tag. mention of divorce, mention of broken family, dad&baby things, lot of kisses
apa pencapaian terbesarmu dalam hidup? mendapat peringkat di kelas? pintar dalam bidang matematika? sukses menjadi dokter bedah? bisa mengikuti program pertukaran pelajar?
atau sesimpel memiliki tempat pulang adalah pencapaian terbesar, terkeren, terhebat, tersegalanya milik nanon—yang bahkan sejujurnya tidak bisa dideskripsikan menggunakan kata.
kesalnya, sedihnya, marahnya, kecewanya, bahagianya, dan seluruh emosi yang jiwa raganya miliki, tumpah ruah dalam rumahnya. dan nanon, tidak bisa tidak bersyukur atas presensi rumah sebagai tempat dia pulang.
seperti hari ini, kembali orang tuanya mengunjungi rumah hanya untuk memberi kabar, bahwa libur musim panas mereka gunakan untuk meeting di luar negeri, lagi.
tidak apa, nanon sudah cukup dewasa untuk memahami segala bualan yang orang tuanya beri.
umurnya 21 tahun beberapa bulan lalu, tapi kejutan tidak pernah surut hadir dalam hidupnya. entah mengetahui ibunya yang hamil, atau orang tuanya yang berniat pisah. nanon tidak mau tau, dan tidak peduli.
kakinya diselonjorkan pada karpet bulu. mulutnya penuh dengan dot berisi susu vanila. kebiasaan jika sedang sedih.
ponselnya menyala, menampilkan ruang panggilan dari sugarglider yang sudah berjalan selama limabelas menit.
matanya fokus pada anime, namun telinga dan mulutnya tak henti menaruh atensi pada suara di seberang.
“udahan nangisnya.”
nanon menggigit karet yang dia kulum dimulutnya.
sudah kok, dia sudah berhenti menangis sejak dering pertama ponselnya berbunyi. namun sesak didadanya tidak dapat dihindari.
“gue udah hampir sampai. bener gamau nitip?”
percakapan ini memang satu arah sedari tadi. nanon hanya diam, mendengarkan.
“sayang, tunggu aku pulang.”
selanjutnya nanon kembali meraung. botol susunya jatuh dalam genggam.
“eh nanon, sayang, tunggu sebentar lagi. nangisnya sama aku, oke? ssshhhh cup cup..”
suaranya panik namun menenangkan. jiwanya menghangat. jaraknya jauh, namun nanon merasakan rengkuhan dari jarak yang sekian kilometer.
nanon menekuk tubuhnya, menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan dan lutut. telinganya memerah. entah sudah berapa jam menangis, air matanya tak kunjung habis.
bohong jika nanon bilang dia tidak peduli. tapi lebih dari sedih, kecewa dan sakit hatinya tidak bisa dia sembunyikan. dua rasa itu, yang membuat dadanya bergejolak panas.
semakin dirasa, rengkuh khayal satu-satunya pemilik peluk terhangat semakin nyata. kepalanya terangkat saat pundaknya basah. dan dia pulang. akhirnya. setelah sekian lama menunggu. nanon kembali pulang.
tangisnya sudah reda. suara dari televisi dan kecupan-kecupan gemas memenuhi apartemen pawat.
nanon menyenderkan tubuhnya pada pawat sambil menjilati es krim yang sengaja disimpan sebagai persediaan.
beberapa kali tertawa, pipi bolongnya semakin dalam. dan kesempatan itu tidak disia-siakan pawat yang terus mencuri kecup kala senyum nanon merekah.
es krimnya habis. jari bekas lumeran es krim dia jilat. manis. nanon sangat suka.
“annoying.” komentar nanon. fokusnya ke televisi. membuat pawat mengikuti arah pandang nanon yang sedang menatap kesal korosensei.
“ini sedih loh.”
“tau.”
“kok annoying?”
