Abstract.
disclaimer : kalimat langsung yang ditulis miring tandanya percakapan flashback
“Gue ikut.”
“Nggak!”
“Gue ikut atau mamah lo sore ini bakalan tau kalo lo udah seminggu ga sekolah?!”
Perdebatan yang seolah tak ada ujungnya tadi pagi akhirnya berakhir dengan Rachel yang mengalah dan menyetujui keinginan Hanan untuk ikut dengannya.
Rachel sama sekali tidak mengerti kenapa cowok itu begitu keras kepala padahal Hanan bisa saja memilih untuk tidak mempedulikan fakta jika Rachel sudah nyaris seminggu lebih tidak pernah datang ke sekolah.
Ralat.
Ia selalu datang ke tempat di mana dirinya menuntut ilmu selama kurang lebih 3 tahun ini, tetapi begitu ia turun dari mobil dan memastikan jika mamahnya telah melaju jauh dari sana, Rachel memutar langkahnya menuju gerbang belakang dan pergi.
Dengan tangan yang terlihat sedikit ragu-ragu untuk berpegangan pada sang pengemudi, Rachel memalingkan wajahnya menatap jalanan sambil berpikir.
Ia tau jika cepat atau lambat aksi bolosnya pasti akan diketahui, tetapi Rachel tidak pernah membayangkan jika yang akan tahu adalah Hanan.
Sedangkan di depannya, Hanan beberapa kali mencuri pandang lewat kaca spion hanya untuk mendapati Rachel yang melamun memperhatikan jalanan. Namun, gurat kesal yang tercetak di dahinya cukup membuat Hanan berdecih geli.
Ingatannya terbang pada saat di gerbang tadi. Raut terkejut milik Rachel seolah tidak bisa gadis itu sembunyikan tatkala Hanan terang-terangan menangkap basah Rachel yang berniat membolos.
“Gue gak tau apa yang ada di otak lo atau kenapa lo sampe nekat buat blokir nomor wali kelas lo sendiri di hp mamah lo, tapi kalo hari ini lo masih ngeyel mau cabut, gue ikut.”
Rachel segera turun dari motor milik Hanan, kemudian memberikan helm kepada cowok itu sedangkan Hanan terlihat menatap bangunan yang ada di depannya saat ini dengan sebelah alis terangkat.
Tempat apa ini?
“Thanks udah nganterin gue, sekarang lo balik ke sekolah. Jangan bolos!” tukas Rachel kemudian berlalu dari sana begitu saja.
Hanan mendengus. Dia tidak ada di sini hanya untuk berbaik hati mengantar Rachel tentunya. Setelah menggantungkan helm pada spion, Hanan ikut turun dan mengikuti Rachel yang telah berjalan lebih dulu di depan sana.
Klek
Rachel mendorong pelan pintu coklat yang sebelumnya terkunci. Sebuah ruangan minimalist yang berisi ragam lukisan pada dindingnya seolah menyapa begitu Rachel masuk.
Dengan menghela nafas berat Rachel melangkah masuk, ia melempar asal tasnya kemudian membuka tirai mengundang sebanyak mungkin cahaya matahari untuk masuk ke dalam.
Ia memejamkan mata kala sinar hangat tersebut menabrak wajahnya. Sayang hal itu tidak bertahan lama karena detik berikutnya suara benda jatuh menginterupsi dari belakang sana.
“Sorry, ga sengaja”
Pundak Rachel merosot lemas saat netranya mendapati sosok Hanan yang ternyata masih mengikutinya sampai ke sini.
“Lo ngapain sih?” ketus Rachel memperhatikan Hanan yang tengah merapikan kaleng berisi kuas-kuas yang tidak sengaja ia senggol hingga isinya berserakan ke lantai.
Hanan tidak menjawab sampai ia meletakan kembali kuas-kuas tadi ke tempatnya semula, cowok itu melangkah pelan mendekati Rachel kemudian berdiri tepat di sebelahnya.
“Lo kenapa bolos?”
Rachel mengernyit. Ia memutar tubuhnya menghadap Hanan, “Bukan urusan lo???”
“Awalnya iya, tapi berhubung walas lo minta tolong gue cari tau, jadi sekarang mau ga mau ini urusan gue juga.”
Mendengar jawaban yang diberikan Hanan, entah kenapa ada sedikit rasa kecewa terbesit dalam hati kecil Rachel. Ia pikir Hanan memang sadar jika Rachel tidak terlihat di sekolah dan laki-laki itu melakukan ini atas rasa inisiatifnya sendiri, rupanya Rachel keliru. Hanya sebatas suruhan wali kelasnya. Ya, kenapa juga Hanan harus sepeduli itu pada dirinya jika bukan karena suruhan wali kelas? Tentu Rachel tidak sepenting itu.
Tersadar, Rachel hanya mengulum senyum pahit.
Selama seminggu ini ia benar-benar berharap ada seseorang yang sadar jika ia tidak masuk sekolah dan mau berbaik hati menanyakan alasannya pada Rachel.
Terutama Aliya dan Aura.
Munafik memang kedengarannya, tetapi Rachel benar-benar masih sangat berharap kedua orang yang pernah menyandang status sebagai sahabatnya itu memiliki sedikit rasa khawatir atau mungkin penasaran. Karena jujur alasan Rachel bolos adalah untuk menghindar dari mereka.
