Dua Tempat Berbeda
Dinginnya udara jam delapan malam kota Bandung seperti nggak ada artinya bagi dua orang pemuda yang saat ini sedang berdiri di balkon kamar hotel yang mereka tempati.
“Abel nelpon lo berkali-kali” suara Arjuna yang berdiri di sebelah Mark terdengar. Lengkap dengan rambut yang masih setengah basah dan handuk merah tergantung di pundaknya cukup jelas jika cowok bermata sipit ketika tersenyum itu baru saja selesai mandi.
Melalui ekor matanya, Mark melirik Arjuna yang belum lama datang menghampirinya itu.
Recan sendiri udah pergi entah kemana setelah Arjuna dan Mark terang-terangan menolak ajakannya untuk berkeliling Bandung malam ini dan sukses membuat sahabatnya sejak di bangku SMP itu pergi sambil bersungut kesal kira-kira satu jam yang lalu.
“Anjing, menuh-menuhin bus doang lo ngikut GTC” kesalnya sebelum beranjak menyisakan Arjuna dan Mark di kamar berdua.
“Gak sengaja liat pas hp lo lagi dicas” Arjuna cepat-cepat menjelaskan saat sadar jika Mark tengah meliriknya diam-diam.
Selepas mandi tadi, Arjuna yang kebetulan sedang mencari kaca matanya terpaksa harus menggeledah hingga meja wilayah tidur Mark dan disitulah dia nggak sengaja melihat layar ponsel Mark menyala karena ada sebuah panggilan masuk dari Abel. Panggilan tersebut mati sendirinya dan mengalihkannya pada layar lockscreen yang memperlihatkan puluhan panggilan tak terjawab lainnya masih dari orang yang sama.
Mark hanya mengatupkan bibirnya rapat, diam tanpa merespon.
Dia memang sengaja nggak mengangkat satupun telpon dari Abel. Tentunya bukan tanpa alasan kenapa Mark melakukan hal tersebut. Persetan dibilang terlalu kekanakan oleh Abel yang justru berulang kali mencoba membujuk Mark agar nggak terlalu membesarkan masalah kecil seperti ini.
Masalah kecil katanya. Mungkin Abel benar-benar nggak bisa melihat apa aja yang telah Mark buang demi dirinya. Demi orang yang kembalinya selalu ia tunggu-tunggu tapi justru membawa kekecewaan mendalam untuk Mark sendiri.
Recan benar, Mark sama sekali nggak niat ikut acara yang selalu dinantikan oleh seluruh siswa kelas 12 ini. Alasan kenapa dia bisa berakhir di sini hanya untuk menghindar dari Abel. Ah, bahkan mendengar namanya membuat hati Mark tercubit.
Arjuna ikut mengalihkan kembali pandangannya ke depan. Mengamati jalanan Bandung yang ramai di bawah sana.
“Gue sebenernya penasaran sama hal ini dariawal lo bilang kalo Abel balik” Arjuna lagi-lagi membuka obrolan, masih sambil terus menatap lurus ke depan, begitu juga manusia di sebelahnya yang melakukan hal serupa. “Gue tau banget gimana perasaan lo dulu sama dia. Tapi apa iya perasaan lo sampe detik ini ke dia masih sama? Lo yakin perasaan lo ke Abel sekarang itu perasaan suka? Sukanya cewek ke cowok?”
Arjuna yang biasanya nggak begitu peduli dan selalu memilih menjadi penonton di kehidupan cinta Mark kali ini berhasil membuat Mark mengernyit heran memasang raut gusar mendengar pertanyaan nggak masuk akal Arjuna tadi.
Semua orang di sekolah tau seberapa besar rasa suka Ananta Mark yang kala itu hanya seorang siswa biasa kelas 10 pada Gabriella Alona si wakil ketua osis yang selalu menjadi kesukaan warga sekolah.
Pertemuan singkat keduanya dibilang cukup sederhana, Abel yang hari itu harus membawa tumpukan buku-buku dari perpustakaan dengan terburu-buru harus menabrak Mark yang datang dari arah sebaliknya secara nggak sengaja saat di persimpangan koridor dan membuat Abel tersungkur bersama buku-buku yang akhirnya ikut jatuh berserakan.
Merasa bersalah, Mark ikut membantu merapikan bahkan menawarkan diri untuk membawa sebagian yang akhirnya disetujui oleh Abel dan akhirnya keduanya berjalan bersama menuju salah satu ruangan di sekolah yang keberadaannya baru saja diresmikan oleh sekolah beberapa hari lalu. Ruang osis.
“Kebetulan lo tinggi, bisa bantuin nempel ini nggak di sana” Tanya Abel sambil menjulurkan sebuah mading pada Mark.
