orentciz

Abstract.


disclaimer : kalimat langsung yang ditulis miring tandanya percakapan flashback


“Gue ikut.”

“Nggak!”

“Gue ikut atau mamah lo sore ini bakalan tau kalo lo udah seminggu ga sekolah?!”

Perdebatan yang seolah tak ada ujungnya tadi pagi akhirnya berakhir dengan Rachel yang mengalah dan menyetujui keinginan Hanan untuk ikut dengannya.

Rachel sama sekali tidak mengerti kenapa cowok itu begitu keras kepala padahal Hanan bisa saja memilih untuk tidak mempedulikan fakta jika Rachel sudah nyaris seminggu lebih tidak pernah datang ke sekolah.

Ralat.

Ia selalu datang ke tempat di mana dirinya menuntut ilmu selama kurang lebih 3 tahun ini, tetapi begitu ia turun dari mobil dan memastikan jika mamahnya telah melaju jauh dari sana, Rachel memutar langkahnya menuju gerbang belakang dan pergi.

Dengan tangan yang terlihat sedikit ragu-ragu untuk berpegangan pada sang pengemudi, Rachel memalingkan wajahnya menatap jalanan sambil berpikir.

Ia tau jika cepat atau lambat aksi bolosnya pasti akan diketahui, tetapi Rachel tidak pernah membayangkan jika yang akan tahu adalah Hanan.

Sedangkan di depannya, Hanan beberapa kali mencuri pandang lewat kaca spion hanya untuk mendapati Rachel yang melamun memperhatikan jalanan. Namun, gurat kesal yang tercetak di dahinya cukup membuat Hanan berdecih geli.

Ingatannya terbang pada saat di gerbang tadi. Raut terkejut milik Rachel seolah tidak bisa gadis itu sembunyikan tatkala Hanan terang-terangan menangkap basah Rachel yang berniat membolos.

“Gue gak tau apa yang ada di otak lo atau kenapa lo sampe nekat buat blokir nomor wali kelas lo sendiri di hp mamah lo, tapi kalo hari ini lo masih ngeyel mau cabut, gue ikut.”

Rachel segera turun dari motor milik Hanan, kemudian memberikan helm kepada cowok itu sedangkan Hanan terlihat menatap bangunan yang ada di depannya saat ini dengan sebelah alis terangkat.

Tempat apa ini?

“Thanks udah nganterin gue, sekarang lo balik ke sekolah. Jangan bolos!” tukas Rachel kemudian berlalu dari sana begitu saja.

Hanan mendengus. Dia tidak ada di sini hanya untuk berbaik hati mengantar Rachel tentunya. Setelah menggantungkan helm pada spion, Hanan ikut turun dan mengikuti Rachel yang telah berjalan lebih dulu di depan sana.

Klek

Rachel mendorong pelan pintu coklat yang sebelumnya terkunci. Sebuah ruangan minimalist yang berisi ragam lukisan pada dindingnya seolah menyapa begitu Rachel masuk.

Dengan menghela nafas berat Rachel melangkah masuk, ia melempar asal tasnya kemudian membuka tirai mengundang sebanyak mungkin cahaya matahari untuk masuk ke dalam.

Ia memejamkan mata kala sinar hangat tersebut menabrak wajahnya. Sayang hal itu tidak bertahan lama karena detik berikutnya suara benda jatuh menginterupsi dari belakang sana.

“Sorry, ga sengaja”

Pundak Rachel merosot lemas saat netranya mendapati sosok Hanan yang ternyata masih mengikutinya sampai ke sini.

“Lo ngapain sih?” ketus Rachel memperhatikan Hanan yang tengah merapikan kaleng berisi kuas-kuas yang tidak sengaja ia senggol hingga isinya berserakan ke lantai.

Hanan tidak menjawab sampai ia meletakan kembali kuas-kuas tadi ke tempatnya semula, cowok itu melangkah pelan mendekati Rachel kemudian berdiri tepat di sebelahnya.

“Lo kenapa bolos?”

Rachel mengernyit. Ia memutar tubuhnya menghadap Hanan, “Bukan urusan lo???”

“Awalnya iya, tapi berhubung walas lo minta tolong gue cari tau, jadi sekarang mau ga mau ini urusan gue juga.”

Mendengar jawaban yang diberikan Hanan, entah kenapa ada sedikit rasa kecewa terbesit dalam hati kecil Rachel. Ia pikir Hanan memang sadar jika Rachel tidak terlihat di sekolah dan laki-laki itu melakukan ini atas rasa inisiatifnya sendiri, rupanya Rachel keliru. Hanya sebatas suruhan wali kelasnya. Ya, kenapa juga Hanan harus sepeduli itu pada dirinya jika bukan karena suruhan wali kelas? Tentu Rachel tidak sepenting itu.

Tersadar, Rachel hanya mengulum senyum pahit.

Selama seminggu ini ia benar-benar berharap ada seseorang yang sadar jika ia tidak masuk sekolah dan mau berbaik hati menanyakan alasannya pada Rachel.

Terutama Aliya dan Aura.

Munafik memang kedengarannya, tetapi Rachel benar-benar masih sangat berharap kedua orang yang pernah menyandang status sebagai sahabatnya itu memiliki sedikit rasa khawatir atau mungkin penasaran. Karena jujur alasan Rachel bolos adalah untuk menghindar dari mereka.

Namun, Rachel harus rela ditampar oleh kenyataan bahwa tidak ada seorang pun di sekelilingnya yang peduli. Ah, Rachel benar-benar lupa jika ia memang tidak memiliki teman lain selain Aura dan Aliya. Bahkan Aliya juga ternyata berteman dengan Rachel karena keterpaksaan.

Hanan? Entahlah, Rachel sendiri bingung sebenarnya apa hubungannya dengan Hanan.

Terkadang Rachel merasa dekat, tetapi juga jauh di saat yang bersamaan.

“Gue mau sendiri. Please pergi, Nan,” pinta Rachel.

Hanan bisa menangkap adanya perubahan dari nada bicara Rachel. Dan dugaannya terlihat benar karena begitu ia menatap wajah perempuan itu, pandangan sendu terpapar sangat jelas.

Hanan menarik nafasnya, “Gue ga bakal ganggu lo. Anggep aja gue gak ada, lo bisa lakuin apapun yang lo mau, gue cuman bakal diam, tapi biarin gue nemenin lo di sini.”

Dan Hanan benar-benar memegang ucapannya dua jam lalu.

Cowok itu hanya duduk diam di sofa memperhatikan Rachel yang tengah memasang canvas baru pada penyangga setelah menyelesaikan lukisan yang sebelumnya.

6 tahun lalu tepatnya ketika Hanan menginjak bangku SMP, untuk pertama kalinya ia kenal dengan Rachel. Keputusannya untuk ikut ibunya datang ke arisan yang saat itu diadakan di rumah Rachel ternyata tidak seburuk yang ia bayangkan karena sejak saat itu untuk pertama kalinya Hanan berkenalan dengan teman lawan jenis sebayanya.

Hanan bukan tipe anak yang akan mengajak kenalan lebih dahulu, jika sudah kenal pun ia bukanlah jenis orang yang akan memulai obrolan. Hanan pendiam, cenderung cuek dengan keadaan, dan tidak mau ikut campur dalam masalah orang lain. Sedangkan Rachel sebaliknya.

Saat itu Hanan benar-benar menganggap Rachel perempuan yang aneh karena selalu berusaha mengajak Hanan mengobrol, katanya ia bosan, padahal Hanan yakin sudah memasang raut wajah tidak nyaman, tetapi entah Rachel yang tidak sadar atau tidak peduli Hanan juga tidak mengerti.

“Daripada kita bengong di sini, kamu mau ikut aku ke halaman belakang gak? di sana ada istana kecil aku! Kata mamah sih namanya studio, nanti aku tunjukin lukisan aku, kalo kamu mau nanti aku kasih satu juga buat kamu simpen”

Tanpa sadar, seulas lengkung tipis muncul di wajah Hanan mengingat kejadian 6 tahun lalu itu. Lucu rasanya karena keduanya justru berada si sekolah yang sama saat SMA, tetapi baik Hanan maupun Rachel sama-sama canggung tiap kali bertemu di sekolah, padahal mereka sebenarnya tidak secanggung itu di luar.

“Lo kenapa suka banget ngelukis yang ga jelas gitu sih?” Hanan akhirnya membuka suara setelah dari tadi hanya diam memperhatikan. Belum ada dua detik, ia langsung merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa menahan pertanyaan padahal ia sudah berjanji hanya akan diam melihat.

“Ga jelas gimana?”

Mendengar respon Rachel yang sepertinya terdengar biasa saja, Hanan menelan ludahnya, “Ya... gitu... kaya yang lagi lo gambar,” katanya takut-takut Rachel tidak akan menjawab pertanyaannya lagi.

“Ini namanya abstrak bukan ga jelas,” tegur Rachel meralat ucapan Hanan sambil masih terus menaruh fokusnya pada kedua kuas di tangannya, “Ya gapapa, hobi aja,” ia menjawab.

Hanan kembali tersenyum lega saat yakin jika Rachel sama sekali tidak keberatan diajak bicara, “Tapi kenapa harus lukis kaya gituan? padahal lo juga bisa bikin yang lebih bagus, kaya lukisan bunga tadi,” tanya Hanan masih tidak puas dengan jawaban Rachel. Lukisan bunga Lavender adalah lukisan yang pertama Rachel buat sebelum lukisan abstak yang tengah ia kerjakan sekarang.

Masih di posisi duduk yang sama, Rachel tersenyum tipis, “Ga ada lukisan jelek, Nan. Semua lukisan itu bagus, cuman perlu orang yang tepat buat paham kalo lukisannya bagus dan mungkin lo bukan orangnya.”

Mata Hanan di belakang sana menatap lekat gadis manis yang terlihat begitu fokus menorehkan warna warna ke atas canvas berukuran sedang itu, lantas ia mengangguk, “Oh, konsepnya berarti sama kaya lo.”

“Hah? maksudnya?” tanya Rachel tak mengerti. Ia membalikan badannya, mengalihkan pandangannya dari canvas pada Hanan di belakang sana.

“Lo itu cantik. Cuman perlu orang yang tepat buat paham kalo lo cantik dan mungkin...” Laki-laki itu berdehem pelan sebelum melanjutkan kalimatnya, “Gue orangnya.”

orentciz

When The Wind Blows

Rachel membuka kedua matanya perlahan saat indra pendengarannya terusik sesuatu. Figur seorang laki-laki berjaket denim adalah yang pertama kali Rachel lihat sebelum akhirnya ia mengangkat kepalanya dari atas meja.

“Hanan?” tanya Rachel dengan suara serak. Ia menyipitkan matanya sesaat berusaha mengenali lebih jelas siapa yang ada di depannya saat ini.

“Lo kebangun?” tanya Hanan yang diam-diam merutuki pertangaan bodohnya barusan. Kenapa juga dia harus bertanya padahal ia juga bisa lihat dengan jelas jika dirinya baru saja mengangganggu kegiatan tidur sang putri.

