omyblooms

Heeseung masih memperhatikan Jongseong yang dengan telaten menggantikan popok Riki—bayi mereka yang berusia hampir seminggu.

“Dek Riki udah wangi, udah bersih~” Jongseong menimang-nimang bayi kecil itu dengan riang. “Heeseung, mau coba gendong?”

Heeseung menggeleng cepat dan kembali ke posisi tidurnya—dengan selimut sampai sebatas telinga.


“Kamu seharusnya bangunin aku aja, sayang.” Jay mengoleskan salep di atas punggung tangan Heeseung.

“T-tapi niat aku..”

“Iya aku ngerti, tapi kalo kamu kesusahan seharusnya kamu minta bantuan aku aja.”

Heeseung menundukkan kepalanya, merasa tidak becus menjadi orang tua.

Tadi pagi, ia mencoba membuat susu formula karena Riki yang menangis dengan keras. Namun karena panik, ia tidak sengaja menumpahkan air panas dan mengenai tangannya.

“Kamu sarapan dulu ya, aku samper Riki dulu di kamar.”

Heeseung beranjak menuju kamar mandi, menangis. Entah karena apa. Ia merasa Jongseong tidak lagi memperdulikannya dan hanya fokus kepada Riki.

Apakah Jongseong tidak menyayanginya lagi? Apakah dia hanya dimanfaatkan sebagai penghasil keturunan?

“Heeseung?” Suara Jongseong menyapa pendengarannya, dengan cepat ia membasuh wajahnya dan pergi keluar.

“Papa, liat Riki udah ganteng!” Ucap Jongseong menirukan suara anak kecil. Heeseung tersenyum kecut.

Rasa kesal, iri, dan sedih bercampur menjadi satu saat ia melihat Riki yang mendapat banyak perhatian dari Jongseong.

Jake x Heeseung

Heeseung dengan diam-diam memasuki kamar Jake, sepi dan lumayan gelap. Hanya ada lampu hiasan yang meneranginya.

“Jake,” Jake membalik kursinya, tersenyum hangat mendapati eksistensi yang lebih tua. Ia melebarkan tangannya— mengkode Heeseung untuk masuk ke dalam pelukannya.

Heeseung menyamankan dirinya di pangkuan Jake, kepalanya ia taruh di bahu lebar yang lebih muda.

Beberapa menit berada dalam posisi itu, Heeseung berdiri dari posisinya dan menyuruh Jake untuk berpindah tempat duduk ke sofa yang berada dalam ruangan itu.

Heeseung mengambil sebotol lube dari dalam laci, berjalan menuju Jake dan mengeluarkan penisnya dari dalam celana. Ia melapisi penis Jake dengan pelumas.

Jake mengerti apa yang akan Heeseung lakukan, ia membantu Heeseung melepaskan celananya dan memasukan penisnya ke dalam liang kenikmatan yang lebih tua.

Desahan keluar dari bibir Heeseung begitu penis Jake masuk, terasa penuh dan basah.

Heeseung menghujani wajah tampan Jake dengan banyak kecupan, hal itu membuat Jake terkekeh dengan tingkah lakunya.

“Kakak lagi banyak pikiran, ya?” Heeseung mengangguk, mengecup bibir Jake sekali lagi dan mengalungkan tangan pada lehernya.

Sudah menjadi kebiasaan Heeseung saat ia sedang merasa stress, mengnampiri kekasihnya untuk memberikan cockwarming sambil mengeluarkan keluh kesahnya.

Jake mengelus surai hitam yang lebih tua, “Mau cerita?” Dan Heeseung mengangguk lagi sebagai jawaban.

Jake ingin sekali teriak karena tingkah Heeseung yang selalu membuatnya gemas namun, ini bukan waktu yang tepat. Tahan dulu.

Tiba-tiba Heeseung menangis, memeluk tubuh Jake dengan erat. Jake menahan segala rasa penasarannya, ia mengelus lembut punggung yang lebih tua.

