Paseafict

Jihoon baru saja datang sepuluh menit yang lalu, tapi rusuhnya sudah membuat Hyunsuk geram tidak terkira.

“Itu, tuh, Kak!”

“Ih! Jawabannya yang itu! Gimana, sih! Aku baru belajar itu kemaren, tau! Gini, nih,” ucap Jihoon sambil merebut pensil dari tangan Hyunsuk.

Hyunsuk memperhatikan dengan sabar meskipun sedikit berdecak sebal. “Ih, ko ga ketemu sih jawabannya, soalnya salah kali, nih!” gerutu Jihoon saat melihat pilihan jawaban dari buku di depannya.

Hyunsuk menghela napas pelan, “Kamu kebalik masukin jari-jarinya, seharusnya yang ini dikali dua,” ucap Hyunsuk sambil menulis ulang rumus-rumus dan angka-angka yang tadi diacak-acak oleh Jihoon.

“Nah, nah, nah. Itukan dikuadratin,” Jihoon mengoreksi sambil menghapus dengan penghapus.

“Oh iya!” Hyunsuk cengengesan. Gemes banget sampai-sampai Jihoon mencubit pipinya pelan. “Berarti, ini A per empat. Dimisalin P, ini Q.” Hyunsuk bermonolog.

Mereka berdua diam. Membuat buku yang mereka pandang salting sangking intensnya menatap angka-angka yang tak ada hasil itu.

Hyunsuk menghela napas pasrah, “Udah, deh. Yang ini aku tanya pas konsul aja.”

Jihoon masih menatap dengan intens, mengoreksi lebih jeli. Hyunsuk sudah berpindah ke soal lainnya.

“NAH!” Seru Jihoon saat menemukan akar permasalahan. “Ini masa tiga pangkat dua jadinya enam!”

“Oh iya! Berarti ada dong jawabannya!” seru Hyunsuk kesenengan. “Pinter banget deh pacar aku!” ucap Hyunsuk sambil mencubit gemas kedua pipi Jihoon.

Jihoon tersenyum malu. Wajahnya tidak merah. Tapi telinganya merah padam. “Iya, dong! Kan aku anak mentornya Kak Yoshi. Guru inten mah lewat.” ucap Jihoon sombong.

Hyunsuk tertawa renyah, “Yaudah, besok-besok aku minta diajarin Kak Yoshi aja,”

“Yee! Enak aja! Kakak mah belajarnya sama aku aja. Ngapain sama Kak Yoshi! Pengen genit?!” Balas Jihoon dengan sewot.

Hyunsuk tertawa melihat Jihoon yang memalingkan wajah karena cemburu. “Udah, deh. Sana belajar sama Kak Yoshi aja! Aku mau nonton aja,” ucap Jihoon sambil berjalan ke kasur Hyunsuk.

Hyunsuk melanjutkan soal-soal yang bisa memberikan efek mual, pusing, mulas, dan jantung berdebar pada siapapun yang mengerjakannya.

Lima belas menit, Jihoon sudah menemukan sinetron kesukaannya. Dia tertawa terbahak-bahak saat suasana film sedang sedih, dan menggerutu saat suasana film sedang tegang.

“Emang dasar senetron. Bisa-bisanya ada orang bego banget kayak gitu. Hidih. Bisa naek darah gua nonton ini.” Gerutu Jihoon sebelum menoleh ke arah Hyunsuk yang menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal.

Jihoon menghampiri Hyunsuk yang tampak sudah sangat frustasi hanya dengan beberapa soal. Ternyata itu juga efek samping dari buku bank soal yang dia beli di toko buku. Seharusnya ada lebel merah di kemasannya, bertanda obat keras. Bener-bener bikin mual, pengen muntah, dan segala macem.

Jihoon menggenggam tangan Hyunsuk yang sedang menggenggam pensil. Hyunsuk menatap Jihoon bingung. Jihoon mengusap tangan Hyunsuk pelan sebagai jawabannya, dan memberikan senyuman termanis yang ia punya.