“kita gaboleh sedih. kita harus selalu bahagia. mau lu sekarat pun, lu harus tetep bahagia!”
“nanon, kita manusia. semua emosi yang kita punya, itu valid.”
“sedih itu cuma punya orang yang miskin dan lemah! kita kaya, orangtua kita bisnisnya dimana-mana! tiap minggu lu dikirim banyak duit nyampe tiga digit anjing!!! kita gaboleh lemah, paw. kita orang kuat. ITU YANG ORANG TUA KITA TAU, YANG ORANG TUA KITA MAU!!!”
pawat diam. nanon kembali dalam fase breakdownnya. terlalu shock dibuat karena pagi tadi resmi, orang tuanya setuju untuk berpisah.
baru akan menenangkan sosok yang lebih kecil darinya. lumatan tak terduga jatuh pada bibirnya. dihisap. digigit. dicium. nanon yang melakukannya. sedang pawat hanya terbelalak kaget.
'cup'
sau kecupan terakhir mendarat manis.
nanon menjauhkan tubuhnya, kemudian tersenyum manis. gila
“bosen denger lo ceramah.” tubuhnya berpindah pada pangkuan pawat, membuat tangan pawat refleks memegang pinggang nanon untuk menjaga keseimbangan.
wajah nanon disembunyikan pada ceruk leher pawat. posisi nyaman mereka berdua. disana, nanon maupun pawat bisa saling bertukar wangi tubuh masing-masing. dan itu menenangkan.
gelenyar aneh muncul kala pawat mengelus pelan pinggangnya. wajahnya dijauhkan. matanya menatap pawat sayu. cium. dia ingin lagi. maka dengan gerak pelan, nanon kembali melumat bibir pawat.
tidak hanya nanon, pawat juga turut andil pada bagiannya. dia mengambil bilah atas nanon, dihisap seduktif. tangannya tidak henti mengelus pinggang nanon.
lumatan lembut berubah jadi kasar. pawat mendorong lidahnya kedalam mulut nanon. kedua lidah saling menarik, saliva menjadi satu.
pawat menekan kepala nanon agar semakin dekat dengannya. lagi dan lagi hisapan demi hisapan membuat nanon kewalahan. nanon menekan paha pawat ketika gigi pawat bertemu dengan bibirnya.
“ngghhh...”
desahan nanon mengakhiri kegiatan panas mereka. nanon menatap pawat sayu. tangannya yang lemas berada di pundak pawat. sedang milik pawat menangkup lembut wajahnya.
benang saliva terlihat jelas saat keduanya memberi jarak. pawat mengecup singkat bibir nanon sebelum akhirnya menjauh untuk memutus saliva keduanya.
“feeling better?”
tidak. jawaban sejujurnya, nanon ingin pawat merengkuhnya lebih dalam, lebih lama. namun malu juga untuk mengatakannya.
maka nanon mengangguk pelan. bibir bawahnya dia gigit, menyembunyikan rasa kecewa. seumur hidup nanon menghabiskan waktu dengan pawat, malam ini adalah malam yang paling aneh. karena dirinya sangat haus akan sentuhan pawat. dia ingin tenggelam lebih jauh bersama sahabatnya.
“dont bite your lips.”
“lo tadi gigit bibir gue.”
“aku ga sengaja, sorry. sakit?” nanon menggeleng, tidak sakit sama sekali.
lalu pawat menarik dagu nanon, membuat gigitan pada bibirnya terlepas. tidak ada luka disana, tapi warna merahnya begitu jelas menyala.
“kenapa merah banget?”
“kamu emut lama tadi.” mendengar jawaban laki-laki yang sedang dipangkunya membuat pawat mencubit pipi gembil itu gemas
“elo yang duluan, gue cuma ngikutin.”
nanon tersenyum dibuatnya. dia ingin selamanya saja seperti ini. hanya berdua dengan pawat.
toh dari dulu memang hanya berdua kan?
