Wichapasology

BABYINLOVE

#BabyInLove

@ taman bermain

“Untung itu es krim masih ada. Kalau nggak ada mungkin Abang harus ngadepin tangisan kamh,” canda Yaksa.

Raksa mendengus kesal, “nggak ya! Aku udah gede. Nggak akan nangis karena es krim lagi,” balas Raksa.

“Iya deh, percaya. Sekarang nangisnya kalau ditolak cewek, ya?” gurau Yaksa lagi.

Raksa tak menyahut, mulutnya sibuk mengulum es krim tiga rasa yang tadi mereka beli. Kakinya pun sibuk mendorong tubuhnya agar naik ke atas, berganti dengan Abangnya yang turun ke bawah. Mereka berdua saat ini memang berada di atas jungkat-jungkit setelah puas jalan-jalan sembari makan.

“Nanti, mau ikut Abang pindah ke apart aja nggak?” tanya Yaksa.

“Abang nyewa apartement?” Yaksa menggeleng.

“Dapar fasilitas dari kantor,” jawab Yaksa dan membuat Raksa tersedak.

“Abang udah dapat kerja?!” pekik Raksa kaget. Yaksa mengangguk.

“Abang akhirnya diangkat jadi PA tetap. Nggak lagi jadi online PA,” jawab Yaksa. Raksa masih bingung.

“Kalau lagi liburan atau jadwal kuliah Abang nggak padet, biasanya Abang ambil part-time as PA virtual gitu. Kebetulan, dari setahun ini salah satu Boss Abang suka sama kinerja Abang dan minta Abang buat jadi PA tetapnya beliau kalau Abang udah lulus kuliah,” terangnya lagi.

“Keren banget!” Yaksa tersenyum lebar saat melihat binar mata Raksa yang selalu menganggumi dirinya. Jika orang lain akan bahagia dengan menjadi juara satu atau pencapaian hebat lainnya, Yaksa tidak begitu. Pencapaian terhebat baginya adalah pujian dari Raksa dan binar mata yang selalu menatapnya bangga. Juara satu tidak ada artinya bagi Yaksa jika tidak ada pujian dan binar mata penuh kagum dan bangga dari sang adik.

“Jadi, kamu mau ikut Abang pindah ke apartemen nggak?” ulang Yaksa.

“Jauh nggak dari kampusku?” tanya Raksa. Yaksa mengangkat bahunya tanda tak tau. “Kalau nggak jauh, aku mau pindah. Kalau jauh, aku ngekost aja. Nggak papa kan?”

“Iya nggak papa,” jawab Yaksa.

Mereka masih bermain jungkat-jungkit sampai ada sepasang istri-istri yang tengah menggandeng seorang anak menghampiri mereka.

“Permisi, anak saya boleh gantian main jungkat-jungkitnya nggak?”

Keduanya langsung turun dan mempersilahkan anak kecil tersebut untuk bermain jungkat-jungkit bersama orang tuanya.

****

@Kost Raksa

Kedua adik-kakak itu kini berbaring berdempetan, siap untuk tidur. Lampu pun sudah dimatikan. Hanya ada cahaya redup dari lampu baca di samping Yaksa yang sengaja ia biarkan menyala. Raksa tidak suka gelap.

“Besok, kamu ke kantor naik apa?” tanya Yaksa yang sebenarnya sudah memejamkan mata.

“Dianter Sena, Bang. Kenapa?”

“Nggak papa. Abang mau ke rumah atasan Abang besok.”

Raksa berbalik badan dan menatap wajah samping Abangnya yang lebih tirus dari terakhir kali mereka bertemu.

“Udah mulai kerja besok?”

Yaksa membuka matanya dan balik menatap sang adik, “enggak. Cuman mau ketemu aja. Sekalian kenalan langsung. Abang juga diundang sarapan sih,” jawabnya.

Raksa kembali berbaring. “Oh. Naik apa? Mau pinjem motornya Sena? Nanti aku pinjemin,” tawar Raksa. Yaksa menolak dan mengatakan dia akan naik ojol saja.

“Abang, menurut Abang, kalau orang baik sama kita itu kenapa? Kayak tiba-tiba ngajak kita makan, traktirin kita gitu. Terus, dia juga cerita masalah personalnya dia ke kita, padahal baru kenal kurang dari sebulan,” Raksa mulai bercerita.

“Mungkin dia emang baik aja. Terus, mungkin kamu emang enak diajak bicara dan dia percaya sama kamu buat menyimpan hal personalnya itu,” jawab Yaksa.

“Hmm ya kan.... Terus, kalau misalnya dia hapal minuman favorit kita it's definitely because they are just an observative person, right? They are just caring with people around them,” celoteh Raksa sendiri.