“Tugas aku banyak.. Hiks.. N-nggak ngerti.” Tugas lagi. Jake sangat mengerti perasaannya. Heeseung adalah seorang mahasiswa lintas jalur, ia sering sekali kesusahan dengan mata kuliah dan tugasnya yang menumpuk.

“J-jake.. Aku bodoh banget.”

Jake melepaskan pelukan Heeseung, ia menangkup pipi yang lebih tua dan menatap mata rusanya. “Nggak boleh ngomong gitu. Itu sama aja kayak kakak menyerah.”

Ia mengecup bibir Heeseung, “Anak cantik nggak boleh nyerah gitu aja.” Mendengar itu, Heeseung malah semakin menangis.


Sebelah tangan Jake memegang pinggang Heeseung guna membantunya bergerak. Heeseung bergerak dalam tempo lambat namun tetap bisa membuat Jake gila.

Lubangnya menjepit penis Jake dengan rapat. Ditambah rasa hangat dan becek.

Cairan precum Heeseung semakin membasahi kaos yang dikenakan Jake, “K-kakhh.. mau keluar?” Heeseung mengangguk ribut.

Jake pun ikut menggerakan pinggulnya guna menjemput putih, tak henti-hentinya ia memuja betapa cantiknya Heeseung.

Beberapa tusukan terakhir dan akhirnya mereka menjemput putihnya bersama.

Jake melumat bibir Heeseung sesaat, “Nggak boleh nangis lagi, cantik.”

Bukan sekali dua kali keluarga Jerold dan keluarga Hera berlibur bersama seperti ini, hampir setiap tahun mereka berlibur seperti ini. Bisa dibilang.. Semacam tradisi? Entahlah, mereka sudah seperti ini semenjak Jerold dan Hera masih kecil.

Iya, tidak banyak tahu kalau Jerold dan Hera sudah berteman sejak kecil. Bermula saat Jerold kecil yang saat itu menangis di depan kelasnya karena dikucilkan.

Hera yang merasa kasihan pun menggandeng tangannya menuju belakang sekolah. “Aku Hera, kelas 2-B. Nama kamu siapa? Kenapa nangis?” Dan sejak saat itu mereka berteman akrab.

“Jerold, mau kamar yang sebelah mana?”

“Ma, bun, sekamar sama Hera boleh?” Hera menyikut lengan Jerold setelah mendengar ucapan kekasihnya.

“Boleh aja, asalkan jangan berisik ya. Ada yang jomblo soalnya.” Jawab bunda mengejek. Senyuman lebar terpahat di wajah Jerold, ia langsung membawa barang bawaannya masuk ke kamar.

“Masih ada kamar kosong. Kenapa lo di sini sih?!” Hera menyilangkan tangannya di dada. Menatap jengah Jerold yang sedang mengeluarkan isi kopernya.

“Biar bisa meluk lo semaleman.”


Pukul 2 siang, Hera sedang bosan-bosannya. Tidak tahu ingin melakukan kegiatan apa.

Bang Hersa dan Jerold sedang tidur, sementara para orang tua sedang mengobrol di luar entah membicarakan apa, Hera tidak mengerti.

Akhirnya Hera memutuskan untuk berjalan-jalan keluar, kebetulan di depan villa ada taman bermain.

Hera duduk di atas ayunan, memperhatikan kedua bocah di depannya yang asik merangkai bunga. Kejadian di masa lalu seketika terlintas di kepalanya.

Ia teringat saat itu Jerold dengan tangan mungilnya bersusah payah merangkai bunga untuk diberikan kepadanya, kejadiannya persis seperti apa yang sedang ia lihat sekarang.

Tanpa sadar air mata menetes membasahi kedua pipinya. “Kenapa nangis?” Suara familiar menyapanya. Jerold.

“Sejak kapan di sini?”

“Barusan, kenapa lo nangis?” Jerold melingkarkan tangannya pada leher Hera, mendaratkan dagunya pada pucuk kepala sang kekasih.

“Lihat mereka. Gue keinget pas kecil lo pernah ngerangkai bunga untuk gue.” Jerold tertawa, “Persis banget ya sama yang kita lakuin dulu.”

