Noturlilangell

Jeno keluar ruang rapat dengan terburu, menatap jam mahal yang melingkar apik di tangannya, pukul tujuh malam dan ia baru selesai rapat,

“Tolong siapkan mobil saya secepatnya” Sekretaris jeno yang berjalan disampingnya mengangguk menerima kunci mobil jeno dan berlari menuju parkiran secepatnya.

Jeno membuka ponselnya dan segera menghubungi sang papa

‘Papa?! Bukankah papa melanggar perjanjian kita?’ Ia meninggikan nada bicara sesaat setelah yang disebrang mengangkat panggilannya.

Ia mengerutkan dahinya mendengar jawaban sang papa ‘aku menuju ke sana secepatnya, dan jangan pernah menyentuh ibu’ ucapnya menekankan seluruh kata didalam kalimatnya.

Ia memasuki mobilnya dan melajukannya dengan kencang, ia sangat marah sekarang

“Papa?!” Jeno berteriak. suaranya menggema disebuah lorong rumah sakit yang sangat sepi, hanya ada satu kamar diujungnya, vvip.

Ia tiba dihadapan papanya “papa bilang kalo jeno menikahi renjun, ibu akan tetap hidup?!”

Lelaki yang lebih tua didepannya mengusap wajahnya kasar “jeno? Mau sampai kapan? Hari ini dokter menelfon papa, ibumu kejang?! Kamu seperti ini cuman nyiksa ibu jeno”

Jeno menatap sang ibu melalui jendela kaca, perempuan paruh baya yang masih cantik walaupun terlihat kurus sedang terbaring lemah disana, “sebentar aja pa, jeno mohon”

ia berujar sedih, meletakkan tanganya pada jendela kaca didepannya “sebentar aja, jeno belum siap kalo ibu bener-bener pergi”

Jeno membuka pintu kamar rawat ibunya dan duduk disamping ranjang pasien, meninggalkan papanya diluar ruang rawat, sudah lama ia tidak berbincang dengan sang ibu, hanya berdua

“Ibu- ibu capek ya? Maafin jeno, tapi jeno masih percaya keajaiban bakal dateng ke ibu, sebentar aja, ibu bertahan ya, jeno percaya ibu bakal bisa sadar dan balik lagi nemenin jeno disini” ia mengusap tangan kurus sang ibu,

Ia merasa matanya berlinang sekarang, “haha jeno udah besar, tapi masih pengen diusap kepalanya sama ibu kalo mau nangis, ibu? Jeno boleh cerita sedikit?”

Ia mengubah posisi duduknya nyaman dan bercerita pada sang ibu “sekarang jeno udah menikah, maafin jeno telat ngabarin ibu, kalo ibu gak lagi dalam keadaan ini mungkin ibu benci banget sama jeno, ibu yang selalu ngingetin jeno tentang kebaikan dan tuhan, tapi jeno malah main-main dihadapan tuhan, awalnya jeno benci banget sama pernikahan ini, cuman ini satu-satunya cara biar ayah gak setuju ke dokter buat ngelepasin alat bantu hidup ibu. Tapi setelah beberapa saat, sepertinya pasangan jeno gak terlalu buruk, namanya renjun huang, dia baik walau agak ceroboh, dia manis jadi banyak yang suka”

Ia menghela nafasnya sebentar “jeno takut ibu”

Jeno mengusap tangan sang ibu dan menundukkan kepalanya “jeno takut kalo jeno bakal terbiasa sama renjun dan ngelupain dia, Ibu masih inget gak? temen sma jeno yang datang seperti takdir?”

Jeno terkekeh “dia yang dulu bawain jeno pelangi ditengah hujan, anehnya kita ketemu lagi setelah bertahun-tahun dan jadi temen sma, tapi sekarang kita harus pisah lagi” ia menerawang kembali semasa sekolah.

Jeno mengecup dahi sang ibu “maafin jeno ngelanggar omongan ibu, cuma ini cara satu-satunya supaya jeno bisa jaga hati buat dia, jeno gak boleh terlalu deket sama renjun”

“Ibu mau cerita seru lainnya?” Jeno kembali bercerita pengalamannya selama beberapa bulan terakhir, ia tertawa dan bersedih. Waktu berlalu begitu cepat saat ia mencurahkan semua perasaannya pada sang ibu.

“Terimakasih mr han” renjun memasuki apartment dengan plastik belanja yang sangat banyak, apartment jeno ini sangat besar tetapi bahkan sebutir telur saja tidak ada, alhasil renjun membeli sangat banyak hal dari sayur, buah, daging, ikan, mie dan bahkan makanan kaleng.

Selesai menata semua bahan, renjun bersiap untuk memasak sambil melihat file resep dari ponselnya yang dikirim mamanya tadi.

Ia fokus memotong ikan saat suara pintu apartment yang ditutup mengagetkannya, renjun itu mudah terkejut, ia meletakkan asal pisau ditangannya dan berlari kecil menuju pintu depan. Jeno sudah pulang.

