pandaloura

Tay dan Thi akhirnya sampai di sebuah cafe yang bernama Heavenly Treats setelah menempuh perjalanan kurang lebih tujuh menit dengan motor milik Tay. Keduanya pun memilih duduk di meja dekat jendela dan langsung memilih beberapa macam dessert untuk mereka santap.

“Eh Tay, adek gue jadi join kayanya.. Gapapa ya?” Tanya Thi yang duduk di sebrang Tay. Tay tersenyum lalu mengangguk “gapapa dong, sekalian kenalan.. Udah jalan kesini? Eh, sekalian pesenin aja kalau gitu.” Jawab Tay.

Thi mengangguk “tadi pas kita jalan, dia juga jalan sih.. Paling bentar lagi sampe, udah gue pesenin juga. Kesukaan kita sama soalnya.” Kekeh Thi.

“Oke,oke.. Dia anak UG juga kan ya?” Tanya Tay.

Thi mengangguk “iya..” “Eh, itu anaknya.. Dek.. Di sini..” Thi mengangkat tangannya saat melihat sang adik memasuki cafe tersebut.

Perth, adik Thi pun langsung berjalan menuju meja tersebut lalu tersenyum kecil. “Ternyata deket banget Kak.” Lalu memilih duduk di samping Kakaknya.

“Ehiya Perth, ini kenalin.. Tay..” Thi mencoba memperkenalkan teman barunya kepada sang adik. Perth tersenyum manis lalu mengangkat tangannya mencoba mengajak berjabat tangan Tay “hai, Perth Rai..”

Tay membalas jabatan tangan tersebut lalu tersenyum “hai Perth, gue Tay.. Salam kenal yaa.”

Perth mengangguk lalu menoleh menatap sang Kakak “kamu udah pesen? Aku di pesenin gak?”

“Udah lah, aman aman.” Jawab Thi.

Perth masih menatap wajah Kakaknya sebari sedikit membereskan rambut Thi yang sedikit berantakan “rambut kamu kusut depannya, tadi pagi kamu sarapan roti doang loh, kok makan siangnya makan bakso doang sih? Nanti perut kamu sakit gimana? Tadi tempat makannya bersih gak?”

“Dek.” Thi mencoba memberi kode kepada adiknya, karena tak enak dengan Tay.

“Tenang Perth, tadi tempat makan baksonya higienis kok. Kalau di daftarin dia bisa tuh dapet penghargaan Michelin, tadi juga Thi gak makan pedes kok.” Tay menanggapi.

Perth kemudian beralih menoleh menatap Tay sebari tersenyum “aah, oke.”

“Dek, aku permisi dong. Aku ke toilet sebentar..” Izin Thi.

Perth mempersilahkan “kamu sakit perut?”

“Aku mau pipis, sambil beresin rambut.. Gausah bawel deh.” Ucap Thi sebari keluar dari kursinya. “Tay gue ke toilet bentar ya? Titip adek gue bentar, kalay bawel sumpel aja mulutnya.” Ujar Thi kemudian berjalan menuju toilet yang agak jauh berada di belakang meja tersebut.

Setelah peninggalan Thi, Perth merubah posisi duduknya menjadi lurus menatap tajam Tay dan tangannya sengaja ia lipat di dadanya. Tay yang sadar akan perubahan itu sedikit tersenyum canggung “tadi naik apa kesini Perth?” Tanyanya mencoba mencairkan suasana.

“Gue anaknya gasuka basa-basi.” Ucap Perth tegas. “Lu deketin Kakak gue buat bertemen doang? Atau ada niat lain?” Perth masih menatap tajam Tay.

Tay sedikit terbelak dengan pertanyaan yang baru saja ia dapatkan “hah?”

“Kakak gue tuh anaknya polos banget, cara dia komunikasi, bertemen itu jelek banget.. Jadi, gue cuman pengen kasih tau lo.. Kalau misalnya lo ada niat aneh-aneh, atau main-main sama dia mending gausah! Oke?” Ia kemudian menarik nafasnya “tapi kalau emang mau bertemen doang yaudah gapapa, tapi harus tau batasan ya?”

Tanpa sadar Tay mengangguk, lalu tersadar “eh gak.. Gue gak mau bertemen doang sama Kakak lo.”

“Ini lo boleh percaya atau engga, tapi gue serius. Dari pertama gue ketemu Kakak lo, gue udah tertarik sama dia dan gue dengan sadar gak ada niat main-main sama dia, apalagi gue tau track recordnya dia pernah di kecewain sama temennya.” Jawab Tay tak kalah mantap.

Perth memicingkan matanya “Kakak gue cerita tentang masalah itu ke lo?”

“Iya.” Jawab Tay sedikit bangga. “Tapi serius Perth, gue pengen deketin Kakak lo.. Bukan sebagai temen.” Jawab Tay kembali.

Perth menyunggingkan senyumnya sedikit sinis “ya deketin aja kalau dianya mau.. Tapi awas ya, kalo gue denger lo mainin dia atau nyakitin dia! Urusan lo sama gue! Ngerti?!”

Belum sempat Tay menjawab ucapan Perth, Thi sudah kembali bergabung ke meja tersebut “kok tegang amat sih muka kalian? Ini pesenannya belum ada yang dateng ya? Dek, geser dong.. Aku duduk sebelah sini aja.” Ucap Thi meminta.

Perth langsung merubah mimik wajahnya dengan cepat menjadi tersenyum hangat “ah engga, aku lagi ngobrol tentang hukum aja sama Kak Tay, makanya tegang mukanya.. Ya kan, Kak Tay?” Perth memberikan senyuman manisnya kepada Tay.

Tay hanya bisa mengangguk setuju “iya bener, iya ngomongin hukum gitu.. Tentang ancaman gitu.”

“Ohh, serem juga ya yang suka ngancem-ngancem gitu.” Komentar Thi.

Perth mengangguk setuju “parah sih emang, eh tuh pesenan kita gaksih?” Saat melihat salah satu waiters membawa nampan berisi beberapa macam dessert ke arah meja mereka.

—oura,

Setelah membalas pesan terakhirnya kepada Thi ia pun langsung berjalan menuju parkiran dan bergegas menaiki motor Kawasaki Retro miliknya untuk menuju gedung fakultas Thi.

Sesampainya di parkiran gedung fakultas Thi, Tay pun tak lupa mengecek keadaan dirinya di kaca spion dan tak lupa mengambil parfum di dalam tasnya dan menyemprotkan parfum tersebut ke beberapa titik di tubuhnya. “Aman lah aman..” Lalu segera berjalan menuju fotocopy Bang Muis dimana ia berjanji akan menunggu kedatangan Thi di tempat tersebut.