“hmmm...”
lama bertahan pada posisi tersebut membuat nanon segera beranjak, bukannya tidak nyaman. namun takut pawat akan keberatan, nanon kan gendut. padahal sugesti yang kamu kasih makan non, kata pawat kalau dia mendengar apa isi kepalanya.
“mau kemana?”
“kamar mandi.”
nanon benar berada di kamar mandi dalam waktu yang cukup lama. limabelas menit dan hanya diam di closet.
kakinya dia tekuk, dipeluk. pikirannya melayang pada tiap-tiap waktu yang dia habiskan bersama pawat.
dia sangat menyayangi teman sehidup sematinya. sampai takutnya kembali. nanon takut pawat akan pergi. meski untuk saat ini hal itu mustahil, tapi masa depan tidak ada yang bisa memprediksi. kalau pawat pergi, dengan siapa dirinya nanti? orang tuanya sudah tidak ada. bertumpu pada chimon dan drake? bahkan hubungan nanon dengan dua sohibnya hanya sebatas sahabat, bukan sahabat seperti apa yang pawat dengan dirinya selalu lakukan.
cuma pawat, yang mengerti dirinya luar dalam. harusnya nanon tau, kalau pawat tidak akan mungkin meninggalkannya.
tapi sekali lagi, masa depan tidak ada yang tau.
ketukan pintu terdengar. mungkin sudah terlalu lama nanon berdiam didalam. suara panik dan khawatir diluar membuat nanon merasa bersalah.
dirinya beranjak lemas. hal yang ingin dia lakukan sekarang adalah mendekap pawat erat supaya pemilik peluk hangat itu tidak hilang.
namun harap hanya harap, karena setelah membuka pintu nanon malah berjalan menuju kasur, abai pada sosok didepan kamar mandi.
dia juga tidak tau kenapa refleknya jelek sekali. sudahlah, pawat juga mengikutinya dibelakang.
mengambil tempat untuk merebah disamping nanon, selimut dinaikan kala keduanya sudah sama-sama nyaman diatas kasur.
pawat memiringkan tubuhnya, menatap punggung nanon yang naik turun secara teratur. senyumnya mengembang miris. biasanya punggung itu tidak ada dihadapannya. melainkan wajah manis nanon lengkap dengan pipi bolong yang selalu pawat cium jika ada kesempatan.
nanon sedang sedih, pawat tau. dan dia ikut sedih melihat cintanya begitu rapuh.
“sayang.” panggil pawat, sengaja memilih panggilan yang pawat tau, nanon tidak akan bisa menolak.
sesuai dugaan, nanon berbalik. matanya menatap pawat atentif. ah, pawat suka sekali. mata itu yang membuat pawat jatuh berjuta kali.
“boleh peluk?” selalu.
pawat dan segala izinnya selalu membuat nanon merasa ada sesuatu yang mengocok perutnya.
pertanyaan yang diajukan oleh sosok yang sedang memilin kaosnya dibalas kekehan nanon. siapa nanon bisa menolak? namanya menyia-nyiakan kesempatan!
“aduh, manja banget lo tai.” tangannya direntangkan, seperkian detik pawat langsung masuk dalam dekap nanon.
ini yang nanon mau. saling berbagi hangat.
“you smell like ice cream.”
“gue habis makan es krim, paw.”
“mau minum susu?”
“udah tadi sore.”
pawat menjauhkan tubuhnya. ekspresi tengil diwajahnya membuat nanon mengernyit malas. kenapa lagi ini bocah
“gue tadi waktu pulang kaya wow banget liat ada dot, susunya tinggal dikit. biasanya nih, biasanya, yang namanya nanon gamau bikin susu sendiri bahkan sampe ditaroh dot sendiri. maunya gue yang bikinin. itu tadi lo kenapa ya kaya gitu? saking kangennya sama gue atau karena hal lain?”
iya, pengen minum susu tapi orang yang biasanya bikinin lagi keluar terus gue kangen nangis bareng lo. jadi, gue mutusin buat bikin susu sendiri, adalah jawaban yang sebenarnya. tapi namanya juga manusia, kadang apa yang dipikir berbanding terbalik dengan yang keluar dari mulut.
