Evaluasi
10k words, angst, hurt/comfort, family issues, mention of divorce, mention of death, in some parts it may cause discomfort or trauma.
sudah lima belas menit sejak lima nada dering terabaikan. katanya, ini bentuk sakit hatinya atas rasa yang tak kunjung berbalas. lagipula, masih ada hati yang harus dijaga daripada bertukar suara dengan orang bermulut manis itu.
ya, hatinya sendiri. yang baru hancur dua minggu lalu.
tidak sampai tiga menit, sambungan telfon masuk lagi, kini dengan nama yang berbeda. dengan malas, tangan yang penuh coretan bekas cat air menggeser tombol dial in.
“halo?”
“lo di kost?“
“hmm,”
“pawat nelfon, ga diangkat?“
“oh? sorry abis dari toilet.”
“angkat, katanya penting. see u.“
“ya.”
kacamata bulat yang menghiasi wajahnya dilepas. tangannya dengan gemetar menekan tombol power off. daripada menghadapi, dia memilih untuk menghindar. raga dan jiwanya lelah. ingin istirahat karena semalam tenaganya habis untuk menangis.
nanon korapat, pria tiga puluh dua tahun yang berteman baik dengan sepi melemaskan sendi-sendinya. hampir lima jam duduk didepan kanvas penuh coretan abstrak membuat tubuhnya seolah mati rasa, atau memang iya.
badannya dia jatuhkan diatas kasur queen size. matanya terpejam. seketika kepingan buruk mampir dalam ingatannya, matanya kembali terbuka dengan cepat. keringatnya menetes perlahan dari pelipis. selalu begini tiap kali memejamkan mata selama dua minggu terakhir. dosanya mungkin tidak diampuni.
nafasnya ia netralkan. rasanya mau mati mengingat dia sendirian disini. tidak ada yang berperan sebagai 'support system' karena pada dasarnya nanon tidak memiliki teman. dia tidak tau cara bersosialisasi. karena usahanya selalu gagal. mungkin memang, yang salah ada pada dirinya, tapi nanon tidak tau apa.
setelah lima menit berdiam diri laki-laki dengan tinggi 183 cm itu memilih bangkit. perutnya tiba-tiba meronta, salahnya sendiri karena belum makan sejak pagi, padahal ini sudah pukul dua lewat lima belas menit.
nanon keluar dari tempat persembunyiannya hanya dengan memakai cardigan hitam dan dompet disaku celananya. hpnya dia tinggal begitu saja dengan keadaan mati. toh, tidak akan ada yang mencarinya. kalaupun ada, nanon tidak mau tau itu siapa.
sudah dua hari dia mendekam dalam kamarnya. ternyata kondisi jalanan area rumah masih sama seperti sebelumnya. sepi. yang ramai hanya diujung jalan tempat angkringan berjejer.
hari ini dia memilih untuk membeli rames daripada membeli bahan makan mentah. dilihat-lihat, cuaca siang menjelang sore di hari selasa sedang cukup buruk karena gemuruh beberapa kali saling bersahutan.
setelah pesanannya dibungkus segera saja ia kembali ke dalam persembunyiannya. malas mendapat tatapan asing dari orang disekitarnya karena kulitnya yang putih pucat, kelewat pucat.
padahal tidak sampai sepuluh menit nanon keluar untuk beli makan, kembalinya ia ke rumah menghadirkan sosok baru yang sepertinya baru saja sampai menggunakan bmw—seri ke berapa nanon tidak peduli—hitam.
demi apapun niat untuk menghindari sakit hatinya berakhir sia-sia. bukan tidak tau hal ini akan terjadi, namun mengapa secepat ini?
tidak mau membuat drama di gang kecil, nanon memilih segera masuk dalam rumah. diikuti dua sosok laki-laki yang—bolehkah ia mengatakan sayang? karena jelas hak untuk jatuh pun tidak dimilikinya.
makan pagi—siangnya tertunda. mungkin cacing diperutnya nanti akan ia beri reward puluhan bungkus cokelat atau mie instan karena telah menahan lapar hampir lebih dari duabelas jam.
ketiganya duduk disofa dengan canggung. hah, situasi memuakkan yang sebaiknya nanon hindari sejak lama.
“papa?”
nafasnya berembus pelan, menyiapkan kostum badut terbaiknya.
“iya adek? kok tumben kesini?”
bagus.
“kasa kangen papa...”
jangan lagi. tolong, suara itu... nanon ingin menangis.
binarnya terkunci pada laki-laki kecil berusia empat tahun. anaknya. bukan secara biologis tapi ya, dia anaknya. nieve galleon alkasa.
“sini, dek.”
sebagai papa yang baik dan pura-pura bersikap baik, nanon merentangkan tangan. menyambut kasa yang berhambur dalam peluknya.
selasa itu nanon berakhir menjamak makan pagi dan siangnya menjadi makan malam. selasa itu nanon tidak makan malam sendiri. selasa itu sebelum tidur nanon menatap televisi yang menampilkan kartun anak. selasa itu, untuk pertama kalinya di bulan januari ini, dirinya tidak tidur sendiri setelah sekian bulan.
menjadi seniman mengharuskan otak bekerja dua kali lebih kreatif.
kali ini kreatifnya bukan dari imaji pelangi setelah hujan. karyanya sangat gelap. abstrak. tidak terdefinisi. siapa yang tau waktu seperti ini tiba pada nanon di usianya yang masih kepala tiga.
jiwa kreatifnya seakan tertarik keluar bersamaan dengan mentalnya yang hancur.
oh, hidupnya sudah hancur sejak lahir. jadi tidak usah khawatir. nyawanya tidak berarti besar. siapa yang mau menangisinya nanti di pemakaman? tidak ada.
lagi dan lagi, kuasnya disimpan begitu saja. lima tahun terakhir keadaannya sudah terlalu mengenaskan. tidak bisa menghasilkan uang sendiri membuat segala cacian dan hinaan diterimanya mentah-mentah. kalaupun bisa dia mau mati detik ini juga.
beberapa kali percobaan bunuh dirinya gagal. sebenarnya apa tujuan Tuhan pada jiwa yang terseok ini? daripada menderita lebih lama lebih baik dia melayang saat ini.
tapi sekali lagi, Tuhan ingin menunjukkan kepada dirinya sesuatu yang—entah apa, nanon tidak tau.
kakinya melangkah gontai menuju dapur. mengambil apa saja yang dapat dicerna oleh perutnya.
sereal menjadi pilihan baik mengingat sejak kemarin perutnya sangat mual untuk dimasuki nasi. semoga saja kali ini sudah tidak begitu parah.
januari berakhir cepat. bahkan kelewat cepat. rasanya baru dua hari lalu ayah dan anak itu berkunjung, kini sudah habis saja termakan hari.
tenggorokannya dengan susah payah menelan. sementara pikirannya dibiarkan melalang buana pada kejadian pahit.
menyesakkan.
nanon tidak mau mengingat. tapi memang otak sialan yang seenaknya sendiri merecall semua memori buruk.
'brakk'
suara pintu ditutup dengan keras memekakan telinga nanon. bajingan siapa yang seenaknya masuk rumah nanon.
baru saja akan beranjak, pantatnya kembali diposisikan dengan nyaman di kursinya.
tidak dia sangka juga chimon akan datang. oh, ponselnya juga tidak dia nyalakan beberapa hari terakhir, sih.
“suami lo di depan.” disusul dengan sosok yang membuti chimon dari belakang.
suami? nanon tidak ingat dia punya satu.
kenapa mendadak dia sering kesini? oh tidak juga, hanya dua kali dalam sebulan—ralat, dua bulan. bisa saja untuk yang kali ini membawa surat cerai.
chimon segera saja menuju kamar mandi setelah kalimat terkutuk itu dilontarkannya. tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
“ada apa, ohm?”
ohm, tidak pernah dia merasa se-asing ini.
asing ya? sudah berapa lama kita tak bersua?
“nanon, aku mau ambil beberapa baju.” izinnya. baik sekali ya dia masih meminta izin.
nanon tersenyum tipis. dadanya sesak. jadi, mana akhir untuk dirinya?
“ambil aja.”
tidak ada lagi percakapan. setelahnya nanon mencuci bekas alat makannya sementara pawat mengambil beberapa pakaian di lemari mereka.
“nanon,”
tangannya dia keringkan dengan lap, tubuhnya menoleh acuh. malas menanggapi orang bodoh yang tak sadar menjadi bodoh.
“kamu tau aku harus ngelakuin ini kan? aku juga ga mau—”
“if you dont want to, you dont have to.”
“non, kamu tau kasa butuh ibunya. stop lah jadi egois, aku juga gamau ada di posisi ini. kita udah sepakat, lho?”
and you broke me into pieces,
“iya, maaf udah jadi egois. sekarang kamu pergi ya? kasa dan ibunya butuh kamu.”
“non—”
over and over again.
“just leave me alone. can you?”
and what a freaky wednesday.
nanon menggigit bibir bawahnya. dadanya sesak. sungguh mati rasa aku dibuatnya
kepalanya menoleh mendengar suara lain disana. chimon berdiri sambil berdecak pelan.
“belom mau lo kirim ke pengadilan?” tanyanya.
chimon duduk di salah satu sofa sambil megotak-atik ponselnya.
“gue yang salah, mon. dari awal itu gue yang salah.” suaranya serak, hampir tak terdengar. chimon menghembuskan nafas kasar. ponselnya ditaruh diatas meja, lalu menarik nanon agar duduk.
“mau minum dulu gak? gue udah pesen richeese sama mixue.” nanon menggeleng malas.
bahkan air mata tak mampu lagi menetes untukmu. rasa ku sudah habis kau buang percuma
“kenapa dia pilih temennya, sahabatnya buat jadi ibu? dari dulu pertanyaan gue cuma itu.”
chimon tau semuanya. dari awal sahabatnya berpacaran, kemudian menikah dan sepakat untuk surrogasi. di luar nalar, suami nanon malah lebih sering menghabiskan waktu berdua dengan sahabatnya, berdalih dia butuh aku, dia hamil anak kita, nanon.
