahhh masih ngambek ya?”

“Siapa yang ngambek?”

“Kalo ngga ngambek, gue boleh disini lama-lama dong”

Wonwoo menghela napasnya kasar sembari memutar bola matanya malas, khas Mingyu sekali, tidak akan menyerah dengan mudah sampai mendapatkan yang ia mau.

“Iya iya… tapi awas ya kalo gangguin gue? Kalo lo ganggu, gue seret keluar kamar”

Yang diperingati malah bersorak gembira, tersenyum begitu lebar hingga memperlihatkan gigi taringnya.

Sesuai yang dikatakan Mingyu sebelumnya, 20 menit setelah pesan terakhir yang diterimanya dari Wonwoo, pria tampan yang mengenakan hoodie berwarna abu-abu itu kini telah berada di depan pagar rumah Wonwoo.

Dilihatnya Wonwoo yang sudah rapi duduk di kursi teras seketika menyadari kedatangannya. Dengan setengah berlari Wonwoo menuju gerbang pagar rumahnya, menghampiri Mingyu yang masih berada di atas sepeda motornya.

“Udah lama nunggu?” tanya Mingyu sambil membuka kaca helmnya. Yang ditanya hanya menggeleng singkat sebelum menjawab.

“Emang sengaja mau nunggu di luar, di rumah gue sendiri, nanti lo nunggu lama di luar pager”

“Mama kamu kemana?”

“Pergi ke rumah Tante”

“Jadi langsung berangkat aja?” tanya Mingyu lagi dan dijawab anggukan oleh Wonwoo.

Lalu Mingyu memberikan helm satu lagi untuk Wonwoo dan langsung diterima oleh Wonwoo, belum sempat Wonwoo mengenakan helm itu ke kepalanya, ia teringat akan sesuatu.

“Eh jaket! gue ambil dulu-“ Wonwoo buru-buru berbalik hendak kembali masuk halaman rumahnya,

“Nih” namun dengan cepat Mingyu mengulurkan jaket miliknya yang sengaja dibawanya untuk Wonwoo, hapal dengan sifat pelupa pria manis berkacamata bulat itu.

Wonwoo seketika berbalik kembali ke arah Mingyu, lalu tersenyum senang.

“Lo masih hapal kebiasaan pelupa gue ya hehe” ucapnya dengan cengiran diakhir kalimatnya, lalu tangannya bergerak memakaikan jaket yang diberikan Mingyu ke badannya.

Mingyu pun akhirnya memilih membantu memakaikan helm untuk Wonwoo, melihat pria manis dihadapannya itu tidak kunjung selesai dengan urusan memakai jaketnya. Dirapikannya poni Wonwoo yang hampir menutup mata setelah helm itu terpasang sempurna.

“Dah, ayok”

Wonwoo pun menaiki motor Mingyu, lalu sepeda motor itu melaju dengan kencang.


Mingyu dengan sabar mengikuti ke mana langkah kaki Wonwoo, juga terus menjawab setiap pertanyaan yang diajukan pria manis itu. Ia tidak pernah menyangka bisa merasakan momen berdua kembali dengan pria manis yang tengah sibuk memotret semua yang dianggapnya penting dengan kamera ponselnya itu.

Dari pertemuan yang tidak disengaja waktu itu, Mingyu yang sedang mampir di minimarket dekat komplek perumahannya, melihat Wonwoo yang duduk di halte seberang minimarket itu. Meski cukup ragu untuk menyapa lebih dulu, Mingyu tetap memberanikan diri menghampiri Wonwoo.

Dan benar saja, Wonwoo menyambut ramah pertemuannya dengan Mingyu saat itu. Hingga keduanya mulai bertukar cerita yang telah dilalui beberapa tahun terakhir.

Perbincangan itu berlanjut sampai ke kehidupan perkuliahan masing-masing, dua teman dekat itu karena sejatinya merupakan teman sekelas saat SMA, kini pun sama-sama telah memasuki tahap akhir perkuliahan yang menyiksa, bergelut dengan skripsi dan tugas akhir.

Wonwoo akhirnya tanpa sadar mengeluhkan tugas akhirnya yang menemui banyak kendala, revisi yang tak kunjung menemukan titik cerah. Dan Mingyu mencetuskan sebuah ide spontan yang entah dari mana datangnya. Proyek tugas akhir Wonwoo sangat berkaitan dengan jurusan Mingyu, sehingga Mingyu pikir mungkin dirinya akan cukup membantu Wonwoo kedepannya.

Tawaran bantuan Mingyu itu tentu tidak langsung disambut baik oleh Wonwoo, dan Mingyu tahu itu, Wonwoo yang tidak akan dengan mudahnya menerima bantuan orang lain, yang malah merasa terbeban dengan kebaikan orang terhadapnya.

