Wichapasology

BABYINLOVE

#AFTERGLOW #BabyInLove

Javi duduk di pojokan kamar. Tangannya memeluk kedua lututnya, sementara jari-jemarinya menggenggam ponsel yang tadi dia gunakan untuk menghubungi Prisa.

Headphone sudah terpasang di kedua telinganya dengan musik yang cukup keras. Cukup untuk meredam suara Raksa dan Buwana yang bertengkar di luar kamarnya.

Sementara itu, di luar Raksa dan Buwana masih saling beradu argumen.

“SAYA BILANG KELUAR DARI RUMAH SAYA!” ucap Buwana lantang. Tangannya menunjuk pintu unit apartemennya.

“Udah cukup, Sa. Udah cukup sama semua sakit yang kamu kasih ke Saya. Yang kamu kasih ke Javi. Cukup sama sikap sok heroik kamu itu!” lanjut Buwana lagi.

“Saya bukan sok heroik, Pak. Saya memang harus ngelakuin ini semua,” ujar Raksa. Ada nada sedikit tak terima.

“Bapak pikir, selama 4 tahun ini yang tersakiti cuman Bapak? Saya juga, Pak. Saya juga ngerasain sakitnya. Saya ngerasain sakit harus putus dari Bapak. Harus jauh dari Bapak. Saya juga nahan sakit untuk nggak ngehubungin Bapak,” lanjut Raksa.

“Keluar, Sa!” titah Buwana sekali lagi. Dia berjalan ke lorong kamarnya, tak ingin lagi mendengar perkataan Raksa. Namun, Raksa mengikuti Buwana dan terus saja berbicara.

“Bapak cuman nunggu. Saya harus berusaha keras biar sukses. Biar Saya diakuin dan direstuin sama Tante Davika, biar Saya pantas buat Bapak. Bapak cuman nung—”

Buwana berbalik, nafasnya makin memburu, dadanya naik-turun dengan cepat.

“SAYA NGGAK PERNAH MINTA KAMU UNTUK JADI KAYAK SEKARANG RAKSA! SAYA NGGAK PERNAH MINTA KAMU UNTUK JADI KAYA! SAYA NGGAK PERNAH MINTA KAMU UNTUK DAPETIN RESTU MAMI SAYA SENDIRIAN! YANG SAYA MINTA CUMAN KAMU STAY SAMA SAYA. SAMA JAVI.”

Air mata Buwana sudah meluncur dengan bebas di pipi putihnya. “Cuman nunggu kata kamu? Kamu nggak tau apa yang Saya lalui! Kamu nggak tau setiap malam Saya harus minum pil cuman untuk tidur. Kamu nggak tau setiap malam Saya nangis cuman karena Saya kangen sama kamu!”

Raksa menyadari, ucapannya tadi keterlaluan. Benar, dia tak tahu apa yang Buwana lalui. Berbeda dengan Buwana yang harus bangkit sendirian dari patah hatinya, Raksa terlalu sibuk dengan urusan karir dan target suksesnya. Raksa terlalu bersemangat mengejar targetnya hingga dia lupa keadaan Buwana sebenarnya. Hingga dia lupa perasaannya sendiri. Hingga dia lupa merindu dan tersiksa karena patah hatinya.

Berbeda dengan Buwana. Berbeda dengan Buwana yang meratap. Berbeda dengan Buwana yang setiap detik merasakan sakitnya patah hati, sakitnya kandas dalam hubungan percintaan.

“Pak, Sa—”

“Kamu nggak tau gimana setiap malam Javi juga cari kamu. Gimana stressnya Saya harus menghadapi tantrumnya Javi. Belum lagi tekanan Mami Saya yang selalu jodohin Saya ke anak temen-temen atau client-nya,” potong Buwana.

“Kamu nggak tau berapa kali Saya mau nyerah. Kamu nggak tau itu, kan, Raksa? Cuman nunggu kata kamu? KAMU BAHKAN NGGAK PERNAH MINTA SAYA BUAT NUNGGU KAMU! KAMU MINTA SAYA MOVE ON DARI KAMU!” sentak Buwana.

“Dan sekarang, kamu dateng lagi dan seenaknya minta kembali ke Saya? Minta Saya terima kamu lagi? You must be joking, Raksa!” Buwana mendorong dada Raksa dengan keras.

Yes, I love you. I still do. But, it doesn't mean I will let you make a fool of me again, Raksa. I won't let you do that!”

I never make you a fool, Pak. I love you. I love you so much. I love you until the point where I can't imagine myself with someone,” kini Raksa yang berbicara. Tangannya mencengkram kedua pundak Buwana. Memaksa yang lebih tua untuk menatap matanya yang sudah berair.

I can't stay with you and Javi, even if I want to. I need to get blessing from your mother, Pak. Saya nggak bisa selamanya insecure dan ngerasa nggak pantas buat bersanding sama Bapak. SAYA NGGAK BISA SELAMA-LAMANYA SELALU MANUT SAMA BAPAK DAN TUTUP MATA-TELINGA KALAU SAYA NGGAK PANTAS SAMA BAPAK,” sentak Raksa.

“Saya juga punya harga diri, Pak. Saya juga mau pantas berdiri di samping, Bapak, tanpa harus malu atau ngerasa nggak pantas. Saya juga mau bisa jadi seseorang yang Bapak andelin kayak Bapak andelin Bang Joss,” tukas Raksa sebelum ia terisak.

#BabyInLove #Afterglow

@ Sydney 8 years ago @ Studio

Christian, atau yang biasa dipanggil teman-temannya Ian tengah menyiapkan kameranya. Lampu sudah ia tata sedemikian rupa.

“Kostumnya udah ready semua kan?” pertanyaannya dijawab dengan anggukkan oleh teman kerjanya. “Modelnya kapan dateng? Benci banget gue kalau telat-telat gini. Kebiasaan orang Indo nih, jam karet,” cibirnya sembari melihat jam di ponselnya.

10 menit sudah waktu yang lewat dari jam yang dijanjikan.

**“Lah? Gue kan udah ngasih tau ke lo, Ian. Dia telat 15 menit. Ada urusan di kampusnya. Sabar dong. It's only 15 minutes and he's already told us about it,” sahut sang teman.

Tepat dengan selesainya ucapan tersebut, pintu ruangan diketuk dan dibuka oleh seorang pria berperawakan tinggi dengan kulit putih. Sorry, ya? Saya telat. Tadi ada sedikit berkas yang harus Saya urus segera,” ujarnya pada kedua pria di ruangan tersebut, pada Ian dan temannya.

“Santai. Lo mending minum dulu, deh. Capek banget kayaknya. Lo lari-larian ke sini?” tanya teman Ian. Yaksa mengangguk.

Teman Ian memberikan sebotol air mineral pada Yaksa yang langsung dihabiskan olehnya.

Sementara itu, Ian di ujung sana terpana oleh sosok Yaksa. Kehadiran Yaksa tiba-tiba saja membawa angin segar di hidupnya. Membawa ketenangan dalam gemuruh kepalanya. Hanya dengan kehadirannya. Hanya dengan wajah teduh dan mata hangatnya yang bahkan hanya bertemu dengan matanya selama beberapa detik saja.

Ini lah awal pertemuan mereka.