Yaksa tersenyum jahil, “kalau sampai hapal sih kayaknya dia suka kamu. Eh, ini lagi ngomongin Prisa, ya? Cieee.”

Raksa mendengus lalu menutup matanya dan tidur memunggungi Yaksa yang masih menggodanya.

#BabyInLove

“Relaks, Sa. Saya nggak gigit,” canda Buwana yang dari sisi pengemudi dan mulai melajukan mobilnya. “Kamu kayak nggak pernah pergi berdua bareng Saya aja. Kenapa sih?” lanjutnya. Mobil yang ia kendarai sudah keluar dari basemant parkiran gedung kantornya.

“Ya sebagai Pak Buwana atasan Saya di jam kerja Saya kan nggak pernah, Pak,” jawab Raksa.

“Bedanya apa coba? Saya ya saya.”

“Lagian, kita juga kadang chattingan santai kan kalau lagi jam kerja ngobrolin Javi,” lanjut Buwana lagi.

“Ya kan ketemu langsung sama chat beda, Pak,” jawabnya lagi. Akhirnya Buwana diam. Membiarkan suara lagu UrbanAngel1999 mengalun pelan menemani mereka. Playlist dari Raksa tentu saja, yang meski terlihat segan tapi tetap mau dan berani menyambungkan spotifynya ke speaker mobil Buwana.

“Pak, Javi gimana sekarang? Udah nggak ngerengek cari saya lagi?” tanya Raksa pada akhirnya.

“Kata mbaknya, kadang masih nyari kamu, tapi udah nggak nangis kejer atau trantrum lagi kalau nggak ditelponin kamu. Dia udah paham dan ngerti kalau kamu bukan Papa-nya,” Raksa mengangguk-ngangguk mendengar jawaban Buwana.

“Pak, Saya kira awalnya Bapak itu sama Pak Joss pacaran loh,” celetuk Raksa lagi.

Buwana menoleh ke arah Raksa. “Kok bisa?”

“Dari tweetan Bapak hehehe... sama pas kapan lalu jemput Javi, Bapak sama Pak Joss vibesnya kayak pasangan suami-suami yang udah menikah gitu,” terang Raksa. Buwana tertawa renyah.

Lagu kini berganti ke Hypeboy dari NewJeans.

“Eh... maaf Pak saya kayaknya kelewatan deh,” sesal Raksa yang menyadari tak seharusnya ia berbicara seperti ini. Kepalanya kini menunduk tak lagi menoleh mengarah ke Buwana.

“Santai aja. Nggak papa kok.”

“Tapi, saya nggak tertarik ke pernikahan, Sa,” jawab Buwana. Kepala Raksa kembali terangkat dan menatap wajah samping Buwana.

“Kenapa, Pak? Kalau boleh tau. Kenapa Bapak nggak mau menikah tapi Bapak punya anak?”

“Hmmm... kenapa, ya?”

**“Kayaknya, kalau saya bilang trauma kurang tepat deh. Hm... saya takut...,” jawab Buwana dan tersenyum ke arah Raksa yang tengah kebingungan sebentar.

“Saya takut misalnya saya menikah dengan orang yang saya cinta, cinta saya pudar ke dia, Sa. Kayak kasus orang tua saya,” lanjut Buwana.

“Pak, maaf, kayaknya ini terlalu personal deh untuk Bapak bicarakan ke Saya. Ini beneran nggak papa Bapak cerita tentang ini? Saya tadi cuman basa-basi penasaran doang loh, Pak,” lagi-lagi Buwana tertawa.

**“Nggak papa, Raksa. Saya bukan bocah ingusan yang bisa kelepasan oversharing kok. Honestly, I'm happy you're asking about this. No one ever asks me why I don't want to get married_. Mereka pasti langsung ngejudge Saya ini lah itu lah. Atau nggak langsung nyeramahin saya kalau saya nggak nikah saya nanti kesepian karena nggak punya pendamping dan anak. So, I'd answer your basa-basi question.”

“Kamu pernah ketemu sama orang tua Saya kan? Kalau kamu sebagai orang luar pasti kagum kan dengan keharmonisan kami? Mami dan Papi saya sudah lama cerai, pas Prisa umur empat tahun. Saya waktu itu kayaknya 12 tahun atau 13 tahun lah. Papi saa Mami saya itu baik-baik aja, yang saya tau, tapi tiba-tiba mereka cerai. Alasannya kamu tau apa? Karena mereka rasa mereka udah nggak saling cinta. Sesimple itu. But, they are indeed good parents for me and Prisa and friends for themselves.”