“and now we are moving in this devils trap.”
bulan maret beberapa tahu lalu masih menjadi favoritnya. tiup lilin, kue warna-warni, samyang carbonara, serta akun netflix premium.
mungkin semuanya masih sama. hanya orangnya saja yang berbeda. ah, jangankan maret. ulang tahunnya desember lalu saja harus dia rayakan dengan chimon. ulang tahun pertamanya setelah menikah, tanpa pawat.
matanya memanas menatap kue dan samyang yang bersanding cantik.
untuk apa juga kamu lakukan itu? suamimu sudah mati lima tahun lalu
benar kok, sekarang nanon tidak berharap apapun. tapi sesekali boleh kan dia merasa bahwa Tuhan masih berada di pihaknya?
“selamat ulang tahun, pawat. semoga kamu selalu bahagia.”
ritual tahunannya sudah selesai, nanon kembalikan kue itu ke kulkas. kembalilah sunyi, lampu padam, samyang, dan televisi yang menampilkan midsommar.
nanon mencecap mienya sedikit demi sedikit. wah, sudah berapa lama dia tidak makan yang betulan makan. chimon mungkin harus lebih sering mengunjunginya.
lidahnya berdecak ketika suapannya tertunda oleh bel rumah. serius, siapa yang akan bertamu? chimon? tidak. pawat? apalagi.
“hai.”
sesaat aku bergeming. disapa oleh sosokmu yang muncul tiba-tiba.
“ada perlu apa?”
kita dua manusia yang terpaksa asing
“papa!” nanon mengerjap, pandangannya turun menatap kasa yang bersemangat.
sumpah
mau tidak mau nanon mempersilahkan keduanya masuk. di luar hujan ternyata. badan kasa agak sedikit basah. mungkin tekena cipratan saat keluar dari mobil.
pawat duduk di lantai. bajunnya basah. tidak terlalu basah sih, tapi bisa merembes jika dia memposisikan diri di sofa. bagus lah, tau diri
“ini mie apa pah merah kuning semua?” nanon melirik kasa yang berdiri di atas kasur, menatap nakas berisi sepiring samyang yang belum habis setengah.
“itu samyang, mie pedas. adek turun, coba ayahnya kasa disuruh ganti baju dulu.”
kasa mengangguk cepat.
empat tahun sudah bocah itu dan pertemuan keduanya hanya bisa dihitung dengan jari.
apakah nanon masih menjadi papanya? atau tidak? atau bagaimana? kenapa hidupnya begitu rumit.
setelah keluar dari kamar, nanon menemui pawat yang sudah berganti pakaian. lalu selanjutnya apa?
kita asing, kita dipaksa asing
“ada keperluan apa kesini, ohm?”
“aku... maaf.”
ingin rasanya dia teriak, untuk apa minta maaf, memang kau merasa bersalah?
amarahnya dia tahan dalam. kasa ada disini. anak mereka ada disini. anak pawat ada disini
nanon beranjak sebelum emosinya benar keluar. malas juga menanggapi dua ayah-anak labil ini. apa sih yang mereka mau? tidak cukup kah meremukkan hantinya yang sudah hancur ini? mau apa lagi?
hidupnya mungkin hanya candaan untuk pawat. maaf, katanya. untuk apa?
“nanon, tunggu—”
“besok aku proses ke pengadilan untuk surat cerai.”
“wait, non enggak, kamu tuh—non astaga aku gamau!!” pawat mencengkeram lengan nanon. menahannya untuk melangkah lebih jauh.
setelah hati yang kau hancurkan? tanganku mau kau patahkan?
“ohm, lepasin!!”
kasa diam di pojok ruang. instingnya berkata dia harus menjauh. meringkukkan tubuhnya, melindungi diri dari badai yang kapan saja bisa menerjang.
“nanon, ngobrol dulu ya sama aku? please...”
“LIMA TAHUN!! GAK CUKUP LIMA TAHUN BUAT NGOMONG SAMA GUE?? JAWAB!!”
“non, aku punya alasan.”
“ohh, so do i. gue juga punya alasan untuk udahin semua sandiwara ini. alasan pertama, gue udah muak sama lo dan semuanya termasuk kasa. alasan kedua, gue mau keluar dari lingkaran setan yang lo bikin. alasan ketiga, cinta gue buat lo udah habis. habis gak ada sisa. bahkan buat benci, gue udah terlalu males. nangis pun gue ogah buang air mata buat orang macam lo. sekarang terserah lo mau ngapain, tapi tolong kalo hujannya udah reda lo sama anak lo keluar dari sini. gue gak mau liat muka lo lagi.”
lima tahun. emosinya dia keluarkan hari itu juga. tepat di 22 maret, di hari ulang tahun kamu, pawat.
bantingan pintu kamar membuat lutut pawat kian melemas. yang hanya terlintas di otaknya hanya nanon, nanon, dan nanon.
seharusnya aku menjadi suami yang baik untuk kamu. tapi duniaku kejam, non.
ulang tahun kasa masih lama, namun dia sudah mendapat banyak hadiah di bulan keempat. bertepatan surat cerai yang nangkring sempurna diatas salah satu kado berpita merah.
nanon benar ingin bercerai. lagipula siapa yang akan tahan dengan pernikahan yang konsepnya tidak jelas seperti ini?
andai saja dari awal pawat menuruti perintah force untuk membuka komunikasi bersama nanon, mungkin hasilnya tidak akan seburuk ini. andai saja
pawat membuka kado berpita merah. kado paling kecil yang letaknya di atas sendiri.
disana ada snowglobe dengan rumah minimalis—rumah nanon. pawat tahu, ini pasti custom. ini rumah nanon
—dan sebuah kertas tulis tangan. tulisannya masih sama, cantik seperti orangnya.
ini kado dari aku buat kasa. dari awal kelahiran sampai ulang tahunnya ditahun ini. kado yang selalu aku simpen dan baru bisa aku kasih. aku memang ga pernah rayain hari istimewa ini bareng kalian, tapi aku selalu berdoa yang terbaik untuk kalian. selamat ulang tahun pawat & kasa.
pawat merebahkan dirinya. harapnya masih sama, semoga ini semua april mop. yang mana tidak mungkin karena bulan keempat sudah lewat dua minggu.
force telat mengantar kasa pulang. tapi tidak apa, pawat juga butuh distraksi sejenak. happy meals yang dia belikan sudah dingin. tapi biarlah kasa menjemput tenangnya dalam tidur.
jika boleh memutar waktu, pawat ingin egois. dia tidak mau punya anak. dia hanya ingin hidup damai berdua dengan nanon. tapi sekali lagi, dunianya yang kejam. padahal ini hidupnya, kenapa alur cerita ditentukan oleh orang tuanya?
pergerakan di kasur membuat pawat tersenyum nanar. nanon yang mau punya anak. tapi kenapa kini mereka terpisah. pawat ingin marah pada dunia.
“ayah..”
“hey, kasa udah bangun?” kasa mengangguk lucu. tangannya terangkat untuk mengusap mata.
pawat beralih menuju nakas, mengambil happy meals dan membukanya diatas kasur.
“mau makan?”
“kapan ke tempat papa lagi?”
gerakannya terhenti sejenak. kapan, ayah juga tidak tau
“makan dulu ya, baru ke tempat papa. oke?”
tapi kalaupun boleh memutar waktu, pawat ingin kasa tetap ada bersamanya dan nanon.
kamu pasti bahagia kalau kamu kenal kasa, nanon
ponselnya berdering, dengan cepat pawat menekan tombol dial in.
“gimana? aman?”
“aman. tapi belum makan dari kemarin.”
“suruh pacar lo ke rumah suami gue.”
“suami lo gamau nerima tamu. kemaren cowok gue diusir.”
“ck. yaudah, kabarin lagi kalo ada apa-apa.”
matanya melirik tas kantor yang ditaruh diatas meja begitu saja. haruskah dia tanda tangani surat itu
“papa masih benci adek?” pawat mengernyit menatap kasa yang tiba-tiba saja melontarkan tanya seperti itu.
“kata siapa papa benci adek?”
“waktu itu papa bilang endak suka sama ayah dan kasa, iya kan?”
pawat hanya menggeleng tersenyum. bagaimana cara dia menjawabnya?
mungkin benar melepas adalah pilihan terbaik dari merelakan.
nyatanya pawat menggenggam nanon terlalu erat sampai lukanya tidak mampu nanon rasa lagi.
pawat berdecak malas. raganya dibawa dengan ogah-ogahan menuju bangunan dingin yang orang tuanya sebut rumah. tinggi, kokoh, perkasa, dingin. seperti tidak ada jiwa hidup didalamnya.
untuk sabtu ini, sengaja pawat titipkan kasa pada force dan book. mana mungkin dia bawa ke rumah kalau yang ingin dia bahas berkaitan dengan nanon.
“tumben kesini?”
ayahnya melirik sejenak sebelum kembali fokus pada korannya kembali. ibunya membulatkan mata melihat pawat pulang. segera saja raga pawat ditarik erat.
“ibu kangen banget sama kamu ohm!”
tapi pawat tidak
rengkuhan dipaksa lepas, pawat duduk disamping ayahnya.
“saya mau bertanya sama ayah dan ibu.”
seumur hidup ini kali kedua pawat mengajak diskusi masalah penting tentang hidupnya. yang pertama ketika dia ingin menikahi nanon, dan yang kedua ketika dia ingin—dengan terpaksa menceraikan nanon
“kalau pawat cerai sama nanon, ayah sama ibu bakal biarin nanon bebas kan? ayah sama ibu gak ngeblacklist nanon lagi dari perusahaan mana pun lagi kan? ayah sama ibu bakal narik orang suruhan kalian buat stop ngikutin nanon kan?”
“kamu mau cerai sama nanon?”
“jawab aja pertanyaan saya.”
“iya, nanon bakal ayah bebasin.”
dan itu lebih dari cukup
berita perceraiannya dengan nanon ternyata menyebar cepat ke telinga force dan perth. tidak disangka juga cinta yang dia pertahankan sedemikian rupa harus lebur begitu saja. salah dirinya yang tidak berkomunikasi baik dengan nanon.
pawat terdiam menatap pintu didepannya. terakhir kali ia kesini berniat merayakan ulang tahun bersama dua kesayangannya berakhir dengan nanon yang menceraikannya.