“Kebangun?” Rachel bertanya bingung, diliriknya jam dinding yang menunjukan pukul setengah delapan malam, artinya sudah nyaris 5 jam ia tertidur di sini. “HAH?? KOK UDAH JAM SEGINI??” gadis itu memekik kencang.

Berbeda dengan Hanan yang justru memasang wajah biasa saja seolah sudah tau jika Rachel memang tertidur.

“Gue boleh duduk di sini?” Hanan menunjuk sebuah kursi kosong di sebelah Rachel dan langsung mendudukan diri ketika mendapat anggukan dari orang yang ia tanya, “Acaranya udah kelar, tamu-tamu nyokap lo juga udah pada pulang,” Hanan menjelaskan seolah bisa membaca arti lipatan dahi kebingungan yang terukir di wajah Rachel.

Gadis itu mengangguk, dalam hatinya ia sedikit bersyukur karena tidak perlu repot-repot bertemu teman-teman mamahnya yang menjadi alasan kenapa Rachel memilih undur diri dari ruang tamu sejak 5 jam lalu.

“Lo kenapa masih di sini?” tanya Rachel, ia melipat mengikat ulang rambut panjangnya yang sedikit berantakan karena tertidur tadi, “Ga pulang?” katanya lagi.

Hanan kemudian menjulurkan sebuah kotak berwarna biru pastel pada Rachel, melihat hal tersebut Rachel menaikan sebelah alisnya, “Ini apaan?”

“Yang kemarin gue bilang di chat,” ujar Hanan sambil. ikut memperhatikan tangan Rachel yang mulai bergerak membuka kotak itu, “tadinya gue pikir lo ga bakal pergi selama itu, jadi gue tungguin. Terus akhirnya mamah lo nyuruh gue nyari lo di studio lo ini, katanya mungkin gue ketiduran dan ternyata bener. Maaf kalo bikin lo kebangun, gue cuman mau naro itu di atas meja doang abis itu cabut,” jelas Hanan.

Kedua mata Hanan masih setia memandang Rachel yang tengah memperhatikan hadiah yang barusan Hanan beri, ekspresi gadis itu benar-benar tidak bisa Hanan simpulkan apakah ia suka atau tidak.

“Gue juga mau minta maaf buat kata-kata gue yang tadi di chat,” Hanan kembali bersuara. Sejak Rachel meninggalkan ruang tamu tadi, Hanan tidak bisa berbohong bahwa ada rasa bersalah atas ucapannya, walaupun Hanan berani bersumpah jika ia sama sekali tidak punya maksud untuk membuat Rachel semakin terkucilkan.

Rachel menghela nafas panjang. Setelah meletakan hadiah dari Hanan, perempuan itu membenarkan posisi duduknya kemudian meraih canvas dan pallatenya lalu menyelesaikan lukisannya yang tadi sedikit tertunda karena tertidur. Jujur, Rachel masih sedikit kesal. Ia memang tidak berharap Hanan akan membela dirinya atau semacamnya, tetapi ia juga tidak menyangka jika Hanan justru akan ikut memojokan dirinya walaupun ada sisi lain dari diri Rachel yang ikut setuju jika Rachel terlalu mendramatisir keadaan.

Cantiknya gak nurun.

Beda jauh sama mamahnya.

Aduh, harusnya dulu pas nikah gak usah buru-buru buat anak loh, jeng

gak ada kamu-kamunya ya, jeng? padahal kalo ada kamunya pasti cantik banget

Tanpa perlu diperjelas, Rachel juga tau jika secara fisik dan rupa, ia sama sekali tidak menuruni mamahnya. Rachel sangat mirip dengan Papanya. Mata, hidung, cara tersenyum, bahkan letak tahi lalatnya.

Rachel bagaikan papahnya versi perempuan. Sedangkan ia hanya ditularkan bakat dalam bidang seni dari Mamahnya. Bukannya itu hal yang wajar? Atau apa mereka secara langsung megejek papanya jelek?

Diamnya Rachel membuat Hanan gugup sendiri. Perempuan itu begitu fokus menorehkan warna demi warna berbeda pada canvasnya seolah keberadaan Hanan bukan apa-apa.

Sadar jika mungkin dirinya diminta pergi secara tersirat, Hanan bangkit berdiri, “Udah malem, Hel, Gue izin pulang dulu,” ucap Hanan yang masih tidak digubris oleh Rachel.

Hanan menjilat bibirnya sendiri sebelum kembali membuka suara, “Lo jangan lupa istirahat juga.”

Meskipun tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari canvas, Rachel bisa tau jika perlahan Hanan mulai melangkah menjauh, dan tepat ketika laki-laki itu hendak menggeser pintu sekat studio, Rachel menarik nafasnya dalam-dalam.

“Hanan,” panggil Rachel.

Hanan menoleh,

“Makasih hadiahnya. Gue suka, gue seneng. Makasih udah nyenengin gue.”

orentciz

letter

For my precious ex girlfriend, Ralia Kanaya.

Mungkin sekarang ada banyak tanda tanya di kepala lo, ya? Kenapa gue ngasih kayak gini secara tiba-tiba?

Tapi sebelum gue jawab semua tanda tanya di kepala lo itu, biarin gue cerita sesuatu sama lo. Tentang perasaan gue yang terlalu abu-abu buat jadi putih atau hitam.

Si brengsek yang dengan gatau dirinya jadiin lo pacarnya cuman karena keisengan dia dan bertahan selama lima bulan sama lo demi alasan yang dia buat-buat karena denial sama hatinya ini sebenarnya udah kalah dari jauh-jauh hari.

Boneka teddy bear itu salah satu buktinya.

Gue belinya bukan baru-baru ini, Li, tapi udah dari tiga bulan lalu. Waktu lo ngajak gue keliling mcd cuman demi mainan we bare bears kesukaan lo itu yang gak bisa kita dapetin karena semua sold.

Pulang nganter lo balik, gue iseng ke toko boneka. Gak tau ngapain. Kaki gue yang jalan, tangan gue yang ambil bonekanya, dan begitu keluar toko gue kayak orang bego tau gak nenteng boneka segede itu.

Kenapa ga gue kasih sama lo? Hahah, lo bakal ketawa sih kalo tau alesannya. Ketawa karena bakal ngira gue udah sinting.

Gue kenapa? Gue cemburu.

Iya, gue cemburu liat tweet lo kalo lo udah punya mainnya dari Dhanu. Akhirnya karena gue juga ga punya alesan yag jelas kenapa beliin lo boneka begitu, gue bawa pulang itu boneka dan berakhir jadi pajangan ga jelas di kamar gue.

Lo inget waktu pertama kali gue akhirnya ngajak lo putus dan gue ngediemin lo beberapa jam? Mau tau gue ngapain? Gue mikir, Li. Gue mikir sebenarnya hati gue ini buat siapa sih? Lo? Abel? Atau malah nggak dua-duanya?

Bohong, Li kalo gue bilang gue gak ngerasa ada yang hilang sejak kita putus, tapi ngeliat lo yang keliatan baik-baik aja bikin gue juga mikir, Ooh, yaudah, emang ini yang terbaik buat kita, balik ke alur masing-masing kayak awal.

Tapi karma selalu tau kan kapan dia harus dateng? Karma buat gue dateng saat waktu yang pas, Li.

Gue ketemu Dhanu waktu hari terakhir kita di Bandung. Lebih tepatnya, dia yang nyamperin gue dan tiba-tiba nonjok gue.

Dia bilang kenapa gue yang anjing kaya gini bisa dapet cewek setulus lo? Gue bahkan gatau, Li kenapa. He said, nothing make you happier and sadder than me. Katanya, gue yang bikin lo luka, tapi gue sendiri juga obatnya. Aneh.

Juna pernah nanya ke gue abis kita putus. Apa gue bener-bener ga punya rasa sama sekali buat lo? Mulut gue selalu lebih cepat jawab enggak padahal hati gue bilang sebaliknya. Buat apa juga gue bilang ada? Toh, akhirnya gue ninggalin lo juga waktu itu. Dhanu bener, gue emang anjing.

Papah gue pernah bilang supaya gue jangan ngentengin sesuatu meskipun gue tau kalo gue bisa, tapi gue malah ngentengin lo dan perasaan lo dengan mikir lo bakal balik ke gue kalo gue minta tanpa usaha sedikitpun. Nyatanya apa? Gue salah besar.

Harusnya gue yang paling tau kalo sesuatu yang udah hancur itu gak akan pernah bisa balik utuh kaya awal.

Jadi sekarang lo tenang aja. Gue ga bakal ganggu hidup lo lagi dan muncul di depan lo kayak yang kemarin lo minta. Tapi tolong janji kalo lo harus bahagia, ya? karena di sekeliling lo ada banyak orang yang sayang sama lo dengan cara mereka yang beda-beda.

Makasih juga. Makasih udah mau jadi salah satu hal baik yang pernah gue punya, even though our story has ended so awful. Emang cuman sebentar, but I'm lucky had to have you.

Li, if life is a movie, you're the best part.

Gue pamit.

Full of regret, Ananta Mark.

End.

orentciz

The Last

Tangan Mark masih asik bergerak di layar ponselnya. Sesekali pemuda berusia 18 tahun itu tersenyum tipis saat membaca rentetan pesan lama yang pernah Ralia kirim padanya.

Mulai dari informasi nggak penting, lelucon jenaka, pap foto, bahkan hingga spam sticker berhasil membuat Mark menyunggingkan seulas senyum. Lucu, pikirnya.

Mark, aku lagi maskeran

OMG MAS AAN BELI MARTABAK KEJU YANG WAKTU ITU PERNAH KAMU BAWA!!!

kangennnnn:(((

Besok ingetin aku bawa dasi ya!

MARKKK LIATTT DEHH!! MASA ADA JERAWAT DI HIDUNG AKUUU

Aku lagi belajar, tapi diajak nyari pisang bakar sama Recan

Sayangnya, pesan-pesan itu selalu saja mendapat balasan kurang menyenangkan dari Mark. Hati Mark tiba-tiba saja terasa sesak, seolah ada batu besar yang berhasil menimpanya, mendadak ia merasa bersalah atas semua perlakuannya selama ini.

Nggak pernah sekalipun terlintas di benaknya akan berada di posisi seperti ini. Posisi dimana dia merindukan saat-saat notifikasi chat masuk dari Ralia memenuhi layar ponselnya, padahal dulu Mark sempat mengaktifkan mode mute pada kontak mantan pacarnya itu. Iya, sejahat itu.

Mark pikir dengan menjadi orang yang dingin dan terkesan tidak peduli adalah pilihan terbaik dan berharap saat waktunya mereka berhenti nanti, Ralia nggak akan merasa begitu terluka karena yang Mark tinggalkan hanyalah berbagai kesan buruk dan menyakitkan.

Kring...

Kepala Mark terangkat saat bel yang ada di pintu ke cafe kembali terdengar pertanda seseorang baru saja masuk ke dalam. Sosok yang ia tunggu-tunggu itu akhirnya tiba, sedikit lebih lambat dari perkiraannya.

