onscent

from naz universe


“mau apa?”

pawat menatap atentif kekasihnya yang sedang berbaring dengan byebye fever di dahinya. tangannya bergerak mengelus pipi kesayangannya.

“tidur.” katanya. suaranya serak.

nanon mendesah pelan kala kepalanya berdenyut. kemarin keduanya baru saja menyelesaikan sidang bersama. lucunya, pawat baru sembuh dari demamnya sehari setelah sidang. sementara nanon langsung ambruk keesokan harinya. mungkin ini juga efek dari air hujan yang mengguyurnya semalam.

“mau ke dokter aja ngga non? kamu panas banget soalnya.”

“gausah, besok juga sembuh, paw.”

setelah mendapat pesan dari nanon pukul empat pagi bahwa dirinya demam, pawat segera menancapkan gas menuju apartemen nanon. salahkan nanon yang melarang pawat untuk party dan menyuruhnya segera kembali ke kost. padahal pawat ingin menghabiskan waktu bersama. katanya, kamu baru sembuh paw, istirahat dulu aja partynya besok lagi, okay? iya, pawat baru sembuh.

tapi setidaknya jika semalam dia menginap maka nanon tidak perlu keluar membeli sate sambil hujan-hujanan. jadi, ini semua salah pawat. iya, salahku yang tidak mengutarakan isi hatiku untuk menginap.

“kamu sana deh keluar aja. aku gamau kamu ketularan, paw.”

pawat melemparkan tatap bombastic side eye, kemudian mendengus. bukannya menurut, dia malah langsung berpindah, menenggelamkan diri dibawah selimut yang sama dengan nanon.

“PAW!!”

“bodo amat. gue tuh kangen sama lo. gue mau cuddle. udah tidur cepet gue tungguin.”

“paw, nanti kamu ketularan.”

“enggak sayang, aku anak sehat tubuhku kuat. tenang aja.” pawat melingkarkan tangannya pada pinggang nanon. memeluknya erat. kepalanya dijatuhkan di ceruk leher nanon. menghirup aroma madu dan laut kesukaannya.

bahkan saat sakit kamu masih wangi. wangi kesukaanku

“pawat.” nanon menggeliat pelan. dia takut pawat tertular, pawat kan baru sembuh. namun sudah begini juga pawat tidak bisa dilarang.

mau tidak mau nanon menenggelamkan diri di dada kekasihnya. tangannya bergerak mengelus kancing baju tidur pawat.

“miss you, friend”

“we are not friends nor enemies, we are boyfriend.”

tawa nanon meledak. ingatannya kembali pada masa itu. masa dimana nanon yang caper dan pawat yang benci dirinya setengah mati. good old days

“but, you know i miss you too. sejak pacaran, kita ga pernah berduaan santai kaya gini. pasti sambil ngerjain skripshit. aku pengen pacaran normal kaya manusia lain diluar sana, non.”

pelukannya dia eratkan. puncak kepala nanon dikecup berkali-kali.

“gue juga mau paw. kita ngedate proper kaya sekali doang itu juga dikejar deadline jadi ga enak banget, heumm.” kepalanya dia angkat, dikecupnya dagu pawat.

awal berpacaran, keduanya sepakat untuk menyelesaikan kuliah dengan cepat. makanya urusan 'date' tidak ada di kamus mereka. hari-hari ditemani laptop dan segala tetek bengeknya. tidak jarang pawat menginap ditempat nanon untuk uruan skripsi. itupun tidak berdua, namuan bertiga dengan chimon.

“nanti ya kalo kamu sembuh, kita jalan-jalan.”


tangannya meraba ke kanan-kiri dengan mata terpejam dan merasakan sisi disebelahnya dingin. kasurnya dingin.

pawat membuka matanya dan segera duduk. jantungnya berdegup kencang.

nanon kemana?

sesaat setelah sesi curhat mau ngedate, nanon langsung terlelap. obatnya bekerja dengan baik. pawat segera menyusul setelahnya.

beberapa jam kemudian—ini jam berapa

matanya melirik nakas, 14.30

sudah berapa lama mereka tertidur? atau dia? karena nanon sudah tidak ada di kasur.

badannya diregangkan perlahan. kemudian bangkit dengan lemas. pawat membuka pintu kamar, menemukan nanon yang sedang duduk di sofa sambil mengupas buah-buahan.

nanon melirik sekilas ketika mendengar suara pintu dibuka, “hei, udah bangun?” tanyanya,

sudah tidak ada byebye fever disana. handuk menyampir di pundak dengan kerlip yang memenuhi wajahnya.

“kamu udah sembuh, sayang?”

nanon tersenyum menatapnya sambil mengangguk antusias.

“iya tadi aku bangun langsung mandi, seger banget. kamu mandi dulu sana, aku mau masak.”

langkah pawat dibawa mendekat, tangannya terangkat menusuk pelan pipi nanon.

“pantes glowing banget nih pacar aku,”

mendapat pujian seperti itu mana mungkin pipi dan telinga merahnya dapat ditutupi. nanon mendengus,

“cie merah pipinya, gemes banget sih sayangnya pawat ini,” pawat mencubit pelan pipi nanon. kemudian beberapa kali dia curi kecupan basah dengan sayang.

“apaan sih lu anjing. mandi sana atau gausah makan masakan gue nanti.” pawat tertawa mendapat tatapan tajam dari nanon.

“iya sayang, galak banget sih lu.”

pawat itu selalu saja bisa membuat nanon lemas.

senyumnya masih melekat bahkan sampai nanon menyelesaikan agenda potong buahnya dan lanjut untuk membuat ayam curry. sementara pawat masih di kamar mandi.

curry ini makanan yang mereka pesan saat date pertama di restoran yang tidak seberapa.

oh, jelas date pertama karena tidak ada date lagi setelahnya.

“masak apa sayang?”

nanon terlonjak ketika sebuah tangan melingkar manis dipinggangnya. tengkuknya dikecup basah.

“curry katsu.”

pawat melepas pelukannya dan beralih mengambil handuk yang masih tersampir di pundak nanon.

“aku taroh ini di kamar mandi ya.”

“iya paw.”

“paw, nanti kamu ambil nasinya ya buat didinginin bentar.” teriak nanon saat pawat sudah berjalan menjauhi dapur,

nanon itu bisa masak. namun dia jarang melakukannya. apalagi hampir setahun kebelakang dia hanya menyentuh dapur untuk masak indomie. jadi entah akan seperti apa rasanya nanti. semoga saja keduanya tidak keracunan.

nanon menuang hasil olahannya di piring, dia tata seapik mungkin. dibawanya curry katsu ke meja makan. oh, dan pawat disana sudah duduk manis dengan sepiring nasi putih dan lilin aroma terapi dihadapannya.

“kamu mau ngepet?”

“SEMBARANGAN.”

nanon terkekeh sembari mengambil duduk disebelah pawat. diambilnya beberapa katsu lalu ia taruh diatas nasi hangat. kuah currynya dia tuang perlahan diatas katsu.

“nasi aku mana paw?”

“kita makan sepiring berdua sayang, biar romantis.”

“ini malah kaya gue yang gapunya piring sih daripada romantis.”

“non—”

nanon kembali tertawa. tangannya mengelus lengan pawat.

pawat memotong katsunya perlahan, menyuapkan masakan nanon ke dalam mulutnya. enak. enak banget

mungkin kalau detik ini nanon membuka restoran, curry katsunya akan habis dalam hitungan detik. tapi pawat tidak akan membiarkan itu terjadi. karena yang boleh memakan masakan nanon hanya dia.

pawat dan segala pikiran posesifnya. dengan kepala yang dia geleng-gelengkan perlahan dan mata yang berbinar. tidak sadarkah dia sangat menggemaskan? nanon tersenyum menatap pawat yang ada di dunianya sendiri dengan curry katsu masakannya. masakannya

dipikir-pikir, date seperti apa yang dia inginkan? keliling dunia berdua dengan pawat? makan di restoran mahal bersama? menyusuri pasir pantai di senja hari? atau menginap di hotel bintang lima?

selama ini nanon selalu melihat sekitarnya. melihat bagaimana orang-orang membangun bahagia bersama pasangan di tempat-tempat yang bahkan belum pernah nanon dan pawat kunjungi sebagai pasangan. tapi, apakah itu harus?

nyatanya dengan melihat pawat berbinar senang menyantap masakannya di meja makan apartemen dengan lilin aroma terapi ala kadarnya saja sudah bisa membuat nanon bahagia. apa ini bisa disebut date?

tangan pawat yang memegang sendok menggantung diudara saat nanon menahan tangannya. pawat mengerjap, lalu menoleh mendapati kekasihnya menatapnya dengan lembut dan senyum itu, oh God pawat mau melebur.

“i love you.” kata nanon sambil mengambil alih sendok yang pawat pegang dan menyuapinya dengan sayang. pawat tersenyum, menerima dengan senang hati.

“i love you too.” balas pawat dengan mulut penuh. nanon tertawa kecil. tangannya menyentuh pipi pawat, dielus pelan.

“every moments with you always feels like our first date. we dont have to always go out like others. we can make our special date wherever or whenever we want, as long as im with you and as long as you are with me. are you agree with me?”

pawat mengangguk cepat. kemudian memajukan wajahnya, mencuri kecupan di bibir nanon,

“as long as we are together.”



seratus, dua ratus, tiga ratus, empat ratus, lima ratus, enam ratu, tujuh ratus, delapan ratus, sembilan ratus—

“hai.”