Suara dari sound system terdengar keras, orang-orang menari dengan gila mengikuti iringan musik.

Jerold dan Geon terkekeh melihat Hera dan Julian yang menjadi pusat perhatian di atas dance floor.

“Temen lo gila, bilangnya ga akan mabok. Taunya begitu.” Kelvin duduk bergabung, menyesap colanya yang tinggal setengah kaleng.

“Biarin seneng-seneng gitu, lagi stress kayanya mereka.” Sena dan Riki datang berbarengan, membawa beberapa camilan yang mereka pesan tadi.

“Kira-kira siapa yang bakal nemplokin orang?” Kelvin buka suara.

“Mau taruhan ga, bang?” Yang lebih tua menengok, “Taruhan apa?” Tanya Sena.

“Kalo bang Hera yang nemplokin orang, gue traktir kalian mekdi seminggu full.” Geplakan halus mendarat indah di kepala Riki.

“Agak goblok tapi gue ikut deh, kalo dia yang nemplokin orang lo semua gue traktir thai tea seminggu full.” Ucap Geon percaya diri.

Jerold tidak bisa berkata-kata. Bisa-bisanya pacarnya dijadikan taruhan seperti ini.

cw // blow job, dirty talk, nipple play, harsh words

Dengan malas, Jay melangkahkan kakinya kembali menuju hotel tempatnya dan Heeseung menginap selama sekitar 2 minggu ke depan.

Dalam hati, ia sudah menyumpahi orang yang lebih tua dengan hal yang tidak-tidak.

Baru saja Jay memasuki kamar inapnya, Heeseung dengan tiba-tiba mendorongnya ke arah sofa dan meraup bibirnya rakus.

“K-kak.. angh,” Heeseung meremas penis Jay yang masih terbalut celana. “Panggil yang bener.” Ucap Heeseung dingin.

Heeseung bermain-main di leher yang lebih muda, membuat banyak tanda kemerahan yang tentu saja tak akan hilang dalam sehari. Sementara bagian bawahnya bergerak-gerak menggoda penis Jay.

D-daddy,” Heeseung menyeringai, penampakan Jay di bawahnya membuat libidonya naik. Ia turun dari pangkuan Jay, membawa penis tegang Jay yang masih terbalut celana ke dalam genggamannya.

Hard already, huh?” Heeseung menggigit bibirnya, jari lentiknya dengan lancar membuka resleting celana Jay dan mengeluarkan penisnya.

Oh wow.. Look at your dick. Big and wet. Gak sabar mau masuk, hm?” Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Jay, hanya desahan dan erangan ketika Heeseung memasukan penisnya ke dalam mulutnya.

Dad-hh, I-i'm gonna cum.” Sialan, mulut Heeseung terasa sangat nikmat, permainan lidahnya membuatnya gila. “Argh! Kenapa berhenti?!” Protes Jay disaat Heeseung berhenti mengulumnya.

“Saya yang pegang kendali di sini, kamu diam dan nikmatin aja.” Heeseung melepaskan bajunya, membawa tangan Jay menuju dadanya. Mengerti apa yang dimaksud, Jay mulai bermain dengan nipple Heeseung.

F-fuck! That is g-good,” Desahan dengan lancar keluar dari mulutnya, Jay yang sudah tak dapat mengendalikan nafsunya menjilati nipple berwarna merah muda tersebut.

Ia menghisapnya dengan rakus seperti seorang bayi kecil yang kehausan.

cw // kissing

“Hera mana?” Yang ngerasa dipanggil menoleh, “Nih cobain dulu bajunya, ke ruang 2 ya.” Hera ngangguk patuh dan jalan ke ruangan yang dimaksud.

“Yah elah lengan panjang.” Hera paling ga suka pake baju lengan panjang kalo lagi manggung. Pasti berasa panas banget kayak padang Mahsyar, apalagi eventnya diadakan siang bolong dan dia punya kebiasaan loncat-loncat saat lagi manggung.

“Hera?”

