nothingreally

“Kalo ulang tahun, kamu mau dikasih apa?”

Yang ditanya terdiam, berpikir. Yang bertanya gugup. Takut yang diminta bukan yang bisa dibeli. Takut dia minta aneh-aneh, tapi ga bisa komplen, kan mau ulang tahun.

“Kamu maunya kasih apa?”

Kok dia nanya balik?. Yang bertanya makin bingung. Kalau kalau ini pertanyaan jebakan. Cuma buat ngetes kalau yang bertanya kenal sama yang ditanya atau engga. Atau, ini buat tau budget ulang tahun tahun ini. Tapi masa sih dia sepelit itu?. Dikasih tumis jamur juga seneng kok.

Coba absen dulu, dia sukanya apa. Tumbuhan, yang lagi in banget kan kaktus mini. Tapi itu udah kado tahun lalu. Terus kalo pesen sampenya cepet, bingung taruh di mana.

Yang lain deh, jam tangan?. Om om paruh baya banget ga sih. Dia dikasih jam juga tetep nanya waktu ke orang lain.

Kasih bintang aja kali biar kayak fans-fans kpop. Tapi dia praktikal banget orangnya, kalo ga ada fungsinya buat apa. Bingung.

“Kamu bingung.”

Yang ditanya bicara lagi. Barusan itu kalimat pertanyaan apa pernyataan ya?. Tapi jawabannya tetep iya, sih.

“Kamu besok masuk?”

Yang ditanya jadi balik bertanya.

“Iya.”

“Ambil cuti ya. Temenin aku.”

Yang awalnya bertanya mulai bingung. Mulai ingat, ingat lagi kalau cowo 25 tahun menuju 26 yang duduk di sofa hijau sekarang masih bayi, bayi gede. Yang butuh ditemenin kalau lagi liburan karena takut kalau tukang reparasi datang dan dia ga tau mana bagian yang rusak. Takut kalau tiba-tiba dititipin anak tetangga sendirian dan dia cuma diam aja sampai anaknya pulang sendiri karena 'om-nya nyeremin'. Takut kalau tidur dan bagian kasur sebelah kosong padahal penghuni satunya cuma bergeser sedikit, dan mulai menarik ujung jari penghuni satunya agar mendekat.

Yang bertanya hanya tersenyum. Berjalan mendekat dan tenggelam dalam punggung hangat yang ditanya. Mengelus pelan lengan sampai ke tangannya. Kaget sedikit karena tangan satunya mulai mengamitnya perlahan.

“Aku kasih kamu lotion aja ya.”

“Kenapa?”

“Tangan kamu kasar banget.”

Keduanya tertawa. Yang bertanya mengecup pelan pipi yang ditanya. Tanda 'Iya, aku bakal cari alasan biar bisa cuti besok'. Hadiah ulang tahun memang ga perlu repot kalau sama yang satu ini.

Minggu

Kalau ditanya, jujur, aku paling benci hari Minggu. Kata orang hari Sabtu bisa dipakai buat istirahat, hangout, dan hal tidak produktif lainnya. Dulu, kamu selalu ngajak aku pergi hari Minggu. Selalu hari Minggu, ga boleh Selasa apalagi Jumat. Harus Minggu.

“Biar kangennya numpuk.” Katanya.

Kamu ga pernah bikin kejutan. Kamu ga pernah tiba tiba impulsif ngajak aku ke kafe a, kafe b. Kamu selalu terbiasa dengan rutinitas. Jemput aku jam 7 malam di kampus, lanjut makan es krim di robusta, aku yang kelamaan makan es krim dan terpaksa makan sambil jalan. Kamu suka tiba tiba curi sesuap (sekaligus curi curi waktu untuk menautkan kelingking kita) (iya kelingking soalnya kamu malu, tapi aku lebih)

Bertahan sama kamu selama ini, selama hampir setahun ini bikin aku sendiri kaget. Aku ga pernah bisa stagnan, punya rutinitas. Tapi kamu, kamu kumpulan dari hal hal yang aku tolak mentah mentah, yang tolak aku cerna. Entah apa yang bikin kita sama sama sadar kalau kita ada di satu frekuensi rasa yang sama. Dan kesadaran itu datang di hari Minggu.

Kamu cerita dua, tiga bulan yang lalu, kalau ulang tahun kamu tahun ini hari Minggu. Kamu bilang kita harus ketemuan, terus aku tanya, bukannya kita pasti bakal ketemu? Bodoh sih, pertanyaan barusan. Karena kita sama sama sadar kalau jauh sebelum Minggu, 22 September, kita udah berhenti ada di satu frekuensi rasa yang sama.