Renjun mendapatkan tatapan bingung dari jeno saat ia menatapnya sambil tersenyum lebar,

“Kenapa?” Jeno bertanya, renjun pergi ke belakang jeno dan membantu melepaskan jas jeno.

“Bantuin kamu” setelahnya ia menyampirkan jas jeno di lengannya untuk diletakkan ke mesin cuci nanti. “Kamu mandi dulu ya, tinggal dikit udah jadi makan malamnya”

Jeno hanya mengangguk

“Mau disiapin air panas?” Tawar renjun sebelum kembali meneruskan masakannya

Kali ini jeno menggeleng “nggak usah, hari ini sedikit gerah, saya mandi air dingin” ucap jeno membuat renjun menggangguk dan menuju ruang laundry di apart jeno kemudian meneruskan kegiatannya memasak

Jeno melepas kemeja putih yang melekat di tubuhnya, ia hendak meletakkan pada keranjang baju kotor saat matanya menatap bercak merah di bahu kemejanya,

Ia menyentuh bercak tersebut dan membaunya “darah?”

Seharian ini kemejanya dilapisi oleh jas, ia lantas mengingat satu-satunya orang yang menyentuh kemejanya? Apakah renjun saat membantunya melepas jas tadi? Apa renjun terluka?

Ia memakai kembali kemejanya, dan mengambil kotak obat dikamarnya

“Renjun”

Renjun yang sedang mengaduk supnya menoleh pada jeno “loh kamu kok belum mandi?”

Renjun tersentak kaget saat jeno tiba-tiba menarik tangannya dan melihat setiap jari renjun

Jeno tampak marah, ia mengambil obat merah dan plester lalu menarik lembut jari telunjuk renjun yang terluka “lain kali kamu gausah membantu saya melepas jas sepulang kerja, kamu juga nggak perlu masak, kalo lapar bisa pesen makanan”

Jeno merekatkan plester di tangan renjun “orang tua kamu akan menyalahkan saya kalo anaknya terluka”

Renjun menatap jeno yang berlalu kembali ke kamarnya, ia merinding, jeno sangat dingin. Ia hanya ingin menjadi suami yang baik, tapi sepertinya jeno tidak membutuhkan itu.

Renjun melangkah keluar kamar setelah membersihkan diri dengan pakaian tidur berwarna biru laut miliknya, ia lapar saat ini dan ingin menagih janji jeno memesankan makanan untuknya, ia meneliti kesegala arah “dimana jeno?” Ia bergumam dan melangkahkan kakinya mengitari kamar hotel yang cukup besar tersebut tetapi tidak menemukan jeno dimanapun.

Ia duduk disofa besar diruang tengah hotel dan menghela nafas, apa se-tidak ingin itu jeno berada di ruangan yang sama dengannya? Jeno sangat menghindarinya apakah karena jeno membencinya? Tapi mengapa?

Ia menggeleng “aku juga menikah karena terpaksa, kalo kamu ngerasa gak adil dan marah, bukannya aku juga harusnya sama?” Ia berbicara sendiri lantas berdiri, renjun menghentakkan kakinya sebal dan menuju ke kantin hotel, persetan. jeno tidak mungkin ingat janjinya memesankan makanan untuknya.

Ia membawa semangkuk mie saat netranya menatap seseorang yang ia kenal tengah duduk sambil merokok di tempat duduk dekat jendela

“Jaemin!!” ia berteriak menghampiri teman barunya yang merupakan sahabat suaminya itu. Berfikir sebentar mengapa jaemin berada disini? ‘Mungkin saja jaemin ingin makan sebelum pulang’ fikirnya

Jaemin seperti terkejut melihatnya “hai? Ngapain disini?” Ia bingung menatap pada mangkuk diatas nampan yang dibawa renjun

Renjun mengerucutkan bibirnya dan duduk didepan jaemin “makan?! Apalagi?!”

Jaemin terkekeh, tak ingin bertanya lebih lanjut, tak ingin terlalu ikut campur. Ia jelas tahu pasti terjadi sesuatu.

Renjun menatap jaemin yang mematikan rokoknya “lah masih panjang, Kenapa dibuang?”

Jaemin tersenyum “gapapa nanti si cantik keganggu makannya”

“Fiafa fi tantik?” Renjun bertanya dengan mulut penuh makanan membuat jaemin tertawa, ia mengeluarkan sapu tangan miliknya dan memberikannya pada renjun

“Awas, cemot semua tuh, makan sambil ngomong kayak anak kecil aja” ia mengusak rambut renjun dan bertanya “besok langsung ke apart jeno?”