Atau justru Mark yang terlalu cepat sampai? Sepertinya iya, mengingat tempat mereka bertemu nggak begitu jauh dari rumahnya.

Ralia duduk begitu saja, tanpa menyapa atau melemparkan senyuman barang sebentar. Menyadari itu, hati Mark mencelos. Namun, sebisa mungkin ia mengatur raut wajahnya agar tidak merusak suasana.

“Mau pesen—”

“Lo mau ngomong apa?”

Mark yang hendak menyodorkan buku menu pada Ralia langsung mengurungkan niatnya saat Ralia menyela ucapannya. Sepertinya Recan nggak bohong tentang nggak ada kesempatan balikan diantara dia dan Ralia.

Malam ini Ralia begitu dingin, bahkan Mark sempat menahan nafas ketika tadi gadis itu berjalan menghampirinya dengan sorot mata yang nggak lagi sama hangatnya seperti dulu.

Mencoba untuk memahami perubahan sifat gadis itu, Mark memilih diam sambil kembali menyodorkan buku menu pada orang yang saat ini duduk di hadapannya, “Pesen dulu.”

Keduanya tidak saling bicara lagi setelah itu. Beruntung pesanan mereka sampai nggak begitu lama karena beberapa menit kemudian segelas ice cappuccino dan hot chocolate telah tersaji di hadapan masing-masing.

“Mark.”

“Ralia.”

Keduanya memanggil satu sama lain bersamaan, menciptakan atmosfer canggung yang mendadak menghasilkan desiran aneh saat keduanya sama-sama melemparkan tatapan yang sulit diartikan oleh masing-masing.

Mark berdehem pelan, mencoba kembali mencairkan suasana meskipun nggak banyak membantu, “Lo dulu,” ia mempersilahkan.

Tanpa berpikir panjang, Ralia segera mengangguk. Gadis itu menarik nafas panjang sejenak. Dua minggu telah berlalu sejak kejadian di birthday party waktu itu, dua minggu pula ia habiskan untuk berpikir apa yang sebenarnya harus ia lakukan.

Hatinya cukup lelah dengan semuanya, tetapi di sisi lain, masih ada bagian dari dirinya yang diam-diam terus menolak untuk menyangkal kalau ia masih memiliki banyak perasaan dan harapan pada pemuda yang kini tengah menatapnya penuh arti itu.

Bertahan sedikit lagi tanpa tau bagaimana akhirnya atau berhenti sekarang juga dan mulai membuka lembaran cerita baru tanpa menyisipkan Mark sebagai salah satu tokohnya?

Walaupun ragu, tetapi Ralia merasa berhenti adalah pilihan terbaik untuknya setidaknya untuk saat ini.

Berhenti menyisihkan sebuah tempat di hatinya yang selalu berharap agar kembali diisi oleh orang yang telah memutuskan untuk pergi karena rumah lamanya telah kembali.

Mark ada hanya untuk singgah sebentar, bukan?

Ralia menunduk. Niatnya memang sudah ia bulatkan, tapi nyalinya masih terlalu kecil untuk menatap balik manik milik Mark. Ia takut jika hal itu akan membuatnya terbawa suasana lagi karena menyelami netra yang pernah menjadi kesukaannya itu sama saja mengajaknya memutar kembali memori mereka dulu.

“Bisa gak... Lo... Stop muncul di hadapan... gue?” kalimat singkat itu terasa sangat panjang saat Ralia ucapkan. Lidahnya sedikit kelu, te tapi ia berusaha keras melawannya.

Dengan kepala yang masih menunduk, Ralia mengigit bibirnya sendiri, tangannya di bawah sana juga ikut meremas erat baju yang ia kenakan. Berat rasanya saat harus membohongi hatinya sendiri.

“Dan stop minta tolong sama Recan supaya gue bales chat lo, karena gue risih,” tegasnya.

Ralia sebenarnya hanya asal bicara tentang yang satu ini. Itu cuman spekulasi dari rasa curiganya karena Recan belakangan ini sering meminta Ralia membalas chat Mark. Namun, dilihat dari respon yang Mark tunjukan, sepertinya itu semua benar.

Melupakan Mark ternyata sama sulitnya dengan menyayangi cowok itu. Padahal jelas-jelas itu adalah dua hal berbeda yang artinya bertolak belakang, tetapi kenapa sama-sama menciptakan sakit?

Mark terdiam di tempatnya, kedua pundaknya menengang setelah mendengar permintaan yang barusan Ralia bilang.

Apa sekarang lo bahkan benci gue, Li?

Mark tersenyum miris menyadari jika selama ini dirinya terlalu banyak membuang-buang waktu untuk memantapkan perasaannya sendiri dan terus berlari sampai nggak pernah sadar kalau jauh di belakang sana, Ralia telah melepaskan genggamannya dan berhenti.

Berusaha memaksakan sebuah senyum, Mark menganggukkan kepala meski hal itu nggak dilihat oleh Ralia karena perempuan itu masih menunduk di tempatnya. Melihat entah apa yang menarik di bawah sana sampai.

“Tenang aja. Ini terakhir kalinya gue bakal muncul di hadapan lo.”

Satu tatapan bingung nampak dari wajah Ralia saat gadis itu akhirnya menatap Mark dengan alis yang tertaut seolah meminta penjelasan lebih lanjut atas apa yang tadi ia katakan.

“Gue berangkat ke Canada lusa.”

orentciz

sudut pandang lain

Mark POV

Hapus-ketik-hapus-ketik

Gue melempar asal ponsel gue yang masih stuck di roomchat yang sama kira-kira sejak setengah jam yang lalu, bingung gimana cara ngajak ketemu seseorang yang kayaknya selalu berhasil gue kecewain dari awal.

Gue menghela nafas frustasi sambil memandang kosong ke langit-langit kamar gue dengan pikiran yang tertuju pada satu orang.

Lima bulan gue sama dia pacaran. Lima bulan juga kayaknya gue berhasil jadi manusia paling bajingan sealam semesta atau seenggaknya cowok paling brengsek yang mungkin dia kenal.

Semuanya bermulai dari gue yang baru balik dari perpustakaan dan gak sengaja liat Ralia yang lagi jalan di lapangan sendirian. Waktu itu, gue cuman sekadar tau nama dia doang kebetulan Recan sering nyapa dia waktu kita berdua lagi jalan dan papasan di koridor.

Awalnya, gue biasa aja liat Ralia dan gue yakin dia juga gitu walaupun dia sempat senyumin gue sedikit. Mungkin karena kenal juga gue siapa. Tapi secara nggak sengaja, gue berhasil nangkep sesuatu yang lumayan mencolok di bagian belakang rok dia dan tanpa harus bertanya lebih lanjut, gue secara reflek ngasih jaket gue. Dia bingung dan kaget, ngeliat responnya gue langsung jelasin dan bilang kalo roknya mungkin tembus. Yaa, cuman mungkin. Bisa aja kan itu cuman noda bekas dia duduk?

Singkat cerita, beberapa minggu kemudian, dia balikin jaket gue. Padahal, gue udah selupa itu dan ngira kalo jaketnya gak bakal balik. Surprisingly, ternyata dia gak cuman balikin jaket gue doang, tapi sekalian ngasih beberap jajanan. Ucapan makasih, katanya.

Gue kaget. Sedikit.

Dan karena gue ngerasa dia berlebihan, gue akhirnya minta kontak dia ke Recan terus ngechat buat balikin jajanan yang dia kasih karena gue juga takut dia salah paham sama apa yang gue lakuin waktu itu.

Gue murni cuman bantuin dia, bukan mau modus atau tebar pesona, Apalagi naksir. Lagipula saat itu gue lagi suka sama Abel.

Kita janjian ketemu waktu istirahat kedua karena gue bilang kalo gue ada urusan pas istirahat pertama. Urusan penting karena gue berencana nembak Abel.

Tapi semua nggak kayak yang gue harapkan. Alih-alih gue kasih dia kejutan, Abel lah yang justru bawa kabar mengejutkan buat gue.

Dengan ekspresi kelewat bahagia, dia akhirnya dateng setelah gue tungguin selama kurang lebih 15 menit dan dia bilang kalo dia keterima program student exchange.

Dua bulan kemudian Abel beneran berangkat ke Amerika. Gue? Hahah, mendadak jadi sadboy yang kerjaannya cuman dengerin lagu less of u sambil selimutan di kasur. Alay, tapi waktu itu gue beneran gak semangat ngapa-ngapain, bahkan sekadar makan aja gue males.

Sampe suatu hari gue terpaksa harus pulang telat karena kejebak hujan di sekolah mau gak mau harus neduh berhubung hari itu gue gak bawa jas hujan dan kebetulan gue lagi bawa laptop, jadi gak mungkin gue terobos gitu aja.

Merasa gabut, gue mutusin buat main hp. Scroll twitter, Instagram, grup chat, tapi gak ada yang seru. Akhir-akhir ini Abel juga lagi slowrespon. Bukan cuma sehari dua hari, dia bahkan bisa bales chat gue seminggu kemudian.

Tiba-tiba satu chat masuk dari Recan berhasil bikin gue sedikit jengkel. Cowok satu itu ngirimin foto dia lagi asik tiduran sambil main ps padahal hari ini dia gak masuk dengan alasan kurang enak badan. Iya, cuman alasan doang. Gue udah nebak kalo itu akal-akalan dia aja biar gak ikut ulangan Biologi.

Pas gue mau bales chatnya, tiba-tiba hp gue mati.

Ngeliat hujan yang belum ada tanda-tanda mau berhenti, gue jadi sedikit panik.

Hp mati, kejebak hujan, dan gue laper.

Waktu lagi sibuk mikir harus gimana, gue ngerasa ada yang lagi liatin gue dan bener aja. Pas gue noleh, ada cewek yang kayaknya juga lagi nunggu hujan reda duduk gak jauh dari tempat gue.

Dia langsung malingin muka begitu gue reflek noleh ke arah dia seolah-olah dia baru aja ketangkep basah baru.

Gue berdiri, sambil menyandang tas dan helm, gue berjalan ke arah dia yang masih buang muka.

“Sorry” kata gue.

Dia mendongak karena posisinya gue berdiri dan dia duduk. Mukanya keliatan kaget waktu ngeliat gue tiba-tiba udah di depan dia dengan posisi berdiri yang lumayan dekat.

Diam-diam sebenarnya gue juga kaget pas tau kalo dia adalah Ralia.

Pantes aja daritadi ngeliatin, pikir gue.

Kalo tau dia Ralia, gue gak aneh karena cewek ini udah sering banget gue liat lagi diam-diam merhatiin gue.

Awalnya gue pikir mungkin gak sengaja atau bahkan sebenarnya yang dia liat itu Recan dan bukan gue. Tapi, beberapa kali gue jalan sendiri dan papasan sama dia, gue bisa liat kalo dia salting.

She's express her feelings too obvious, gue bukannya gak tau kalo dia suka sama gue.

Tiba-tiba ide konyol terlintas begitu aja di pikiran gue.

Niat yang awalnya hanya untuk minjem powerbank, berubah jadi suatu kalimat tergila yang gue ucapin sore itu.

