orentciz

Dua Tempat Berbeda

Dinginnya udara jam delapan malam kota Bandung seperti nggak ada artinya bagi dua orang pemuda yang saat ini sedang berdiri di balkon kamar hotel yang mereka tempati.

“Abel nelpon lo berkali-kali” suara Arjuna yang berdiri di sebelah Mark terdengar. Lengkap dengan rambut yang masih setengah basah dan handuk merah tergantung di pundaknya cukup jelas jika cowok bermata sipit ketika tersenyum itu baru saja selesai mandi.

Melalui ekor matanya, Mark melirik Arjuna yang belum lama datang menghampirinya itu.

Recan sendiri udah pergi entah kemana setelah Arjuna dan Mark terang-terangan menolak ajakannya untuk berkeliling Bandung malam ini dan sukses membuat sahabatnya sejak di bangku SMP itu pergi sambil bersungut kesal kira-kira satu jam yang lalu.

“Anjing, menuh-menuhin bus doang lo ngikut GTC” kesalnya sebelum beranjak menyisakan Arjuna dan Mark di kamar berdua.

“Gak sengaja liat pas hp lo lagi dicas” Arjuna cepat-cepat menjelaskan saat sadar jika Mark tengah meliriknya diam-diam.

Selepas mandi tadi, Arjuna yang kebetulan sedang mencari kaca matanya terpaksa harus menggeledah hingga meja wilayah tidur Mark dan disitulah dia nggak sengaja melihat layar ponsel Mark menyala karena ada sebuah panggilan masuk dari Abel. Panggilan tersebut mati sendirinya dan mengalihkannya pada layar lockscreen yang memperlihatkan puluhan panggilan tak terjawab lainnya masih dari orang yang sama.

Mark hanya mengatupkan bibirnya rapat, diam tanpa merespon.

Dia memang sengaja nggak mengangkat satupun telpon dari Abel. Tentunya bukan tanpa alasan kenapa Mark melakukan hal tersebut. Persetan dibilang terlalu kekanakan oleh Abel yang justru berulang kali mencoba membujuk Mark agar nggak terlalu membesarkan masalah kecil seperti ini.

Masalah kecil katanya. Mungkin Abel benar-benar nggak bisa melihat apa aja yang telah Mark buang demi dirinya. Demi orang yang kembalinya selalu ia tunggu-tunggu tapi justru membawa kekecewaan mendalam untuk Mark sendiri.

Recan benar, Mark sama sekali nggak niat ikut acara yang selalu dinantikan oleh seluruh siswa kelas 12 ini. Alasan kenapa dia bisa berakhir di sini hanya untuk menghindar dari Abel. Ah, bahkan mendengar namanya membuat hati Mark tercubit.

Arjuna ikut mengalihkan kembali pandangannya ke depan. Mengamati jalanan Bandung yang ramai di bawah sana.

“Gue sebenernya penasaran sama hal ini dariawal lo bilang kalo Abel balik” Arjuna lagi-lagi membuka obrolan, masih sambil terus menatap lurus ke depan, begitu juga manusia di sebelahnya yang melakukan hal serupa. “Gue tau banget gimana perasaan lo dulu sama dia. Tapi apa iya perasaan lo sampe detik ini ke dia masih sama? Lo yakin perasaan lo ke Abel sekarang itu perasaan suka? Sukanya cewek ke cowok?”

Arjuna yang biasanya nggak begitu peduli dan selalu memilih menjadi penonton di kehidupan cinta Mark kali ini berhasil membuat Mark mengernyit heran memasang raut gusar mendengar pertanyaan nggak masuk akal Arjuna tadi.

Semua orang di sekolah tau seberapa besar rasa suka Ananta Mark yang kala itu hanya seorang siswa biasa kelas 10 pada Gabriella Alona si wakil ketua osis yang selalu menjadi kesukaan warga sekolah.

Pertemuan singkat keduanya dibilang cukup sederhana, Abel yang hari itu harus membawa tumpukan buku-buku dari perpustakaan dengan terburu-buru harus menabrak Mark yang datang dari arah sebaliknya secara nggak sengaja saat di persimpangan koridor dan membuat Abel tersungkur bersama buku-buku yang akhirnya ikut jatuh berserakan.

Merasa bersalah, Mark ikut membantu merapikan bahkan menawarkan diri untuk membawa sebagian yang akhirnya disetujui oleh Abel dan akhirnya keduanya berjalan bersama menuju salah satu ruangan di sekolah yang keberadaannya baru saja diresmikan oleh sekolah beberapa hari lalu. Ruang osis.

“Kebetulan lo tinggi, bisa bantuin nempel ini nggak di sana” Tanya Abel sambil menjulurkan sebuah mading pada Mark.

“Ke sana?” tanya Mark kemudian setelah mendapat anggukan dari Abel, Mark menggeser kursi kosong untuk dijadikan pijakannya naik.

“Makasih banget” ujar Abel nggak lupa memasang senyum lebar saat Mark kembali turun dari atas kursi. “Btw nama lo siapa?”

“Mark”

Sejak saat itu, Abel yang memang dikenal ramah pada semua orang selalu menyempatkan diri untuk menyapa Mark tiap kali mereka berdua bertemu. Sesederhana itu pula, dari mata turun ke hati, hanya dengan senyuman dan sapaan dari Abel, Mark menaruh rasa pada kakak kelasnya yang secara kebetulan ternyata anak dari teman arisan mamanya.

Mark menegakan tubuhnya, merubah posisi berdirinya. “Jun, lo tau gak kenapa gue nekat nembak Ralia waktu itu?”

Guratan di dahi Arjuna seolah menjelaskan betapa bingung dirinya atas pertanyaan yang Mark lontarkan, “Tau. Pelarian kan?” jawab Arjuna.

Ia bahkan masih ingat betapa buntu otaknya karena berusaha mencerna berita yang sempat menghebohkan sekolah waktu itu. Arjuna menolak percaya dan rasanya nggak akan bisa percaya. Apalagi karena dia tau alasannya.

“Gue juga berusaha, Jun lupain dia. Tapi apa? Sia-sia. Perasaan gue ke Abel masih sama. Buktinya gue sekecewa ini, Jun” Sorot mata Mark memang menggambarkan jelas bahwa cowok itu sedang dirudung rasa resah dan gelisah.

“Oke, kalo gitu pertanyaannya gue ganti. Kalo Ralia gimana? Apa lo beneran nggak pernah punya perasaan sama dia?”

Gantian, kali ini Mark yang menoleh bingung. Matanya sibuk menatap Arjuna yang hanya meliriknya sekilas itu.

“Enggak” jawab Mark singkat kembali memalingkan wajahnya.

Arjuna tertawa, nadanya terdengar meremehkan. Ia memutar badanya menghadap Mark pada detik berikutnya.

“Bohong”

Sebuah senyum sinis terpapar di wajah tampan Arjuna. Bukan hanya Recan yang telah lama menjadi sahabat Mark, dirinya pun juga. Sayang mereka bertiga harus berpisah saat memasuki masa putih abu-abu karena Arjuna memilih untuk mengambil jurusan IPS sedangkan Recan dan Mark mengabil jurusan IPA.

Hal itu tentunya nggak lantas membuat ketiga orang ini otomatis menjauh dengan mudah. Justru kedekatan mereka semakin menjadi setelah resmi mendapatkan SIM dan nggak jarang nekat melakukan ridding hingga ke daerah puncak lalu berakhir menginap di rumah salah satunya.

Nyaris 6 tahun mereka lalui sebagai seorang sahabat. Ada banyak hal yang telah mereka lalui bersama, ada banyak kebiasaan yang udah satu sama lain yang ketahui, dan ada banyak rahasia juga yang mereka bagi pada satu sama lain.

Arjuna bukannya nggak tau alasan Mark akhirnya memilih menjadikan orang lain pelarian atas rasa yang bahkan belum sempat dia utarakan pada Abel karena cewek itu udah lebih dulu pergi ke Amerika untuk mengikuti kegiatan pertukaran pelajar dan menghabiskan kurang lebih satu tahun di sana.

Arjuna dan Recan tau. Tapi mereka nggak bisa melakukan apa-apa karena berusaha untuk mengerti perasaan Mark tentunya sebagai sahabat yang baik.

Sayangnya, cerita berkata lain saat yang harus jadi korban adalah Ralia, teman kecil sekaligus tetangga Recan. Arjuna sendiri masih nggak mengerti alasan Mark memilih Ralia padahal setaunya mereka berdua hanya sebatas kenal nama. Ngga lebih dan nggak kurang, kecuali ada hal lain yang nggak Arjuna ketahui.

“Meskipun cuman sedikit, pasti ada, Mark. Begonya, lo nggak tau aja atau mungkin lo tau tapi pura-pura bego. Tapi sama ajasih, bego bego juga” Arjuna berkata dengan begitu tenang walaupun apa yang dia katakan terdengar menohok di telinga Mark.

“Kenapa lo mikir gitu?”

Mark bisa melihat senyum tipis penuh arti di bibir Arjuna sebelum cowok itu menjawab pertanyaannya.