“Oit, kenapa Je?” Jerold ngebuka gordennya sedikit, ngintip pacarnya yang lagi make baju. Dengan seenaknya dia masuk terus ngeliatin Hera yang sedikit kesusahan sama bajunya.

“Kerahnya masih nyangkut.” Jerold bantu ngerapihin kerah baju Hera.

Gila cakep banget ini orang.

Jerold ngambil sesuatu dari kantongnya, “Disuruh Sena pake ini.” Sebuah lip ring.

“Pakein.” Hera ngelingkarin kedua tangannya di leher Jerold, sinting. Jerold gak bisa banget ngeliat bibir pacarnya dari deket kayak gini.

Baru aja Jerold mau makein lip ring itu, Hera nyambar bibirnya, lidah mereka berdua beradu saling mendominasi.

Tangan Hera ngeremas rambut Jerold, sedangkan Jerold nekan tengkuk Hera—memperdalam ciumannya.

Jay menatap Heeseung—muridnya dengan galak, “Tugas ini udah hampir dua minggu! Kenapa nggak dikerjain?” Jay membanting buku tugas milik Heeseung dengan lumayan keras.

Saat ini hanya tinggal mereka berdua yang berada di kelas, suasananya sangat mencekam. Heeseung merasa dirinya adalah mangsa.

M-mister..” Jay menangkup rahang Heeseung dengan tangan besarnya yang terasa dingin.

I ask you once again, why didn't you finish your homework?” Jay berbicara dengan nada rendah membuat Heeseung merinding seketika. Jay melepaskan cengkramannya, ia kembali ke kursinya.

“S-saya nggak ngerti bahasa Inggris, mister.” Cicit Heeseung, ia meremas tangannya yang berkeringat di bawah meja. “Sini, Heeseung.”

Bagai omega yang diberi command oleh sang alpha, Heeseung langsung berdiri dan berjalan mendekati Jay.

Jay menarik Heeseung ke pangkuannya, ia menyeringai. “Nggak ngerti? Terus yang kamu mendesah sambil meracau fasterdeeper tempo hari itu apa?”

Shit, Jay malah mengungkit kembali kejadian beberapa hari lalu di mana Heeseung yang berniat mengambil kelas bahasa Inggris tambahan tapi malah berakhir menjadi pergumulan panas.

Heeseung membuang tatapannya, merasa kesal sekaligus malu. “Jangan alihkan pandangan kamu.” Jay menyingkap baju Heeseung sebatas dadanya, menyeringai ketika mendapati kissmark yang hampir memudar.

Heeseung bergerak tak nyaman di pangkuannya ketika tangan Jay dengan kurang ajar memainkan nipplenya.

“Anak nakal harus diberi hukuman.”


Heeseung terlihat sangat berantakan. Kaosnya terlempar entah ke mana, celananya merosot sebatas mata kaki. Lehernya dipenuhi bercak merah karya sang guru bahasa Inggris.

Tak henti-hentinya Jay menggumamkan kata pretty dan gorgeous.Heeseung look so breedable right now.

Heeseung sebisa mungkin menahan bobot tubuhnya, Jay dengan kurang ajar menghempas tubuhnya ke meja. Kakinya dipaksa terbuka lebar oleh yang lebih tua. “Nghh mister J-jay..”

Jay melesakan kedua jarinya masuk, membentuk gestur menggunting guna memperlebar lubang senggama Heeseung.

“Akh.. FUCK!

plaak

Language, pretty.” Heeseung menangis, bekas tamparan Jay pada pantatnya terasa perih dan panas.

Mister Jay..” Heeseung mendesah kecewa saat Jay mengeluarkan jarinya, “Hold on, pretty.” Heeseung dapat melihat Jay yang mengocok penisnya dengan tempo pelan.

He's big as fuck.

I'm in.” Heeseung gasped, how the fuck that big dick fit inside his hole. Jay langsung menggerakan pinggulnya, masa bodo dengan Heeseung yang menangis kesakitan.

Tangan Jay bergerak memainkan nipple yang lebih muda, Heeseung telah gila dengan semua sentuhan yang Jay berikan padanya.