Proyek tugas akhir Wonwoo adalah merancang pusat penelitian botani, Wonwoo sebenarnya menyadari bahwa hambatan yang dilaluinya karena ia kurang familiar dengan bangunan jenis itu.

Ia sudah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan preseden yang baik, searching di internet, mendatangi tempat-tempat yang dibuka untuk umum, namun itu masih belum cukup juga. Proyeknya membutuhkan pengalaman melihat secara langsung, itu yang dikatakan dosen pembimbingnya.

Mingyu adalah satu-satunya teman yang mempunyai hubungan erat dengan proyeknya, tapi ia terlalu malu untuk menghubunginya lebih dulu, walaupun mereka dulu dekat, namun mengingat mereka sudah berpisah cukup lama, Wonwoo takut terkesan aneh dengan tiba-tiba meminta tolong.

Hingga tanpa disangka Mingyu lah yang menawarkan bantuan terlebih dahulu saat pertemuan pertama kali mereka setelah hampir 4 tahun berpisah.

Keduanya kini duduk di bawah pohon rindang di belakang gedung laboratorium tempat Mingyu melakukan penelitian tugas akhirnya, istirahat sejenak setelah Wonwoo mengeluh lelah berkeliling.

Angin pada siang hari itu berhembus cukup kencang menyapu lembut keduanya, rambut Wonwoo menari indah diterpa angin tersebut. Mingyu hanya diam memandangi keindahan pria yang tengah memeriksa hasil tangkapan kamera ponselnya.

“Disini adem banget, jadi males lanjut keliling lagi.. mau duduk disini aja sampe sore” celetuk Wonwoo sambil bersandar pada pohon itu. Mingyu mengulas senyum mendengarnya.

“Kayak ga ada kerjaan aja mau santai seharian” jawab Mingyu dengan jahilnya.

“Ih iya tau gue banyak revisian, diem dulu coba, capek tau diingetin mulu” bibir Wonwoo mengerucut sebal tanpa menatap lawan bicaranya, terdengar kekehan kecil dari Mingyu, puas melihat reaksi dari kucing manis di sampingnya.

“Laper ngga?” tanya Mingyu kemudian.

“Ga terlalu sih, tapi kalau lo mau makan gue sih ayo aja” jawab Wonwoo akhirnya menoleh ke arah Mingyu

“Ada soto ayam kampung enak deket sini, mau?”

“Boleh”

Mingyu bangun dari duduknya, tangannya terulur kepada Wonwoo yang masih duduk bersandar di pohon itu. Wonwoo hanya menyambut tangan Mingyu tanpa bangun sedikit pun, sengaja meminta Mingyu untuk menariknya berdiri.

Mingyu hanya menghela napasnya lalu tersenyum sambil dengan susah payah menarik pria manis yang sebenarnya tidak mungil itu, tingkah persis kucing tapi marah jika disamakan dengan kucing.

Kedai soto ayam kampung itu jaraknya sangat dekat, bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari tempat mereka semula. Perjalanan menuju kedai itu hanya diisi perbincangan absurd, sesekali Mingyu melontarkan candaan yang dinilai Wonwoo menyebalkan, Mingyu akan terkikik geli dan Wonwoo seringkali memukul lengan, dada, perut atau tempat lain yang dapat dijangkau olehnya.

Mingyu membuka pintu utama rumah mewah itu, ia tidak menjumpai istrinya yang biasanya menyambut kepulangannya. Juga lagi-lagi dirinya disajikan kondisi ruang tengahnya yang sangat berantakan, ia mulai merasa terganggu dengan itu, kenapa akhir-akhir ini istrinya tidak mengurus rumahnya.

Mingyu membuka pintu kamar Minwoo dengan pelan, menjumpai malaikat kecilnya sudah terlelap dengan damai diatas ranjang kecil itu. Mingyu menutup kembali pintu kamar Minwoo lalu masuk ke kamar di sebelahnya. Terdengar gemercik air dari kamar mandi yang berada di dalam kamar itu. Mingyu mendudukkan diri di ranjang, melepas penat sejenak.

Atensi Mingyu lalu mengarah ke pintu kamar mandi yang terbuka, menampilkan istrinya yang hanya mengenakan bathrobe keluar dari sana. Bathrobe itu sangat pendek sehingga tak mampu menutupi paha mulusnya, juga talinya tak terikat dengan benar sehingga memamerkan dada sang istri. Mingyu kembali merasakan gejolak aneh dari tubuhnya.

“Oh? Sudah pulang?” Wonwoo baru menyadari bahwa suaminya sudah berada di kamar mereka.

Mingyu hanya diam, menatap lurus kepada Wonwoo yang berjalan ke arahnya. Wonwoo menunduk guna mensejajarkan dirinya di hadapan Mingyu, lalu di kecupnya bibir Mingyu sesaat, tapi bagi Mingyu kecupan itu seolah menggodanya.

