omyblooms

Untuk kesekian kalinya Sunghoon memasuki kamar sang anak. Ia menaruh punggung tangannya pada perpotongan leher Jungwon yang terasa panas, obat penurun demamnya tidak mempan.

“Papi.. Mau papi.” Racaunya sembari memeluk jaket yang biasa Heeseung pakai. Sunghoon menyibak poni Jungwon, mengganti kompresnya dengan yang baru.

Hatinya terasa seperti tercabik-cabik melihat sang anak yang menangis dan meracau dalam tidurnya. “Jungwon, coba buka matanya sayang.” Ia menepuk pipi Jungwon pelan.

Jungwon membuka matanya yang terasa panas dan berat, ia memeluk lengan sang ayah. “Ayah.. P-papi.” Ucapnya.

Sunghoon mengelus surai hitamnya, “Kita ke rumah sakit, ya?” Tawarnya namun Jungwon dengan cepat menggelengkan kepalanya.

“Mau papi.” Sunghoon menghela nafasnya, “Kita ke rumah sakit dulu ya? Papi pasti dateng.” Dan akhirnya sang anak setuju.

Sekali lagi, ia membohongi Jungwon. Papinya tak akan pernah datang lagi untuk menemuinya.

Heeseung menggenggam tangan bundanya dengan erat, “Heeseung.. OHOKOHOKHOEEK.” Heeseung menghela nafasnya.

Sang bunda sakit-sakitan sejak ayahnya meninggalkan mereka berdua. Sekarang hanya Heeseung satu-satunya harapan bunda.

Heeseung menatap sang bunda yang terbaring lemah di bangsal rumah sakit. Hadehh.. nambah lagi utang gw. Ucapnya dalam hati.

Pusing, masih banyak utang yang belum ia bayar sementara penghasilannya tidak tetap. Sebenarnya dia sempat berpikir untuk menjadi sugar baby dan meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang pecel lele.

Tapi dia selalu ingat kata sang bunda, “Keep it halal bestie.” Menjadi sugar baby bukanlah solusi yang tepat.

“Lembur, lembur, TIPES!”

Heeseung menghela nafas, memijat batang hidungnya. Sudah hampir seminggu ia diberi pekerjaan lebih, title karyawan terbaik ternyata malah menambah bebannya.

“Huwaaa lelaaah~” Ia meregangkan tubuhnya, kedua bahunya terasa benar-benar pegal.

Sekarang sudah pukul satu pagi, suhu ruangan terasa semakin dingin. Heeseung beranjak menuju pantry untuk menyeduh segelas kopi instant.

“Hai, tidak pulang?” Suara berat menginterupsinya, secara refleks ia menoleh ke belakang mendapati pria dengan tubuh tegap berdiri di ambang pintu.

Heeseung menyipitkan matanya, “Jongseong?” Pria itu— Jongseong mengangguk sembari tersenyum.

Jongseong menepuk kursi di sampingnya, menyuruh Heeseung untuk duduk. “Kau lembur lagi?” Heeseung mengangguk.

“Kau? Tidak biasanya kau lembur seperti ini.” Jongseong menggaruk kepalanya, “Ya... Ada sesuatu yang harus aku selesaikan dengan cepat.”


“Kau pegal?” Tanya Jongseong begitu ia menyadari Heeseung yang sejak tadi memegangi bahunya.

“Bukan pegal lagi, sakit.” Ucapnya, Jongseong dengan tiba-tiba memutar kursi Heeseung. Ia memijat kedua bahu sempit itu secara perlahan.

“Masih sakit?” Heeseung mengangguk pelan, rasa pegal dan sakit yang menjadi satu membuatnya bingung. Entah apa yang ia rasakan saat ini.

“Seharusnya kau bilang pada atasan.”

“Enggh.. Jongseong.” Tanpa sadar Heeseung sedikit mendesah, pijatan yang diberikan Jongseong terasa sangat enak.