Di situ, Ian mulai dekat dengan Yaksa. Selain keinginannya mendekati Yaksa, juga project-project yang dipegangnya selalu meminta Yaksa menjadi model brandnya.

Namun, setelah lebih mengenal Yaksa, Ian tak lagi berani melangkah lebih jauh. Dia merasa mereka terlalu berbeda. Ian untuk pertama kalinya merasa insecure di hadapan seorang Yaksa.

Selama setahun lebih, mereka hampir selalu bertemu setiap minggu, kadang mereka juga hang out berdua. Sayangnya, di tahun kedua Yaksa, intensitas pertemuan mereka mulai berkurang. Ian kembali berpetualang mengelilingi dunia, sementara Yaksa fokus ke studi juga pekerjaan part-timenya.

#babyinlove

Buwana akhirnya terbangun karena suara ceria Javi yang sedang bermain dengan Raksa. Tak peduli bahwa Papinya terbaring lemah di ranjang.

Javi menceritakan bagaimana harinya di daycare hari ini. Dia berceloteh riang menceritakan bagaimana dia bermain perosotan, ayunan, dan mendapatkan teman di daycare tersebut. Katanya, bagian favoritnya di sana adalah mendengarkan gurunya membaca buku Dinosaurus. Ia bahkan sampai menirukan berbagai macam gaya dinosaurus sesuai imajinasinya.

Raksa menanggapi seadanya, berusaha ceria di hadapan Javi meski sedari tadi ada sepasang mata yang memandangnya tak suka.

“Javi….” Buwana memanggil Javi dengan suara lemahnya.

“Papi!!!” suara Javi melengking. Badannya dengan cepat condong ke ranjang, ke arah Buwana. Hampir saja jatuh jika Raksa tak sigap mengubah tangannya yang awalnya memegang Javi di pinggangnya saja menjadi ke badannya.

“Raksa…” Buwana langsung melepaskan genggaman tangannya pada Joss begitu menyadari ada Raksa juga di sisinya.

“Papi miss Om Sasa too? Papi sakit karena miss Om Sasa? Tapi last night you sleep with him,” ceplos Javi membuat semua yang ada di ruangan membola. Pun Buwana.

Joss batuk-batuk, batuk dibuat-buat. Ia berdiri dan mengambil nasi kotaknya. “Gue keluar dulu, ya, Na. Laper mau makan. Dah~” pamitnya.

“Kita pulang yuk?” ajak Mew. Ikut berdiri dan menarik Gulf yang ada di sampingnya. “Prisa anterin kita balik dulu, yuk, Dek,” Mew menoleh ke arah Prisa yang baru saja mengupas apel. “Kamu juga, Dav. Ayo pulang bareng kita. Kamu pulang kantor langsung ke sini, kan? Nanti malam Prisa aja yang jagain Wana,” lanjut Mew lagi.

“Aku mau ja—”

“Dav,” potong Mew agak meninggi.

Gulf merangkul Davika mengajaknya berdiri, “biarin dia ngobrol dulu, Dav. Ngalah dulu, ya?” bisik Gulf membujuk Davikah.

“Jagoannya Grandpa, pulang dulu juga ya? Mandi dulu. Bau acem nih,” Mew menggendong Javi yang tengah berdiri di pangkuan Raksa.

Javi menggeleng, “mau di sini sama Om Sasa, sama Papi,” rengeknya.

“Iya nanti ke sini lagi, ya?” Javi masih enggan pulang. Tapi, Raksa menjanjikannya akan ada di sini ketika dia kembali. Akhirnya Javi setuju dan ruangan ini pun sepi, hanya tersisa mereka berdua sekarang.

“Pak, bener Bapak mau….,” Raksa berat mengucapkannya.

“I almost did, fortunately, I remembered Javi. He would be alone if I dead,” Buwana tersenyum sedih.

Raksa memandangnya dengan tatapan penuh tanyanya. Mengapa? Mengapa Buwana sampai sebegitunya.

“I was—I'm just tired with everything, Sa. Pikiran Saya kacau. Saya hampir lompat, tapi wajah Javi langsung terbayang dipikiran Saya. Lalu, kamu,” Buwana menggerakkan tangannya, membelai wajah Raksa.

Raksa dengan ragu menggenggam lengan Buwana yang tangannya tengah membelai wajahnya.

“Saya nggak mau kalau kamu nanti nyalahin diri kamu sendiri. Apalagi DM terakhir Saya ke kamu itu. If we really really really can not be together, at least, I want you to be happy, I still want to see your silly but gorgeous smile too, meski pun dari jauh. Meski pun dari sosmed kamu doang,” lanjut Buwana.

“Maaf, Pak. Maaf Saya nggak cukup kuat buat perjuangin Bapak. Maaf Saya nggak cukup berani buat perjuangin Bapak,” Raksa akhirnya menangis. “Saya cinta sama Bapak. Tapi Saya nggak bisa kalau tanpa restu ibu, Bapak. Saya nggak bisa, kalau hubungan kita malah ngerusak hubungan Bapak sama ibunya Bapak sendiri.”

Buwana juga ikut menangis. Akhirnya ia mendengar pernyataan cinta dari Raksa lagi.

“Pak, maaf, ya? Mungkin jodoh kita cuman sampai di sini. I will always love you, Pak. Maybe, in another life, in another universe we can have a happy ending. Saya bener-bener pamit, ya, dari hidup Bapak. Tolong, tolong bahagia buat diri Bapak sendiri, bahagia buat Javi, dan mungkin buat Saya juga, Pak. Ya?”

Buwana menggigit bibirnya, menahan suara tangis dan berusaha mengenyahkan rasa sesak di dadanya. Dia tahu, kalau ini akan benar-benar jadi akhir baginya dan Raksa. Dia tahu, pemuda di hadapannya memang tak akan pernah mau dan mampu melawan restu dari ibunya. Raksa tak akan mau menjadi egois untuk memiliki Buwana ketika orang yang dicintainya harus melawan Ibunya sendiri. Dan hari ini, Buwana sadar hal itu.

Hari ini dia mengetahui bahwa Davika tidak benar-benar mengancam Raksa untuk memutuskan hubungannya dengan Buwana. Davika hanya menyuruh Raksa untuk putus dan mengatakan bahwa dia akan menjodohkan Buwana dengan pria pilihannya. Bahwa, jika Raksa bersikeras memacari Buwana, itu artinya Raksa tak akan mendapatkan restunya sampai kapan pun. Jika Raksa bersikeras bersama Buwana itu artinya hubungan Buwana dan dirinya akan rusak. Lalu, Raksa menghubungi Davika. Meminta waktu untuk bersama Buwana setidaknya sampai magangnya selesai dan dia berjanji akan memutuskan Buwana lalu pergi dari kehidupan Buwana. Davika tidak pernah mengancam Raksa secara langsung dan tidak pernah memaksa Buwana harus bersama Yaksa. Jika salah satu dari mereka menolak, Davika akan mundur dan membatalkan perjodohannya. Meski, ya dia tak akan berhenti menjodohkan Buwana dengan pria pilihannya yang lain sampai Buwana menikahi orang pilihannya.