“Woy Bang.” Sapa Tay begitu sampai di tempat fotocopy tersebut. Bang Muis menoleh “eh Tay, kemana aja? Jarang kesini lu.”

Tay mengangguk lalu mengambil kursi plastik yang berada tepat di depan toko tersebut “ada aja, ikut nunggu temen yak Bang.. Bakal sering-sering kesini dah gua ntar.” Ujarnya sebari duduk.

“Duduklah duduk, lagi mepet anak sini ya lu?” Tanya Bang Muis sebari tersenyum. “Doain ajalah Bang.” Ucapnya kembali.

Bang Muis pun terkekeh lalu kembali di sibukkan dengan pekerjaannya kembali, sedangkan Tay fokus memainkan ponselnya sebari menunggu kedatangan Thi.

Berbeda dengan Tay yang sudah menunggu dengan duduk santai, Thi baru saja menyelesaikan kelasnya dan ia pun segera membereskan tasnya dan bergegas keluar kelas, berjalan menuju tempat janjiannya dengan 'teman barunya' tersebut.

Ada perasaan aneh di hatinya, ia senang namun ada perasaan khawatir juga. “Dia gak akan kabur lagi kan ya? Ini muka gue lagi gak aneh kan ya?” Tanya Thi sebari mencoba membuka kamera di ponselnya dan mengecek keadaan wajahnya.

Setelah kurang lebih dua menit berjalan ia pun hampir sampai, dan Thi pun bisa melihat sosok Tay yang tengah terduduk sebari mengobrol lepas dengan Bang Muis dan beberapa mahasiswa yang tengah berada di fotocopy tersebut “beneran kenal ternyata.” Monolog Thi.

Thi pun mengambil nafas panjang dan akhirnya berjalan mendekat.

“Hai..” Sapanya pelan.

Tay yang sebelumnya tengah mengobrol langsung berdiri dari duduknya “eh, Thi..”

“Oh yang ini Tay.” Bang Muis berkomentar.

Tay langsung memberikan 'kode' kepada Bang Muis agar diam. Dan langsung berbalik kembali sebari tersenyum menatap Thi, “yuk Thi.. Suka penuh ntar.” Ajak Tay cepat.

Thi kemudian hanya bisa mengangguk dan mengiyakan ajakan teman barunya tersebut.

“Dah ya Bang, jalan dulu. Makasih nih bangkunya, gak gue bawa.” Pamit Tay kepada Bang Muis.

“Yoo, tiati Tay..” Jawab Bang Muis kepada Tay.

Lalu Tay dan Thi pun berjalan bersama menuju parkiran.

“Bang Muis emang berisik banget.” Tay membuka obrolan.

Thi mengangguk “lu nya juga.” Thi terkekeh kecil.

“Yaiyasih tapi dia juga lebih berisik.” Jawab Tay kembali membela diri.

“Tapi hebat sih beneran kenal.” Komentar Thi pelan.

Tay menoleh “lu kalau mau minta tolong apa gitu, sama orang-orang di UG info gue aja. Gue kenal dah.”

“Rektor juga kenal?” Tanya Thi serius.

Tay sedikit terkejut “lah emang ada urusan apa lu sama Rektor?”

“Ya kata lu, orang-orang UG.. Ya Rektor juga orang UG dong?” Thi kembali terkekeh.

Tay tak bisa menjawab, bukan karena tak tahu jawabannya. Ia hanya terpesona dengan senyuman yang terpancar di wajah Thi.

“Tay motor lu yang mana?” Tanya Thi karena kini keduanya sudah sampai di parkiran motor. “Tay?” Thi mencoba memanggil Tay kembali. “Hah? Motor gue? Itu tuh, itu yang item.” Jawabnya sebari menunjuk motornya yang sengaja ia parkir di ujung agar dekat dari bahu jalan.

Keduanya pun berjalan menuju motor tersebut. Tay pun langsung memberikan helmnya kepada Thi “nih pake.”

“Lah kok gue yang pake?” Thi kebingungan.

“Kan buat ngelindungin kepala lu.” Jawab Tay jujur.

Thi kembali terkekeh “lu aja, becanda gue.”

“Yaudah,next gue beli deh buat lu.” Jawab Tay sebari memakai helmnya. “Soalnya lu kayaknya bakal sering gue bonceng.” Membuat Thi sedikit kebingungan dengan ucapannya.

“Ayok naik.” “Sim C gue gak nembak kok, aman.” Ajak Tay yang kini sudah duduk di atas motornya.

Thi pun mengangguk lalu mulai naik ke atas motor milik Tay. Ia sedikit tersenyum karena sudah lama sekali ia tidak pernah naik motor, mungkin terakhir kali saat Daddy nya masih hidup.

Ada perasaan yang tak bisa Thi deskripsikan, intinya.. Dia sepertinya tak menyesal berteman dengan seorang Tay Braham.

—oura,

Plak!

Terdengar suara yang timbul dari pukulan yang dilayangkan oleh seseorang kepada Krist yang tengah terduduk tenang, ia pun mengaduh sebari langsung menoleh dan melayangkan tatapan tajamnya “apaan sih anjirrrrr?! Tay apaansih gak jelas banget, dateng-dateng main nepok gue!”

Tay yang baru bergabung ikut membalas tatapan tajam Krist “lu emang pantes di pukul! Itu balesan karena lu udah nyakitin calonnya gue!”

“Calon? Nyakitin? Apaansih anjing? Lu beneran masih ketempelan ya?” Krist memberikan tatapan heran kepada sahabatnya tersebut. “Arm, Off kenapa tuh temen lu? Dah gila sih gue rasa.”

Off terkekeh pelan “duh hidup temen-temen gue beneran kaya di setting banget dah. Ampun.”

“Kenapa sih? Jangan gak jelas.” Krist sekali lagi meminta penjelasan.

Off menunjuk Tay dengan dagunya “dah ketemu dia sama cowok yang membuatnya tergila-gila.”

“Demi apa? Ketemu dimana Off?” Arm ikut penasaran. “Aslinya secakep itu? Beneran dua level di atas gue?!” Tanya Krist tak mau kalah.

Tay tersenyum “kalau dah ketemu langsung bahkan tiga level lah di atas lu Kit.”

“Bangsat!” Cela Kit namun saat bicara kasar tersebut mulutnya langsung di pukul pelan oleh Off “katanya mau belajar ngurangin kata-kata kasar.”

“Ya abisan si Tay mulutnya anjir.” Kit masih tak terima. “Tapi emang cakep kan Off? Jujur dah.” Kini Tay bertanya kepada sahabatnya tersebut.