“Hnghh.. feels so good” Heeseung terus-terusan melenguh, sesuatu dalam diri Jongseong terasa bergejolak. Entah hanya perasaan Jongseong saja atau bukan, tapi suhu ruangan terasa panas.

Jongseong menarik kursi yang Heeseung duduki, mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Heeseung.

Ia mendekati perpotongan leher Heeseung, mengendus aroma tubuh Heeseung yang bercampur aroma parfum yang mulai memudar.

Jongseong mengendus aroma Heeseung dengan rakus, tangannya mengusap pinggang Heeseung sensual.

Heeseung menengadah, sentuhan-sentuhan kecil yang diberikan Jongseong membuatnya terasa seperti melayang. Matanya berair, pipinya bersemu merah.


“Terima kasih.”

“Untuk?”

“Yang tadi.” Heeseung tersenyum, “Sepertinya aku memang butuh istirahat.”

—omyblooms

Heeseung duduk di sisi ranjang, mencoba sebisa mungkin menahan air matanya agar tak keluar. Ia melempar undangan yang berada di genggamannya.

Heeseung tau ini akan terjadi cepat atau lambat namun, mengapa ini terasa begitu menyakitkan untuk dirinya.


“Hai Jay, apa kabar?”

“Baik, maaf mengganggu waktumu.” Heeseung menggeleng pelan, “Tak apa, lagipula aku tidak sibuk.”

Jay mengeluarkan benda pipih dari dalam tasnya, “Aku dan Diana akan menikah bulan depan, kau bisa datang kan?” Heeseung dengan ragu-ragu mengambil benda pipih itu.

Sebuah undangan pernikahan dengan nama lengkap Jay dan calon istrinya tertulis di sana. Jay sudah menemukan kebahagiaannya.

“Y-ya, akan ku usahakan. Maaf aku harus pergi, atasanku memanggil.”


Heeseung dengan pelan memasuki kamar rias pengantin—lebih tepatnya kamar rias Jay. Terlihat Jay yang sedang duduk dengan tenang menunggu sang perias.

“Oh! Hai Heeseung.” Jay menoleh, terlihat sangat tampan dari biasanya.

“Apa aku terlalu lancang?”

“Tidak, ada apa?”

Heeseung duduk berhadapan dengan Jay, “Hanya ingin bertemu, dan mungkin... Mengucapkan selamat tinggal.” Jay menaikan sebelah alisnya.

“Kau sudah menemukan rumahmu. Singgahlah dengan nyaman.” Ia berdiri, menepuk punggung Jay. Heeseung pun melangkah pergi.

“Heeseung.” Jay menarik tangannya, mata mereka bertemu. Jay dapat melihat perasaan sedih di matanya—Heeseung.

Jay membawa bibir Heeseung kedalam lumatannya, begitu lembut namun menuntut.

“Kau juga. Carilah tempat singgahmu.”

—omyblooms

#Rumah

Heeseung duduk di sisi ranjang, mencoba sebisa mungkin menahan air matanya agar tak keluar. Ia melempar undangan yang berada di genggamannya.

Heeseung tau ini akan terjadi cepat atau lambat namun, mengapa ini terasa begitu menyakitkan untuk dirinya.


“Hai Jay, apa kabar?”

“Baik, maaf mengganggu waktumu.” Heeseung menggeleng pelan, “Tak apa, lagipula aku tidak sibuk.”

Jay mengeluarkan benda pipih dari dalam tasnya, “Aku dan Diana akan menikah bulan depan, kau bisa datang kan?” Heeseung dengan ragu-ragu mengambil benda pipih itu.

Sebuah undangan pernikahan dengan nama lengkap Jay dan calon istrinya tertulis di sana. Jay sudah menemukan kebahagiaannya.

“Y-ya, akan ku usahakan. Maaf aku harus pergi, atasanku memanggil.”


Heeseung dengan pelan memasuki kamar rias pengantin—lebih tepatnya kamar rias Jay. Terlihat Jay yang sedang duduk dengan tenang menunggu sang perias.