“Can I get the last kiss from you?” pinta Buwana dengan suaranya yang bergetar. Raksa mengangguk. Ia berdiri lalu membungkuk. Mencium dahi Buwana, beralih ke kedua kelopak matanya, lalu terakhir di bibirnya. Hanya kecupan perpisahan penuh cinta. Tak ada lumatan. Hanya kecupan.

“I always love you, Pak,” tukas Raksa dan pergi meninggalkan Buwana sendiri di ruang inapnya.

#BabyInLove

Keesokan harinya at 6 in the morning

Raksa menggeliat dan meregangkan badannya sebelum membuka mata. Langit-langit apartemen warna putih adalah hal pertama yang ia lihat. Matanya mengerjap-ngerjap kemudian ia menguap. Ketika berbalik, “pak?!!!” ujarnya setengah terkejut ketika melihat Buwana duduk menghadapnya tepat di samping tempat tidur. Raksa yang terkejut reflek duduk dan beringsut mendekat ke tembok, menjauhi Buwana.

Buwana tersenyum getir. Air mata kembali jatuh dari matanya yang bengkak dan menghitam. Semalam, dia tak bisa tidur. Semalam, dia hanya menangis di kamarnya. Sekitar dua minggu lalu, dia mengesampingkan perasaan dan emosinya. Sekitar dua minggu lalu dia terlalu sibuk sampai baru merasakan sakitnya semalam ketika melihat Raksa ada di dekatnya, ada di rumahnya, bersamanya, tapi rasanya aneh. Rasanya asing.

“Aku salah apa? Salah apa sampai kamu putusin?” tanyanya dengan suara sengau dan linangan air mata.

Raksa beringsut maju, mendekati Buwana dan turun dari kasur. “Pak jangan nangis,” pintanya dengan suara yang hampir hilang menahan tangis juga. The last thing Raksa wants to see is Buwana crying because of him. Raksa dengan ragu meremas pelan bahu Buwana yang tengah tertunduk menangis.

“Bapak nggak salah apa-apa,” kata Raksa lalu terdiam, Bapak nggak salah apa-apa. Kita nggak salah apa-apa. Takdir kita aja yang nggak memihak, Pak. Kita emang nggak seharusnya jadi kita. Maaf, Saya jadi nyakitin Bapak segininya, padahal Saya tau, kita nggak akan mungkin bersama. Harusnya Saya nolak Bapak dari awal, batin Raksa.

“Aku salah apa, Sa?” Buwana mendongak dengan wajah kacaunya.

Raksa menggeleng. “Kalau gitu, ayo balikan. Ayo kita sama-sama lagi,” Buwana meraih tangan Raksa yang ada di pundaknya, meremas tangan itu dengan ekspresi wajah yang penuh harapan.

Raksa perlahan berlutut di hadapan Buwana. Kedua tangannya menggenggam tangan Buwana yang kini berada di pahanya.

“Pak,” Raksa berusaha tersenyum dan menahan air matanya. “Kita nggak bisa balikan. Bapak masih mau sama Saya yang udah selingkuhin Bapak? Kalau pun Saya nggak selingkuh, Saya itu,” Raksa menelan air liurnya, “Saya nggak cinta Bapak lagi,” ujarnya dan tertunduk menutup mata. Sebulir air mata langsung terjun bebas dan dihapusnya dengan cepat. Kepalanya kembali mendongak menatap Buwana.

“Bohong!” hardik Buwana, “Key bilang ke aku, kamu masih cinta sama aku. Key juga bilang kalau kamu nggak selingkuh sama dia. Semua yang ada di sosmed kamu dan dia itu cuman boongan,” lanjut Buwana yang juga sudah berlutut di lantai, bersama dengan Raksa.

“Raksa, jujur sama aku, kenapa? Kenapa kamu mutusin aku? Sayang, please,” pinta Buwana. Dia menangkup wajah Raksa. Raksa menggeleng.

“Aku kasih pressure yang gede ke kamu kah? Apa karena aku punya Javi?” Buwana menggeleng. Javi tidak akan pernah jadi alasan mereka putus, setahunya. Raksa menyayangi Javi. Itu hal yang amat jelas. Lalu apa? Otaknya terus berpikir.

“Apa aku bikin kamu nggak PD jalanin hubungan kita?” Raksa menggeleng.

“Pak, please, stop,” pintanya yang sudah ikut menangis.

Buwana menggeleng, “Nggak, Sa. Kalau kita emang harus putus kamu harus kasih tau aku alasan yang sebenarnya,” Buwana memohon.

Raksa hanya bisa menggeleng sampai akhirnya suatu hal tebersit di otaknya.

Did you.... did my mom...?” Buwana menatap Raksa dengan mata bulat terkejutnya.

Raksa menggeleng dengan kuat. Buwana berdiri dan mengusap air matanya dengan cukup kasar.

“Pak, enggak, Pak. Bukan Bu Davi yang nyuruh Saya putusin Bapak,” Raksa menahan tangan Buwana, dirinya masih berlutut di lantai.

“Raksa, jangan bohong. Pasti dia kan?” perasaan sedih Buwana berganti dengan amarah.

“Pak....” Raksa memanggil Buwana dengan nada paling sedih dan lemah yang pernah Buwana dengar.

It doesn't matter anymore, does it?” Raksa berdiri. Dia melepas pegangan tangannya dan Buwana tadi.

“Bapak udah nerima perjodohan Bapak sama Bang Yaksa kan? Bang Yaksa juga Papa biologisnya Javi. So, whatever the reason is, it doesn't matter anymore,” lanjutnya.

Buwana terkejut mendengar perkataan terakhir Raksa. How did you know about those things?”

“Saya nggak sengaja liat chat Bapak sama Bang Yaksa dinotifnya,” jawab Raksa.

“Pak, keputusan Bapak buat milih Bang Yaksa itu udah bener. Nggak perlu balik ke Saya lagi, kata Raksa lagi. “Saya seneng dan bahagia buat pernikahan Bapak dan Bang Yaksa nantinya,” lanjutnya.

**“Udah ya, Pak? Kita sampai di sini aja. Tenang aja, kedepannya kalau Javi cari Saya, Saya akan selalu ada dan datang kok. Saya kan Om-nya dia,” tukas Raksa. “Saya pamit, ya, Pak?” Raksa tersenyum dan pergi setelah mengambil ponselnya di meja samping kasur.

Buwana masih terdiam. Mematung. Dia tak menyangka keputusan impulsivenya waktu itu membuat Raksa menyerah. Atau mungkin, dia memang sudah lama menyerah karena maminya?

Di lorong, Raksa bertemu Javi yang baru bangun tidur dengan muka bantalnya.

“Molning, Om Sasa,” sapa Javi. Raksa berlutut, dia mengusap kepala Javi.

Morning, Javi,” Raksa mencium kedua pipi Javi. “Om Sasa pergi dulu, ya? Om Sasa mau kuliah. Nanti kita ketemu lagi, ok?” Javi mengangguk-ngangguk.

“Bye bye!!!” ujarnya sambil melambaikan tangan pada Raksa yang mulai berlalu pergi.

#BabyInLove

Bulan semakin tinggi, udara semakin dingin, dan suara yang terdengar kini hanya detik jam dinding di atas TV di depan Buwana,

Buwana meletakkan gelas winenya yang sudah kosong dan menutup botol winenya. Dia kembali bersandar pada sandaran sofa. Ini kesekian kalinya pria satu anak tersebut menghela nafas.