“P-pelanhh..” Jay tak mengindahkannya, ia terus menghujam tiada henti dengan tempo yang kasar. Membuat Heeseung tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Hanya desahan yang keluar.

Air mata mengalir membasahi pipinya disertai erangan kesakitan, “Mister Jayhh, i c-can't.” Jay menahan tubuh Heeseung yang menggeliat di bawahnya.

Heeseung mencapai puncaknya, menyeburkan cairan putih dari penisnya yang kini melemas. “Siapa yang suruh keluar?” Jay menarik tubuh Heeseung—kini punggung sempit Heeseung menempel pada dadanya.

Tangisan yang bercampur dengan desahan Heeseung terdengar semakin keras, ini terasa sangat menyakitkan dan juga nikmat at the same time.

Jay mengulum cupingnya, membisikan kalimat-kalimat kotor tepat di telinganya. Hujamannya semakin tak terkendali ketika Heeseung dengan sengaja mengetatkan lubangnya.

“Anghh.. Fuck. Jangan diketatin.”

Mister, please stophh.. anghh.” Heeseung benar-benar tidak kuat mengimbangi gerakan Jay, ia menangis semakin keras.

Sementara Jay mencoba menahan gejolak dalam perutnya—ingin keluar bersama Heeseung, tangannya meraih penis Heeseung yang mulai kembali menegang dan mengocoknya dengan cepat.

“Anghhhh!” Heeseung menggelengkan kepalanya ribut, ingin melawan tetapi tidak bisa. Orang yang menggagahinya saat ini adalah jelmaan iblis.

Jay membawa Heeseung ke dalam lumatannya, kasar dan menuntut. Dengan sengaja ia menggigit bibir yang lebih muda hingga mengeluarkan sedikit darah.

“Janji setelah ini kami akan kerjakan tugas?” Heeseung mengangguk. “J-janji mister.. H-Heeseung janji..” Jay tersenyum puas.

Ia makin mempercepat temponya demi mengejar pelepasan, beberapa hujaman terakhir hingga akhirnya ia menyemburkan semuanya tanpa sisa di dalam.

Heeseung mengerang, ia pelepasan untuk kedua kalinya ditambah rasa hangat yang ia rasakan pada lubang senggamanya.

Jay kembali melumat bibir yang lebih muda, mengecupi pipinya dan tersenyum. “Cantik, milik Jay seorang.”

Jay menatap Heeseung—muridnya dengan galak, “Tugas ini udah hampir dua minggu! Kenapa nggak dikerjain?” Jay membanting buku tugas milik Heeseung dengan lumayan keras.

Saat ini hanya tinggal mereka berdua yang berada di kelas, suasananya sangat mencekam. Heeseung merasa dirinya adalah mangsa.

M-mister..” Jay menangkup rahang Heeseung dengan tangan besarnya yang terasa dingin.

I ask you once again, why didn't you finish your homework?” Jay berbicara dengan nada rendah membuat Heeseung merinding seketika. Jay melepaskan cengkramannya, ia kembali ke kursinya.

“S-saya nggak ngerti bahasa Inggris, mister.” Cicit Heeseung, ia meremas tangannya yang berkeringat di bawah meja. “Sini, Heeseung.”

Bagai omega yang diberi command oleh sang alpha, Heeseung langsung berdiri dan berjalan mendekati Jay.

Jay menarik Heeseung ke pangkuannya, ia menyeringai. “Nggak ngerti? Terus yang kamu mendesah sambil meracau fasterdeeper tempo hari itu apa?”

Shit, Jay malah mengungkit kembali kejadian beberapa hari lalu di mana Heeseung yang berniat mengambil kelas bahasa Inggris tambahan tapi malah berakhir menjadi pergumulan panas.

Heeseung membuang tatapannya, merasa kesal sekaligus malu. “Jangan alihkan pandangan kamu.” Jay menyingkap baju Heeseung sebatas dadanya, menyeringai ketika mendapati kissmark yang hampir memudar.