Renjun menangguk sambil membersihkan bercak makanan dimulutnya dengan sapu tangan jaemin “rencananya sih bakal tinggal di apart jeno, barang-barang udah aku pack kemaren”

Jaemin tersenyum “udah cepet dihabisin makanannya trus bobo, pasti capek seharian berdiri sambil senyum gitu”

Renjun mengangguk, ia makan sambil tertawa bersama jaemin, setidaknya ia lupa perihal jeno saat ini

Renjun menatap jam di ponselnya “setengah satu?” Ia bergumam, apa jeno baik-baik saja?

selepas makan tadi, ia langsung kembali ke kamarnya dan duduk di sofa, tentu saja menunggu jeno. Tetapi yang ditunggu tak kunjung kembali, Hey, renjun menghawatirkannya tentu saja, setidaknya sebagai sesama manusia, jeno tiba-tiba pergi dan tak kunjung kembali, siapa yang tidak khawatir? Niat menghubungi pria itu urung saat ia mengingat perkataan jeno tentang batasan yang ia buat, ia takut pria tersebut akan terganggu dan bersikap lebih dingin padanya.

Ia memutuskan akan duduk disofa ini setengah jam lagi, jika jeno tak kunjung kembali, ia akan tidur di kamar, ia hendak merebahkan dirinya saat lengannya menyenggol air putih diatas meja, ia mengambil sapu tangan jaemin yang dipinjamkan padanya tadi dan membersihkan air yang tumpah.

“Papa sayang banget sama kamu, maafin papa sayang” renjun menatap lelaki yang lengannya sedang ia amit saat ini,

Mereka berjalan menuju ke seseorang yang tengah menunggunya di altar, pernikahan yang indah dan tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga, para kerabat, kolega, dan teman dekat, tentu saja bukan teman renjun, ia tidak memiliki teman ingat?

“Tolong jaga putra sulungku” ayah renjun memberi tangan renjun untuk berpindah mengamit tangan jeno.

Mereka berdua berdiri menghadap pendeta didepannya dan bergantian mengucap sumpah,

Para tamu bersorak saat pendeta mensahkan pernikahan kedua orang didepannya,

Sang mc mengusap matanya dengan tissue “haha maafkan saya para hadirin, saya memang orangnya lembut dan suka terbawa suasana” para tamu tertawa dibuatnya “sekarang bukankah saat yang ditunggu-tunggu oleh mempelai?”

Sang mc menatap jeno dan renjun “mempelai silahkan mencium pasangannya” para tamu bersorak untuk mereka

Jeno mendekat dan mencium kening renjun, ia berbisik kecil setelahnya “karena banyak orang”

“Wahhh, mereka bilang kecupan tulus itu berada di dahi, sepertinya jeno lee sangat menyayangi renjun ya, haha atau mungkin mereka malu, mereka akan melakukannya ditempat lain saja nanti malam” sang mc bercanda, tawa para tamu membuat renjun tersipu, apa ia akan melakukannya dengan jeno? Ia tidak ingin, ia tidak siap sekarang

Jeno melihat pipi renjun memerah “jangan berfikir macam-macam” ucapnya supaya renjun tidak memikirkan hal yang sangat mudah dibaca oleh jeno.

Saat ini mereka berdiri dan menyalami para tamu yang hadir, renjun melihat jaemin naik untuk bersalaman dengannya dan jeno,

“Happy wedding bro” jaemin memeluk jeno sebentar “jaga baik-baik, mata gue awas”bisiknya saat memeluk jeno.

Ia beralih ke arah renjun dan menyalami tangannya, tetapi renjun berangsur memeluknya “makasih banyak jaemin”

Jeno berdehem sebentar membuat renjun melepas pelukannya pada jaemin, renjun lantas menggenggam satu tangan jaemin dengan kedua tangannya, ia teringat pesan jaemin kemarin malam, renjun hanya menggenggam tangan jaemin tanpa berujar sepatah kata

Jaemin terkekeh mengusak rambut renjun “gemes” ia lantas menatap jeno, entahlah jaemin tidak bisa membaca ekspresi jeno saat ini.

Jeno dan renjun sekarang berada didalam salah satu kamar mewah di hotel tempat mereka melangsungkan pernikahan.

Jeno meletakkan tubuhnya secara kasar ke sofa besar ruang tengah kamar hotel tersebut, sangat lelah berdiri berjam-jam disana, ia menatap renjun yang masih berdiri didepan pintu sambil mengamati sekitar, apa renjun tidak lelah?

“Ngapain?” Suara jeno membuat renjun berjengit kaget,

“Ah enggak” renjun menundukkan kepalanya membuat jeno geram, ia sangat benci seseorang yang bertele-tele

Masih dalam posisinya duduk bersandar disofa, ia menatap renjun tajam “lihat sini” ucapnya tegas

Renjun menatap ke arahnya, sedikit takut, sudah renjun bilang entah mengapa segala tentang jeno mengintimidasinya

“Kalo diajak ngomong natap lawan bicaranya, dan kalo saya nanya kenapa, jawab! gausah bertele-tele”

Renjun mengangguk atas ucapan jeno, ia berfikir, haruskah ia jujur pada jeno? Ia takut jeno marah, pria tersebut terlihat lelah

“Umm- sebenernya aku laper”

Renjun mendengar jeno menghela nafasnya, apa ia merepotkan jeno? Sebenarnya sampai mana batasan mereka, setidaknya apa mereka tidak bisa menjadi teman? Entahlah ia akan bertanya pada jeno suatu saat nanti.