“Ke sana?” tanya Mark kemudian setelah mendapat anggukan dari Abel, Mark menggeser kursi kosong untuk dijadikan pijakannya naik.
“Makasih banget” ujar Abel nggak lupa memasang senyum lebar saat Mark kembali turun dari atas kursi. “Btw nama lo siapa?”
“Mark”
Sejak saat itu, Abel yang memang dikenal ramah pada semua orang selalu menyempatkan diri untuk menyapa Mark tiap kali mereka berdua bertemu. Sesederhana itu pula, dari mata turun ke hati, hanya dengan senyuman dan sapaan dari Abel, Mark menaruh rasa pada kakak kelasnya yang secara kebetulan ternyata anak dari teman arisan mamanya.
Mark menegakan tubuhnya, merubah posisi berdirinya. “Jun, lo tau gak kenapa gue nekat nembak Ralia waktu itu?”
Guratan di dahi Arjuna seolah menjelaskan betapa bingung dirinya atas pertanyaan yang Mark lontarkan, “Tau. Pelarian kan?” jawab Arjuna.
Ia bahkan masih ingat betapa buntu otaknya karena berusaha mencerna berita yang sempat menghebohkan sekolah waktu itu. Arjuna menolak percaya dan rasanya nggak akan bisa percaya. Apalagi karena dia tau alasannya.
“Gue juga berusaha, Jun lupain dia. Tapi apa? Sia-sia. Perasaan gue ke Abel masih sama. Buktinya gue sekecewa ini, Jun” Sorot mata Mark memang menggambarkan jelas bahwa cowok itu sedang dirudung rasa resah dan gelisah.
“Oke, kalo gitu pertanyaannya gue ganti. Kalo Ralia gimana? Apa lo beneran nggak pernah punya perasaan sama dia?”
Gantian, kali ini Mark yang menoleh bingung. Matanya sibuk menatap Arjuna yang hanya meliriknya sekilas itu.
“Enggak” jawab Mark singkat kembali memalingkan wajahnya.
Arjuna tertawa, nadanya terdengar meremehkan. Ia memutar badanya menghadap Mark pada detik berikutnya.
“Bohong”
Sebuah senyum sinis terpapar di wajah tampan Arjuna. Bukan hanya Recan yang telah lama menjadi sahabat Mark, dirinya pun juga. Sayang mereka bertiga harus berpisah saat memasuki masa putih abu-abu karena Arjuna memilih untuk mengambil jurusan IPS sedangkan Recan dan Mark mengabil jurusan IPA.
Hal itu tentunya nggak lantas membuat ketiga orang ini otomatis menjauh dengan mudah. Justru kedekatan mereka semakin menjadi setelah resmi mendapatkan SIM dan nggak jarang nekat melakukan ridding hingga ke daerah puncak lalu berakhir menginap di rumah salah satunya.
Nyaris 6 tahun mereka lalui sebagai seorang sahabat. Ada banyak hal yang telah mereka lalui bersama, ada banyak kebiasaan yang udah satu sama lain yang ketahui, dan ada banyak rahasia juga yang mereka bagi pada satu sama lain.
Arjuna bukannya nggak tau alasan Mark akhirnya memilih menjadikan orang lain pelarian atas rasa yang bahkan belum sempat dia utarakan pada Abel karena cewek itu udah lebih dulu pergi ke Amerika untuk mengikuti kegiatan pertukaran pelajar dan menghabiskan kurang lebih satu tahun di sana.
Arjuna dan Recan tau. Tapi mereka nggak bisa melakukan apa-apa karena berusaha untuk mengerti perasaan Mark tentunya sebagai sahabat yang baik.
Sayangnya, cerita berkata lain saat yang harus jadi korban adalah Ralia, teman kecil sekaligus tetangga Recan. Arjuna sendiri masih nggak mengerti alasan Mark memilih Ralia padahal setaunya mereka berdua hanya sebatas kenal nama. Ngga lebih dan nggak kurang, kecuali ada hal lain yang nggak Arjuna ketahui.
“Meskipun cuman sedikit, pasti ada, Mark. Begonya, lo nggak tau aja atau mungkin lo tau tapi pura-pura bego. Tapi sama ajasih, bego bego juga” Arjuna berkata dengan begitu tenang walaupun apa yang dia katakan terdengar menohok di telinga Mark.
“Kenapa lo mikir gitu?”
Mark bisa melihat senyum tipis penuh arti di bibir Arjuna sebelum cowok itu menjawab pertanyaannya.