Off mengangguk pelan “diengga-engga, gue akuin sih. Mata nya pinter juga milih yang cakep wkwkwk, tapi tenang.. Kit kita juga gak kalah cakep kok.” Off kemudian memeluk Kit yang duduk di sampingnya.

“Gak butuh anying! Dah spill ajalah, mana bocahnya?! Pengen liat gue secakep apa.” Ujar Kit sebari berusaha melepaskan pelukan Off di tubuhnya.

“Gue muter-muter se UG, nyari dari ujung kantin ke ujung kantin taunya yang gue cari deket banget.. Malah harusnya dari awal gue emang harusnya ketemu sama dia.. Jodoh sih gue rasa.” Cerocos Tay sebari tersenyum kecil.

Kit tak dapat menutupi wajah muaknya “bisa gak, gausah muter-muter?! Siapasih? Deket banget? Siapa? Temen gue? Temen Off? Apa gimana sih?”

“Jangan kaget ya.” Off memperingati. “Si Thi.. Sepupu Singto.” Ujar Off kembali yang membuat Kit langsung bangkit dari duduknya dan tak kuasa membelakkan matanya “Thi? Si Thi.. Thitipoom? Bentar, ketemu dimana? Bentar gue masih shock. Tapi engga, gak boleh Thi.. Gak boleh ah Tay!” Kit masih mencoba menetralkan nafasnya yang menderu karena terkejut.

Tay ikut bangkit dari duduknya mendekati Kit yang masih berdiri sebari berjalan mondar-mandir “lah kenapa gak boleh? Emang lu siapanya Thi?”

“Gak, bukan gitu.” “Thi tuh anak baik, gak pernah aneh-aneh. Lu kalau mau main-main cari yang lain.. Gue males entar Singto ribet kalau tau sepupunya di mainin sama lu.” Jelas Kit menatap mata Tay dengan serius.

Tay membalas tatapan mata Kit tak dengan tak kalah serius “gue gak main-main.” “Gue gak berencana mainin Thi, gue mau serius deketin dia.. Serius dapetin dia.”

“Tay please.. Siapapun asal jangan Thi.” Kit sedikit memohon.

Tay menatap Kit dengan tak suka “Kit please.. Ini masalah hati, sorry kali ini gue gak bisa ikutin maunya lu.” Tay pun mengambil tasnya dan berjalan meninggalkan teman-temannya yang kebingungan.

“Yaelah belum apa-apa dah bikin berantem aje.” Komentar Arm mengiringi kepergian Tay.

—oura,

“Enak gak Thi?” Tanya Krist kepada Thi yang kini tengah terduduk di kursi plastik sebari memegang piring berisi ketoprak di hadapannya. Thi memberikan jawaban mengangguk karena mulutnya tengah sibuk mengunyah ketoprak tersebut “eenhakk kok.”

Krist ikut mengangguk lalu tersenyum puas “syukurlah, tapi ini tuh emang paling enak se UG lah.. Mantep banget.” komentar Krist kembali. Setelah berkomentar Krist sempat teralihkan oleh nada dari ponselnya yang berbunyi namun setelah melihat layar ponsel tersebut mukanya terlihat masam dan memilih diam dan mengabaikan panggilan tersebut.

“Kenapa gak di angkat Krist? Abang? Lu lagi berantem?” Tanya Thi yang sudah hampir menyelesaikan makan siangnya.

Krist menggelengkan kepalanya “gak, bukan Singto. Temen-temen gue, pada tai emang! Tadi gue minta temenin makan disini banyak banget buset alesannya.. Males ah gue.” Jelas Krist kepada Thi dan langsung di balas anggukan oleh Thi “oh, kirain lagi berantem sama Abang.”

“Gak kok, Singto baik sekarang. Gak nyebelin kaya dulu, masih sih ada aja nyebelinnya tapi berkurang lah.” Jawab Krist sebari terkekeh.

Thi tersenyum mendengar cerita kekasih sepupunya tersebut “syukur deh kalau gitu.”

“Iya, udah lu makan lagi.. Apa mau nambah gak?” Tanya Krist kepada Thi. Yang langsung di balasa gelengan dari kepala Thi “gak lah, ini aja udah banyak banget.” Lalu keduanya kembali fokus untuk menghabiskan ketoprak yang masih tersisa di atas piringnya.

Seteleh keduanya selesai dan Krist langsung berinisiatif untuk membayar makan siang keduanya namun Thi tidak tinggal diam dan langsung ikut mengeluarkan uang dari dalam dompetnya “gue aja Krist, kemaren kan lu udah jajanin gue.” Usaha Thi sebari menyodorkan uang seratus ribuan.

Krist yang sudah lebih dulu menyodorkan uangnya ke tukang ketoprak itu langsung mendorong pelan tangan Thi “udah gue aja, gue kan yang ngajak makan disini. Lagian duit kemaren jajanin lu di ganti sama Singto.. Dah sana simpen, ini aja Bang.” Pinta Krist kepada penjual ketoprak tersebut agar uang dari tangannya yang di ambil.

“Mau bayar gini aja pada berantem, sini dah saya siap nampung bayaran dua-duanye.” Komentar Abang ketoprak sebari terkekeh.

Krist memukul pelan bahu sang Abang “enak aje ye lu! Dah balikin kembalian gua.”

“Iye iye, nih kembaliannya Kit.” Ujar si Abang sebari memberikan beberapa uang receh kepada Krist. “Makasih bang.” Ucap Krist sebari berpamintan.

Thi sempat terdiam sebentar saat mendengar panggilan yang di lontarkan oleh Abang penjual tersebut ke Krist “Kit? Familiar gaksih?” monolognya.

Krist yang sudah berjalan terlebih dahulu langsung menoleh ke belakang saat sadar bahwa Thi masih berdiri terdiam di tempatnya “Thi, lu kenapa?” Tanya Krist dan langsung berjalan kembali mendekati sepupu kekasihnya tersebut.

“Krist, lu panggilannya Kit?” Tanya Thi pelan.

Belum sempat Krist menjawab pertanyaan Thi, kini ada dua lelaki yang datang mendekat dan mengapit tubuhnya “anjing Kit! Kita telfonin gak di angkat! Jangan ngambek gitu dong sayang.” Ujar lelaki satu yang kulitnya lebih putih dan matanya sedikit lebih kecil.

“Parah, parah.. Telfon Aa Arm dicuekin dong.” Ujar lelaki kedua dengan potongan rambut yang lurus.

“Eh anjing pada cepet amat jalannya! Kit sayang, Kit sayang kita datang.” Ternyata masih ada satu lelaki terakhir yang kulitnya agak tan yang ikut bergabung mendekati Krist.

