New menatap hangat anak sulungnya yang kini tengah menyantap semangkuk mie di hadapannya, ia kemudian tersenyum “pelan-pelan nak, papah gak akan minta kok mie nya.” Goda New kepada Pluem. Pluem tersenyum kikuk setelah di goda papahnya “abang gak nyangka papah bakal bawain mie.” Ucapnya sebari kembali memasukan kembali mie tersebut ke dalam mulutnya.
“Soalnya papah tau, kalau abang di bawain nasi sama lauk sama sayur pasti makannya dikit. Nah kalau sama mie kan pasti gak akan nolak.” Jelas New “lagian mie nya udah papah tambahin pakcoy yang banyak buat seratnya sama papah tambahin dua telur buat proteinnya jadi tetep seimbang.”
Pluem tersenyum sebari mengunyah mie terakhirnya “mwa..kashihh pah..” New mengusak kepala Pluem dengan lembut “kunyah dulu yang bener, bentar papah ambilin minumnya.” Ucap New kemudian bangun dari duduknya dan kemudian mengambil segelas air putih yang memang sudah ia sediakan di nakas samping ranjang milik anaknya. “Nih minum dulu, sini mangkuknya.”
Setelah Pluem menyelesaikan makannya New pun kembali duduk di hadapannya, menatap anak sulungnya lalu tersenyum hangat “semalem gak bisa bobo ya? Mata bawahnya item gitu.” Air wajah Pluem berubah menjadi sendu, ia begitu merasa bersalah kepada papahnya karena mungkin setelah mendengar ceritanya papahnya akan merasakan kecewa yang amat sangat kepada dirinya.
New menatap lekat wajah anak sulungnya lalu menggengam tangannya “nak.. Marah, sedih, kecewa bahkan takut itu adalah sebuah emosi yang sangat normal di alami sama semua manusia. Meski normal, emosi tersebut baiknya disalurkan agar gak menumpuk di dalam batin. Kalau gak di salurkan dengan baik, emosi dapat memperparah masalah yang sedang di alami bahkan bisa menimbulkan masalah-masalah baru. Bisa jadi stress dan depresi loh.” New mencoba membuka pembicaraan dengan anak sulungnya, ia tau sifat anak pertamanya ini lebih senang dengan memendam emosinya sendiri. Karena tanggung jawabnya sebagai anak pertama ia kini tumbuh menjadi anak yang tertutup dan tak mau membuat orang-orang sekelilingnya tau kesulitan apa yang sedang ia hadapi.
New kemudian mengelus punggung tangan anaknya yang kini masih memilih menundukan kepalanya “jadi, abang udah mau bagi emosi abang ke papah?” Pluem perlahan mengangkat wajahnya, ia menatap wajah hangat papahnya lalu kemudian Pluem tak kuasa menahan tangisnya yang sedari kemarin dengan susah payah ia tahan. Pertahanannya runtuh.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun New mengangguk lalu memeluk tubuh anak sulungnya, membiarkan Pluem menumpahkan emosinya di dalam pelukannya. Pluem menangis begitu deras, mungkin ini kali pertama New melihat Pluem menangis begitu hebat, karena sedari dulu Pluem selalu berusaha tak pernah menangis di hadapan keluarganya. New tahu, apapun yang sedang di hadapi anaknya bukanlah hal yang mudah.
Tanpa sadar New pun ikut menumpahkan air matanya, hatinya begitu tersayat saat mendengar tangis anak sulungnya. Namun New masih tak mengeluarkan suaranya, ia hanya mengelus punggung Pluem berharap hal tersebut dapat membantu meredakan emosi anaknya.
Sepuluh menit berlalu, New tersadar tubuh Pluem sudah tak bergetar hebat seperti sebelumnya. Tangisnya pun sudah sedikit mereda, ia melepaskan pelukan tersebut lalu mengambil gelas yang masih terisi setengah air dan ia berikan kepada anaknya “minum dulu ya nak.”
Keduanya masih belum mengeluarkan suara, Pluem kini sudah jauh lebih tenang New rasa. “Udah enakan?” Tanya New dengan lembut, Pluem mengangguk perlahan. “Sini gelasnya.”
Setelah menyimpan kembali gelas kosong tersebut New pun kembali duduk di hadapan Pluem “jadi, apa hal yang lagi abang hadapi sampai abang sedih kaya tadi?” Pluem mengangkat wajahnya “abang bikin kesalahan yang fatal pah.” Lirihnya.
“Oke, papah boleh tanya?” Pluem mengangguk. “Apa abang membunuh orang?” Pluem menggeleng. “Mengambil hak orang lain?” Pluem kembali menggeleng. “Oke, selama bukan dua hal tersebut kayanya papah masih bisa terima.” Ucap New sebari tersenyum mencoba mencairkan suasana.
“Abang pasti bikin kecewa papah, ayah dan adik-adik. Abang bikin salah pah.” Lirihnya lagi. “Denger deh, ini pertama kali kan abang jadi seorang anak? Pertama kali juga kan abang jadi ‘abang’ untuk adik-adik abang? Jadi, wajar banget kok kalau abang bikin salah. Papah juga dulu gitu, sering banget bikin salah, karena kan ini pengalaman baru buat kita jadi wajar banget kalau bikin salah. Abang kan manusia biasa, kalau abang perfect banget terus gak pernah bikin salah papah malah aneh deh hehehe.” New masih merespon anaknya dengan santai.
New mengelus kembali punggung tangan anaknya “abang gak harus menuhin ekspektasi orang-orang nak, papah gak pernah bosen buat bilang abang boleh kok melakukan kesalahan, abang gak harus sesempurna itu nak.”
“Pah..” Abang menatap lekat wajah papahnya.
“Puim, telat datang bulan. Ada kemungkinan Puim hamil, hamil anak abang.”
Seketika nafas New sedikit tercekat, tetapi ia berusaha membuat ekspresi mukanya setenang mungkin. Sejujurnya New terpukul dengan apa yang baru saja ia dengar dari anak sulungnya akan tetapi New yakin Pluem yang mengalami hal tersebut jauh lebih terpukul maka dari itu ia mencoba menanggapi hal ini dengan setenang mungkin, ia tak mau menghakimi anaknya karena hal tersebut hanya akan membuat suasana makin canggung dan bahkan akan membuat Pluem kembali menutup diri.
New menarik nafasnya “oke.. makasih ya nak udah mau cerita sama papah. Abang pasti kaget ya nak?” Sebari menggenggam tangan Pluem.
“Maafin abang..” Pluem kembali menunduk.
Kemudian New bertanya, “udah coba testpack?”
“Kemarin kita coba testpack tapi hasilnya samar, besok baru mau di cek lagi. Yang kita baca kalau samar tunggu 2-3 hari lagi baru cek ulang.” Jawab Pluem.
New mengangguk “respon Puim gimana? Dia juga pasti shock ya? Abang tau kapan?”
“Baru kemarin sore, pas puim kasih tau abang dia telat abang langsung ke apartmentnya soalnya dia kaya kebingungan gitu pah. Abang juga panik, apalagi ngeliat kondisi puim yang kacau banget. Makanya kemarin abang temenin dia dulu, sampai gak inget buat ngabarin. Maafin..”
“Oke.. Kenapa gak kita cek langsung ke dokter? Biar lebih pasti?” New mencoba mencari solusi. Pluem menggeleng “papah mamah puim tuh orang penting di ikatan dokter pah, kayanya kebanyakan dokter kenal sama puim, puim takut ada yang cerita ke orang tuanya. Kemarin juga abang udah ngajak buat cek aja tapi puimnya nolak. Karena hasil kemarin beneran samar banget terus puim minta abang nunggu sampe besok.”
New mencoba memahami sisi puimek mantan kekasih anaknya “setau papah abang sama puim udah putus kan?”
“Iya pah udah putus, tapi emang terakhir sebelum putus kita ngelakuin itu kok. Dan abang percaya kalau puim emang terakhir ngelakuin itu sama abang.”
New langsung menggelengkan kepalanya cepat “gak, bukannya papah gak percaya nak. Papah percaya puim gak mungkin bohong. Maksudnya gini loh nak, apa sudah ada obrolan dari kalian berdua? Kedepannya bakal gimana? Karena kan hubungan kalian udah putus gitu maksudnya. Paham gak?”
“Abang sih kemaren udah bilang sama dia, kalaupun dia positif abang bakal tanggung jawab. Abang pasti nikahin dia.”
New menarik kembali nafasnya “nak menikah itu kesepakatan berdua, puim nya gimana? Gak boleh ada unsur paksaan.”
“Puim sih kemarin masih berharap negatif pah, karena dia lagi sibuk-sibuknya kuliah. Dia gak mungkin ngelepas kuliahnya gitu aja.” Pluem kembali menunduk.
“Papah akan menyerahkan semua keputusan ke kalian berdua, tapi papah tidak menyarankan untuk mengugurkan ya? Nanti kita coba cari solusinya sama-sama.”
Pluem mengangguk “iya abang juga gak mau nambahin kesalahan abang dengan ngegugurin kandungan itu.”
“Oke, kita tunggu kabar besok deh ya.” Ucap New.
“Pah, boleh gak hal ini jangan di kasih tau ayah dulu? Ayah pasti kecewa banget sama abang.” Pinta Pluem kepada New.
New mengangguk “iya, ini rahasia kita berdua ya. Setelah tau hasilnya besok baru kita fikirin kedepannya bakal gimana.”
“Makasih ya pah, papah juga pasti kecewa banget ya sama abang?” Tanya Pluem lemah. “Jujur, papah kecewa. Tapi, papah akan lebih kecewa kalau abang gak cerita sama papah. Papah akan jauh lebih kecewa lagi kalau abang ngejalanin masalah ini sendirian. Abang selalu punya papah yang akan ada di sisi abang nak, abang harus inget itu.”
Pluem kembali menunduk merasa bersalah. “Sekarang bukan waktunya menyesali apa yang udah terjadi, karena gak akan merubah apapun. Karena kan apapun yang kita lakuin pasti akan ada konsekuensinya.”
“Sekarang lebih baik kita fokus mencari jalan keluar buat di depan, belajar dari kesalahan jangan sampai hal seperti ini terulang kembali.”
“Iya pah, makasih ya. Abang sedikit lega setelah cerita ke papah.” Ujar Pluem.
“Masih ada yang ngeganjel fikiran abang?” New mencoba kembali tahu. Pluem terdiam sejenak, sesungguhnya selain ia kebingungan dengan masalah puim hati dan fikirannya pun sedikit terganggu oleh chimon. Apa yang harus ia lakukan kepada chimon?
“Chimon ya?” New mencoba menebak-nebak, Pluem langsung mengangkat wajahnya menatap New. “Abang gatau mesti gimana, abang udah jahat banget sama dia.” Jawab Pluem lemah.
New membetulkan rambut anak sulungnya yang berada di dahinya “satu-satu ya nak? Kita fokus ke puim dulu, baru kita fikirin yang lainnya. Kalau di fikirin dua-duanya sekaligus kayaknya gak akan bisa.”
Pluem mengangguk tanda mengerti. “Tapi kalau negatif, abang dan puim udah ada obrolan juga?” New kembali bertanya.
“Puim kemarin bilang kalau negatif dia gak bakal nuntut apa-apa ke abang, karena kita ngelakuin hal itu atas dasar suka sama suka pah. Dan puim pun emang bilang kalau dia emang lebih nyaman buat berteman aja sama abang.” Jelas Pluem kepada New, memang benar kemarin keduanya sempat membicarakan hal ini. Dan puim dengan mantap berkata kalau ia memang tak ingin menuntut apapun dari Pluem apabila ia tak hamil.
New kembali mengangguk “oke, berarti kita tunggu kabar besok pagi ya?” “iya pah.” Jawab Pluem kembali.
“Yauda, sekarang abang istirahat. Coba tidur satu atau dua jam ya nak? Biar nanti bangun segeran.” New memberi saran.
“Ohiya, papah mau sampein satu hal sama abang.” Pluem mendongakkan kepalanya “apa pah?”
“Maafin sikap ayah kemarin malam dan tadi pagi ya nak? Mungkin ayah terlalu banyak nuntut tapi sesungguhnya hal itu beliau lakuin buat kebaikan abang. Ayah menaruh harapan yang besar kepada abang sebagai anak pertama, tapi kalau sekiranya abang merasa itu terlalu berat jangan di paksakan untuk di penuhi ya nak? Seperti yang papah bilang kita gak wajib memenuhi ekspektasi orang terhadap kita, oke? Lakukan yang terbaik versi abang aja, jangan terlalu ngepush diri abang buat jadi sosok yang sempurna ya bang?”
Pluem mengangguk “iya pah, abang ngerti kenapa ayah bersikap kaya gitu. Pasti itu demi kebaikan abang.”
“Iya, nanti biar papah bicara sama ayah ya? Abang jangan diemin orang rumah lagi, semuanya pada takut kalau abang silent treatment kaya tadi pagi.” Kekeh New kepada anaknya.
Pluem tersenyum lalu mengangguk. “Yauda, abang istirahat ya nak.. Papah turun dulu, kalau butuh apa-apa atau mau cerita apapun jangan lari ke siapa-siapa oke? Papah selalu ada buat abang.” New pun berdiri lalu mengecup pucuk kepala anak sulungnya “istirahat ya nak.”
“Makasih ya pah.. Makasih..” Ucap Pluem sebelum New berbalik meninggalkan dirinya, New kemudian tersenyum hangat “sama-sama abang sayang.”
Setelah papahnya meninggalkan dirinya sendiri, Pluem pun mulai mengistirahatkan tubuh dan juga fikirannya.
Satu yang Pluem sadari, apapun hasil yang akan ia hadapi esok hari adalah yang terbaik untuk dirinya dan ia tak akan menghadapi hal tersebut sendirian, karena ia selalu punya papahnya yang selau berada di pihaknya.
@pandaloura