Ini Tentang Kastara

Para pemuda itu terus menarik gas motor mereka. Mengabaikan angin malam yang menusuk tulang. Mencampakkan jarak pandang yang terganggu akibat genangan air mata di pelupuk.

Persetan dengan segala hal, saat ini Kastara sedang mempertaruhkan hidup dan matinya.


“Bangsat!!” Tanpa sapa atau salam ramah Jay masuk ke dalam gudang bekas pabrik dengan menendang pintu coklat rapuh hingga terdengar bunyi hantaman yang cukup keras. Saat ini pemuda tersebut sudah kepalang emosi.

Tiga puluh menit berlalu akhirnya mereka telah tiba disini, disebuah pabrik kosong yang sudah tak beroperasi. Jangan tanya bagaimana perasaan Jay saat ini, kacau. Sangat kacau. Otaknya tak dapat berpikir jernih akibat tertutup oleh kabut bernama rasa takut. Bukan takut pada Adit, bukan juga pada bebal. Namun ia takut akan kehilangan yang memiliki peluang untuk menghampirinya kapan saja.

Sunghoon yang berdiri tepat disebelah kanan Jay sibuk mengedarkan pandangannya, mencari dimana sahabat baiknya berada. Ruangan pabrik kala itu cukup gelap dan pengap, penerangan minim hanya berasal dari sebuah lampu kuning yang tergantung di atas mereka.

Jake menghampiri Jackson yang berdiri tepat dihadapan mereka dengan langkah kasar dan penuh emosi. Bagai sedang menyambut tamu undangan, Jackson menyambut Kastara dengan santai. “Dimana Heeseung?” deru nafas memburu milik Jake terdengar sangat jelas. Bak macan yang siap menerkam sang kancil.

“Heeseung?” Jackson bertanya dengan nada yang sedikit mencela lalu menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seperti orang kebingungan. “Heeseung kemana bro?” tanyanya kali ini dengan suara yang lebih dikeraskan, berniat agar anggota Bebal lain yang duduk tersebar disekitar pabrik dapat mendengar suaranya.

“Udah di neraka!” Sahut suara yang sudah terdengar tidak asing lagi di telinga Jay. Milik Adit. Saat ini pemuda itu sedang terduduk pada anak tangga sambil menghembuskan asap dari mulutnya dengan tenang.

“Anjing!!” Jay berteriak lantang lalu berlari menghampiri Adit. Emosinya telah mencapai batas dan siap untuk menghabisi sang saudara seayah detik itu juga.

“Wis, satai dong bro. Santai. Nafsu amat lo pengen mukul gue.” ujar Adit begitu berhasil terhindar dari pukulan perdana milik Jay. Gemeletak suara gigi yang beradu menjadi bukti seberapa keras pemuda dengan marga Park tersebut berusaha menahan diri untuk tidak melayangkan tinjunya yang kedua kali. “Liat belakang lo.” ujar Adit yang lebih terdengar seperti perintah.

Sebuah teriakan yang tersirat akan rasa frustasi dan khawatir menggema diseluruh penjuru ruangan kala tiga pasang mata terfokus pada satu titik. Baik Jay, Jake, dan Sunghoon saat ini merasakan rasa yang sama. Rasa sakit dan sesal saat melihat temannya terluka parah dengan darah yang menetes tanpa jeda.

“Heeseung!”

Sunghoon dengan penuh reflek berlari mendekati Heeseung yang terduduk di atas kursi usang sambil menatap ke arahnya dan melafalkan kalimat 'Gue gak apa' namun tanpa suara.

“Talinya udah dilepas. Biar bisa ikut tarung.” Bintang yang berdiri tepat dibelakang Heeseung mendorong tubuh lemah pemuda tersebut, hingga membuat Heeseung hampir terperanjat. Untung saja Sunghoon dengan sigap menangkap dan membantu sahabatnya itu untuk berdiri.

Sunghoon mengangkat jari telunjuknya lalu menunjuk Bintang tepat pada mata laki-laki tersebut, “Lo manusia bagsat!” jika saja tatapan bisa membunuh, mungkin saat ini Bintang hanya tinggal nama. Sunghoon yang selalu bersikap jenaka kini terlihat seribu kali berbeda. Tampak lebih buas dan sangar, bagai harimau yang kelaparan.

Kekehan geli terdengar dari pojok ruangan. Disana Adit sedang berdiri dengan santainya sambil bertepuk tangan seorang diri. “Udah, udah dramanya? Sunghoon, mending lo jagain tuh temen lo yang kayanya bentar lagi bakal mati.” kalimat Adit berhasil membuat amarah dalam tubuh Jay semakin memuncak. Satu hal yang harus dunia tahu; bahwa Jay, sang pemimpin Kastara sangat membenci kematian dan kehilangan.