“mau apa lagi?”
kepalanya menoleh mendapati pemilik rumah menenteng kresek besar, sepertinya habis belanja.
“suratnya udah sampai.”
“gue tau.”
nanon membuka pintu rumahnya. sebelum ditutup, kaki pawat bergerak menahan.
“wait, tunggu sebentar. ada yang perlu aku bicarain.”
“dan ga ada yang perlu gue bicarain. so leave my home, now.”
“no, wait, non. please, dengerin aku. aku udah setuju kita cerai, udah tanda tangan, terus kita tinggal nunggu panggilan. habis ini kalo kamu gamau ketemu sama aku, gapapa. tapi please, masih mau kan ketemu sama kasa?”
“gue udah gamau berhubungan sama lo, keluarga, temen-temen lo, bahkan anak lo.”
“tapi kasa anak kita, nanon.”
“sekali enggak, tetep enggak. udah mending sekarang lo—
—PAWAT!”
“please...”
dibawah mungkin tempatku
dibawah sana bukan tempatmu
tangannya berkeringat, mungkin bisa dirasakan oleh nanon tapi siapa peduli. kepalanya menggeleng pelan saat nanon menarik tubuhnya untuk bangkit dari sujudnya di kaki nanon.
“ck. oke fine. gue bakal bolehin kasa ketemu sama gue.”
barulah tubuh itu terangkat. senyum tipisnya tercetak. matanya berair, jangan sekarang kau jatuh.
“thanks. kalau gitu, aku pamit dulu non.”
dan tangisnya tidak teredam dalam bantal yang sudah dia tumpuk tiga.
kasa, kasa, kasa, semoga kamu menjadi penyembuh luka ayah dan papa.
selama lima tahun kebelakang cukup sulit bagi keduanya. pawat tau, seharusnya dia lebih tegas dan berani. tapi bagaimana dia mengambil langkah kalau yang dipertaruhkan disini nyawa kekasihnya?
“ayah, kenapa kita enggak tinggal bareng sama papa?”
pertanyaan itu entah sudah meluncur berapa ratus kali dari mulut malaikat kecilnya. dan jawabannya akan selalu sama,
“papa itu seniman. dia selalu butuh ruang untuk membangun imajinasinya. makanya kita tinggalnya pisah dulu ya sampai papa pensiun.”
lima tahun ini pasti berat untuk nanon. bagaimana sejak menikah nanon dipecat dan tidak bisa mendapat pekerjaan apapun dan dimanapun. yang pawat tau, semua ini ulah ayahnya—laki-laki berumur yang kebetulan menyumbang sperma untuk dirinya. sejujurnya, mana sudi dia memanggil ayah.
hubungannya dengan nanon terbilang mulus sebelum menikah. mengingat kedua orang tuanya belum mengetahui kalau nanon anak sebatang kara yang ditinggal kedua orang tuanya sejak sma.
hanya karena kasta yang tidak berarti apapun, manusia bisa menjadi jahat melebihi setan
pawat ingin berlari, berlari sambil menangis dalam dekap hangat itu lagi. berbisik bahwa semua akan baik-baik saja. bahwa pawat mencintainya dengan asa dan karsa. bahwa pawat, sungguh mencintainya
tapi pantaskah ia menangis? bagaimana dengan nanon?
yang selalu ingin ambil peran, hanya berlomba,
harusnya dia yang paling menderita, bukan kamu, pawat.
menjadi lebih sedih dari dirimu.
proses mediasi akan berjalan selama satu bulan. pawat menatap langit-langit kamarnya. untuk apa
keduanya sudah tidak sejalan.
hari ini kasa ditemani perth membeli happy meals. tenanganya sudah terkuras. biarkan dia beristirahat sejenak, boleh kan?
atau tidak
karena lima menit kemudian perth menelfon mengatakan kasa hilang. kasa hilang
“MAKSUD LO APA BANGSAT?”
“GUE GATAU!!! GUE LAGI AMBIL PESANAN. PAS GUE KE MEJA DIA UDAH GAK ADA”
“KALIAN KE MALL MANA?”
“PLAZA.”
otaknya disuruh berpikir menghadapi kenyataan bahwa kasa hilang. sedang pikirannya kacau seperti ini. rasanya untuk berjalan pun tidak sanggup, tubuhnya sudah tidak mampu dia topang sendiri.
perth bergerak menuju lantai atas, sementara pawat ada di lantai bawah. bergerak panik menuju ruang informasi.
hampir satu jam pencariannya sejak sepuluh menit sekali informasi itu digaungkan.
kasa anak pintar, harusnya dia segera menuju bagian informasi. hal ini pernah pawat ajarkan kepada anak manis itu. tapi dia kemana? apa diculik?
tidak biasanya kasa pergi begitu saja seperti ini.
ponselnya berdering, menghadirkan hembus lega kala pihak informasi menyampaikan bahwa kasa sudah disana, bersama perth.
rentetan pertanyaan yang pawat lontarkan pada anaknya hanya disambut gelengan sejak ketiganya keluar dari plaza sampai ke rumah.
“kamu kemana aja?”
kasa menggeleng.
“ada yang jahat?”
gelengan lagi yang didapat. badannya tenang tanpa getar, senyumnya terpatri disana dengan bekas cemong es krim menghiasi pipinya.
“siapa yang beliin kamu es krim?”
dan kasa hanya diam merengek meminta makanannya.
“happy meals, ayahh!!”
“kasa, kamu tau kan kamu udah buat ayah sama om perth panik?”
kasa mengangguk pelan, matanya masih tidak lepas dari happy meals di atas meja.
“terus kalau buat salah gimana?”
“kasa minta maaf om perth udah lari-lari. tadi kasa liat es krim enak soalnya.”
“iya kasa, lain kali jangan diulang ya? kalo mau es krim bisa ajak om, oke?
—gue pamit dulu wat.”
“sorry ngerepotin lo, perth.”
tangannya teralih mengambil happy meals. setelah perth keluar, barulah pawat membiarkan kasa makan.
“jangan diulangi lagi, ayah takut kamu beneran hilang, dek.”
kasa mengangguk pelan menatap punggung pawat yang siap bangkit. sebelum benar-benar beranjak bajunya ditarik oleh kasa.
“kasa minta maaf, ayah jangan marah.”
“ayah enggak marah. ayah cuma...” capek
“ayah mau tidur, ngantuk. nanti kalau udah selesai makan cuci tangan terus ke kamar ya?”
“iya, ayah.”
sepertinya minggu-minggu ini dan setelahnya akan lebih berat. biasanya setiap hari pawat diberi kesempatan untuk melihat nanon, walau dari jauh.
namun kini dia telah berjanji tidak akan mengganggunya lagi. sumpah, pawat sudah tidak memiliki minat untuk hidup. jiwanya terbantai habis-habisan sejak lima tahun lalu.
sejak insiden kaburnya kasa yang tiba-tiba itu, pawat menghukum kasa untuk tidak boleh pergi keluar selama satu bulan, selama proses mediasinya dengan nanon
berakhir dengan kasa yang menangis tiada henti satu hari penuh.
“kasa mau ke papa.”
pawat menghentikkan ketikannya pada laptop. kursinya diputar menghadap anaknya yang kini sedang duduk menyila diatas kasur.
“papa lagi sibuk.”
“kata siapa?”
“ayah.”
“AYAH SELALU GITU!! BILANG PAPA SIBUK TERUS! KENAPA SIH KASA GABOLEH KE PAPA? KASA ITU KANGEN PAPA!! TEMEN-TEMEN KASA SELALU TANYA KENAPA PAPA KASA GA PERNAH KELIATAN! KASA MAU SAMA PAPA KASA KANGEN PAPA AYAHHH. KASA MAU KE PAPA SEKARANG—”
“KASA!”
teriakkannya berhenti. tidak membuat air matanya tertahan, jatuh, dan jatuh lagi. kasa menundukkan kepalanya. menangis dalam diam.
kepalanya dijatuhkan pada dada ayahnya ketika dirasa sentuhan hangat dikepalanya.
ayah juga kangen papa
tangis kasa kembali memenuhi kamar. entah akan menjadi seperti apa suaranya esok.
“ay—ayah.. hikss... besok kasa main k—ke tempat papa boleh ya? please?”
pawat diam dengan tangan yang masih setia mengelus punggung kasa. matanya memanas, membayangkan betapa menyiksanya menjadi kasa. anak laki-laki berusia empat tahun yang sudah dipaksa untuk menghadapi bagaimana kejamnya dunia bekerja. dengan pawat yang gagal menjadi ayah
setelah menaruh belanjaan di dekat kulkas, chimon mengisyaratkan bahwa dirinya akan segera pulang.
“gamau ngopi dulu?”
“gak, gue mau sushi date sama perth soalnya.”
“oh, masih pacaran”
dan ucapannya dihadiahi tatapan tajam dari chimon.
nanon mengeluarkan barang yang dia beli. beberapa hari ke belakang suasana hatinya sedang baik. mungkin karena dirinya memutuskan hubungan yang sudah tidak sehat ini dan mulai rutin lagi ke psikiaternya, pikiran negatifnya pun ikut terkikis.
beberapa karya lukisnya mulai dapat terjual dengan harga mahal. mungkin setelah ini nanon bisa menabung untuk mengambil penerbangan dan pergi liburan.
'tok tok'
suara ketuk pintu menghentikan aktivitasnya dalam menyusun isi kulkas.
nanon tau harinya akan tiba. hari dimana kasa datang kerumahnya. hanya saja tak disangka akan datang secepat ini
dan sendirian
“papa!!”
kasa segera memeluk pinggang papanya.
sungguh, nanon gemas sekali dengan anak kecil. pawat pun tau nanon ingin memiliki empat anak. namun entah mengapa melihat kasa selalu membuat dadanya sesak.
keduanya kini duduk di sofa ruang tengah dengan televisi menampilkan film zootopia dengan kasa yang menindih tubuh nanon—dipeluk erat. seolah jika kasa lepaskan, nanon akan pergi begitu saja.
“adek kesini naik apa?”
pertanyaan nanon yang ke-lima dibalas hening.
