panaciea

Para pemuda itu terus menarik gas motor mereka. Mengabaikan angin malam yang menusuk tulang. Mencampakkan jarak pandang yang terganggu akibat genangan air mata di pelupuk.

Persetan dengan segala hal, saat ini Kastara sedang mempertaruhkan hidup dan matinya.


“Bangsat!!” Tanpa sapa atau salam ramah Jay masuk ke dalam gudang bekas pabrik dengan menendang pintu coklat rapuh hingga terdengar bunyi hantaman yang cukup keras. Saat ini pemuda tersebut sudah kepalang emosi.

Tiga puluh menit berlalu akhirnya mereka telah tiba disini, disebuah pabrik kosong yang sudah tak beroperasi. Jangan tanya bagaimana perasaan Jay saat ini, kacau. Sangat kacau. Otaknya tak dapat berpikir jernih akibat tertutup oleh kabut bernama rasa takut. Bukan takut pada Adit, bukan juga pada bebal. Namun ia takut akan kehilangan yang memiliki peluang untuk menghampirinya kapan saja.

Sunghoon yang berdiri tepat disebelah kanan Jay sibuk mengedarkan pandangannya, mencari dimana sahabat baiknya berada. Ruangan pabrik kala itu cukup gelap dan pengap, penerangan minim hanya berasal dari sebuah lampu kuning yang tergantung di atas mereka.

Jake menghampiri Jackson yang berdiri tepat dihadapan mereka dengan langkah kasar dan penuh emosi. Bagai sedang menyambut tamu undangan, Jackson menyambut Kastara dengan santai. “Dimana Heeseung?” deru nafas memburu milik Jake terdengar sangat jelas. Bak macan yang siap menerkam sang kancil.

“Heeseung?” Jackson bertanya dengan nada yang sedikit mencela lalu menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seperti orang kebingungan. “Heeseung kemana bro?” tanyanya kali ini dengan suara yang lebih dikeraskan, berniat agar anggota Bebal lain yang duduk tersebar disekitar pabrik dapat mendengar suaranya.

“Udah di neraka!” Sahut suara yang sudah terdengar tidak asing lagi di telinga Jay. Milik Adit. Saat ini pemuda itu sedang terduduk pada anak tangga sambil menghembuskan asap dari mulutnya dengan tenang.

“Anjing!!” Jay berteriak lantang lalu berlari menghampiri Adit. Emosinya telah mencapai batas dan siap untuk menghabisi sang saudara seayah detik itu juga.

“Wis, satai dong bro. Santai. Nafsu amat lo pengen mukul gue.” ujar Adit begitu berhasil terhindar dari pukulan perdana milik Jay. Gemeletak suara gigi yang beradu menjadi bukti seberapa keras pemuda dengan marga Park tersebut berusaha menahan diri untuk tidak melayangkan tinjunya yang kedua kali. “Liat belakang lo.” ujar Adit yang lebih terdengar seperti perintah.

Sebuah teriakan yang tersirat akan rasa frustasi dan khawatir menggema diseluruh penjuru ruangan kala tiga pasang mata terfokus pada satu titik. Baik Jay, Jake, dan Sunghoon saat ini merasakan rasa yang sama. Rasa sakit dan sesal saat melihat temannya terluka parah dengan darah yang menetes tanpa jeda.

“Heeseung!”

Sunghoon dengan penuh reflek berlari mendekati Heeseung yang terduduk di atas kursi usang sambil menatap ke arahnya dan melafalkan kalimat 'Gue gak apa' namun tanpa suara.

“Talinya udah dilepas. Biar bisa ikut tarung.” Bintang yang berdiri tepat dibelakang Heeseung mendorong tubuh lemah pemuda tersebut, hingga membuat Heeseung hampir terperanjat. Untung saja Sunghoon dengan sigap menangkap dan membantu sahabatnya itu untuk berdiri.

Sunghoon mengangkat jari telunjuknya lalu menunjuk Bintang tepat pada mata laki-laki tersebut, “Lo manusia bagsat!” jika saja tatapan bisa membunuh, mungkin saat ini Bintang hanya tinggal nama. Sunghoon yang selalu bersikap jenaka kini terlihat seribu kali berbeda. Tampak lebih buas dan sangar, bagai harimau yang kelaparan.

Kekehan geli terdengar dari pojok ruangan. Disana Adit sedang berdiri dengan santainya sambil bertepuk tangan seorang diri. “Udah, udah dramanya? Sunghoon, mending lo jagain tuh temen lo yang kayanya bentar lagi bakal mati.” kalimat Adit berhasil membuat amarah dalam tubuh Jay semakin memuncak. Satu hal yang harus dunia tahu; bahwa Jay, sang pemimpin Kastara sangat membenci kematian dan kehilangan.

Lagi, tanpa perlu basa basi. Tinjuan keras tangan Jay berhasil mendarat pada rahang kanan Adit hingga membuat darah segar mengalir keluar dari hidung pemuda tersebut. Ringisan kecil penanda kesakitan terlolos dari mulutnya. “Lo curi start? Yakin bakal menang lawan bebal? Empat lawan dua puluh?” seringai angkuh penuh cela tercetak jelas pada wajah Adit.

Jay terdiam sejenak. Berusaha untuk berpikir ditengah keterbatasan akibat emosi dan amarah yang kini sedang mendominasi setiap sel dalam tubuhnya. Perkataan Adit ada benarnya, agaknya mustahil bagi Kastara untuk mampu menang melawan Bebal. Empat melawan dua puluh, jika dilihat dari sudut pandang manapun mereka pasti akan kalah. Ditambah lagi kondisi Heeseung yang sangat tidak memungkinkan untuk ikut bertarung. Maka dari itu;

“Satu lawan dua puluh.” jawab Jay dengan yakin sambil melemaskan otot lehernya. “Gue tau, sasaran utama lo disini cuma gue kan? Jadi bebasin temen-temen gue. We can finish it by one vs twenty

Maka dari itu; Jay memilih untuk mengorbankan dirinya.

“NGENTOD!! NGOMONG APA LO BEGO?” teriak Jake yang tiba-tiba sudah berada disamping Jay lalu menonjok kepala temannya itu dengan cukup keras. “Dua lawan dua puluh.”

“Tiga lawan dua puluh.” kali ini Sunghoon ikut bersuara sambil membopong Heeseung mendekati Jake dan Jay.

Mengangkat alisnya dengan santai, tangan Heeseung merangkul Jay begitu telah berhasil berdiri segaris dengan kawanannya, “Empat lawan dua puluh. Karena pertemanan gue gak setipis kertas HVS.” ujar Heeseung sambil meringis melawan rasa sakit disekujur tubuhnya.

“Woah, woah, woah,” Jackson bertepuk tangan, pabrik kosong yang sedari tadi sunyi kini dipenuhi dengan suara tepuk tangan dari para anggota Bebal. Bagai puas menyaksikan sebuah pertunjukkan, mereka tertawa tanpa henti. “Gue berasa lagi nonton telenovela.”

“Telenovela dari para anak broken home!”

“Telenovela dari anak seorang pelacur!”

“Telenovela dari anak mafia migas!”

Seperti merasa di atas angin, Bebal tanpa henti melontarkan ujaran-ujaran merendahkan yang mereka tunjukkan kepada Kastara. Penyerangan secara verbal, merendahkan latar belakang keluarga para Kastara yang memang hancur adanya. Namun, jika mereka berpikir dengan cara ini bisa memukul Kastara untuk mundur, tentu mereka salah besar. Segala cela yang telah Kastara terima malam itu bagaikan peluru yang mereka simpan dalam pistol, hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk menarik pelatuk.

Jay menatap Adit yang kini berdiri tepat dihadapannya dengan murka, matanya berkilat akibat rasa amarah. Dari seluruh kemungkinan yang ada dan garis takdir di dunia ini, Jay sangat membenci sebuah fakta bahwa Ia harus berada dalam satu kolom Kartu Keluarga yang sama dengan Adit, harus berbagi Ayah, dan harus rela bahwa kebahagiaannya terenggut oleh hadir sosok baru yang mereka sebut dengan; Ibu tiri dan saudara tiri.

Oleh karena itu, atas nama dendam yang meminta untuk dibalas, emosi dalam jiwa, amarah yang terpendam, pertaruhan harga diri, dan kesetiaan kawan, pertempuran para remaja yang menganggap dirinya para ksatria telah pecah di tengah malam.

Pukulan demi pukulan dilesatkan, beradu siapa yang paling kuat dan pantas disebut sang juara. Jay menarik kerah kemeja Adit yang kini tergeletak setengah sadar di bawahnya. Mencekramnya erat hingga membuat pemuda tersebut sulit untuk bernafas, “Lo bilang, lo mau rebut kebahagaian gue? Lo udah lakuin itu, Bangsat! Lo udah rebut keluarga gue! Apa lagi yang lo mau hah?”

Tinju panas kembali mendarat pada wajah Adit. Dengan membabi buta dan tanpa ampun Jay terus menyerang sang saudara. Jika saja para komplotan Bebal tidak segera menyelamatkan Adit dan mem-backup pemuda tersebut, mungkin saja sebuah batu nisan yang terukir dengan nama Aditya Wicaksana akan tertanam di atas lahan kubur esok pagi.

“Akh, bangsat!!” teriak Sunghoon begitu indera pengelihatannya menyaksikan Jay yang dikeroyok abis-abisan oleh Bebal. Satu lawan lima. Dua orang memegang tangan Jay dan tiga orang lainnya memberikan pukulan dan tendangan secara bergantian, tanpa jeda, tanpa henti, Jay bagaikan sambuk tinju bagi komplotan tersebut.

Jika bisa, Sunghoon sangat ingin berlari ke arah Jay untuk membantu sahabatnya itu. Namun, Ia bukan super hero, kemampuan bertarungnyapun masih di bawah Jay, ditambah lagi kini dihadapannya berdiri tiga orang anggota Bebal yang siap untuk membubuhkan luka dipermukaan kulitnya.

Di tengah ruang pabrik tergeletak seorang pemuda dengan kesadarannya yang terus menipis. Heeseung dapat merasakan rasa logam yang berasal dari aliran darahnya. Entah dari luka yang mana. Matanya mengedar ke seluruh ruangan. Menyaksikan teman-temannya satu-persatu tersungkur di atas tanah. Jay, Jake, dan Sunghoon masih mencoba untuk bertahan melawan para musuh. Dengan sisa tenaga yang tak seberapa, mereka masih terus berusaha melayangkan pukulan.

Jatuh tersungkur, lalu bangkit lagi. Jatuh tersungkur, lalu bangkit lagi. Jatuh tersungkur, lalu bangkit lagi. Begitu terus dan bagaikan siklus yang terulang.

“Eh, anjing!” lagi-lagi Heeseung dapat merasakan sebuah tendangan menghantam perutnya. Atensinya yang semula berpusat pada teman-temannya itu kini berganti menjadi milik Adit. Dengan samar Heeseung dapat menangkap jejak luka yang juga memenuhi wajah pemuda tersebut.

“Lo tau ini apa?” tanya Adit sambil menggoyangkan sebuah senapan berukuran sedang dihadapannya. “Kalo kena Jay, Kastara langsung Pemilu ye?” tawa renyah menyapa indera pendengaran Heeseung.

“Cuman pengecut yang perang bawa senjata saat lawannya telanjang tangan.” desis Heeseung dengan tajam sambil berusaha untuk bangun dari tidurnya. Netranya terkunci pada sosok Jay yang kini telah terkapar di atas tanah dan dilingkari oleh para anggota Bebal. Asumsi Heeseung, tenaga Jay telah menguar seluruhnya.

Adit tersenyum miring. Menunduk sedikit, menyesuaikan posisi Heeseung yang sedang terduduk di atas tanah. “Bedain pengecut sama bertarung dengan strategi, tolol!” sepatu kembali menghantam kepala Heeseung. Cukup keras hingga membuat pandangan pemuda tersebut berkunang dan telinganya berdengung sakit.

“Neraka bakal kedatangan salah satu penghuni baru.” ujar Adit mengarahkan senapan ke arah Jay yang berjarak sekitar 300 meter dari mereka. Terlentang dengan mata terpejam tak sadarkan diri.

Entah tenaga darimana, Heeseung mampu untuk berdiri dan menghalangi lubang peluru pada senapan yang sedang berada dalam genggaman Adit. Hingga akhirnya pelatuk tersebut ditarik, dan...

DORR!!

'Heese...' lirih Jake tertahan. Kini diantara mereka bertiga (Jay, Jake, dan Sunghoon) hanya Ia seorang dirilah yang masih sadarkan diri. Meski punggungnya terasa remuk akibat beban berat yang sedang menginjaknya. Bermodal sisa kesadaran diri yang tak seberapa, Jake menyaksikan temannya ambruk di atas tanah.

Peluru menembus tepat pada dada Heeseung. Darah segar bersibaran membentuk genangan merah tanda kekalahan. Jake yang terlahir dan besar dilingkungan keluarga kotor hafal betul jenis senapan apa yang mencelakai sahabatnya itu. AK-74M milik Rusia.

Nafas berat terlepas dari mulut pemuda Shim. Saat ini hanya ada satu hal yang sangat ingin Ia lakukan; menyelamatkan temannya satu persatu. Jake sangat benci hal ini. Benci melihat Kastara terluka. Terbujur akibat rasa sakit. Terpejam akibat rasa perih. Semua ini tak seharusnya terjadi. Bukankah mereka teman? dan teman seharusnya melindungi satu sama lain 'kan?

'BUGH!!'

'BUGH!!'

'BUGH!!'

Pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghantam tubuh lemah Jake saat pemuda itu mencoba untuk bangun menghampiri kawanannya. Bunyi lenguhan tanda kesakitan dan tulang otot manusia yang beradu bagaikan lagu malam itu. Bercak darah di atas tanah bagaikan saksi akan keegoisan anak manusia. Hingga pukul 02.00 dini hari pertarungan telah usai dengan Bebal yang terlahir sebagai sang juara.

'Pertemanan kita gak setipis... kertas HVS kan?' ujar Heeseung mengedarkan indera pengelihatannya ke seluruh penjuru ruangan. Memperhatikan temannya satu-persatu sebelum memutuskan untuk menutup netra coklat itu.

Malam itu, Kastara telah kalah.

“Kulo nuwun?” Suara grasak grusuk yang berasal dari depan kelas membuat Jungwon mengalihkan atensinya yang semula berpusat kepada ponsel yang berada dalam genggamannya.

Satu persatu gerobak yang tampak tidak asing pada ingatan Jungwon masuk kedalam kelas. Diawali dengan gerobak biru milik Mas Gatot yang bermuatan bakso, disusul dengan gerobak berukuran kecil milik Bik Sul dengan tulisan Ayam Geprek dimukanya, diakhiri dengan gerobak es Mas Tulen yang berwarna merah maroon, serta dua gerobak lainnya yang terpaksa harus berhenti didepan kelas karena tidak cukup ruang.

Jungwon berdiri dari duduknya lalu memperhatikan tiga gerobak yang kini terparkir sejajar didepan kelas. Mas Tulen —tukang es langganan Jungwon, datang mengampiri pemuda yang sedang ketara bingung itu. Bukan hanya Jungwon, namun seluruh penghuni 11 IPA 1 yang memilih untuk menghabiskan waktu istirahat didalam kelas juga sama bertanya-tanya.

“Dik Jungwon, mau pesan apa?” Tanya Mas Tulen mengambil kertas dari dalam saku celana.

Sunoo yang ikut berdiri disamping Jungwon menatap temannya itu dan Mas Tulen secara bergantian, “Won ini semua kerjaan lo?”

“Eh, bukan dik Sunu. Ini saya diperintahin si Jay. Katanya dik Jungwon lagi males ke kantin, kan?”

“Jay? Anjir kelakuan pacar lo emang ajaib banget, Ju.”

“Semua grobak didepan udah dibayar sama Jay. Dik Jungwon dan semua anak IPA 1 boleh makan sepuasnya. Gratis.”

Ruang kelas 11 IPA 1 yang awalnya sunyi tersebut berubah menjadi ricuh begitu Mas Tulen mengucapkan kata gratis. Tak perlu munafik, siapa yang tidak menyukai gratisan pada 2021?

Seorang pemuda dipojokan kelas yang sebelumnya tertidur dengan menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangan itu tiba-tiba terbangun lalu meloncat ke depan kelas dengan semangat. Matanya sipit, rambut coklat mudanya berantakan. Niki ketara baru bangun.

“Mas Tulen, sini! Gue mau belanja!”

Pedagang es itu lantas panik, kelabakan begitu menyadari bahwa sudah banyak siswa IPA 1 yang mengantri disekitar gerobaknya.

“Mas gue mau beli es teh sisri gula batu satu, nutrisari jeruk peras satu, sama marimas leci satu tapi marimasnya masukin sini ya, ke tupperware gue.”

“Banyak amat, Ki.”

“Mumpung gratis, mas. Kapan lagi?”

Sunoo yang masih setia berdiri disamping Jungwon itu memperhatikan Niki sambil menggeleng heran. Memang temannya itu paling jago dalam masalah memanfaatkan keadaan. “Heh, malah bengong lo. Sana makan, tuh lima gerobak kesini gara-gara lo.” Ucap Sunoo seraya menyenggol bahu Jungwon.

Tiing

Suara yang berasal dari ponselnya membuat Jungwon menunduk untuk mengecek benda persegi tersebut. Sebuah notifikasi yang terlihat dilayar berhasil menyita perhatian pemuda itu.

Jay❤️: Inget, makan yang banyak. Jay❤️: Minum juga, tapi jangan banyak-banyak minum es. Jay❤️: Aku lagi di Bi Sam. Nanti pulang bareng, tunggu depan gerbang.

“Dik Jungwon, mau bakso?” Jungwon menoleh ke sumber suara, Mas Gatot sedang menatap kearahnya sambil mengelap mangkok.

“Gak pake bawang ya, Mas.”

Tiing

Ponsel Jungwon kembali berbunyi.

Jay❤️: Kelupaan sesuatu, Jay❤️: I love you. Jay❤️: Selamat makan, love.

Senin itu lagi-lagi menjadi penanda sekaligus pengingat bagi Jungwon. Bahwa Jay, kekasihnya, akan selalu bersedia melakukan apapun untuknya. Jay dan seribu satu buah akal uniknya selalu berhasil menambah warna baru pada canvas hidup Jungwon.

“Janji Siswa ...”

Buagh

Suara benda berat yang terjatuh berhasil mengintrupsi jalannya upacara pada pagi itu. Janji siswa belum sempat terucap, namun konsentrasi seluruh peserta upacara sudah terlanjur buyar.

Ratusan pasang mata menatap pada satu titik. Titik dimana seorang pemuda dengan pakaian pramuka berada pada posisi setengah berjongkok, memamerkan deretan gigi putih ratanya.

“He, he, he. Pagi semua? Silahkan dilanjut upacaranya,” Jay berdiri, membersihkan lututnya. Deretan kata sumpah serapah ia suarakan dalam hati. Sial.

Datang terlambat dengan seragam pramuka memang rencananya. Namun terjatuh dari tembok sekolah dan menjadi pusat perhatian seluruh The Land, tentu diluar dari agendanya.

“Anak ini, bener-bener!” Entah datang darimana namun kini Pak Burhan sudah berada tepat dihadapan Jay, menjewer telinga pemuda tersebut hingga menimbulkan kegaduhan.

“Mana kawananmu yang lain? Kenapa pakai pramuka? Kamu gak tau sekarang hari apa? Kamu tau sekarang sudah jam berapa? Kamu kenapa terlambat?”

“Satu-satu atuh Pak, banyak tanya kaya pembantu baru,”

“Jay!”

“Aduh sakit!!” Teriakan Jay semakin memekakan telinga akibat jeweran Pak Burhan yang mengencang, hingga meninggalkan bekas kemerahan pada telinga kanan pemuda tersebut.

Upacara pada hari Senin yang seharusnya berjalan dengan khidmat itu menjadi berantakan akibat keterlambatan sang ketua Kastara.

“Saya kira kamu sudah tobat, sudah kelas dua belas. Tapi masih saja buat onar,”

“Pak, pacar saya mana ya?” Mengabaikan kekesalan Pak Burhan, Jay justru menjinjitkan kakinya, berusaha mencari si manis yang menjadi alasannya untuk tetap menghadiri upacara bendera meskipun telah terlambat.

Para siswa yang mendengar pertanyaan bodoh dari Jay sontak tertawa. Senin itu adalah kali pertama bagi warga The Land untuk menyaksikan kembali kelakuan ajaib dari pimpinan Kastara setelah menjadi siswa yang 'lurus' untuk beberapa saat.

“Jay Park, kemari kamu,” Kepala Sekolah yang menjadi pembina pada hari itu tersenyum seraya menggerakan tangannya untuk memanggil Jay.

Berjalan pelan dengan penuh percaya diri, Jay menghampiri Kepala Sekolah yang sedang berdiri diatas panggung kecil berbentuk persegi. Pada kasus siswa waras tentu saja hal ini bagaikan sebuah mimpi buruk —datang terlambat, melanggar peraturan, dipanggil untuk menghadap kepala sekolah.

Namun tidak bagi Jay, pemuda tersebut justru terlihat tenang dan santai.

Para peserta upacara menggeleng pelan penuh heran, termasuk juga Jungwon. Laki-laki manis yang sedang berada pada barisan pengibar bendera itu menghembuskan nafasnya pasrah seraya berdoa dalam hati agar kekasihnya tidak melakukan hal yang jauh lebih memalukan.

Jay berhenti tepat dihadapan Kepala Sekolah, membungkukkan badannya seraya mengamit tangan pimpinan sekolah. Memberi salam hormat, “Selamat pagi, Pak. Bapak ganteng banget pagi ini, gagah.” Jay menunjukkan kedua jempolnya seraya tersenyum lebar.

“Pagi, silahkan naik lalu berdiri disamping saya.” Pak Kepsek berdeham lalu menggeser tubuhnya, berbagi tempat dengan si siswa nakal.

Kini Jay berhadapan dengan seluruh peserta upacara. Pemuda itu menyadari bahwa warna segaram yang saat ini ia kenakan sangatlah kontras dengan siswa lain, namun sekali lagi ia tidak perduli. Netra hitam itu menyapu seluruh sudut halaman sekolah, mencari keberadaan sang tercinta. Tidak butuh waktu lama karena didetik selanjutnya mata mereka telah saling memandang.

“Pagi, sayang?” Sapa Jay polos, menggoyangkan tangan kanannya. Ah tidak lupa dengan seulas senyum bodoh yang melekat pada wajah pemuda tersebut.

Jangan tanya bagaimana keadaan Jungwon sekarang. Wajahnya memerah, semerah tomat matang yang sudah siap untuk dipetik. Jungwon sangat menahan dirinya untuk tidak menarik Jay turun dari panggung lalu mengurungnya didalam gudang sekolah untuk selamanya.

“Sapa siapa kamu?” Pak Kepsek mengikuti arah pandangan mata Jay dengan penuh kebingungan.

“Jungwon? Yang Jungwon pacar kamu?”

“Bukan pacar lagi Pak,”

“Lalu?”

Jay menoleh ke arah Kepala Sekolah dengan penuh keseriusan, “Calon suami saya,”

Woooooo

Hahahahaa

Prok prok prok

Kegaduhan kembali terdengar begitu kalimat sederhana 'Calon suami saya' keluar dari mulut Jay. Mungkin hobi dari pimpinan Kastara tersebut adalah; Memamerkan kekasihnya kepada seluruh dunia dan mempermalukan Jungwon dihadapan banyak orang.

“Sudah-sudah, yang lain harap tenang.” Pak Kepsek berbicara pada mic yang berada dihadapannya lalu merangkul pundak Jay agar lebih mendekat padanya. “Sini kamu,”

“Kamu sekarang sudah kelas berapa Jay?”

“Dua belas pak, Dua belas IPS 3.”

“Cita-cita kamu apa? Sudah ada planning untuk kuliah dimana?”

Jay menggaruk kepalanya yang tidak gatal, jujur saja diberi pertanyaan seperti itu dihadapan orang banyak cukup membuatnya berpikir keras. Enggan mempermalukan diri lebih jauh.

“Cita cita ya? Entah tapi untuk sekarang saya lagi fokus bangun bisnis bareng temen-temen. Oh iya Pak, mampir ke cafe saya! Kastara Cafe, deket dari sini kok. Nanti khusus Bapak saya kasi diskon 50%,” Seperti teringat sesuatu, Jay kembali mengalihkan perhatiannya kearah seluruh peserta upacara yang masih setia pada tempatnya masing-masing.

“Buat temen-temen The Land sekalian juga boleh mampir ke cafe gue dan kawan-kawan gue. Tempatnya deket, 10 menit juga nyampe kalo pake motor. Gue jamin lo semua bakal seneng nokrong disana. Murah, makanannya mantep-mantep. Ada live music juga tiap malem minggu,” Sambung pemuda tersebut dengan semangat.

Shameless promotion

“Hebat, nanti hari minggu saya ajak keluarga saya untuk makan di cafe kamu” Kepala sekolah menepuk pundak Jay dengan cukup tegas seraya tertawa kecil, “Lalu planning kamu selanjutnya apa?”

“Nikah sama Jungwon.”

Lagi-lagi seluruh peserta upacara tertawa, kecuali pria mungil yang berdiri pinggir lapangan menatap kearah Jay dengan tajam. Namun tetap terlihat menggemaskan bagi Jay.

Kepala sekolah hanya menggeleng, bingung harus merespon seperti apa. “Nanti bersihkan seluruh toilet disekolah ini, termasuk toilet guru. Sekarang kembali kebarisan dan jangan buat kegaduhan lagi.”

Jay mengangguk lalu menegakkan tubuhnya dan meletakkan tangannya disebelah pelipis kanan. Memberi simbol hormat. “Siap pak!”

Nafas lega terlolos dari rongga hidung Jungwon. Netra coklat itu memperhatikan gerakan sang kekasih yang turun dari panggung dengan cara melompat lalu melemparkan flying kiss kepada dirinya sebelum benar-benar masuk dan tenggelam pada barisan kelas dua belas. Membuat Jungwon ingin melemparkan baki bendera yang sedang berada dalam jangkauannya.

Benar kata Heeseung, bahwa pagi ini Jay akan menjadi bintang.

“Tujuan kamu kesini mau ngapain?”

Suara Yang Hyunbin terdengar dalam dan tegas, memecah keheningan pada ruang keluarga yang berukuran cukup luas itu.

Jungwon yang duduk diantara kedua orang tuanya memperhatikan Jay dan teman-temannya secara bergantian. Kerutan halus nampak pada dahi Jungwon begitu menyadari keganjilan pada para kakak kelasnya itu yang tumben sekali berpakaian rapi.

Kastara duduk dengan tenang, cengiran ala bocah tengik tidak pernah lepas dari wajah para pemuda tersebut.

Jay berdeham lalu menegakkan punggungnya, seolah memberi isyarat bahwa saat ini Ia sedang serius. “Mau lamar anak Om dan Tante.” Jawab Jay pasti dengan sekali tarikan nafas yang berhasil membuat Yang Hyunbin hampir memutahkan secangkir kopi hangat yang sedang Ia minum.

Raut terkejut juga tidak dapat disembunyikan dari wajah Nyonya Yang dan Jungwon, bibir mungil pemuda itu membulat sempurna, membuat Jay ingin mengecupnya pada detik itu juga.

“Woahhh!!! Woah, wooo!!”

Berbeda dengan respon keluarga Yang, Kastara justru menciptakan suara bising dari mulut dan tepuk tangan mereka, seperti supporter bola yang tim favoritenya baru saja menciptakan gol digawang lawan.

“Woah, my brother so gentle yeah!” Sunghoon yang duduk tepat disebelah kanan Jay menepuk bahu sahabatnya dengan penuh rasa bangga.

“Apa?! Bercanda ya kamu?”

Wajah Yang Hyunbin memerah, darahnya memanas akibat emosi yang tiba-tiba mendominasi hatinya. Pria itu meletakkan cangkirnya di atas meja dengan kasar hingga berhasil meredam keributan yang diciptakan oleh Kastara.

Menyadari kondisinya yang mulai terancam, Jay segera membenarkan blazer-nya, lalu menatap Yang Hyunbin tepat dimata pria tersebut, membuktikan bahwa dibalik jenakanya Ia sedang bersungguh-sungguh. “Serius, Om. Saya serius sama Jungwon.” Jawab Jay merubah mimik wajahnya.

Tangan Hyubin naik untuk memijat pelipisnya, kehadiran Jay dan kawanannya yang secara tiba-tiba muncul dihadapannya kali ini dengan kalimat ngaco namun anehnya terdengar cukup serius berhasil membuat kepalanya berkedut pusing.

Sesungguhnya Hyubin telah mengetahui segalanya, Jungwon telah meluruskan seluruh kesalah pahaman yang terjadi. Termasuk bahwa puteranyalah yang memulai ciuman itu terlebih dahulu. Juga tentang bagaimana Jay melindungi anak semata wayangnya itu dengan penuh cinta dan perihal latar belakang keluarga pemuda bermarga Park tersebut.

“Saya perlu bukti,” Jawab Hyubin pada akhirnya.

“Om mau bukti yang kaya gimana?”

“Kamu punya apa berani lamar anak saya?”

Jay total diam, matanya menatap Yang Hyunbin dan Jungwon secara bergantian. Nalarnya memikirkan pertanyaan Hyunbin. Hampir satu tahun bersama namun selama ini ia belum pernah memberikan sesuatu yang berarti lebih pada Jungwon, selain hati dan kasih sayang. Kehadirannya saat ini disini pun hanyalah bermodalkan nekat.

“Pantaskan dirimu sendiri dulu, lalu balik kehadapan saya,” Yang Hyunbin kembali meraih secangkir kopi yang kini sudah mulai mendingin itu. “Buktikan kepada saya bahwa anak begajulan seperti kamu, bisa sukses dan pantas untuk mendapatkan anak saya.”

Jay menganggukan kepalanya dengan pasti, ia dapat merasakan gemuruh tekad pada hatinya. Apapun, ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari Yang Hyunbin. Ia akan melakukan segala cara agar ia terlihat pantas untuk bersanding dengan Jungwon. “Baik, pasti nanti saya akan kembali lagi kesini.”

Sebuah anggukan singkat dari Hyunbin diterima oleh Jay, sebagai balasan atas keseriusannya. “Ma, tolong ini anak-anak dibuatin teh.”

Nyonya Yang langsung bangun dari duduknya begitu mendengar perintah dari sang suami. Sedangkan hembusan nafas lega keluar dari mulut Sunghoon, Heeseung, dan Jake. Akhirnya setelah beberapa jam penuh ketegangan mereka dapat merasakan atmosfer ruangan yang mulai menghangat.

“Jay, tujuan kamu ngajak curut-curut ini apa? Cengar cengir kaya bocah tengik.”

Jay terkekeh kecil lalu menatap teman-temannya satu persatu, “Setau saya kalau orang lamaran harus bawa orang tua, keluarga atau wali ‘kan? Saya udah gak punya orang tua juga keluarga. Saya cuma punya mereka, jadi saya bawa mereka sebagai saksi.”

Jungwon menarik nafasnya dengan keras. Saat ini ia sedang menjalani kewajibannya sebagai ketua osis; mengawasi razia rutin harian. Matanya tertuju pada satu arah, menatapnya tanpa kedip dengan emosi yang perlahan-lahan mulai naik menguasai ubun-ubunya. Disana, Adit sedang berdiri dibarisan terdepan, membalas tatapannya tanpa getar dengan senyum miring yang terlukis diwajahnnya yang penuh dengan luka.

“Won, Lo balik aja ke kelas, gue bisa kok nge-handle razia rutin hari ini.” Sunoo yang menyadari perubahan aura pada temannya itu mendekat lalu mengelus pundak Jungwon. Gosip tentang keluarga Jay, termasuk hubungan saudara tiri-yang tidak akur-diantara Jay dan Adit telah menyebar keseluruh penjuru sekolah. Maka mudah saja bagi Sunoo untuk membaca situasi yang cukup menegangkan antara Jungwon dan Adit.

Jungwon mengabaikan kalimat Sunoo, pemuda tersebut membenarkan letak dasinya lalu melangkahkan kakinya, menghampiri barisan Bebal. Hari itu Kastara absen dari razia rutin. Jay berangkat pukul 06.50, sesuai dengan intruksi Jungwon; Jemputnya jangan sampe telat!. Sedangkan Kastara yang lain berangkat 10 menit kemudian setelah Jay mengeluarkan motornya dari garasi rumah Heeseung, tepat pada pukul tujuh pagi.

“Hai manis, mana pacar lo yang anak pelacur itu?” Sapa Jackson begitu Jungwon berdiri tepat dihadapannya. Kalimat kotor yang terlontar dari mulut Jackson disambut dengan tawa renyah dari anggota Bebal, sedangkan para siswa lainnya yang juga terjaring dalam razia rutin memilih untuk diam dan hanya menjadi penonton. Enggan terlibat masalah.

PLAK!

Suara tamparan yang terdengar nyaring meredam suara tawa anggota Bebal. Ketua mereka baru saja mendapatkan sebuah tamparan yang tak terduga. Jackson meraba pipinya yang memerah, terasa panas dan perih. “Ha, udah berani ya lo?” Satu langkah kaki Jackson mendekati Jungwon, mencoba untuk mengintimidasi pemuda kecil itu.

“Jack, udah Jack. Masa lo tega nyakitin cowok manis kaya dia?” Adit menarik tangan Jackson, menahan sang ketua yang sangat mudah tersulut emosinya itu. “Gimana pun juga, dia pacar saudara tiri gue. Calon ipar gue.”

Kini perhatian Jungwon teralihkan, menjadi milik Adit seutuhnya. Melihat ekspresi wajah Adit yang tanpa penyesalan membuat Jungwon ingin mematahkan leher laki-laki tersebut dengan jurus taekwondonya saat itu juga. Sial, bagaimana bisa ia terlihat begitu santai dan tidak merasa bersalah disaat kekasihnya bertahun-tahun memendam luka sendiri? Pikir Jungwon saat itu.

“Jungwon, lo cakep, pinter, anak orang kaya, masa depan lo cerah. Kenapa lo masih mau sama anak haram modelan kaya Jay? I mean, you deserve someone be-

BUGH!

Kaki Jungwon terangkat, menendang perut Adit dengan keras hingga membuat laki-laki tersebut hampir jatuh terhuyung kebelakang. Beruntung beberapa temannya dengan sigap menahan tubuh jakung tersebut hingga tidak jatuh mengenai tanah.

“Sakit?” Tanya Jungwon mendekat. Sungguh pemuda manis itu tampak sangat berbeda saat ini. Bagai kucing yang berubah wujud menjadi harimau jantan. “Tapi itu gak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang udah lo perbuat ke Jay. It was nothing. May karma slap you and your family in the face before I do.

Adit hanya terdiam, menahan sakit pada perutnya. Serangan yang diberikan oleh Jungwon terlalu tiba-tiba. Bodohnya ia lupa bahwa laki-laki yang tampak mungil itu menguasai ilmu taekwondo dan sempat menyumbang emas untuk sekolah.

“Ju, udah.” Sunoo berlari dari tempatnya yang tidak terlalu jauh dari Jungwon, lalu menarik tubuh temannya itu agar segera pergi dari lapangan tengah sebelum menciptakan keributan yang lebih besar.

Sunoo dapat merasakan bahu yang sedang ia rangkul tersebut bergetar, lalu mulai terdengar isakan-isakan kecil dari Jungwon. Ia sedang menangis. “Won, udah gapapa.” Usap Sunoo pada bahu Jungwon, mencoba menenangkan temannya itu. Beruntung koridor sekolah sedang sepi maka tidak banyak orang yang melihat air mata dari sang Ketua Osis tersebut.

“Jay … kasian Kak Jay,” Suara Jungwon mengecil. Cerita Jay kemarin malam kembali memenuhi pikirannya. Jungwon sungguh tidak menyangka bahwa kekasihnya yang selama ini selalu bersikap manis ternyata menyimpan luka yang begitu dalam. Dan bodohnya terkadang Jungwon masih bersikap egois. Mendengar orang-orang merendahkan Jay dan Bundanya tanpa mengetahui alasan yang sebenarnya membuat Jungwon merasakan emosi dan sakit pada saat bersamaan.

“Tapi bundaku gak seperti apa yang orang-orang pikirin.”

Saat ini Jungwon hanya ingin menghambur dalam pelukan Jay lalu berbisik tepat pada telinga kekasihnya tersebut; bahwa didunia yang kejamnya ini, mereka akan selalu berjalan berdampingan. Terekat bagai sepasang sepatu yang akan kehilangan arti jika salah satunya pergi.

RECOVERY KISS

“Jay!”

Suara teriakan yang memekakan telinga membuat kesadaran Jay yang telah menguap kini kembali. Kondisi laki-laki tersebut sungguh menyedihkan. Tergeletak diatas tanah dengan noda darah yang mewarnai seragam, juga luka memar yang menghiasi seluruh wajahnya. Jay berusaha membuka matanya dengan berat untuk mencari tahu keberadaan sang pemilik suara nyaring yang sudah tidak asing lagi bagi indera pendengarannya itu.

“Kamu disini?”

Suara itu milik Jungwon. Raut khawatir terlukis jelas diwajah pemuda manis dengan lesung pipi itu. Dengan perlahan Jungwon membantu Jay untuk bangun dari tidurnya. Jika dilihat secara sekilas, ukuran tubuh Jay memang lebih besar daripada milik Jungwon, namun hal itu tidak membuat Jungwon kesulitan untuk membopong tubuh Jay hingga membuat pemuda tersebut duduk diatas tumpukan batako sisa pembangunan gedung sekolah.

Jay mengernyit saat merasakan perih dan rasa asin darah yang berasal dari luka sobek pada bibirnya. “Argh,”

Jungwon menyeka keringat yang membasahi dahi dengan telapak tangannya. Laki-laki tersebut masih berusaha untuk menormalkan detak jantungnya. Berlari menghampiri setiap sudut sekolah untuk mencari Jay cukup membuat energinya terkuras. Sebenarnya pagi ini Jay berjanji untuk menjemputnya, kata Jay ingin datang lebih awal agar bisa menghabiskan waktu bersama diperpustakaan sekolah sebelum bel masuk kelas berbunyi. Sejenis Library Date. Namun hingga jam yang melingkar dipergelangan tangannya menunjukkan pukul delapan Jay tak kunjung tiba. Ditambah lagi dengan keributan berita miring mengenai orang tua Jay diTimeline Twitter membuat Jungwon semakin tidak tenang.

“Are you crying?” Tanya Jungwon mendekati Jay lalu berdiri tepat dihadapan pemuda tersebut, mengusap mata Jay yang memerah.

“I'm sorry, aku berantem lagi. Aku langgar janji aku lagi. Maaf.” Suara Jay terdengar lemah dan bergetar. Pemuda tersebut menundukan kepalanya, enggan untuk menatap manik mata yang selalu menjadi favoritnya. Hampir satu tahun bersama, ini adalah kali pertama bagi Jungwon melihat air mata milik Jay. Melihat sisi lain dari sang ketua Kastara yang selalu tampak gagah.

“Kamu kalau mau marahin aku atau bahkan minta putus, nanti ya? Sekarang aku lagi cape banget, maaf.”

“Jay, lihat sini,” Pinta Jungwon lembut, namun Jay masih tetap pada posisinya. Menunduk dan lebih memilih untuk memperhatikan sepatunya yang telah kotor berselimut debu daripada menatap wajah yang selalu ia puji dengan kata cantik itu.

“Jay,” Tangan Jungwon menggamit dagu Jay, membuat mata kedua pasangan tersebut saling berhadapan. Jungwon ikut merasakan sesak dalam hatinya saat menatap mata yang selalu bersinar dan menyipit saat kekasihnya tersenyum itu kini terlihat berbeda. Binar mata tersebut hilang, tergantikan dengan sorot penuh luka dan lelah.

“Maaf, maaf aku kecewain kamu lagi. Kamu boleh tinggalin aku se-”

Kalimat Jay terhenti begitu merasakan benda kenyal yang menempel pada bibirnya secara tiba-tiba. Kedua bilah bibir yang semula hanya menempel kini perlahan mulai menghisap satu sama lain. Hanya hisapan lembut tanpa tuntutan pula nafsu.

Tangan kanan Jay merengkuh pinggang milik Jungwon, membawa lelaki mungil tersebut duduk dipangkuannya. Keduanya memejamkan mata, menikmati sentuhan yang memabukkan itu. Rasa manis strawberi dari lip balm Jungwon bercampur dengan rasa asin darah yang berasal dari luka sobek bibir Jay, membuat keduanya semakin terlena.

Tangan Jay yang semula melingkar pada pinggang Jungwon kini telah berpindah, mengusap lembut tengkuk leher kekasihnya. Membuat lengguhan tertahan milik Jungwon mengalun indah. Menyapa indera pendengaran Jay, memicu pemuda tersebut untuk memperdalam ciumannya, lebih agresif dan menuntut. Jungwon yang belum memiliki pengalaman dalam hal berciuman merasa sedikit kewalahan dalam mengimbangi kemampuan Jay.

Satu tangan Jay menarik pinggang Jungwon, mempersempit jarak diantara mereka. Rasa perih dibibirnya dan sesak didadanya seolah menguap begitu saja. Digantikan dengan perasaan yang menggelitik perutnya geli. Memang Jungwon adalah obat penawar sakit terbaiknya.

Dengan sengaja Jay menggigit bibir bawah Jungwon, membuat yang lebih muda membuka mulutnya. Memberi celah Jay untuk memasukkan lidahnya, mengabsen barisan gigi milik Jungwon dan bermain didalam sana dengan apik. Menggoda lidah milik kekasihnya lalu menghisapnya pelan. Sungguh memabukkan.

Saat ini hati dan pikiran milik Jay sedang berjalan menuju arah yang berbeda. Otaknya berkata untuk berhenti, sedangkan hatinya seperti berteriak nikmati. Ia tahu ini salah, namun ia tidak bisa berhenti. Lebih tepatnya, tidak ingin untuk berhenti. Bibir manis milik Jungwon sungguh memabukkannya, membuatnya ingin lagi dan lagi. Janjinya untuk menjaga Jungwon dan tidak akan mencium kekasihnya sebelum berusia dua puluh tahun telah ia patahkan dihari itu, bertepat di halaman belakang sekolah. Sudut usang milik The Land.

Jungwon menarik dirinya. Mencoba untuk mengambil nafas. Jarak diantara keduanya sangatlah dekat, bahkan mereka dapat merasakan deru nafas satu sama lain. Jay mengusap bibir merah milik Jungwon yang terbuka kecil, bibir mungil tersebut terlihat sedikit membengkak akibat aktivitas mereka. “As sweet as candy, i love it.”. Bisik Jay yang anehnya terdengar sangat sensual ditelinga Jungwon. Membuat pipi pemuda tersebut memerah.

“Pagi ini kamu dapat merokok?” Tanya Jungwon, mengalungkan tangannya pada leher Jay.

“Hum ya, 1 batang. Kenapa?”

“I can taste ciggarate and blood from your lips.”

“You like it?”

“Sure, but i prefer ciggarate without blood taste.”

“Lets do it again, We can get rif of the blood taste with your lips.”

Jay kembali menarik tengkuk Jungwon. Menautkan bibir keduanya dan menghisap bibir bawah dan bibir atas Jungwon secara bergantian. Ciuman kali ini lebih menuntut namun masih terasa lembut. Karena Jay tidak akan pernah memperlakukan Jungwon dengan kasar.

Jungwon pintar, dan selalu cepat dalam belajar suatu hal. Termasuk dalam berciuman. Kali ini Jungwon mencoba menggoda Jay dengan menjilat bagian permukaan bibir kekasihnya tersebut dengan cukup seduktif. Membuat Jay tersenyum miring dalam ciuman mereka. Tidak puas disana, Jungwon juga menggigit-gigit kecil bibir bawah Jay lalu menelusupkan lidahnya kedalam mulut Jay. Percis seperti apa yang dilakukan oleh sang kekasih terdahulu.

Ciuman kali ini didominasi oleh Jungwon. Jay sengaja membiarkan pacar kecilnya itu memimpin permainan, meski beberapa kali lidahnya tidak sengaja tergigit oleh gigi Jungwon. Bibir Jungwon yang belum terlalu handal membuat Jay beberapa kali tersenyum, namun tetap menikmati ciuman pertama mereka itu.

Rasa sakit dan bebannya seakan terangkat begitu merasakan bibir Jungwon yang bermain diatas bibirnya. Laki-laki yang kini berada dalam peluknya memang tidak pernah gagal untuk mengobati laranya. Meskipun kini Jay telah mematahkan janji dan kepercayaan orang tua Jungwon yang telah ia jaga dengan susah payah.

__________________________________________________________________

“Kalo aku yang mau cium?” “Aku tolak walaupun mau.” “Kenapa?” “I man my words.” “Aku udah janji sama papa kamu dan diri sendiri buat jaga kamu. Walaupun setengah hati demi tuhan pengen cium.”

(Rekat, part 06)

But today, he breaks his promise.

Jungwon melangkahakan kakinya dengan pelan setelah memarkirkan Mercedes-Benznya dihalaman rumah Jay.

Sebelumnya pemuda tersebut telah bertemu dengan satpam yang bertugas untuk menjaga rumah Jay, seperti biasa Pak Adi akan langsung mempersilahkan Jungwon untuk masuk begitu saja, mengingat kondisi rumah yang sedang kosong dan hanya ditempati oleh kekasihnya itu.

Sebenarnya jauh didalam hati Jungwon merasa bingung tentang keadaan keluarga Jay. Karena selama 10 bulan bersama, Jungwon hanya mengetahui sebatas hubungan Jay dan keluarganya yang tidak akur. Dan selama beberapa kali mengunjungi rumah Jay pun, Jungwon belum pernah bertemu dengan kedua orang tua Jay. Rumah selalu dalam keadaan kosong.

Beberapa kali Jungwon ingin bertanya, namun ia selalu mengurungi niatnya tersebut dan memilih menunggu hingga Jay siap untuk menceritakannya sendiri.

‘Knock.. knock..’

Jungwon mengetuk pintu kamar Jay beberapa kali, tanpa menunggu sahutan dari penghuni didalamnya tangan kanan pemuda manis tersebut memutar kenop pintu hingga menampilkan tubuh seorang pemuda yang setengah telanjang.

“JAY!! HIYA!! PAKE BAJUNYA!!!!”

Teriak Jungwon menggema diruangan berukuran sedang dengan dominasi hitam dan putih itu. Jay yang sedang terduduk diatas kasurnya tertawa kecil melihat pria kesayangannya yang berdiri membeku didepan pintu kamar dengan dua tangan yang menutupi wajahnya.

“Kalau pake baju, gimana cara kamu ngobatinnya coba?” Dengan bersusah payah Jay bangun dari duduknya lalu menghampiri Jungwon yang masih membeku didepan pintu.

“Sayang,” Ucap Jay lembut sambil melingkarkan tangannya dipinggang Jungwon, mengabaikan sang kekasih yang masih saja menutup wajahya. “Kangen banget, mau liat wajah kamu.”

“Malu!”

“Kenapa malu? Kapan lagi kamu liat aku shirtless gini, yang?” Jay tertawa kecil sambil mengeratkan pelukannya pada pinggang Jungwon, meskipun ia merasa sakit yang teramat pada bahunya.

“Mesum! Aku bilang papa!”

“Ga mesum sayang, aduh sakit. Ini aku jadi diobatin apa engga?”

Mendengar pertanyaan Jay dengan nada yang sedikit merintih membuat Jungwon perlahan menurunkan tangannya. Jay yang tersenyum lembut dengan beberapa luka yang menempel diwajah tampannya adalah pemandangan pertama yang ditangkap indera pengelihatan Jungwon.

Cup

Satu ciuman mendarat dipipi Jungwon. “I miss you, sweety.” Jay memamerkan deretan gigi rapinya, menatap Jungwon dengan lembut. Rasanya ia tidak ingin melepaskan lingkaran tangannya pada pinggang Jungwon untuk selama-lamanya. Terlalu takut untuk kehilangan Jungwon, lagi.

“Yang shirtless aku, kenapa yang malu kamu, hm?” Satu tangan Jay terangkat lalu mengelus pipi Jungwon yang tampak semerah tomat dengan lembut. Jika Jay ditanya tentang apa kelemahannya, maka pemuda tersebut akan menjawab pipi merah milik Jungwon tanpa ragu.

“Ya … habisnya, kamu … em. Udahlah, sana kamu duduk!” Jungwon mendorong dada Jay dengan pelan, berusaha untuk terbebas dari pelukan kekasihnya. Walaupun hasilnya nihil, karena justru Jay semakin mempererat lingkaran tangannya.

“Habisnya apa, hm? Lanjutin dong.”

“Ih! Kamu mau diobatin apa gak sih? Kalau engga, aku pulang sekarang juga.”

“Hahaha, iya-iya. Kok ngambek sayang? Sini.” Jay melepaskan pelukannya pada pinggang Jungwon dan menarik tangan pemuda manis tersebut, lalu mengambil peralatan dan beberapa obat yang semula ia letakkan diatas nakas.

“Mau aku pangku?” Tanya Jay begitu duduk diatas ranjang dengan Jungwon yang berdiri diantara kakinya.

“Jangan bercanda, kamu jalan aja susah. Apalagi mau pangku aku?”

“Gapapa, sebentar aja. Aku kangen.”

Tanpa sempat menjawab pertanyaan Jay, kini Jungwon telah terduduk diatas pangkuan pemuda tersebut. Dengan tangan Jay yang memeluknya secara posesif. “Aku sambil ganti perban kamu ya?” Tanya Jungwon memperhatikan perban yang menempel pada bahu Jay.

Merasa tidak mendapatkan jawaban, Jungwon mengangkat kepalanya lalu mendapati Jay yang sedang menatapnya tanpa kedip. “Kamu kenapa liatin aku kaya gitu si?”

“Kamu kenapa cantik banget?”

“Jay please.”

“Kita gak putus kan? I don’t want to lose you.

“Engga yaampun, kamu kenapa jadi clingy gini deh?”

Dengan cekatan Jungwon mengganti perban pada bahu Jay lalu mengobati luka-luka yang menempel diwajah kekasihnya. Pada saat mengoleskan salep pada pelipis kanan Jay, Jungwon sengaja memberi sedikit tekanan hingga membuat yang lebih tua meringis kesakitan.

“Aduh, sakit sayang.”

“Nah, sakit kan? Masih mau berantem lagi kamu?” Tanya Jungwon sambil menutup salep milik Jay dengan santai.

“Kalau ada yang gangguin kamu sama Kastara.” Jawab Jay dengan mantap.

“Tuhkan, kamu tuh—” Belum selesai Jungwon menyuarakan kekesalannya, Jay kembali mendaratkan sebuah kecupan singkat didahi pemuda tersebut. Membuat yang lebih muda terdiam karena terkejut dengan perlakuan Jay yang terlalu tiba-tiba.

“Aku sayang kamu, gak mau kehilangan kamu. Jadi aku bakal lakuin apapun buat jaga kamu, aku ga peduli bahkan kalo harus bahayain nyawaku sendiri. Asal kamu selamat dan baik-baik aja. Jadi tolong ya, jangan larang aku untuk ini?”

Jay mengelus kepala Jungwon yang terduduk dipangkuannya, menatap kesayangannya dengan lembut. Kalimat yang baru saja keluar dari mulut Jay bukan sekadar omongan kosong belaka, namun memang begitu adanya. Ia sungguh mencintai Jungwon dan akan melakukan apapun demi laki-laki manis yang sedang terduduk dipangkuannya itu.

“Udah selesaikan obatinnya? Mau tiduran dulu? Kaki aku sakit.” Ucap Jay dengan lembut masih dengan mengelus kepala Jungwon.

“Huum,” Mengangguk pelan, Jungwon berdiri dari duduknya dan membiarkan Jay merebahkan tubuhnya diatas ranjang dahulu. “Kenapa diem? Sini” Perintah Jay yang lebih terdengar seperti permintaan saat melihat Jungwon yang lagi-lagi hanya mematung.

“Aku gak akan macem-macem, sayang.”

Jay menarik tangan Jungwon pelan, mengisyaratkan agar ia segera berbaring disebelahnya. Dan didetik selanjutnya saat sudah berbarinbg, Jungwon dapat merasakan tangan besar Jay telah melingkar dipinggangnya, memeluknya dengan hangat sama seperti biasanya.

“I miss you so much, pretty.” Bisik Jay pada telinga Jungwon, membuat semburat merah tanda malu kembali hadir dipipi Jungwon. Tertawa kecil, Jay mencubit pipi Jungwon dengan gemas. “Udah pacaran lama masih aja malu-malu.”

“Ish diem!”

“Hari ini nginep disini mau? Pengen peluk kamu semalaman.”

“Belum izin papa.”

“Nanti aku yang izinin, udah malem juga. Bahaya.”

Mengangguk kecil, Jungwon meng-iyakan ucapan Jay. Pemuda itupun juga merasakan kantuk yang mulai menyerang matanya. “Yaudah, cepet.”

“Apanya?” Tanya Jay bingung.

“Peluknya.”

“Ini kan sambil peluk, sayang?”

Jungwon memanyunkan bibirnya, merasa kurang puas dengan jawaban Jay. “Kurang erat!”

“Hahaha, astaga,” Jay menggeser tubuhnya, mempersempit ruang diantara mereka lalu memeluk Jungwon lebih erat, sesuai pinta kekasihnya itu.”Udah? * like it hm?*”

“Huum, hangat.” Jungwon menyenderkan kepalanya pada dada bidang Jay sambil jari telunjuknya bergerak membentuk pola lingkaran pada kulit polos milik kekasihnya itu.

“Aku bisa peluk kamu tiap malam.”

“Oh ya? Gimana coba caranya?”

“Pertama tama, kamu harus nikah sama aku dulu.”

Jungwon tertawa pelan lalu memutar matanya, “Nikah terus, lulus SMA aja belum!”

“Habis lulus SMA mau langsung nikah?”

“Sayang!”

Jay membubuhkan kecupan singkat pada pucuk kepala Jungwon, “Bercanda, tapi kalo mau beneran, gas.” Didetik selanjutnya suara ringisan Jay terdengar memenuhi ruangan. “Makanya kalau ngomong jangan ngelantur, sakitkan aku cubit?”

“Ikhlas mah aku dicubit kamu.” Jay mengelus pipi Jungwon dengan lembut, sungguh pipi milik Jungwon adalah favoritenya. “Udah jam 11, mau tidur?”

“Huum, sambil puk puk.”

Tanpa menjawab lagi, tangan kanan Jay lantas berpindah posisi dari pinggang Jungwon menjadi berada diatas kepala Jungwon, mengelus dan memberi tepukan pelan yang nyaman. “Good night and sleep tight, baby. I love you so much”

Kaki Jay tidak henti bergerak kesana kemari dengan perasaan cemas mendominasi hatinya. Saat ini pria tersebut sedang berada di belakang parkiran, sesuai dengan informasi terakhir dari teman-temannya yang ia terima.

“Shit.” Lagi lagi umpatan halus lolos dari bibir Jay saat suara operator mengalun, tanda telpon tidak terjawab untuk kesekian kalinya. Gusar, Jay menyisir rambutnya kebelakang dengan sembarang. Terhitung ia sudah menelfon Sunghoon dan Heeseung sebanyak puluhan kali, namun tetap saja tidak ada jawaban. Tidak menyerah, jemari panjangnya kembali menari diatas layar ponsel, mencoba untuk mendial salah satu nomor lagi demi sebuah informasi.

Hingga pada dering ketiga sebuah suara menyambutnya.

”Jake, anjing. Lo dimana bangsat?”

“Selamat malam, dengan kepolisian disini. Apakah saudara yang menelfon ini merupakan kerabat dari Sim Jaeyun?”.

Mata Jay membulat, bibirnya menganga begitu mendengar jawaban dari seberang sana. “Ke—kepolisian?” Tanya Jay mencoba memastikan kembali dengan jantung yang berdegup kencang.

“Benar. Saat ini saudara Sim Jaeyun berada di rumah sakit akibat—”.

“Rumah sakit mana?”

“Akibat berkelahi deng—”.

“Jawab gue bangsat, rumah sakit mana?”

“Rumah Sakit Graha Medika.”.

Jay memutus sambungan telpon dengan sepihak, tidak peduli dengan siapa lawan bicaranya, bahkan dengan polisi sekalipun.

Motor ninja hitam milik Jay melaju cepat bagai kilat, membelah lalu lintas Jogja yang tampak lengah pada pukul satu pagi.

Perasaanya runyam, tidak dapat dijelaskan. Cemas dengan keadaan teman-temannya dan merasa bersalah karena tidak ada disaat teman temannya membutuhkannya.

Bangunan tinggi besar menyambut indera pengelihatan Jay saat motornya telah memasuki area rumah sakit. Jay memarkirkan motornya dengan sembarang dan segera masuk kedalam gedung. Langkah kakinya yang panjang membawa Jay menyusuri Lorong rumah sakit hingga berakhir didepan sebuah ruangan bertuliskan UGD, sesuai dengan informasi yang ia peroleh dari meja receptionist.

“Sim Jae Yun?” Tanya Jay tanpa ba-bi-bu kepada seorang pria dengan pakaian seragam polisi yang berjaga tepat di depan pintu UGD. Polisi dapat melihat jelas raut wajah panik yang terlihat dengan gamblang pada air muka Jay.

“Sim Jae Yun belum sadarkan diri, tusukan benda tajam pada perutnya membuat ia kehilangan banyak darah.”

Jay mengusap wajahnya dengan gusar, jawaban yang disampaikan oleh polisi tadi bagaikan belati yang menusuk jantungnya ribuan kali. “What has happened to you, guys?”.

“Jae Yun sendiri?”

“Dua orang lainnya sedang dirawat di ruang sebelah,” Polisi menunjuk sebuah ruangan yang berada tepat disebelah mereka. “Mereka juga terluka, namun tidak separah Sim Jae Yun.”

Jay menganggukkan kepalanya dengan lemas, lalu menggigit bibir bawahnya mencoba untuk menahan isakan yang siap untuk lolos kapan pun itu. Kakinya dengan gontai melangkah menuju ruangan yang telah ditunjuk oleh polisi sebelumnya.

“Hee…”

Rintihan terlolos dari mulut Jay saat melihat temannya, Heeseung terduduk di ranjang rumah sakit dengan wajah dan tubuh penuh luka. “Bilang sama gue siapa yang ngelakuin ini sama lo? Bilang sekarang juga.” Ucap Jay dengan penuh emosi saat mendekati ranjang Heeseung.

“Ssst, jangan keras-keras. Nanti Sunghoon bangun.” Heeseung meletakan jari telunjuk tepat didepan bibirnya, memberi isyarat kapa Jay untuk memelankan suaranya.

“Sunghoon?” Jay mengikuti arah pandangan Heeseung lalu mendapati Sunghoon yang tengah tertidur diatas ranjang tepat disebelah mereka. Keadaan Sunghoon tidak lebih baik daripada Heeseung, wajah tampannya tertutupi luka lebam, lengan tangan kanannya terbalut dengan perban.

Ah.. fuck. Siapa yang ngelakuin ini semua sama kalian?”

Jay menghembuskan nafas beratnya lalu duduk dicelah kosong ranjang Heeseung. “Tell me, now.”

“Bebal. Bebal bawa pasukannya buat kroyokin kita tadi.” Heeseung mengambil nafasnya dalam dalam, bersiap untuk menceritakan kejadian yang telah menimpa dirinya dan kedua temanya beberapa saat lalu. Sebenarnya Heeseung tidak memiliki tenaga yang cukup untuk bercerita, bahkan untuk duduk saja ia sulit. Namun ia tahu, jika dirinya tidak menceritakan hal ini secepatnya kepada Jay, maka laki-laki tersebut tidak akan diam.

“Gue, Jake, Sunghoon lagi nyebat sambil minum alkohol dibelakang parkiran, lo tau sendiri kan kita gaboleh bawa rokok dan alkohol ke dalam venue? Entah dari mana, tiba tiba anak bebal dateng kroyokin kita semua, bahkan mereka bawa pisau. Pisau itu yang nusuk perut Jake dan ngegores lengan Sunghoon.”

Jay memejamkan matanya, merasakan emosi mulai menguasai tubuhnya. Bebal selalu menjadi biang dari segala masalah yang menyangkut Kastara.

“Alasannya?”

“Mantan Jackson naksir Jake.”

“Bangsat. Cuma karna itu dia nusuk Jake dan gebukin kalian?”

Heeseung tersenyum miris, “You act like you don’t know them.”

Jay menatap Heeseung dihadapannya, memperhatikan wajah temannya yang penuh dengan luka memar. “Lo gapapa? Uh… I mean, sorry. Sorry I wasn’t there.

“Gapapa, cuman hampir mati aja tadi.”

“Bangsat jangan ngomong gitu lo, anjing.” Dengan reflek Jay memukul lengan Heeseung, membuat pemuda tersebut meringis kesakitan. “Eh, sorry-sorry.”

Jay bangun dari duduknya, bersiap untuk pergi dari ruangan tersebut. “Gue cari angin dulu, kalau ada apa apa telfon aja. Kali ini janji gue bakal dateng.”

“Jay.”

“Hm?”

“Jangan berantem.”

“Gak bisa.”

“Lo udah janji buat gak berantem lagi.”

“Janji gue gak berlaku kalau udah nyangkut Kastara ataupun Jungwon.”