Lagi, tanpa perlu basa basi. Tinjuan keras tangan Jay berhasil mendarat pada rahang kanan Adit hingga membuat darah segar mengalir keluar dari hidung pemuda tersebut. Ringisan kecil penanda kesakitan terlolos dari mulutnya. “Lo curi start? Yakin bakal menang lawan bebal? Empat lawan dua puluh?” seringai angkuh penuh cela tercetak jelas pada wajah Adit.

Jay terdiam sejenak. Berusaha untuk berpikir ditengah keterbatasan akibat emosi dan amarah yang kini sedang mendominasi setiap sel dalam tubuhnya. Perkataan Adit ada benarnya, agaknya mustahil bagi Kastara untuk mampu menang melawan Bebal. Empat melawan dua puluh, jika dilihat dari sudut pandang manapun mereka pasti akan kalah. Ditambah lagi kondisi Heeseung yang sangat tidak memungkinkan untuk ikut bertarung. Maka dari itu;

“Satu lawan dua puluh.” jawab Jay dengan yakin sambil melemaskan otot lehernya. “Gue tau, sasaran utama lo disini cuma gue kan? Jadi bebasin temen-temen gue. We can finish it by one vs twenty

Maka dari itu; Jay memilih untuk mengorbankan dirinya.

“NGENTOD!! NGOMONG APA LO BEGO?” teriak Jake yang tiba-tiba sudah berada disamping Jay lalu menonjok kepala temannya itu dengan cukup keras. “Dua lawan dua puluh.”

“Tiga lawan dua puluh.” kali ini Sunghoon ikut bersuara sambil membopong Heeseung mendekati Jake dan Jay.

Mengangkat alisnya dengan santai, tangan Heeseung merangkul Jay begitu telah berhasil berdiri segaris dengan kawanannya, “Empat lawan dua puluh. Karena pertemanan gue gak setipis kertas HVS.” ujar Heeseung sambil meringis melawan rasa sakit disekujur tubuhnya.

“Woah, woah, woah,” Jackson bertepuk tangan, pabrik kosong yang sedari tadi sunyi kini dipenuhi dengan suara tepuk tangan dari para anggota Bebal. Bagai puas menyaksikan sebuah pertunjukkan, mereka tertawa tanpa henti. “Gue berasa lagi nonton telenovela.”

“Telenovela dari para anak broken home!”

“Telenovela dari anak seorang pelacur!”

“Telenovela dari anak mafia migas!”

Seperti merasa di atas angin, Bebal tanpa henti melontarkan ujaran-ujaran merendahkan yang mereka tunjukkan kepada Kastara. Penyerangan secara verbal, merendahkan latar belakang keluarga para Kastara yang memang hancur adanya. Namun, jika mereka berpikir dengan cara ini bisa memukul Kastara untuk mundur, tentu mereka salah besar. Segala cela yang telah Kastara terima malam itu bagaikan peluru yang mereka simpan dalam pistol, hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk menarik pelatuk.

Jay menatap Adit yang kini berdiri tepat dihadapannya dengan murka, matanya berkilat akibat rasa amarah. Dari seluruh kemungkinan yang ada dan garis takdir di dunia ini, Jay sangat membenci sebuah fakta bahwa Ia harus berada dalam satu kolom Kartu Keluarga yang sama dengan Adit, harus berbagi Ayah, dan harus rela bahwa kebahagiaannya terenggut oleh hadir sosok baru yang mereka sebut dengan; Ibu tiri dan saudara tiri.

Oleh karena itu, atas nama dendam yang meminta untuk dibalas, emosi dalam jiwa, amarah yang terpendam, pertaruhan harga diri, dan kesetiaan kawan, pertempuran para remaja yang menganggap dirinya para ksatria telah pecah di tengah malam.

Pukulan demi pukulan dilesatkan, beradu siapa yang paling kuat dan pantas disebut sang juara. Jay menarik kerah kemeja Adit yang kini tergeletak setengah sadar di bawahnya. Mencekramnya erat hingga membuat pemuda tersebut sulit untuk bernafas, “Lo bilang, lo mau rebut kebahagaian gue? Lo udah lakuin itu, Bangsat! Lo udah rebut keluarga gue! Apa lagi yang lo mau hah?”

Tinju panas kembali mendarat pada wajah Adit. Dengan membabi buta dan tanpa ampun Jay terus menyerang sang saudara. Jika saja para komplotan Bebal tidak segera menyelamatkan Adit dan mem-backup pemuda tersebut, mungkin saja sebuah batu nisan yang terukir dengan nama Aditya Wicaksana akan tertanam di atas lahan kubur esok pagi.

“Akh, bangsat!!” teriak Sunghoon begitu indera pengelihatannya menyaksikan Jay yang dikeroyok abis-abisan oleh Bebal. Satu lawan lima. Dua orang memegang tangan Jay dan tiga orang lainnya memberikan pukulan dan tendangan secara bergantian, tanpa jeda, tanpa henti, Jay bagaikan sambuk tinju bagi komplotan tersebut.

