Sayang, tanganmu di mana-mana.

Pandanganmu entah kemana. Sabar, aku berbisik. Suara ku kamu anggap angin lalu, kecuali saat aku memanggil namamu.

Waktu kita sebentar, ucap kamu. Aku tau, balasku.

Tangan kamu bergerak lagi, melucuti sekat-sekat di antara kita. Bibirku ikut tak sabar dan menyapa bibirmu lebih dulu. Manis, manis, manis, seperti pesan kamu di pagi hari, seperti kedipan genit yang kamu beri, seperti kepura-puraan yang kita bagi.

'Kalau ada semesta lain, apa kita bisa?'.Pertanyaan kamu minggu lalu, tiba-tiba masuk lagi ke benakku.

Kalau di semesta lain lelakiku bukan sahabatmu, mungkin iya, mungkin kita bisa.

Sekarang aku minta tolong, jangan kasih jejak seperti minggu lalu, bisa?. Lelakiku tau, tapi dia mau aku cerita lebih dulu.

Kamu tersenyum di tengah bibir kita bertaut. Kembang api di perutku menyaut. Katanya, kamu tau ini salah, tapi lanjutkan sajalah.

'Ding!'

Pengumuman kereta tiba. Bagai latihan tanggap bencana, kita sigap kembali menata busana. Aku berlari ke toilet untuk berkaca. Takut terlihat rahasia kita.

Kamu sudah berdiri di samping sahabatmu, lelakiku. Kamu memeluknya erat sebelum menyapaku yang baru kembali. Dua tepukan formalitas di pundak, tiga elusan di pucuk kepala.

Kamu melambai sedikit sebelum berbalik masuk kereta. Dari jendela kamu menyapa lagi. Kami tertawa sampai tatapan sedihmu hanya kamu tujukan padaku.

Keretapun berangkat.

Sayang, lelakiku tau rahasia kita.