“Ada banyak. Perlu gue jabarin semua?” tawar Arjuna

Mark memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Arjuna. “Kasih gue satu contoh”

Arjuna menarik nafasnya pelan, nampak berpikir untuk sejenak fakta mana yang kira-kira bisa menyadarkan temannya itu. “Mata lo gabisa lepas dari Ralia selama di bus. Nyadar ga lo?”

Mark bungkam. Reflek menatap manik tenang Arjuna secara intens. Rahangnya tiba-tiba mengeras seolah dia baru saja tertangkap basah melakukan suatu kejahatan.

“Gue—”

“Atau pas lo masih pacaran deh. Waktu lo sok nagih duit goceng lo ke gue, padahal utang gocap gue sama lo aja ga lo tagih-tagih tuh sampe detik ini. Lo waktu itu bukan ke kelas gue cuman buat nagih duit, kan? Mau liat Ralia yang sama Dhanu? Apa gimana?”

“Jun—”

“Ego lo, Mark. Singkirin ego lo. Terima aja kalo lo udah jatuh hati sama Ralia dan lo kalah dalam permainan yang lo buat sendiri. Gue kenal lo udah lama, gue bisa liat gimana mata dan sikap lo ke dia selama ini.”

“Gue selama ini nggak segacor Recan yang ngatain lo brengsek karena gue tuh nyadar, sebenarnya lo mulai hanyut kebawa perasaan dan suasana. Ya jelas sih, orang Ralianya aja begitu. Gue aja sirik sama lo yang bisa dapet cewek yang selapang dada itu ngadepin lo yang gatau diri gini. Kalo gue bukan temen lo, udah gue gebet kali anaknya sekarang juga.”

Tangan Arjuna terjulur, ditepuknya pundak Mark pelan meski Mark masih enggan menoleh padanya, “Mungkin buat lo Abel ga segampang itu lo lupain karena dia orang pertama yang hadir di hati lo, tapi bukan berarti lo gabakal bisa jatuh cinta sama orang lain selain dia. Ralia nggak kehilangan lo, banyak Mark yang mau sama dia, justru lo yang sebenarnya kehilangan dia di sini. So, love her or leave her. Pilih, Mark”

Arjuna membawa dirinya masuk kembali ke kamar, meninggalkan Mark yang termenung memikirkan sesuatu di depan sana sendirian.


Ralia menyusuri tepi jalan Braga bersama seorang pemuda di sebelahnya. Sambil sesekali menyesap hot latte yang dibeli ketika keduanya mampir ke salah satu toko kopi, Ralia sibuk mengatakan semua hal yang ada di pikirannya selama 4 hari ini.

Dhanu.

Cowok itu seperti nggak rela mengalihkan pandangannya barang sedetikpun dari wajah Ralia yang terlihat manis di bawah penerangan lampu-lampu jalan. Bahkan Dhanu sampai mengabaikan semua kata yang tengah Ralia ucapkan karena terlalu fokus memandangi pahatan wajah perempuan itu.

“Lo tau gak sih, Nu? Dulu pas kelas sepuluh, gue takut tau sama lo”

Dhanu mengerjap, memalingkan wajahnya cepat saat Ralia menoleh padanya.

“Oh, ya? Kenapa?”

“Lo tuh serem banget kalo ngeliatin orang. Jutek. Kayak mau makan orang” kata Ralia sambil kembali membayangkan bagaimana ngerinya dia waktu pertama kalinya kenal Dhanu dalam Masa Orientasi Siswa dulu. “Makanya gue jarang banget kan ngobrol sama lo meskipun kita sekelas terus.”

Dhanu mengangguk pelan.

“Tapi sekarang kita malah jadi deket gini. Segala lo jajanin ini lagi” Ralia mengangkat paper bag berisi beberapa jajanan yang dibelikan Dhanu untuknya. Jajanan yang sering Ralia beli waktu kecil yang mungkin nggak akan dia temukan lagi saat kembali ke Jakarta besok.

Dhanu ikut menghentikan langkahnya saat Ralia tiba-tiba berhenti dan mengulas sebuah senyum tulus sambil menatap Dhanu dalam.

“Makasih udah mau jadi temen gue”

Teman.

Ada perasaan mencelos aneh yang menjalar di hati Dhanu saat mendengar ucapan Ralia barusan.

Sebuah senyum yang menyiratkan kekecewaan terukir di wajah Dhanu, netranya mencoba menatap lurus punggung Ralia yang udah lebih dulu berjalan beberapa langkah di depannya, meninggalkan Dhanu yang masih diam tak bergeming di tempatnya.

Malam ini, Ralia baru saja memperjelas hubungan mereka. Menorehkan garis batas kasat mata yang membatasi Dhanu.

Teman.

Hanya teman.

orentciz

Tahu Diri

“suka tuh!”

“Idih, najis. Enggak ya!”

“Alah, kalo gak suka kenapa muka lo begitu?”

“Apaansih?! Siapa juga yang suka”

Dan di sinilah Ralia berakhir setelah keributan yang terjadi di kamarnya beberapa saat lalu. Keributan kocak yang bermula karena ia dan Sabina nggak berhenti mengejek Rena yang mendadak merengut sebal sendiri usai melihat balasan shuhua pada tweet Recan.

Meskipun Rena bersikeras mengelak kalau itu bukan alasan kenapa moodnya tiba-tiba jelek, tetapi jelas Ralia dan Sabina nggak percaya begitu aja terlebih saat Sabina meminta alasan yang sebenarnya, Rena malah mengalihkan pembicaraan terkesan menghindar. Hal itu semakin membuat Ralia dan Sabina semangat meledek Rena yang akhirnya menutup seluruh wajah dan badannya di balik selimut.

Selagi menunggu air yang sebelumnya udah lebih dulu ia masak mendidih, Ralia membuka bungkusan bumbu yang akan digunakan nanti.

Ditemani lagu yang diputar secara acak, Ralia sesekali ikut bersenandung meramaikan suasana karena ia sendirian di dapur.

Acara GTC yang diikuti oleh hampir 70% siswa angkatannya ini udah berlangsung dua hari dua malam dan sejauh ini belum ada masalah besar yang terjadi. Semuanya berjalan lancar bahkan hingga kegiatan terakhir tadi yaitu ulang tahun Shuhua atau yang lebih dikenal dengan panggilan Sui.

Berbicara tentang ulang tahun Sui tadi, Ralia teringat tentang Mark.

Cowok itu luar biasa menawan dengan mengenakan kemeja putih berkerah. Ralia nyaris nggak mampu untuk melepaskan pandangan memuja dari sosok yang duduk jauh di seberang meja Ralia dan teman-temannya duduk.

Entah karena pengaruh outfitnya yang begitu sesuai atau memang di mata Ralia cowok itu selalu terlihat sempurna. Intinya, Ralia nyaris dibuat jatuh lagi hanya karena pesona yang dimiliki mantan pacarnya itu.

Ah, enggak. Bahkan sampai detik ini ia masih juga belum bisa bangkit dari pesona Mark

Andai. Hanya dan jika hanya andai saja ia masih pacaran dengan Mark sampai saat ini, Ralia pastinya akan mengambil ribuan foto bersama dengan Mark dan mempostingnya di semua sosial media yang ia miliki sehingga satu dunia tau jika cowok yang begitu mempesona tersebut adalah pacarnya.

Tetapi, sayangnya hal itu harus berakhir sampai diangannya saja karena nyatanya, Mark bahkan nggak melirik sama sekali pada Ralia selama acara yang berlangsung nyaris dua jam tadi berjalan . Tatapannya terus memandang lurus pada si birthday girl di depan sana yang nggak kalah mempesona dengan balutan dress maroon.

Mungkin, Mark udah benar-benar bahagia karena bisa kembali lagi bersama Abel makanya nggak ada bayangan Ralia yang terbesit di pikiran atau bahkan di lamunannya barang sebentar.

Membayangkan itu lantas membuat suasana hati Ralia berubah menjadi kelabu. Lagi-lagi ia harus berjalan menerima kenyataan, Mark nggak pernah sungguh-sungguh selama ini.

Do you ever hear me calling? 'Cause every night I'm talking to the moon Still tryna get to you

Ralia tertawa jengah saat lagu milik Bruno Mars itu terdengar seolah menyindir dan mendukungnya untuk meringis secara bersamaan.

Ralia menghela nafas panjang, ia nggak mau berlarut dalam kesedihannya, ia meraih ponselnya dan mulai membuka aplikasi spotify miliknya, lalu mencari lagu yang akan ia putar menggantikan lagu sebelumnya.

Perempuan itu nampak terlalu fokus dengan apa yang sedang ia lakukan, hingga akhirnya sebuah decit pintu dibuka mengambil atensi Ralia.

Rasa penasarannya membuat Ralia berbalik. Seketika netranya membulat sempurna saat tau siapa orang yang sedang berdiri di ambang pintu sana yang juga menatap dirinya kelihatan sama terkejutnya.

Acara saling pandang yang berlangsung beberapa detik itu harus terhenti ketika Ralia membalikan lagi badannya begitu saja, memutus kontak mata kelewat dramatis yang barusan terjadi.

Pikirannya kalut. Mark di sini. Tapi untuk apa dia di sini?