“Ah paansih ah bacot! Sana urusin aja urusan lu!” Komentar Krist yang kini tubuhnya sudah menghadap ke hadapan lelaki tan terakhir sehingga tubuhnya sedikit menutupi Thi yang berdiri di belakangnya.

Lelaki tan tersebut tersenyum “duh sayangnya kita ngambek, maaf ya. Mau makan apa lagi gak? Ayok yuk sama Braham di jajanin.”

“Bacot lu.” Ujar Krist dan langsung kembali memutar tubuhnya.

Lelaki tan yang melabeli namanya Braham itu sedikit terkejut dikala melihat sosok lelaki yang sebelumnya sempat terhalang oleh tubuh sahabatnya tersebut “elu..” Matanya terbelak saat menatap Thi yang masih berdiri tak bergerak di posisinya.

Thi ikut terkejut karena tiba-tiba lelaki tan tersebut menunjuknya dengan memberikan tatapan terkejut, ia mencoba mengingat-ngingat apakah sebelumnya ia pernah bertemu dengan lelaki tersebut namun ingatan jangka pendeknya lumayan lemah sehingga Thi tak ingat, siapa lelaki berkulit tan tersebut.

“Eluu.. Eluu..” “Apaansih Tay! Ini kenalin, Thi.. Sepupunya Singto.” Ucap Krist memperkenalkan Thi ke teman-temannya.

“Yang ini Off, ini Arm nah yang planga-plongo itu Tay, Thi..” Ujar Krist kembali.

Kini Tay maupun Thi sama-sama tak dapat menutupi wajah terkejutnya.

“Tay?”

“Thi?”

Tanya keduanya secara bersamaan.

“Woy ini juga ada gue sama Off wey, bukan Tay doang Thi.” Komentar Arm saat melihat Tay maupun Thi masih saling menunjukkan keterkejutan di wajah keduanya.

Thi yang sadar langsung menggelengkan kepalanya cepat “ehiya sorry.. Thi.. Thitipoom.” Ujarnya memperkenalkan diri.

“Halo Thi.. Gue Arm.” Arm yang bersuara pertama. “Gue Off ya.” Off mengikuti, lalu keempatnya menoleh menatap Tay yang masih berdiri kaku di tempatnya.

“Tay, lu gamau memperkenalkan diri?” Tanya Off. Tay yang tersadar langsung mengangkat wajahnya “eh, gue balik dulu ya.. Sorry..” lalu langsung membalikkan tubuhnya dan segera berlari menjauh dari teman-temannya yang kini tengah menatap dengan penuh keheranan.

“Temen lu salah makan?” Tanya Krist kepada Arm dan Off. Arm mengangkat bahunya “kesambet kali tuh bocah.”

Off mengangkat senyumnya kecil “lagi salting si anjing.” Lalu menoleh menatap Thi yang masih berdiri dengan kaku “ya pantes di cariin se FH gak ada! Orang bocahnya bukan anak FH!” Monolog Off dalam hati.

—oura,

“Itu orang kesambet penunggu pohon di situ kaliya? Aneh banget.” Monolog Thi sebari berjalan menuju arah yang di beritahukan oleh lelaki yang baru saja ia tanyai. “Nah akhirnya parkiran, bentar.. Tadi Krist bilang kalau udah di parkiran gedung C ambil kiri, mobilnya warna abu-abu. Oke-oke..” Thi mencoba mengingat percakapannya tadi dengan Krist sebelum berjalan menuju ke gedung fakultas hukum.

“Thi!” Thi menoleh saat namanya di panggil. Ia pun segera berjalan menuju arah panggilan tersebut “hai Krist.” Sapanya dengan canggung. Krist mengangkat dagunya “hai juga.. Jauh gak kesini?” Tanya Krist tak kalah canggung.

Thi menggelengkan kepalanya “gak terlalu kok ternyata.. Fakultas kita tetanggaan ternyata.” Jawab Thi pelan. “Oh oke, sorry ya gue gak bisa jemput kesana, tadi gue mesti ke perpus dulu terus kalau ke gedung lu gue gak tau masuk lewat mana, entar muter-muter.”

“Iya gapapa Krist, ini kita mau langsung jalan?” Tanya Thi pelan.

Krist yang sedari tadi menatap ponselnya kini menoleh ke arah Thi “ehiya, temen gue tadi mau ikut katanya.. Tapi si babi malah gak bales, lu tunggu di dalem aja biar gak panas.” Krist menunjuk ke dalam mobilnya namun di balas gelengan oleh Thi “gapapa nunggu disini aja, biar bareng masuknya.”

“Oh oke, bentar ya.. Emang tai nih si Braham anak kuda!” Ujar Krist sebari mencoba melakukan panggilan di ponselnya. “Ah anjing gak di angkat, dah lah tinggal aja. Bodo amat!” Keluh Krist saat mengetahui panggilannya tak di jawab oleh temannya tersebut.

Thi hanya bisa terdiam mendengar ucapan kasar yang di lontarkan Krist di hadapannya. “Yaudah Thi, masuk aja dah.. Temen gue gak ada kabar, paling lagi modusin cewe-cewe gatau cowo-cowo dah.” Ajak Krist kepada Thi untuk segera masuk ke dalam mobil miliknya.

Di perjalanan tersebut masih terasa aura canggung di antara keduanya, Krist lebih memilih untuk fokus menyetir dan memperhatikan jalan sedangkan Thi, sudah pasti ia lebih memilih diam dan tak bersuara.

Karena tak tahan dengan situasi canggung tersebut Krist pun akhirnya memulai pembicaraan “duh gasuka deh gue canggung gini!”

“Eh,iya sorry Krist..” Thi tanpa sadar meminta maaf.

Krist sempat menoleh menatap sepupu kekasihnya tersebut “lah kenapa lu minta maaf?”

“Hah? Kenapa ya? Karena canggung?!” Jawab Thi ragu.

Krist pun menarik nafasnya kasar “pantesan Singto segitunya ya sama lu! Lu tuh jangan di biasain minta maaf kalau lu nya sendiri ragu akan kesalahan lu! Lagian situasi canggung ini kan tercipta ya bukan karena lu doang! Gue juga ikut andil bikin situasi canggung.. Gak perlu minta maaf.”

“I..Iya Krist, maa.. Eh, duh iya.” Thi sempat memukul bibirnya pelan saat akan mengucapkan kata maaf.

“Gue sih yang harusnya banyak minta maaf sama lu, gue juga udah baca chat lu sama Singto. Bukan gue yang kepo ya! Tapi emang sama Abang lu di liatin chatnya!” Jelas Krist.

Thi tersenyum lalu mengangguk “iya Krist.”