—sampai mana hitungannya tadi?

bibirnya berhenti bergumam. akhirnya.

setengah jam lalu, vasco memberi kabar bahwa motornya mati. mengharuskan dia menaruh kendaraannya di bengkel.

vasco telat atas janjinya sendiri.

dan canva tidak mau tau akan hal itu

“halzenut, huh? masih sama, ya.”

can't we just focus now?”

sosok itu mengangguk, mengambil tempat dihadapan canva. sedang raut tidak bersahabat canva menyapa netra vasco yang masih tersenyum tanpa dosa.

tidak ada basa-basi dalam pertemuan kali ini. nyatanya, jika kemarin takdir tidak mempertemukan mereka, canva tidak mau berurusan kembali dengan vasco.

“gue mau lo jadi fotografer pribadi—”

“gue gak setuju!” usulan vasco ditolak mentah-mentah. padahal vasco pun belum menyelesaikan ucapannya.

“va—”

“kontrak yang gue buat emang bebas, tapi bukan berarti lo dengan seenaknya jadiin gue fotografer pribadi lo.”

“dengerin gue dulu, canva”

oh. canva benci mendengar vasco menggemakan namanya.

“gak bisa! gue juga mau explore bakat gue. mana bisa stuck di satu orang terus.”

“ya emang enggak stuck, va. makanya dengerin dulu.”

hazelnutnya ia sesap kasar. tatapnya datar dengan raut—bisa-gak-gausah-banyak-bacot—

vasco menghela nafas pelan.

“gue mau jadiin lo fotografer pribadi. tapi lo juga boleh kerja sama orang lain kalo misal emang ada kerjaan lain. tapi selebihnya, waktu gue butuh lo, lo harus ikut sama gue.”

sengaja ia gantung begitu saja. beraninya dia

jadi, kesimpulannya adalah vasco ingin tetap berkontak dengannya. iya, tidak salah lagi.

tapi, kenapa?

masih kurang kah dua tahun menyakitinya?

“ga ada permintaan lain?”

suara canva bergetar. vasco tau, dia mungkin kelewat batas. tapi dia juga tau, jika dia melewatkannya tidak akan ada lagi kesempatan seperti ini.

all terms and conditions are determined by you with my consent. please, va.”

lari, lari, lari, lari, lari

can you give me some more time?”

harusnya canva lari. tapi ia kalah pada rindu yang menggerogoti.


setelah mendapat pesan dari salah satu teman kelasnya, Nanza menghembuskan nafas kasar. belum sembuh lukanya yang kemarin kini harus dihadapkan dengan fakta yang membuat kepalanya berdenyut kembali. temannya itu ternyata menjiplak ide Nanza, mengharuskan keduanya mengulang tugas yang sudah diselesaikan minggu lalu.

akhirnya dengan gontai Nanza mengambil selembar uang dari dompetnya dan berjalan keluar—berniat membeli seblak.

entah, tapi Nanza merupakan tipe orang yang pusingnya akan hilang jika makan sesuatu yang pedas.

langkahnya dibawa pelan menuju warung seblak yang letaknya tak jauh, hanya beda 5 rumah dari kostnya.

pesanannya tidak lama. hanya menunggu 2 antrean. cukup ramai warung seblak untuk hari jumat petang ini.

kebanyakan orang memilih untuk makan ditempat daripada dibungkus, seperti Nanta. katanya kalau dibungkus kerupuknya jadi melar. Nanza tidak peduli, toh rasanya sama. justru kalau makan di kamar dia bisa menikmati tiap resapan bumbunya sambil menonton film atau melakukan kegiatan lainnya. tidak seperti makan ditempat yang terasa diburu waktu.

pun ditempat ramai sepasang mata yang mengawasinya telak tertangkap ekor matanya. tidak bisakah satu hari saja berlalu dengan damai?

Nanza bukan artis, selebgram, atau apapun itu yang terbiasa dengan atensi. dia hanya mahasiswa biasa yang sialnya mendapat perhatian sejak wajahnya tersebar di akun ugmmganteng.

sumpah, kalau bisa dia mau hidupnya yang dulu kembali.

manusia sekarang tak lebih jahat dan menakutkan dari makhluk tak kasat mata.


“emang babi orang-orang. gue masih inget perlakuan menjijikan mereka ke lo yang sampai ngechat ngirim pap bugil. kenapa sih lo gamau lapor polisi, Nan? ini tuh udah keterlaluan. bahkan lo sampai diikutin masuk kost anjing creepy parah.”

tidak sekali dua kali Nancy mengomel. Nanza sih mau-mau saja melapor pada polisi. namun masalahnya, apa polisi mau turun tangan? dia tidak mau kasusnya hanya akan dilempar-lempar begitu saja.

“lapor ke fakultas dulu apa biar mereka yang nindak lanjuti?”

“nanti gue pikir lagi deh. gue lagi gabisa cerita tentang ini ke publik. biarin gue tenangin diri dulu, ya?”

Nancy menggeram lalu merebahkan tubuhnya di kasur Nanta.

pemilik kamar sedari tadi hanya diam mendengarkan sambil memakan samyang. Nanta tau, semakin dipaksa Nanza akan semakin berontak. maka kali ini, dia hanya diam memperhatikan.

“lo jadi pindah kost?” pertanyaan Nanta membuat Nancy menoleh cepat.

“lo berdua mau pindah kost?”

“bukan gue, tapi Nanza. gue masih ada waktu 3 bulan soalnya.”

“iya, cepat atau lambat alamat kost ini pasti bakal kesebar. gue takut kalo ada yang nekat nerobos.”

“bagus, emang lebih baik pindah. udah nemu kostnya?”

“belum nemu yang cocok, tapi kayanya gue bakal nyari apartemen aja deh. menurut kalian gimana?”

“apartemen oke kok, lebih privat juga kan.”

“cari apart yang keamanannya oke, Nan.”

hari ini hari sabtu. mendung.

entah akan sampai kapan dirinya mempunyai stalkers. apa sampai lulus?

demi apapun Nanza hanya ingin berkuliah dengan tenang seperti teman-temannya yang lain. lagian, bukan salahnya juga kan memiliki wajah menawan bak aphrodite.

ditengah heningnya kamar Nantahala, jeritan Nancy membuat dua manusia lain menoleh, turut memberi atensi.

“GUE ADA IDE!!!”

“ide? ide apa?”

“gue kirim fotonya ke grup.”

foto? foto apa?

“namanya Oase.”

hari ini hari sabtu. mendung. tapi, mungkin tidak semendung itu?

“ini dia Usai dari Tiara Andini yang menjadi lagu terakhir sekaligus penutup perjumpaan kita di selasa malam yang cerah. gue pamit undur diri, selamat beristirahat dan enjoy!!!”

selanjutnya musik terputar.

Oase melepas headphone dan mengusap wajahnya kasar. tubuhnya disandarkan pada sandaran kursi, telinganya atentif mendengarkan lagu request terakhir.

sudah 6 bulan Oase bekerja di 121.8 fm dan dirinya selalu menjadi Oase. oh, tidak, pekerjaannya ada 3—atau 4—, dan disana dia selalu menjadi Oase.

makanya belakangan ini jika ayahnya bertanya, “kapan kamu mau kerja menggantikan ayah”, jawabannnya tidak tahu. karena sepertinya menjadi produser bukan bagian dari jiwanya.

“Oase.”

mendengarnya segera saja Oase bangkit dan menghampiri pemilik radio—Pak Tara atau yang kini akrab Oase panggil papa (sesuai permintaan beliau).

“selamat buat Eden karena malam ini adalah pertama kali Eden dapet listeners sebanyak ini. eh, seumur Nanshaka didirikan emang malem ini sih listeners terbanyaknya. Papa bangga banget sama kamu, makasih ya udah mau bertahan disini, Se.”

Oase tersenyum menyambut senyum Pak Tara. Listenersnya tadi memang mencapai 150 ribuan dimana paling mentok biasanya hanya mencapai 80 ribu. ini memang sebuah pencapaian.

“Oase juga ga nyangka bisa dapet sebanyak itu tadi.”

“nah sebagai perayaan, papa bakal adain congratulations party, kamu bisanya kapan?”

“hmmm, karena besok rabu Oase udah ada jadwal ngegig, gimana kalau hari sabtu aja di Nawasena?”

“Nawasena cafe kamu itu? tapi nanti kamu stay duduk sama tim kan bukan malah join di dapurnya?”

“tenang aja kan ada Jian sama Romeo pah, biar Oase suruh mereka berdua aja.”

“oke deh, nanti info lebih lanjutnya kamu koordinasi ya. kalo gitu papa mau pulang dulu, kamu pulang kan?”

“pulang lah pah, yakali nginep”

“ya kali aja kaya waktu itu.”

“itu kan kekunci dari luar pahh!!”

“yaudah buru balik, papa duluan. titidije, Se!”

Oase berdeham dia masih berdiri di sisi pintu sampai Pak Tara hilang ditelan tikungan. Dirinya kembali masuk dalam ruang on-air lalu mengambil barang-barangnya.

“Se, balik lu?”

Oase menoleh mendapati seniornya sedang membereskan perlengkapan.

“yoi bang, ini mo balik. gue duluan bang”

“tiati lu.”

coat dan tasnya sudah terpasang apik. Oase segera meninggalkan Nanshaka.