Dari tempat yang sama di mana ia berdiri;pintu, Mark mengerjap untuk beberapa saat. Niat awalnya mendadak ingin ia urungkan saat yakin jika yang sekarang sedang berdiri membelakangi dirinya di ujung sana adalah Ralia.

Mark udah memutar tubuhnya, hendak kembali ke kamarnya. Mungkin menunggu beberapa jam lagi lalu kembali ke sini saat cewek itu udah pergi, tetapi yang ia lakukan selanjutnya justru mengkhianati niatnya sendiri.

Mark melangkah masuk, berdiri nggak jauh dari tempat Ralia berdiri. Keduanya sama-sama diam, menciptakan suasana canggung yang secara nggak langsung justru menjadikan atmosfer yang ada terasa nggak nyaman.

Sebisa mungkin Ralia mengabaikan Mark yang tau-tau sudah berada di sebelahnya, sibuk membuka tutup lemari rak piring seperti sedang mencari sesuatu dengan begitu berisiknya memindah-mindahkan gelas dan benda-benda lain di dalamnya.

“Ralia”

deg

Seluruh badan Ralia menegang kaku mendengar namanya baru saja dipanggil oleh Mark dengan suara berat khas miliknya yang selalu Ralia rindukan itu.

Perlahan, Ralia menolehkan kepalanya pada Mark dan ia menyesali keputusannya tersebut karena di detik berikutnya, ia dihadapkan langsung dengan mata Mark yang kini juga menatap dirinya.

“y-ya?”

“Indomienya habis?”

Ralia menggeleng, “Nggak ada indomie, adanya popmie. Di sana”

Mark mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ralia, kemudian kakinya berjalan menghampiri tumpukan kerdus di pojok ruangan yang berisi aneka makanan, salah satunya pop mie.

Baru aja ingin bernafas lega, Ralia harus kembali menahan nafasnya begitu Mark kembali lagi ke sampingnya yang hanya berjarak kira-kira sepuluh langkah.

Ralia diam-diam berdoa, meminta pada Tuhan agar gugupnya segera dimusnahkan karena Ralia benar-benar keringat dingin saat ini.

Ia tau jika sekeras apapun usahanya mencoba menghindari Mark, pasti akan ada suatau moment yang nggak bisa ia hindari. Tetapi dapur bukanlah tempat yang Ralia pikirkan dan sekarang juga bukanlah waktu yang tepat untuk berada di ruangan yang sama dengan Mark.

Bagaimanapun, Ralia masih berusaha memperkokoh dinding di hatinya.

Melalui ekor matanya, Ralia mencoba melirik apa yang sekarang sedang Mark lakukan.

Di hadapan cowok itu, ada tiga cup mie yang masing-masing udah dibuka tutup dan bumbunya. Dugaan Ralia, dua cup yang lain pasti untuk Arjuna dan Recan karena Ralia tau dengan pasti Mark nggak begitu menyukai mie.

“makan mie tuh ga bagus, pengawet sama micinnya kebanyakan. Nanti lo udah bego tambah bego”

Ralia tersenyum mengingat ucapan yang pernah Mark katakan padanya saat ia bertanya apa yang ingin Mark makan saar mereka tengah berada di rumah Ralia karena Ralia meminta Mark untuk mengajarkannya pelajaran Ekonomi.

Mark tentu awalnya menolak permintaan itu, mana ia paham pelajaran ekonomi. Menyentuhpun Mark nggak pernah, tetapi untuk alasan yang nggak Ralia ketahui, cowok itu tiba-tiba setuju.

“Masih lama?” suara Mark membuyarkan lamunan Ralia, membuat cewek itu mendadak salah tingkah.

Saat sadar jika pertanyaan tersebut ditujukan untuknya, Ralia menggeleng cepat sebagai jawaban.

Tangan Ralia bergerak begitu saja mengambil panci yang masih panas tersebut dengan tangan kosong tanpa alas yang menyita perhatian Mark dan membuat cowok itu tercengang melihatnya.

“EH! AWAS, LI PANAS—”

“Awwww”

Terlambat.

Tangan Ralia udah lebih dulu bersentuhan dengan panci panas, membuat cewek itu sontak memekik kencang merasakan perih yang mulai menjalar di kulitnya

Ralia mengibas-ngibaskan tangannya yang terasa perih sambil meniupnya pelan berharap rasa sakitnya segera hilang. Ralia nggak bisa menahan untuk menyumpahi dirinya sendiri yang malah bertingkah bodoh di depan Mark. Ia ingin menangis. Malu.

“Lo gapapa?” pertanyaan klise Mark hanya dibalas anggukan oleh Ralia. Padahal jelas-jelas Mark melihat semurat merah yang tercetak di sana.

Masih dengan rasa sakit di telapak tangannya, Ralia meraih sebuah kain sebelum kembali memegang panci yang masih ada di atas kompor menyala tadi.

Tetapi, sepertinya fokus Ralia terlanjur buyar entah kemana. Ralia terlalu sibuk menahan malunya sampai-sampai nggak sadar jika air di cupnya udah melewati batas dan akhirnya—

“Ahhhh!”

Ralia yang terperanjat, secara nggak sengaja menyenggol cup popmie tersebut dan membuat airnya tumpah mengenai kakinya yang hanya memakai sandal jepit.

Ralia meringis. Air matanya pecah begitu saja karena dua alasan. Yang pertama, ia kesakitan dan yang kedua, ia malu.

Mark membawa Ralia menjauh dari kompor, pastinya setelah cowok itu mematikannya lebih dulu.

Setelah duduk, Mark mengangkat kaki Rali, meletakannya di atas pahanya. Kemudian ia menggelung sedikit celana yang Ralia kenakan sebelum mengelap sisa air dan kotoran bumbu yang serta merta mengotori kaki cewek itu menggunakan tissue kering.

Ralia?

Dengan mata yang masih basah, ia hanya diam. Membiarkan Mark melanjutkan apa yang saat ini sedang ia lakukan.

Ia menyukai momen ini. Dimana ia bisa menatap Mark begitu lekag dari jarak yang kelewat dekat. Tembok pertahanan Ralia nyaris runtuh saat Mark tiba-tiba beralih menatap dirinya.

“Perih?” tanya Mark. Nadanya terdengar... Khawatir? Entahlah, Ralia takut kalau itu hanya perasaannya aja.

Dulu juga ia pernah berpikir kalau Mark memiliki perasaan yang sama untuknya, tetapi nyatanya ia salah.

Ralia tersenyum kecut, lantas menurunkan kakinya dari paha Mark yang justru mengundang tatapan bingung dari Mark terlebih saat Ralia berusaha berdiri.

“Kalo masih sakit—”

“Nggak. Udah gapapa. Thanks” Ralia berusaha mengulas senyum kemudian melangkah pergi dari sana walaupun sedikit terseok karena demi apapun kakinya seperti mati rasa usai terkena air panas yang baru mendidih.

Mungkin dari belakang sana, Mark nggak akan pernah tau kalau Ralia kembali meneteskan air matanya saat lagi-lagi ia dituntut untuk tahu diri.

Dan berlama-lama bersama Mark dengan perlakuan Mark seperti tadi hanya akan membuat Ralia lupa diri.

orentciz

somehow

Imgur

Ralia nggak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya saat mendengar nama Mark dipanggil oleh Tante Zoe, mamanya Somi yang merupakan penanggung jawab di bus mereka saat pengabsenan peserta tengah berlangsung.

“Ananta Mark”

“Ada!” Mark berteriak lantang sambil mengangkat tangan kanannya, berusaha menunjukan eksistensi yang duduk di baris paling belakang tentunya bersama Recan dan Arjuna.

Ralia langsung membalikan wajahnya saat Mark secara kebetulan menoleh ke arah kursi tempatnya duduk, mungkin sadar jika sedang diperhatikan.

Ralia jelas masih ingat jika cowok itu bilang jika dirinya nggak mengikuti kegiatan ini. Lalu kenapa bisa cowok itu ada di sini sekarang? Dalam bus yang sama pula. Ralia sibuk bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Apa Abel juga ikut? Pikir Ralia sambil pandangannya menerawang keluar jendela.

Ralia nggak bisa membayangkan lima harinya kedepan yang sudah bisa dipastikan akan menjadi rintangan lain baginya untuk melupakan Mark karena cowok itu pasti akan selalu berada di sekitarnya dan tentu akan menarik perhatian Ralia mengingat dirinya yang masih juga belum bisa menerima kenyataan bahwa ia dan Mark telah benar-benar berakhir.

Pukul 2 pagi tepat saat langit masih gelap, Bus mereka berangkat meninggalkan sekolah.

UNDIP, UGM, UNPAD, dan ITB

Tujuan keberangkatan mereka sekarang adalah kota Semarang.

“Tidur aja, Li” saran Dhanu menyadari wajah Ralia yang masih kelihatan sangat mengantuk itu, lalu menawarkan selimut yang sengaja ia bawa dari rumah kepada cewek yang duduk di sebelahnya tersebut.

Ralia meraihnya dengan senang hati, ia langsung menyelimuti badanya yang sedikit kedinginan karena suhu jam dua pagi saat itu terasa sangat dingin menusuk kulit.