“Nanti saya suruh orang buat antar makanan” renjun tersenyum kecil, ia tidak akan tidur dengan nyenyak malam ini “sekarang kamu bersih diri dulu” ucap jeno

Renjun mengangguk “terimakasih jeno”

Ia berbalik setelah beberapa langkah “kamu gausah terlalu formal? Dibanding ‘saya’ bukannya lebih nyaman ngomong pake ‘aku’?”

Jeno menatap renjun serius “ini batasan yang saya buat”

Renjun mengangguk dan berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, dan menyadari satu hal, sepertinya mereka hanya akan selalu menjadi orang asing dibawah atap yang sama untuk kedepannya.

Renjun turun dari mobil jaemin “makasih banyak buat traktiran makan siang dan udah anter hehehe”

Jaemin tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya “my pleasure, nanti mau dijemput?”

Renjun menggeleng “nanti bareng jeno kok, harus ke tempat lain dulu”

Tentu saja bohong, ia tak akan ketempat lain, ia pun tak yakin apakah jeno mau mengantarnya kembali. Ia hanya tak ingin merepotkan jaemin lagi

Postur jeno sedang duduk disofa ruang tunggu dan memainkan ipad nya membuat renjun meremang, bahkan ia hanya diam dan renjun sudah merinding

Ia melangkah mendekat dan duduk di sofa sebelah tempat jeno duduk, sedikit agak jauh.

Ia baru saja akan memulai obrolan tetapi seorang wanita paruh baya mendatangi mereka, renjun tebak itu adalah sang designer, pemilik butik ini.

Renjun dan jeno berdiri, sesuai kesepakatan mereka tentang harus ‘bersikap’ didepan orang lain, renjun melangkah mendekat, ia merasakan jeno memegang pinggulnya, mungkin mencengkram? Renjun merasa sedikit sakit, Sebentar? Dalam perjanjian tertulis harus ‘bersikap’ tetapi apa merangkul pinggang tidak terlalu berlebihan?

Ia menatap ke arah jeno yang sedang bersalaman dengan sang designer.

Ia turut menyalami sang designer saat wanita itu tersenyum padanya “ah! mr jeno bukankah calonmu ini kelewat indah? aku rasa baju apapun akan terlihat indah jika dia yang memakai”

Jeno hanya tertawa kecil, sedang renjun tersipu atas pujian wanita didepannya

“Mari ikut saya” mereka dibawa ke sebuah ruangan, penuh tuxedo dengan berbagai warna, motif dan ukuran

Designer tersebut mengeluarkan enam buah patung yang saling berpasangan memakai tuxedo senada “kemarin mr lee sudah memberi saya ukuran kalian, bagimana tentang 3 pasang tuxedo ini?”

Renjun menatapnya kagum, sangat indah, dan elegan, ia bertanya-tanya seberapa mahal tuxedo ini?

Walaupun ia dibesarkan dikeluarga berkecukupan tapi sungguh, tuxedo ini kelewat mewah dari yang pernah ia lihat.

Jeno mengangguk “boleh, kami hanya akan mengambil dua tetapi kami ingin mencoba ketiganya”

“Baiklah, bagimana dengan mr renjun dahulu?” Ia tersenyum dan membawa renjun ke sebuah tempat ganti.

Renjun menatap ke cermin besar didepannya dan terkekeh kecil, ia sangat manis dan tampan “gaada salahnya mengagumi diri sendiri kan?”

Ia menoleh ke kanan dan kiri, mengapa designer tersebut sangat lama kembali, ia hendak duduk di lantai karena sedikit lelah berdiri sebelum jeno tiba-tiba masuk ke ruang gantinya

“Ah!? Je kamu salah ruang” ia kaget dengan kehadiran jeno yang tiba-tiba masuk dan mengunci bilik tempat ia berganti pakaian

Jeno melangkah mendekat dan tersenyum, sudah renjun bilang senyum yang memuakkan, terlihat jahat dan menyeramkan

Renjun melangkah mundur seiring jeno yang melangkah mendekat “bukankah di perjanjian tertulis untuk bersikap?”

Renjun seperti gagu dibuatnya, bukankah ia hanya diam sedari tadi? ia juga membiarkan saja saat jeno merangkul pinggangnya

Jeno mencengkram pipi renjun “apakah datang dengan pria lain kesini termasuk bersikap?”

Jeno melihatnya?

