108. JUNGKAT-JUNGKIT – BABY IN LOVE
@ taman bermain
“Untung itu es krim masih ada. Kalau nggak ada mungkin Abang harus ngadepin tangisan kamh,” canda Yaksa.
Raksa mendengus kesal, “nggak ya! Aku udah gede. Nggak akan nangis karena es krim lagi,” balas Raksa.
“Iya deh, percaya. Sekarang nangisnya kalau ditolak cewek, ya?” gurau Yaksa lagi.
Raksa tak menyahut, mulutnya sibuk mengulum es krim tiga rasa yang tadi mereka beli. Kakinya pun sibuk mendorong tubuhnya agar naik ke atas, berganti dengan Abangnya yang turun ke bawah. Mereka berdua saat ini memang berada di atas jungkat-jungkit setelah puas jalan-jalan sembari makan.
“Nanti, mau ikut Abang pindah ke apart aja nggak?” tanya Yaksa.
“Abang nyewa apartement?” Yaksa menggeleng.
“Dapar fasilitas dari kantor,” jawab Yaksa dan membuat Raksa tersedak.
“Abang udah dapat kerja?!” pekik Raksa kaget. Yaksa mengangguk.
“Abang akhirnya diangkat jadi PA tetap. Nggak lagi jadi online PA,” jawab Yaksa. Raksa masih bingung.
“Kalau lagi liburan atau jadwal kuliah Abang nggak padet, biasanya Abang ambil part-time as PA virtual gitu. Kebetulan, dari setahun ini salah satu Boss Abang suka sama kinerja Abang dan minta Abang buat jadi PA tetapnya beliau kalau Abang udah lulus kuliah,” terangnya lagi.
“Keren banget!” Yaksa tersenyum lebar saat melihat binar mata Raksa yang selalu menganggumi dirinya. Jika orang lain akan bahagia dengan menjadi juara satu atau pencapaian hebat lainnya, Yaksa tidak begitu. Pencapaian terhebat baginya adalah pujian dari Raksa dan binar mata yang selalu menatapnya bangga. Juara satu tidak ada artinya bagi Yaksa jika tidak ada pujian dan binar mata penuh kagum dan bangga dari sang adik.
“Jadi, kamu mau ikut Abang pindah ke apartemen nggak?” ulang Yaksa.
“Jauh nggak dari kampusku?” tanya Raksa. Yaksa mengangkat bahunya tanda tak tau. “Kalau nggak jauh, aku mau pindah. Kalau jauh, aku ngekost aja. Nggak papa kan?”
“Iya nggak papa,” jawab Yaksa.
Mereka masih bermain jungkat-jungkit sampai ada sepasang istri-istri yang tengah menggandeng seorang anak menghampiri mereka.
“Permisi, anak saya boleh gantian main jungkat-jungkitnya nggak?”
Keduanya langsung turun dan mempersilahkan anak kecil tersebut untuk bermain jungkat-jungkit bersama orang tuanya.
****
@Kost Raksa
Kedua adik-kakak itu kini berbaring berdempetan, siap untuk tidur. Lampu pun sudah dimatikan. Hanya ada cahaya redup dari lampu baca di samping Yaksa yang sengaja ia biarkan menyala. Raksa tidak suka gelap.
“Besok, kamu ke kantor naik apa?” tanya Yaksa yang sebenarnya sudah memejamkan mata.
“Dianter Sena, Bang. Kenapa?”
“Nggak papa. Abang mau ke rumah atasan Abang besok.”
Raksa berbalik badan dan menatap wajah samping Abangnya yang lebih tirus dari terakhir kali mereka bertemu.
“Udah mulai kerja besok?”
Yaksa membuka matanya dan balik menatap sang adik, “enggak. Cuman mau ketemu aja. Sekalian kenalan langsung. Abang juga diundang sarapan sih,” jawabnya.
Raksa kembali berbaring. “Oh. Naik apa? Mau pinjem motornya Sena? Nanti aku pinjemin,” tawar Raksa. Yaksa menolak dan mengatakan dia akan naik ojol saja.
“Abang, menurut Abang, kalau orang baik sama kita itu kenapa? Kayak tiba-tiba ngajak kita makan, traktirin kita gitu. Terus, dia juga cerita masalah personalnya dia ke kita, padahal baru kenal kurang dari sebulan,” Raksa mulai bercerita.
“Mungkin dia emang baik aja. Terus, mungkin kamu emang enak diajak bicara dan dia percaya sama kamu buat menyimpan hal personalnya itu,” jawab Yaksa.
“Hmm ya kan.... Terus, kalau misalnya dia hapal minuman favorit kita it's definitely because they are just an observative person, right? They are just caring with people around them,” celoteh Raksa sendiri.
Yaksa tersenyum jahil, “kalau sampai hapal sih kayaknya dia suka kamu. Eh, ini lagi ngomongin Prisa, ya? Cieee.”
Raksa mendengus lalu menutup matanya dan tidur memunggungi Yaksa yang masih menggodanya.