Nanshaka 121.8 FM sudah berdiri sejak dua belas tahun. dulu ketika Oase kecil, dia selalu mendengarkan 121.8 fm karena disana ada seorang anak kecil yang suka bercerita tentang harinya. menurut Oase ini lucu, langka, dan unik. makanya dia bercita-cita kerja disini agar bisa melakukan hal yang sama—bercerita dan bertemu dengan idolanya.

namun sejak Oase memasuki dunia perkuliahan anak itu tidak lagi terdengar. seperti ditelan bumi, menghilang begitu saja. cita-cita Oase pun pupus begitu saja. dia tidak mau kerja disini sampai dia bertemu Pak Tara pada suatu okasi.

pikirnya mungkin ini bisa menjadi jembatan. namun selama 6 bulan bekerja dia bahkan terlalu enjoy sampai lupa menanyakan hal krusial ini pada pemiliknya.

mungkin lain kali, kesempatannya masih banyak, semoga. tapi kalaupun kesempatannya masih banyak, apakah Oase dapat bertemu bintang kecilnya?



selama kurang lebih satu tahun mengenal pawat, rasanya nanon tidak kenal lagi dengan sedih.

ya, sebenarnya nanon juga jarang sedih sih. tapi apa ya, pernah ga sih kalian yang udah jarang sedih jadi bener-bener ga sedih lagi? bukan sedih yang sedih tapi sedih karena banyak pikiran dan gabisa sharing apa yang dipikirkan ke orang lain.

temannya memang banyak yang satu frekuensi. tapi yang bisa mengerti nanon? tidak ada yang sebaik pawat.

untuk berteman awalnya memang lelah karena respon yang didapat tidak semenyenangkan yang dia kira.

kaya semisal nanon sebagai anak ekstrovert dengan energi yang harus dikeluarkan segitu banyaknya harus berhadapan dengan pawat seorang introvert yang bodo amatnya minta ampun.

namun selalu ada harga untuk sebuah pengorbanan, kan?

nanon sendiri merupakan tipe orang yang akan memutuskan hubungan saat itu juga ketika tidak mendapat timbal balik yang saling menguntungkan. tapi ternyata presensi pawat cukup membuat nanon betah berlama-lama dengan yang namanya kimia.

hubungan mereka dimulai dari nanon yang dengan suka rela membantu pawat mempromosikan produk bajunya dan modus kecil nanon dengan mengajak belajar kimia—serta beberapa mata pelajaran lain—bersama.


pawat melingkarkan tangannya semakin erat ketika nanon menariknya lebih dekat.

“liat deh lampunya cantik ya, kak.”

“cantikan lo, sih.”

“iya, cantikan kakak.”

pawat mendengus malas sedangkan nanon hanya terkekeh.

menghabiskan malam bersama nanon bukan hal baru bagi pawat, namun dari awal rasanya tetap sama, hangat. hadirnya nanon hangat.

“non,” hidungnya dijatuhkan dipundak. dihirupnya dalam-dalam wangi yang selalu membuatnya candu.

“kak, anjir jangan gitu gue lagi nyetir. kalo jatoh salahin lo, ya!!” seperkian detik merinding, tangan nanon gemetar. membuat stir yang nanon kendalikan oleng.

hehe sorry, you smell so damn good, i cant handle.”

“bacot.” lirih nanon menggigit bibir bawahnya—menahan senyum.

“non, boleh tanya ga?”

“boleh, mau nanya apa kak?”

when did you realize your feelings?”

“kalau lo sendiri kapan?”

“yaelah kalo ditanya tuh jawab bukan balik nanya!”

“hahaha okee, jadi gue tuh sadar pas mau uas kelas 10 semester 1. bukan yang langsung 'oh gue suka sama kak pawat' tapi lebih ke interest dulu sih kaya 'gue pengen kenal lebih deket lagi sama lo. gue pengen tau lebih banyak tentang lo.' gitu sih.”

when? exactly? pas lo sadar lo punya interest.”

“hmmm, waktu lo ngajarin gue kimia buat uas. kan gue bego banget ya apalagi pas belajar gue banyak bercandanya, tapi lo sabar banget kak! dan gue kaya aaaarghhh gatau deh susah dijelasin, tapi lo ngerti kan perasaan yang kaya gituu,”

pawat diam, pikirannya berkelana baik ketika dia dan nanon menghabiskan waktu bersama di rumah nanon untuk belajar kimia hingga akhirnya nanon benar mendapat nilai 95 untuk pertama kalinya dalam uas.

“terus kapan rasa interest lo berubah jadi rasa... eumm suka?”

“cinta kali? gue cinta sama lo kapan ya, kak? gue juga gatau kapan tepatnya. intinya sejak itu tuh gue selalu naruh perhatian lebih ke lo, dan rasa itu makin lama makin gede sampai sekarang, hehehe. sorry dangdut banget.”

pawat tersenyum pipinya bersemu merah, untung cahaya temaram, helm, dan punggung nanon membantu menyembunyikannya. kalau tidak pasti dia sudah habis diledeki.

“lo sendiri kapan suka sama gue?”

“waktu perayaan ulang tahun sekolah, 15 November kemarin.”

“oh, wow jangan-jangan lo terpesona karena gue ganteng banget pas tanding futsal,” canda nanon.

“iya, kayaknya?”

ctak

pawat berdecak kala nanon menghentikan motornya secara mendadak. membuat suara pada helm yang berbenturan.

“serius? gue cuma bercanda padahal anjir.”

motornya kembali melaju dengan kecepatan konstan 30 km/h.

you were so attractive that day, when you guarded the goal and winked at me after catching the ball from the opponent.”

fokus nanon kembali terpecah. dia ingat! memori itu masih segar karena baru empat bulan yang lalu.

that's it, the way i fall in love with you.”

tangan kiri nanon segera didaratkan pada milik pawat yang melingkar manis dipinggangnya. digenggam. dielus. dibuat hangat.

“kak, boleh ga yang lain-lain dibahas nanti dulu? pengen pacaran sekarang.”

pawat tergelak, kepalanya ditempelkan dipundak nanon dengan nyaman. andai helm sialan ini tidak ada, sudah dipastikan pundak nanon penuh kecupan hangatnya.

“jadi sekarang maunya apa?”

“pacaran. mau ya, kak? kakak mau kan jadi pacar nanon yang super berisik ini?”

“lo sendiri mau ga pacaran sama gue yang kata orang cuek?”

“mau, mauu!! gue mau pacaran sama kak pawat yang kata orang cuek!!”

“hmm, okee, so kita—”

“lo belum jawab gue kak. lo mau ga pacaran sama nanon yang super berisik?”

“mau nanon, mau. ga ada alasan buat gue nolak”

“kalau ada alasan buat nolak, emang mau?”

“engga sih, ga rela liat lo sama yang lain.”

same kak, same.”


so, how it feels? having someone like me?

your hand, touching mine. this is how galaxies collide. — Sanober Khan



peraturan sekolah tentang pengacakan tempat duduk siswa dengan kelas tertentu saat ujian bukan lagi menjadi hal baru bagi pawat.

berdasarkan pengalamannya sejak kelas 7, partner duduknya selalu ada dalam frekuensi yang sama. tidak terlalu berisik, namun tidak bisa disebut pendiam. sehingga ritmenya masih dapat pawat ikuti.

entah dibilang nasib sial atau tidak, namun segalanya berubah di kelas 11. saat untuk pertama kalinya pawat mengenal nanon. adik kelas yang pantang mundur mengajaknya bicara walau sudah dicueki sedemikian rupa.

nanon terlalu berisik untuk pawat yang tenang.

“halo kak, salken ya, gue nanon.

“gue boleh panggil lo pawat ga sih? soalnya kalo panggil ohm tuh kesannya gue lagi ngobrol sama om-om”

“psstt, kak tolong duduknya kedepan dikit boleh? gue mau nanya jawaban ke chimon.”

“pagi kak paw, udah sarapan belum? tadi gue cuma makan roti soalnya dirumah ga ada orang dan gue males buat beli. semalem gue juga lupa belajar jadi tadi pagi gue belajar dulu, ya sebentar sih, tapi materinya masuk hehe.”

“kak mau tukeran medsos ga?”

“kak paw, gue mau pura-pura ambil penghapus. lo tolong tutupin dong.”

“kak pawat, tulis nomornya dong disini, nanti labelnya langsung gue taroh saku biar ga lupa.”

“psstt, tau soal nomor 5 ga kak? gue pusing banget.”

“kenapa sih lo diem banget gini? padahal di chat asik, ya walaupun agak dingin sih, tapi siapa yang peduli?”

“gue nemu akun instagram lo, boleh follow ga? tapi harus follback!”

dalam satu minggu masa ujian, siapa sangka kini hubungannya dengan nanon malah bertambah erat. seperti dua kutub magnet yang saling tarik-menarik.

“lagi nyari studio foto? buat apa kak?”

“gue buat suatu produk, tapi masih bingung gimana promosiinnya.”

“promosiin aja di instagram.”

“masalahnya gue gapunya skill foto buat bikin produk itu menarik.”

“emmm, lo mau ga hasil fotonya kaya di studio tapi lowbudget?”

“gimana caranya?”

“ke rumah gue. rumah gue udah aesthetic mirip studio foto. dijamin lo ga bakal nyesel berpartner sama gue! besok ya, jam 8!”