Buwana hanya minum segelas wine, dirinya menahan agar tak mabuk. Takut kebodohan yang pernah dia lakukan terulang. Apalagi, Raksa tengah tidur di kamar tamu saat ini.

Beberapa jam lalu, Buwana benar-benar bersyukur atas kehadiran Raksa. Karena Javi benar-benar tidak bisa ditenangkan. Anak semata wayangnya itu menangis hampir berjam-jam. Buwana bahkan hampir ikut menangis karena sang anak tak bisa ditenangkan. Tepat sebelum Buwana menyerah dan ingin berteriak, bel apartemennya berbunyi dan Raksa bersama Key ada di depan pintu unitnya. Javi yang tengah ada digendongannya langsung mengangkat tangannya meminta Raksa untuk menggendongnya, tangisnya pun berhenti meski masih segugukan.

Buwana kembali menghela nafasnya sebelum bangkit untuk pergi ke kamarnya dan tidur.

Dia mematikan semua lampu yang ada dan masuk ke kamar Javi. Dielusnya kepala Javi dengan kelembutan dan mencium dahi sang anak. Good night, baby. Sweet dream,” bisiknya dan tersenyum.

Buwana melangkah keluar dan mematikan lampu kamar Javi. Meninggalkan kamar yang didominasi dengan cat warna abu-abu tersebut hanya disinari lampu tidur rembulan di samping kasurnya.

Sebelum Buwana masuk ke kamarnya yang ada di depan kamar Javi, langkahnya terhenti karena menyadari di ujung lorong sana, tepat di depan pintu kamar tamu, terpancar cahaya redup dari dalam. Buwana melangkahkan kakinya ke sana dan mendapati pintu kamar tamu yang sedang dihuni Raksa terbuka cukup lebar.

Buwana hendak menutup pintu kamar tersebut, tapi gerakannya terhenti ketika matanya menangkap sosok Raksa yang tertidur pulas di kasur.

Perlahan tapi pasti, kakinya melangkah masuk dan duduk di ujung kasur Raksa. Senyumnya terangkat dengan getir. Di tatapnya wajah Raksa yang tengah tertidur dengan damai itu. Tangannya terangkat hendak menyentuh wajah sang mantan, tapi ia urungkan niatnya lalu kembali berdiri dan berjalan keluar.

Raksa, please do know that it always will be you,” tukasnya dan menutup pintu kamar Raksa.

It always will be you too, Pak,” sahut Raksa pelan setelah pintu kamarnya ditutup rapat.

#BabyInLove

Mata Raksa tak juga mau terpejam. Pikirannya masih sibuk kesana-kemari. Lelah. Itu yang dia rasakan. Lelah pikirannya juga tubuhnya yang dua malam ini kekurangan istirahat dan tidur, ditambah lagi dua malam ini juga sofa yang besarnya tak seberapa ini menjadi tempat tidurnya. Sofa yang hanya mampu menampung ¾ badannya saja.

“Lo udah tidur?” suara Key mengalihkan perhatian Raksa yang sedari tadi tertuju ke langit-langit apartemen Key meski pikirannya tak di situ.

“Kenapa, Key? Do you need something?” tanya Raksa. Kepalanya menoleh ke samping, menatap punggung Key yang tertutup selimut tebal.

“I...” Key berbalik, menghadap ke arah Raksa yang tidur di sofa samping kasurnya. “I don't get it. Why you do this? Why you willingly be the bad guy?”

“And why are you willing to help me?” Raksa balas bertanya. Key mencebik dan melemparkan boneka domba kecilnya.

“You know the answer,” balas Key.

“I'm sorry for using your love like this,” ujar Raksa. Raksa bangkit dari rebahnya dan berjalan mendekati Key. Ia berlutut di hadapan Key, “I'm so sorry,” ujarnya sekali lagi.

Key mengeluarkan tangannya dari balik selimut. Membelai pipi Raksa yang mulai membiru bekas tonjokan Yaksa tadi pagi. “Lo tau kan? Kalau lo bisa obrolin masalah ini sama dia instead of hurting him and yourself like this.”

Raksa berbalik dan duduk bersandar ke ranjang Key. “Andai sesimple itu, Key,” balas Raksa dan menghela napas.

“Yang gue coba lindungin itu, hubungan dia sama orang tuanya, Key. Gue nggak mau hubungan dia sama Ibunya sendiri rusak cuman gara-gara gue,” lanjut Raksa. Dia tau, dia tau berapa cintanya Buwana pada dirinya, begitu pun dia. Dia sangat mencintai Buwana sampai rasanya rela mati demi dia.

Tapi, bagi Raksa, hubungan orang tua dan anak, apalagi hubungan ibu dengan seorang anak lebih tinggi dari hubungan apapun dia dunia ini. Jadi, hubungan romansa dirinya dan Buwana tidak ada apa-apanya dibandingkan hubungan ibu-anak antara Davika dan Buwana.

“Sa, kalau nyokapnya Pak Buwana kayak gitu, tanpa lo pun hubungan mereka bakal rusak, Sa,” balas Key. “Nggak ada satu pun orang di dunia ini yang suka dipaksa-paksa. Apalagi dipaksa buat nikah sama orang yang nggak dicintainya.”

Itu yang Raksa tidak tau. Itu yang Davika tidak katakan saat menemuinya di awal Raksa dan Wana berpacaran. Davika tidak mengatakan bahwa dirinya akan mulai menjodohkan Buwana dengan orang lain setelah ia putus dengan Raksa.

Davika hanya meminta tolong Raksa untuk memutuskan hubungannya dengan Buwana sebelum dia yang memaksa mereka berdua putus. Meminta Raksa merelakan hubungannya dengan Buwana demi menjaga hubungan baiknya sendiri, agar Buwana tidak marah padanya dan “memusuhinya” jika dia yang memaksa mereka berdua putus. Meminta Raksa memutuskan Buwana agar suatu saat Buwana bisa mendapatkan dan mencintai orang yang lebih baik dari Raksa.

Tentu saja, awalnya Raksa menolak, dia benar-benar mencintai Buwana, dia bahkan berjanji pada Davika bahwa dia akan membuktikan dirinya pantas untuk Buwana, pantas untuk menjadi suami Buwana dan ayah bagi Javi. Namun, ucapan Davika selanjutnya membuat kepercayaan diri Raksa goyah dan akhirnya mengiyakan permintaan Davika.

Akhirnya perjanjian dibuat, Raksa akan memutuskan Buwana setelah magangnya selesai. Itu batas waktu yang Davika berikan padanya. Namun, menyadari tiap hari perasaannya makin dalam dan takut keberaniannya memudar untuk memutuskan Buwana, Raksa mempersingkat waktunya.

Awalnya, Raksa berjanji pada dirinya sendiri untuk mengejar Buwana kembali saat lulus kuliah nanti, saat dirinya sudah bisa berdiri dengan kakinya sendiri dan bisa meyakinkan Davika bahwa dirinya pantas untuk Buwana, bahwa dirinya tidak seperti yang Davika katakan. Namun, kejadian semalam memupuskan semua itu. Kenyataan bahwa tebakannya benar tentang Davika yang menjodohkan Yaksa dan Buwana membuat semua angannya sirna begitu saja.