“Lo... Mau jadi pacar gue gak?”

“Sinting ya, lo? Dasar cowok freak!”

Gue berharap dia jawab gitu terus nonjok gue.

Tapi, kayaknya Ralia jauh lebih gila dari gue, karena dia justru ngangguk gitu aja.

Gue melongo.

Nggak nyangka kalo spekulasi gue selama ini yang ngira dia suka sama gue ternyata benar. Dan sekarang...

Gue baru aja macarin anak orang...

Sambil menggaruk kepala kebingungan, gue akhirnya nganterin dia balik ke rumahnya pas hujan udah reda.

Gue pikir dia cuman bercanda dan hubungan gue sama dia mungkin bertahan tiga hari atau paling lama seminggu.

Tapi siapa sangka kalo semua bakal jauh lebih lama dari perkiraan gue?

Dari yang awalnya chatan aja terasa banget awkwardnya pelan-pelan malah jadi sering video call setiap malem walaupun bisa dihitung jari berapa kali gue nunjukin muka gue karena gue lebih sering offcam.

Dari selalu malu-malu kalo ketemu di sekolah jadi sering nganterin dia balik dan main ke rumahnya. Walaupun yang satu ini nggak terlalu sering karena gue ada les. Beneran les, bukan karena mager atau gamau.

Dari yang cuman nanya lagi apa, udah makan atau belum, jadi ngobrolin hal-hal random yang selalu bikin gue bingung kenapa ini cewek adaaa aja kejadian menarik tiap harinya.

Anehnya, gue justru nggak terganggu sama hal itu.

Tapi enggak enggak.

Gue juga gak jatuh cinta sama dia atau bahkan naksir sedikitpun karena gue selalu ngedoktrin diri gue kalo ada orang lain yang masih gue suka. Kayaknya.

Kalo ditanya kenapa gue gak ngajak putus duluan, jawabannya adalah gue gak mau jadi orang yang lebih brengsek lagi.

Ngajak dia pacaran adalah hal tergila yang gue lakuin dan gue juga gak punya alasan buat ngajak putus yang kedengeran masuk akal.

Cuek, dingin, bodoamat.

Gue udah coba semua tapi keliatannya malah sia-sia dan gak ngaruh sama sekali.

Lima bulan.

Lima bulan gue pacaran sama Ralia, tapi bukannya capek, dia malah berhasil bikin gue nyerah dan pasrah sama keadaan nunggu dia tau sendiri yang sebenarnya.

Gue terkekeh geli.

Lucu rasanya saat gue beneran udah selesai sama dia kayak yang selalu gue harapin, sekarang malah gue yang pingin balikan.

Gue kembali meraih ponsel gue, menghapus semua yang tadi gue ketik dan memutuskan untuk ngajak dia ketemu langsung, walaupun gue sendiri ragu kalo dia mau gue ajak ketemu mengingat dia selalu menghindar dari gue di sekolah belakangan ini.

Lo berhasil, Li.

Lo berhasil luluhin hati gue.

Tapi gue terlalu terlambat buat nyadarin semua. Gue gak sadar akibat ego gue yang terlalu besar, gue justru ngelukain hati orang lain.

Tapi kesempatan kedua di suatu hubungan harusnya selalu ada, kan?

orentciz

Let's Not Fall in Love

Happy birthday to you~ Happy birthday to you~ Happy birthday, happy birthday! Happy birthday to you~

Memilih untuk menyingkirkan diri dari keramaian acara yang telah selesai beberapa menit lalu, Mark memilih pergi ke rooftop hotel untuk sekedar menghirup angin segar.

Cowok itu lantas menoleh saat sebuah suara memanggil namanya dari belakang sana disertai sebuah senyuman tipis yang reflek terukir tat kala gadis bergaun biru muda itu mendekat dengan mata yang juga ikut membentuk lengkungan yang sama sepertk Mark.

“Udah ketemunya?” tanya Mark, cowok itu bangkit berdiri sambil sedikit menepuk-nepuk celananya yang sedikit kotor karena ia duduk tanpa alas apapun.

Abel menangguk antusias, “Tapi Papa gak bisa lama-lama, soalnya harus langsung berangkat ke Jepang jam 1 pagi nanti,” ia menjelaskan tanpa Mark minta.

Walaupun Abel nggak mengungkapkannya secara langsung, tapi Mark dapat melihat dengan jelas raut bahagia di wajah cantik perempuan itu.

Tentu saja bahagia. Memang siapa orang yang bersedih saat pertambahan umurnya dirayakan dan dihadiri orang-orang terdekat yang disayangi? Sepertinya nggak ada.

Namun, binar bahagia yang sejenak hadir terpancar di mata Abel perlahan-lahan lenyap, berganti tatapan sendu yang entah mengapa seperti menyiratkan sebuah kekecewaan tersendiri bagi cewek itu.

“Kenapa?” tanya Mark, keningnya terlipat.

Bukannya menjawab, Abel justru menjulurkan sebuah buku kecil yang ia sembunyikan di belakangnya pada Mark.

Mark menatapnya bingung. Walaupun ragu, ia akhirnya meraih buku tersebut yang ternyata bukan buku biasa melainkan sebuah buku berisi foto-foto. Tanpa bertanya lebih lanjut, Mark membuka halaman demi halaman yang di dalamnya berisi berbagai foto dari moment bahagia sebuah keluarga kecil.

“Ini...” Mark melirik ke arah Abel yang ternyata juga memperhatikan pergerakan Mark sedari tadi.

Perempuan itu mengangguk, seolah tau apa yang Mark pikirkan, “Iya. gue, mama, dan papa.” ungkapnya.

Tanpa mempedulikan gaun indah yang dikenakannya, Abel berjalan ke tepian rooftop, tangannya bergerak melepaskan sepasang high heels yang terpasang indah di kakinya lalu duduk dengan kaki yang berayun.

Mata perempuan itu menatap kosong ke suguhan dari kelap kelip kendaraan di bawah sana, lalu tiba-tiba tertawa pahit.

“Papa gue itu laki-laki terbaik yang pernah gue tau,” Abel bersuara. “Ibarat cinta pertama setiap perempuan, di mata gue, Papa itu sosok yang paling sempurna. Dia sayang sama gue, juga mama gue”

Tanpa melepas pandangannya dari Abel, Mark hanya diam dan ikut duduk tepat di sebelah cewek itu.

“Lo tau? Bahkan kayaknya kalo orang-orang bilang papa jahat, gue gak bakal percaya.”

Perempuan itu menunduk. Dadanya mulai terasa sesak saat, tapi Abel berusaha sebisa mungkin mengontrol dirinya.

“Sampe akhirnya, Papa ketauan punya pacar. Di situ gue...” Abel mengigit bibir bawahnya, hatinya sakit saat harus membuka kisah lama yang paling nggak mau dia ceritakan pada siapapun di dunia ini, “Di situ gue ngerasa hancur. Hancur banget. Manusia yang selalu gue bangga-banggain sama dunia ternyata nggak sesempurna itu” sambungnya lagi lengkap senyuman pahit.

Meskipun sangat terkejut dengan cerita yang baru aja diungkapkan oleh Abel, tapi Mark sebisa mungkin mengatur ekspresinya. Ia nggak ingin membuat Abel tersinggung. Dua tahun kenal dengan Abel, Mark memang baru menyadari kalo Abel jarang membicarakan papanya dan Mark sendiri nggak pernah curiga sedikitpun karena yang ia lihat Abel dan Mamanya selalu baik-baik aja setiap kali ia menyempatkan diri main ke rumah cewek itu. Jadi Mark berpikir mungkin Papa dari perempuan itu hanya orang sibuk yang jarang berada di rumah.

Setelah berusaha menetralkan dirinya, Abel memberanikan diri menatap Mark, “Itu alasan gue selalu ragu sama perasaan gue ke lo Mark. Di mata gue, lo sama kayak papa gue. Cowok terbaik yang gue kenal. Tapi di sisi lain, gue juga takut kalo nantinya gue cuman akan dikecewain sama ekspetasi gue sendiri dan itu bikin gue ragu buat terjebak dalam suatu hubungan sama lo”

Abel dengan berani meraih tangan Mark, kemudian menggenggamnya begitu erat seolah takut Mark akan pergi darinya. Ada sebuah perasaan lega di hati cewek itu karena Mark nggak melakukan penolakan atas aksinya barusan.

“Tapi itu dulu, Mark. Sekarang gue udah yakin sama perasaan gue. Gue juga suka sama lo! Gue sayang sama lo! Jadi please...” suara lirihnya memohon, “Please, sama gue aja, ya?” pinta cewek itu sambil memaksakan sebuah senyum kecil yang sayangnya harus pudar saat Mark melepaslan dengan pelan genggaman mereka.

Mark memalingkan wajahnya. Nafas berat keluar begitu aja dari mulutnya saat menyadari kemana topik ini akan berjalan.

“Maaf, Bel. Gue gabisa” ucap Mark dengan berat hati, “Gue udah bilang kan kemarin? Gue mau memperbaiki hubungan gue sama Ralia. Gue gak mau nyia-nyiain orang yang beneran tulus sama gue karena gue sadar perasaan tulus gak berbalas itu jauh lebih nyakitin dari apapun”

Abel mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia nggak percaya kalimat itu akan keluar sebagai sindiran halus untuknya. Tapi kenapa Mark nggak mau mencoba untuk mengerti kalo Abel sendiri juga punya alasan kenapa dirinya seperti itu?

“Mark,” dengan sorot putus asa Abel mencoba menatap mata Mark, berharap menemukan kebohongan di dalamnya. Entah kenapa ia masih belum bisa menerima kalo ia harus kalah seperti ini.

“Lo bohong,” desisnya

“Bel—”

“Buktiin! Buktiin kalo emang udah gak ada nama gue di hati lo”

Lalu detik berikutnya, Mark hanya bisa diam membeku dengan kedua mata membelalak terkejut bukan main saat Abel menariknya dan menyatukan kedua bibir mereka begitu mudah.

Rasanya seperti deja vu. Moment ini sama persis ketika Abel menciumnya secara tiba-tiba saat di ruang musik waktu itu tanpa memberikan aba-aba lebih dulu.

Brakkkk

Suara benda jatuh berhasil mengembalikan kesadaran Mark yang nyaris terbuai terbawa suasana. Namun, cowok itu belum bisa menghela nafas lega karena tepat ketkma ia menoleh ke belakang, sepasang mata lengkap dengan mulut terbuka seolah nggak percaya dengan apa yang baru aja dia lihat membeku di tempatnya lalu pelan-pelan melangkah mundur.

“Ralia...”


Ralia menepuk-nepuk dadanya yang sesak. Bayangan tentang kejadian yang barusan dia lihat terus berputar di pikirannya membuat air mata gadis itu semakin mengalir deras tanpa bisa ia hentikan.

Tanpa mempedulikan tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya, Ralia terus berjalan tanpa arah menyusuri lorong demi lorong tanpa tau kemana harus pergi.