“heh, gue belum bilang iya!!”


poetry beauty romance love these are what we stay alive for


presensi pawat dihadapan nanon bagaikan sebuah fiksi nyata dalam imaji yang akhir-akhir ini sering menghantui. alih-alih merasa senang, nanon malah diam menatap sendu pria dihadapannya. badannya mendadak kaku saat pawat mendekat.

fragrances cedarwood milik sosok yang dia puja sepenuh jiwa menyeruak masuk memenuhi olfaktorinya. tidak dapat dipungkiri bahwa lagi-lagi ohm pawat membawa efek besar bagi hidupnya.

nanon membuang pandangan asal, yang penting ia tidak bertatapan langsung dengan binar gelapnya.

takut jatuh kembali dalam jurang ketidakpastian.

padahal yang selalu tidak pasti adalah kesempatan yang terbuang secara cuma-cuma sejak beberapa tahun lalu.

bukan salah nanon, pawat, atau takdir yang mengikat keduanya tidak dengan simpul mati. bukan pula salah ratusan kertas, origami, serta hadiah kecil yang turut hadir dalam memeriahkan kehidupan dua remaja bodoh dimabuk cinta.

suratnya selalu sampai. pengirim berlabel anonymous yang ternyata adalah nanon membuat gunung es dihati nanon lebur tak tersisa.

menurutmu apa yang lebih lucu dibanding pawat yang salah menebak? benar, pawat yang mengencani sahabat nanon.

kini bukan masalah lagi, mungkin. karena setelah mengetahui segala perjuangannya tidak terlihat, lebih baik hilang sekalian dalam radar pembuat sakit hati.

oh, nanon tidak menyalahkan pawat atau sahabatnya.

tahu betul bahwa manusia tidak bisa menetapkan kepada siapa hatinya berlabuh.

segala bentuk imaji romantis dalam bayangan nanon hilang seketika. tubuhnya lemas dan panas.

kejadian itu sudah lama, lima tahun lalu. dan nanon harus dihadapkan kembali pada hadirnya patah hati pertamanya, dengan segala rasa deja vu yang kembali menguasai tubuhnya, lemas dan panas.


menghadiri reuni sma memang bukan pilihan tepat. lalu apa pilihannya selain tidak datang alias menghindar? dia pikir reaksinya tidak akan selebay ini. nyatanya memang selebay ini

memang kenapa? apakah nanon masih cinta? coba tanyakan pada kupu-kupu di perut nanon yang berterbangan ketika matanya memanas membaca surat tulis tangan dari pawat.

surat yang rencananya akan dititipkan lewat sahabat nanon just in case nanon tidak hadir.

nyatanya nanon hadir, membaca surat dari pawat. dengan duduk di taman berdua ditemani sang penulis surat.

banyak yang ditulis. banyak yang diceritakan. mulai dari bagaimana pawat putus ketika menyadari beberapa bulan menjalin kasih tidak menemuka sosok 'anonymous' dalam diri sahabat nanon. lalu betapa bingungnya pawat ketika nanon tiba-tiba menjauh dan tidak memberi kabar dimana studinya berlanjut. sampai bulan lalu pawat yang tidak sengaja melihat nanon dan bodohnya, oh, dia mengakui kalau dirinya bodoh pawat hanya diam menatap dirinya pergi menjauh.

selesai membaca, hanya satu yang terlintas dikepalanya. kenapa juga dia harus tau hal-hal semacam ini?

“kenapa gue?”

“maksudnya gimana non?”

“iya, disini, tulisan lo semua, tentang gue. kenapa gue?”

poetry beauty romance love these are what we stay alive for

“kenapa emangnya?”

adalah salah satu orang yang paling nanon benci, ketika ditanya malah balik nanya.

“lucu gimana lo empat bulan pacaran terus putus ketika lo ga menemukan sosok 'sender' yang lo cari, kemudian itu terbukti ketika lo kaget sendiri kalau mantan pacar lo gatau john keating. selanjutnya lo kehilangan sosok gue sebagai temen lo, dan lo mulai sadar kalau 'the sender' is nanon korapat, temen lo yang lain which is sahabat mantan pacar lo tepat seminggu setelah kelulusan.

pawat, yang gue gatau adalah kenapa lo harus ngejelasin ini semua ke gue?”

hening.

hanya suara tetesan air sehabis hujan yang terdengar. keduanya masih diam dalam tatap. atau hanya pawat yang menatap nanon, karena demi apapun nanon juga tidak tau kenapa menghindari kontak mata adalah hal yang paling dia butuhkan saat ini.

“karena lo berhak tau. dan bukannya lo emang mau tau?”

“sejak kapan gue mau tau?”

“oke, anggap lo gak mau tau. tapi apa surat yang gue kasih cukup melegakan buat lo? melegakan karena faktanya selama ini gue masih nyari lo, nanon.”

ya, mungkin.

“paw, gue gak tau mau lo apa.”

“lo tau mau gue apa.”

dan kini tatapan keduanya benar terkunci satu sama lain.

binar yang selalu dia rindukan. berapa kesempatan lagi untuk menatapnya lebih lama?

“non, mau tau sesuatu?”

alisnya terangkat otomatis.

dalam film romantis biasanya akan ada adegan menutup mata dan kejutan didapatkan sang pemeran utama. tapi ini bukan film dan nanon cukup waras untuk membedakan kedua hal yang tidak akan dia dapatkan.

nanon dan romantis? mau muntah rasanya mendengar kata tersebut

mengikuti jejak teman lamanya, masuk kembali nanon ke dalam bmw hitam. apa? kenapa pawat membanyak ke mobil? tidak cukupkah taman ini sebagai tempat pelarian acara reuni mereka?

“buka dashboard.”

setengah penasaran, setengah gelisah nanon membuka dashboard. mempertemukan netranya dengan box berwarna biru disana.

ekor matanya melirik pemilik kotak yang hanya mengangguk sambil tersenyum, mempersilahkan nanon mengambilnya.

tumpukan kertas lipat dengan campuran bau cedarwood, vanilla, dan sedikit floral memenuhi olfaktorinya.

bukan kertas lipat secara harfiah, namun kertas lipat, kertas surat yang dilipat. tinggal dikirimkan namun sepertinya tidak pernah sampai pada penerima.

tapi kenapa?

“sejak lulus gue selalu kepikiran lo. akhirnya karena galau berat gue nulis. semua yang gue rasain gue tulis disitu. sampai gue lulus, semua surat itu masih rapi di kotak, sisanya ada di rumah. kotaknya cuma beda sekat sama surat-surat yang selalu lo kasih. tiap bulan gue kasih kapur barus biar gak berjamur, gue juga selalu kasih wangi-wangian yang ngingetin kita. gue desperate banget non. lo seakan nutup semua koneksi kita. gue tau lo sakit hati waktu itu. gue minta maaf banget karena udah bodoh.”

hidup dalam film romantic drama bukan keinginan nanon. sumpah.

“nanon, telat gak kalau gue minta waktu seumur hidup buat bareng sama lo? buat jadi teman hidup lo?”

iya.

harusnya.

tapi kenapa rasanya sesak mendengar bahwa pawat menunggunya, selalu menunggunya. dan dadanya sesak.

untuk alasan lain, dirinya ingin segera direngkuh oleh pemilik cinta pertama.

“gue bisa kok nunggu selama apapun kalau lo butuh waktu. gue gak keduluan sama orang lain kan?”

batinnya memaki. kenapa sebegitu mudahnya pawat confess jika tidak tau apa status nanon sekarang? bagaimana kalau dia sudah ada komitmen?

geez, untungnya tidak. dan selalu tidak.

seperti yang pawat bilang, lo tau jawabannya. iya. seperti itu.

nanon memasukkan kembali kotak biru tersebut ke dalam dashboard dan segera masuk dalam rengkuh belahan jiwanya.

“gue juga selalu nunggu lo.”

suaranya teredam dalam dada, namun tak apa karena senyum pawat merekah sedetik kemudian.

sekali lagi, nanon tidak ingin hidup dalam genre romantic drama. tapi sore ini setelah hujan dan kaburnya dalam reuni, untuk adegan saling berpelukan di mobil dengan air mata yang perlahan saling berlomba turun dan ucapan i love you tidak secara literal adalah pengecualian.

poetry beauty romance love these are what we stay alive for

nanon lebih dulu melepas pelukan. wajahnya memerah akibat tangisnya? rindu yang tak terbendung? cinta yang selalu menunggunya? apapun itu, alasanya jelas bahagia.

“dan untuk pertama kalinya gue liat ohm pawat nangis.”

“kenapa? gue selalu nangisin lo kalo lagi kangennya pake banget, for your information.”

“too much information.”

pawat hanya terkekeh. kenapa kesempatannya baru ada? padahal bahagianya sesimpel melihat nanon menatapnya dengan cinta. bodoh.

beruntung waktu lima tahun dan lebihnya tidak terbuang sia-sia karena nanon juga masih selalu menunggunya. atau nanon yang harusnya bersyukur? oh, keduanya harus bersyukur karena mungkin, kali ini takdir telah mendapat bisikan dari semesta bahwa dua insan bodoh ini kini harus diikat dengan simpul mati.

nanon tersenyum manis. tangannya terangkat menghapus jejak air mata pawat. masa ini tidak nanon kira akan tiba. padahal niatnya sudah melajang seumur hidup.

senyumnya mengembang lebih manis sampai matanya menyipit. sungguh tidak pernah dia rasakan jatuh cinta senikmat ini. rasanya benar seperti pulang. hangat menyeruak dalam dadanya.

nanon sedikit menaikkan tubuhnya, mengecup kedua kelopak pawat. alasan dia jatuh cinta sebegitu dalamnya pada cinta dan patah hati pertamanya.

matanya kembali bermuara dalam gelapnya binar pawat.

binar yang selalu dia rindukan. seluruh kesempatan dia miliki, karena kini nanon menetap didalam untuk selamanya.



baru sehari berada di vila milik novan suasana sudah tidak kondusif. perang dingin antara caka dan lavi, serta cek cok yang dilakukan caka dan novan membuat skala dan zenata mengelus dada.

niatnya pergi liburan untuk menjernihkan pikiran malah menjebak mereka pada situasi tak terduga.

nyatanya caka yang menyebabkan baju novan basah tempo hari di toilet tempat skala futsal membuat keduanya berakhir ribut.

kemudian entah hubungan apa yang terjadi di masa lalu, caka selalu melirik sinis lavi.

ini jelas bukan liburan.