Dia tak akan bisa mengalahkan Yaksa. Dia tak akan sanggup mengalahkan Yaksa. Dan, mengetahui Buwana akan bersama orang yang ia amat sangat kenal baik membuat sisi lain dalam diri Raksa tenang. Setidaknya, jika Buwana bersama Yaksa, Raksa tau, abangnya tak akan menyakiti Buwana. Setidaknya, jika Buwana bersama Yaksa, Raksa bisa melihat Buwana dari dekat. Setidaknya, Buwana masih ada di sisinya meski tak bersama dengannya.

Jadi, saat mengetahui fakta itu, Raksa dengan sangat impulsive mengatakan bahwa dirinya berselingkuh agar Abangnya menerima perjodohan itu. Agar Yaksa merasa memiliki tanggung jawab akan Buwana karena perbuatan tak bermoral yang dilakukan adiknya. Agar Yaksa membahagiakan Buwana demi menebus kesalahan adiknya.

“Tapi, Pak Buwana dijodohin sama orang yang bener-bener lebih baik dari gue, Key. Bahkan, dia juga ayah kandungnya Javi,” ujar Raksa yang lebih seperti bergumam.

“Pak Buwana juga udah ngiyain perjodohannya kok. Dia ngajak Bang Yaksa buat iyain perjodohannya, demi Javi,” lanjutnya lagi, kali ini terisak.

Isakan Raksa semakin keras, Key bangun dan memeluk Raksa dari belakang, dari atas kasurnya. Tangannya melingkar di bahu Raksa dan mengusap bahu itu dengan pelan. Mencoba menenangkan. “I'm here. It's okay.... it's okay.”

“Take your time, Sa. It's okay,” ujar Key berulang kali.

Andai saja dia tidak terbangun malam itu dan tak melihat serta membaca notifikasi dari pesan Buwana yang mengajak Yaksa untuk menyetujui perjodohan itu. Karena nyatanya, saat mengetahui Buwana mengiyakan perjodohannya dengan orang lain meski pun itu abangnya sendiri, Raksa merasa amat kesakitan. Lagi, ditambah dengan fakta bahwa ternyata Javi anak abangnya membuat Raksa merasa perjodohan itu memang harus terjadi, Yaksa Wana harus menikah demi Javi. Kedua hal ini membuatnya bertindak sejauh ini sampai melibatkan Key yang secara tak sengaja ia temui di jalan.

Setelah membaca notifikasi pesan dari Buwana di ponsel abangnya, Raksa kalut dan merasa sangat hancur. Ia pergi keluar dari apartemen Yaksa. Berjalan tak tentu arah dan berakhir bertemu Key di tengah jalan yang sedang menuju ke bar untuk pergi minum bersama teman-temannya.

Key yang melihat wajah kusut Raksa akhirnya mengajaknya untuk pergi minum bersama.

Di bar, Raksa yang mulai mabuk menumpahkan semua keluh-kesahnya pada Key sampai tak sadarkan diri karena terlalu mabuk. Key mau tak mau membawa pulang Raksa ke apartemennya. Jadi, jika kalian bertanya-tanya apa Raksa benar-benar berselingkuh bahkan tidur dengan Key? Jawabannya tidak.

Paginya, Raksa meminta bantuan Key agar ucapan asalnya tentang dirinya berselingkuh benar-benar terlihat nyata. Jadilah, Key mengunggah foto yang terkesan Raksa sudah tidur dengannya yang awalnya dan faktanya foto itu diambilnya untuk mengabadikan kepanikan Raksa karena dosennya memajukan jadwal bimbingannya. Raksa tak pernah tidur dengan Key, bahkan berbaring di kasur yang sama pun tidak.

**

#BabyinLove

“Raksa?”

Namanya dipanggil oleh suara yang ia kenal. Kepalanya yang sedari tadi ia sembunyikan di kedua lututnya terangkat. Matanya yang sedari tadi berair dan berkunang-kunang kini menatap ke arah datangnya suara tersebut.

“Lo kenapa, gila?” tanya Arsena panik. Pasalnya, kondisi Raksa benar-benar mengenaskan. Pakaiannya setengah basah, pun rambutnya. Bibirnya membiru, matanya tak fokus dan bengkak karena menangis.

“Lo dari tadi nangis?” Arsena lagi-lagi bertanya. “Lo tadi ujan-ujanan dan nggak ganti baju?” lagi, Arsena bertanya dan memasangkan jaket kulitnya ke tubuh Raksa.

“Sena, gue putus sama Pak Wana,” adu Raksa dengan suaranya bergetar.

Arsena mengajak Raksa berdiri dan merangkulnya. **“Kita nginep di sini aja dulu. Nggak mungkin gue bawa lo balik ke kota dengan keadaan lo kayak gini,” ujar Arsena melihat ke pintu masuk resort. Raksa menggeleng.

“Pulang, Na. Gue mau pulang,” pinta Raksa lemah.

“Sa, lo....”

“Pulang!”

“Ok. Tapi ganti baju dulu. Lo mandi air anget dulu. Badan lo mau demam ini,” Raksa menggeleng. Dia menepis tangan Arsena yang sedari tadi berada di kedua bahunya, menjaganya agar tak jatuh.

Dengan badan yang terhuyung dan air mata yang masih mengalir cukup deras, Raksa menatap Arsena. “Gue. Cuman. Mau. Pulang. Please, anterin gue pulang,” tukasnya sebelum ia pingsan di dekapan Arsena.

Arsena dengan amat sangat terpaksa membawa Raksa masuk ke mobil yang ia pinjam dari Friston. Dia bersyukur, keputusannya meminjam mobil Friston ketimbang memakai motornya untuk menjemput Raksa tadi adalah pilihan yang tepat.

What's wrong with you, man?” gumam Arsena memandang Raksa yang entah pingsan atau tidur di kursi penumpang. Arsena lalu menyalakan mobilnya dan melaju meninggalkan area resort.

Arsena kebingungan kenapa malam ini Raksa dan Buwana putus. Ada apa dengan mereka? Semalam saja, Raksa memamerkan kamar resort tempatnya menginap dengan Buwana dan Javi. Semalam, Raksa mengiriminya pesan betapa bahagianya anak itu akan tidur sekasur bersama Buwana dan Javi. Tentang betapa bahagianya Raksa merasakan “keluarga kecil cemara” impiannya dengan keberadaan Buwana dan Javi. Bahkan tadi pagi, Raksa masih memamerkan foto-foto Javi yang tengah bermain di pantai. Jangan lupakan foto Buwana dari setiap angle yang ia ambil juga dipamerkan terus menurus di dalam bubble chat mereka berdua.

Sementara itu, di tempat lain, ada Buwana yang tengah memeluk Javi di atas tempat tidur. Javi saat ini tengah kebingungan dengan perginya Om Sasa dan ekspresi Papinya yang tiba-tiba menjadi sendu.

Papi, are you okay?” tanyanya. Kepalanya mendongak, mata bulatnya menatap Buwana penuh perhatian.

“Papi, ok,” jawab Buwana menahan tangis. Sebelah tangannya mengusap pipi gembul Javi. “Papi is ok, Sayang. Javi tidur, ya, Nak?”

“Om Sasa kemana? Nggak bobo sama kita kayak kemarin?”

Sebelum air mata benar-benar lolos dari pelupuk matanya, Buwana dengan sigap menyusapnya dan menatap Javi dengan matanya yang berkaca-kaca menahan tangis.

“Om Sasa pergi, Sayang. Om Sasa nggak bisa bobo sama kita kayak kemarin lagi. Kita bobo berdua aja, nggak papa kan?” Javi mengangguk lalu kembali ke dalam dekapan Buwana, anak kecil itu membenamkan wajahnya di dada Buwana dan berujar, “Papi, no cry cry please, Javi sedih.”

Damn it!, Buwana memaki dalam hati.

“Javi tidur ya, Sayang,” pintanya lemah sembari mengusap punggung Javi.

Anak itu menurut dan memejamkan matanya meski dia tak mengantuk sama sekali. Dia baru saja bangun ketika Papi-nya tiba-tiba memeluknya tadi.

“Javi bobo, oh Javi bobo,” Buwana bernyanyi meski pikirannya kembali mengulang kejadian tadi pagi.

Tadi pagi, ia terbangun dengan Raksa yang tersenyum memandang penuh cinta ke arahnya.

“_Good morning,” sapa Raksa tadi pagi.

Morning,” balas Buwana.

Di tengah mereka ada Javi yang sedang menggeliatkan tubuhnya.

Molning!” sapa Javi juga.

Buwana dan Raksa menciumi pipi Javi yang baru bangun. Balita berumur tiga tahun itu tertawa karena ciuman dari orang tuanya dan Om Sasa kesayangannya.

Setelah puas menciumi Javi, Raksa dan Buwana bangun. Raksa pergi mandi terlebih dahulu bersama Javi. Setelahnya, Buwana yang mandi. Keluar dari kamar mandi, Buwana disambut dengan sarapan yang sudah tersedia.

Mereka bertiga makan dengan penuh canda tawa kebahagiaan.

So today our date is going to be visiting the beach and watching the sunset, correct? Buwana bertanya. Raksa memgangguk.

Setelah sarapan mereka bermain di sekitaran resort, mengambil banyak foto dengan kamera analog Raksa dan juga ponselnya, membuat vlog, video Tiktok, dan memperhatikan Javi yang bermain di taman bermain resort tempat mereka menginap.

Siangnya mereka kembali ke kamar, Raksa menonton 9-1-1 sementara Buwana menidurkan Javi. Setelahnya, Buwana bergabung bersama Raksa di sofa untuk menonton. Raksa mendekap Buwana dari belakang, dan Buwana tidur dengan lengan sang kekasih menjadi bantalnya, tangan Raksa yang satunya ia peluk.

“Eddie sama Buck kapan sadar ya kalau mereka harusnya nikah aja?” komentar Buwana. Raksa tak menjawab, ia malah menciumi pipi Buwana.

“Sa, geli ah!” ujar Buwana yang terganggu.

Raksa lantas berhenti.

“Pak,...”

Please deh, Pak mulu,” Buwana menggerutu. Dia membalik badannya menghadap Raksa dan mengecup bibir sang kekasih. “Aku mau denger kamu manggil aku sayang, nggak pak pak mulu,” ujarnya. Raksa tersenyum dan mengangguk.

“Sayang, makasih ya udah mau nurutin kemauan aku. Pakai segala dikasih surprise kemarin diajak ke sini,” ujar Raksa.

Buwana mengusap pipi Raksa, saat ini dirinya benar-benar bahagia. He feels so full, so happy, so content. “_I'll do everything for my little boy, Raksa,” ujar Buwana dan sekali lagi mengecup bibir Raksa.

“Pak, saya meleyot,” pekiknya rendah lalu keduanya tertawa.

Sorenya, setelah bangun dari tidur siang, Raksa, Buwana dan Javi bermain di pantai. Raksa dan Javi membangun kastil pasir sementara Buwana berbaring di kursi santai memperhatikan kedua bayinya.

Saat matahari hampir mulai terbenam, Javi dan Raksa menghampirinya. Javi meminta untuk kembali ke kamar, anak itu mengaku mengantuk lagi. Mau tak mau Buwana membawa Javi kembali ke kamar hotel untuk menidurkannya. Sementara Raksa menunggunya di pantai untuk melihat matahari terbenam nanti.

Sepeninggalnya Buwana, Raksa berbaring di kursi Buwana tadi. Matanya menatap hamparan air laut yang menyerbu pantai dengan gelombang rendahnya.

Otaknya kembali teringat pesan masuk kemarin, mengingatkan waktunya yang tak lebih dari dua minggu. Rencananya, dia akan memutuskan Buwana nanti, setelah magangnya berakhir. Tapi, sepertinya sekarang lebih tepat untuk putus. Sebelum keduanya makin dalam mencintai satu sama lain, meski nyatanya sudah.

Ralat, sebelum Raksa tak berani mengambil keputusan ini, sebelum Raksa tak berani memutuskan Buwana dan malah makin melukainya nanti.

I'm sorry, but this is for you, Sayang,” gumamnya dan memejamkan mata.

Buwana kembali tepat matahari mulai terbenam, tepat matahari berada beberapa meter dari permukaan air laut di ufuk Barat sana.

“Hey!” sapa Buwana. Raksa bangkit dan membawa Buwana ke ujung bibir pantai. Mereka berdua duduk di atas pasir, air laut tak sampai menjangkau keduanya, tapi cukup dekat dari mereka berdua.

The sunset is beautiful, isn't it?” Raksa tersenyum menatap matahari terbenam di hadapannya. Buwana yang duduk di sebelahnya mengangguk, sepaham akan betapa indahnya matahari yang perlahan tenggelam seolah ditelan air laut. Kepalanya bersandar di bahu Raksa.

“Iya, can....” tenggorokan Buwana tercekat ketika dirinya ingat makna ucapan Raksa sebelumnya. Buwana duduk tegak dan menoleh ke arah Raksa dengan tatapan penuh ketakutan.

Raksa juga menoleh, air mata sudah menetes membasahi pipinya.

Buwana menggeleng-gelengkan kepalanya, no! Nggak, Sa. Kamu udah janji nggak ninggalin aku!” suara Buwana hampir tak keluar. Napasnya sedikit tersengal menahan tangis.

I'm sorry. Saya baru sadar, Saya nggak secinta itu sama Bapak. Saya cinta Bapak, tapi nggak secinta itu, Pak. Maaf, saya nggak bisa boong lebih lama lagi, Pak,” ujar Raksa.

Buwana tertunduk dan menangis. Tak percaya akan ucapan kekasihnya. Apalagi dengan sikap Raksa dari kemarin.

Raksa berdiri, bersiap meninggalkan Buwana.

“Pak, terima kasih untuk segalanya. Terima kasih sudah mewujudkan dream dates Saya,” ujar Raksa. Tanpa menunggu balasan Buwana, Raksa melangkah pergi.

Kepergiannya diiringi air hujan yang mulai berjatuhan. Air hujan yang membuat semua orang yang ada di pantai berlarian pergi menghindarinya.

“Tunggu!” tahan Buwana. Ia berdiri dan menghadap ke arah Raksa dan menghampirinya.

