nothingreally

Sebut aku manusia paling pelupa karena masih mengasihimu hari ini. Padahal kemarin kamu beri pisau. Kemarin lagi kamu beri ranjau. Kemarin lagi kamu beri paku berduri sekitar rumah agar aku risau.

Tapi kamu bisa sebut aku manusia paling pelupa dan keras kepala dan bodoh bukan kepalang karena masih tabah dan gagah berdiri meski kawat rumahmu terus menyayat ragaku dan jika akhirnya hampa dan kosong di ujung jalan setidaknya kamu pernah rasakan hangat dan kasih yang meluap sekali seumur hidup dari ku.

Tapi toh besok aku lupa lagi. Jadi besok ku kasihi kamu lagi.

Ibu dan Cintanya yang Ada-ada Saja

Aku mengenal cinta dari kasih ibu yang memilih tutup mulut setiap nilaiku dapat seratus. Ia tidak pernah bilang 'kerja bagus' atau 'besok tingkatkan lagi', tapi ia akan terbangun di sepertiga malam untuk berterima kasih pada Sang Ilahi. Esoknya, aku bertanya apa yang ia obrolkan dengan Tuhan, tapi ia hanya mengusirku agar segera habiskan sarapan. Saat aku tengok ke spion kanan, ia sedang merapal doa agar aku selamat sampai tujuan. Sampai usia dua puluh dan ibu sudah sepuh, ibu masih mengaminkan setiap aku minta doa sebelum bertempur. Baginya, cinta tidak perlu menggebu-gebu dan satu dunia tahu. Cukup diucapkan saat sujud dan dikabulkan Yang Maha Agung.

Biar cintanya rahasia Biar cintanya dalam bentuk doa

Dari Sulastri Untuk Jaya,

Kalau aku mati dan kamu temukan suratku dibawa oleh gadis yang pinjam wajahku tolong suruh ia masuk dan sajikan teh hangat dengan brownies keju. Ia akan datang dengan berat hati dan langkah terseret tapi tidak ragu membantumu yang mabuk parah di bawah jalan umum. Jangan marahi dia karena hatinya lembut (walaupun dia akan memarahi kamu balik, aslinya dia tidak tega melihatmu sakit). Dia akan memaksamu pagi dan malam untuk mengakui keegoisanmu. Dia akan mempertanyakan prinsipmu yang kamu pegang sampai akhir, sampai kewarganegaraanmu dicabut, sampai orang tuamu mati tanpa tau anaknya di mana, sampai kamu hanya bisa tepati janji untuk mencintaiku selamanya. Jemari-jemari halusnya bisa memainkan piano dan ia akan bernyanyi setiap bertemu tuts-tuts hitam putih. Ajari dia untuk menyanyikan lagu kita yang kamu selipkan dalam suratmu. Ajari dia kalau negara bisa mengasingkan rakyatnya. Ajari dia kalau kamu pulang ke Indonesia, ia akan menjadi anakmu. Dan dia akan mengajarimu bahwa aku telah memaafkanmu.

Rara, tidak ada New York hari ini.

Matahari di ujung Times Square terbenam di timur dan orang-orang enggan berbaur. Katanya, terlalu malam untuk menjadi satu. Nyatanya, mereka hanya belagu. Arogansi melahap kita hidup-hidup. Memang maaf sudah terlanjur tutup?

Empire State sudah runtuh. Rubuh dibawa mereka yang serakah. Hilang mimpi mereka yang berharap. Di malam kelingkingmu kamu tautkan padaku, kamu bilang, 'mimpiku ada di gedung tinggi.' Aku balas, 'nanti kita naik bersama.' Kamu meledekku, katamu, 'di sana mereka saling makan, memang kamu tega melahapku?' Sebelum itu terjadi, gedung itu sudah melahap dirinya sendiri.

Tidak ada New York hari ini, besok, dan seterusnya. Kota ini telah mati oleh ambisi dan kita hanya mayat korporasi.

Rara, saat kamu pergi, hangat New York kamu bawa di saku kiri.

Roda ini tidak berhenti ju.

Ia melaju begitu pelan sampai ujung kakimu bisa sentuh ilalang. Mereka bertanya, 'di mana mimpimu yang hilang?'. Tapi yang lain tak perlu tahu, cukup langit yang kabulkan harapmu.

Rahasia waktu tersimpan dalam jeruji besi. Kalau jatuh bisa coba lagi. 'Kamu sudah terlalu tua untuk berlari,' tapi kamu balas dengan senyum tak peduli.

Ju, coba kamu tengok spion motormu. Ada lambaian tangan dari keluarga dan kawan. Doa terbaik dari mereka untukmu si petualang.

Roda ini tidak berhenti ju, Ia masih berputar hingga kamu menyerah.

(Kita tau itu mustahil, ya?)