“ayah enggak antar adek?”
dan tiap kali nanon sebut ayah kasa semakin mengeratkan pelukannya.
kenapa? mereka bertengkar?
“adek kalau papa tanya masih diem papa antar kamu pulang.”
tentu nanon bohong, dia saja tidak tau dimana pawat dan kasa tinggal.
dalam dekap kasa menggeleng pelan sambil bergumam
“jangan. endak mau pulang.”
“kenapa? sini cerita sama papa.”
kasa menegakkan dirinya kemudian berguling ke sisi sofa, menatap nanon dari samping dengan tangan yang dikalungkan di lengan nanon.
“kasa endak boleh keluar. ayah larang kasa ketemu papa. kasa kabur.”
satu yang baru nanon sadari. kasa memiliki mata dan bibir seperti dirinya serta dimples dikedua pipinya. selebihnya sangat pawat sekali, mulai dari bentuk wajah sampai ke beberapa sifatnya. contohnya ini, manja. dulu pawat juga suka sekali memeluk lengan nanon seperti ini. persis seperti ini
what if i still miss you
“jadi adek kabur?”
anggukan dari kasa membuat nanon menghela nafas kasar. disana pasti pawat sedang uring-uringan. tangannya terulur mengambil ponsel, menelepon pawat.
“papa jangan bilang ayah nanti kasa dimarahin lagi.”
teleponnya diangkat didering pertama.
”........”
”...”
“jemput kasa disini.”
'klik'
“papa, kasa endak mau pulang!!” kasa berlari menuju pojok ruang. meninggalkan nanon disana yang mematikan televisi dan memilih memejamkan mata di sofa.
baru saja moodnya membaik, namun kejadian seperti ini membuat kepalanya sakit kembali.
hanya butuh waktu sepuluh menit sampai pintu depan diketuk, nanon beranjak menggendong kasa yang terus-menerus menolak untuk pulang.
“papa, please...”
tangisnya belum reda. nanon memejamkan mata sebelum mendengus. dia mau marah rasanya, entah pada siapa.
kalau saja kamu bukan anak dari sahabat ayahmu
“adek hari ini pulang dulu, oke? kapan-kapan boleh kesini lagi. masalah antara adek sama ayah harus selesai dulu, baru boleh ketemu papa.”
“tapi kasa kangen sama papa. kasa masih mau main sama papa.”
nanon menggandeng kasa menuju pintu depan—
“papa endak sayang kasa ya?”
—genggamannya melemas.
kasa segera melepaskan diri dan berlari kecil menuju pintu, dengan bekas air mata yang sudah ia hapus. nanon melihatnya. bagaimana kasa berbalik untuk menunggu nanon membuka pintu.
“hai, maaf non, aku beneran gatau kalau tiba-tiba kasa pergi dari rumah.”
nanon hanya mengangguk. pandangannya tidak lepas dari kasa yang menghindari dirinya, berlari ke belakang punggung pawat sambil menarik-narik hoodie yang pawat gunakan.
“kalau gitu aku sama kasa pamit dulu, non. maaf udah ganggu waktunya.”
sekecewa apapun kasa pada diamnya nanon, sesampainya di mobil kasa masih saja membuka jendela lebar-lebar dan melambaikan tangan pada nanon yang masih bergeming disana.
jarang sekali nanon menginjakkan kaki ke mall. jika bukan karena paksaan chimon dirinya lebih memilih tidur dan memesan makan secara online.
sialnya lagi chimon bertemu dengan sepupu jauhnya. membuat acara makan siang keduanya gagal karena reuni keluarga dadakan.
mungkin hampir satu tahun yang lalu kakinya dibawa menyusuri tiap sudut stan yang ada disini. surga makanan di lantai dua. bersama pawat kala itu
nanon memilih toast sebagai makanan pembuka siang ini. memorinya kembali terlempar saat melihat warna-warni gelato.
pawat menembaknya saat keduanya sedang makan es krim bersama.
bahkan memori terakhirku berbagi manis denganmu di ruang itu, sebelum kamu buru-buru mengangkat telepon dan meninggalkan aku sendiri disana.
nanon benci es krim sekarang.
sepertinya pilihan untuk naik ke lantai tiga adalah pilihan yang salah. matanya seketika bersiborok dengan anak laki-laki memakai sepatu putih, celana jeans, dan hoodie mickey mouse. yang seketika antusias dan berlari ke arah nanon.
“papa!”
“kasa. adek kesini sama siapa?”
“om perth”
perth?
“om perth?”
“heum, teman ayah. soalnya ayah di rumah sedang pusing, nangis, tidur hehe.”
nanon mengerjapkan mata mendapat informasi yang sepertinya tidak harus nanon dengar.
“papa, kasa mau es krim boleh?”
“om perthnya mana?”
“endak tau. ayo papaaa, kasa mau es krim gelato.”
tangan nanon ditarik kembali menuruni eskalator, menuju lantai bawah. menuju gelato
“suka sama es krimnya?”
“suka!! ayah selalu ajak kasa kesini dan pesan vanila.”
“kenapa sih kamu suka banget yang kopi?”
“kamu sendiri kenapa suka vanila? itu kan manis banget, non”.
nanon menunduk. menyembunyikan wajahnya yang kini sudah basah. air mata sialan
“papa, why are you crying?”
nanon tersenyum tipis dan menggeleng. kasa beranjak dengan tangan terangkat untuk mengelus pipi nanon. menghapus bersih jejak air matanya.
“ayah juga suka menangis disini. kasa endak tau kenapa.”
kepalanya mendadak berdenyut. kenapa, paw?
“udah selesai? balik ke atas lagi yuk, pasti dicariin om perth kamu.”
“mau beli baju dulu boleh, pa?”
“baju? buat apa?”
“kasa mau punya baju kembar sama papa, boleh?”
berakhirlah keduanya di store baju. nanon hanya meperhatikan gerak-gerik anaknya sambil tersenyum tipis. beberapa kali suara dari informasi terdengar, baik nanon maupun kasa menulikan pendengarannya.
bukan hanya satu, kasa membeli dua baju untuk dirinya sendiri dan tiga baju untuk nanon.
“kasa punya ini.” tangannya mengeluarkan black card dari sakunya.
“ini uang tabungan yang ayah kasih karena kasa bisa kerjain soal-soal yang ayah kasih.”
nanon masih diam, memperhatikan. anaknya sebentar lagi berusia lima dan pintar, sangat pintar seperti ibunya.
“papa, nanti bajunya disimpan di rumah papa ya? biar kalau kasa tidur disana ada baju gantinya, boleh?”
“boleh, tapi adek jangan bilang ke siapa-siapa kalau hari ini ketemu papa ya?”
“kenapa?”
“karena ini rahasia kita berdua, oke?”
“OKE!!!”
'brak'
tubuh nanon berjengit kala pintu kamarnya dibuka secara mendadak. chimon disana dengan tas menggantung di punggungnya. berisi pekerjaan nanon tebak.
“lagi ngelamunin apa lo?”
tubuhnya dibawa tengkurap di karpet bulu nanon. laptopnya dia keluarkan dengan kertas yang mulai berserakan setelah chimon keluarkan dari tasnya.
“anak pawat.”
“kenapa si kasa?”
“perth kenal pawat?”
chimon menghentikan aktivitasnya untuk menoleh dengan alis mengernyit, “gimana bisa perth kenal pawat?”
“iya, gimana bisa perth kenal pawat?”
“coba lo ceritain gimana perth kenal pawat.” posisi chimon sudah berubah. atensinya penuh menatap nanon, ingin tau.
“lo tau waktu kita ke mall dan gue milih misah dari lo sama sepupu lo?” chimon mengangguk.
“gue ketemu kasa disana. dia cerita dia ke mall sama om perth, temen ayah, katanya.”
“oh, wow. informasi yang menarik.”
“dia gapernah bilang apapun soal pawat?”
“gak, kalo gue cerita tentang lo dia selalu dengerin aja sih. tapi gak jarang juga dia nanya kabar lo, kaya lo lagi ngapain atau nanya gue sama lo tadi udah makan belom. katanya dia juga mau pesenin paketan makan gitu buat kita berdua. gue mikir kenapa ya ni orang aneh banget, apa dia suka sama lo? soalnya dia kaya care banget sama lo gue kadang cem—HOLY SHIT.”
“apa? kenapa?”
“DIA CARE SAMA LO!!! PERTH CARE SAMA LO!” nanon mengernyitkan alisnya, lalu?
“terus? dia gak suka sama gue kan?”
“bukan goblok. lo tadi bilang perth temenan sama pawat. kalo gitu tandanya pawat merhatiin lo lewat perth!”
toyoran didapat chimon setelahnya. chimon and his wildest dream always impressed nanon.
“ngaco, gimana kalau beda perth? lo tau sendiri temen pawat sebanyak apa.”
“iya sih. tapi gue berani taruhan perth temen pawat sama perth pacar gue orang yang sama.”
“kenapa lo seyakin itu?”
“i dont know, feeling. lo juga stop denial. psikiater lo juga bilang kan, semua yang lo rasain itu valid. let it out. let your feelings out. biar lo gak mati rasa.”
pawat meminta perpanjang waktu mediasi secara mendadak. alasannya karena proyek perusahaan yang akan diresmikan bertepatan dengan kasa yang demam dan muntah terus-menerus.
alasan sebenarnya karena dia masih belum rela bahwa statusnya setelah ini akan menjadi mantan suami nanon
dua empat jam seakan tak cukup untuk pawat beri semuanya pada dunia. pilihannya hanya meninggalkan kasa di apartemen dan pergi ke luar kota.
sedang ayahnya tidak mau tau tentang kondisi cucunya sendiri—ah, bukannya dia tidak pernah peduli
debat kecil itu hadir via telepon saat pawat berkata ia tidak akan datang ke peresmian proyek perusahaan dan lagi, dan lagi nama nanon hadir di tengah mereka.
“ayah bisa lakuin sesuatu untuk nanon”
“gak usah bawa-bawa nanon. kita udah cerai.”
