Paseafict

Sekarang Hyunsuk sudah berada di mobil merah mewah milik Jihoon. Perbincangan mereka dihiasi dengan lagu Sun Flower dari Rex Orange County.

Hyunsuk banyak tertawa mendengar cerita Jihoon. Baginya, semua yang ia ceritakan selalu bisa membuatnya lupa semua fakta. Salah satunya fakta bahwa sebenarnya wajahnya yang berseri bukan untuk Hyunsuk.

“Mmm, kira-kira kita beliin apa, ya?” Tanya Jihoon sambil menarik pedal rem tangan.

“Kamu mau ngasi kayak gimana dulu?” Tanya Hyunsuk sambil beranjak turun.

Kini mereka sudah berjalan di basement mall di pusat kota.

“Boneka?” Tanya Jihoon sambil merangkulkan tangannya di pundak Hyunsuk.

Hyunsuk sedikit kaget, bahkan dia sampai berhenti berjalan. Jantungnya berdetak kencang, dia takut Jihoon menyadarinya. Sejujurnya jalan berdua, dirangkul bahkan rambutnya diusap lembut bukan kali pertama baginya. Tapi jantungnya selalu saja norak seperti anak SMP yang baru pertama kali pacaran.

“Kenapa berenti?” Tanya Jihoon yang juga ikut berenti.

“E-engga,” jawab Hyunsuk gugup. “Lagian kenapa harus dirangkul-rangkul sih! Tangan kamu kan berat!” Ucap Hyunsuk langsung sambil melepas tangan Jihoon dari pundaknya.

“Kenapa si! Lo kan pendek, Bang. Jadi enak buat dirangkul.” Ucapnya sambil merangkul Hyunsuk lagi. “Kayak Mashiho,” ucapnya sambil menunjukkan deretan giginya dengan gigi taringnya yang sedikit panjang itu.

Hyunsuk sudah terbiasa sebenarnya. Terbiasa dengan semua perlakuan bucin gebetannya itu. Apapun yang dilihat pasti selalu ia kaitkan dengan Mashiho.

“Oh iya,” Jihoon mulai perbincangan setelah mereka sibuk melihat-lihat boneka.

“Kata Mashiho, lo ga suka di panggil 'Bang', ya?” Tanya Jihoon sambil mengambil boneka Snoopy.

“Eh? Tiba-tiba?” Tanya Hyunsuk kaget.

“Gua kan selama ini manggil lo 'Bang'. Ko gua ga tau?” Tanyanya lagi sambil berjalan ke deretan lain.

Kalo sama kamu mah aku ga masalah, Ji.

“Tuh udah tau, berarti udahan dong panggil 'Bang'!” Jawab Hyunsuk sambil mengikuti Jihoon dari belakang.

“Terus panggilnya apa dong?” Tanya Jihoon lagi sambil menatap Hyunsuk jahil. “Sayang?” Tanyanya lagi sambil mengangkat alis.

Boleh banget!

“Gila, kamu!” Hyunsuk memalingkan wajahnya takut ketauan bahwa sekarang mukanya merah padam.

Jihoon tertawa, kalo kata cewe-cewe namanya ketawa ganteng, “Ya, engga lah. Entar Mashiho marah kalo gue manggil yang lain sayang,”

“Alah, emang Mashiho juga mau dipanggil sayang?” Tanya Hyunsuk meledek, walaupun aslinya karena ia kesal.

Jihoon tersenyum malu, dia seperti kesemsem. Lalu dia sedikit mendekatkan wajahnya ke hadapan Hyunsuk seperti ingin berbisik.

“Gue udah jadian sama dia, Bang. Tanggal 16 kemaren,” jawabnya lagi sambil tersenyum malu.

Hyunsuk menatap Jihoon yang tak berhenti tersenyum itu dengan nanar. Jadi, benar-benar sudah kandas?

Hyunsuk mengepalkan tangannya. Dia marah, bukan pada Mashiho atau Jihoon. Tapi dirinya sendiri. Dia marah kenapa harus mencintai orang yang tidak mungkin membalas cintanya. Dia ingin pergi sekarang juga, senyuman di wajah manis Jihoon sudah tidak lagi sama. Justru membuatnya ingin memaki, karena tetap merasa hangat melihat senyumnya.

“Beli yang mana nih, Bang?” Tanya Jihoon. Hyunsuk tak menjawab apapun, dia masih melamun.

“Bang? Yang ini?”