Selamat putaran ke dua puluh lima, Serta mulia damai sentosa.

Aku bukan rumah, sayang. Luasku cuma 5x3. Cukup buat taruh perkakas musikmu dan abaikan keropos di tembokku.

Air suka menetes di sini. Terakhir kepala merah yang betulkan. Rusak lagi tanpa alasan. Kamu akan sulit bebersih diri. Ini desas-desus tentangku kalau kamu mau dengar lagi. Aku kotor, sayang. Jamur tumbuh dari sudutku. Percuma kalau alasanmu menetap ingin suam-suam kuku. Cuma ruang yang bisa ku berikan. Sedikit hangat juga kalau kamu minta.

Hitam pekat di lantai? Itu bekas kepala biru. Katanya ia marah karena tingkahku. Kamu bisa luapkan amarahmu juga ke telapakku. Tidak ada biaya ekstra. Aku terbiasa dianggap samsak.

Kamu bisa bayar perbulan atau perhari. Enggan bayar bukan masalah. Kamu bisa lari dan tak usah tengok belakang lagi.

Karena aku bukan rumah, sayang. Aku cuma tempat orang-orang menyewa aman. Tempat amarah ditumpahkan. Aku tidak pernah jadi pilihan.


“I'll extend the stay.”

“Until when?”

“Until you let me in.

Until you let me call you home.”

Rumahku kosong. Suhunya dingin. Kamu hembuskan nafas, ada uap putih membeku. Sudah lama begitu. Sengaja, aku kunci agar tidak ada yang masuk.

Kamu datang di musim dingin. Rumahku sudah cukup dingin, jadi aku menolak menerima tamu. Kamu tidak mengetuk, tidak pula memohon. Kamu hanya tersenyum. Kamu tanya apa aku kesepian. Aku terdiam. Rumah ini kecil sendiri. Di bukit paling atas. Jauh dari hangat.

Kamu datang dari anak bukit paling rendah. Disinari mentari pagi-sore. Katamu kamu ingin kenal. Ujung matamu tersenyum lagi, dan suhu di rumahku menghangat. Siap menyambut tamu yang tak tau sopan ini.

Perabotku senang denganmu. Mereka tanya kapan kamu akan datang lagi. Kamu menjawab, aku tidak pergi, aku akan tinggal.

Aneh, tamu ini kurang ajar. Tapi tungku api di rumahku mulai menyala. Tanaman di ujung jendela tumbuh menjalar. Mereka berteriak tinggal. Maka aku iyakan, aku bolehkan kamu tinggal. Untuk satu minggu saja.

Enam bulan berlalu dan hangatmu masih mengisi relung rumahku. Kamu masih tinggal, dan aku masih sayang.

Mandalawangi

Kalau kondisi berbeda tanpa corona, aku sudah naik truk bak terbuka dengan tas isi pop mie dan bingka. Disambut bunga-bunga mekar di pucuk. Daun naik turun kemerisik. Ada kamu juga berbisik, 'Selamat datang.'. Lalu aku akan lari tersenyum dan kita akan bicara tentang apapun selain kita. Kamu akan bertanya bagaimana kondisi negara dan aku balas tertawa. Sejarah terulang lagi, jawabku. Kamu mengerutkan dahi, berusaha menimbang terulang baik atau buruk. Aku membaca pikiranmu dan menggangguk pada keduanya. Kamu menuangkan teh ke gelasku lalu kita tertawa lagi pada sandiwara tirani.

Gie, selisih umur kita 58 tahun. Kamu cocok jadi ayahku atau bahkan kakekku. Tapi kenapa ya, kamu terasa seperti teman lama?. Aku ingin menangis di pundakmu, bercerita tentang dosen yang rese, institusi pendidikan yang tunduk pada birokrasi korup, dan ketidakadilan yang muncul di setiap sudut. Kamu juga akan cerita padaku, tentang hari-hari demonstrasi, polemik keluarga di Cikini, dan perempuan yang kamu cintai sampai mati.

Gie, aku tidak bisa lagi mendoakan semoga untukmu. Karena hidupmu sudah berakhir dan aku harus terus terkilir.

'Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda.'

Oh Gie, aku juga tak ingin hidup lebih lama lagi.

Sayang, tanganmu di mana-mana.

Pandanganmu entah kemana. Sabar, aku berbisik. Suara ku kamu anggap angin lalu, kecuali saat aku memanggil namamu.

Waktu kita sebentar, ucap kamu. Aku tau, balasku.

Tangan kamu bergerak lagi, melucuti sekat-sekat di antara kita. Bibirku ikut tak sabar dan menyapa bibirmu lebih dulu. Manis, manis, manis, seperti pesan kamu di pagi hari, seperti kedipan genit yang kamu beri, seperti kepura-puraan yang kita bagi.