“tetap aja, dia akan jadi mantan suami kamu kan. memangnya kamu tega melihat mantan suamimu hancur?”
maaf sudah menjadi lemah dan bajingan. disana force terus menepuk pelan pundak pawat.
pernah dia sekali berfikir. bagaimana jika dia menyerah. apa memang hubungannya dengan nanon tidak perlu sejauh ini? dari awal yang ingin sekali mengikat janji kan, kamu, pawat.
mobil yang dia tunggangi sudah sampai lokasi. menyusul force yang keluar lebih dulu, sepertinya pawat harus menuju toilet untuk membasuh wajah.
hal yang membuat pawat 'waras' akhir-akhir ini hanya kasa. bagaimana anak itu benar tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar.
sejak pertemuan terakhirnya dengan nanon, sekitar seminggu lalu, kasa menjadi lebih diam dan banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan soal-soal latihan yang dia beri. bahkan beberapa kali merengek untuk dibelikan puzzle dan buku cerita bertema binatang.
pawat tidak tau apa yang nanon dan kasa bicarakan atau lakukan hari itu. tapi semoga saja memang hal baik adanya.
“langsung aja?” tanya force menatap sahabatnya yang melangkah pelan menghampirinya.
“habis sesi peresmian boleh kan langsung pulang?”
force mengangguk. tentu, ayah mana yang tidak khawatir meninggalkan anaknya yang sakit demi kepentingan yang pawat juga tidak mau handle, sebenarnya.
“boleh. sejam sekali gue selalu minta update perth, kok. lo tenang aja, wat.”
tapi memang manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan. atau dalam hal ini, ayah pawat yang menentukan.
“nah, ini bintang tamunya, anak saya.”
dan siklusnya berputar pada ayahnya yang dengan bangga mengenalkan dirinya ke rekan-rekan kerjanya. bahkan senyum palsunya tak dapat lagi ditahan. wajahnya datar, keras, dingin. tidak ada yang berani menatap matanya. hanya obrolan basa-basi, dengan pawat yang mengangguk acuh.
“kamu itu mesin pencetak uang keluarga kita, ohm. pasang tampang yang benar!”
ya, dia hidup hanya sebagai penerus perusahaan. mesin pencetak uang
kanvasnya penuh coretan gelap. kembali nanon pada fase depresi.
setelah konsultasinya berakhir, nanon segera melampiaskan seluruh emosinya dalam media putih yang kini menghitam. hampir empat kanvas dia rasa terbuang percuma karena emosinya yang kurang stabil.
cat airnya habis. nanon mendesah kecewa. sebelum berjalan menuju lemari untuk mengambil yang baru, perutnya mengerang. mungkin yang kini dia butuhkan hanya makan mie sambil menonton film.
perutnya sudah sangat keroncongan. diliriknya jam yang menggantung apik di dinding, 13.10. pantas saja, dia kan belum makan sejak semalam.
mie nyemek ala kadarnya sudah siap di meja. nanon duduk bersila di karpet bulu, menghadap televisi di ruang tengah.
suapan demi suapan masuk perlahan ke mulutnya. ditemani moon knight tak sadar kenyang dibuatnya. namun, semenit setelah mangkuknya habis nanon kembali kelaparan.
konon katanya, kalau kita makan sambil membagi dua fokus kita dengan kegiatan lain, maka kenyang yang kita dapat hanya ilusi. kita akan kembali lapar, lapar, dan lapar tidak lama setelah makanan habis.
ketukan pintu membuat nanon mengerang frustasi.
demi tuhan, beberapa bulan terakhir yang mengetuk pintu hanya pawat dan kurir. ketidak mungkinan seratus persen karena nanon sama sekali tidak memesan paket. lalu untuk apa pawat kesini
dengan gontai langkah nanon dibawa menuju pintu depan. oh, dan dia melupakan sosok kecil yang seminggu lalu baru saja kabur dari rumahnya karena bertengkar dengan sang ayah. entah meributkan apa
kasa dan boneka dino berwarna biru digenggamannya. dahi yang tertempel byebye fever. wajah yang pucat dengan bekas bubur disekitar mulutnya. bocah ini sakit.
nanon membuatkan omelet untuk makan siang kali ini. bedanya, ia akan ditemani sang anak.
tidak tau apakah kasa sudah makan atau belum. keduanya masih diam sejak sepuluh menit lalu.
kasa duduk di sofa sambil menyuapkan butir nasi dan telur ke dalam mulutnya. sementara milik nanon sudah habis dilahap.
ternyata melihat bagaimana kasa makan walau sedang sakit sungguh membuatnya terharu. anak itu makan dengan lahap.
nanon beranjak menuju kulkas, mengambil es krim yang memang sengaja dia stock beberapa buah.
kembalinya ke ruang tengah kasa sudah meminum air putihnya dan duduk menyender dengan mata terpejam.
“adek, mau es krim?”
matanya langsung terbuka begitu saja. kasa mengangguk antusias menyambut es krim dari nanon.
“tadi udah minum obat belum?”
“mimi obatnya pagi.”
“adek kesini sendiri atau dianter ayah?”
“sendiri. ayah kerja.”
tatapan nanon tidak lepas dari kasa yang dengan santainya menjilati es krim dengan ceria. padahal dia sedang sakit dan ditinggal kerja
“terus di rumah sendirian?”
“endak...”
apa yang kamu harapkan, tentu ada ibunya disana
“sama om perth! tapi om perth tidur, kasa bosan jadi main kesini.”
hah
seingatnya sahabat pawat itu tidak bekerja di luar. hanya mengurus bisnis online. lalu, dia kemana?
“ibu enggak di rumah?”
kasa menghentikan kegiatanya, ekspresinya diganti dengan kebingungan.
“kasa endak punya ibu.” ucap kasa dengan polos sambil menatap nanon bingung.
kini giliran nanon yang bingung. diam menatap kasa yang hanya mengerjap beberapa kali sebelum menghabiskan es krim ditangannya.
sungguh ada apa dengan orang-orang disekitarnya. mengapa mendadak penuh misteri. mulai dari perth, apakah dia benar orang yang sama dengan pacar chimon. kalau iya kenapa dia tidak terus terang pada dirinya dan chimon. kemudian fakta-fakta lain yang tidak sengaja kasa beberkan padanya, entah di hari ketika dia dan kasa makan gelato bersama atau hari ini. bahwa pawat sering menangis dan kasa endak punya ibu, katanya.
nanon tidak memiliki obat penurun demam untuk anak kecil. maka, setelah memesan secara online dan meminumkannya, nanon segera keluar dari kamar. berharap kasa cepat sembuh dan dia bisa menelepon pawat untuk segera menjemput anaknya.
“papa, can you sleep with me?”
sebenar-benarnya rasa dari lubuk hatinya, nanon tidak mau berurusan lagi dengan kasa. melihat kasa seolah melihat pawat versi kecil. sesak di dadanya masih belum bisa terobati.
“boleh.”
tapi apalah nanon dengan rasa tidak enak menolaknya itu. apalagi dia anaknya walaupun bukan secara biologis. dan kasa sedang sakit.
tubuh nanon dipeluk erat. lengan nanon dielus pelan. matanya terpejam damai.
“papa, kasa sayang papa. ayah selalu bilang papa sibuk imajinasi karena papa pelukis. kasa tiap hari kangen papa. kadang kasa takut karena sendirian di kamar. ayah kerja terus bareng om force sama om perth.”
sepertinya kegiatan diam mendengarkan apa yang kasa curahkan akan menjadi kegiatan rutin nanon setelah ini
“kasa endak tau apa papa sayang kasa dan ayah atau endak. tapi kasa dan ayah selalu sayang papa.”
pawat sampai di apartemen pukul sepuluh malam dengan keadaan ruang gelap gulita. jasnya ia letakkan di mesin cuci. sebelum merebah tubuhnya dia siram dengan air dingin. kepalanya berasap seketika air mengenai kulitnya.
hidup memang lucu. kenapa juga cara seperti ini tidak ia terapkan sejak awal. tapi percuma juga menggunakan kasa sebagai tameng kalau-kalau nanonnya tetap akan mendapat masalah.
hatinya tenang mendapati kabar dari perth bahwa kasa pergi ke rumah nanon siang tadi. sepertinya hubungan keduanya mulai membaik. memang harusnya dari dulu pawat tidak membatasi gerak kasa untuk bertemu dengan nanon.
tubuhnya direbahkan sempurna. raga dan jiwanya lelah. namun otaknya enggan berhenti berpikir tentang apa yang sedang nanon dan kasa lakukan malam ini.
tangannya meraih ponsel. menatap satu nama yang terus ada pada tiap hembus nafasku.
persetan diangkat atau tidak, pawat bisa mengatakan ia hanya ingin mengecek kondisi kasa.
“halo”
suaranya damai mengalun bak lullaby yang siap menghantar tubuh pawat melayang dalam fantasi.
“halo.”
hening menyapa. selanjutnya yang membuat perut pawat tergelitik adalah suara parau kasa yang terdengar samar.
“ayah atau bukan?”
“iya ayah telfon, kasa mau bicara sama ayah?”
pawat ingin menangis detik itu juga. bagaimana suara nanon terdengar lembut dan menyejukkan ketika berbicara dengan kasa.
“AYAHHH!!! ayah, kasa hari ini tidur sama papa boleh ya? ayah udah di rumah?”
sebelum tenggorokannya semakin kering, pawat bergerak mengambil air di atas nakas. kemudian berdeham beberapa kali untuk mengembalikan stabilitas suaranya.
“boleh, sayang. ayah udah di rumah ini lagi tiduran. kasa lagi apa?”
“ayah sakit? kok suara ayah hilang? papa, papa!! suara ayah kenapa hilang kaya gini?”
pawat menggeleng pelan sambil tersenyum. membayangkan betapa bahagianya jika mereka berkumpul dalam satu kamar dan saling berbagi canda tawa.
“itu namanya serak. coba tanyain, emang ayah sakit?”
“ayah sakit?”
“enggak, sayang. ayah sehat kok, apalagi udah denger suara kamu.”
suara kamu, nanon
“kasa lagi apa?”
“emmmm, kasa ngantuk, hoam...”
kemudian terdengar suara bising dan pukulan bantal disana.
“halo, ohm”
“halo, nanon. aku ganggu istirahat kamu ya?”