“Gue minta maaf kalau kata-kata gue kemaren-kemaren keterlaluan sama lu. Mulut gue emang sampah banget kalau lagi emosi, maaf ya! Gue lagi belajar buat ngurangin kok.” Ucap Krist tulus meminta maaf.

Thi tersenyum lalu mengangguk pelan “iya, udah gue maafin kok. Gue juga minta maaf kalau dulu gue gak bisa nolak lebih tegas ke Abang eh Singto maksud gue.”

“Aman-aman, udah yaaa.. Kita maafan ya? Gak ada dendam-dendaman ya?” Tanya Krist sebari terkekeh. Thi kembali tersenyum lalu mengangguuk “iya, gak ada dendam kok.”

Krist kini kembali menatap jalanan “yaudah, entar lu makan dah apapun yang ada di menu. Dessertnya katanya enak banget, lu suka banget makanan manis kan?”

“Iya suka banget.”

“Pantes banget muka lu kaya bocil.” Komentar Krist yang membuat Thi tersipu malu.

—oura,

Memang benar, hari sial itu tak pernah ada di kalender. Hal ini baru saja di rasakan oleh lelaki berkulit tan yang tengah berdumal sebari membawa tumpukan buku di tangannya “emang tai ya, kenapa harus gue sih? Lagian inget aja lagi nama gue tuh si botak—menjurus ke dosen hukum Tay.” Sesampainya ia di ruang dosen ia pun segera menyimpan tumpukan buku tersebut di meja milik dosennya dan segera keluar untuk mencari udara segar karena kelelahan setelah mengangkat beban beberapa kg dari buku-buku yang baru saja ia bawa.

“Ngadem dulu dah lima menit.” Ujarnya sebari duduk di bangku taman yang tertutup pohon rindang sehingga membuat udara di sekitarnya sejuk bukan main.

Baru saja Tay terduduk, ia di hampiri oleh seorang mahasiswa lelaki yang sepertinya tengah kebingungan “Mas, sorry.. Mau nanya, kalau parkiran deket gedung C masuknya lewat mana ya Mas?”

Tay sempat terdiam beberapa detik memperhatikan struktur wajah mahasiswa lelaki tersebut, ia memiliki wajah yang tegas namun tetap terlihat manis dan kulit putih dari wajahnya seolah memancarkan sinar yang sedikit membuat Tay terkesima sehingga kini ia pun tidak dapat berkata apa-apa. “Mas. maaf?” Tanya lelaki manis itu kembali, kemudian membuat Tay tersadar.

“Eh, sorry..Sorry. Parkiran gedung D ya? Lewat sini, eh bukan deh..” Jawab Tay terbata-bata.

Mahasiswa lelaki tersebut hanya bisa menatapnya dengan tatapan curiga “Mas, gedung C bukan D.. Ini fakultas hukum kan?”

Tay kembali menoleh menatap wajah manis lelaki tersebut “yaampun, iya C maksudnya. Iya, bener kok ini di fakultas Hukum.. Gue juga anak hukum, btw.” Ucapnya sebari tersenyum tak perlu.

“Terus kalau mau ke parkiran kemana?” Tanya mahasiswa itu lagi.

Tay akhirnya sepenuhnya tersadar “oh parkiran, kesana.. Lu tinggal lurus dari gedung samping itu, itu langsung parkiran mobil.” Jelas Tay.

“Oh oke, thank you ya Mas..” Ucap mahasiswa manis tersebut sebari tersenyum lalu berjalan meninggalkan Tay yang masih dalam mode 'terpesona'.

Mahasiswa manis tersebut sempat menoleh ke belakang dan kebingungan saat melihat Tay masih terdiam di posisinya sebari memasang wajah senyum yang mungkin sedikit terlihat 'mengerikan'. “Itu orang kesambet penunggu pohon di situ kaliya? Aneh banget.” monolog mahasiswa manis tersebut sebari terus berjalan menjauh.

— oura,

“Bisa banget bilang gamau balikan! Memang yang paling enak itu menjilat ludah sendiri sih.” Sindir Arm sebari memasukkan sepotong pizza ke dalam mulutnya.

Off ikut menanggapi dengan mengulangi ucapan Kit beberapa hari yang lalu “gak akan gue balikan! Gak akan!”

Kit yang menjadi target dari cibiran teman-temannya hanya bisa terduduk pasrah lalu tak lama memicingkan matanya dan menunjuk temannya satu persatu “muntahin makanan yang udah gua beli! Muntahin gak lu!” Paksanya.

“Dih, gue mah kan diem aja.” Protes Tay yang sedari diam tak ikut-ikutan.

Kit mengangguk sebari menyimpan kedua tangannya di pinggang “iya kecuali si Tay, keluarin gak makanan lu! Off! Arm!” Teriaknya kesal.

“Yaelah, lu harus siap menerima hujatan! Gak boleh marah! Lagian kan emang kita ngomongin fakta! Yagak Off?” Arm meminta bantuan temannya. Off yang duduk di sebelahnya mengangguk tanda setuju “iya telen aja kalo di cengcengin, kan lu sendiri yang koar-koar tuh kemaren jelek-jelekin Singto.. Makanya tuh mulut di tahan dikit, emosinya di tahan dikit.”

Tay yang sedari tak ikut-ikutan kini mencoba ikut berkomentar “nah kalau yang ini gue setuju sih, tolong ya bapak Parindra.. Belajar lebih bijaksana menggunakan moncong dan ketikan anda itu.”

“Asli, anak orang di omel-omelin. Gimana gak sawan tuh sepupu si Singto? Mana sekarang balikan, mampus lu!” Ujar Off lagi.

Krist menunjukkan wajah tak suka nya namun jauh di dalam lubuk hatinya ia memang setuju dengan komentar teman-temannya “iya-iya, bawel banget buset. Gue bakal belajar lebih bijaksana dan mengatur emosi gue. Puas lu semua hah?!”

“Minta maaf lu sama sepupunya Singto! Seengganya kan lu berhubungan sama Singto tetep aja lu harus menjaga hubungan baik juga sama keluarganya gila.” Komentar Off sekali lagi.

Krist mengangguk keras “bawel banget anjing, iya nanti gue mau minta maaf kok! Emang udah gue fikirin juga.. Dah lah pada bawel banget.”

“Demi kebaikan lu Kit sayang.” Komentar Tay sebari mengelus bahu sahabatnya tersebut mencoba menenangkan karena ia tahu Krist sedikit kesal dengan beberapa komentar ia dan juga teman-temannya.

“Lah ini Kit yang lu omelin?” Tanya Arm yang tengah menatap layar ponselnya.

Ketiganya pun menoleh menatap Arm “sepupu Singto?” Tanya Tay pertama kali.

“Iya, nih si Singto update story.” Jawab Arm sebari memperlihatkan ponselnya ke ketiga temannya.