Di tengah hujan yang mulai bertambah deras, Buwana mengajak Raksa berdansa, “aku belum ngabulin satu dream date kamu, dancing in the rain,” ujar Buwana.

Raksa terkekeh, “Pak, kita udah putus. Bapak nggak perlu ngelakuin itu lagi,” ujar Raksa setengah berteriak. Deburan ombak serta hujan membuat suara Raksa hampir tak terdengar.

But you have to! Saya sudah nurutin semua mau kamu, giliran kamu nurutin Saya!”

Raksa memgangguk, pasrah, mengiyakan permintaan Buwana.

Keduanya lalu berdansa di tengah hujan yang mereka berdua syukuri kehadirannya. Hujan yang menyembunyikan tangis keduanya.

Raksa bersyukur dia tak perlu melihat air mata Buwana atau perasaan bersalahnya makin besar. Pun Buwana yang bersyukur air matanya tak perlu dilihat Raksa.

Buwana menyenderkan kepalanya di bahu Raksa, merapatkan tubuhnya ketubuh Raksa, menyelami kehangatan yang masih tersisa di tubuh orang yang ia cintai ini. Pun Raksa. Otaknya ia suruh merekam moment terakhir ini.

Sembari berdansa dengan musik dari hujan dan ombak, Buwana menahan dirinya untuk bertanya mengapa, menahan dirinya untuk menahan Raksa tidak pergi. Dia belajar dari orang tuanya, ketika seseorang ingin pergi, meski ditahan sedemikian rupa, pada akhirnya orang itu akan pergi. Jadi, Buwana membiarkan Raksa pergi. Yang bisa dia lakukan sekarang hanya menikmati momen terakhir ini.

Remasan di baju Raksa makin kencang, sekencang dan sekeras keinginan Buwana untuk menahan Raksa pergi. Karena itu, Buwana mengigit bibirnya sekeras mungkin agar suara tangisnya tak pecah meski tubuhnya bergetar. Juga agar apapun yang ingin ia ucapkan untuk menahan Raksa pergi tak terucap.

Sementara itu, Raksa makin erat mendekap Buwana. Makin erat sejalan dengan makin enggan dirinya pergi meski dia harus pergi.

Beberapa menit kemudian, Buwana memisahkan tubuh keduanya dan pergi meninggalkan Raksa setelah berpesan pada Raksa untuk mengambil barang-barangnya di resepsionis.

“Maaf, Pak. Maaf,” gumam Raksa menatap punggung Buwana yang perlahan menjauh darinya.

#BabyInLove

Raksa langsung berlari setelah sampai di basement parkiran. Ia bisa melihat Buwana yang berdiri di depan mobilnya, sedikit duduk sebenernya di atas cap mobil dengan bungkusan MCD di sebelahnya.

Buwana yang mendengar langkah kaki seseorang menoleh ke arah Raksa yang kini sudah berjalan dengan kecepatan normal dan kepala yang sedikit menunduk, bibirnya pun sedikit maju.

Buwana berdiri tegak ketika Raksa berada di hadapannya, “halo kesayangannya Saya,” sapa Buwana.

Raksa mengangkat kepalanya dan memaksakan senyumnya, “halo Pak Wana,” balasnya getir.

Buwana mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi Raksa. Mendapat sentuhan tak terduga membuat Raksa sedikit mundur ke belakang sebelum membiarkan Buwana sepenuhnya mengusap pipinya dengan sebelah tangan.

“Kenapa manyun hm? Ini Saya beliin MCD loh, saya anterin lagi,” tanya Buwana.

Raksa kembali menunduk dan menggeleng dengan sebelah kakinya yang mengayun tak jelas. “Nggak papa kok, Pak,” jawabanya.

Raksa menggenggam tangan Buwana yang berada di pipinya, ia kembali mengangkat kepalanya, matanya kini menatap mata Buwana langsung. “Terima kasih MCDnya, Pak,” ujarnya lagi dan tersenyum. Kini senyum manis yang tulus.

Buwana menghela napasnya panjang sebelum memeluk Raksa. “Peluk Saya, Sa! Yang kencang,” titahnya yanh langsung dituruti Raksa.

Buwana menyandarkan dagunya di bahu Raksa dan menikmati pelukan sang kekasih. “Saya capek banget hari ini,” ujarnya.

“Bapak mau cerita?” tanya Raksa. Masih memeluk Buwana dengan erat. Dari bahunya, ia bisa merasakan kepala Buwana yang menggeleng bertanda ia tak ingin menceritakan tentang apapun hal yang membuatnya lelah.

“Saya mau dipeluk kamu aja,” jawab Buwana.

Keduanya lalu diam. Buwana menutup matanya, mencoba mengistirahatkan pikirannya dari semua hal yang membebaninya. Pun Raksa yang mencoba berhenti overthinking. Kedamaian akhirnya menghampiri mereka berdua setelah beberapa menit berpelukkan. Sampai Raksa membuka mata dan melihat sekantong MCD lainnya yang berada di kursi penumpanh mobil Buwana.

Otaknya kembali mengingat Joss, mengingat tweetan Buwana, dan mengingat keintiman mereka berdua yang entah bagaimana bisa ia rasakan.

“Bapak habis ini mau ke tempat Pak Joss ya?” tanya Raksa yang membuat Buwana melepaskan pelukkannya.

Sebelum ia bertanya bagaimana Raksa mengetahuinya, Buwana sadar dengan keberadaan kantung belanjaan MCD lain di dalam mobil juga cuitannya dengan Joss sebelum ke sini.

“Itu....”

Gimana gue bisa punya pikiran buat main belakang sih? batinnya ketika melihat ekspresi Raksa yang kembali manyun dan sedih.

“Saya cuman drop MCDnya di apartnya lalu pulang,” ujar Buwana pada akhirnya.

Raksa mangut-mangut masih dengan ekspresi sedihnya yang menggemaskan menurut Buwana.

“Mau nginep di rumah Saya? Javi lagi sama Pipi Saya,” ajak Buwana yang langsung bisa mengubah air muka Raksa menjadi cerah.

“Mau! Mau banget, Pak. Tapi, Saya harus izin abang dulu. Bisa tunggu sebentar?” Buwana mengangguk.

Sebelum melepaskan Raksa kembali ke unit apartementnya untuk meminta izin pada Yaksa, sekali lagi Buwana memeluk kekasihnya itu. “Raksa, saya cinta banget sama kamu,” ujar Buwana.

“Saya juga cinta banget sama Bapak hehehe,” kekeh Raksa.

#BabyInLove

Buwana masih mengitari kota bersama Javi setelah mengantarkan Yaksa pulang. Dia enggan pulang. Enggan bertemu orang tuanya yang jelas menanti kepulangannya. “Papi, where are we going? Why we are not going home?” tanya bocah kecil yang sedang duduk manis di car seat khusus balita yang terpasang di kursi belakang mobil Buwana.

Buwana tak menjawab. Pikirannya masih sibuk memikirkan perkataan Yaksa beberapa waktu lalu.

“Papi, peepee, Javi mau peepee,” rengek Javi.

Hold on, baby,” sahut Buwana dan langsung membelokkan mobilnya menuju gerai kopi yang sebelumnya ia lewati.