“Mau mandi?” Tanya Wonwoo dengan nada yang lembut. Mingyu tak bergeming.

“Oh iya, aku minta maaf tadi makan duluan bersama Minwoo, aku juga tidak memasak, mau dipesankan makanan?” Tanya Wonwoo lagi, kini ia mendudukkan dirinya di samping Mingyu.

“Tidak apa-apa, aku sudah makan sebelum pulang” Jawab Mingyu dengan suara serak, ia sedang bersusah payah menahan hasratnya saat ini.

Detik berikutnya napas Mingyu tercekat, saat Wonwoo membantunya melepas jas yang dipakainya, gerakan Wonwoo sangat pelan dan terkesan seductive.

“Mandilah Mingyu, setelah itu aku akan membantu menghilangkan lelahmu” Ucap Wonwoo setengah berbisik, tubuh Mingyu meremang.

Bagai terhipnotis, Mingyu menuruti begitu saja ucapan istrinya. Ia langsung beranjak dari duduknya dan berjalan cepat ke kamar mandi.


Waktu yang dibutuhkan Mingyu untuk membersihkan diri lebih cepat dari biasanya. Wonwoo masih menggunakan bathrobe pendek itu, duduk bersandar di kepala ranjang.

Pose-nya kini terlihat cukup membuat siapa saja yang melihatnya tergoda, salah satu kakinya ditekuknya sehingga bathrobe itu tersingkap menampilkan paha bagian dalamnya. Ia sebenarnya hanya sedang mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer, namun itu lain di mata Mingyu.

“Wonwoo…” Wonwoo menoleh mendengar panggilan dari suaminya dengan suara dalam itu.

Ia meletakkan hair dryer itu ke nakas disampingnya, dan bertepatan saat ia menoleh ke arah suaminya kembali, Mingyu sudah duduk di sampingnya, memeluk pinggang rampingnya. Walau sempat terkejut, Wonwoo hanya tersenyum manis kepada Mingyu.

“Mau aku keringkan rambut-“ Wonwoo tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena bibirnya tiba-tiba dibungkam oleh bibir Mingyu. Mingyu mulai melumat dan menghisap dengan lembut bibir manis istrinya, ia baru menyadari bibir istrinya semanis itu. Ia lupa kapan terakhir kali ia sebergairah ini mencicipi bibir lembut itu.

Cukup lama saling melumat dan menyesap bibir satu sama lain, kini posisi Mingyu telah berubah menindih sang istri di kungkungannya. Keduanya memutus jalinan itu karena merasa pasokan udara masing-masing sudah menipis.

Mingyu kembali menatap wajah Wonwoo cukup lama, wajah itu sangat indah, tetapi kenapa Mingyu baru menyadarinya. Lalu tatapan itu turun ke tulang selangka Wonwoo yang terekspos begitu indah. Dengan perlahan Mingyu mulai mengecup, menghisap dan menggigit area favoritnya itu.

Bibir Wonwoo mulai memanggil nama Mingyu dengan sensual, desahan dari mulut Wonwoo mulai memenuhi ruangan itu. Mingyu tidak bisa menahan dirinya lagi, ia ingin segera merasakan kehangatan dari Wonwoo.

Mingyu melepas tali bathrobe Wonwoo dengan sekali tarikan, sehingga kini tubuh bagian depan Wonwoo terpampang jelas di hadapannya.

Wonwoo melirik sekilas dadanya lalu kembali menatap sayu Mingyu, Mingyu jelas paham maksud istrinya, detik berikutnya kembali terdengar desahan sensual dari mulut Wonwoo, Mingyu tengah menjilat, menghisap dan menggigit gemas tonjolan kecil di dadanya.

Drrrrtttt drrrttttttt drrrttttt

Suara getaran berulang yang berasal dari benda pipih di nakas itu menginterupsi kegiatan keduanya. Mingyu seakan teringat sesuatu yang ia lupakan, ia meraih ponselnya dengan segera.

Namun belum sempat Mingyu menekan tombol mengangkat panggilan, Wonwoo merebut ponsel itu dari genggaman Mingyu secara halus. Mingyu awalnya hendak protes, namun akhirnya tak kuasa membuka mulutnya karena Wonwoo langsung meraih rahangnya lalu mencium bibirnya dengan lembut. Sembari melumat bibir Mingyu, tangan Wonwoo masih menggenggam ponsel suaminya itu. Lalu ditekannya tombol power ponsel Mingyu, kini tidak ada lagi yang mengganggu.


Di seberang sana, Hana menghentakkan kakinya kesal karena tak bisa menghubungi Mingyu. Bahkan detik selanjutnya ia melempar vas bunga di samping tempat tidurnya sembarang arah. Untuk pertama kalinya Mingyu berani mengabaikannya, walau benci untuk mengakuinya, jauh di dalam hatinya ia mulai merasa khawatir.