“huft, actually yes. kasa juga udah ngantuk banget. boleh telefonnya ditutup?”
kalau boleh egois, pawat tidak mau. dia masih ingin mendengar suara nanon. tapi dia juga memiliki batasan untuk tidak menyakiti nanon lebih dalam, kan.
“maaf ya, nanon. kalau gitu aku tutup. have a nice—”
great. dimatikan sepihak.
terhitung sudah empat bulan berlalu. intensitas pertemuannya dengan nanon hanya di pengadilan. selebihnya sampai di pawat yang sering mampir ke rumah nanon hanya untuk mengantar kasa bermain.
mungkin benar manusia tempatnya serakah. pawat juga ingin serakah seperti yang lain. memiliki keluarga bahagia tanpa adanya campur tangan orang lain. cukup dengan nanon dan kasa disampingnya.
bulan depan proses perceraiannya berakhir. pawat terduduk diam memandang padatnya lalu lintas kota jakarta di siang hari. akhir-akhir ini langit biru selalu menyapa, seolah meledek suasana pawat yang memang selalu biru.
hubungan kasa dan nanon berlangsung baik, kelewat baik. kasa selalu menceritakan bahwa papa mengajarinya melukis dan bermain bola. keduanya juga memiliki sekat yang tidak bisa ditembus pawat, cerita rahasia yang hanya diketahui mereka. padahal pawat juga ingin tau apa yang selalu mereka bicarakan di selasa malam—malam ketika kasa menginap di tempat nanon.
permintaan pawat terkesan muluk jika ingin hubungannya dengan nanon berakhir baik-baik saja. lebih dari itu, ini sudah cukup. melihat foto yang rutin perth kirim tentang kedekatan suaminya dan anaknya, cukup membuat hatinya menghangat.
kasa pantas mendapat segala yang baik di dunia.
meski tanpa orang tua yang utuh.
“minggu depan putusannya, kan?”
chimon menuang cat air, mencampur beberapa warna, ikut menggores corak dalam kanvas bersama nanon.
yang diberi pertanyaan hanya berdeham dan lanjut tenggelam dalam pekerjaannya.
“lo gak mau ngucapin salam perpisahan ke pawat?”
“buat apa?”
“ya kaya sekedar makasih udah perhatian lewat perth selama lima tahun kemaren?”
badannya menegak, gerakan tangannya terhenti. beberapa bulan lalu saat kasa sakit dan kabur ke rumahnya. perth dengan panik mengetuk pintu, menanyakan keberadaan kasa yang mendadak hilang.
feeling chimon benar, perth teman pawat adalah orang yang sama dengan perth pacar chimon. entah harus bereaksi seperti apa nanon hanya diam mengetahui fakta yang terungkap sedikit demi sedikit.
“gue butuhnya perhatian secara langsung.”
chimon hanya tertawa kecil mendengar nada ketus itu keluar dari bilah nanon.
“gapapa sih non kalo gamau juga. gue cuma pengen kalian berdua pisahnya baik-baik, lagian lo udah tau kebenarannya kan. seenggaknya kalian sama-sama melepas dengan ikhlas dan bahagia. inget, kalian masih punya kasa yang bentar lagi ngerti kalau orang tuanya udah ga bareng.”
nanon memutar tubuhnya, menghadap chimon yang masih fokus dengan kanvas.
“gimana gue bisa bahagia tanpa pawat, mon?”
denganmu aku sakit, tanpamu aku hancur.
tapi, mungkin usulan chimon tidak begitu buruk. setidaknya keduanya sama-sama membutuhkan closure. perpisahan baik-baik selalu menyakitkan, namun nanon tidak ingin meninggalkan kesan sebagai mantan suami yang buruk dengan dalih sakit hatinya. karena jika begitu, pawat pun sama sakitnya dengan dirinya.
langkah nanon dibawa menuju kamar nomor 419. kata perth, pawat dan kasa tinggal disini. rumah mereka yang ternyata tidak jauh dari rumah nanon. pantas kasa berani nekat untuk kabur.
setelah bel ditekan, tubuhnya dibawa mundur satu langkah. akan seperti apa reaksi pawat melihat nanon berdiri di depan apartemennya di sabtu sore ini.
bukan pawat, yang membuka adalah kasa. malaikat kecil yang sedang memegang pisang ditangan kanannya dengan mulut penuh yang terus mengunyah. matanya berbinar, membulat sempurna menyadari siapa tamu yang datang hari ini.
nanon tersenyum melihat reaksi kasa, dibawanya tubuh kecil itu dalam pelukan.
“hei, miss papa?”
kasa mengangguk, ditariknya tangan nanon masuk dengan antusias. pintunya ditendang dengan serampangan.
“heh, kok nutupnya pakai kaki?”
“ayah suka begitu juga.”
astaga
“ayah!”
“om force udah dat—” ucapan pawat menggantung melihat suaminya—yang akan menjadi mantan suaminya sebentar lagi—berdiri di belakang kasa.
“ayah! papa ke rumah!!”
tubuh pawat bergerak secara otomatis untuk berdiri dari sofa. televisi yang menampilkan frozen dia kecilkan volumenya.
bel berbunyi kembali, pawat melirik kasa untuk segera membuka pintu. mungkin itu baru force dan book yang betulan. mereka berdua sudah menjanjikan malam mingguan ke pasar malam dengan kasa. tapi entah kasa mau ikut atau tidak, melihat nanon yang tiba-tiba datang berkunjung.
“hei non, duduk dulu sini. mau aku buatin minum?”
nanon mengangguk pelan. dilihatnya sofa milik pawat, sama dengan yang ada di rumah nanon. kasa tidak berbohong soal itu ternyata.
pawat kembali dari dapur dengan beberapa toples makanan.
“aku gak expect kamu bakal datang ke sini.”
“ada yang mau aku obrolin sama kamu.”
ditatanya dengan telaten toples itu, dibuka satu persatu. isinya ada cookies, permen jelly, dan nastar.
“paw, kamu bisa gak suruh kasa tidur atau—”
“ayah, kasa gajadi keluar ya?”
teriakan kasa membuat keduanya menoleh pada sumber suara.
sudah pawat duga kasa pasti tidak mau keluar karena nanon disini.
“hey,” matanya melirik force dan book yang juga terkejut melihat kehadiran nanon disana.
“adek kan kemarin seneng banget mau diajak ke pasar malem sama om force sama om book, masa dibatalin sih?”
“tapi kasa mau main sama papa, ayahhh...”
“tapi adek kan udah janji kemarin. inget, kalau janji gak boleh diingkari kan?”
“tapi—”
“adek, main sama papa bisa besok kok. sekarang adek tepatin dulu janjinya ya?” ucapan nanon seolah dapat menyihir kasa karena selanjutnya anak itu dengan berat hati mencium pipi nanon dan melangkah menjauh.
“kasa main dulu, papa jangan pulang ya nanti?”
“hati-hati, sayang.”
perginya kasa dengan force dan book membuat suasana kembali sunyi. nanon dapat merasakan seolah jiwanya sebentar lagi termakan waktu.
kita asing,
kita dipaksa asing.
dilihatnya pawat beranjak menuju dapur untuk mengambil dua cangkir kopi. sebelum menjatuhkan tubuhnya berdampingan dengan nanon di sofa, pawat mematikan televisi.
nanon mau bicara.
bicara apa pawat tidak tau. bisa saja ini menyangkut hidup dan matinya. haruskah dia bersyukur sekarang karena nanon sudah mau bicara dengannya?
“kasa cerita banyak.”
susah payah pawat membagi fokusnya antara mata dengan telunjuk nanon yang berputar di bibir cangkir. sesekali tangannya terangkat untuk menyesap rasa pahit dalam genggamannya.
“sejak menikah, aku akui kita memang kurang komunikasi. tapi aku gak nyangka bakal separah itu.”
keduanya bersitatap, menikmati presensi masing-masing yang mungkin akan dirindukan di kemudian hari.
“aku minta maaf paw. maaf belum bisa jadi pasangan yang baik buat kamu.”
suara kaca dengan kayu beradu—nanon meletakkan cangkir diatas meja. badannya diputar empat puluh lima derajat menghadap pawat yang duduk disampingnya.
“kamu tau aku sempat ngerasa jadi orang paling goblok sedunia waktu kasa bingung tentang ibu yang dari awal ternyata emang gak pernah ada. aku bingung, marah, kecewa, kenapa kamu harus bohong dari awal? kenapa sejak kasa ada dan aku minta waktu kamu, kamu selalu bilang ibu kasa butuh kamu? kamu kemana paw? kenapa kamu bohong? aku—hikss...”
tangannya bergetar meremas ujung sofa. sumpah pawat harus membayar apa yang telah ia perbuat.
“aku ngerasa gagal jadi pasangan karena kamu udah gak percaya sama aku.”
ruang tengah apartemen milik pawat memiliki desain minimalis, ukurannya tidak terlalu besar. suasananya selalu hidup di malam weekend, ketika pawat dan kasa berkumpul bersama di ruang ini sambil menonton kartun dan melakukan hal lain seperti mewarnai atau bermain hot wheels.
nanon dapat merasakan hangatnya rumah ketika binarnya tak sengaja menangkap crayon yang berceceran di lantai dengan mainan mobil-mobilan yang berjejer.
suara tangisnya sebisa mungkin ia redam meski itu mustahil karena dadanya kini menjadi sesak.
“i lost many moments. i was never there, in kasa's childhood memory. and it's all becaus of you.” lirih nanon. bibir bawahnya ia gigit keras menahan raung yang semakin tak tertahan.
masa bodo dengan bentuk wajahnya yang mungkin sudah penuh air mata dan memerah. pandangannya ia kunci pada lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya.
“i'm so sorry.”
“it's too late, paw.”