Jeno terkekeh kecil “apakah kamu mulai menggoda sahabat saya? Saat saya bilang saya tidak tertarik padamu?”

Renjun sangat marah sekarang, ia hanya menerima bantuan dari seorang teman, mengapa jeno sangat merendahkannya seperti ini.

Ia memalingkan wajahnya kasar membuat cengkraman jeno lepas “siapa yang menggodanya?! aku hanya menerima bantuan dari seorang teman dibanding tersesat mencari butik ini seorang diri?!” Renjun marah mulai menaikkan nada bicaranya,

“oh teman, sejak kapan kalian berteman, sejak saling menyentuh malam di tokomu waktu itu?”

Renjun berusaha mengingat, apakah yang dimaksud jeno adalah malam kemarin? Dari mana jeno bisa tahu? Persetan dengan jeno tau dari mana ia merasa ucapan jeno sudah melampaui batas, hiraukan soal dirinya. Tetapi bagaimana bisa jeno berfikiran seperti itu pada sahabatnya sendiri

“Apa yang kamu maksud jeno lee?”

Jeno memincingkan matanya, ia sendiri tidak tau mengapa ia merasa kesal saat tadi ia melihat renjun turun dari mobil merah yang sangat ia hafal, mobil jaemin. Dan tentang malam itu saat jaemin mengusak rambut renjun.

Jeno hanya mendengus dan berlalu meninggalkan renjun.

Renjun memasukkan kue pesanan adiknya kedalam sebuah kotak, dan menyimpannya terpisah,

Ia duduk dibelakang etalase toko kue miliknya, membuka kertas pemberian jeno tadi, apa keputusannya sudah benar? haruskah ia kabur saja? Seperti saran jisung?

“Permisi”

Renjun menutup kertas ditangannya dengan asal, raganya seperti ditarik kembali ke bumi, ia sangat terkejut, ia bahkan tidak menyadari kedatangan pelanggan didepannya.

Ia berdiri dan menatap kesekitar, dimana lisa yang bertugas menjaga toko? Ah, mungkin ia sedang ke kamar kecil saat renjun sibuk dengan lamunannya tadi

“Ah iya, maaf. silahkan saya bantu mencatat pesanan anda”

Pemuda didepannya terkekeh dan menatap kue kue cantik yang berada di etalase “aku mau red velvet dua ya”

Renjun memasukkan kue tersebut kedalam kotak dan membungkusnya indah, ia meyebutkan nominal dan menerima sebuah kartu dari pelanggan didepannya.

‘black card, pasti bukan orang biasa’ renjun hanya cuek dan menyerahkan kembali kartu tersebut setelah transaksi berhasil

Pemuda didepannya melirik sedikit pada kertas pemberian jeno yang sedikit terbuka bekas tadi renjun buru-buru meletakkan karena kaget.

Ia mengernyitkan dahinya sebentar dan mengambil kertas tersebut dibanding kartu yang disodorkan padanya.

Renjun berusaha mengambil kertas tersebut “permisi tuan, itu milik saya!” Renjun memutari etalase saat lelaki didepannya melangkah mundur, renjun sulit menjangkaunya.

“Sebentar” lelaki itu membacanya dengan mengangkat kertasnya tinggi-tinggi, renjun kesusahan menggapainya karena posturnya yang lebih kecil.

Lelaki itu menyodorkan kertas tersebut pada renjun dan menatapnya lekat “apa ini?” Tanyanya

Renjun menerima kertas tersebut dengan kasar, siapa lelaki ini, ia terlalu ikut campur “maaf, saya rasa ini bukan urusan anda, silahkan menerima pesanan anda dan anda bisa meninggalkan toko saya”

Lelaki tersebut melangkah mendekat ke arah renjun, mengambil sebuah kartu dari balik jasnya dan memberikannya pada renjun “kebetulan yang luar biasa, seperti takdir, saya jaemin, pemilik Na group, mitra dan sahabat jeno lee” ia menekankan kata ‘sahabat’

Renjun tidak mengerti apa-apa soal perusahaaan dan sebagainya, ia memang tidak berminat dalam bidang tersebut, satu yang ia pasti tahu bahwa lelaki didepannya menyebut kalimat ‘sahabat jeno lee’ Dan sahabat jeno lee ini membaca surat perjanjian pernikahan yang dibuat oleh jeno

renjun menghela nafasnya kasar, bagaimana selanjutnya? Jika papa dan papanya tau, ah tidak. Jika keluarga jeno tahu bukankah akan menyebabkan masalah?

“Apa maumu?” Renjun bertanya frustasi, ini bukan takdir seperti katanya tadi, ini petaka

Lelaki didepannya yang memperkenalkan diri sebagai jaemin hanya terkekeh kecil “sangat jelas bahwa jeno yang memberimu surat tersebut bukan?”