'Kalau ada semesta lain, apa kita bisa?'.Pertanyaan kamu minggu lalu, tiba-tiba masuk lagi ke benakku.

Kalau di semesta lain lelakiku bukan sahabatmu, mungkin iya, mungkin kita bisa.

Sekarang aku minta tolong, jangan kasih jejak seperti minggu lalu, bisa?. Lelakiku tau, tapi dia mau aku cerita lebih dulu.

Kamu tersenyum di tengah bibir kita bertaut. Kembang api di perutku menyaut. Katanya, kamu tau ini salah, tapi lanjutkan sajalah.

'Ding!'

Pengumuman kereta tiba. Bagai latihan tanggap bencana, kita sigap kembali menata busana. Aku berlari ke toilet untuk berkaca. Takut terlihat rahasia kita.

Kamu sudah berdiri di samping sahabatmu, lelakiku. Kamu memeluknya erat sebelum menyapaku yang baru kembali. Dua tepukan formalitas di pundak, tiga elusan di pucuk kepala.

Kamu melambai sedikit sebelum berbalik masuk kereta. Dari jendela kamu menyapa lagi. Kami tertawa sampai tatapan sedihmu hanya kamu tujukan padaku.

Keretapun berangkat.

Sayang, lelakiku tau rahasia kita.

Sore

Kamu lahir jam 6 sore. Tepat saat matahari terbenam. Hari ini kamu ajak aku buat lihat matahari terbenam di pantai dekat rumah. Aku tanya 'kenapa?' kamu jawab 'ya emang kenapa?' Lalu tertawa. Pantai dekat rumah yang kamu maksud ialah perjalanan dua jam naik mobil. Untung umur 17 sudah lewat, jadi kita ga perlu mengulangi tragedi kena tilang 2016 silam.

Toh, selama jalan bareng kamu selalu ada tragedi. Kali ini ban kempes di tengah jalan tol. Aku udah panik dan kamu cuma ketawa. Untung ada keluarga baik yang lihat kita bengong di pinggir jalan.

'Mau ke mana, mas?'

'Ke pantai pak, biasa.'

'Biasa apa, mas?'

'Nemenin mbanya.' Dan mata kamu mengarah padaku. Aku cuma senyum santun ke bapaknya. Dalam hati bingung antara mau senyum salah tingkah atau nginjek kamu karena geli.

Setelah bertukar terima kasih ke keluarga baik itu, kami lanjut lagi. Aku terus-terus berdoa semoga ga ada kejutan seperti tadi, dan tahun-tahun sebelumnya, kamu masih ceria dan otak-atik playlist. Dari playlist kondangan, playlist gramedia, playlist konser, kamu puter semua.

Tapi mulut kamu lebih variatif daripada playlist manapun. Ga berhenti ngomong, selalu ada cerita. Kamu cerita kemarin anjing kamu makan rambutan, mamah kamu panik langsung bawa anjing kamu ke rumah sakit. Kemarinnya lagi kamu jatuh di kamar mandi karena nyoba bersihin kamar mandi pakai sabun muka. Aku ketawa. Setengah ketawa setengah sebel.

Tiba-tiba kamu cerita kamu seneng banget masih dikasih umur lagi. Buat bikin seneng mamah sama kakak kamu. Buat main sama temen-temen geng kamu yang ada 10 orang itu. Buat berbuat baik sama banyak orang. Kamu bilang mau bikin panti asuhan nanti di ulang tahun yang ke 21. Ada keraguan di suara kamu, tapi aku aminkan. Eksekusinya gatau, tapi coba dulu, tanggapku. Kamu senyum kecil sebelum mulai parkir.

Target kamu kita sampai jam 5 sore, tapi karena tragedi ban kempes barulah kita sampai tepat jam 5 lebih 50 menit. Matahari mulai turun. Kamu keluar dari mobil dan mulai mejamkan mata. Aku tebak kamu sedang berdoa untuk orang di sekitar kamu dulu, baru kamu. Aku diam-diam ikut mejamkan mata dan ikut berdoa. Semoga kamu dapat kasih sayang yang kamu kasih ke orang lain. Semoga keraguan kamu tentang kemampuan kamu, diri kamu, hilang. Semoga cuma hal-hal baik yang menghampiri kamu. Semoga kamu bisa lihat diri kamu dari mataku.

Tepat jam 6 sore kamu buka mata dan langit sore menyapa. Warna oren cantik dengan sedikit ungu. Ombak berdebur lembut seakan turut mengucapkan selamat ulang tahun. Ilalang kanan kiri disapu angin sore, yang ikut menggerakan rambut kamu. Dan kamu tersenyum. Doaku paling kencang, semoga kamu bisa lihat diri kamu dari mataku.

Tepat saat matahari terbenam, matahari baru terbit dengan wujud kamu.