Heeseung bergerak tak nyaman di pangkuannya ketika tangan Jay dengan kurang ajar memainkan nipplenya.

“Anak nakal harus diberi hukuman.”


Heeseung terlihat sangat berantakan. Kaosnya terlempar entah ke mana, celananya merosot sebatas mata kaki. Lehernya dipenuhi bercak merah karya sang guru bahasa Inggris.

Tak henti-hentinya Jay menggumamkan kata pretty dan gorgeous.Heeseung look so breedable right now.

Heeseung sebisa mungkin menahan bobot tubuhnya, Jay dengan kurang ajar menghempas tubuhnya ke meja. Kakinya dipaksa terbuka lebar oleh yang lebih tua. “Nghh mister J-jay..”

Jay melesakan kedua jarinya masuk, membentuk gestur menggunting guna memperlebar lubang senggama Heeseung.

“Akh.. FUCK!

plaak

Language, pretty.” Heeseung menangis, bekas tamparan Jay pada pantatnya terasa perih dan panas.

Mister Jay..” Heeseung mendesah kecewa saat Jay mengeluarkan jarinya, “Hold on, pretty.” Heeseung dapat melihat Jay yang mengocok penisnya dengan tempo pelan.

He's big as fuck.

I'm in.” Heeseung gasped, how the fuck that big dick fit inside his hole. Jay langsung menggerakan pinggulnya, masa bodo dengan Heeseung yang menangis kesakitan.

Tangan Jay bergerak memainkan nipple yang lebih muda, Heeseung telah gila dengan semua sentuhan yang Jay berikan padanya.

“P-pelanhh..” Jay tak mengindahkannya, ia terus menghujam tiada henti dengan tempo yang kasar. Membuat Heeseung tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Hanya desahan yang keluar.

Air mata mengalir membasahi pipinya disertai erangan kesakitan, “Mister Jayhh, i c-can't.” Jay menahan tubuh Heeseung yang menggeliat di bawahnya.

Heeseung mencapai puncaknya, menyeburkan cairan putih dari penisnya yang kini melemas. “Siapa yang suruh keluar?” Jay menarik tubuh Heeseung—kini punggung sempit Heeseung menempel pada dadanya.

Tangisan yang bercampur dengan desahan Heeseung terdengar semakin keras, ini terasa sangat menyakitkan dan juga nikmat at the same time.

Jay mengulum cupingnya, membisikan kalimat-kalimat kotor tepat di telinganya. Hujamannya semakin tak terkendali ketika Heeseung dengan sengaja mengetatkan lubangnya.

“Anghh.. Fuck. Jangan diketatin.”

Mister, please stophh.. anghh.” Heeseung benar-benar tidak kuat mengimbangi gerakan Jay, ia menangis semakin keras.

Sementara Jay mencoba menahan gejolak dalam perutnya—ingin keluar bersama Heeseung, tangannya meraih penis Heeseung yang mulai kembali menegang dan mengocoknya dengan cepat.

“Anghhhh!” Heeseung menggelengkan kepalanya ribut, ingin melawan tetapi tidak bisa. Orang yang menggagahinya saat ini adalah jelmaan iblis.

Jay membawa Heeseung ke dalam lumatannya, kasar dan menuntut. Dengan sengaja ia menggigit bibir yang lebih muda hingga mengeluarkan sedikit darah.

“Janji setelah ini kami akan kerjakan tugas?” Heeseung mengangguk. “J-janji mister.. H-Heeseung janji..” Jay tersenyum puas.

Ia makin mempercepat temponya demi mengejar pelepasan, beberapa hujaman terakhir hingga akhirnya ia menyemburkan semuanya tanpa sisa di dalam.

Heeseung mengerang, ia pelepasan untuk kedua kalinya ditambah rasa hangat yang ia rasakan pada lubang senggamanya.

Jay kembali melumat bibir yang lebih muda, mengecupi pipinya dan tersenyum. “Cantik, punya Jay seorang.”

Hari yang Jungwon tunggu akhirnya tiba, saat ini ia sedang berdiri di depan kaca—merapihkan pakaian dan rambutnya.

krieet..