“Ada banyak. Perlu gue jabarin semua?” tawar Arjuna
Mark memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Arjuna. “Kasih gue satu contoh”
Arjuna menarik nafasnya pelan, nampak berpikir untuk sejenak fakta mana yang kira-kira bisa menyadarkan temannya itu. “Mata lo gabisa lepas dari Ralia selama di bus. Nyadar ga lo?”
Mark bungkam. Reflek menatap manik tenang Arjuna secara intens. Rahangnya tiba-tiba mengeras seolah dia baru saja tertangkap basah melakukan suatu kejahatan.
“Gue—”
“Atau pas lo masih pacaran deh. Waktu lo sok nagih duit goceng lo ke gue, padahal utang gocap gue sama lo aja ga lo tagih-tagih tuh sampe detik ini. Lo waktu itu bukan ke kelas gue cuman buat nagih duit, kan? Mau liat Ralia yang sama Dhanu? Apa gimana?”
“Jun—”
“Ego lo, Mark. Singkirin ego lo. Terima aja kalo lo udah jatuh hati sama Ralia dan lo kalah dalam permainan yang lo buat sendiri. Gue kenal lo udah lama, gue bisa liat gimana mata dan sikap lo ke dia selama ini.”
“Gue selama ini nggak segacor Recan yang ngatain lo brengsek karena gue tuh nyadar, sebenarnya lo mulai hanyut kebawa perasaan dan suasana. Ya jelas sih, orang Ralianya aja begitu. Gue aja sirik sama lo yang bisa dapet cewek yang selapang dada itu ngadepin lo yang gatau diri gini. Kalo gue bukan temen lo, udah gue gebet kali anaknya sekarang juga.”
Tangan Arjuna terjulur, ditepuknya pundak Mark pelan meski Mark masih enggan menoleh padanya, “Mungkin buat lo Abel ga segampang itu lo lupain karena dia orang pertama yang hadir di hati lo, tapi bukan berarti lo gabakal bisa jatuh cinta sama orang lain selain dia. Ralia nggak kehilangan lo, banyak Mark yang mau sama dia, justru lo yang sebenarnya kehilangan dia di sini. So, love her or leave her. Pilih, Mark”
Arjuna membawa dirinya masuk kembali ke kamar, meninggalkan Mark yang termenung memikirkan sesuatu di depan sana sendirian.
Ralia menyusuri tepi jalan Braga bersama seorang pemuda di sebelahnya. Sambil sesekali menyesap hot latte yang dibeli ketika keduanya mampir ke salah satu toko kopi, Ralia sibuk mengatakan semua hal yang ada di pikirannya selama 4 hari ini.
Dhanu.
Cowok itu seperti nggak rela mengalihkan pandangannya barang sedetikpun dari wajah Ralia yang terlihat manis di bawah penerangan lampu-lampu jalan. Bahkan Dhanu sampai mengabaikan semua kata yang tengah Ralia ucapkan karena terlalu fokus memandangi pahatan wajah perempuan itu.
“Lo tau gak sih, Nu? Dulu pas kelas sepuluh, gue takut tau sama lo”
Dhanu mengerjap, memalingkan wajahnya cepat saat Ralia menoleh padanya.
“Oh, ya? Kenapa?”
“Lo tuh serem banget kalo ngeliatin orang. Jutek. Kayak mau makan orang” kata Ralia sambil kembali membayangkan bagaimana ngerinya dia waktu pertama kalinya kenal Dhanu dalam Masa Orientasi Siswa dulu. “Makanya gue jarang banget kan ngobrol sama lo meskipun kita sekelas terus.”
Dhanu mengangguk pelan.
“Tapi sekarang kita malah jadi deket gini. Segala lo jajanin ini lagi” Ralia mengangkat paper bag berisi beberapa jajanan yang dibelikan Dhanu untuknya. Jajanan yang sering Ralia beli waktu kecil yang mungkin nggak akan dia temukan lagi saat kembali ke Jakarta besok.
Dhanu ikut menghentikan langkahnya saat Ralia tiba-tiba berhenti dan mengulas sebuah senyum tulus sambil menatap Dhanu dalam.
“Makasih udah mau jadi temen gue”
Teman.
Ada perasaan mencelos aneh yang menjalar di hati Dhanu saat mendengar ucapan Ralia barusan.
Sebuah senyum yang menyiratkan kekecewaan terukir di wajah Dhanu, netranya mencoba menatap lurus punggung Ralia yang udah lebih dulu berjalan beberapa langkah di depannya, meninggalkan Dhanu yang masih diam tak bergeming di tempatnya.
Malam ini, Ralia baru saja memperjelas hubungan mereka. Menorehkan garis batas kasat mata yang membatasi Dhanu.
Teman.
Hanya teman.
orentciz