Harusnya toh kamu sedih, aku juga harusnya sedih. Tapi kenapa engga ya? Atau memang kita dari awal hanya berusaha memanipulasi hati kalau kita itu saling memiliki? Kalau kita bisa lebih? Kalau perbedaan menyatukan?. Naif juga ya kita. Itu kata kamu. Malam saat kita menyudahi “kita”. Aku ketawa.

Aku baru pulang. Kereta malam ini sepi. Mungkin orang orang lagi menghabiskan waktu dengan orang terkasih. Iseng iseng aku liat tanggal dan reminder ulang tahun kamu muncul. Ya udah, seperti masyarakat pada umumnya. Aku ngucapin kamu selamat ulang tahun di media sosial. Kamu langsung baca, langsung telfon aku.

Kamu bilang makasih udah inget, aku ketawa. Aku tanya kenapa harus tiba tiba telfon? Kata kamu engga papa, sepi aja sekarang engga ada yang bawel. Aku ketawa lagi. Aku kira kamu suka banget rutinitas, aku kira kamu bakal ngajak aku ke robusta lagi. Curi curi es krim ku lagi. Tapi malam ini engga, malam ini kamu tau rutinitas engga bakal bikin aku dan kamu jadi kita lagi. Malam ini kamu memutuskan untuk mengubur cererita kita rapat rapat, dalam dalam.

Minggu malam ini, kita kembali jadi individu masing masing. Tanpa ikatan, tanpa rasa. Aku kembali ke dunia ku dan kamu ke dunia mu. Kita tetap jadi aku dan kamu. Kita tetap ada di masa lalu.

Minggu

Kalau ditanya, jujur, aku paling benci hari Minggu. Kata orang hari Minggu bisa dipakai buat istirahat, hangout, dan hal tidak produktif lainnya. Dulu, kamu selalu ngajak aku pergi hari Minggu. Selalu hari Minggu, ga boleh Selasa apalagi Jumat. Harus Minggu.

“Biar kangennya numpuk.” Katanya.

Kamu ga pernah bikin kejutan. Kamu ga pernah tiba tiba impulsif ngajak aku ke kafe a, kafe b. Kamu selalu terbiasa dengan rutinitas. Jemput aku jam 7 malam di kampus, lanjut makan es krim di robusta, aku yang kelamaan makan es krim dan terpaksa makan sambil jalan. Kamu suka tiba tiba curi sesuap (sekaligus curi curi waktu untuk menautkan kelingking kita) (iya kelingking soalnya kamu malu, tapi aku lebih)

Bertahan sama kamu selama ini, selama hampir setahun ini bikin aku sendiri kaget. Aku ga pernah bisa stagnan, punya rutinitas. Tapi kamu, kamu kumpulan dari hal hal yang aku tolak mentah mentah, yang tolak aku cerna. Entah apa yang bikin kita sama sama sadar kalau kita ada di satu frekuensi rasa yang sama. Dan kesadaran itu datang di hari Minggu.

Kamu cerita dua, tiga bulan yang lalu, kalau ulang tahun kamu tahun ini hari Minggu. Kamu bilang kita harus ketemuan, terus aku tanya, bukannya kita pasti bakal ketemu? Bodoh sih, pertanyaan barusan. Karena kita sama sama sadar kalau jauh sebelum Minggu, 22 September, kita udah berhenti ada di satu frekuensi rasa yang sama.

Harusnya toh kamu sedih, aku juga harusnya sedih. Tapi kenapa engga ya? Atau memang kita dari awal hanya berusaha memanipulasi hati kalau kita itu saling memiliki? Kalau kita bisa lebih? Kalau perbedaan menyatukan?. Naif juga ya kita. Itu kata kamu. Malam saat kita menyudahi “kita”. Aku ketawa.

Aku baru pulang. Kereta malam ini sepi. Mungkin orang orang lagi menghabiskan waktu dengan orang terkasih. Iseng iseng aku liat tanggal dan reminder ulang tahun kamu muncul. Ya udah, seperti masyarakat pada umumnya. Aku ngucapin kamu selamat ulang tahun di media sosial. Kamu langsung baca, langsung telfon aku.

Kamu bilang makasih udah inget, aku ketawa. Aku tanya kenapa harus tiba tiba telfon? Kata kamu engga papa, sepi aja sekarang engga ada yang bawel. Aku ketawa lagi. Aku kira kamu suka banget rutinitas, aku kira kamu bakal ngajak aku ke robusta lagi. Curi curi es krim ku lagi. Tapi malam ini engga, malam ini kamu tau rutinitas engga bakal bikin aku dan kamu jadi kita lagi. Malam ini kamu memutuskan untuk mengubur cererita kita rapat rapat, dalam dalam.

Minggu malam ini, kita kembali jadi individu masing masing. Tanpa ikatan, tanpa rasa. Aku kembali ke dunia ku dan kamu ke dunia mu. Kita tetap jadi aku dan kamu. Kita tetap ada di masa lalu.