“enyah lo anjing.” dan pawat tertawa keras, senang sekali menjahili sahabatnya ini.
“gimana? masih sedih?” untuk kali ini, closure nanon dibutuhkan. dia tidak mau membiarkan nanon tidur dengan segala pikiran buruknya. bukannya istirahat untuk mendapat tenang malah mendapat beban pikiran.
diberi pertanyaan seperti ini rasanya nanon mau tertawa. bukan apa, masalahnya tiap hari juga dirinya sedih. bedanya mungkin ini puncaknya, mungkin. namun sedih yang menjadi makanan harian juga sudah tidak berpengaruh lagi.
oke, nanon sedih. namun yang membuatnya lebih ingin menangis adalah sosok dihadapannya yang sedang menatapnya lembut, dengan kedua tangannya bertengger dipinggangnya.
kalau bisa dia gaungkan pada semesta betapa berharganya pawat dalam hidupnya, sudah dia lakukan sejak lama.
“gak, cuma bingung.”
“kenapa? masih sesek dadanya?”
“kenapa gue sayang banget sama lo?”
setelah menyelesaikan kalimatnya, jitakan didapat nanon. pawat melepas peluknya dan memposisikan dirinya telentang menatap langit kamar.
“sakit bego!” tangan yang lebih kecil terangkat untuk mengelus bekas jitakan pawat.
“salah siapa, gue nanya apa dijawabnya apa.”
“bercanda elah, jangan serius-serius amat!”
“gue tuh khawatir!” sepertinya pawat memang sedang malas debat, dilihat dari judesnya jawaban pawat membuat nanon mengalah.
segera saja nanon mendekat dan mengecup cepat pipi pawat. lesung pipinya terlihat dalam, kala pawat menoleh dengan tatapan tanya.
“maaf deh, paw.” ala-ala nanon memanyunkan bibirnya dengan kedua tangan disatukan, meminta maaf.
namun jawaban pawat membuat nanon perlahan menurunkan tangannya. ekspresinya kini sulit dibaca, yang jelas nanon hanya diam dan beberapa kali mengerjap.
“emang gue kasih izin buat cium?”
melihat nanon yang tak memberi suara, pawat terkekeh dalam hati karena sahabatnya kini hanya diam dengan bingung.
“yaelah non, bercanda elah, jangan serius-serius amat!!”
mungkin jika berada pada situasi yang lebih baik, nanon akan memukul pawat. namun kali ini otaknya sedang kacau. pikirannya kalut, hatinya tak tenang.
“m-maaf. gue minta maaf udah asal nyium.”
hening melanda setelahnya. bingung juga mau bicara apa, lebih baik nanon tidur sekarang daripada pikirannya kesana-kemari tidak jelas.
baru akan membalikkan tubuhnya, rengkuhan didapat. pawat memeluknya. menenggelamkan dirinya dalam peluk terhangat.
“no, im sorry. maaf. nanon boleh kok cium pawat kapan aja, dimana aja. maaf, baby.”
dalam rengkuh, nanon diam. merasa bersalah, lagi. kenapa hari ini dirinya begitu annoying?
didorongnya pelan dada pawat, jarak dibuat setipis mungkin. hidung saling bersentuh, mata saling mengunci, dan detak yang tak dapat disembunyikan. rasanya nanon mau gila.
“pawat, enggak, maksud aku harusnya aku belajar dari kamu yang selalu izin buat ngelakuin segala hal. maaf ya, lain kali aku bakal izin dulu.” suara lembut nanon, bisa tidak pawat minta untuk selamanya?