“Tidak ada cinta? Tidak ada sentuhan fisik? Urus urusan masing-masing? Berbicara seperlunya dan hanya bersikap didepan umum?” Jaemin tertawa lantas melanjutkan ucapannya “bukannya terlalu klise? Gimana bisa si bodoh itu tidak tertarik dengan seseorang se menawan kamu?”

Renjun menolehkan kepalanya kesamping, apa ini? Ia tersipu atas pujian lelaki asing didepannya?

“Urus urusanmu tuan, ah-“

Renjun menghentikan ucapannya saat mengingat lelaki didepannya ini bahkan tidak berbicara baku padanya “urus urusanmu sendiri jaemin, dan aku harap kamu akan bersikap seperti tidak melihat apapun”

Jaemin kembali tertawa “aku bersahabat dengan jeno dari saat kami masih berupa embrio, ah tidak lebih tepatnya saat kita masih berupa sperma”

“Aku bukan tipe orang yang bermulut besar, rahasia akan tetap menjadi rahasia”

Jaemin mengambil kue yang baru ia beli dibelakang renjun, dan berbisik ditelinganya, sedikit menundukkan badannya “ikuti saja permainannya, aku akan bersamamu”

Ia mengambil pena dari saku jasnya dan mengamit tangan renjun, menuliskan deretan angka disana “hubungi aku kapan pun, aku akan memberi tahu segala yang kau tanyakan”

Ia melangkah pergi dan berbalik sejenak, menatap renjun dari atas sampai bawah “ku harap jeno tidak akan menyesal suatu saat nanti, kamu terlalu indah untuk dilewatkan”

Renjun memasuki apartment jeno dengan perasaan senang, ia mendapatkan part time job, bahkan pekerjaannya belum dimulai tapi ia telah membayangkan akan membeli apa setelah menerima gaji pertamanya, tentu hadiah untuk jeno!!

Renjun terkekeh geli saat matanya menatap jeno yang duduk diruang tengah, ia berjalan ke belakang jeno dan memeluk lehernya dari belakang “Kangennn” ucapnya

Ia mendengar jeno menghembuskan nafas berat, ada apa dengan jeno?

Renjun berjalan memutari sofa dan duduk disebelah jeno, memegang bahu jeno “Jeno? Kamu kenapa?” Tanya renjun membuat jeno menatap ke arahnya

“Kamu dari mana?” Tanya jeno terlihat, sedih?

Jantung renjun berpacu dengan cepat, apa ia ketahuan? “Dari cafe” ia menjawab jujur

Jeno memejamkan matanya sebentar, merogoh ponsel di sakunya dan menunjukkan sebuah foto pada renjun, terlihat ia dan jisung sedang berjalan, bukankah ini saat ia diantar jisung menuju ruang manajer tadi? “sama jisung? Bukanya kamu bilang bakal ke suatu tempat sama lele sama echan?” Jeno berujar dengan nada marah dan kecewa yang kental

Renjun mengernyitkan dahinya, darimana foto yang didapat jeno, apa jeno memata-matai nya? Tidak mungkin, jeno tidak seperti itu. Ah?! Apakah? Jihoon??

Renjun menggelengkan kepalanya atas fikirannya, jeno berdehem membuat renjun tersadar dari lamunannya “Ah itu” renjun memikirkan alasan, apakah ia harus jujur? atau berbohong? Bagaimana jika jeno marah?

Lagi-lagi renjun tersadar dari pemikirannya saat merasakan seseorang memeluk tubuhnya, tentu saja jeno.

“Aku marahhh banget nget nget waktu ada yang kirim foto kamu sama jisung ke aku, segala pemikiranku cuman tentang apa kamu bosen sama aku? apa kamu gak bahagia sama aku? atau apa kamu gak sayang lagi sama aku? Tapi waktu kamu dateng langsung peluk aku dan bilang kangen, gatau kenapa rasanya aku yang mau marah langsung ilang gitu aja, aku jadi sedih, mikir apa yang kamu sembunyiin, bukannya aku pernah bilang, apapun itu berbagi sama jeno ya? Seperti biasa, Aku bakal nunggu kamu siap cerita, tapi jangan bohong ya sama jeno?”

Renjun merasakan matanya berlinang sekarang, echan dan lele benar, harusnya ia tak perlu menyembunyikan apapun dari jeno, jeno terlalu baik, jeno mengerti segala kondisi renjun dan selalu mendukungnya, kalaupun jeno menentang itu karena jeno ingin yang terbaik untuknya.

Renjun menangis dan balas memeluk jeno, “renjun- renjun sayang bangettt sama jeno, renjun bahagia banget sama jeno” ia menangis hingga tidak bisa berkata-kata,

Jeno mengusap lembut punggung renjun “shhh” ia menenangkan renjun yang semakin menangis dan memeluknya semakin erat

Renjun melepas pelukannya setelah beberapa menit menangis didekapan kekasihnya itu.