“Kak,” panggil Jihoon pelan. Dia sedikit menunduk, agar pandangan mereka sejajar. “Jangan terlalu dipaksain, ya. Otak Kakak juga perlu istirahat. Tidur aja ya sekarang.” ucap Jihoon sambil menepuk bahu Hyunsuk pelan.

cup!

Jihoon mengecup kepala Hyunsuk singkat.

“Aku pulang ya, Kak!” ucap Jihoon sebelum Hyunsuk protes dengan serangan tiba-tibanya. Tawa Jihoon menghilang saat pintu kamar Hyunsuk tertutup.

Hyunsuk diam beberapa saat. “IH! JIHOON KURANG AJAR! DISURUH TIDUR TAPI DIA MALAH GITU! GIMANA GUA BISA TIDUR?!! MAMA!!!”

Jihoon menyerahkan uang sepuluh ribu lembaran sambil mengucapkan terima kasih singkat. Dia membawa somay kuah sesuai Haechan pesan.

Jihoon menghela napas pelan. Dia melihat orang-orang menyebalkan itu berjalan ke arahnya.

Jihoon pura-pura mengabaikannya, namun mereka bertiga seakan-akan menghadang jalannya. Yeonjun menyenggol makanan di tangan Jihoon, sampai kuahnya berserakan menengenai sepatunya.

“Ups, sorry, ga sengaja,” ucap Yeonjun yang tertawa puas. Persis seperti peran antagonis di sinetron s*tv.

Jihoon geram sekali. Dia rasanya ingin melempar sisa kuah dan isinya ke wajah jelek Yeonjun. Um, sebenarnya Yeonjun tidak sejelek itu, tapi jika dibandingkan dengan Jihoon ... tetap tampanan Yeonjun, sih.

“Jihoon!” Panggil seseorang di belakangnya. Jihoon menoleh kearah suara. Dia melihat Hyunsuk yang menggeleng dari kejauhan.

Jihoon menggeram, dia menumpahkan isi yang ada di mangkok plastik itu ke atas sepatu Yeonjun. Setelah melakukan itu, dia balik kanan menuju kantin kembali. Mengabaikan seruan Yeonjun dan teman-temannya, atau Hyunsuk yang menatapnya lesu.

“Ji, kak Jimin bilang, jangan berurusan lagi sama dia, Ji.” Ucap Hyunsuk sambil berlari kecil mengikuti langkah Jihoon.

“Dia yang nyari urusan sama gua!” Ucap Jihoon dengan ketus lalu pergi dengan langkah yang lebih cepat, sampai Hyunsuk tertinggal dengan kaki kecilnya.

“Lama amat buset, Ji. Itu lu belinya sambil ngocok arisan, ya?” Tanya Haechan setelah sampai di kelas dengan somay kuah yang baru juga.

“Loh? Sepatu lu kenapa, Ji?” Tanya Jaehyuk yang me-notice sepatu Jihoon yang kotor.

Jihoon tak menjawab pertanyaan dari Jaehyuk ataupun dari Haechan—yang tidak masuk akal sama sekali.

“Yeonjun lagi?” Tanya Jeno sambil tetap fokus dengan layar ponselnya. Bukan Jihoon yang menoleh, justru Jaehyuk dan Haechan yang menoleh ke arah Jeno.

Jihoon berdeham pelan, mengiyakan.

“Tu orang, lama-lama minta ditendang juga ya palanya.” Ucap Haechan dengan mulut yang penuh dengan somay.

“Makan aja dulu yang bener,” ucap Jaehyuk.

Tiga sekawan yang sangat Jihoon benci kehadirannya datang ke kelasnya. Jihoon berdecak kesal. Dia menutup matanya sambil melipat tangannya di dada. Berusaha untuk tidur.

Jeno bangun dari duduknya. Dia mendorong Yeonjun dengan berani. “Ga usah ganggu-ganggu Jihoon,” ucap Jeno pelan.

“Aduh, anak manja dibelain sama sahabat baiknya,” ucap Yeonjun sambil menekankan kalimatnya.