“aku tau, i fucked up big time. aku selalu dihantui rasa bersalah ke kamu, ke kasa. kata-kata 'what if' selalu muncul dikepalaku tiap malam, 'what if aku jujur sama kamu dari awal', 'what if aku lebih berani buat ungkapin semuanya'. aku stress non, gak ada malam yang aku lewatin tanpa nangis. aku juga marah. aku kecewa sama diriku sendiri. tapi disisi lain aku ngerasa kalau aku gak boleh buat sedih, gimanapun juga yang paling sakit disini itu kamu. karena aku dengan bodohnya biarin kamu sendirian disana—di ruang gelap tanpa penjelasan apapun dari aku. aku minta maaf.”
dari skala satu sampai sepuluh, tahap kecewa nanon sudah berada di sembilan koma sembilan. tapi manusia tempatnya salah, kan?
“kamu tau aku bukan tipe orang yang suka ngasih kesempatan kedua. tapi kamu juga selalu tau kalau aku bakal dengerin semuanya dari kamu. dan setelah aku sadar kalau kamu nutupin—aku gak tau apa aja yang kamu tutupin, tapi aku langsung paham kalau we're not gonna make it. kunci kita udah patah. komunikasi kita hancur dari awal, paw.”
pawat diam, dia sadar betul semua salah sepenuhnya ada pada dirinya. pawat diam, karena apa yang nanon katakan sepenuhnya benar. kunci hubungan mereka patah sejak awal, dan itu karena dirinya.
“pawat, sampai kapanpun aku selalu dengerin kamu. sampai kapanpun.”
pawat tersenyum tipis menatap kekasih hatinya. kenapa ya dulu dia sangat takut untuk mengungkap kebenaran? padahal dunianya ada dalam genggamannya, seharusnya ia tidak perlu takut pada apapun.
“kamu udah siap dengerin?” anggukan pelan dari nanon membuat pawat menghembuskan nafas kasar sebelum menyamankan duduknya dan memulai cerita.
“semua berawal dari tunangan kita. waktu orang tuaku tau kalau kamu udah gak punya orang tua dan bukan dari keluarga terpandang, mereka sebenarnya langsung nyuruh aku buat batalin pernikahan. tapi kamu tau aku cinta banget sama kamu, maka dari itu aku selalu ngancem kalau aku batal nikah sama kamu, aku gak mau nerusin bisnis keluarga.”
“sampai kita nikah dan ya kamu tau mereka gak mau ketemu kamu dan tiap mau tidur kamu sedih karena ngerasa kaya gak direstuin, disitu aku cuma bisa nenangin dan ngomong kalau mereka perlu waktu untuk adaptasi karena anaknya nambah satu.”
nanon terkekeh mendengarnya. iya, pawat selalu mengatakan hal tersebut meski ternyata kenyataannya memang keduanya tidak direstui.
“selang beberapa bulan pernikahan kita ortuku nuntut cucu laki-laki, makanya waktu kamu bercanda tentang pengen anak langsung aku iyain. kamu tau funfactnya gak kalau sahabatku ini suka sama kamu.”
“hah.”
kata otomatis yang keluar dari bilah nanon membuat pawat tersenyum. paham betul reaksinya akan seperti apa jika dia jabarkan satu persatu.
“iya, dia suka sama kamu. makanya aku kesel waktu tau dia masih belum move on padahal kita udah nikah. pernah gak kamu perhatiin kasa waktu dia lagi manyun? itu 100% kamu tau non karena tiap ngidam dia selalu ngeliatin foto kamu. kasa juga punya pipi bolong yang lucu kaya kamu karena dia suka pegang-pegang pipi kamu di polaraid punyaku. setiap hamil kasa, dia selalu minta telfon ke aku buat ceritain semua hal tentang kamu. dan yang aku ceritain selalu kamu yang bucin ke aku karena aku gak rela bagi-bagi fakta tentang kamu yang cuma aku yang tau.”
sumpah ini nanon baru tau. jadi ibu biologis kasa pernah suka—atau bahkan sampai sekarang masih suka dengan dia?
pawat terkekeh melihat suaminya yang menganga memandang pawat tak percaya.
“long story short kasa lahir dan kita jadi jauh. sehari setelah kasa lahir ortuku maksa aku buat cerai sama kamu dan nikah sama sahabatku, tapi aku gak mau. sejak itu lah semuanya dimulai. dari kamu yang dipecat dadakan sampai gak bisa dapat kerja dimanapun, sampai mungkin kamu juga pernah ngerasa ada yang ikutin, ya itu mata-mata ortuku buat liatin kegiatan kita. semuanya ulah ortuku, non. aku yang tau itu mau marah rasanya, tapi nyawa kamu taruhannya, aku gak berani. makanya aku sebisa mungkin jaga jarak dari kamu. aku tau aku bego banget, padahal force udah bilang untuk obrolin ini sama kamu, tapi aku terlalu takut kehilangan kamu, makanya aku diem.”
“dua tahun setelah kasa disapih, sahabatku pergi ke luar negeri dan milih buat gak ikut campur tentang kita non. hubungan aku sama dia baik sampai sekarang, aku juga udah minta maaf selalu jadiin dia kambing hitam di hubungan kita, non.”
“yah, intinya kalau aku ketauan masih berhubungan sama kamu, orang suruhan ortuku bakal lapor ke ayah dan jadiin itu ancaman buat nyakitin kamu.”
“waktu kamu minta cerai kemarin aku gamau non, kertasnya udah mau aku sobek, tapi jadinya aku kasih tanda tangan juga waktu tau ayah bakal balikin semuanya ke kamu, mulai dari pekerjaan dan orang suruhan yang bakal dipindah tugaskan.”
“i'm such a coward just because i love you so much it hurts.”
sebanyak itu salah paham yang hadir di liku hubungannya dalam rentang waktu lima tahun. kemana lagi nanon harus menaruh harap, ia tak tau. satu-satunya manusia yang mampu menghabiskan seluruh cinta nanon hanya pawat. tapi perjuangannya rusak begitu saja hanya karena aku yang terlalu takut kehilanganmu
kata-kata yang sudah tersusun rapi di otak mendadak tidak dapat keluar, tenggorokannya mendadak kering. nanon berdeham sejenak sebelum mengeluarkan kalimatnya.
“jujur gue bingung mau respon apa, tapi satu kata buat lo, lo brengsek banget paw.”
kalau pada akhirnya kamu juga kehilanganku, bukanya lebih baik kau ucapkan itu dari awal?
“aku tau, aku minta maaf non.”
“kita bisa loh, ngerasain sakitnya sama-sama. kenapa lo pilih jalan yang lebih rumit? hubungan ini punya kita paw, kenapa lo gak pernah mau diskusi sama gue tentang masalah sebesar ini? ini udah bukan menyangkut hubungan kita, tapi juga kasa, temen-temen lo, temen-temen gue, gue sendiri yang harus kehilangan pekerjaan, gue yang gak bisa kerja, gue yang selalu takut karena gue sadar ada yang gak beres sama hidup gue, dan diri lo sendiri yang bakal jadi pengecut seumur hidup dibawah ikatan bokap lo. lo tau gak sih masalah kita sebesar ini? dan yang lo lakuin cuma diem mohon-mohon supaya bokap lo gak ngapa-ngapain ke gue?
pawat yang gue kenal gak kaya gini. apa yang lo cari paw? jabatan lo sebagai penerus perusahaan bokap lo? atau emang bener semuanya karena nyawa gue? masalah lo jadi merambat kemana-mana karena apa? karena lo dari awal diem dan semakin lo diem bokap lo bakal makin semena-mena sama lo! gue tau gue gak ngerasain rasanya diancam kaya gitu, tapi kalau gue jadi lo gue bakal obrolin semuanya ke lo, pawat.”
“aku takut non, ancaman dia itu gak main-main. aku mana bisa sih berulah kalau dia udah bawa-bawa nama kamu?”
“gue tau lo takut karena lo baru berani cerita semuanya sekarang, setelah lima tahun. rasa takut yang lo rasain itu udah menguasai lo paw, padahal harusnya lo sebagai pawat bisa naklukin apa yang ngebuat lo takut, bukan sebaliknya. disini yang jadi pengendali hidup lo bukan lo sendiri dan gue gak tau itu siapa.”
aku kira kita sudah cukup saling mengenal. tapi aku lupa satu hal bahwa manusia itu dinamis.
bukan hanya mata yang memanas, tapi seluruh tubuhnya bergetar mengeluarkan bulir keringat membasahi kaos yang ia pakai. kepalanya menunduk tak berani menatap lawan bicara. tamparan keras oleh nanon membuat pawat sadar akan satu hal bahwa dia benar, pawat tidak lagi memegang kendali pada hidupnya sejak lima tahun terakhir.
isakannya semakin mengeras kala fakta-fakta itu terus masuk memenuhi ruang di kepalanya.
pandangan nanon sudah mengabur sejak dirinya berbicara tadi. keadaannya juga tak jauh beda dengan pawat. tapi nanon bisa apa? dia hanya bisa menangis sambil meremas bajunya.
dulu jika ia sedih dada pawat selalu siap sedia menampung segala keluh kesahnya, sekarang ia tidak mau dan tidak sudi tubuhnya beradu dengan milik pawat.
tiga jam bercakap tidak cukup bagi pawat melepas rindu. ingin rasanya dia menahan tubuh itu yang kian jauh berjalan di depannya. pintu utama terbuka, menampilkan sunyinya koridor apartemen.
“kamu yakin gak mau aku antar?”
“gausah paw, gue udah dijemput chimon didepan.”
“bilang ke chimon hati-hati nyetirnya.”
“hmm, gue pamit paw makasih untuk lima tahunnya. kita ketemu lagi di persidangan.”
“non, can i hug you for the last time, maybe?”
“no.”
i'm afraid if i run up and hug you, i can never let you go.
teriknya sinar mentari masuk melalui celah jendela. gerakan otot mata membuat tidurnya tak tenang, otaknya menangkap sinyal dari indra pendengaran yang kemudian bertransmisi menjadi suara yang saling bersahut.
perlahan kelopaknya terbuka, disapa langsung oleh terangnya cahaya yang membuat matanya kembali menyipit untuk mempersilahkan pupil menyesuaikan cahaya.
tubuhnya terasa lemas, kaki dan tangannya kaku tak dapat digerakkan. jantungnya berpacu dua kali lipat setelah mengetahui tangan kanannya terinfus.
“wat!! astaga, syukur deh lo udah sadar.”
“perth, gue kenapa?”
ada hening sejenak sebelum perth semakin mendekat ke arah sahabatnya.