“Gila Kit, anak polos begini lu omel-omelin bener-bener ya lu!” Off memukul pelan tangan Kit.

Kit mengelus lengan yang baru saja di pukul oleh Off “bukan yang itu yang gue omelin, itu adeknya. Kakaknya yang gue omelin, cowok.”

“Bener-bener Krist Parindra.” Tay menggelengkan kepalanya tak habis fikir akan perbuatan sahabatnya tersebut.

“Dah-dah, jangan bahas Singto sama sepupunya mulu! Yang penting entar gue bakal minta maaf! Sekarang mending bahas, lu lagi deketin siapa lagi Tay Braham? Gue perhatiin cengangas-cengenges mulu lu sambil chatan?! Anak mana lagi yang lu progresin?!” Krist mengalihkan pembicaraan kepada Tay yang membuat kedua temannya pun ikut penasaran.

Arm mengangguk “bener, siapa lagi kali ini Tay Braham Vihokratana?”

“Lah kok jadi gua anjing?” Ujar Tay tak suka.

Off menggelengkan kepalanya “cepet-cepet jawab.. Lu jomblo sendirian, jadi wajib jawab!”

“Gak ada hubungannya ya anying!” Protes Tay kembali.

“JAWAB!!!” Ketiga teman Tay kompak meminta jawaban.

Tay menarik nafasnya kasar “gak ada anjir, gue cuman chatan sama temen gue?” Jawabnya pasrah.

“Semuanya temen lu dah perasaan.. Ini lu chat sama orang yang sama atau sama banyak orang?” Tanya Arm penasaran.

“Seorang.” “Gue belum pernah ketemu, gak sengaja kenal.” Jelas Tay kembali.

Ketiga temannya menunjukkan rasa penasaran “kok bisa? Kasih detail.” Pinta Krist.

“Yaa intinya, gue nemuin komiknya pas lagi makan ice cream sama Kanya.. Terus gue gak sengaja liat ada username X nya, random gue cek eh beneran ada.. Terus gue dm, karena mau gue balikin tuh komik.” Jelas Tay.

Arm mengangguk “terus-terus?”

“Ah tukang parkir apa terus-terus?!”

Off kini memukul lengan Tay “jawab aja anying!”

“Aw! Sakit anying!” Usap Tay ke lengannya. “Yaudah terus chatan dah, dia kagak mau di balikin komiknya karena dah keburu beli lagi.. Terus pas chatan ya nyambung dan ternyata dia anak UG juga tapi gue gatau jurusan apa.”

Ketiga teman Tay makin penasaran “cewek?” Arm yang kini bertanya.

“Cowok.” Jawab Tay singkat.

Krist mengangguk sebari menepuk bahu Tay “gapapa, sama cowok enak kok. Aman-aman.”

“Apansih anying! Orang temen doang, dia di ajak ketemu aja mesti temenan dulu di chat baru mau di ajak ketemuan.” Jelas Tay kembali.

Off memicingkan matanya “makanya bikin lo penasaran ya? Cieeee...”

“Mana ada..” Denial Tay.

Krist kembali menepuk bahu Tay “gapapa, gapapa.. Pepet aja duluu.. Kali aja cakep, bisa yuk bisaa.. Tay Braham gak jomblo sebentar lagi.”

“Ah elah, kenapa jadi guaaaaa?! Dah ah, main ps aja main ps.” Tay bangkit dari duduknya menghindari kerumunan teman-temannya.

Ketiga temannya menoleh menatap Tay dengan jenaka “ciyee Tay Braham salting sama teman virtualnya ciyeeeee..” Goda Arm yang di iringi kekehan Off dan juga Krist.

“Bacot, mau main ps gak? Kalau gak gue balik nih.” Ancam Tay.

Ketiganya pun langsung mengindahkan permintaan Tay sebelum Tay benar-benar marah dan pergi meninggalkan mereka.

—oura

Frank dan Nanon sudah duduk di kursinya dengan masih tak semangat.

“Kok lesu banget sih?” Tanya New yang baru saja bergabung di meja makan tersebut “Papah masak, masakan kesukaan Kakak sama Adek loh.”

Nanon menarik nafasnya kasar “makasih Pah, tapi Adek lagi gak selera.” “Kangen Abang.” Jawabnya sendu.

New mengelus pucuk kepala anak bungsunya “nanti pulang kok, nanti besok Papah jemput Abangnya ya? Oke?”

“Besok Kakak ikut dong jemputnya.” Ujar Frank bersemangat.

Belum New menjawab, ketiganya di kagetkan dengan suara dari orang yang tengah jadi perbincangan ketiganya “gausah, orangnya udah di sini kok.”

“Abang?!” Frank dan Nanon secara bersamaan bangkit dari duduknya dan langsung berlari menghampiri sang Abang dan langsung memeluk tubuh kakak tertuanya tersebut.

New pun tak dapat menutupi keterkejutannya dan langsung menoleh ke arah suaminya yang datang bersama dengan anak sulungnya tersebut “Mas?”

“Aku jemput.” Jawab Tay sebari tersenyum.

New ikut tersenyum lalu memeluk sang suami “makasih sayang.”

“Iya sama-sama sayang.” Jawab Tay sebari mengecup pucuk kepala New.

“Loh ini kok pada peluk-pelukkan? Ini gak jadi makan malemnya? Eh.. Den Abang udah pulang?” Ujar Bi Ida yang hadir sebari membawa lauk untuk makan malam keluarga tersebut.

“Yah Bi Ida, ganggu aja.. Lagi so sweet juga momentnya ah.” Protes Nanon sebari melepas pelukannya.

Bi Ida hanya bisa tersenyum lalu melakukan gesture maaf pada tangannya “maaf-maaf, lanjut lagi ya.” Lalu berpamitan, meninggalkan kelimanya yang kini tertawa.

Pluem pun berjalan mendekati sang Papah dan memeluknya erat “Pah, maafin Abang yaa.”

“Udah-udah, maaf-maafan nya nanti aja.. Kita makan dulu ya?” “Abang sama Ayah cuci tangan dulu gih.” Titah New kepada suami dan anak sulungnya.

“Adek mau duduk sebelah Abang.” Ucap Nanon namun kursi tersebut sudah terlebih dahulu di duduki oleh Frank “enak aja, gue duluan.”

Nanon mempoutkan bibirnya “ishhhhhhh, Adek mau di situuuuuuuu.”

“Yakan Kakak duluaaan.” Frank tak mau kalah.

New kemudian menggelengkan kepalanya “duduk di tempat masing-masing! Ini kan kursi Papah.”

“Tapi Pahhhh...” Ujar Frank dan Nanon secara bersamaan.