Semalam, Dhanu mengantar Ralia kembali ke rumah perempuan itu setelah mereka makan di gultik yang berada di kawasan blok M Jakarta Selatan. Seakan tak cukup waktu yang dihabiskan keduanya untuk mengobrol selama makan tadi, mereka kembali berbincang sedikit setelah sampai di depan gerbang rumah Ralia.

“Loh, kenapa? Kok dia gak jadi ikut?” tanya Ralia saat Dhanu bercerita jika Ardhyan, temannya yang waktu itu pernah menanyakan dirinya pada Ralia nggak jadi mengikuti kegiatan GTC yang akan dilaksanakan besok.

“Kakeknya meninggal” jawab Dhanu seadanya. Ia kembali teringat saat Ardhyan tiba-tiba mengirim foto wajahnha sendiri tengah malam pada Dhanu dan bilang jika dia otw ke Padang karena kakeknya meninggal.

“Lo nanti di bus duduknya sama siapa, Li?” tanya Dhanu

Ralia mengerucutkan bibirnya sambil menggedikan bahunya. Ia belum tahu akan duduk dengan siapa karena Rena dan Sabina sepakat jika mereka bertiga akan melakukan suit untuk menentukan hal itu di bus besok.

Tetapi, rencana mereka nggak berjalan baik saat Rena belum apa-apa sudah kalah, menyisakan Sabina dan Ralia yang akhirnya berebut duduk dekat jendela.

“Yaudah suit lagi lo berdua, anjir! ” omel Rena mulai muak melihat Ralia dan Sabina yang masih berdiri karena masih sibuk berdebat.

“Gamau. Nanti kalo gue yang kalah gimana?!” Sabina menjawab

“Ya, lo di pinggir berarti” sahut Ralia nggak mau mengalah.

Di tengah-tengah perkelahian yang kelewat nggak penting itu, tiba-tiba Dhanu masuk sambil memasang wajah tak berdosanya lalu mendudukan dirinya di salah tempat kosong.

“Dhanu!” panggil Sabina

Cowok itu menoleh, “Apa?”

“Ralia duduk sama lo, boleh ga? Tapi, dia yang deket jendela”

Mendengar namanya yang baru saja disebutkan oleh Sabina, Ralia langsung melotot ke arah sahabatnya itu, “KOK GUE?!” pekiknya terkejut.

Sabina mengisyaratkan Ralia untuk diam lalu menatap Dhanu lagi, “Sabi gak, nu?” tanya Sabina lagi menunggu jawaban yang akan diberikan oleh Dhanu.

Dhanu melirik pada Ralia yang kelihatan sedang panik karena ulah Sabina berusan. Ia mengalihkan pandangannya dari sana, sambil tangannya berusaha mengeluarkan jaketnya dari dalam tas, “Terserah Ralia nya aja” jawab Dhanu

Dan begitulah akhirnya perdebatan tempat duduk itu mereda.

Dhanu kembali melirik Ralia di sebelahnya yang sudah memejamkan mata terlelap. Perempuan itu benar-benar untuk tidur rupanya.

Sambil memasang senyum tipis di wajahnya, Dhanu menoleh pada Sabina yang duduk tepat di sampingnya.

“Thanks” ucap Dhanu tanpa mengeluarkan suara yang masih bisa dimengerti oleh Sabina.

Sabina hanya membalas dengan alis terangkat.

Dhanu pikir Sabina hanya bercanda ketika semalam cewek itu mengirimkan pesan dan bertanya apa Dhanu mau duduk dengan Ralia besok. Sejujurnya, Dhanu gak berharap banyak tentang itu, tetapi ia juga gak bisa bohong kalau dia juga mau.

“Gimana?” tanya Dhanu saat panggilan itu terhubung. Cowok itu memutuskan untuk menelfon Sabina sesampainya di rumah setelah pulang mengantar Ralia ke rumahnya.

“Gampang. Pokoknya besok lo dateng pagi, nanti gue kabarin kalo gue juga udah otw. Terus lo cari tempat duduk kosong dan lo duduk di kursi yang pinggir”

orentciz

somehow

Imgur

Ralia nggak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya saat mendengar nama Mark dipanggil oleh Tante Zoe, mamanya Somi yang merupakan penanggung jawab di bus mereka saat pengabsenan peserta tengah berlangsung.

“Ananta Mark”

“Ada!” Mark berteriak lantang sambil mengangkat tangan kanannya, berusaha menunjukan eksistensi yang duduk di baris paling belakang tentunya bersama Recan dan Arjuna.

Ralia langsung membalikan wajahnya saat Mark secara kebetulan menoleh ke arah kursi tempatnya duduk, mungkin sadar jika sedang diperhatikan.

Ralia jelas masih ingat jika cowok itu bilang jika dirinya nggak mengikuti kegiatan ini. Lalu kenapa bisa cowok itu ada di sini sekarang? Dalam bus yang sama pula. Ralia sibuk bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Apa Abel juga ikut? Pikir Ralia sambil pandangannya menerawang keluar jendela.

Ralia nggak bisa membayangkan lima harinya kedepan yang sudah bisa dipastikan akan menjadi rintangan lain baginya untuk melupakan Mark karena cowok itu pasti akan selalu berada di sekitarnya dan tentu akan menarik perhatian Ralia mengingat dirinya yang masih juga belum bisa menerima kenyataan bahwa ia dan Mark telah benar-benar berakhir.

Pukul 2 pagi tepat saat langit masih gelap, Bus mereka berangkat meninggalkan sekolah.

UNDIP, UGM, UNPAD, dan ITB

Tujuan keberangkatan mereka sekarang adalah kota Semarang.

“Tidur aja, Li” saran Dhanu menyadari wajah Ralia yang masih kelihatan sangat mengantuk itu, lalu menawarkan selimut yang sengaja ia bawa dari rumah kepada cewek yang duduk di sebelahnya tersebut.

Ralia meraihnya dengan senang hati, ia langsung menyelimuti badanya yang sedikit kedinginan karena suhu jam dua pagi saat itu terasa sangat dingin menusuk kulit.

Semalam, Dhanu mengantar Ralia kembali ke rumah perempuan itu setelah mereka makan di gultik yang berada di kawasan blok M Jakarta Selatan. Seakan tak cukup waktu yang dihabiskan keduanya untuk mengobrol selama makan tadi, mereka kembali berbincang sedikit setelah sampai di depan gerbang rumah Ralia.

“Loh, kenapa? Kok dia gak jadi ikut?” tanya Ralia saat Dhanu bercerita jika Ardhyan, temannya yang waktu itu pernah menanyakan dirinya pada Ralia nggak jadi mengikuti kegiatan GTC yang akan dilaksanakan besok.

“Kakeknya meninggal” jawab Dhanu seadanya. Ia kembali teringat saat Ardhyan tiba-tiba mengirim foto wajahnha sendiri tengah malam pada Dhanu dan bilang jika dia otw ke Padang karena kakeknya meninggal.

“Lo nanti di bus duduknya sama siapa, Li?” tanya Dhanu

Ralia mengerucutkan bibirnya sambil menggedikan bahunya. Ia belum tahu akan duduk dengan siapa karena Rena dan Sabina sepakat jika mereka bertiga akan melakukan suit untuk menentukan hal itu di bus besok.

Tetapi, rencana mereka nggak berjalan baik saat Rena belum apa-apa sudah kalah, menyisakan Sabina dan Ralia yang akhirnya berebut duduk dekat jendela.

“Yaudah suit lagi lo berdua, anjir! ” omel Rena mulai muak melihat Ralia dan Sabina yang masih berdiri karena masih sibuk berdebat.

“Gamau. Nanti kalo gue yang kalah gimana?!” Sabina menjawab

“Ya, lo di pinggir berarti” sahut Ralia nggak mau mengalah.

Di tengah-tengah perkelahian yang kelewat nggak penting itu, tiba-tiba Dhanu masuk sambil memasang wajah tak berdosanya lalu mendudukan dirinya di salah tempat kosong.

“Dhanu!” panggil Sabina

Cowok itu menoleh, “Apa?”

“Ralia duduk sama lo, boleh ga? Tapi, dia yang deket jendela”

Mendengar namanya yang baru saja disebutkan oleh Sabina, Ralia langsung melotot ke arah sahabatnya itu, “KOK GUE?!” pekiknya terkejut.

Sabina mengisyaratkan Ralia untuk diam lalu menatap Dhanu lagi, “Sabi gak, nu?” tanya Sabina lagi menunggu jawaban yang akan diberikan oleh Dhanu.

Dhanu melirik pada Ralia yang kelihatan sedang panik karena ulah Sabina berusan. Ia mengalihkan pandangannya dari sana, sambil tangannya berusaha mengeluarkan jaketnya dari dalam tas, “Terserah Ralia nya aja” jawab Dhanu

Dan begitulah akhirnya perdebatan tempat duduk itu mereda.

Dhanu kembali melirik Ralia di sebelahnya yang sudah memejamkan mata terlelap. Perempuan itu benar-benar untuk tidur rupanya.

Sambil memasang senyum tipis di wajahnya, Dhanu menoleh pada Sabina yang duduk tepat di sampingnya.

“Thanks” ucap Dhanu tanpa mengeluarkan suara yang masih bisa dimengerti oleh Sabina.

Sabina hanya membalas dengan alis terangkat.

Dhanu pikir Sabina hanya bercanda ketika semalam cewek itu mengirimkan pesan dan bertanya apa Dhanu mau duduk dengan Ralia besok. Sejujurnya, Dhanu gak berharap banyak tentang itu, tetapi ia juga gak bisa bohong kalau dia juga mau.

“Gimana?” tanya Dhanu saat panggilan itu terhubung

“Gampang. Pokoknya besok lo dateng pagi, nanti gue kabarin kalo gue juga udah otw. Terus lo cari tempat duduk kosong dan lo duduk di kursi yang pinggir”

orentciz

Imgur

Ralia nggak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya saat mendengar nama Mark dipanggil oleh Tante Zoe, mamanya Somi yang merupakan penanggung jawab di bus mereka saat pengabsenan peserta tengah berlangsung.

“Ananta Mark”

“Ada!” Mark berteriak lantang sambil mengangkat tangan kanannya, berusaha menunjukan eksistensi yang duduk di baris paling belakang tentunya bersama Recan dan Arjuna.

Ralia langsung membalikan wajahnya saat Mark secara kebetulan menoleh ke arah kursi tempatnya duduk, mungkin sadar jika sedang diperhatikan.

Ralia jelas masih ingat jika cowok itu bilang jika dirinya nggak mengikuti kegiatan ini. Lalu kenapa bisa cowok itu ada di sini sekarang? Dalam bus yang sama pula. Ralia sibuk bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Apa Abel juga ikut? Pikir Ralia.

Pukul 2 pagi tepat saat langit masih gelap, Bus mereka berangkat meninggalkan sekolah.

UNDIP, UGM, UNPAD, dan ITB

Tujuan keberangkatan mereka sekarang adalah kota Semarang.

“Tidur aja, Li” saran Dhanu menyadari wajah Ralia yang masih kelihatan sangat mengantuk itu, lalu menawarkan selimut yang sengaja ia bawa dari rumah kepada cewek yang duduk di sebelahnya tersebut.

Ralia meraihnya dengan senang hati, ia langsung menyelimuti badanya yang sedikit kedinginan karena suhu jam dua pagi saat itu terasa sangat dingin menusuk kulit.

Semalam, Dhanu mengantar Ralia kembali ke rumah perempuan itu setelah mereka makan di gultik yang berada di kawasan blok M Jakarta Selatan. Seakan tak cukup waktu yang dihabiskan keduanya untuk mengobrol selama makan tadi, mereka kembali berbincang sedikit setelah sampai di depan gerbang rumah Ralia.

“Loh, kenapa? Kok dia gak jadi ikut?” tanya Ralia saat Dhanu bercerita jika Ardhyan, temannya yang waktu itu pernah menanyakan dirinya pada Ralia nggak jadi mengikuti kegiatan GTC yang akan dilaksanakan besok.

“Kakeknya meninggal” jawab Dhanu seadanya. Ia kembali teringat saat Ardhyan tiba-tiba mengirim foto wajahnha sendiri tengah malam pada Dhanu dan bilang jika dia otw ke Padang karena kakeknya meninggal.

“Lo nanti di bus duduknya sama siapa, Li?” tanya Dhanu

Ralia mengerucutkan bibirnya sambil menggedikan bahunya. Ia belum tahu akan duduk dengan siapa karena Rena dan Sabina sepakat jika mereka bertiga akan melakukan suit untuk menentukan hal itu di bus besok.

Tetapi, rencana mereka nggak berjalan baik saat Rena belum apa-apa sudah kalah, menyisakan Sabina dan Ralia yang akhirnya berebut duduk dekat jendela.

“Yaudah suit lagi lo berdua, anjir! ” omel Rena mulai muak melihat Ralia dan Sabina yang masih berdiri karena masih sibuk berdebat.

“Gamau. Nanti kalo gue yang kalah gimana?!” Sabina menjawab

“Ya, lo di pinggir berarti” sahut Ralia nggak mau mengalah.

Di tengah-tengah perkelahian yang kelewat nggak penting itu, tiba-tiba Dhanu masuk sambil memasang wajah tak berdosanya lalu mendudukan dirinya di salah tempat kosong.

“Dhanu!” panggil Sabina

Cowok itu menoleh, “Apa?”

“Ralia duduk sama lo, boleh ga? Tapi, dia yang deket jendela”

Mendengar namanya yang baru saja disebutkan oleh Sabina, Ralia langsung melotot ke arah sahabatnya itu, “KOK GUE?!” pekiknya terkejut.

Sabina mengisyaratkan Ralia untuk diam lalu menatap Dhanu lagi, “Sabi gak, nu?” tanya Sabina lagi menunggu jawaban yang akan diberikan oleh Dhanu.

Dhanu melirik pada Ralia yang kelihatan sedang panik karena ulah Sabina berusan. Ia mengalihkan pandangannya dari sana, sambil tangannya berusaha mengeluarkan jaketnya dari dalam tas, “Terserah Ralia nya aja” jawab Dhanu

Dan begitulah akhirnya perdebatan tempat duduk itu mereda.

Dhanu kembali melirik Ralia di sebelahnya yang sudah memejamkan mata terlelap. Perempuan itu benar-benar untuk tidur rupanya.

Sambil memasang senyum tipis di wajahnya, Dhanu menoleh pada Sabina yang duduk tepat di sampingnya.

“Thanks” ucap Dhanu tanpa mengeluarkan suara yang masih bisa dimengerti oleh Sabina.

Sabina hanya membalas dengan alis terangkat.

Dhanu pikir Sabina hanya bercanda ketika semalam cewek itu mengirimkan pesan dan bertanya apa Dhanu mau duduk dengan Ralia besok. Sejujurnya, Dhanu gak berharap banyak tentang itu, tetapi ia juga gak bisa bohong kalau dia juga mau.

“Gimana?” tanya Dhanu saat panggilan itu terhubung

“Gampang. Pokoknya besok lo dateng pagi, nanti gue kabarin kalo gue juga udah otw. Terus lo cari tempat duduk kosong dan lo duduk di kursi yang pinggir”

orentciz

how it feels like

Mark mendongakan kepalanya, menatap langit malam yang nampak begitu kosong kala ini. Nggak ada satupun bintang terlihat, apalagi bulan. Langit terlihat sepi.

Akhir-akhir ini ada banyak sekali yang mengganggu pikiran pemuda yang tengah duduk di sisi jalan kosong tersebut. Tetapi, nggak ada yang benar-benar membuat kepalanya ingin pecah seperti hari ini.

Jadi begini rasanya kecewa.

Mark menoleh saat indera pendengarannya berhasil menangkap suara motor yang sudah sangat ia hafal bunyinya itu akhirnya tiba setelah ia nantikan sejak tadi.

Sang pengemudi melepas helmnya, kemudian setelah menggantungkan benda tersebut pada dudukan motornya, ia berjalan menghampiri Mark yang tak henti menatapnya sambil memasang seulas senyum tipis yang ia yakini bukan senyum yang memiliki pertanda baik.

“Apaan” tanya Recan begitu saja tanpa menyapa lebih dulu. Ia duduk di sebelah Mark, tak lupa menyisipkan jarak yang lumayan di antara keduanya.

Mark sadar. Namun, ia nggak memberikan protes apapun. Recan masih marah padanya, itu yang bisa Mark tangkap.

“Kirain ga jadi nyusul gue”

Recan mendengus, “To the point aja” katanya sambil menatap lurus ke depan.

Mark mengeluarkan ponselnya lalu menggesernya pada Recan.

Kening Recan mengernyit bingung melihat itu. Dengan tatapan bertanya-tanya, Recan menoleh pada Mark mencoba meminta penjelasan apa maksud dan tujuannya.

“Baca” suruh Mark seolah mengerti kebingungan dari gestur wajah Recan.

Sedikit ragu-ragu, Recan akhirnya meraih benda pipih tersebut, kemudian menuruti ucapan Mark.

Recan yang memasang wajah malas saat diawal mulai membaca apa yang ingin Mark tunjukan padanya, perlahan berubah menjadi ekspresi terkejut dan berhasil membuat Mark tertawa geli melihatnya.

“Gimana?” tanya Mark usai Recan mengembalikan ponsel miliknya kembali.

Recan hanya bisa menggeleng sambil memasang raut wajah yang terlihat sama peningnya dengan Mark. “Plot twist anjing” maki cowok itu kembali mengingat apa yang baru saja ia baca tadi.

Tentu saja ia terkejut. Sejujurnya, Recan telah bersiap memberikan bogem pada wajah Mark saat ia sempat membaca nama Abel yang tertera di sana. Ia pikir Mark mencoba mengajaknya bicara tentang kejadian siang tadi dan berujung mengajaknya mengadu mulut.

Saat ini mereka berdua sama-sama diam menatap ke aspal jalan memikiran sesuatu yang pastinya nggak diketahui oleh satu sama lain.

Mark dengan pikirannya.

Dan Recan dengan pikirannya.

“Karma kali, ya?” Mark bersuara. Nada bicaranya terdengar penuh penyesalan. Mungkin memang ada beberapa hal yang mulai ia sesali saat ini.

“Iya. Mampus” celetuk Recan tanpa pikir panjang. Recan bisa mendengar Mark yang berdecih pelan. Pemuda itu nggak mau mengambil hati atas ucapan yang Recan lontarkan barusan.

“Can” panggil Mark pelan

Recan menoleh, diam tanpa suara. Membiarkan desiran angin menjadi satu-satunya yang bising saat ini.

“Pantes gak sih dapet maaf dari Ralia?”

“Minta maaf tuh karena nyesel dan ngerasa bersalah! Bukan karena baru dapet kualat!”

Mark tertawa renyah. Lagi-lagi membuat Recan menatap cowok itu jengah. “Kocak lo” tukas Mark sambil memukul pundak Recan pelan. Saat tawanya mulai reda, tiba-tiba saja terlintas wajah Ralia yang sedang tersenyum begitu manis. Kalau Mark pikirkan lagi, sepertinya perempuan itu memang selalu menunjukan senyuman saat di depannya. Makanya Mark sedikit merasa aneh karena belakang setiap dirinya nggak sengaja berpapasan dengan Ralia, gadis itu selalu memasang ekspresi datar dan penuh sorot kebencian.

Mark jadi ingat saat dia nekat putus dengan Ralia usai mendapat kejutan dari Abel.

Tepat ketika perempuan itu berbalik, Mark mampu melihat bahu Ralia yang bergetar hebat dan detik itu juga Mark tau jika Ralia sedang menangis.

Awalnya, Mark ingin menghampiri dan memeluk perempuan itu, setidaknya agar ia meninggalkan kesan terakhir yang nggak begitu buruk, tetapi ia mengurungkan niatnya saat itu juga karena merasa itu bukanlah ide yang bagus.

Dari awal dirinya sudah jahat dan lebih baik menjadi jahat sampai akhir, bukan?

“Can” satu panggilan lagi dari Mark yang membuat Recan menoleh padanya.

“Ternyata rasa kecewa nyakitin banget”

orentciz

how it feels like

Mark mendongakan kepalanya, menatap langit malam yang nampak begitu kosong kala ini. Nggak ada satupun bintang terlihat, apalagi bulan. Langit terlihat sepi.

Akhir-akhir ini ada banyak sekali yang mengganggu pikiran pemuda yang tengah duduk di sisi jalan kosong tersebut. Tetapi, nggak ada yang benar-benar membuat kepalanya ingin pecah seperti hari ini.

Jadi begini rasanya kecewa.

Mark menoleh saat indera pendengarannya berhasil menangkap suara motor yang sudah sangat ia hafal bunyinya itu akhirnya tiba setelah ia nantikan sejak tadi.

Sang pengemudi melepas helmnya, kemudian setelah menggantungkan benda tersebut pada dudukan motornya, ia berjalan menghampiri Mark yang tak henti menatapnya sambil memasang seulas senyum tipis yang ia yakini bukan senyum yang memiliki pertanda baik.

“Apaan” tanya Recan begitu saja tanpa menyapa lebih dulu. Ia duduk di sebelah Mark, tak lupa menyisipkan jarak yang lumayan di antara keduanya.

Mark sadar. Namun, ia nggak memberikan protes apapun. Recan masih marah padanya, itu yang bisa Mark tangkap.

“Kirain ga jadi nyusul gue”

Recan mendengus, “To the point aja” katanya sambil menatap lurus ke depan.

Mark mengeluarkan ponselnya lalu menggesernya pada Recan.

Kening Recan mengernyit bingung melihat itu. Dengan tatapan bertanya-tanya, Recan menoleh pada Mark mencoba meminta penjelasan apa maksud dan tujuannya.

“Baca” suruh Mark seolah mengerti kebingungan dari gestur wajah Recan.

Sedikit ragu-ragu, Recan akhirnya meraih benda pipih tersebut, kemudian menuruti ucapan Mark.

Recan yang memasang wajah malas saat diawal mulai membaca apa yang ingin Mark tunjukan padanya, perlahan berubah menjadi ekspresi terkejut dan berhasil membuat Mark tertawa geli melihatnya.

“Gimana?” tanya Mark usai Recan mengembalikan ponsel miliknya kembali.

Recan hanya bisa menggeleng sambil memasang raut wajah yang terlihat sama peningnya dengan Mark. “Plot twist anjing” maki cowok itu kembali mengingat apa yang baru saja ia baca tadi.

Tentu saja ia terkejut. Sejujurnya, Recan telah bersiap memberikan bogem pada wajah Mark saat ia sempat membaca nama Abel yang tertera di sana. Ia pikir Mark mencoba mengajaknya bicara tentang kejadian siang tadi dan berujung mengajaknya mengadu mulut.

Saat ini mereka berdua sama-sama diam menatap ke aspal jalan memikiran sesuatu yang pastinya nggak diketahui oleh satu sama lain.

Mark dengan pikirannya.

Dan Recan dengan pikirannya.

“Karma kali, ya?” Mark bersuara. Nada bicaranya terdengar penuh penyesalan. Mungkin memang ada beberapa hal yang mulai ia sesali saat ini.

“Iya. Mampus” celetuk Recan tanpa pikir panjang. Recan bisa mendengar Mark yang berdecih pelan. Pemuda itu nggak mau mengambil hati atas ucapan yang Recan lontarkan barusan.

“Can” panggil Mark pelan

Recan menoleh, diam tanpa suara. Membiarkan desiran angin menjadi satu-satunya yang bising saat ini.

“Pantes gak sih dapet maaf dari Ralia?”

“Minta maaf tuh karena nyesel dan ngerasa bersalah! Bukan karena baru dapet kualat!”

Mark tertawa renyah. Lagi-lagi membuat Recan menatap cowok itu jengah. “Kocak lo” tukas Mark sambil memukul pundak Recan pelan. Saat tawanya mulai reda, tiba-tiba saja terlintas wajah Ralia yang sedang tersenyum begitu manis. Kalau Mark pikirkan lagi, sepertinya perempuan itu memang selalu menunjukan senyuman saat di depannya. Makanya Mark sedikit merasa aneh karena belakang setiap dirinya nggak sengaja berpapasan dengan Ralia, gadis itu selalu memasang ekspresi datar dan penuh sorot kebencian.

Mark jadi ingat saat dia nekat putus dengan Ralia usai mendapat kejutan dari Abel.

Tepat ketika perempuan itu berbalik, Mark mampu melihat bahu Ralia yang bergetar hebat dan detik itu juga Mark tau jika Ralia sedang menangis.

Awalnya, Mark ingin menghampiri dan memeluk perempuan itu, setidaknya agar ia meninggalkan kesan terakhir yang nggak begitu buruk, tetapi ia mengurungkan niatnya saat itu juga karena merasa itu bukanlah ide yang bagus.

Dari awal dirinya sudah jahat dan lebih baik menjadi jahat sampai akhir, bukan?

“Can” satu panggilan lagi dari Mark yang membuat Recan menoleh padanya.

“Ternyata rasa kecewa nyakitin banget”

orentciz

insiden kantin

Baik Ralia maupun Mark sama-sama terlihat terkejut saat secara nggak sengaja mereka berdua berpapasan di ujung lorong menuju kantin.

Ada tatapan aneh yang Ralia tunjukan saat melihat Mark karena nggak biasanya cowok itu ke kantin sendirian terutama saat bel istirahat baru saja berbunyi.

“Mark!” teriakan seseorang dari ujung sana membuat Ralia ikut menoleh meski bukan dirinya yang dipanggil.

Oh, Abel.

Usai menyempatkan diri untuk melemparkan senyum simpul sebagai respon pada Abel yang sepertinya telah lebih dulu menunggu, Mark kembali beralih menatap Ralia dan juga seseorang disebelahnya yang akhir-akhir ini terlihat selalu berada di dekat Ralia. Dhanu.

Mark berdehem pelan mencoba bersikap biasa saja kemudian melangkahkan kakinya terus berjalan melewati Ralia dan Dhanu.

Sedangkan di sana, Ralia diam untuk beberapa detik. Tangannya mengepal kuat di samping badanya. “Bisa, Li. Lo bisa. Kalo Mark bisa baik-baik aja kenapa lo enggak? Inget, seenggaknya lo harus kelihatan biasa aja di depan dia.” gumam Ralia berulang kali berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Ia sudah bertekad move on dari Mark dan memang itu yang harus dia lakukan karena Ralia sadar kalau ada yang harus menyesal itu sudah pasti Mark dan bukan dirinya.

Senyum di wajah Mark kian merekah saat Abel menyambut dirinya. Cewek itu telah menyisakan satu kursi kosong untuk Mark duduki nantinya.

“Lama banget lo?” tanya Abel. Padahal jelas-jelas dialah yang terlalu cepat.

“Biasalah” jawab Mark seadanya.

Mark kembali melirik ke arah seberang, di mana Ralia dan Dhanu sedang berjalan beriringan sambil Ralia sesekali memukul lengan Dhanu pelan dan tertawa lepas.