“Oh! Hai Heeseung.” Jay menoleh, terlihat sangat tampan dari biasanya.

“Apa aku terlalu lancang?”

“Tidak, ada apa?”

Heeseung duduk berhadapan dengan Jay, “Hanya ingin bertemu, dan mungkin... Mengucapkan selamat tinggal.” Jay menaikan sebelah alisnya.

“Kau sudah menemukan rumahmu. Singgahlah dengan nyaman.” Ia berdiri, menepuk punggung Jay. Heeseung pun melangkah pergi.

“Heeseung.” Jay menarik tangannya, mata mereka bertemu. Jay dapat melihat perasaan sedih di matanya—Heeseung.

Jay membawa bibir Heeseung kedalam lumatannya, begitu lembut namun menuntut.

“Kau juga. Carilah tempat singgahmu.”

—omyblooms

Heeseung duduk di sisi ranjang, mencoba sebisa mungkin menahan air matanya agar tak keluar. Ia melempar undangan yang berada di genggamannya.

Heeseung tau ini akan terjadi cepat atau lambat namun, mengapa ini terasa begitu menyakitkan untuk dirinya.


“Hai Jay, apa kabar?”

“Baik, maaf mengganggu waktumu.” Heeseung menggeleng pelan, “Tak apa, lagipula aku tidak sibuk.”

Jay mengeluarkan benda pipih dari dalam tasnya, “Aku dan Diana akan menikah bulan depan, kau bisa datang kan?” Heeseung dengan ragu-ragu mengambil benda pipih itu.

Sebuah undangan pernikahan dengan nama lengkap Jay dan calon istrinya tertulis di sana. Jay sudah menemukan kebahagiaannya.

“Y-ya, akan ku usahakan. Maaf aku harus pergi, atasanku memanggil.”


Heeseung dengan pelan memasuki kamar rias pengantin—lebih tepatnya kamar rias Jay. Terlihat Jay yang sedang duduk dengan tenang menunggu sang perias.

“Oh! Hai Heeseung.” Jay menoleh, terlihat sangat tampan dari biasanya.

“Apa aku terlalu lancang?”

“Tidak, ada apa?”

Heeseung duduk berhadapan dengan Jay, “Hanya ingin bertemu, dan mungkin... Mengucapkan selamat tinggal.” Jay menaikan sebelah alisnya.

“Kau sudah menemukan rumahmu. Singgahlah dengan nyaman.” Ia berdiri, menepuk punggung Jay. Heeseung pun melangkah pergi.

“Heeseung.” Jay menarik tangannya, mata mereka bertemu. Jay dapat melihat perasaan sedih di matanya—Heeseung.

Jay membawa bibir Heeseung kedalam lumatannya, begitu lembut namun menuntut.

“Kau juga. Carilah tempat singgahmu.”

—omyblooms

Mahesa sejak tadi masih duduk diam di samping sepupunya, menatap dua orang dihadapannya yang asik menenggak minuman beralkohol. “Hesa, wanna try it?” Tanya Reyhan. Mahesa sontak menggeleng, “Mereka keliatan mabuk banget, Az. Kamu yakin mereka ga akan muntah?”

Azka hanya terkekeh, “Mereka belom pernah muntah gitu sih, mentok-mentok ngelantur.” Mahesa mengusap wajahnya, sungguh ia ingin pulang saat ini.

........

Hampir dua jam terlewati, Azka terlihat mulai mabuk sementara Satya dan Reyhan sudah berbicara tidak jelas. “Hesa, aku anter Satya dulu ya nanti gw balik.” Ucap Azka. “Eum.. Aku bawa temenmu ke apart dulu aja gimana? Ribet banget kalo kamu bolak-balik.”

Azka mengiya-kan, “Hati-hati bawa mobilnya.” Mahesa pun membantu Reyhan berdiri dan membawanya menuju parkiran.

Sampai di apartemen, Mahesa dengan kasar menghempas tubuh Reyhan ke atas kasur dan pelan-pelan melucuti atasannya yang terkena cipratan muntah.