“kal, sumpah ngajak sodara lo adalah pilihan yang paling jelek.”

“sorry gue gatau kalau bakal ada kejadian kaya gini zen.”

keduanya diam di tepi kolam. sejak mereka tiba dan perang antara tiga orang dimulai, suasana menjadi panas. masing-masing dari mereka memilih untuk mengurung diri di kamar, mungkin untuk menetralkan emosi. sedang skala dan zenata hanya duduk diam di tepi kolam, memandang taman bunga didepan.

“lo jadinya ngelurusin semua ke jevais kapan? sorry ya ini kan acara lo, malah gue yang bikin kacau.”

“idih apaan sih bukan lo kali. sepupu lo noh freak banget. caper.” skala hanya bergumam maaf.

“nanti malem gue mau ngomong ke jevais, kal.”

“boleh sih. mau ngobrol dimana?”

“disini aja deh. kalian bikin barbeque, gue ngomong sama jevais.”

skala memutar bola matanya sambil berdecak malas.

“ini mah lo nya aja mau terima mateng.” zenata nyengir tanpa rasa bersalah.

“iya, nanti gue sama yang lain nyibukkin diri sama daging, lo ngomong yang bener sama jevais. pokoknya malem ini harus jadi!”

“iya sayang muachh”

kali pertama bagi skala menginap bukan di rumah zenata. siapa sangka bahwa tahun ini skala memiliki teman baru dari sekolah lain, bahkan menjadi dekat, sangat dekat.

skala bukan tipe teman pemilih. dia berteman dengan siapa saja. banyak yang mengenalinya entah dari klub futsal, tangan ajaibnya yang membuat segala rasa makanan menjadi sangat enak, atau bahkan aktivitas membolosnya yang beberapa kali dia lakukan dengan zenata. temannya banyak, yang menjadi tempat pulang hanya satu, zenata.

maminya mungkin frustasi atas skala yang hanya memiliki zenata, namun mau bagaimana lagi kalau dari sekian banyak manusia tidak ada yang cocok dengan kepribadiannya. entah kepribadian seperti apa yang skala punya, dia juga tidak memahaminya.

“skala, nih dagingnya gue ambilin lagi.”

skala menoleh kemudian mengangguk pelan, mengambil sebungkus daging yang sudah dibeli tadi. kembali pada fokusnya dalam memanggang, mantanya sesekali melirik pada sosok yang menjauh memunggunginya.

di sana berdiri dua teman barunya yang sedang sibuk menghias tatanan meja untuk makan malam nanti. sesekali salah satu dari keduanya mondar-mandir untuk memastikan layar tancap terpasang dengan sempurna.

“ngapain diliatin terus? suka lo?”

kepalanya mendongak lalu turun secara otomatis mengikuti caka yang kini duduk disamping skala.

“lo belum baikan?”

“udah, cuma masih agak sensi aja liat mukanya.”

“kenapa sih, caka? bukannya masalahnya udah clear?”

“udah, waktu itu gue juga udah minta maaf karena ga sengaja nyemprot bajunya. dia juga udah oke. tapi gue gatau kenapa tadi teriak 'OH JADI ELO YANG NYEMPROT GUE' didepan muka gue. gimana gue gak kesel. ditambah fakta kalau dia temennya lavi binar aksara, makin gedeg gue.”

ah, masalah itu, skala juga belum tau apa akar masalahnya

“lo... kok bisa kenal lavi?”

gerakan tangan caka pada daging yang sedang dia olesi dengan bumbu terhenti. atensinya ditaruh penuh pada saudaranya.

malam ini, skala mohon untuk semua permasalahan antara masing-masing kepala yang egonya masih dan selalu tinggi ini cepat selesai.


tag. mention of divorce, mention of broken family, dad&baby things, lot of kisses


apa pencapaian terbesarmu dalam hidup? mendapat peringkat di kelas? pintar dalam bidang matematika? sukses menjadi dokter bedah? bisa mengikuti program pertukaran pelajar?

atau sesimpel memiliki tempat pulang adalah pencapaian terbesar, terkeren, terhebat, tersegalanya milik nanon—yang bahkan sejujurnya tidak bisa dideskripsikan menggunakan kata.

kesalnya, sedihnya, marahnya, kecewanya, bahagianya, dan seluruh emosi yang jiwa raganya miliki, tumpah ruah dalam rumahnya. dan nanon, tidak bisa tidak bersyukur atas presensi rumah sebagai tempat dia pulang.

seperti hari ini, kembali orang tuanya mengunjungi rumah hanya untuk memberi kabar, bahwa libur musim panas mereka gunakan untuk meeting di luar negeri, lagi.

tidak apa, nanon sudah cukup dewasa untuk memahami segala bualan yang orang tuanya beri.

umurnya 21 tahun beberapa bulan lalu, tapi kejutan tidak pernah surut hadir dalam hidupnya. entah mengetahui ibunya yang hamil, atau orang tuanya yang berniat pisah. nanon tidak mau tau, dan tidak peduli.

kakinya diselonjorkan pada karpet bulu. mulutnya penuh dengan dot berisi susu vanila. kebiasaan jika sedang sedih.

ponselnya menyala, menampilkan ruang panggilan dari sugarglider yang sudah berjalan selama limabelas menit.

matanya fokus pada anime, namun telinga dan mulutnya tak henti menaruh atensi pada suara di seberang.

“udahan nangisnya.”

nanon menggigit karet yang dia kulum dimulutnya.

sudah kok, dia sudah berhenti menangis sejak dering pertama ponselnya berbunyi. namun sesak didadanya tidak dapat dihindari.

“gue udah hampir sampai. bener gamau nitip?”

percakapan ini memang satu arah sedari tadi. nanon hanya diam, mendengarkan.

“sayang, tunggu aku pulang.”

selanjutnya nanon kembali meraung. botol susunya jatuh dalam genggam.

“eh nanon, sayang, tunggu sebentar lagi. nangisnya sama aku, oke? ssshhhh cup cup..”

suaranya panik namun menenangkan. jiwanya menghangat. jaraknya jauh, namun nanon merasakan rengkuhan dari jarak yang sekian kilometer.

nanon menekuk tubuhnya, menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan dan lutut. telinganya memerah. entah sudah berapa jam menangis, air matanya tak kunjung habis.

bohong jika nanon bilang dia tidak peduli. tapi lebih dari sedih, kecewa dan sakit hatinya tidak bisa dia sembunyikan. dua rasa itu, yang membuat dadanya bergejolak panas.

semakin dirasa, rengkuh khayal satu-satunya pemilik peluk terhangat semakin nyata. kepalanya terangkat saat pundaknya basah. dan dia pulang. akhirnya. setelah sekian lama menunggu. nanon kembali pulang.


tangisnya sudah reda. suara dari televisi dan kecupan-kecupan gemas memenuhi apartemen pawat.

nanon menyenderkan tubuhnya pada pawat sambil menjilati es krim yang sengaja disimpan sebagai persediaan.

beberapa kali tertawa, pipi bolongnya semakin dalam. dan kesempatan itu tidak disia-siakan pawat yang terus mencuri kecup kala senyum nanon merekah.

es krimnya habis. jari bekas lumeran es krim dia jilat. manis. nanon sangat suka.

“annoying.” komentar nanon. fokusnya ke televisi. membuat pawat mengikuti arah pandang nanon yang sedang menatap kesal korosensei.

“ini sedih loh.”

“tau.”

“kok annoying?”

“kita gaboleh sedih. kita harus selalu bahagia. mau lu sekarat pun, lu harus tetep bahagia!”

“nanon, kita manusia. semua emosi yang kita punya, itu valid.”

“sedih itu cuma punya orang yang miskin dan lemah! kita kaya, orangtua kita bisnisnya dimana-mana! tiap minggu lu dikirim banyak duit nyampe tiga digit anjing!!! kita gaboleh lemah, paw. kita orang kuat. ITU YANG ORANG TUA KITA TAU, YANG ORANG TUA KITA MAU!!!”

pawat diam. nanon kembali dalam fase breakdownnya. terlalu shock dibuat karena pagi tadi resmi, orang tuanya setuju untuk berpisah.

baru akan menenangkan sosok yang lebih kecil darinya. lumatan tak terduga jatuh pada bibirnya. dihisap. digigit. dicium. nanon yang melakukannya. sedang pawat hanya terbelalak kaget.