Tiba-tiba saja Mark teringat kata-kata Dhanu saat mereka berpapasan di tangga beberapa hari lalu ketika Mark baru selesai dari jadwal piketnya dan Dhanu, entahlah apa yang cowok itu lakukan, Mark juga gak peduli dan gak berniat untuk tau.

Namun, langkah Mark yang ingin pergi harus berhenti saat Dhanu mengatakan sesuatu yang sepertinya diperuntukkan untuk dirinya karena nggak ada siapapun di sana selain mereka berdua.

“Kata Sabina lo putus sama Abel?”

Mark memicingkan matanya saat dengan jelas ia melihat Dhanu terkekeh terkesan seperti mengejek dirinya.

“Lo udah yakin, kan sama keputusan lo itu? Soalnya gue mau maju juga”

“Maksud lo?”

Dhanu hanya mengedipkan sebelah matanya lalu pergi dari sana begitu saja meninggalkan Mark yang hanya bisa melipat keningnya bingung.

Tetapi, sekarang Mark mulai mengerti apa maksud dari ucapan Dhanu waktu itu. Bukan hal yang cukup mengejutkan bagi Mark karena sejak tau jika Ralia dekat dengan Dhanu di kelas melalui cerita dari Arjuna, Mark sudah lama menebak kalau cowok itu memang menyukai Ralia yang saat itu masih menjadi pacarnya.

“Mark!”

Mark mengerjapkan matanya saat Abel melambaikan tangan di depan wajah Mark berusaha menyadarkan Mark yang tengah hanyut dalam pikirannya sendiri.

“Malah bengong. Cepetan lo mau makan apa? Biar gue pesen” Abel kembali menunggu Mark yang tengah melemparkan pandangannya ke sekeliling kantin untuk memilih menu apa yang akan ia pesan untuk makan siangnya kali ini dan akhirnya pilihan cowok itu jatuh pada mie ayam.

Abel segera berdiri dari kursinya dan pergi memesan.

Selepas kepergian Abel, Mark kembali menorehkan pandangannya berusaha mencari keberadaan Ralia dan Dhanu yang sayangnya udah nggak terlihat keberadaanya di sana.

Tiba-tiba saja sebuah keributan gaduh terdengar mengambil atensi seluruh pengunjung kantin tak terkecuali Mark yang langsung menoleh penasaran.

Mark langsung membelalakan matanya saat tau jika yang menjadi sumbernya adalah Rena dan Abel yang sudah mulai saling mendorong kasar.

“Gue tau lo sengaja!” Abel berteriak, tak lupa mendorong Rena sekuat tenaganya.

Rena tentu nggak terima dan balas mendorong Abel nggak kalah kencang, “ELO ANJING!” katanya sewot dan galak.

Semuanya hanya sibuk menonton tanpa berniat memisahkan keduanya yang mulai nggak terkendali saat Rena spontan menarik baju Abel yang dibalas dengan jambakan dari Abel.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Mark segera menghampiri mereka berdua, berusaha memisahkan pertengkaran yang entah apa sebabnya itu.

Setelah berhasil menarik Abel dari cengkraman Rena, Mark langsung menyembunyikan Abel di balik badannya yang lantas mengundang tatapan nggak percaya dari Rena.

“Ren, lo apa-apaan sih?!” Mark meninggikan suaranya.

Rena berdecih malas, setelah merapikan sedikit penampilannya yang berantakan Rena menatap Mark dan Abel tajam secara bergantian. “Cewek lo pinter banget playing victimnya. Dasar badut lo lont— anjingg! RECAN LEPASIN GAK?!”

orentciz

insiden kantin

Baik Ralia maupun Mark sama-sama terlihat terkejut saat secara nggak sengaja mereka berdua berpapasan di ujung lorong menuju kantin.

Ada tatapan aneh yang Ralia tunjukan saat melihat Mark karena nggak biasanya cowok itu ke kantin sendirian terutama saat bel istirahat baru saja berbunyi.

“Mark!” teriakan seseorang dari ujung sana membuat Ralia ikut menoleh meski bukan dirinya yang dipanggil.

Oh, Abel.

Usai menyempatkan diri untuk melemparkan senyum simpul sebagai respon pada Abel yang sepertinya telah lebih dulu menunggu, Mark kembali beralih menatap Ralia dan juga seseorang disebelahnya yang akhir-akhir ini terlihat selalu berada di dekat Ralia. Dhanu.

Mark berdehem pelan mencoba bersikap biasa saja kemudian melangkahkan kakinya terus berjalan melewati Ralia dan Dhanu.

Sedangkan di sana, Ralia diam untuk beberapa detik. Tangannya mengepal kuat di samping badanya. “Bisa, Li. Lo bisa. Kalo Mark bisa baik-baik aja kenapa lo enggak? Inget, seenggaknya lo harus kelihatan biasa aja di depan dia.” gumam Ralia berulang kali berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Ia sudah bertekad move on dari Mark dan memang itu yang harus dia lakukan karena Ralia sadar kalau ada yang harus menyesal itu sudah pasti Mark dan bukan dirinya.

Senyum di wajah Mark kian merekah saat Abel menyambut dirinya. Cewek itu telah menyisakan satu kursi kosong untuk Mark duduki nantinya.

“Lama banget lo?” tanya Abel. Padahal jelas-jelas dialah yang terlalu cepat.

“Biasalah” jawab Mark seadanya.

Mark kembali melirik ke arah seberang, di mana Ralia dan Dhanu sedang berjalan beriringan sambil Ralia sesekali memukul lengan Dhanu pelan dan tertawa lepas.

Tiba-tiba saja Mark teringat kata-kata Dhanu saat mereka berpapasan di tangga beberapa hari lalu ketika Mark baru selesai dari jadwal piketnya dan Dhanu, entahlah apa yang cowok itu lakukan, Mark juga gak peduli dan gak berniat untuk tau.

Namun, langkah Mark yang ingin pergi harus berhenti saat Dhanu mengatakan sesuatu yang sepertinya diperuntukkan untuk dirinya karena nggak ada siapapun di sana selain mereka berdua.

“Kata Sabina lo putus sama Abel?”

Mark memicingkan matanya saat dengan jelas ia melihat Dhanu terkekeh terkesan seperti mengejek dirinya.

“Lo udah yakin, kan sama keputusan lo itu? Soalnya gue mau maju juga”

“Maksud lo?”

Dhanu hanya mengedipkan sebelah matanya lalu pergi dari sana begitu saja meninggalkan Mark yang hanya bisa melipat keningnya bingung.

Tetapi, sekarang Mark mulai mengerti apa maksud dari ucapan Dhanu waktu itu. Bukan hal yang cukup mengejutkan bagi Mark karena sejak tau jika Ralia dekat dengan Dhanu di kelas melalui cerita dari Arjuna, Mark sudah lama menebak kalau cowok itu memang menyukai Ralia yang saat itu masih menjadi pacarnya.

“Mark!”

Mark mengerjapkan matanya saat Ralia melambaikan tangan di depan wajah Mark berusaha menyadarkan Mark yang tengah hanyut dalam pikirannya sendiri.

“Malah bengong. Cepetan lo mau makan apa? Biar gue pesen” Abel kembali menunggu Mark yang tengah melemparkan pandangannya ke sekeliling kantin untuk memilih menu apa yang akan ia pesan untuk makan siangnya kali ini dan akhirnya pilihan cowok itu jatuh pada mie ayam.

Abel segera berdiri dari kursinya dan pergi memesan.

Selepas kepergian Abel, Mark kembali menorehkan pandangannya berusaha mencari keberadaan Ralia dan Dhanu yang sayangnya udah nggak terlihat keberadaanya di sana.

Tiba-tiba saja sebuah keributan gaduh terdengar mengambil atensi seluruh pengunjung kantin tak terkecuali Mark yang langsung menoleh penasaran.

Mark langsung membelalakan matanya saat tau jika yang menjadi sumbernya adalah Rena dan Abel yang sudah mulai saling mendorong kasar.

“Gue tau lo sengaja!” Abel berteriak, tak lupa mendorong Rena sekuat tenaganya.

Rena tentu nggak terima dan balas mendorong Abel nggak kalah kencang, “ELO ANJING!” katanya sewot dan galak.

Semuanya hanya sibuk menonton tanpa berniat memisahkan keduanya yang mulai nggak terkendali saat Rena spontan menarik baju Abel yang dibalas dengan jambakan dari Abel.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Mark segera menghampiri mereka berdua, berusaha memisahkan pertengkaran yang entah apa sebabnya itu.

Setelah berhasil menarik Abel dari cengkraman Rena, Mark langsung menyembunyikan Abel di balik badannya yang lantas mengundang tatapan nggak percaya dari Rena.

“Ren, lo apa-apaan sih?!” Mark meninggikan suaranya.

Rena berdecih malas, setelah merapikan sedikit penampilannya yang berantakan Rena menatap Mark dan Abel tajam secara bergantian. “Cewek lo pinter banget playing victimnya. Dasar badut lo lont— anjingg! RECAN LEPASIN GAK?!”

orentciz

bye my blue

Ralia buru-buru berjongkok, membantu merapikan beberapa barang yang ikut jatuh ke tanah saat dirinya nggak sengaja menabrak seseorang akbibat terlalu fokus pada ponselnya saat berjalan tadi.