Pikirannya saat ini seberantakan hatinya. Niat bodohnya untuk memberikan hadiah pada Abel ternyata bukanlah ide bagus. Ralia jadi berpikir sebenarnya siapa yang berulang tahun di sini karena justru dia lah yang sepertinya mendapat kejutan luar biasa.

Alasan Ralia berada di sini bukan semata-mata hanya untuk menghadiri acara ulang tahun Abel. Ah, bahkan ia belum bisa dikatakan hadir karena nyatanya ia datang saat acara itu ternyata telah selesai dan berujung dengan Ralia bertanya pada salah seorang yang ia kenal di sana tentang keberadaan si pemilik acara ulang tahun.

“Lo benar. Mark emang cuman main-main doang sama gue. Dia ga serius dan gue harusnya cukup tau diri untuk berhenti. Selamat Abel, lo menang dan gue yang harus terima kenyataan”

Kalimat yang telah ia hafal luar kepala itu bahkan belum sempat ia sampaikan. Sia-sia semalaman ia terjaga hanya untuk meyakinkan dirinya kalo Mark memanglah bukan sesuatu yang bisa ia gapai. Pun kalau bisa digapai, Mark akan terus meloloskan diri dari dirinya karena bukan dia lah yang cowok itu inginkan.

Tubuh Ralia seolah kehilangan penyangga karena kakinya terasa lemas. Segera tubuhnya merosot begitu saja membuat Ralia hanya bisa menenggelamkan wajahnya diantara kedua kakinya kemudian kembali terisak pedih.

Bodoh bukan? Padahal niatnya untuk melepas Mark baik-baik, tapi yang ia dapat justru patah hati lain.

Kecewa, marah, benci.

Semua bercampur aduk. Ralia benar-benar berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk dan ia akan bangun sebentar lagi. Tapi mau berapa kalipun ia mengangkat wajahnya, Ralia masih saja berada di tempat yang sama dan ia semakin benci karena semuanya ternyata adalah nyata. Termasuk sakit hatinya.

Di tengah kesedihannya yang semakin memuakan itu, tiba-tiba Ralia merasakan sesuatu yang jatuh dan menutupi kepalanya, menyembunyikan wajah yang lengkap dengan mata basahnya. Belum sempat ia menyingkirkan sesuatu itu, sebuah tangan menahan pergerakan Ralia kemudian disusul sebuah suara yang familiar di telinga gadis itu.

“Nangis aja. Gue tungguin”

orentciz

You, Clouds, Rain

Kepala Mark secara otomatis menoleh, pandangan yang daritadi tidak lepas dari benda persegi panjang di tangannya itu langsung beralih saat orang yang sejak 10 menit lalu ia tunggu akhirnya tiba.

Ralia masuk ke dalam mobil Mark, nggak lupa memasang senyum tipis sebagai sapaan secara nggak langsung. Begitu ia membuka pintu, aroma oriental khas milik Mark langsung menyapa indera penciumannya.

“Sorry lama, gue kira lo bakal ngaret jadi gue keramas dulu tadi,” Ralia mencoba menjelaskan sambil tangannya bergerak memasang seatbelt di badannya.

Mark hanya mengangguk, ikut memasang senyum tipis penuh arti. Ralia nggak tau aja kalo Mark bahkan bangun lebih awal pagi ini karena begitu nggak sabar bertemu dengannya.

Tanpa menunggu lebih lama, Mark segera menyalakan mobilnya dan membawanya meninggalkan halaman rumah Ralia.

“Siapa yang ulang tahun emang?”

Ralia menoleh ke samping, mendapati Mark yang mengemudi dengan menatap lurus ke depan sana.

Abel

“Ada, temen gue. Lo gak kenal.” jawab Ralia memilih berbohong. Entah kenapa dia enggan menyebutkan nama Abel di depan Mark.

Semalam Ralia tidur sedikit lebih larut dari biasanya. Meskipun matanya telah berulang kali meraung meminta untuk dipejamkan karena udah kelewat mengantuk, tapi otaknya abai dan terus melayang ke sana kemari memikirkan satu hal yang mengusik pikirannya.

Dateng? Atau enggak?

Ralia bimbang.

Sambil terus memandangi undangan pesta ulang tahun yang diberikan Abel untuknya, Ralia berusaha menerka apa yang mungkin terjadi di sana sampai Abel mau repot-repot mengundang dirinya yang bahkan ngga dekat dengan cewek itu.

“Kita lihat siapa yang harus terima sama kenyataan”

Kata-kata itu seperti kaset rusak yang nggak bisa berhenti Ralia dengar. Bahkan mungkin sangkin lelahnya memikirkan hal itu, Ralia nggak ingat kapan ia menutup matanya dan pergi ke alam mimpi.

Tanpa sadar Ralia menghela nafas berat karena lagi-lagi rasa bimbang itu merudung dirinya. Bahkan Mark ikut menoleh sejenak saat mendengarnya.

“Kenapa?” tegur Mark lembut.

Ralia yang tersadar baru aja mengundang perhatian Mark karena aksi kelepasannya tadi langsung menggeleng dengan cepat, “Enggak. Gapapa,” tukasnya.

Sejenak, Mark memperhatikan raut wajah Ralia. Walaupun ragu, Mark akhirnya memilih untuk nggak bertanya apapun lagi. Takut kalo hal itu hanya akan membuat Ralia nggak nyaman nantinya karena mengira Mark terlalu penasaran.

Sekitar 30 menit kemudian, mereka sampai ke sebuah Mall di daerah Jakarta Selatan.

Sesuai rencana awal, Ralia yang tentunya ditemani Mark masuk ke beberapa store untuk mencari barang yang akan Ralia beri pada Abel besok sebagai kado.

Meskipun belum tau apa dia akan datang atau enggak, tapi lebih baik Ralia bersiap-siap. Pun, kalo nantinya dia nggak jadi datang, barang itu bisa ia gunakan untuk dirinya sendiri.

“Gak ada lagi?” tanya Mark heran saat melihat Ralia kembali keluar dari store keenam yang telah mereka masuki dengan tangan kosong tanpa membawa apa-apa.

“Enggak.”

“Emang lo mau cari kado apa sih? Udah enam store tapi masih gak nemu juga?”

Ralia mengulum bibirnya, bingung mau menjawab apa karena sejujurnya ia sama sekali belum memikirkan hadiah apa yang akan dia beli. Secara, dia nggak kenal dengan Abel dan sama sekali nggak tau apa-apa tentang cewek itu.

“Udah bosen ya?” tanya Ralia sedikit merasa bersalah karena membuat Mark harus ikut mondar-mandir mengelilingi Mall.

Mark menggeleng cepat. Bagaimana dia bisa bosan kalo yang saat ini sedang berjalan bersamanya adalah Ralia?

“Ayo, lo mau kemana lagi?”


Pukul empat sore.

“Ini langsung balik?”

“Iya, lah? Emang mau kemana?”

“Gatau sih” Mark tertawa canggung. Berusaha menutupi kekecewaanya karena ternyata hari yang menurutnya menyenangkan ini harus berakhir dengan cepat.

Yaa... Memang waktu selalu terasa berlalu begitu cepat saat kita bahagia, kan? Iya. Mark bahagia hari ini.

Ditemani lagu random yang terputar di radio, Mark membawa mobilnya menyusuri jalanan sore Jakarta yang mulai ramai.

Berbeda dengan Mark yang kelihatan begitu santai, Ralia di sampingnya, justru terus-terusan bergerak gelisah sambil matanya sesekali melirik ke arah Mark yang sedang asik mengetuk-ngetukan jarinya pada stir mengikuti irama lagu.

Ralia jadi penasaran, apa Mark ingat kalo kemarin Ralia sempat bilang ada sesuatu yang ingin dia tanyakan tentang mereka pada cowok itu.

Mereka.

Ralia dan Mark, tentunya.

“Mark,” panggil Ralia.

“Hmmm?” Mark bergumam tanpa menoleh.

Merasa nggak ada jawaban dari orang yang barusan memanggil namanya, Mark lantas menoleh dan mendapati Ralia yang tengah menundukan kepalanya sambil menggerakan jari-jarinya gelisah seolah sedang memikirkan sesuatu.

“Kenapa, Li?” tanya Mark lagi. Mark yakin ada sesuatu yang ingin cewek itu katakan dan entah kenapa firasatnya berkata kalo itu bukanlah hal bagus.

“Gue tau ini tiba-tiba banget...” Ralia mengangkat kepalanya memberanikan diri menatap wajah Mark, “Tapi, gue boleh tau gak alesan kenapa dulu lo...nembak gue?” nada bicara Ralia mengecil saat mengatakan satu kata terakhir itu.

Ralia bisa menangkap ekspresi terkejut Mark sebelum akhirnya berubah, berganti dengan raut yang Ralia sendiri nggak bisa mengartikan maksudnya dengan jelas.

Mark terdiam. Jari-jarinya yang tadi mengetuk-ngetuk stir bahkan langsung berhenti bergerak saat itu juga.

Tubuhnya menegang seketika. Ia sama sekali nggak menyangka dengan pertanyaan yang baru aja ditanyakan Ralia padanya.

Mark menatap Ralia lama-lamat, penasaran apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh perempuan berbaju ungu muda itu sampai tiba-tiba penasaran dengan sesuatu yang telah berlalu lumayan lama.

Mark segera menepikan mobilnya ke sisi jalan, rasanya terlalu berbahaya mengemudi jika topik bahasan mereka adalah hal yang satu ini.

Pikiran Mark seketika melayang, tertuju pada saat yang dimaksud oleh Ralia. Cowok itu menunduk dalam, lidahnya seolah kelu untuk memberi penjelasan atas perbuatannya saat itu padahal Ralia di sebelahnya sedang menunggu jawaban.

“Apa waktu itu lo—”

“Kenapa tiba-tiba penasaran?” potong Mark sebelum Ralia menyelesaikan kalimatnya.

Ralia mengalihkan pandangannya dari Mark kini berganti memandang kosong ke depan, “Cuman... penasaran,” katanya.

Mark menggeleng. Dari suaranya, Mark bisa menangkap ada nada penuh keraguan di sana. Nggak mungkin sebatas rasa penasaran. Mark yakin ada hal lain yang ingin Ralia ketahui, tapi Mark nggak tau apa itu. Otaknya buntu karena saat ini ia sedang memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan pada gadis itu.

Jawaban yang kira-kira nggak akan membuat usaha yang sedang Mark lakukan kali ini sia-sia begitu aja.

“Maaf” lirih Mark akhirnya.

Kening Ralia mengerut, “Maaf?” tanyanya. Takut-takut hanya salah dengar karena suara Mark begitu pelan nyaris nggak bisa didengar.

“Waktu itu—” Mark menghela nafas pelan, mencoba memberanikan diri menatap Ralia yang juga tengah menatapnya penuh tanda tanya,

“—Gue iseng doang”


[Flashback]

Sore itu hujan tiba-tiba turun sangat deras. Padahal siangnya matahari masih bersinar terik, bahkan siang tadi Ralia masih mengeluh kepanasan sambil meneguk rakus es jeruk yang ia pesan di kantin ketika istirahat kedua.