“nanon, jiwa raga aku itu punya kamu. kamu berhak atas aku, aku rela.”
“gaboleh gitu, paw! gue kesel kalo lo gitu.”
“ya gimana baby? yaudah gini deh, setiap kamu mau cium, peluk, atau hal lain kamu izin dulu tapi gausah nunggu aku konfirmasi jawaban. karena apapun yang kamu mau, jawaban aku selalu 'boleh', kecuali kalo kamu minta aku pergi, aku gamau.”
detik itu juga air matanya kembali meluncur. pawatnya. pawatnya. nanon minta untuk selamanya.
pagi ini nanon kembali ke rumah setelah perdebatan panjang dengan pawat yang akhirnya megalah untuk membiarkan nanon pulang.
gerbang terbuka lebar, menampakkan fortuner yang sedang dipanaskan. mobil yang jarang bersemayam di rumah, sebentar lagi juga akan pergi.
kakinya dengan malas melangkah masuk ke rumah yang sejak duapuluh satu tahun dirinya hidup tidak ada yang berubah. interior, furnitur, semuanya sama. tidak ada barang yang dipindahkan, yang di dinding tetap disana, yang diatas meja masih utuh diatas meja. selama duapuluh satu tahun dirinya hidup.
nanon tersenyum tipis kala memori menariknya kembali pada masa balita. setiap kenangan tersimpan di tiap sudut rumah ini, dan nanon tidak mau menukarnya dengan apapun.
“nanon, sudah pulang?”
ah, dia.
netra keduanya bertemu seperkian detik sebelum orang yang dia benci mengalihkan pandang
“hmm iya.”
“kamu jadinya mau fleksibel aja ikut ibu atau papa? papa sih gak masalah.” ujarnya dengan tangan yang sibuk memasukkan berkas ke dalam tas kerja. tidak menatap nanon lagi barang sedetik.
“nanon mau disini aja. gak ikut salah satu dari kalian. lagian udah biasa kan kaya gitu?”
sosok diseberang sana menghentikan kegiatannya. rautnya datar memandang anaknya.
“terserah.”
setelahnya pria itu menjinjing tasnya dan berjalan meninggalkan ruang tamu. manik nanon mengikuti kemana pria yang menyebut dirinya sendiri papa.
jika situasi ini dihadapkan pada nanon remaja berusia tujuh belas tahun, dia pasti akan menangis dan mengurung diri. namun sekarang keadaan berubah. rasanya sudah mati rasa. semuanya habis tak bersisa.
“just... remember one thing, semua yang ditakdirkan buat nanon, bakal balik ke nanon, om.”
alisnya terangkat dengan senyum sinis melihat langkah tegap itu berhenti. tidak mau melihat wajah omnya—yang entah akan berbalik menatap nanon atau tidak dia juga tidak peduli. segera saja kakinya kembali melangkah menuju kamar.
tepat setelah menutup pintu kamar ponselnya berdering.
sugarglider is calling
senyumnya melebar hanya dengan membaca nama pemilik kontak.
“PAW!”
“anjing kaget. gimana sayangku? aku liat di zenly udah nyampe daritadi, kok ga ngabarin?
lesung pipinya semakin dalam.
“lo kesini jam berapa jadinya?”
“bentar lagi sih, baru mandi mau beli sarapan dulu. mau makan apa lo?”
“nasi uduk deh kalo ada.”
“oke. balik lagi, gimana? bokap lo udah berangkat?”
“hmm, bentar.” tubuhnya dibawa menuju jendela kamar, mengintip gerbang yang sudah tertutup rapat. fortunernya sudah pergi.
“udah berangkat. baru aja. gue tadi ketemu di ruang tamu.”
“ohh, ngobrol apa?”
“gatau tuh orang, udah tua bau tanah bukannya tobat malah ngejar cuan mulu, heran gue.”
“heh mulut wkwkwk terus yang tadi pagi lo bilang, itu bener? lo serius mau belajar bisnis?”
“bener lah. orgil gamau perusahaan papa jatoh ke dia. udah cukup gue tersiksa sama duit yang selalu di tanya buat apa terus dibatesin tai orang itu perusahaan gua aslinya.”
punggungnya direbahkan nyaman dalam kasur dinginnya. nyaman sekali. padahal hanya satu malam ditinggalkan, kenapa rasanya snagat rindu dengan kasurnya
“oke, gue bakal belajar lebih dalem lagi sama bokap sekalian bareng sama lo. agak nyesel dulu mau diajarin bisnis gue nolak. eh non, ini gue otw kedepan nyari nasi uduk.”
“iya bagus gitu. eh soal bokap lo gimana, is he okay?”
“oke banget lah dia setuju banget dari dulu. gue yang selalu nolak hahaha.”
“jadi alesannya nih karena gue yang mau belajar bisnis ya paw,”
“ga cuma itu, gue juga mikir ntar perusahaan bokap juga pasti bakal pindah ke gue. atau gak ke orang lain, cuma gue gamau apa yang udah bokap gue bangun dari awal jatoh ke orang yang salah kaya punya lo tuh. lumayan juga sih cuan non, cuan!!”
nanon tertawa mendengarnya. ahh ini percakapan sebagai coping mechanism mereka berdua. sudah lumayan lama tidak membahas masalah per-orang tua-an yang sungguh rumit ini.
“iya deh my friend. omongin nanti lagi dong, laper. udah nemu nasi uduknya belom?”
“udah nih lagi bungkus. mau otw ke rumah.”
“oke sip, naik mobil?”
“iya lah masa jalan,”
“kan bisa aja pake motor goblok.”
“astaga kasarnya sobat.”
“istigi kisirnyi sibit.”
“masih pagi udah ngeselin ya lo. oh iya lupa non, tadi drake chat gue ngajakin mabok, gas ga? gue udah dimobil nih siap ngeng”
“hah kalo mau ya mabok aja cuma gue ogah ngurusin. terakhia lo mabok muntah ke gue anjing.”
“ye gimana sih. dia bareng frank, terus chimon gabisa kan dia lagi ada date gitu sama kakak-kakakannya. yakali gue jomblo non, temenin ya?”
“liat ntar malem deh. udah gas ngeng ke rumah? hati-hati ya paw, jangan ngebut, sampe sini harus sehat walafiat no lecet.”
“iya sayang ini 40 kilometer per jam, macet bangsat.”
“selamat macet-macetan. gue mau mandi.”
“video call dong, baby.”
“lah ayok?!”
TIIT
“si goblok malah dimatiin.”
nanon berdecak malas melempar ponselnya asal. pawat memang lemah, kalau kaya gini kan keliatan siapa yang mancing siapa yang salting.
tangannya direntangkan untuk melemaskan otot-otot tubuh. jujur saat sudah bertemu kasur malas untuk beranjak kembali apalagi ke kamar mandi. tapi apa boleh buat, dia harus menyambut pawat dalam keadaan wangi. hell, mana mau nanon kalah dengan pawat yang sudah mandi jam delapan pagi di hari minggu? bisa-bisa dia menjadi bulan-bulanan di grupnya bersama chimon dan drake.
dua puluh satu tahun umurnya hidup, baru kali ini melihat sisi lain sahabat kecilnya. itu juga karena kepergok.
singkatnya, setelah menyelesaikan sarapan dengan perbincangan ringan, nanon membereskan cucian piring yang sudah cukup menumpuk dari dua hari lalu. sedangkan pawat naik ke atas lebih dulu.
baru akan memasuki kamar, disana pawat sedang tiduran sambil menghirup sabun miliknya. rahangnya jatuh seketika.
oke, nanon tau kalau pawat sangat suka menciumi leher dan bahunya karena katanya wanginya enak. tapi nanon tidak tau kalau pawat segila itu sampai menghirupnya. rasanya ingin menangis entah karena sedih atau ngakak.
“lo ngapain buset, sampe ngehirup sabun udah kaya narkoboy.”
menyadari eksistensi lain pawat terlonjak. buru-buru menyembunyikan apa yang dipegang dibawah badannya. walaupun telat, sih.
“jadi, lebih suka yang lemon atau susu?”
“apa sih non. oh ya nih drake udah nanyain lagi, gimana lo mau ikut ga?”
“ck malah ngalihin topik. jadi lebih suka yang lemon ya? gue tadi sabunan pake yang susu jadi ga ada bau lemonnya.”
“apaan sih non, suka semua elah. cuma kalo diginiin yang lemon kan lebih seger, lebih kerasa. kalo yang susu mending gue makan aja lo, sini!”
nanon terkekeh. tubuhnya dibawa mendekat, duduk bersandar headboard dengan pawat disampingnya.
“dari kapan suka ngehirup gitu? kecanduan ga sih jatohnya?”
“gatau lupa, dah lama yang jelas, cuma gue kaya gini kalo lagi kangen doang.” katanya, wajahnya ditenggelamkan pada ceruk nanon. wangi kesukaannya, ini kah surga dunia?
tangan nanon bergerak secara otomatis untuk mengelus surai pawat. masih lembab bekas keramas tadi pagi, tebak nanon.
“hmm, berarti lagi kangen gue lo?”
“yes. your daddy missing you so bad, every seconds, every minutes, every hour, every day. heumm, love you.”
nanon tersenyum mendengarnya. kepalanya dimiringkan untuk mengecup puncak kepala pawat.
“miss you too my sugarglider.”
hening tercipta setelahnya.
minggu pagi ini terasa berbeda.
biasanya keduanya akan keluar main bersama chimon dan drake atau sekedar menonton netflix di kamar. namun kali ini nanon meminta untuk diam dan tidak melakukan apa-apa. dan pawat setuju.
minggu pagi ini terasa berbeda.
ada sesuatu dalam diri keduanya yang dirasa lebih ringan. mungkin karena damai yang sudah diniatkan dalam hati? entah.
minggu pagi ini terasa berbeda.
biasanya nanon akan mendengus malas kala mendapat pesan masuk dari orang tuanya mengatakan bahwa mereka akan mengirim uang dan tidak bisa pulang sementara waktu. tentu berbeda karena kini orang tuanya sudah bercerai dan papanya baru saja pergi mencari uang.
dan nanon tidak lebih dari bersyukur mengetahui otaknya kini lebih waras dari biasanya.
dengan pawat dalam rengkuhnya, nanon rela habiskan minggu ini hanya dengan diam di kamar dan tidak melakukan apa-apa.
“aku pernah baca quotes, kalau kita memaafkan artinya kita juga memberi kesempatan untuk memaafkan jiwa kita. makanya setelah berdamai, yang kita dapet itu lega, iya kan? karena jiwa kita juga ikut sembuh.”
tangannya berhenti bergerak saat pawat mendongak, menatap tepat dalam binarnya.
“pawat, aku udah maafin semua yang orang tua aku lakuin. aku capek hidup dari dulu sampai sekarang cuma bisa nahan sakit bahkan sekarang malah udah mati rasa, paw. aku mau udahan. aku mau maafin mereka, ngeliat dari sudut pandang lain. aku mau closure dari mereka. aku mau ambil apa yang harusnya jadi punyaku, bukan buat ngerebut. aku mau damai paw, sama semuanya—
—sekarang aku udah bisa maafin mereka. tapi aku tetep butuh closure tentang mereka yang angkat aku sebagai anak, tentang mereka yang gak anggep aku anak, atau tentang perusahaan yang sebentar lagi bakal aku ambil haknya. rasanya lega paw, walau semuanya belum jelas, walau masih abu-abu. tapi aku seneng banget sekarang. kamu mau ga coba kaya aku? buat maafin orang tua kamu, i know it's hard, dari dulu aku coba tapi masih belum ikhlas aja rasanya. tapi kamu liat kan? sekarang aku udah bisa! kemaren aku pastiin jadi air mata sedih yang terakhir, karena sekarang aku udah maafin mereka.”
nanon menangkup wajah pawat dengan tangannya. kedua pipi dielus perlahan, senyumnya mengembang dengan lesung pipi yang dalam. pawat mau menciumnya.
“kamu mau kan belajar buat maafin orang tua kamu? kita bareng-bareng sembuhnya paw. ayo kita obrolin sama orang tua masing-masing, apa yang harus dan tidak harus. deep inside, sebenernya aku tau orang tua kamu sayang banget sama kamu, cuma penyampaiannya aja yang salah. beda sama punyaku yang emang dari awal kayanya ngincer uang doang. so, gimana paw?”
ditatapnya binar gelap yang enggan memutus kontak. disana, nanon bisa melihat ribuan konstelasi bersemayam. selalu indah. nanon ingin tenggelam didalamnya.
“mau non. but slowly right, aku masih susah buat ngobrol sama mereka.”
“no problem. slowly but surely, like how i fall into you.”
“jiakh bisaan deh ni bayi satu.”
pipinya dciubit gemas. bibirnya dimanyunkan mendengar perkataan sahabatnya. padahal kan dia lagi mode serius yak,
“aduh bacotnya ni orang. intinya gue mau belajar bisnis sama bokap lo, jadi lo harus, kudu, wajib ain buat baikan biar gue belajarnya juga enak. kan ga lucu gue sama bokap lo damai, eh anaknya musuhan.”
“apaan nih, ga ada ya lo sama bokap gue. lo belajarnya lewat gue aja, gue yang ngajarin jangan bokap gue!”
“kenapa sih? kan gue mau lebih deket sama camer!”
“tai lah.”
pawat kembali menenggelamkan wajahnya. kali ini di dada nanon. tangannya melingkar posesif seolah nanon akan diambil jika tidak dipeluk erat. sedangkan yang dipeluk hanya tertawa.
“nanon, about things you said, gue inget ortu gue mau balik dua minggu lagi. gue mau langsung ngomong sama mereka.” suara pawat teredam, tapi masih dapat didengar dengan jelas.
bingung juga, selama ini semua yang pawat lakukan pasti ada hubungannya dengan nanon. pasti.
dia jadi agak bersalah, takut orang yang dia sayang tertekan atas permintaannya.
“are you sure? gue ga maksa paw, lo bisa siapin diri dulu. no need to rush, kok.”
pelukannya semakin mengerat. ahh, emang ga salah buat sayang sama ohm pawat. berkata seperti itu saja pawat sudah paham bagaimana isi kepala nanon.
“gue juga mau ngerasa lega non, mau damai. apa yang lo bilang bener, ortu gue emang sayang sama gue, cara penyampaiannya aja yang salah. dan gue mau liat dari sudut pandang mereka. gue juga butuh closure non.”
“i love you, paw.”
lagi, nanon mengecup puncak kepala pawat pelan, dalam, penuh kasih. kepalanya lalu dimiringkan untuk bersandar nyaman diatas miliki pawat.
dadanya mendadak terasa lembab dan basah. oh, pawat menciumnya.
satu kali,
dua kali,
tiga kali,
berkali-kali.
kini nanon tau tidak ada yang paling berharga kecuali presensi pawat.
“non.”
“hm?”
“ini bener gamau jalan-jalan? gue baru dikirim uang jumat kemaren.”
“gamau. pengen tiduran aja.”
“modus kan lo. aslinya cuma pengen berduaan sama gue sambil pelukan.”
“iya, cuma pengen berduaan sama lo sambil pelukan.”