'cup'

sau kecupan terakhir mendarat manis.

nanon menjauhkan tubuhnya, kemudian tersenyum manis. gila

“bosen denger lo ceramah.” tubuhnya berpindah pada pangkuan pawat, membuat tangan pawat refleks memegang pinggang nanon untuk menjaga keseimbangan.

wajah nanon disembunyikan pada ceruk leher pawat. posisi nyaman mereka berdua. disana, nanon maupun pawat bisa saling bertukar wangi tubuh masing-masing. dan itu menenangkan.

gelenyar aneh muncul kala pawat mengelus pelan pinggangnya. wajahnya dijauhkan. matanya menatap pawat sayu. cium. dia ingin lagi. maka dengan gerak pelan, nanon kembali melumat bibir pawat.

tidak hanya nanon, pawat juga turut andil pada bagiannya. dia mengambil bilah atas nanon, dihisap seduktif. tangannya tidak henti mengelus pinggang nanon.

lumatan lembut berubah jadi kasar. pawat mendorong lidahnya kedalam mulut nanon. kedua lidah saling menarik, saliva menjadi satu.

pawat menekan kepala nanon agar semakin dekat dengannya. lagi dan lagi hisapan demi hisapan membuat nanon kewalahan. nanon menekan paha pawat ketika gigi pawat bertemu dengan bibirnya.

“ngghhh...”

desahan nanon mengakhiri kegiatan panas mereka. nanon menatap pawat sayu. tangannya yang lemas berada di pundak pawat. sedang milik pawat menangkup lembut wajahnya.

benang saliva terlihat jelas saat keduanya memberi jarak. pawat mengecup singkat bibir nanon sebelum akhirnya menjauh untuk memutus saliva keduanya.

“feeling better?”

tidak. jawaban sejujurnya, nanon ingin pawat merengkuhnya lebih dalam, lebih lama. namun malu juga untuk mengatakannya.

maka nanon mengangguk pelan. bibir bawahnya dia gigit, menyembunyikan rasa kecewa. seumur hidup nanon menghabiskan waktu dengan pawat, malam ini adalah malam yang paling aneh. karena dirinya sangat haus akan sentuhan pawat. dia ingin tenggelam lebih jauh bersama sahabatnya.

“dont bite your lips.”

“lo tadi gigit bibir gue.”

“aku ga sengaja, sorry. sakit?” nanon menggeleng, tidak sakit sama sekali.

lalu pawat menarik dagu nanon, membuat gigitan pada bibirnya terlepas. tidak ada luka disana, tapi warna merahnya begitu jelas menyala.

“kenapa merah banget?”

“kamu emut lama tadi.” mendengar jawaban laki-laki yang sedang dipangkunya membuat pawat mencubit pipi gembil itu gemas

“elo yang duluan, gue cuma ngikutin.”

nanon tersenyum dibuatnya. dia ingin selamanya saja seperti ini. hanya berdua dengan pawat.

toh dari dulu memang hanya berdua kan?

“hmmm...”

lama bertahan pada posisi tersebut membuat nanon segera beranjak, bukannya tidak nyaman. namun takut pawat akan keberatan, nanon kan gendut. padahal sugesti yang kamu kasih makan non, kata pawat kalau dia mendengar apa isi kepalanya.

“mau kemana?”

“kamar mandi.”

nanon benar berada di kamar mandi dalam waktu yang cukup lama. limabelas menit dan hanya diam di closet.

kakinya dia tekuk, dipeluk. pikirannya melayang pada tiap-tiap waktu yang dia habiskan bersama pawat.

dia sangat menyayangi teman sehidup sematinya. sampai takutnya kembali. nanon takut pawat akan pergi. meski untuk saat ini hal itu mustahil, tapi masa depan tidak ada yang bisa memprediksi. kalau pawat pergi, dengan siapa dirinya nanti? orang tuanya sudah tidak ada. bertumpu pada chimon dan drake? bahkan hubungan nanon dengan dua sohibnya hanya sebatas sahabat, bukan sahabat seperti apa yang pawat dengan dirinya selalu lakukan.

cuma pawat, yang mengerti dirinya luar dalam. harusnya nanon tau, kalau pawat tidak akan mungkin meninggalkannya.

tapi sekali lagi, masa depan tidak ada yang tau.

ketukan pintu terdengar. mungkin sudah terlalu lama nanon berdiam didalam. suara panik dan khawatir diluar membuat nanon merasa bersalah.

dirinya beranjak lemas. hal yang ingin dia lakukan sekarang adalah mendekap pawat erat supaya pemilik peluk hangat itu tidak hilang.

namun harap hanya harap, karena setelah membuka pintu nanon malah berjalan menuju kasur, abai pada sosok didepan kamar mandi.

dia juga tidak tau kenapa refleknya jelek sekali. sudahlah, pawat juga mengikutinya dibelakang.

mengambil tempat untuk merebah disamping nanon, selimut dinaikan kala keduanya sudah sama-sama nyaman diatas kasur.

pawat memiringkan tubuhnya, menatap punggung nanon yang naik turun secara teratur. senyumnya mengembang miris. biasanya punggung itu tidak ada dihadapannya. melainkan wajah manis nanon lengkap dengan pipi bolong yang selalu pawat cium jika ada kesempatan.

nanon sedang sedih, pawat tau. dan dia ikut sedih melihat cintanya begitu rapuh.

“sayang.” panggil pawat, sengaja memilih panggilan yang pawat tau, nanon tidak akan bisa menolak.

sesuai dugaan, nanon berbalik. matanya menatap pawat atentif. ah, pawat suka sekali. mata itu yang membuat pawat jatuh berjuta kali.

“boleh peluk?” selalu.

pawat dan segala izinnya selalu membuat nanon merasa ada sesuatu yang mengocok perutnya.

pertanyaan yang diajukan oleh sosok yang sedang memilin kaosnya dibalas kekehan nanon. siapa nanon bisa menolak? namanya menyia-nyiakan kesempatan!

“aduh, manja banget lo tai.” tangannya direntangkan, seperkian detik pawat langsung masuk dalam dekap nanon.

ini yang nanon mau. saling berbagi hangat.

“you smell like ice cream.”

“gue habis makan es krim, paw.”

“mau minum susu?”

“udah tadi sore.”

pawat menjauhkan tubuhnya. ekspresi tengil diwajahnya membuat nanon mengernyit malas. kenapa lagi ini bocah

“gue tadi waktu pulang kaya wow banget liat ada dot, susunya tinggal dikit. biasanya nih, biasanya, yang namanya nanon gamau bikin susu sendiri bahkan sampe ditaroh dot sendiri. maunya gue yang bikinin. itu tadi lo kenapa ya kaya gitu? saking kangennya sama gue atau karena hal lain?”

iya, pengen minum susu tapi orang yang biasanya bikinin lagi keluar terus gue kangen nangis bareng lo. jadi, gue mutusin buat bikin susu sendiri, adalah jawaban yang sebenarnya. tapi namanya juga manusia, kadang apa yang dipikir berbanding terbalik dengan yang keluar dari mulut.

“enyah lo anjing.” dan pawat tertawa keras, senang sekali menjahili sahabatnya ini.

“gimana? masih sedih?” untuk kali ini, closure nanon dibutuhkan. dia tidak mau membiarkan nanon tidur dengan segala pikiran buruknya. bukannya istirahat untuk mendapat tenang malah mendapat beban pikiran.

diberi pertanyaan seperti ini rasanya nanon mau tertawa. bukan apa, masalahnya tiap hari juga dirinya sedih. bedanya mungkin ini puncaknya, mungkin. namun sedih yang menjadi makanan harian juga sudah tidak berpengaruh lagi.

oke, nanon sedih. namun yang membuatnya lebih ingin menangis adalah sosok dihadapannya yang sedang menatapnya lembut, dengan kedua tangannya bertengger dipinggangnya.

kalau bisa dia gaungkan pada semesta betapa berharganya pawat dalam hidupnya, sudah dia lakukan sejak lama.

“gak, cuma bingung.”

“kenapa? masih sesek dadanya?”

“kenapa gue sayang banget sama lo?”

setelah menyelesaikan kalimatnya, jitakan didapat nanon. pawat melepas peluknya dan memposisikan dirinya telentang menatap langit kamar.

“sakit bego!” tangan yang lebih kecil terangkat untuk mengelus bekas jitakan pawat.

“salah siapa, gue nanya apa dijawabnya apa.”

“bercanda elah, jangan serius-serius amat!”

“gue tuh khawatir!” sepertinya pawat memang sedang malas debat, dilihat dari judesnya jawaban pawat membuat nanon mengalah.

segera saja nanon mendekat dan mengecup cepat pipi pawat. lesung pipinya terlihat dalam, kala pawat menoleh dengan tatapan tanya.

“maaf deh, paw.” ala-ala nanon memanyunkan bibirnya dengan kedua tangan disatukan, meminta maaf.

namun jawaban pawat membuat nanon perlahan menurunkan tangannya. ekspresinya kini sulit dibaca, yang jelas nanon hanya diam dan beberapa kali mengerjap.

“emang gue kasih izin buat cium?”

melihat nanon yang tak memberi suara, pawat terkekeh dalam hati karena sahabatnya kini hanya diam dengan bingung.

“yaelah non, bercanda elah, jangan serius-serius amat!!”

mungkin jika berada pada situasi yang lebih baik, nanon akan memukul pawat. namun kali ini otaknya sedang kacau. pikirannya kalut, hatinya tak tenang.

“m-maaf. gue minta maaf udah asal nyium.”

hening melanda setelahnya. bingung juga mau bicara apa, lebih baik nanon tidur sekarang daripada pikirannya kesana-kemari tidak jelas.

baru akan membalikkan tubuhnya, rengkuhan didapat. pawat memeluknya. menenggelamkan dirinya dalam peluk terhangat.

“no, im sorry. maaf. nanon boleh kok cium pawat kapan aja, dimana aja. maaf, baby.”

dalam rengkuh, nanon diam. merasa bersalah, lagi. kenapa hari ini dirinya begitu annoying?

didorongnya pelan dada pawat, jarak dibuat setipis mungkin. hidung saling bersentuh, mata saling mengunci, dan detak yang tak dapat disembunyikan. rasanya nanon mau gila.