Ia menundukkan kepalanya “aku gabisa bergantung terus sama kamu, aku ngerti kamu pasti tau perihal aku ngeblokir kartu yang dikasih ayah jadi kamu beliin aku segala yang aku butuhin, kamu biarin aku tinggal disini aja udah ngerepotin kamu dan aku gamau ngerepotin kamu terus, jadi aku nanya ke jisung tentang part time dicafenya dan dia nawarin aku buat ngomong sama manajer cafenya, tapi aku terlalu takut buat ngomong sama kamu”

Jeno mengangkat dagu renjun dengan jari telunjuknya, ia mengecup bibir renjun dan melumatnya lembut, beberapa menit bibir mereka saling membelai dan bertukar saliva

Jeno mengecup bibir renjun mengakhiri ciuman mereka dan mengecup pipi kanannya, ia tersenyum teduh mengusak rambut renjun kecil, “Apapun itu lain kali ngomongin semua sama aku ya? Supaya lain kali gaada salah faham kaya gini?”

Jeno kembali memeluk renjun “aku takut kamu ninggalin aku, aku sayang banget sama kamu, lebih sayang daripada sama diriku sendiri”

Ia melepas pelukannya dan berujar sedikit marah “dan juga berhenti bilang kamu ngerepotin aku, aku bener-bener gak ngerasa direpotin kamu, aku seneng kamu tinggal disini sama aku, aku seneng bisa beliin apa yang kamu butuhin, itung-itung persiapan besok kalo udah nikah” ucapnya jahil membuat renjun memukul lengannya

“Aww” jeno pura-pura sakit dan memasang wajah sedih “injun gamau nikah sama nyenyo?” Ucapnya melebarkan matanya dan cemberut seperti anak kecil

“Mual je sumpah”

Jeno tertawa dan memeluk renjun, entahlah mendekap renjun membuatnya bahagia “walaupun aku masih sekolah tapi aku sambil kerja kalo kamu lupa, gaji aku bisa buat hidup kita sama anak kita besok”