“Hai, prince.” Sunghoon menyapa sang anak dengan senyum lebar terpahat di wajahnya.

“Ayah! how do I look?” Sunghoon mengacungkan kedua jempolnya, “Ganteng dong!!”


Jungwon mengetuk-ngetuk meja makan—ia bosan. Saat ini mereka sedang berada di restoran Thailand favorit Jungwon.

Mata Jungwon melebar ketika mendapati eksistensi sang papi, “Papi!!” Jungwon melambaikan tangannya yang dibalas oleh senyuman—terpaksa Heeseung.

“Maaf lama, papi sibuk.”

“Kita udah pesan makanan, kalo ada yang papi mau tinggal pesan aja.” Ucap Jungwon sembari menyerahkan buku menu kepada Heeseung.


Suasana terasa canggung, hanya bunyi dentingan alat makan yang bertubrukan dengan piring dan sesekali Jungwin berbicara demi mencairkan suasana.

“Ayah, papi, aku ke toilet dulu.” Jungwon beranjak begitu perkataannya diangguki sang ayah.

“Anakmu manja.”

“Maksud kamu?” Sunghoon meletakan sendok yang berada di genggamannya, “Konteksnya apa ya?”

Heeseung menenggak minumannya, “Cuman blang aja sih, kayak belum pernah ngerasa bahagia aja.” Ucapnya dengan enteng.

Sunghoon mengepalkan tangannya guna menahan emosinya, tidak sopan berdebat di tempat umum seperti ini apalagi mengenai masalah ruman tangga.

“Memang dia belum pernah bahagia, semua ini karena kamu.” Heeseung menaikan sebelah alisnya. “Oh, kamu nyalahin aku?”

“Ya! Kalo seandainya kamu selalu ada di sampingnya, selalu mensupport dia, selalu sayang sama dia. Pasti dia bahagia saat ini.” Sunghoon tanpa sadar meninggikan suaranya membuat beberapa orang menoleh.

“Hey jangan asal ngomong, aku selalu berada di samping dia!”

“Buktinya? Kamu ngga pernah datang saat dia ikut tanding taekwondo, kamu ngga pernah datang saat ada acara sekolahnya. Bahkan kami aja ogah-ogahan ngerawat dia saat masih bayi.”

“Kamu ngga pernah peduli dan sayang sama Jungwon.” Sambung Sunghoon.

“Ya.. Memang, aku juga menyesal melahirkan dia.” Sunghoon berdiri dari kursinya, menatap Heeseung penuh emosi.

“Ayah, p-papi.. stop ini tempat umum.” Mereka berdua menoleh mendapati Jungwon dengan matanya yang berkaca-kaca.

Jungwon mengambil ponsel dan tas kecilnya, ia berlari keluar restoran tak peduli orang-orang di sana memperhatikannya.

Untuk kesekian kalinya Sunghoon memasuki kamar sang anak. Ia menaruh punggung tangannya pada perpotongan leher Jungwon yang terasa panas, obat penurun demamnya tidak mempan.

“Papi.. Mau papi.” Racaunya sembari memeluk jaket yang biasa Heeseung pakai. Sunghoon menyibak poni Jungwon, mengganti kompresnya dengan yang baru.

Hatinya terasa tercabik-cabik melihat sang anak menangis dan meracau dalam tidurnya. “Jungwon, coba buka matanya sayang.” Ia menepuk pipi Jungwon pelan.

Jungwon membuka matanya yang terasa panas dan berat, ia memeluk lengan sang ayah. “Ayah.. P-papi.” Ucapnya.

Sunghoon mengelus surai hitamnya, “Kita ke rumah sakit, ya?” Tawarnya namun Jungwon dengan cepat menggelengkan kepalanya.

“Mau papi.” Sunghoon menghela nafasnya, “Kita ke rumah sakit dulu ya? Papi pasti dateng.” Dan akhirnya sang anak setuju.

Sekali lagi, ia membohongi Jungwon. Papinya tak akan pernah datang lagi untuk menemuinya.