“pawat, enggak, maksud aku harusnya aku belajar dari kamu yang selalu izin buat ngelakuin segala hal. maaf ya, lain kali aku bakal izin dulu.” suara lembut nanon, bisa tidak pawat minta untuk selamanya?

“nanon, jiwa raga aku itu punya kamu. kamu berhak atas aku, aku rela.”

“gaboleh gitu, paw! gue kesel kalo lo gitu.”

“ya gimana baby? yaudah gini deh, setiap kamu mau cium, peluk, atau hal lain kamu izin dulu tapi gausah nunggu aku konfirmasi jawaban. karena apapun yang kamu mau, jawaban aku selalu 'boleh', kecuali kalo kamu minta aku pergi, aku gamau.”

detik itu juga air matanya kembali meluncur. pawatnya. pawatnya. nanon minta untuk selamanya.


pagi ini nanon kembali ke rumah setelah perdebatan panjang dengan pawat yang akhirnya megalah untuk membiarkan nanon pulang.

gerbang terbuka lebar, menampakkan fortuner yang sedang dipanaskan. mobil yang jarang bersemayam di rumah, sebentar lagi juga akan pergi.

kakinya dengan malas melangkah masuk ke rumah yang sejak duapuluh satu tahun dirinya hidup tidak ada yang berubah. interior, furnitur, semuanya sama. tidak ada barang yang dipindahkan, yang di dinding tetap disana, yang diatas meja masih utuh diatas meja. selama duapuluh satu tahun dirinya hidup.

nanon tersenyum tipis kala memori menariknya kembali pada masa balita. setiap kenangan tersimpan di tiap sudut rumah ini, dan nanon tidak mau menukarnya dengan apapun.

“nanon, sudah pulang?”

ah, dia.

netra keduanya bertemu seperkian detik sebelum orang yang dia benci mengalihkan pandang

“hmm iya.”

“kamu jadinya mau fleksibel aja ikut ibu atau papa? papa sih gak masalah.” ujarnya dengan tangan yang sibuk memasukkan berkas ke dalam tas kerja. tidak menatap nanon lagi barang sedetik.

“nanon mau disini aja. gak ikut salah satu dari kalian. lagian udah biasa kan kaya gitu?”

sosok diseberang sana menghentikan kegiatannya. rautnya datar memandang anaknya.

“terserah.”

setelahnya pria itu menjinjing tasnya dan berjalan meninggalkan ruang tamu. manik nanon mengikuti kemana pria yang menyebut dirinya sendiri papa.

jika situasi ini dihadapkan pada nanon remaja berusia tujuh belas tahun, dia pasti akan menangis dan mengurung diri. namun sekarang keadaan berubah. rasanya sudah mati rasa. semuanya habis tak bersisa.

“just... remember one thing, semua yang ditakdirkan buat nanon, bakal balik ke nanon, om.”

alisnya terangkat dengan senyum sinis melihat langkah tegap itu berhenti. tidak mau melihat wajah omnya—yang entah akan berbalik menatap nanon atau tidak dia juga tidak peduli. segera saja kakinya kembali melangkah menuju kamar.

tepat setelah menutup pintu kamar ponselnya berdering.

sugarglider is calling

senyumnya melebar hanya dengan membaca nama pemilik kontak.

“PAW!”

“anjing kaget. gimana sayangku? aku liat di zenly udah nyampe daritadi, kok ga ngabarin?

lesung pipinya semakin dalam.

“lo kesini jam berapa jadinya?”

“bentar lagi sih, baru mandi mau beli sarapan dulu. mau makan apa lo?”

“nasi uduk deh kalo ada.”

“oke. balik lagi, gimana? bokap lo udah berangkat?”

“hmm, bentar.” tubuhnya dibawa menuju jendela kamar, mengintip gerbang yang sudah tertutup rapat. fortunernya sudah pergi.

“udah berangkat. baru aja. gue tadi ketemu di ruang tamu.”

“ohh, ngobrol apa?”

“gatau tuh orang, udah tua bau tanah bukannya tobat malah ngejar cuan mulu, heran gue.”

“heh mulut wkwkwk terus yang tadi pagi lo bilang, itu bener? lo serius mau belajar bisnis?”

“bener lah. orgil gamau perusahaan papa jatoh ke dia. udah cukup gue tersiksa sama duit yang selalu di tanya buat apa terus dibatesin tai orang itu perusahaan gua aslinya.”

punggungnya direbahkan nyaman dalam kasur dinginnya. nyaman sekali. padahal hanya satu malam ditinggalkan, kenapa rasanya snagat rindu dengan kasurnya

“oke, gue bakal belajar lebih dalem lagi sama bokap sekalian bareng sama lo. agak nyesel dulu mau diajarin bisnis gue nolak. eh non, ini gue otw kedepan nyari nasi uduk.”

“iya bagus gitu. eh soal bokap lo gimana, is he okay?”

“oke banget lah dia setuju banget dari dulu. gue yang selalu nolak hahaha.”

“jadi alesannya nih karena gue yang mau belajar bisnis ya paw,”

“ga cuma itu, gue juga mikir ntar perusahaan bokap juga pasti bakal pindah ke gue. atau gak ke orang lain, cuma gue gamau apa yang udah bokap gue bangun dari awal jatoh ke orang yang salah kaya punya lo tuh. lumayan juga sih cuan non, cuan!!”

nanon tertawa mendengarnya. ahh ini percakapan sebagai coping mechanism mereka berdua. sudah lumayan lama tidak membahas masalah per-orang tua-an yang sungguh rumit ini.

“iya deh my friend. omongin nanti lagi dong, laper. udah nemu nasi uduknya belom?”

“udah nih lagi bungkus. mau otw ke rumah.”

“oke sip, naik mobil?”

“iya lah masa jalan,”

“kan bisa aja pake motor goblok.”

“astaga kasarnya sobat.”

“istigi kisirnyi sibit.”

“masih pagi udah ngeselin ya lo. oh iya lupa non, tadi drake chat gue ngajakin mabok, gas ga? gue udah dimobil nih siap ngeng”

“hah kalo mau ya mabok aja cuma gue ogah ngurusin. terakhia lo mabok muntah ke gue anjing.”

“ye gimana sih. dia bareng frank, terus chimon gabisa kan dia lagi ada date gitu sama kakak-kakakannya. yakali gue jomblo non, temenin ya?”

“liat ntar malem deh. udah gas ngeng ke rumah? hati-hati ya paw, jangan ngebut, sampe sini harus sehat walafiat no lecet.”

“iya sayang ini 40 kilometer per jam, macet bangsat.”

“selamat macet-macetan. gue mau mandi.”

“video call dong, baby.”

“lah ayok?!”

TIIT

“si goblok malah dimatiin.”

nanon berdecak malas melempar ponselnya asal. pawat memang lemah, kalau kaya gini kan keliatan siapa yang mancing siapa yang salting.

tangannya direntangkan untuk melemaskan otot-otot tubuh. jujur saat sudah bertemu kasur malas untuk beranjak kembali apalagi ke kamar mandi. tapi apa boleh buat, dia harus menyambut pawat dalam keadaan wangi. hell, mana mau nanon kalah dengan pawat yang sudah mandi jam delapan pagi di hari minggu? bisa-bisa dia menjadi bulan-bulanan di grupnya bersama chimon dan drake.


dua puluh satu tahun umurnya hidup, baru kali ini melihat sisi lain sahabat kecilnya. itu juga karena kepergok.

singkatnya, setelah menyelesaikan sarapan dengan perbincangan ringan, nanon membereskan cucian piring yang sudah cukup menumpuk dari dua hari lalu. sedangkan pawat naik ke atas lebih dulu.

baru akan memasuki kamar, disana pawat sedang tiduran sambil menghirup sabun miliknya. rahangnya jatuh seketika.

oke, nanon tau kalau pawat sangat suka menciumi leher dan bahunya karena katanya wanginya enak. tapi nanon tidak tau kalau pawat segila itu sampai menghirupnya. rasanya ingin menangis entah karena sedih atau ngakak.

“lo ngapain buset, sampe ngehirup sabun udah kaya narkoboy.”

menyadari eksistensi lain pawat terlonjak. buru-buru menyembunyikan apa yang dipegang dibawah badannya. walaupun telat, sih.

“jadi, lebih suka yang lemon atau susu?”

“apa sih non. oh ya nih drake udah nanyain lagi, gimana lo mau ikut ga?”

“ck malah ngalihin topik. jadi lebih suka yang lemon ya? gue tadi sabunan pake yang susu jadi ga ada bau lemonnya.”

“apaan sih non, suka semua elah. cuma kalo diginiin yang lemon kan lebih seger, lebih kerasa. kalo yang susu mending gue makan aja lo, sini!”

nanon terkekeh. tubuhnya dibawa mendekat, duduk bersandar headboard dengan pawat disampingnya.

“dari kapan suka ngehirup gitu? kecanduan ga sih jatohnya?”

“gatau lupa, dah lama yang jelas, cuma gue kaya gini kalo lagi kangen doang.” katanya, wajahnya ditenggelamkan pada ceruk nanon. wangi kesukaannya, ini kah surga dunia?

tangan nanon bergerak secara otomatis untuk mengelus surai pawat. masih lembab bekas keramas tadi pagi, tebak nanon.

“hmm, berarti lagi kangen gue lo?”