Renjun memukul punggung jeno yang sedang memeluknya,

Ia bahagia, sangat bahagia tetapi sekarang entah mengapa fikirannya terganggu oleh satu nama, jihoon

~~~~~~~~

Obsidian renjun memerah menatap lembaran kertas ditangannya, beberapa berserakan di lantai kamarnya,

Ingatannya melayang pada satu bulan lalu, saat itu ia membuka lokernya dan sepucuk surat terdiam manis didalam sana, ia mengambil dan membacanya

‘Dari jeno tuh dari jeno’ ‘Gaberani ngasih langsung katanya, nih orangnya nih’

Suara segerombolan siswa saling bersautan membuat renjun menoleh, mereka mendorong seseorang ke arah renjun,

‘Hai’ yang didorong lantas mendekat ke arah renjun, tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya,

‘Ihiiiyy’ ‘Ayo dong disalamin temen kitaa’

Renjun mengabaikan siswa yang disebut jeno itu, dan berjalan ke arah yang berbeda,

‘Yahhh.. ditolak lagi nih ceritanya’ ‘Mundur lo je mundur’ ‘Udah satu semester lo ditolak haha’

Suara yang semakin samar terdengar semakin langkah renjun menjauh, dengan surat dari jeno di tangannya.

Obsidian yang memerah itu mulai berlinang saat ia mengamit lembar lainnya,

Saat itu, selasa, minggu ketiga di bulan agustus merupakan hari jadi sekolah,

Kali kedua renjun menerima sepucuk surat, tidak seperti pertama kali, saat ini hanya jeno dan seragam olahraga ditubuhnya yang mendekat ke arah renjun,

‘Hai’ ucap jeno saat sampai tepat disebelah renjun,

Renjun menutup surat yang terbuka ditangannya dan meletakkannya kedalam loker,

Jeno tersenyum lebar ‘udah dibaca?’

Renjun mengangguk ‘udah’ jawabnya singkat

Renjun hendak pergi saat tangannya dipegang oleh jeno ‘ini bener-bener gaada ucapan semangat buat aku?’ Ia menatap renjun dengan mata yang membola penuh harap

Renjun menghela nafas ‘udah satu semester, gak capek?’

Jeno hanya menggeleng atas pertanyaan renjun dan kembali bertanya, ‘Ucapan semangat? bener bener bener bener bener gaada?!’ Jeno mengulang ulang ucapannya membuat renjun kembali menghela nafas

‘Captain basket harus membawa timnya menang di setiap pertandingan basket bukan?’

Jeno tersenyum sangat lebar atas ucapan renjun, renjun rasa sinar mentari akan kalah terang jika dibandingkan senyum jeno saat ini.

Hari itu renjun mendapat dua surat, salah satunya ucapan terimakasih.

Renjun mengadahkan kepalanya, menghalau air mata supaya tidak seenaknya turun tanpa izinnya,

Ia menerawang kembali ke saat itu, hari Minggu, ia berfikir tidak akan ada surat di hari minggu, tetapi ia jelas salah saat tukang kebun rumahnya memberi ia sepucuk surat,

Renjun dengan cepat membukanya

Renjun terkekeh kecil dengan air mata yang berhasil lolos, membasahi pipinya, ia segera menyekanya sebelum membasahi lembar ditangannya, tertulis disana, surat kelima.

Renjun ingat dengan jelas, saat itu pagi pertama ujian akhir semester, ia membuka lokernya dan tidak menemukan sepucuk surat yang biasa bertengger manis disana, entah mengapa renjun kecewa, apakah ia mulai menyukai jeno? Atau ia hanya terbiasa atas sapaan jeno tiap paginya?

Tetapi tak lama, seorang siswa yang mengaku teman jeno memberinya sepucuk surat,

Saat itu Renjun berlari menuju pagar belakang sekolah dengan tergesa setelah ujian berakhir, ia melihat jeno berdiri disana, dengan seragam yang kusut dan atribut yang sudah tak terlihat di tempatnya, walau begitu tetap terlihat tampan

Jeno menatap ke arahnya dan tersenyum secerah mentari

Renjun terkekeh dan memberi surat kelima pada jeno ‘ini kusut, jangan dititipin mark lagi!’ Ucap renjun tanpa basa-basi

Jeno tersenyum nakal ‘kamu mau aku sendiri yang kasih ke kamu? Sehari nggak lihat aku? Kamu kangen?’

Renjun menggeleng membuat jeno mencengkram dadanya kesakitan, muka jeno nampak pucat.

‘Je are you okay??’ Renjun memegang bahu jeno tampak khawatir

Jeno memegang tangan renjun di pundaknya dan tersenyum lebar ‘sakit, katanya soalnya ada yang gak kangen’

Renjun memukul pelan dada jeno,

Jeno tertawa lantas menunjukkan renjun dua buah surat ‘surat keenam dan ketujuh’

Renjun tersenyum ‘kamu udah siapin?’

Jeno mengangguk, ‘in case kamu gak nyaman dianterin mark, kamu bisa simpen tapi dengan satu syarat’

‘Apa’

‘Dua buah surat ini dibuka setelah selesai ujian’

Renjun mengangguk dan mengadahkan tangannya, siap menerima surat tersebut

‘Jangan curang atau aku gaakan kasih kamu surat lagi?!’ Jeno menyerahkan suratnya pada renjun dan secara tiba-tiba memeluk tubuh renjun

‘Sebentar aja, aku pengen dipeluk, sama kamu’

Tangan renjun berangsur memeluk tubuh besar jeno, ia merasa jeno tidak seperti biasanya, entahlah tapi jeno terlihat, lemah?

Setelah lama, jeno melepas pelukannya dan tersenyum lebar membuat renjun tertawa kecil ‘di surat keempat, kamu nulis, in exchange for your time, i give you this smile, kamu mengutip lagu panic! ‘

Jeno membelalakkan matanya ‘kamu tau?’

Renjun tersenyum dan mengangguk ‘lebih dari satu semester kamu suka aku, beberapa minggu ini kamu disekelilingku, jika kamu itu ‘the sun’ dalam lagu itu, apa bait pertama lagu itu boleh aku ucap?’

Jeno tampak berfikir sebentar, berusaha mengingat bait pertama lagu itu, sebait kalimat terngiang dikepalanya; the moon fell in love with the sun;

Jeno hanya tersenyum tanpa membalas ucapan renjun, ia mengecup dahi renjun lembut ‘terimakasih renjun’

Ia mengeratkan tas dipundaknya ‘i’ve to go somewhere, jangan lupa baca surat setelah pekan ujian dan jangan curang!! Aku akan langsung tahu kalo surat sudah kamu intip’

Renjun tersenyum dan mengangguk

Saat beberapa langkah, renjun memanggil jeno, membuat yang dipanggil berbalik ‘jeno!! Kalau kamu belum tahu, saat kamu senyum, kamu lebih cerah dari mentari’

Sekarang renjun memukul dadanya berkali- kali, disana sangat sakit, Ia menangis sangat deras, membiarkan air matanya turun dengan sepuas hati membasahi seluruh wajahnya,

Kenangan ini menusuk dadanya, sangat perih hingga ia merasa mual, di tangannya terbuka surat keenam dan ketujuh,

Jeno bukankah kamu bilang setiap melihatku hanya lagu when the day met the night yang terputar di fikiranmu?

Aku tidak lagi seceria lagu tersebut, menyakitkan saat aku sadar di bait dimana bulan meminta mentari berjanji untuk tidak meninggalkannya sendiri dan mentari tidak pernah menjanjikannya,

Tapi kamu telah berjanji dalam suratmu, Jeno, cepatlah menjadi kupu-kupu dan temui aku dikehidupan selanjutnya,

“Jeno”