“Heh! Geuleuh! Maneh tuh yang anak mamih! Nilai jelek aja apa-apa mamih! Mamih!. Yee, goblok mah goblok aja, ga usah mamih-mamih.” Seru Haechan sampai logat sundanya keluar.

Yeonjun ingin menghampiri Haechan, namun Jeno menahan langkahnya. Jeno menatap Yeonjun dengan tajam. Tidak ada wajah Jeno yang manis dan lugu sekarang. Hanya ada wajah yang seram dan ... tampan xixi.

Yeonjun tersenyum sinis, “Ko lo mau aja sih, Jen. Jadi body guardnya mereka-mereka yang bego ini. Mending gabung sama gua, lo bisa join sirkuit tanpa perlu tes. Lo bisa menang sirkuit juga dengan mudah.” Ucap Yeonjun sambil menatap remeh ke tiga orang di belakang Jeno.

Sorry, kita temen. Bukan pencitraan kayak lo bertiga. Lagi pula, mau lo nyogok sebanyak apapun, lo ga akan menang ngelawan Jihoon,” balas Jeno sambil tersenyum sinis dan menatap jijik ke arah dua kacungnya Yeonjun.

Bug!

Yeonjun meninju pipi kanan Jeno. Tidak kencang, tapi pipi Jeno sedikit memerah karena itu.

Jihoon berdiri dari posisinya. Dia benar-benar geram kali ini. Memangnya salah dia jika menang di sirkuit? Seharusnya dia menyalahkan kemampuannya yang nol dalam balapan.

“Ji, jangan, Ji.” Ucap Jaehyuk pelan. Jaehyuk menghampiri Jeno dan menangkannya.

“Udah deh, Jun. Bentar lagi masuk, dari pada kalian bertiga babak belur sama Jeno sama Jihoon.” Ucap Jaehyuk sambil menarik Jeno dan Jihoon kembali duduk.

Yeonjun ingin kembali meninju Jaehyuk. Namun tangannya di tahan oleh Renjun, ketua kelas mereka yang berbadan kecil tapi sangat mengerikan. “Ga usah ngerusuh di kelas gua bisa? Muak gua liat lu! Sana keluar! Jangan dateng-dateng ke sini lagi. Kalo mau berantem di sirkuit lu aja sana!” Ucapnya dingin.

Yeonjun pergi dari kelas mereka. Tak semua seisi kelas memperhatikannya, mereka sudah sangat terbiasa dengan kondisi seperti ini. Namun banyak sekali mata yang mengintip dari balik jendela atau celah pintu yang terbuka.

Jihoon mengunci mobil mewahnya dan mengancing setelan jasnya dengan gugup. Ini bahkan bukan pernikahannya, tapi dia sangat gugup.

Dia melangkah pelan memasuki gedung dengan ornamen-ornamen pernikahan. Sangat mewah. Konsepnya mengingatkan dia dengan angan-angannya dulu.

“Ji, nanti kita pake lampu itu ya nikahannya. Ih, liat ni, bagus banget, kan?”

Jihoon tertawa pelan mengingat ucapan mantan kekasihnya, Hyunsuk. Pria mungil itu terlihat sangat antusias setengah menari di atas panggung bersama pasangannya.

Jihoon duduk di antara para tamu. Memang sedikit nyaru, tapi ketampanannya selalu membuat Hyunsuk salah fokus. Wajah Hyunsuk yang semula memerah karena senang, kini sedikit canggung. Senyuman tipis terulas di wajah Jihoon saat pandangan keduanya bertemu.

Jihoon membanting hpnya kasar di kasur. Dia bergegas keluar kamar, mengambil air dingin. Membicarakan tingkah Yeonjun membuat tenggorokannya kering.

Jihoon berpapasan dengan Hyunsuk yang juga keluar dari kamar yang ada di sebrang kamar Jihoon—itu kamar Kak Jimin.

Jihoon menatap Hyunsuk tajam, yang ditatap sedikit kikuk, lalu menggeleng cepat, “Aku ga ngomong apa-apa ke Kak Jimin. Serius,” ucapnya sambil menunjukkan dua jari—peace.