“Sekarang!” Ucap New tegas.

“Ishhhhhhhhhh... Lu sih!”

“Luuuuu!” Keduanya mulai saling menyalahkan satu sama lain.

“Belum makan aja udah ada berantemnya, gimana sih? Kemarin aja sepi banget kayak kuburan.” Komentar Tay begitu memasuki ruang makan kembali bersama Pluem.

“Kakak tuh!”

“Adek lah!”

“Udah-udah, makan dulu! Abang laper nih, kangen masakannya Papah.” Komentar Abang yang kini sudah duduk di kursinya.

New pun tersenyum “yaudah-yaudah, yuk Yah.. Mulai aja dulu doanya.” Pinta New kepada Tay untuk memimpin doa dan setelah Tay selesai memimpin doa New pun mulai mempersiapkan makanan untuk suami dan juga anak-anaknya.

“Nih.. Buat Ayah..” Ucap New memberikan piring kepada suaminya.

“Nah yang ini buat Abang sayang.. Dagingnya sama Papah banyakin ya?” Ujar New sebari tersenyum sumringah. “Makasih Pah.” Jawab Pluem sebari menerima piring pemberian sang Papah.

“Sama-sama sayang.” “Nah ini Kakak ya? Tanpa Ayam kecap.” Ucapnya sebari memberikan piring selanjutnya kepada anak tengahnya.

“Ishhh kok Kakak duluan sihhh? Adek mana? Ishhh kok Adek dagingnya dikit sihhhh?????” Protes Nanon saat melihat New memberikan lauk yang sedikit ke piring miliknya.

New memicingkan matanya “katanya tadi lagi gak selera makan?????”

“Ishhhhhhh itukaaaaan tadiiii, sekarang enggaaaaa... Mau lagiiiiiiii.” Ujar Nanon dengan sedikit berteriak.

“Berisik banget sih gendut ish!” Ucap Frank kepada Nanon. “Gue gak gendut! Yah coba Yah Kakak Yah.” Adu Nanon kepada sang Ayah.

New hanya bisa tersenyum bahagia melihat kebisingan meja makan yang sebelumnya sempat hilang beberapa hari yang lalu. Hatinya terasa hangat kembali setelah melihat kegaduhan yang di ciptakan oleh anak-anaknya lagi.

—oura

Pluem menatap jendela apartment nya dengan tatapan kosong, hatinya kini tengah berdebat hebat. Apakah ia harus pulang sekarang? Atau menunggu sedikit lebih lama? Bagaimana cara ia menghadapi sang Ayah? Langsung meminta maaf? Atau bertindak biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa? Di tengah gemuruh perdebatan itu ia tersadar saat seseorang menekan bel unit apartment miliknya “Chimon? Udah pulang? Bukannya dia kelas sampe sore?” Monolognya sebari berjalan menuju pintu.

“Bukannya kamu kelas sampe sore?” Ucap Pluem begitu pintu tersebut terbuka, namun ia begitu terkejut saat melihat sosok di hadapannya bukanlah sosok kekasihnya melainkan sosok yang tengah ia hindari beberapa hari ini. “Ee.. Aa Ayah?”

Tay yang berdiri di hadapan Pluem mengangguk pelan “Ayah boleh masuk?” Pluem dengan segera mengangguk dan mempersilahkan sang Ayah memasuki Apartment yang di berikan oleh beliau untuk hadiah ulang tahun Pluem yang ke dua puluh tahun. “Masuk Yah..” Lirihnya.

Setelah di persilahkan Tay pun masuk dan langsung berjalan dan memilih duduk di sofa ruang tv. “Ayah, gak kerja? Ayah mau minum?” Tanya Pluem canggung.

“Gak.” Jawab Tay singkat. “Sini duduk.” Pinta Tay kepada Tay kepada Pluem yang masih berdiri di dekatnya.

Pluem pun menelan ludahnya lalu mengikuti perintah sang Ayah dan langsung duduk tepat di samping Ayahnya.

“Bab tiga kamu belum selesai?” Tanya Tay pelan.

“Udah kok, kemarin sore baru acc Yah.” Jawab Pluem tak kalah pelan.

Tay sedikit mengubah arah duduknya sehingga kini ia menghadap anak sulungnya tersebut “terus kenapa belum pulang? Kata Papah, selesai bab tiga kamu mau pulang Bang?” Pluem masih diam, bibirnya seolah bisu tak tahu harus memberikan jawaban apa kepada sang Ayah.

“Kamu masih marah sama Ayah?” Tanya Tay lagi.

Pluem menggelengkan kepalanya “gak, aku.. Aku cuman bingung kalau pulang mau bilang apa sama Ayah.” Jawab Pluem jujur.

“Bang.. Ayah minta maaf untuk gak pernah mendengarkan apa yang kamu mau, maaf untuk terlalu memberikan beban yang terlalu berat di pundak kamu.” Ucap Tay pelan.

“Ayah cuman mau yang terbaik buat Abang, Ayah cuman gak mau Abang mengalami apa yang Ayah alami dulu.. Tapi maaf, mungkin cara Ayah salah.” Sesal Tay.

Pluem menggelengkan kepalanya cepat “gak kok Yah, aku tau.. Ayah cuman mau yang terbaik buat aku.. Aku nya juga yang salah, kenapa gak coba lebih keras buat kasih tau Ayah apa yang aku mau.. Ini gak semuanya salah Ayah kok.”

“Kalau ini tentang S2 kamu, lakukan.. Apa yang kamu mau, lakukan nak.. Ayah akan support kamu secara penuh.” Ujar Tay “apapun jurusannya Ayah akan dukung.” Ucapnya kembali.

Pluem mengangkat kepala nya menatap wajah sang Ayah yang kini terlihat banyak muncul kerutan tanda bahwa umurnya kini sudah tak lagi muda, muncul rasa bersalah di dadanya. “Gak kok Yah.. Pluem udah mikir dari kemarin, buat masalah S2 Pluem. Pluem bisa tahan itu dulu, mungkin setahun setelah Pluem kerja di perusahaan Ayah baru Pluem fikirin buat ambil S2.”

Tanpa sadar Tay menyunggingkan senyumannya “Abang yakin?”

“Yakin Yah..” Pluem membalas dengan senyuman. “Setelah Pluem kemarin fikir-fikir, kayaknya belajar langsung di perusahaan sama Ayah akan jauh lebih menyenangkan. Gak semua anak dapet kesempatan kaya Pluem kan?” Tanya Pluem.

Tay tersenyum sumringah lalu menarik anak sulungnya masuk ke dalam pelukannya “makasih ya nak.”