“Mereka cerai baik-baik. Bahkan, Pipi itu junior Mami Saya yang dijodohin sama Mami ke Papi setelah beberapa tahun mereka cerai. Dan setelah Papi Mami cerai, Papi nikah lagi, saya dan Prisa nggak kekurangan kasih sayang atau merasa diover ke sana kemari. We are happy. Really. Tapi, di satu sisi, ada saya yang jadi takut nikah karena hal ini. Saya yang mengerti kenapa mereka cerai, karena alasan sesimple udah nggak cinta lagi itu, Sa.”

“Saya jadi takut dan parno, kalau memang cinta itu bisa memudar dan hilang tiba-tiba lalu ganti ke orang baru. Iya kalau kasusnya kayak Mami Papi yang emang keduanya udah nggak saling cinta lalu memutuskan cerai, gimana kalau misalnya saya masih sayang dan cinta sama pasangan saya tapi mereka udah enggak?”

“Yah, karena ketakutan dan keparnoan saya ini lah saya memutuskan untuk nggak nikah, Sa. Kedengeran remeh, ya? Tapi saya beneran takut,” tukas Buwana.

“Nggak sih, Pak. Ketakutan orang kan beda-beda. Mungkin, buat bapak itu emang semenakutkan itu hehe. Kayak saya yang takut banget sama serangga sampai bisa pingsan. Tapi, banyak juga orang lain yang menganggap serangga nggak nakutin kan? Your feeling and fear valid kok, Pak,” tutur Raksa.

Thanks.”

“Kamu sendiri, mau nikah nanti?” tanya Buwana lagi. Raksa mengangguk sebagai jawaban.

Mobilnya kini memasuki kawasan parkiran studio yang mereka tuju.

“Iya. Saya mau nikah terus punya anak lucu kayak Javi,” jawabnya.

#BabyInLove

Sudah hampir dua minggu Raksa magang di kantor ini. Juga, sudah hampir seminggu dari Raksa tidak mendengar kabar Javi, “anak”-nya. Berkirim pesan dengan bossnya pun tidak lagi setelah hari itu. Hari dia ditraktir kopi mahal yang enggan ia beli meski punya uang cukup.

Dan hari ini, hari dia mempresentasikan proposal yang beberapa hari lalu ia buat dan sudah diacc oleh Singto, mentor magangnya dan teman-temannya yang lain. Proposal yang berisikan mini-project-nya di kantor ini.

“Santai aja. Projectnya menarik kok,” ujar Singto yang baru masuk ke ruangan rapat dan duduk di hadapan Raksa. Raksa tersenyum dan mengangguk.

“Makasih, Mas,” balasnya.

Mereka mengobrol sebentar sampai Tawan, Prisa, Friston, dan Buwana masuk ke ruangan.

“Nggak usah berdiri segala. Santai aja,” cegah Buwana ketika Raksa ingin berdiri.

“Langsung aja, ya? I have other meeting outside,” ujar Buwana.

Singto mengangguk lalu menyuruh Raksa mempresentasikan projectnya.

“Bagus sih. Cuman, gimana anak magang yang lain. Apa setuju?” tanya Buwana menanggapi presentasi Raksa diakhir. Matanya terarah ke Raksa, lalu berganti ke Prisa dan Friston. “Sasaran anak magang dalam project kamu ini, in general or just in your division?” tambahnya lagi.

“Hanya di divisi Saya, Pak. Teman-teman juga bersedia untuk jadi model kalau ini disetujui,” jawab Raksa, suaranya sedikit bergetar.

Buwana yang duduk di hadapannya sekarang berbeda dengan Buwana yang ia temui di rumah Gulf atau dengan Buwana yang berkirim pesan dengannya, atau lagi dengan Buwana yang masih tersenyum saat baru masuk ruangan. Buwana yang di hadapannya sekarang terlihat dingin, tegas, dan berkharisma. Apalagi, dari awal dia memulai presentasinya, pandangan Buwana yang tajam terpaku padanya, dan sesekali membuat catatan entah apa di buku kecil yang ia bawa.

Buwana mengangguk-ngangguk mendengar jawaban Raksa. Lalu, pandangannya beralih ke Singto dan Tawan, di sebelah kirinya.

“Lo pada gimana?” tanya Buwana.

“Ok sih. Gue nggak mau boong, tapi lumayan juga nih buat menekan budget buat model,” jawab Tawan.

“Tenang, kalian tetap dibayar kalau jadi model, tapi nggak bayaran penuh model yang kami sewa biasanya,” ujar Singto yang ditujukan untuk tiga anak magangnya.

“Ya udah kalau gitu. Untuk konsep yang ini Saya kurang sreg. Mungkin kamu bisa ganti, ya, Raksa. Nanti koordinasi sama Tawan dan Singto aja,” Buwana menutup buku catatan yang ia bawa dan berdiri.

Good job, Raksa. Saya tunggu project menarik lainnya dari Prisa dan Friston,” tukas Buwana dan pamit pergi.