“Aduh, sorry banget gue gak—” tangannya berhenti bergerak saat secara nggak sengaja netra Ralia melihat ponsel yang ikut terjatuh itu dalam keadaan layar menyala yang menampilkan sebuah lockscreen sebuah polaroid dimana dua orang tengah berfoto bersama dengan salah satu dari mereka merangkul pundak yang lain.

Ralia awalnya menggeleng. Mungkin hanya kelihatan mirip karena Ralia hanya melihatnya sekilas. Tetapi, ketika ia bangkit berdiri untuk memberikan barang-barang yang jatuh tadi pada Sang pemilik ia yakin yang tadi dilihatnya bukan lagi salah orang.

“—gue tadi ga liat jalan” sambung Ralia kemudian. Tangannya terjulur.

“Lain kali kalo jalan lihat-lihat” jawab cewek itu. Nadanya terdengar sedikit ketus. Ralia maklum, mungkin ia kesal karena salah satu dari yang jatuh tadi adalah ponselnya.

“I-iya, sorry” Ralia berlalu, memilih duduk di salah satu kursi kosong yang nggak jauh dari tempat Abel duduk.

Berulang kali secara nggak sadar, Ralia melirik Abel yang kelihatannya tengah menunggu seseorang juga sama seperti dirinya.

“Mark?” pikir Ralia mencoba menerka-nerka.

Ralia kembali teringat pada lockscreen yang ada di hp Abel tadi. Ada sedikit rasa penasaran terlintas di benak Ralia, apa hubungan Mark dan Abel sekarang?

Kalau memang keduanya telah resmi pacaran, ia yakin jika Rena pasti akan memberitahukan itu pada dirinya.

“Lo tuh harus dikasih tau yang pait pait tentang Mark, biar lo melek!”, begitulah jawaban Rena saat Ralia bertanya apa maksud Rena menunjukan snapgram Abel padanya waktu itu.

Ralia kembali mengecek ponselnya, sudah 10 menit berlalu dan Dhanu belum juga datang, padahal cowok itu bilang hanya akan memberikan beberapa berkas pada sekolah karena tim basket sekolah mereka kembali memenangkan pertandingan yang waktu itu mereka ikuti.

Malas terlalu lama di sini, Ralia memutuskan untuk kembali ke area sekolah mencari Dhanu. Baru saja berniat berdiri, tetapi niatnya langsung diurungkan saat Ralia melihat Mark yang datang dari arah berlawanan dengannya.

Jantung Ralia mendadak berdegup cepat, terlebih saat mata Mark secara jelas harusnya bisa melihat keberadaan Ralia yang hanya bisa membeku di tempatnya.

3 detik yang terasa panjang dan mendebarkan bagi Ralia akhirnya berlalu saat Mark hanya melewatinya begitu saja bahkan tanpa melirik sedikitpun seolah dirinya adal sosok tak terlihat. Tanpa perlu menoleh, Ralia jelas sudah tau siapa yang akan dihampiri oleh Mark kemudian.

“Sorry, lama” sapa Mark menampilkan senyum manisnya pada Abel yang ikut mendongak saat mendengar suara Mark menyapa telinganya.

“Dari mana deh?” tanya Abel penasaran.

Ralia bisa melihat dari tempatnya bagaimana cara Mark menatap Abel, begitupun sebaliknya.

Tatapan yang bahkan gak pernah Mark tunjukan pada dirinya bahkan hanya untuk sekali saja saat mereka pacaran. Mark jarang menatapnya, bahkan bisa dibilang selalu menghindari sesuatu yang bisa menyebabkan eye contact saat bersama Ralia.

Ralia bahkan nggak bisa mengingat kapan terakhir Mark tersenyum setulus itu padanya.

Atau mungkin memang tidak pernah?

Menyadari itu, secara nggak sengaja, Ralia mengeluarkan tawa sinis yang membuat kedua mata disana lantas menoleh padanya.

Imgur

Berusaha sekuat tenaga mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam hatinya, Ralia melampiaskannya dengan mengigit bibir bawahnya.

Ralia ingin sekali menghampiri Mark kemudian berteriak pada cowok itu menunjukan betapa jahatnya cowok itu karena mampu bersikap biasa saja tanpa ada rasa bersalah yang ditunjukan setidaknya sampai rasa sakit hati yang ia berikan padanya sedikit mereda.

“Kamu lama banget tau ga sih.” Abel kembali bersuara

Mark mengembalikan fokusnya pada Abel saat cewek itu meraih tangannya kemudian menatap Mark setengah menekuk bibir. Melihat itu, Mark nggak bisa menahan senyum tipisnya.

Tangan Mark terulur naik ke atas kepala Abel lalu mengacaknya pelan membuat Abel ikut mengulum senyum manis.

Keduanya terlalu sibuk dengan dunia mereka sampai-sampai nggak menyadari ada orang lain yang tengah memperhatikan dengan mata yang memerah menahan tangis. Ralia hancur.

Ralia menatap nanar. Ia benci saat otaknya seolah memaksa seluruh sistem syaraf Ralia agar gak beranjak darisana supaya ia bisa lebih lama menyaksikan tontonan yang membuatnya hatinya membiru tanpa ampun. Ia benci saat meskipun semuanya sudah berakhir semenyedihkan ini, tapi hatinya masih terus berharap agar Mark mau melihat padanya sebentar.

Terkadang Ralia sering bertanya-tanya.

Apa Mark benar-benar baik-baik saja setelah semuanya?

Apa Mark bisa tidur nyenyak setelah semuanya?

Melihat semua ini, Ralia mendapati jawaban pasti.

Mark bisa. Dan Ralia benci itu.

Ia benci menjadi satu-satunya yang menyedihkan dan lemah di sini. Semuanya terasa begitu sia-sia karena pada akhirnya hanya berlalu tanpa arti.

Saat sedang sibuk memberi pelajaran pada dirinya sendiri, Ralia bisa merasakan seseorang mulai meraih tangannya kemudian menggengamnya lembut.

Seketika Ralia menoleh dan mendapati Dhanu yang kini berdiri di sampingnya.

“Nu...” panggil Ralia terdengar lirih.

Cowok itu tersenyum hangat sambil matanya menyorot Ralia teduh seolah mengatakan bahwa ia ada di sini untuk Ralia.

“Ayo, kita balik”


Ralia datang membawa sebuah handuk kering di tangannya lalu ia memberikannya pada Dhanu yang dengan senang hati diterima oleh cowok itu.

Dhanu segera mengeringkan rambutnya yang sedikit basah akibat kehujanan di jalan tadi sedangkan bajunya masih lumayan kering karena tadi ia memakai jaket.

“Kan gue bilang mending tadi neduh dulu” Ralia kembali mengingat saat di perjalan menuju ke rumahnya tadi, tiba-tiba hujan turun begitu derasnya tanpa diduga.

Berkali-kali Ralia mengajak Dhanu untuk meneduh sebentar, namun Dhanu kekeuh untuk menerobos hujan seolah itu bukanlah masalah besar.

Dhanu hanya tertawa menanggapi itu. “Tanggung. Ngeri kalo ujannya bakal lama nanti kita malah gajadi bikin tugasnya”.

Bohong.

Tentu saja Dhanu bohong.

Ia sengaja menerobos hujan karena beberapa kali Dhanu mencuri-curi pandang lewat spionnya dan mendapati Ralia yang sedang menahan tangisannya.

Untuk alasan yang hanya bisa Dhanu tebak tanpa tahu kepastiannya, Dhanu memutuskan untuk menerobos hujan, membiarkan perempuan yang tengah ia bonceng itu menjatuhkan air matanya yang menyaru dengan tetesan air hujan di wajahnya.

Ralia mungkin bisa menyangkal, tetapi sesampainya di rumah perempuan itu, Ralia langsung masuk dan pergi ke kamarnya. Meninggalkan Dhanu di ruang tengah yang akhirnya berbincang-bincang kecil dengan Mas Aan sebelum pria berumur akhir 20an itu pamit pergi untuk menjemput Ayah Ralia.

“Minum dulu tuh teh anget nya” tawar Ralia lalu menggeser segelas teh anget yang sebelumnya telah disajikan oleh Mba Rara.

Hujan turun nggak lagi sederas tadi, namun dilihat dari lamgit yang belum juga menunjukan cahaya terang bisa dipastikan jika hal itu akan berlangsung sedikit lebih lama lagi.

Ralia melemparkan tatapannya keluar sana. Ia kembali mengingat kejadian tadi.

Ralia bukan mau terlalu percaya diri atau bagaimana. Namun, ia yakin ia jelas melihat ada tatapan terkejut yang Mark tunjukan saat Dhanu membawa Ralia pergi darisana dengan tangan yang tertaut satu sama lain.

“Dhanu” panggil Ralia tanpa menatap cowok itu, “Lagunya kita ganti aja, ya?”

“Kenapa?”

Ralia hanya membalas dengan sebuah senyum tipis yang menyimpan sebuah arti di baliknya.

orentciz