“yes. your daddy missing you so bad, every seconds, every minutes, every hour, every day. heumm, love you.”

nanon tersenyum mendengarnya. kepalanya dimiringkan untuk mengecup puncak kepala pawat.

“miss you too my sugarglider.”

hening tercipta setelahnya.

minggu pagi ini terasa berbeda.

biasanya keduanya akan keluar main bersama chimon dan drake atau sekedar menonton netflix di kamar. namun kali ini nanon meminta untuk diam dan tidak melakukan apa-apa. dan pawat setuju.

minggu pagi ini terasa berbeda.

ada sesuatu dalam diri keduanya yang dirasa lebih ringan. mungkin karena damai yang sudah diniatkan dalam hati? entah.

minggu pagi ini terasa berbeda.

biasanya nanon akan mendengus malas kala mendapat pesan masuk dari orang tuanya mengatakan bahwa mereka akan mengirim uang dan tidak bisa pulang sementara waktu. tentu berbeda karena kini orang tuanya sudah bercerai dan papanya baru saja pergi mencari uang.

dan nanon tidak lebih dari bersyukur mengetahui otaknya kini lebih waras dari biasanya.

dengan pawat dalam rengkuhnya, nanon rela habiskan minggu ini hanya dengan diam di kamar dan tidak melakukan apa-apa.

“aku pernah baca quotes, kalau kita memaafkan artinya kita juga memberi kesempatan untuk memaafkan jiwa kita. makanya setelah berdamai, yang kita dapet itu lega, iya kan? karena jiwa kita juga ikut sembuh.”

tangannya berhenti bergerak saat pawat mendongak, menatap tepat dalam binarnya.

“pawat, aku udah maafin semua yang orang tua aku lakuin. aku capek hidup dari dulu sampai sekarang cuma bisa nahan sakit bahkan sekarang malah udah mati rasa, paw. aku mau udahan. aku mau maafin mereka, ngeliat dari sudut pandang lain. aku mau closure dari mereka. aku mau ambil apa yang harusnya jadi punyaku, bukan buat ngerebut. aku mau damai paw, sama semuanya—

—sekarang aku udah bisa maafin mereka. tapi aku tetep butuh closure tentang mereka yang angkat aku sebagai anak, tentang mereka yang gak anggep aku anak, atau tentang perusahaan yang sebentar lagi bakal aku ambil haknya. rasanya lega paw, walau semuanya belum jelas, walau masih abu-abu. tapi aku seneng banget sekarang. kamu mau ga coba kaya aku? buat maafin orang tua kamu, i know it's hard, dari dulu aku coba tapi masih belum ikhlas aja rasanya. tapi kamu liat kan? sekarang aku udah bisa! kemaren aku pastiin jadi air mata sedih yang terakhir, karena sekarang aku udah maafin mereka.”

nanon menangkup wajah pawat dengan tangannya. kedua pipi dielus perlahan, senyumnya mengembang dengan lesung pipi yang dalam. pawat mau menciumnya.

“kamu mau kan belajar buat maafin orang tua kamu? kita bareng-bareng sembuhnya paw. ayo kita obrolin sama orang tua masing-masing, apa yang harus dan tidak harus. deep inside, sebenernya aku tau orang tua kamu sayang banget sama kamu, cuma penyampaiannya aja yang salah. beda sama punyaku yang emang dari awal kayanya ngincer uang doang. so, gimana paw?”

ditatapnya binar gelap yang enggan memutus kontak. disana, nanon bisa melihat ribuan konstelasi bersemayam. selalu indah. nanon ingin tenggelam didalamnya.

“mau non. but slowly right, aku masih susah buat ngobrol sama mereka.”

“no problem. slowly but surely, like how i fall into you.”

“jiakh bisaan deh ni bayi satu.”

pipinya dciubit gemas. bibirnya dimanyunkan mendengar perkataan sahabatnya. padahal kan dia lagi mode serius yak,

“aduh bacotnya ni orang. intinya gue mau belajar bisnis sama bokap lo, jadi lo harus, kudu, wajib ain buat baikan biar gue belajarnya juga enak. kan ga lucu gue sama bokap lo damai, eh anaknya musuhan.”

“apaan nih, ga ada ya lo sama bokap gue. lo belajarnya lewat gue aja, gue yang ngajarin jangan bokap gue!”

“kenapa sih? kan gue mau lebih deket sama camer!”

“tai lah.”

pawat kembali menenggelamkan wajahnya. kali ini di dada nanon. tangannya melingkar posesif seolah nanon akan diambil jika tidak dipeluk erat. sedangkan yang dipeluk hanya tertawa.

“nanon, about things you said, gue inget ortu gue mau balik dua minggu lagi. gue mau langsung ngomong sama mereka.” suara pawat teredam, tapi masih dapat didengar dengan jelas.

bingung juga, selama ini semua yang pawat lakukan pasti ada hubungannya dengan nanon. pasti.

dia jadi agak bersalah, takut orang yang dia sayang tertekan atas permintaannya.

“are you sure? gue ga maksa paw, lo bisa siapin diri dulu. no need to rush, kok.”

pelukannya semakin mengerat. ahh, emang ga salah buat sayang sama ohm pawat. berkata seperti itu saja pawat sudah paham bagaimana isi kepala nanon.

“gue juga mau ngerasa lega non, mau damai. apa yang lo bilang bener, ortu gue emang sayang sama gue, cara penyampaiannya aja yang salah. dan gue mau liat dari sudut pandang mereka. gue juga butuh closure non.”

“i love you, paw.”

lagi, nanon mengecup puncak kepala pawat pelan, dalam, penuh kasih. kepalanya lalu dimiringkan untuk bersandar nyaman diatas miliki pawat.

dadanya mendadak terasa lembab dan basah. oh, pawat menciumnya.

satu kali, dua kali, tiga kali, berkali-kali.

kini nanon tau tidak ada yang paling berharga kecuali presensi pawat.

“non.”

“hm?”

“ini bener gamau jalan-jalan? gue baru dikirim uang jumat kemaren.”

“gamau. pengen tiduran aja.”

“modus kan lo. aslinya cuma pengen berduaan sama gue sambil pelukan.”

“iya, cuma pengen berduaan sama lo sambil pelukan.”



sesuai dengan rencana jumat pagi adalah jadwal skala dan teman-teman untuk pergi ke vila yang telah ditentukan. niat awal terbentuknya ide ini adalah zenata yang mau berbicaa hati ke hati dengan jevais, menuntun yang lain turut meramaikan acara ini berkedok healing. tidak salah juga sih, healing setelah ujian kenaikan kelas berlangsung.

lavi menjadi orang pertama yang sampai di kediaman novan tepat pukul tujuh lewat empat puluh menit. tadinya dia ingin berangkat bersama skala, namun skala enggan karena dia bersama caka. dan sepertinya caka masih belum mau bertemu lavi. maka dia meminimalisir perdebatan untuk berangkat sendiri lebih dahulu.

novan menyuruhnya duduk di ruang tamu selagi menunggu teman lainnya datang dan pemilik rumah mengambil barang bawaan di kamarnya.

alis lavi mengerut menatap dua toples kue kering diatas meja yang merknya sudah tidak asing lagi. ini kue kering buatan mami skala. seingat lavi, mami skala sudah pensiun dalam membuat kue, tapi kenapa ini masih ada? atau stok yang lama? tapi mana mungkin sih. biar hal ini lavi tanyakan lagi pada skala.

“lavi?”

lavi terlonjak ketika suara berat menyapa inderanya. dia mengerjap pelan sebelum tersenyum sopan pada pria yang rapi dengan jas sambil menenteng 5 box pizza.

“eh, o-om. ga ke kantor om?”

dananjaya menaruh pizza yang dia bawa kemudian memeluk lavi yang diam tak bergeming.

“kok om sih? ayah dong, gimana sih kamu, hahaha,” ujarnya. pelukannya tak lama, hanya sebentar dan hangat.

bingung merespon apa, lavi hanya tersenyum tipis.

“hah?” suara lain membuat keduanya menole bersama. disana novan dengan tas ransel dipunggungnya.

“ayah? maksudnya?”

yang disebut bangkit, kemudian merangkul novan akrab. seperti tidak ada rasa bersalah, dananjaya tersenyum.

“kamu sih, waktu itu diajak dinner gamau. ya itu, lavi, sohib kamu, yang bakal jadi sodara kamu.”

“hah?”

“tuh ayah beliin pizza, nanti bagi ya sama temen-temen kamu.”

pundak novan ditepuk keras. meninggalkan rasa yang menjalar hingga hatinya. matanya berair tapi ditahan hanya sampai menggenang, jangan menetes. hari ini dia mendapat kejutan dalam hidup entah yang keberapa.

masih bisa dia lihat disana lavi hanya diam sambil menghembuskan nafas kasar. dan sdbelum ayahnya pergi menjauh, segeralah dia keluarkan yang mengganjal dalam hatinya.

“ayah pernah ga sih nanya nova maunya apa? pernah ga sih kepikiran mom disana kaya gimana? baru ditinggal kemaren loh, udah cari yang baru aja. bahkan udah ngerencanain nikah disaat novan nentang itu semua? dan sampai detik ini novan ga setuju sama semua yang ayah lakuin. terserah, sekarang novan udah gamau ikut campur lagi. lagian pendapat novan ga dihargai disini.”

selanjutnya kakinya berjalan tegas mengambil barang-barangnya menuju mobil. meninggalkan pria kepala 4 didepan tangga dengan diamnya, dan lavi yang memejamkan mata frustasi.