Namun, Rachel harus rela ditampar oleh kenyataan bahwa tidak ada seorang pun di sekelilingnya yang peduli. Ah, Rachel benar-benar lupa jika ia memang tidak memiliki teman lain selain Aura dan Aliya. Bahkan Aliya juga ternyata berteman dengan Rachel karena keterpaksaan.
Hanan? Entahlah, Rachel sendiri bingung sebenarnya apa hubungannya dengan Hanan.
Terkadang Rachel merasa dekat, tetapi juga jauh di saat yang bersamaan.
“Gue mau sendiri. Please pergi, Nan,” pinta Rachel.
Hanan bisa menangkap adanya perubahan dari nada bicara Rachel. Dan dugaannya terlihat benar karena begitu ia menatap wajah perempuan itu, pandangan sendu terpapar sangat jelas.
Hanan menarik nafasnya, “Gue ga bakal ganggu lo. Anggep aja gue gak ada, lo bisa lakuin apapun yang lo mau, gue cuman bakal diam, tapi biarin gue nemenin lo di sini.”
Dan Hanan benar-benar memegang ucapannya dua jam lalu.
Cowok itu hanya duduk diam di sofa memperhatikan Rachel yang tengah memasang canvas baru pada penyangga setelah menyelesaikan lukisan yang sebelumnya.
6 tahun lalu tepatnya ketika Hanan menginjak bangku SMP, untuk pertama kalinya ia kenal dengan Rachel. Keputusannya untuk ikut ibunya datang ke arisan yang saat itu diadakan di rumah Rachel ternyata tidak seburuk yang ia bayangkan karena sejak saat itu untuk pertama kalinya Hanan berkenalan dengan teman lawan jenis sebayanya.
Hanan bukan tipe anak yang akan mengajak kenalan lebih dahulu, jika sudah kenal pun ia bukanlah jenis orang yang akan memulai obrolan. Hanan pendiam, cenderung cuek dengan keadaan, dan tidak mau ikut campur dalam masalah orang lain. Sedangkan Rachel sebaliknya.
Saat itu Hanan benar-benar menganggap Rachel perempuan yang aneh karena selalu berusaha mengajak Hanan mengobrol, katanya ia bosan, padahal Hanan yakin sudah memasang raut wajah tidak nyaman, tetapi entah Rachel yang tidak sadar atau tidak peduli Hanan juga tidak mengerti.
“Daripada kita bengong di sini, kamu mau ikut aku ke halaman belakang gak? di sana ada istana kecil aku! Kata mamah sih namanya studio, nanti aku tunjukin lukisan aku, kalo kamu mau nanti aku kasih satu juga buat kamu simpen”
Tanpa sadar, seulas lengkung tipis muncul di wajah Hanan mengingat kejadian 6 tahun lalu itu. Lucu rasanya karena keduanya justru berada si sekolah yang sama saat SMA, tetapi baik Hanan maupun Rachel sama-sama canggung tiap kali bertemu di sekolah, padahal mereka sebenarnya tidak secanggung itu di luar.
“Lo kenapa suka banget ngelukis yang ga jelas gitu sih?” Hanan akhirnya membuka suara setelah dari tadi hanya diam memperhatikan. Belum ada dua detik, ia langsung merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa menahan pertanyaan padahal ia sudah berjanji hanya akan diam melihat.
“Ga jelas gimana?”
Mendengar respon Rachel yang sepertinya terdengar biasa saja, Hanan menelan ludahnya, “Ya... gitu... kaya yang lagi lo gambar,” katanya takut-takut Rachel tidak akan menjawab pertanyaannya lagi.
“Ini namanya abstrak bukan ga jelas,” tegur Rachel meralat ucapan Hanan sambil masih terus menaruh fokusnya pada kedua kuas di tangannya, “Ya gapapa, hobi aja,” ia menjawab.
Hanan kembali tersenyum lega saat yakin jika Rachel sama sekali tidak keberatan diajak bicara, “Tapi kenapa harus lukis kaya gituan? padahal lo juga bisa bikin yang lebih bagus, kaya lukisan bunga tadi,” tanya Hanan masih tidak puas dengan jawaban Rachel. Lukisan bunga Lavender adalah lukisan yang pertama Rachel buat sebelum lukisan abstak yang tengah ia kerjakan sekarang.
Masih di posisi duduk yang sama, Rachel tersenyum tipis, “Ga ada lukisan jelek, Nan. Semua lukisan itu bagus, cuman perlu orang yang tepat buat paham kalo lukisannya bagus dan mungkin lo bukan orangnya.”
Mata Hanan di belakang sana menatap lekat gadis manis yang terlihat begitu fokus menorehkan warna warna ke atas canvas berukuran sedang itu, lantas ia mengangguk, “Oh, konsepnya berarti sama kaya lo.”
“Hah? maksudnya?” tanya Rachel tak mengerti. Ia membalikan badannya, mengalihkan pandangannya dari canvas pada Hanan di belakang sana.
“Lo itu cantik. Cuman perlu orang yang tepat buat paham kalo lo cantik dan mungkin...” Laki-laki itu berdehem pelan sebelum melanjutkan kalimatnya, “Gue orangnya.”
orentciz