“Sama-sama.” “Tapi nanti kalau Pluem mau ambil S2, jurusannya biar Pluem yang tentuin ya Yah?” Pinta Pluem pelan dalam pelukannya.

Tay menganggukan kepalanya “iya, apapun yang Abang mau.. Ayah akan dukung.”

“Maafin Pluem ya Yah.. Kemarin kata-kata Pluem mungkin nyakitin Ayah atau Papah.” Sesal Pluem begitu pelukan keduanya terlepas.

Tay menggenggam tangan anak sulungnya “kamu bener kok, kamu gak pernah minta di lahirkan untuk jadi anak pertama. Tapi Abang harus percaya, Tuhan gak pernah salah dalam memutuskan sesuatu. Ketika Tuhan memberikan Abang kesempatan jadi anak pertama, artinya Tuhan percaya bahwa Abang pasti mampu mengemban itu semua.”

“Abang gak harus jadi sempurna nak, Ayah juga gak pernah bisa jadi orang tua yang sempurna kok. Karena ini kali pertama kita jadi peran kita masing-masing.” Tay tetap menggenggam tangan anak sulungnya “maaf kalau ternyata Ayah malah menambah beban itu ya nak.. Abang itu selalu jadi pelajaran berharga buat Ayah.. Makasih ya nak untuk mau jujur sama Ayah, makasih udah selalu ngajarin Ayah hal baru untuk jadi orang tua yang lebih baik lagi.”

Pluem tersenyum “makasih juga Ayah selalu berusaha untuk belajar dan kasih kesempatan buat anak-anak Ayah.. Makasih ya Yah..”

“Jadi, malem ini pulang ya nak?” Pinta Tay kepada Pluem.

Pluem mengangguk “iya Yah.. Abang mau pulang.”

Tay pun tersenyum hangat menatap anak sulungnya lalu keduanya kembali saling memeluk.

—oura

“Orangtuamu tidak pernah ingin kamu menjadi seperti mereka tapi mereka ingin kamu menjadi lebih baik dari mereka.”

hi guys, mungkin setiap cerita ttg taynew dan anak-anaknya akan jauh lebih banyak dan cenderung ke pov atau keinginan anak-anaknya, jujur.. gue belum pernah jadi orang tua dan pasti akan lebih condong untuk menceritakan sisi keinginan dari anak-anaknya:“) semoga tetep bisa di nikmati dan tidak cringe atau aneh ya huhu

— Ruang Makan Vihokratana's

Ruang makan ini tak seberisik biasanya, Nanon duduk sebari menunduk menatap malas makan malamnya di sampingnya duduk Frank yang sama tak antusiasnya.

“Mau nambah gak Kak? Dek? Ini daging rendang nya masih banyak.” Tanya New yang duduk di sebrang kedua anaknya. Tak ada jawaban dari kedua anaknya sampai terdengar suara dehaman dari Tay yang duduk di tengah “Hmm.. Papah kalian tanya.”

Nanon dan Frank kemudian tersadar lalu segera mengangkat wajah nya menatap Tay dan New secara bergantian “ah, maaf.. Gak Pah, Adek udah kenyang.” Jawab Nanon pertama.

“Iya, Kakak juga udah kenyang. Makasih Pap.” Frank ikut menjawab.

New tersenyum terpaksa lalu mengangguk “yaudah, habiskan yang di piring kalau begitu.. Kalau sudah selesai langsung ke dapurin ya piring kotornya.”

Frank dan Nanon mengangguk sebari mencoba kembali mengunyah makan malamnya, sudah dua malam tidak adanya kehadiran anak sulung Vihokratana di rumah menjadi alasan keduanya sedikit tak bersemangat karena ini merupakan kali pertama pertengkaran yang cukup 'besar' antara Ayah dan juga Abang mereka yang mau tak mau sedikit mempengaruhi keduanya.

Tak lama, Tay pun berdiri dari duduknya. Dan memilih untuk meninggalkan ruang makan tersebut tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

New mencoba tersenyum kepada kedua anaknya “kalian habiskan makan malam nya ya? Nanti kalau sudah selesai, tolong minta Bi Ida buat beresin ya? Papah mau ke kamar ya?” Lalu segera berdiri dan menyusul suaminya.

— Kamar Ayah&Papah

New memasuki kamar miliknya dan mendapati suaminya tengah terduduk di tepi ranjang sebari menunduk dan memegang pelipisnya. “Hai Mas.. Kok tiba-tiba pergi?” Tanya New yang kini ikut duduk di samping Tay.

“Gapapa.” Jawab Tay singkat.

New mengelus punggung Tay lembut “anaknya lagi fokus selesain bab tiga dulu katanya, tapi kayanya bingung mau minta maafnya gimana.”

“Makannya gimana?” Tanya Tay.

New tersenyum “aman, hari ini aku kirimin dia ikan kesukaannya kok.. Dia di temenin sama Chimon juga.”

“Aku terlalu keras sama dia.” Lirih Tay.

“Kita.. Gak kamu doang kok.” “Masih ada kesempatan buat perbaikinnya kok Mas.” New masih mengelus punggung Tay lembut.

Tay menatap wajah suami manisnya lalu mengangguk “sama-sama terus ya Hin? Belajar terus sama aku buat jadi orang tua yang baik buat anak-anak.”

“Selalu sayang.” Jawab New sebari memeluk tubuh Tay.

— Apartment Pluem Purim

Chimon tersenyum hangat melihat Pluem kini tengah makan malam dengan lahap di hadapannya “pelan-pelan sayang.” Komentar Chimon sebari memberikan Pluem segelas air ke hadapan Pluem.

Pluem tersenyum “kamu gak mau makan?” Chimon menggelengkan kepalanya “aku udah makan tadi, kamu aja deh abisin.. Kangen kan pasti makan, makanan rumah?”

“Iya.” Jawab Pluem sendu.

“Bab 3 nya gimana? Udah acc?” Tanya Chimon.

Pluem mengangguk “udah, ini lagi mau lanjut bab 4.”

“Terus masih mau disini? Atau mau pulang?” Tanya Chimon kembali.

Pluem mengangkat bahunya “gatau, bingung.”

“Gausah bingung, kan kamu sendiri yang suka bilang.. Apapun harus di komunikasikan, kenapa gak coba di komunikasikan?” Chimon mendekati Pluem lalu mengelus punggung kekasihnya tersebut “kamu boleh marah, tapi Ayah sama Papah juga berhak tau alesan kamu marah kenapa.”

Pluem mengangguk pelan “iya.. Makasih ya Chi..”

“Sama-sama sayang, yaudah.. Makannya di abisin duluu.. Aku ke kamar duluan ya?” Ucap Chi pelan.

Pluem mengangguk “oke sayang.”

—oura