Jihoon menatap Hyunsuk lebih tajam sekarang, tatapan seperti harimau yang ingin menerkam rusa di hadapannya. Jihoon kembali bergegas mengambil air dingin di dapur.

Hyunsuk mengikuti Jihoon perlahan, dia seperti ingin mengatakan sesuatu. “Kenapa?” Tanya Jihoon dingin.

“Umm, itu, Kak Jimin tadi dipanggil ke sekolah, katanya. Trus tadi aku ditanyain soal masalahnya. Aku ga tau apa-apa, Ji. Aku ga ngomong apa-apa, sumpah. Aku juga baru tau dari Kak Jimin.” ucap Hyunsuk terbata-bata karena gugup.

Jihoon tak menjawab apapun, dia memutar bola matanya malas sebagai jawabannya. Dia meninggalkan Hyunsuk begitu saja.


00.44

klek

Pintu kamar Jihoon dibuka. Jihoon belum tidur bahkan dari satu setengah jam yang lalu saat dia menutup matanya. Jihoon mendesah pelan, itu pasti kakaknya atau papanya. Tidak mungkin Hyunsuk seberani itu masuk tanpa mengetuk pintu.

Jihoon mendengar suara barang yang diletakkan di meja kecil samping ranjangnya. Terdengar seperti suara kunci motor, Jihoon lantas menoleh secara refleks.

Kak Jimin tersenyum manis, “Ini si Jagoan udah dibalikin sama papa,” ucapnya sambil duduk di sisi ranjang Jihoon yang kosong. “Kakak tau semuanya, dan Kakak pastiin papa ga tau. Kakak percaya, Ji. Kamu ga mungkin nakal sampe kayak gitu. Tapi Kakak minta jangan berurusan lagi sama si Yeonjun itu.” Jimin berhenti sebentar, mengelus kepala Jihoon pelan.

“Kakak ga mau sampe papa tau semuanya. Papa pasti kecewa banget—walaupun kamu cuma difitnah. Semuanya udah clear, kamu belajar aja ya, yang rajin,” lanjut Jimin dengan senyuman termanisnya sebagai penutup ucapannya.

Jihoon diam-diam merasakan sesuatu yang hangat di dalam hatinya. Dia tersenyum tipis. Bukan karena dia dibela oleh kakaknya, hanya saja dia akhirnya merasakan sesuatu seperti, kasih sayang?

“Mama...” panggil Jihoon pelan dalam tidurnya.


Jihoon terbangun. Sekelilingnya penuh dengan serpihan kaca dan darah. Dia melihat dirinya dan mama yang tergeletak tak berdaya.

“Mama—” Jihoon kecil bersuara pelan. Dia hanya bisa menggapai telunjuk mamanya.

“Jihoon, anak baik. Jangan nangis, ya. Pak pemadam pasti tolongin kita—”

“Tapi, tapi, kaki kita di atas, Ma. Kepala kita di bawah. Jihoon takut, Ma. Mama berdarah banyak.” Potong Jihoon kecil yang sudah menangis kencang.

“Mama gapapa, Sayang.” Mamanya mengeratkan telunjuk mereka, meyakinkan jika dia memang baik-baik saja. “Jihoon jangan nangis, ya. Kalo Jihoon nangis nanti Mama jadi sakit.” Lanjutnya sambil meringis.

Jihoon kecil menghapus air matanya cepat menggunakan tangan kirinya yang bebas. Dia melihat mamanya yang mulai terpejam, akhirnya ikut terpejam.

Jihoon seperti melihat layar besar dengan adegan yang tidak pernah bisa ia lupakan. Dia terduduk sambil menjerit memanggil mamanya.


Jihoon benar-benar terbangun kali ini. Napasnya menderu sangat kencang. Keringatnya bercucuran meskipun cuaca sangat dingin. Kita biasa sebut ini erep-erep. Tapi, Jihoon selalu dengan mimpi yang sama.

Jihoon jadi membenci tidur. Bahkan tidur jadi sangat melelahkan.

Setelah mimpi itu, Jihoon pasti selalu menyesali banyak hal. