Mandalawangi

Kalau kondisi berbeda tanpa corona, aku sudah naik truk bak terbuka dengan tas isi pop mie dan bingka. Disambut bunga-bunga mekar di pucuk. Daun naik turun kemerisik. Ada kamu juga berbisik, 'Selamat datang.'. Lalu aku akan lari tersenyum dan kita akan bicara tentang apapun selain kita. Kamu akan bertanya bagaimana kondisi negara dan aku balas tertawa. Sejarah terulang lagi, jawabku. Kamu mengerutkan dahi, berusaha menimbang terulang baik atau buruk. Aku membaca pikiranmu dan menggangguk pada keduanya. Kamu menuangkan teh ke gelasku lalu kita tertawa lagi pada sandiwara tirani.

Gie, selisih umur kita 58 tahun. Kamu cocok jadi ayahku atau bahkan kakekku. Tapi kenapa ya, kamu terasa seperti teman lama?. Aku ingin menangis di pundakmu, bercerita tentang dosen yang rese, institusi pendidikan yang tunduk pada birokrasi korup, dan ketidakadilan yang muncul di setiap sudut. Kamu juga akan cerita padaku, tentang hari-hari demonstrasi, polemik keluarga di Cikini, dan perempuan yang kamu cintai sampai mati.

Gie, aku tidak bisa lagi mendoakan semoga untukmu. Karena hidupmu sudah berakhir dan aku harus terus terkilir.

'Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda.'

Oh Gie, aku juga tak ingin hidup lebih lama lagi.