Mas Aan harus mengantar Ayahnya Ralia ke Bandara jadi Ralia terpaksa pulang dengan ojek online hari ini. Biasanya ia akan selalu menumbalkan Recan, tapi tetangganya yang satu itu nggak masuk sekolah hari ini karena tiba-tiba terserang demam.

“Kapan reda sih ini” keluh Ralia. Kepalanya kembali mengadah ke langit yang nggak kunjung menunjukan tanda-tanda akan berhenti menangis padahal udah nyari pukul empat.

Ralia mengerucutkan bibirnya. Sedikit menyesali keputusannya mengganti hari piket. Kalo aja dia nggak harus menjalankan kewajiban yang satu itu, Ralia pasti udah nebang Sabina dan saat ini tengah rebahan di atas kasurnya berbalut selimut di badannya dan melakukan rutinitasnya favoritnya akhir-akhir ini.

Menyelami akun instagram Ananta Mark.

Ah, memikirkan namanya aja Ralia langsung tersenyum malu.

Terhitung lima bulan berlalu sejak ia memutuskan untuk jatuh hati pada Mark. Si malaikat tanpa sayap -baginya- yang eksistensi nya selalu Ralia cari pertama kalj setiap jam istirahat di kantin karena cowok itu biasanya akan datang bersama dengan Recan.

Iya, dunia ternyata seolah memberi lampu hijau pada Ralia lewat kebetulan-kebetulan yang nggak disangka oleh cewek itu.

Lucu rasanya saat Ralia selalu memilih untuk melewati lorong anak-anak IPA saat ingin pergi ke kamar mandi dan kantin hanya demi bisa melewati kelas Mark dan melihat apa yang tengah crush nya itu lakukan di dalam. Padahal jarak kamar mandi dan kantin akan lebih jauh kalo harus mampir ke lorong anak-anak IPA lebih dulu.

Brakkk

Lamunan Ralia buyar saat sebuah suara gaduh mengambil atensinya.

Di ujung sana, nggak jauh dari tempat Ralia duduk, ada seorang cowok berhoodie abu-abu tengah memungut helmnya yang jatuh.

Ralia menyipitkan matanya. Postur tubuh cowok itu kelihatan familiar untuknya. Terlebih hoodie yang dia kenakan mengingatkan Ralia pada seseorang.

Mata Ralia nggak lepas mengamati pergerakan cowok itu sampai saat orang itu kembali bangkit, tudung hoodienya yang menutupi wajahnya secara nggak sengaja tersingkap.

Kedua mata Ralia membulat. Jantungnya langsung berpacu begitu cepat saat ia berhasil mengenali siapa yang saat ini juga sedang menunggu hujan reda sama sepertinya.

Ralia langsung menoleh ke arah lain. Ia memegang dadanya yang terasa ingin meledak, berharap agar berhenti berdebar karena ingin sekali Ralia berteriak sekencang mungkin.

ITU MARK! MARK YANG BARUSAN IA PIKIRKAN! MARK COWOK YANG IA SUKA!

Oke, sepertinya Ralia berubah pikiran. Ia sama sekali nggak merasa keberatan kalo hujan akan turun sampai besok.

Dengan senyum mengembang yang nggak bisa ia tahan, Ralia beberapa kali mencuri pandang pada Mark. Menerka-nerka apa yang tengah cowok itu lakukan sampai jari-jarinya menari cepat di atas layar ponselnya.

Mungkin Mark mulai sadar jika segala pergerakannya sedang diperhatikan, cowok itu lantas menatap Ralia yang dengan cepat melempar memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Duh, bego bego! Pasti anaknya nyadar deh. Ah, tuhkan! Pasti dia mau pindah karena sadar gue liatin terus dari tadi”

Ralia sibuk merutuki dirinya dalam hati. Sedikit merasa bersalah karena mungkin dirinya baru aja membuat Mark nggak nyaman karena Ralia bisa melihat melalui ekor matanya jika Mark mulai menyandang tasnya satu tangan sedang satu tangan yang laib menenteng helmnya.

“Sorry?”

Deg.

Suara bernada rendah yang Ralia kenali siapa pemiliknya itu sukses membuat kedua bahu Ralia menengang.

Berusaha menelan ludahnya susah payah, perlahan Ralia memberanikam diri untuk mendongak. Sesuai dugaannya tadi, Mark kini berdiri tepat di depannya. Bahkan menatapnya balik dengan sedikit menunduk. Dalam hati Ralia berdoa agar nggak menangis menahan malu karena ia yakin Mark mampu mendengar suara degup jantungnya yang begitu kencang.

“I-iya? ” suara Ralia bergetar. Rasanya ia ingin menangis saat melihat Mark yang menatapnya begitu intens dalam jarak sedekat ini.

“Lo...” Mark menjeda ucapannya sejenak. Sepasang mata jernih yang membulat di hadapannya saat ini membuat Mark mengurungkan niat awalnya dan justru mengatakan hal kelewat konyol yang mungkin pernah ia lakukan dalam hidupnya.

”... Mau jadi pacar gue gak?”

orentciz

Expected Unexpected Guest

Langkah kaki Ralia berhenti tepat pada anak keempat dimana dia bisa melihat seorang pemuda berkaos hitam tengah berbincang hangat dengan ibunya.

Merasa nggak siap untuk bertemu, Ralia buru-buru berbalik sebelum kedua orang di sana sadar akan kehadirannya, tapi sepertinya pergerakannya terlalu lambat karena satu panggilan berhasil menahan niatnya. Ibunya memanggil.

Cewek itu menelan ludahnya susah payah. Ia berbalik dan mendapati baik Ibunya ataupun cowok tadi kini tengah menatap ke arahnya. Karena merasa nggak ada pilihan lain, akhirnya Ralia menghampiri mereka, ikut duduk di salah satu sofa kosong dan yang pasti bukan di sebelah cowok itu.

Ralia menatap ibunya lurus dengan pandangan bertanya-tanya. Seolah mengerti kebingungan putrinya, ibu Ralia tersenyum.

“Tadi Ibu perginya sama Mas Aan, tapi tiba-tiba Ayah nelfon suruh Mas Aan anterin berkas penting. Nah, kebetulan Mark lagi di butik Aunty Anny juga, katanya sih mau ambil kebaya punya mamanya” pandangan wanita berumur pertengahan 30 itu berganti menatap Mark, “Ya, kan Mark?”

Ralia kini beralih menatap Mark yang mengangguk mengiyakan ucapan ibunya barusan

“Li, kamu temenin dulu, ya Mark nya. Ibu mau bikin minum sebentar”

Kedua mata Ralia membulat. Buru-buru ia menahan tangan Ibunya yang baru saja hendak beranjak. Berdua? dengan Mark? Tentu bukan ide bagus.

“Lia, aja yang buat minumnya!” pekik Ralia tiba-tiba yang sontak membuat Ibunya mengernyit heran.

“Udah di sini aja. Itu Mark katanya kangen tadi. Temenin aja di sini, biasa juga kamu seneng ditinggal berdua kalo Mark main ke sini”

Blushhh

Semurat merah menjalar di pipi Ralia. Dilihatnya Mark yang kelihatan terkejut namun tetap berusaha memaksakan sebuah senyum canggung di wajahnya.

Boleh Ralia jadi menghilang detik ini juga?

Akhirnya setelah kepergian Ibu ke dapur, hanya ada mereka berdua di sana. Mungkin bertiga dengan kecanggungan yang menyelimuti.

Mark hanya diam, nggak melakukan hal lain, tapi entah kenapa berhasil membuat Ralia salah tingkah sendiri. Daritadi ia bergerak gelisah, mengetuk-ngetukan kakinya ke lantai. Harusnya ia bisa menebak siapa yang datang saat mendengar suara mesin kendaraan yang nggak asing itu dari kamarnya.

Tapi Ralia memilih acuh karena pikirnya nggak mungkin kalo itu adalah Mark. Buat apa mantannya itu ke sini?

Di tengah-tengah lamunannya itu, Mark tiba-tiba berdehem pelan, “Sorry. Gue gatau kalo ibu lo gak tau kita udah...” Mark mencoba menatap Ralia, “putus” sambungnya dengan nada yang begitu pelan saat mengucapkan satu kata terakhir itu.

Sedangkan Ralia hanya bisa mengulum bibirnya, bingung mau menjelaskan seperti apa.

Memang Ralia belum bercerita pada Ibunya kalo dia dan Mark udah lama putus. Bukan mau menutup-nutupi, hanya saja belum ada waktu yang lenggang untuk bertukar cerita menyedihkannya yang satu ini. Tapi, sepertinya bukan itu yang harus Ralia khawatirkan.

“Iya, gue belum cerita. Maaf ya kalo tadi ibu gue ngomong yang aneh-aneh. Itu pasti bikin lo ga nyaman.”

Mark hendak menjawab lagi. Namun, ponselnya mendadak berbunyi. Ia merogoh kantong celananya, meraih ponselnya yang tengah mendapat panggilan masuk.

Melihat Mark yang hanya diam memandangi ponsel di tangannya, sedikit membuat Ralia penasaran siapa kira-kira yang menelpon cowok itu. Diam-diam, Ralia mencoba melirik dan selanjutnya ia menyesali perbuatannya itu karena mendadak hatinya seolah baru saja mendapat dentuman keras kala melihat sebuah nama yang terdiri dari empat huruf itu terpampang di sana.

Tatapan penasaran tadi kini berganti dengan sorot nanar tak lupa tersenyum miris mengasihani dirinya sendiri.

Dengan cepat Ralia memalingkan wajahnya ke arah lain ketika Mark memasukan kembali ponselnya itu tepat setelah menggeser tombol merah di sana.

“Abis CFD sama Recan?” Mark kembali bersuara

“H-ah?” Ralia terkesiap untuk sesaat, “O-oh, iya”

Mark mengangguk mengerti kemudian karena sama-sama nggak tau harus melakukan apa, suasana kembali jadi canggung.

Untungnya hal itu nggak berlangsung lama karena Ibu Ralia kembali dengan segelas jus Jeruk dingin dan beberapa toples kue kering.

“Minum dulu, Mark” ujar Ibu Ralia.

Nggak ada pembicaraan penting. Hanya sekadar basa-basi tentang bagaimana Mark di sekolah, Apa rencana cowok itu setelah lulus, Kemana dia akan lanjut kuliah, pokoknya hal-hal basic yang pastinya nggak Ralia dengarkan dengan baik karena cewek itu sendiri sibuk merutuki dirinya yang masih aja merasa gugup melihat Mark.

“Pulang dulu, tante” Mark tersenyum kemudian nggak lupa menyalim ibunya Ralia.

Sebagai tuan rumah yang baik, tentunya Ralia berjalan mengekori Mark di belakang. Mengantar cowok itu hingga ke gerbang setelah ia mengatakan bahwa harus ke rumah Recan untuk mengambil buku catatannya yang dipinjam.

“Makasih, Mark” kata Ralia sekali lagi.

Mark menarik kedua senyumnya. Senyum yang lagi-lagi berhasil membuat Ralia jatuh pada pesona cowok itu.

Dari dulu memang senyuman Mark lah yang menjadi daya tariknya di mata Ralia. Lengkung bibir itu selalu terlihat menyenangkan walaupun bukan ditujukan untuk dirinya

“Sama-sama, Li”

orentciz

Ada Hati yang Terluka

“Bin—”

“Li, sumpah. Mark itu sehebat apasih? Sampe lo kayak gini?”

Alis Ralia tertaut mendengar ucapan Sabina. Gadis itu bahkan belum lima detik mendudukan dirinya di atas kursi, tapi satu pertanyaan dari Sabina lebih dulu menyambutnya sebagai ucapan selamat datang.

Terlebih nama yang barusan disebut sama sekali bukan sesuatu yang Ralia kira akan menjadi bahasan dari pertemuan mereka di Mcd malam ini.

“Kok jadi Mark?” tanya Ralia bingung.

Sabina membenarkan kursi duduknya sebelum memajukan badannya mendekat pada Ralia. “Lo udah pernah ngasih apa ke dia sampe kayaknya lo sengestuck ini sama dia? Atas bawah udah?”

Mata Ralia membulat, seolah nggak percaya dengan apa yang barusan Sabina katakan.

Atas bawah.

Ralia tentu nggak sepolos itu buat nggak mengerti maksud atas bawah yang dibicarakan. Ia paham.

“Anjing. Lo kira gue murahan?!” Suara Ralia meninggi, bahkan rasanya dia nggak peduli dengan beberapa pasang mata yang menoleh padanya. Persetan menjadi tontonan, harga diri Ralia baru saja dilukai oleh Sabina.

Menarik diri mundur, Sabina menghela nafas, sadar jika kata-katanya sedikit keterlaluan. PIkirannya sendiri sedang dipenuhi beberapa hal yang cukup menganggu kemampuan otaknya berpikir jernih. Salah satunya permasalahan Dhanu dan Ralia yang berhasil menariknya turun tangan secara nggak langsung.

“Sorry, maksud gue ga gitu..” lirih Sabina merasa bersalah tanpa berani menatap Ralia di hadapannya.

Hening.

Keduanya mendadak diam, sama-sama bungkam berusaha meredakan emosi masing-masing.

Tersadar jika tujuannya bukan untuk membisu seperti ini, Ralia memilih mengalah dan membuka suara lebih dulu. “Lo lagi deket sama Dhanu?” pertanyaan yang seharian ini menggerayang di kepalanya akhirnya bisa ia tanyakan langsung.

“Deket dalam artian apa? Kalo TEMEN iya, kalo DEMEN enggak” ujar Sabina sambil secara jelas sengaja menekan dua kata yang terdengar mirip itu dengan maksud dan tujuan tersendiri.

“Jangan”

Sabina berdecih pelan, “Jangan? Kenapa emang?”

Sebelah alis cewek itu terangkat, ia penasaran dengan jawaban yang akan Ralia berikan selanjutnya.

Satu kata yang merujuk pada larangan itu sukses menarik sudut bibir Sabina menyungging. Masih setia menunggu Ralia yang nampak sedang memikirkan sesuatu.

“Lo cemburu—”

“Enggak. Gue gak cemburu, Bin” potong Ralia cepat.

“Terus? Kenapa jangan?”

Ralia mengusap wajahnya lelah. Sebenarnya ia ragu untuk mengatakan hal ini pada. Tapi Ralia nggak mau Sabina merasa bingung atau bahkan salah paham jika Ralia nggak memberikan alasan atas kata jangan nya barusan.

Ralia menghela nafas berat. “Gue gak mau lo dijadiin pelarian. Gaenak, Bin dijadiin pelarian”

Menunduk sambil meremas kedua tangannya gelisah, Ralia teringat dirinya sendiri.

“Bin, waktu di Bandung Dhanu bilang kalo—”

“Kalo dia suka sama lo dan lo nolak dia bahkan tanpa basa basi? Iya?”

Ralia mengangkat kepalanya, ia nggak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sabina tau? Tapi bagaimana bisa?

Pertanyaan itu muncul di kepala Ralia dan seolah tau hal tersebut, Sabina mendengus geli sambil merapatkan jaket yang ia kenakan.

“Dhanu cerita ke gue”

Sabina menjelaskan semua. Bagaimana Dhanu menceritakan dari awal hingga akhir kejadian malam itu saat mereka duduk di bus dalam perjalanan kembali ke Jakarta.

Semua kecuali satu hal yang rasanya Sabina nggak berhak memberi tahukan itu pada Ralia.

“lo pasti tau kan maksud Dhanu deketin lo selama ini? Kenapa nggak lo tolak dari awal kalo emang gamau, Li?”

Ralia tersenyum tipis penuh arti. Jelas ia tau, makanya malam itu ia memutuskan untuk memperjelas hubungan mereka secara tersirat, menjadikan nostalgia perkenalan sebagai pembuka obrolan, berharap agar Dhanu mengerti sebelum jadi semakin rumit.

Walaupun awalnya Ralia pikir dialah yang salah mengartikan kebaikan Dhanu padanya, tapi ia dengan cepat tersadar jika semua perlakuan Dhanu pada Ralia bukanlah sesuatu yang akan dilakukan lawan jenis tanpa niat terselubung di dalamnya. Semua cukup jelas di mata Ralia.

Sayangnya, ada pernyatan mengejutkan lain yang Ralia terima malam itu.

Dan memikirkannya, membuat Ralia takut apabila dekatnya Dhanu dan Sabina yang mendadak seperti ini hanyalah sebagai pelampiasan atas kekecewaan cowok itu pada dirinya.

Dijadikan opsi kedua. Cukup Ralia yang merasakan pahitnya, jangan sampai Sabina juga harus berbagi cerita yang sama nantinya.


malam itu, di Bandung

“Gue suka sama lo”

Sebuah teriakan sukses menghentikan langkah Ralia.

“Gue suka sama lo, Ralia!”

Ralia menggigit bibir bawahnya. Untuk alasan yang nggak dia ketahui, jantungnya berdegup cepat.

“Gue gatau apa ini waktu yang tepat atau enggak, tapi gue cuman mau tau kalo gue suka sama lo. Gue punya perasaan lebih dari sekedar teman”

Ralia memejamkan matanya, sedangkan di belakang sana Dhanu setia menatap Ralia menunggu cewek itu merespon pengakuannya barusan.

Dhanu hanya merasa... kalo dia perlu menghapus batas yang baru saja Ralia perjelas untuk mereka. Padahal sebelumnya ia telah memutuskan untuk memendam sendiri sampai waktunya tepat. Tapi malam ini ia justru melanggar keputusannya sendiri.

“Jangan salah paham, Li. Gue cuman mau—”

“Jangan suka sama gue”

Dhanu bergeming. Ia benar-benar berharap kalo apa yang barusan ia dengar itu salah. Dhanu memutuskan untuk menulikan indra pendengarannya saat ini.

“Apa?”

Ralia menghela nafas sebelum memutar badanya, menatap Dhanu yang berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya saat ini.

Tangan Ralia tanpa sadar mulai meremas kuat plastik yang ia pegang, berharap dapat melampiaskan rasa gugup yang melanda hatinya.

“Jangan suka sama gue, Dhanu” jelas Ralia lagi, sekuat tenaga ia jaga nada bicaranya agar nggak terdengar bergetar sambil berharap agar kali ini Dhanu mendengarkan dengan jelas sehingga Ralia nggak perlu mengulang untuk ketiga kalinya.

Ia nggak sanggup.

“K-kenapa?”

Melihat perempuan itu diam, Dhanu merasa tau alasannya. Hatinya tiba-tiba mencelos untuk kedua kalinya. Yang pertama jelas saat Ralia mendeklarasikan hubungan mereka yang hanya sebatas teman beberapa saat lalu.

“Apa gue ga punya kesempatan?” tanya Dhanu. Ada secercah harapan dari matanya saat menatap Ralia.

Yang sayangnya, harus pupus lagi.

“Enggak. Gak punya. Jadi jangan suka sama gue”

Menelan kecewa yang terasa pahit, Dhanu tersenyum miris. Bukan karena ia baru saja ditolak mentah-mentah, tapi karena Ralia memberikan jawaban bahkan tanpa berpikir barang sedetikpun, menandakan dari awal hingga detik ini, Dhanu belum dipersilahkan untuk masuk ke dalam hati perempuan itu.

Mungkin tidak akan pernah karena hanya ada satu nama yang merajai relung terdalam itu.

Mark.

orentciz

Dua Tempat Berbeda

Dinginnya udara jam delapan malam kota Bandung seperti nggak ada artinya bagi dua orang pemuda yang saat ini sedang berdiri di balkon kamar hotel yang mereka tempati.

“Abel nelpon lo berkali-kali” suara Arjuna yang berdiri di sebelah Mark terdengar. Lengkap dengan rambut yang masih setengah basah dan handuk merah tergantung di pundaknya cukup jelas jika cowok bermata sipit ketika tersenyum itu baru saja selesai mandi.

Melalui ekor matanya, Mark melirik Arjuna yang belum lama datang menghampirinya itu.

Recan sendiri udah pergi entah kemana setelah Arjuna dan Mark terang-terangan menolak ajakannya untuk berkeliling Bandung malam ini dan sukses membuat sahabatnya sejak di bangku SMP itu pergi sambil bersungut kesal kira-kira satu jam yang lalu.

“Anjing, menuh-menuhin bus doang lo ngikut GTC” kesalnya sebelum beranjak menyisakan Arjuna dan Mark di kamar berdua.

“Gak sengaja liat pas hp lo lagi dicas” Arjuna cepat-cepat menjelaskan saat sadar jika Mark tengah meliriknya diam-diam.

Selepas mandi tadi, Arjuna yang kebetulan sedang mencari kaca matanya terpaksa harus menggeledah hingga meja wilayah tidur Mark dan disitulah dia nggak sengaja melihat layar ponsel Mark menyala karena ada sebuah panggilan masuk dari Abel. Panggilan tersebut mati sendirinya dan mengalihkannya pada layar lockscreen yang memperlihatkan puluhan panggilan tak terjawab lainnya masih dari orang yang sama.

Mark hanya mengatupkan bibirnya rapat, diam tanpa merespon.

Dia memang sengaja nggak mengangkat satupun telpon dari Abel. Tentunya bukan tanpa alasan kenapa Mark melakukan hal tersebut. Persetan dibilang terlalu kekanakan oleh Abel yang justru berulang kali mencoba membujuk Mark agar nggak terlalu membesarkan masalah kecil seperti ini.

Masalah kecil katanya. Mungkin Abel benar-benar nggak bisa melihat apa aja yang telah Mark buang demi dirinya. Demi orang yang kembalinya selalu ia tunggu-tunggu tapi justru membawa kekecewaan mendalam untuk Mark sendiri.

Recan benar, Mark sama sekali nggak niat ikut acara yang selalu dinantikan oleh seluruh siswa kelas 12 ini. Alasan kenapa dia bisa berakhir di sini hanya untuk menghindar dari Abel. Ah, bahkan mendengar namanya membuat hati Mark tercubit.

Arjuna ikut mengalihkan kembali pandangannya ke depan. Mengamati jalanan Bandung yang ramai di bawah sana.

“Gue sebenernya penasaran sama hal ini dariawal lo bilang kalo Abel balik” Arjuna lagi-lagi membuka obrolan, masih sambil terus menatap lurus ke depan, begitu juga manusia di sebelahnya yang melakukan hal serupa. “Gue tau banget gimana perasaan lo dulu sama dia. Tapi apa iya perasaan lo sampe detik ini ke dia masih sama? Lo yakin perasaan lo ke Abel sekarang itu perasaan suka? Sukanya cewek ke cowok?”

Arjuna yang biasanya nggak begitu peduli dan selalu memilih menjadi penonton di kehidupan cinta Mark kali ini berhasil membuat Mark mengernyit heran memasang raut gusar mendengar pertanyaan nggak masuk akal Arjuna tadi.

Semua orang di sekolah tau seberapa besar rasa suka Ananta Mark yang kala itu hanya seorang siswa biasa kelas 10 pada Gabriella Alona si wakil ketua osis yang selalu menjadi kesukaan warga sekolah.

Pertemuan singkat keduanya dibilang cukup sederhana, Abel yang hari itu harus membawa tumpukan buku-buku dari perpustakaan dengan terburu-buru harus menabrak Mark yang datang dari arah sebaliknya secara nggak sengaja saat di persimpangan koridor dan membuat Abel tersungkur bersama buku-buku yang akhirnya ikut jatuh berserakan.

Merasa bersalah, Mark ikut membantu merapikan bahkan menawarkan diri untuk membawa sebagian yang akhirnya disetujui oleh Abel dan akhirnya keduanya berjalan bersama menuju salah satu ruangan di sekolah yang keberadaannya baru saja diresmikan oleh sekolah beberapa hari lalu. Ruang osis.

“Kebetulan lo tinggi, bisa bantuin nempel ini nggak di sana” Tanya Abel sambil menjulurkan sebuah mading pada Mark.

“Ke sana?” tanya Mark kemudian setelah mendapat anggukan dari Abel, Mark menggeser kursi kosong untuk dijadikan pijakannya naik.

“Makasih banget” ujar Abel nggak lupa memasang senyum lebar saat Mark kembali turun dari atas kursi. “Btw nama lo siapa?”

“Mark”

Sejak saat itu, Abel yang memang dikenal ramah pada semua orang selalu menyempatkan diri untuk menyapa Mark tiap kali mereka berdua bertemu. Sesederhana itu pula, dari mata turun ke hati, hanya dengan senyuman dan sapaan dari Abel, Mark menaruh rasa pada kakak kelasnya yang secara kebetulan ternyata anak dari teman arisan mamanya.

Mark menegakan tubuhnya, merubah posisi berdirinya. “Jun, lo tau gak kenapa gue nekat nembak Ralia waktu itu?”

Guratan di dahi Arjuna seolah menjelaskan betapa bingung dirinya atas pertanyaan yang Mark lontarkan, “Tau. Pelarian kan?” jawab Arjuna.

Ia bahkan masih ingat betapa buntu otaknya karena berusaha mencerna berita yang sempat menghebohkan sekolah waktu itu. Arjuna menolak percaya dan rasanya nggak akan bisa percaya. Apalagi karena dia tau alasannya.

“Gue juga berusaha, Jun lupain dia. Tapi apa? Sia-sia. Perasaan gue ke Abel masih sama. Buktinya gue sekecewa ini, Jun” Sorot mata Mark memang menggambarkan jelas bahwa cowok itu sedang dirudung rasa resah dan gelisah.

“Oke, kalo gitu pertanyaannya gue ganti. Kalo Ralia gimana? Apa lo beneran nggak pernah punya perasaan sama dia?”

Gantian, kali ini Mark yang menoleh bingung. Matanya sibuk menatap Arjuna yang hanya meliriknya sekilas itu.

“Enggak” jawab Mark singkat kembali memalingkan wajahnya.

Arjuna tertawa, nadanya terdengar meremehkan. Ia memutar badanya menghadap Mark pada detik berikutnya.

“Bohong”

Sebuah senyum sinis terpapar di wajah tampan Arjuna. Bukan hanya Recan yang telah lama menjadi sahabat Mark, dirinya pun juga. Sayang mereka bertiga harus berpisah saat memasuki masa putih abu-abu karena Arjuna memilih untuk mengambil jurusan IPS sedangkan Recan dan Mark mengabil jurusan IPA.

Hal itu tentunya nggak lantas membuat ketiga orang ini otomatis menjauh dengan mudah. Justru kedekatan mereka semakin menjadi setelah resmi mendapatkan SIM dan nggak jarang nekat melakukan ridding hingga ke daerah puncak lalu berakhir menginap di rumah salah satunya.

Nyaris 6 tahun mereka lalui sebagai seorang sahabat. Ada banyak hal yang telah mereka lalui bersama, ada banyak kebiasaan yang udah satu sama lain yang ketahui, dan ada banyak rahasia juga yang mereka bagi pada satu sama lain.

Arjuna bukannya nggak tau alasan Mark akhirnya memilih menjadikan orang lain pelarian atas rasa yang bahkan belum sempat dia utarakan pada Abel karena cewek itu udah lebih dulu pergi ke Amerika untuk mengikuti kegiatan pertukaran pelajar dan menghabiskan kurang lebih satu tahun di sana.

Arjuna dan Recan tau. Tapi mereka nggak bisa melakukan apa-apa karena berusaha untuk mengerti perasaan Mark tentunya sebagai sahabat yang baik.

Sayangnya, cerita berkata lain saat yang harus jadi korban adalah Ralia, teman kecil sekaligus tetangga Recan. Arjuna sendiri masih nggak mengerti alasan Mark memilih Ralia padahal setaunya mereka berdua hanya sebatas kenal nama. Ngga lebih dan nggak kurang, kecuali ada hal lain yang nggak Arjuna ketahui.

“Meskipun cuman sedikit, pasti ada, Mark. Begonya, lo nggak tau aja atau mungkin lo tau tapi pura-pura bego. Tapi sama ajasih, bego bego juga” Arjuna berkata dengan begitu tenang walaupun apa yang dia katakan terdengar menohok di telinga Mark.

“Kenapa lo mikir gitu?”

Mark bisa melihat senyum tipis penuh arti di bibir Arjuna sebelum cowok itu menjawab pertanyaannya.

“Ada banyak. Perlu gue jabarin semua?” tawar Arjuna

Mark memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Arjuna. “Kasih gue satu contoh”

Arjuna menarik nafasnya pelan, nampak berpikir untuk sejenak fakta mana yang kira-kira bisa menyadarkan temannya itu. “Mata lo gabisa lepas dari Ralia selama di bus. Nyadar ga lo?”

Mark bungkam. Reflek menatap manik tenang Arjuna secara intens. Rahangnya tiba-tiba mengeras seolah dia baru saja tertangkap basah melakukan suatu kejahatan.

“Gue—”

“Atau pas lo masih pacaran deh. Waktu lo sok nagih duit goceng lo ke gue, padahal utang gocap gue sama lo aja ga lo tagih-tagih tuh sampe detik ini. Lo waktu itu bukan ke kelas gue cuman buat nagih duit, kan? Mau liat Ralia yang sama Dhanu? Apa gimana?”

“Jun—”

“Ego lo, Mark. Singkirin ego lo. Terima aja kalo lo udah jatuh hati sama Ralia dan lo kalah dalam permainan yang lo buat sendiri. Gue kenal lo udah lama, gue bisa liat gimana mata dan sikap lo ke dia selama ini.”

“Gue selama ini nggak segacor Recan yang ngatain lo brengsek karena gue tuh nyadar, sebenarnya lo mulai hanyut kebawa perasaan dan suasana. Ya jelas sih, orang Ralianya aja begitu. Gue aja sirik sama lo yang bisa dapet cewek yang selapang dada itu ngadepin lo yang gatau diri gini. Kalo gue bukan temen lo, udah gue gebet kali anaknya sekarang juga.”

Tangan Arjuna terjulur, ditepuknya pundak Mark pelan meski Mark masih enggan menoleh padanya, “Mungkin buat lo Abel ga segampang itu lo lupain karena dia orang pertama yang hadir di hati lo, tapi bukan berarti lo gabakal bisa jatuh cinta sama orang lain selain dia. Ralia nggak kehilangan lo, banyak Mark yang mau sama dia, justru lo yang sebenarnya kehilangan dia di sini. So, love her or leave her. Pilih, Mark”

Arjuna membawa dirinya masuk kembali ke kamar, meninggalkan Mark yang termenung memikirkan sesuatu di depan sana sendirian.


Ralia menyusuri tepi jalan Braga bersama seorang pemuda di sebelahnya. Sambil sesekali menyesap hot latte yang dibeli ketika keduanya mampir ke salah satu toko kopi, Ralia sibuk mengatakan semua hal yang ada di pikirannya selama 4 hari ini.

Dhanu.

Cowok itu seperti nggak rela mengalihkan pandangannya barang sedetikpun dari wajah Ralia yang terlihat manis di bawah penerangan lampu-lampu jalan. Bahkan Dhanu sampai mengabaikan semua kata yang tengah Ralia ucapkan karena terlalu fokus memandangi pahatan wajah perempuan itu.

“Lo tau gak sih, Nu? Dulu pas kelas sepuluh, gue takut tau sama lo”

Dhanu mengerjap, memalingkan wajahnya cepat saat Ralia menoleh padanya.

“Oh, ya? Kenapa?”

“Lo tuh serem banget kalo ngeliatin orang. Jutek. Kayak mau makan orang” kata Ralia sambil kembali membayangkan bagaimana ngerinya dia waktu pertama kalinya kenal Dhanu dalam Masa Orientasi Siswa dulu. “Makanya gue jarang banget kan ngobrol sama lo meskipun kita sekelas terus.”

Dhanu mengangguk pelan.

“Tapi sekarang kita malah jadi deket gini. Segala lo jajanin ini lagi” Ralia mengangkat paper bag berisi beberapa jajanan yang dibelikan Dhanu untuknya. Jajanan yang sering Ralia beli waktu kecil yang mungkin nggak akan dia temukan lagi saat kembali ke Jakarta besok.

Dhanu ikut menghentikan langkahnya saat Ralia tiba-tiba berhenti dan mengulas sebuah senyum tulus sambil menatap Dhanu dalam.

“Makasih udah mau jadi temen gue”

Teman.

Ada perasaan mencelos aneh yang menjalar di hati Dhanu saat mendengar ucapan Ralia barusan.

Sebuah senyum yang menyiratkan kekecewaan terukir di wajah Dhanu, netranya mencoba menatap lurus punggung Ralia yang udah lebih dulu berjalan beberapa langkah di depannya, meninggalkan Dhanu yang masih diam tak bergeming di tempatnya.

Malam ini, Ralia baru saja memperjelas hubungan mereka. Menorehkan garis batas kasat mata yang membatasi Dhanu.

Teman.

Hanya teman.

orentciz