“lo gak inget? kemarin lo pingsan habis dipukul bokap lo.”
ucapan perth membuat memori pawat melayang pada kejadian kemarin sore di apartemennya. ahh, pawat ingat tiap detailnya.
sudah hampir dua minggu perusahaan pawat diambil alih oleh force. alasannya jelas karena otak pawat mendadak malfungsi ketika dihadapi bahwa nanon bukan lagi miliknya sejak dua minggu lalu.
keduanya sudah resmi bercerai, dua minggu lalu.
nyatanya segalanya masih berjalan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. yang berbeda hanya nanon yang sudah bukan lagi miliknya. memorinya hanya berputar disana, ketika hakim mengetuk palunya tiga kali.
rasanya hampir gila ketika salah satu tujuannya untuk hidup direnggut paksa oleh keadaan. bekas alkohol dan sampah berserakan di meja ruang kerjanya. pawat bahkan lupa kapan terakhir kali dirinya membersihkan diri dan mengisi perut. untuk menjaga diri sendiri saja tidak mampu, apalagi harus merawat kasa.
setengah hati pawat menyesali hak asuh yang ada ditangannya. berikan saja kasa pada nanon, kata itu terus mendengung di kepalanya.
masih basah luka batinnya merebuk, tubuhnya ikut hancur mendapat hantaman dari sang ayah yang tiba-tiba menerobos masuk ke apartemen.
“anak kurang ajar!”
satu pukulan mendarat kembali diperutnya. tubuhnya meringkuk lemas dengan kepala yang semakin berputar. kakinya tidak mampu lagi berdiri mengingat tulang keringnya ditendang berkali-kali oleh lelaki berumur ini.
nafas ayahnya memburu setelah memukul pawat berkali-kali. satu ludahan dari beliau berhasil mampir ke wajah berdarah pawat membuat empunya terkekeh kecil.
“kalau senin besok lo masih belum ke kantor gue gak segan buat masukin lo ke rumah sakit jiwa.” itu kata terakhir ayahnya sebelum meninggalkan apartemen miliknya,
oh, masalah ini ternyata. terakhir kali force mengatakan kasa sudah mau makan, iya kasa sempat mogok makan beberapa hari. kabar buruknya, saham perusahaan turun dan tidak stabil.
dengan susah payah tubuhnya dibawa berdiri, berjalan menuju kamarnya dengan langkah tertatih.
seputus asa apapun harapannya pada hidup, setidaknya pawat masih ingin melihat kasa dan nanon di akhir hayatnya. dia tidak mau mati konyol seperti ini.
jemarinya menyentuh layar ponselnya yang kini penuh dengan tetesan darah dari kepalanya.
“halo, force, kepala gue sakit banget kena meja.”
”...”
“lo bisa jemput gue di apart? gue gak kuat sekarang.”
seingatnya orang yang dia hubungi force, tapi kenapa perth yang ada disini?
tidur hampir satu hari penuh membuat tubuhnya kaku untuk digerakkan. dengan bantuan perth, pawat memilih bangun untuk bersandar di headboard.
“kayaknya kemarin gue call force, orangnya mana?”
hembusan kasar dan raut yang berubah stress membuat pawat mengernyit.
“kenapa, perth?”
“itu masalahnya. kasa pengen ketemu lo, dia dari semalem nangis pas tau force panik nganter lo ke rumah sakit. dia baru aja telfon otw kesini karena kasa gak berhenti nangis sampai suaranya serak, kita gak ada yang tega dengernya.”
pawat menghela nafas sambil mengangguk pasrah. sebenarnya dia tidak ingin kasa melihat ayahnya lemas di atas brankar. tapi dia tahu betul, sudah kurang lebih 2 minggu keduanya tidak bertatap muka, kasa pasti rindu dengannya.
“btw, lo mau makan buah? tadi gue beli nih apel kesukaan lo. kalo mau gue kupasin.”
“sebenernya gue maunya susu murni.”
kepalanya disentil pelan.
“gak usah ngadi-ngadi lo lagi minum obat intensif. nih, minum air putih aja biar gak dehidrasi.”
pawat mengambil alih air minum dalam botol yang disodorkan perth, diminumnya seteguk demi seteguk. tenggorokannya terasa jernih sekarang.
“arghhh,”
baru ingin menaruh botol ke nakas punggungnya terasa remuk.
“sialan.”
“mending lo tiduran aja deh, wat. gue ngeri liatnya anjir.”
“udah gapapa, lagi nyeri-nyerinya ini baru dipukul.”
gapapa, gapapa, ingin sekali dia teriak bajingan
suara engsel mengalihkan atensi pawat. dalam genggaman force anaknya terlihat menyedihkan. orang tua macam apa dia sampai mengabaikan kasa sebegitunya. wajah kecilnya yang memerah dengan mata bengkak. pawat ingin segera memeluknya dan meminta maaf.
“loh, mon, kamu ikut juga?”
matanya ikut bergerak pada sosok dibelakang force, ada chimon dan book rupanya.
“iya, mau cari makan bareng.”
“ohh gitu, oke dehh.”
kasa didudukkan perlahan di tepi ranjang. air matanya kembali menetes, dengan tubuh bergetar kasa menenggelamkan kepalanya pada leher pawat.
“wat, kalau kita tinggal dulu lo gapapa kan?”
“hmm, santai aja gue sama kasa.”
“oke, tadi kasa bilang mau makan sate nanti kita bawain buat lo juga.”
pawat lupa cara menghitung, entah sudah berapa lama tapi tenang kembali mengiri langkahnya.
tenang dan hampa tak jauh berbeda, kan?
rutinitas hidupnya berputar pada pekerjaan. sebisa mungkin waktunya dihabiskan dalam lembar-lembar perusahaan sebagai distraksi bentuk sakit hatinya.
menghilangnya nanon tepat setelah keduanya sah bercerai memperburuk suasana hatinya. tidak bisakah dia menetap meski telah berpisah? laki-laki itu memutus kontak dengan semua orang seolah menghukum pawat atas segala apa yang telah ia perbuat.
kasa tau ada yang ganjil, tapi dia tidak tau itu apa. ingatan terakhirnya hanya tentang janji main bersama papa yang sampai saat ini tidak terealisasi. janjinya lenyap begitu saja bersamaan dengan papa yang menghilang dari radarnya.
mengingatnya hanya membuat cairan bening dalam matanya keluar, dadanya sesak, dan nafasnya memburu. maka kasa memilih untuk lupa. meski sudah dua tahun berlalu kenangannya belum juga pudar.
suara ketukan pintu membuat kasa segera menghabiskan susunya dan beranjak mengambil tas ransel menuju pintu depan.
dibelakangnya, pawat mengikuti setelah menelan roti terakhirnya.
“heyy, jagoan! semangat buat semester baru wiuuu,” perth segera menggendong kasa dan berputar tiga kali. rutinitas
chimon yang melihat hanya tertawa sambil menepuk kepala kasa pelan.
“ayo berangkat, pamit ayah dulu.”
“ayah, kasa sekolah dulu.”
bersandar pada tiang pintu, pawat mengangguk pelan.
setelahnya perth dan chimon beranjak. namun belum ada dua langkah chimon berhenti, sementara perth sudah hilang dibalik lift. tubuhnya dibawa menghadap pawat. matanya melirik penampilan pawat dari atas sampai bawah beberapa kali sebelum menghela nafas.
“wat, nanon udah ceria kaya dulu lagi, dia udah balik ke nanon yang suka cerita apa aja tentang dirinya. dia udah gak konsumsi obat-obatan lagi. tidur sama makannya udah teratur. lo gak perlu khawatir lagi tentang dia. sekarang lo sendiri yang harus cari bahagia lo, buat diri lo sendiri, buat kasa, buat nanon juga. karena terakhir kali gue ketemu nanon, dia mau lo juga bahagia.”
“gue juga lagi berusaha mon.”
“dia gak benci lo, kok. katanya suatu saat, kalau masih diizinin sama Tuhan, dia juga mau ketemu lo lagi.”
mendengarnya pawat tertawa kecil sampai tersedak ludahnya sendiri.
“gue juga mau ketemu nanon lagi.” katanya lirih.
“kalau gitu berusaha buat bangkit, jangan terus terpuruk. nanon juga gak mau lo sedih terus-terusan.”
mungkin chimon benar, mana mungkin nanon menyukai pawat versi berantakan. meski kecil kemungkinan untuk bertemu kembali dengan kekasih hatinya, pawat mau nanon melihat dirinya sebagai versi terbaiknya.
“makasih mon, gue punya alasan lagi buat hidup.”
segera pawat menutup pintu dan menuruni anak tangga menuju basement. tempatnya selalu sama antara F atau H, tidak susah membuat pawat menemukan mobil perth dengan cepat.
kaca mobil diketuk dengan dengan rusuh, membuat perth segera membuka pintu.
direngkuhnya malaikat kecilnya dengan erat. keningnya dikecup sebelum pawat menjauhkan diri.
“kasa, belajar yang benar ya, materi yang dijelaskan sama guru diperhatikan, oke? nanti pulangnya mau ayah jemput?”
dengan wajah penuh tanya kasa mengangguk perlahan, “mau, ayah.”
dahinya pawat tempelkan pada dahi kecil sang buah hati, kemudian pawat tersenyum sambil mencubit pelan pipi kasa, membuat anak itu tertawa geli.
perth melirik chimon yang sedang menangis haru melalui kaca spion. jadi, misinya berhasil?
“ayah sayang kasa.”
“kasa juga sayang ayah.”
sepertinya misinya berhasil.
nanon, kamu bukanlah kesalahan yang hadir akibat buruknya komunikasi. kamu adalah pelajaran dari murninya hati yang Tuhan titipkan agar aku mengerti arti berjuang dan mencintai. terima kasih telah singgah untuk mencintai manusia yang banyak kurangnya ini. aku minta maaf atas luka yang ku toreh dan menimbulkan trauma.
nanon, jika Tuhan masih mengizinkan, untuk kedua kalinya aku ingin menemuimu dan menjagamu. entah di dunia ini atau disemesta lain. karena kita dipisahkan untuk bertemu kembali.
finished.