“Bang?” Tanya Jihoon sambil menyenggol Hyunsuk. Hyunsuk hanya menoleh menatap boneka Snoopy di tangan Jihoon.

“Kata lu, Mashiho suka Snoopy, kan?”

Aku yang suka Snoopy, Jihoon. Mashiho cuma ikut-ikutan!

“Iya,”

Mereka akhirnya membeli boneka yang tadi Jihoon pilih. Sekarang mereka berada di toko kue kesukaan Hyunsuk. Dia semakin banyak diam.

“Mendingan yang kue hamster atau panda?” Tanya Jihoon pada Hyunsuk yang tentu saja sedang melamun.

“Mmm, hamster?” Tanya Hyunsuk kembali.

“Panda aja kali, ya? Mashiho kan panggil gue panda,” jawab Jihoon dengan nada menyombongkan diri.

Dih! Yang manggil kamu panda bukan Mashiho doang, ya! Lagi pula itu aku yang bikin panggilannya buat kamu! Lupa?!

“Iya, lucu tuh.”

Tangan Jihoon penuh dengan hadiah untuk Mashiho. Hyunsuk sangat gemas melihatnya dan berniat membantu.

“Engga usah, gue aja!” Tolaknya. “Oh iya! Karna lo uda temenin gue, jadi sekarang gue harus traktirin lo. Mau apa? Burger?”

Hyunsuk menggeleng cepat, “Aku mau pulang aja, Ji.”

“Udah, ga usah malu-malu. Biasanya juga malu-maluin lu, Bang.” Ucapnya sambil menarik tangan Hyunsuk paksa.

“Ji, please, udah ya?” Hyunsuk menolak tarikan Jihoon.

“Hah? Lo kenapa, Bang?” Tanya Jihoon dengan wajah yang sangat khawatir. “Lo cape?” Tanyanya lagi.

“Mau pulang,” jawab Hyunsuk pelan sambil menunduk.

“Oke, oke. Kita pulang, ya. Maafin gue jadi buat lo cape.” Ucap Jihoon sambil menggandeng tangan Hyunsuk menuju basement.

Hyunsuk menatap tangan Jihoon yang menggenggam tangannya erat. Hyunsuk menggigit bibir bawahnya kencang, dia tengah menahan tangis.

Hyunsuk kesal, sangat kesal. Hatinya memang lemah tapi jika perlakuan tuannya seperti ini, hati sekuat Mashiho pun akan menjadi lemah. Jihoon si*alan!@#?¡

“Loh, Bang?! Kenapa nangis?” Tanya Jihoon yang melihat Hyunsuk sudah menunduk dengan bahu bergetar.

“Maafin gue..,”

Hyunsuk masih diam.

“Gue ga panggil lu 'Bang' lagi deh,”

Hyunsuk tetap diam.

“Gue ga ngatain lu kayak babi lagi deh,”

Hyunsuk lagi-lagi diam.

“Gue ga—” ucapanyannya dipotong.

“Ga usah ajak aku kemana-mana lagi, Ji. Udah ya, aku pulang.” Ucap Hyunsuk sambil melepas tangannya dan bergegas pergi jauh-jauh dari hadapan Jihoon.

Hyunsuk tidak mengerti. Empat tahun mereka berteman, nongkrong, ke Bandung, ke Puncak, naik gunung, berenang di pantai, naik banana boot di Bali, semua sudah mereka lalui. Tapi hancur begitu saja hanya karena “cinta”?

Hyunsuk merapikan meja makan, dia menyusun ruang makan menjadi tempat pesta kecil-kecilan untuk anak bungsunya, Doyoung.

9.38 p.m

Hyunsuk sedikit cemas karena sampai sekarang pun anaknya belum pulang. Bahkan, kakaknya yang sedang nugas di kamar ikut khawatir. “Yah, Doy ko belum pulang?” tanya Jaehyuk, anak sulung Hyunsuk.

Hyunsuk melirik jam tangannya berkali-kali. Jaehyuk yang mengetahui bahwa ayahnya sedang khawatir mengambil inisiatif untuk menjemput adiknya di tempat kursus.


Jaehyuk melangkah sedikit tergesa-gesa. Dia menengok ke kanan dan ke kiri, barang kali ia melihat keberadaan adiknya.