Jika bisa, Sunghoon sangat ingin berlari ke arah Jay untuk membantu sahabatnya itu. Namun, Ia bukan super hero, kemampuan bertarungnyapun masih di bawah Jay, ditambah lagi kini dihadapannya berdiri tiga orang anggota Bebal yang siap untuk membubuhkan luka dipermukaan kulitnya.

Di tengah ruang pabrik tergeletak seorang pemuda dengan kesadarannya yang terus menipis. Heeseung dapat merasakan rasa logam yang berasal dari aliran darahnya. Entah dari luka yang mana. Matanya mengedar ke seluruh ruangan. Menyaksikan teman-temannya satu-persatu tersungkur di atas tanah. Jay, Jake, dan Sunghoon masih mencoba untuk bertahan melawan para musuh. Dengan sisa tenaga yang tak seberapa, mereka masih terus berusaha melayangkan pukulan.

Jatuh tersungkur, lalu bangkit lagi. Jatuh tersungkur, lalu bangkit lagi. Jatuh tersungkur, lalu bangkit lagi. Begitu terus dan bagaikan siklus yang terulang.

“Eh, anjing!” lagi-lagi Heeseung dapat merasakan sebuah tendangan menghantam perutnya. Atensinya yang semula berpusat pada teman-temannya itu kini berganti menjadi milik Adit. Dengan samar Heeseung dapat menangkap jejak luka yang juga memenuhi wajah pemuda tersebut.

“Lo tau ini apa?” tanya Adit sambil menggoyangkan sebuah senapan berukuran sedang dihadapannya. “Kalo kena Jay, Kastara langsung Pemilu ye?” tawa renyah menyapa indera pendengaran Heeseung.

“Cuman pengecut yang perang bawa senjata saat lawannya telanjang tangan.” desis Heeseung dengan tajam sambil berusaha untuk bangun dari tidurnya. Netranya terkunci pada sosok Jay yang kini telah terkapar di atas tanah dan dilingkari oleh para anggota Bebal. Asumsi Heeseung, tenaga Jay telah menguar seluruhnya.

Adit tersenyum miring. Menunduk sedikit, menyesuaikan posisi Heeseung yang sedang terduduk di atas tanah. “Bedain pengecut sama bertarung dengan strategi, tolol!” sepatu kembali menghantam kepala Heeseung. Cukup keras hingga membuat pandangan pemuda tersebut berkunang dan telinganya berdengung sakit.

“Neraka bakal kedatangan salah satu penghuni baru.” ujar Adit mengarahkan senapan ke arah Jay yang berjarak sekitar 300 meter dari mereka. Terlentang dengan mata terpejam tak sadarkan diri.

Entah tenaga darimana, Heeseung mampu untuk berdiri dan menghalangi lubang peluru pada senapan yang sedang berada dalam genggaman Adit. Hingga akhirnya pelatuk tersebut ditarik, dan...

DORR!!

'Heese...' lirih Jake tertahan. Kini diantara mereka bertiga (Jay, Jake, dan Sunghoon) hanya Ia seorang dirilah yang masih sadarkan diri. Meski punggungnya terasa remuk akibat beban berat yang sedang menginjaknya. Bermodal sisa kesadaran diri yang tak seberapa, Jake menyaksikan temannya ambruk di atas tanah.

Peluru menembus tepat pada dada Heeseung. Darah segar bersibaran membentuk genangan merah tanda kekalahan. Jake yang terlahir dan besar dilingkungan keluarga kotor hafal betul jenis senapan apa yang mencelakai sahabatnya itu. AK-74M milik Rusia.

Nafas berat terlepas dari mulut pemuda Shim. Saat ini hanya ada satu hal yang sangat ingin Ia lakukan; menyelamatkan temannya satu persatu. Jake sangat benci hal ini. Benci melihat Kastara terluka. Terbujur akibat rasa sakit. Terpejam akibat rasa perih. Semua ini tak seharusnya terjadi. Bukankah mereka teman? dan teman seharusnya melindungi satu sama lain 'kan?

'BUGH!!'

'BUGH!!'

'BUGH!!'

Pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghantam tubuh lemah Jake saat pemuda itu mencoba untuk bangun menghampiri kawanannya. Bunyi lenguhan tanda kesakitan dan tulang otot manusia yang beradu bagaikan lagu malam itu. Bercak darah di atas tanah bagaikan saksi akan keegoisan anak manusia. Hingga pukul 02.00 dini hari pertarungan telah usai dengan Bebal yang terlahir sebagai sang juara.

'Pertemanan kita gak setipis... kertas HVS kan?' ujar Heeseung mengedarkan indera pengelihatannya ke seluruh penjuru ruangan. Memperhatikan temannya satu-persatu sebelum memutuskan untuk menutup netra coklat itu.

Malam itu, Kastara telah kalah.