Buwana mengantarkan Javi sampai ke toilet cafe, di toilet, Javi meminta Buwana untuk tidak membantunya, katanya dia bisa sendiri. Akhirnya, Buwana hanya memperhatikan anaknya pipis dan membantu mencuci tangannya saja.

“Pinter banget anak Papi. Jangan tumbuh cepat-cepat, Sayang,” gumam Buwana. Javi mendongak dan tersenyum saja.

Mereka berdua akhirnya memesan minuman dan sepotong kue di cafe tersebut. Sembari menunggu pesanannya jadi, Buwana memainkan ponselnya dan membuka Twitter. Cuitan dari Raksa, Key, dan Arsena yang pertama kali muncul di timelinenya. Buwana menghembuskan napasnya berat. Ucapan Yaksa kembali menghantui pikirannya.

Shit! Now or never. Just this time. Just this once!” gumam Buwana benar-benar pelan agar anaknya tak mendengar. Dengan cepat ia mengirimkan pesan singkat ke Raksa untuk mengetahui keberadaan anak muda itu. Setelah mendapat balasan, ia kembali ke kasir dan meminta pesanannya di bungkus.

***

Raksa masih disibukkan dengan kegiatannya mengambil gambar Key yang tengah berpose di depan sana. Namun, perhatiannya tiba-tiba teralihkan ketika matanya tak sengaja menangkap sosok Buwana yang berdiri di sisi samping kanan tak jauh dari dirinya. Berdiri bersama kru photoshot lainnya.

Break 10 menit ya,” ujar Raksa dan diangguki Key serta kru lainnya.

Raksa dengan cepat menghampiri Buwana yang berdiri tegak dengan wajah dinginnya.

“Ada apa, Pak?” tanya Raksa.

Mata Buwana melirik ke kanan-kiri, memperhatikan kru yang ada yang tengah sibuk dengan Key dan tugasnya masing-masing. Yakin bahwa tak ada yang memperhatikan dirinya dan Raksa, Buwana akhirnya memberikan perhatian penuhnya ke atah Raksa.

“Jawab Saya, nggak usah banyak tanya,” titah Buwana. Raksa yang masih bingung cuman bisa mengangguk sambil dalam hati menganggumi ketampanan Buwana sore itu.

“Kamu..... kamu pacaran sama Key itu?” tanya Buwana dengan nada ragu bergetar. Raksa menggeleng.

“Kamu suka sama Saya?” Raksa terdiam lalu menunduk.

Kedua tangan Buwana akhirnya terulur meremas pundak Raksa, look at me and answer my questions, Raksa!”

Do you love me?” ulang Buwana. Raksa memgangguk dengan bibirnya yang sedikit maju. Sedih.

“Kamu mau jadi pacar Saya?” pertanyaan Buwana sukses membuat Raksa terkejut dan juga tersipu malu.

“Raksa, kamu mau jadi pacar Saya?” kali ini Buwana mengguncang tubuh Raksa dan menguatkan remasannya di pundak Raksa.

Pemuda yang ia sukai sekaligus anak magang di kantornya itu pun mengangguk lalu menunduk dalam, “tapi, Pak....”

“Saya nggak mau denger tapi, Raksa. Saya mau denger jawaban kamu atas pertanyaan Saya tadi. Do you want to be my boyfriend or not?” tegas Buwana.

“Saya mau ta—”

Buwana langsung membawa Raksa kedalam dekapannya.

“_Thank you! Thank you for not rejecting me. Please, promise me you won't leave me, Raksa, promise me that,” ujar Buwana sedikit terisak. Dia menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher Raksa.

Raksa balas memeluk Buwana kencang, ia bisa merasakan detak jantung Buwana yang berdetak lebih kencang dari dirinya. Ah, dia mengerti, Buwana sangat ketakutan tadi.

“Saya janji nggak akan ninggalin Bapak,” ujarnya.

#BabyInLove

“Tai banget lo, Na. Gue beneran sekangen itu sama Luke. Gue udah 3 bulan nggak liat dia,” gerutu Joss yang mulai menginjak pedal gas mobilnya.

Buwana tak menjawab. Dia sedang fokus ke ponselnya, membalas pesan seseorang yang dari pagi enggan dia balas.

“Na, nggak baik tau lo kayak gitu. Kasar banget,” ujar Joss lagi. Sedikit banyak dia bisa membaca pesan yang Buwana kirimkan pada 'Intern Bahuraksa'.

“Joss, nggak baik tau lo nggak move on move on dari Luke,” balas Buwana yang sudah menyimpan ponselnya ke dalam tas kecil yang bawa.

“Tai!”

Buwana terkekeh, “lagian bagus kan saingan lo buat dapetin gue berkurang?”

“Dih?” Buwana tertawa.

“Kalau gue nggak kayak gini entar dia salah paham lagi. Kayaknya gue salah juga ngasih dia perhatian dan 'tertarik' sama dia sedikit,” terang Buwana.

Joss paham maksud Buwana, temannya ini memang kadang bisa membuat orang salah paham dengan sikapnya yang perhatian. “Tapi nggak sejahat itu juga kalimat lo, Na,” ujar Joss lagi yang masih kurang setuju dengan cara Buwana.

“Gini deh, Joss, gue baik sama dia belum ada sebulan, tapi udah ngelead dia buat mikir gue suka sama dia. Kalau gue nggak teges atau sejahat ini entar dia malah ngira gue ada feeling beneran sama tapi malu-malu buat ngaku. Anak muda kayak dia mending diginiin sebelum dia malah lebih dalem bapernya.”

Joss menghela nafas panjang. “Ok, whatever. Anyway, jujur sama gue, lo ada rasa sama si intern lo itu beneran atau enggak? Mengingat, lo bahkan biarin Javi nginep di kostannya dia,” tanya Joss penasaran.

Buwana memang tak pernah membiarkan Javi menginap di rumah orang lain selain keluarganya, bahkan dia tak pernah membiarkan Javi menginap di rumah Joss biar pun Javi meminta dengan tangisan kerasnya. Melihat Buwana memberi izin pada Javi untuk menginap di kostan Raksa membuat Joss sedikit yakin, sahabatnya juga teman tidurnya ini memiliki rasa pada bocah yang ia sebut bocah bau kencur itu.

Keheningan melanda mereka.

“Na, do you like him?”

A little bit,” jawab Buwana dengan suara yang pelan dan terdengar sedih.

Lagi, helaan nafas Joss terdengar. Sekarang dia paham kenapa temannya ini sekasar it9u. It's for his own sake. Sikap kasarnya ini untuk melindungi dirinya sendiri karena ketakutannya.

“Na, lo nggak harus selalu kabur dari perasaan itu. Lo tau kan? Why not try to have a relationship first? I know how painful it is when it comes to parting, but...

If we never try, how will we know?” Joss bersenandung dan menoleh ke arah Buwana yang bersiap memukul bahunya.

“Sok banget lo ngasih gue petuah cinta. Lo aja nggak move on move on. Udah nggak move on, disuruh kawin lari juga nggak berani.”

“Tai! Gue mau kawin lari kemana anjing? Bokap gue bakal ngejar gue kemana pun. Iya kalau gue yang dihajar, ini Luke.”