“Maaf, Doyoungnya udah pulang kok dari tadi. Emang sedikit lemes si dia keliatannya ga kayak biasanya,”

Lima belas menit yang lalu guru kursusnya mengatakan itu pada Jaehyuk, paniknya bukan kepalang. Dia langsung bergegas menelepon adiknya sambil menyusuri daerah kursus dan perumahannya.

Lima belas menit setelahnya, dia tak melihat keberadaan Doyoung sedikitpun. Dia diam di perempatan, melirik jam di layar ponselnya. Pukul 10 lewat 10 menit.

ting!

Dia bahkan sudah mendapatkan notifikasi dari Hyunsuk yang semakin malam semakin khawatir. Dia buru-buru mencari-cari kontak di ponselnya.

Papa

Dan segera menekan ikon telepon.

“Halo, Pah! Doyoung nomornya ga aktif, dia juga ga ada di tempat kursusnya. Aku takut bilang ayah.”

“Gurunya bilang apa?”

“Bilangnya udah pulang dari tadi,”

Papanya sedikit memberikan jeda,

“Coba kamu ke tempat biasa dulu kita main basket, Jae. Papa ke sana juga,”

Setelah menutup telponnya, tanpa berpikir alasanya, dia sedikit berlari menuju lapangan luas di perumahannya. Sedikit jauh dari tempat Jaehyuk berada, tapi dia tak mengurangi kecepatannya.

Jaehyuk terkejut saat sampai, benar adiknya ada di sana dan bersama papanya, Jihoon.


Jihoon sudah beberapa kilo meter dari rumahnya. Belakangan ini dia memang banyak kerjaan, makanya dia sengaja pagi ini berangkat pagi-pagi sekali agar dia tidak pulang larut malam.

Jihoon memutar stirnya saat mendengar ucapan Jaehyuk. Dia tau, terlalu keras pada anaknya dapat berefek seperti sekarang ini.

Jihoon sampai di lapangan yang ia tuju, dia tersenyum simpul melihat anak bungsunya yang kini sudah berumur 17 tahun bersimpuh sendiri di lapangan basket sambil menatap ring.

Hatinya terenyuh saat dia melihat pundak Doyoung bergetar dan memeluk lututnya. Doyoung menangis, dan itu benar-benar menusuk hati Jihoon.

“Doy, ... “

Doyoung tidak menoleh, dia masih terus menangis. Jihoon mengambil langkah untuk ikut bersimpuh dan memeluk anaknya. Dia menahan sekuat tenaga untuk tidak ikut menangis.

“Maafin, Papa ya, Doy,”

Doyoung semakin kencang menangis di dalam pelukan papanya dan membasahi jas Jihoon dengan air mata.

“Doy cuma mau main basket lagi, Pah.” ucap Doyoung akhirnya sambil tersedu-sedu.

“Doy mau ikut kejuaraan lagi bareng Yedam, Haruto dan yang lainnya. Doy mau kaki Doy sembuh lagi, Pa. Doy ga mau PS 4, Doy cuma mau kaki Doy sehat lagi,”

“Doy, ...” kali ini Jahyuk yang melihat pemandanga di depannya yang memanggil Doyoung lirih.

“Kita bisa main basket bareng, Doy. Tapi engga dengan kejuaraan.” Jihoon merentangkan tangannya juga untuk mengajak Jaehyuk ikut berpelukan.

“Doy, prestasi kamu bukan cuma di basket, anak papa yang satu ini keren banget. Bisa main piano, bahkan udah sering diundang ke acara besar. Paling pinter di sekolah. Wah, Papa sih bangga banget. Dulu Papa paling susah ningkatin nilai, kerjaannya main mulu. Makanya, kamu sama Bang Jae tuh keren banget. Papa bangga banget sama kalian.” Jihoon diam sebentar menatap kedua anaknya bergantian.

“Sebesar apapun batu menghadang, air pasti terus bergerak mencari celah untuk keluar, Sayang. Kita harus seperti air, jangan biarin kaki kamu yang seperti ini menjadi batu buat keahlian kamu yang lain, oke?” Doyoung yang mendengar perkataan papanya mengangguk pelan.

“Aduh, pinter banget anak-anak Papa.”

Mereka bertiga berpelukan tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir salah satunya. Sampai ponsel Jihoon berdering.

“Doy belum ketemu, Pa?” tanya Hyunsuk sambil tersedu-sedu. Jihoon tertawa renyah.

“Engga, kok. Doy abis beli kado sama papanya,” ucap Jihoon sambil mengedipkan sebelah mata pada Doyoung.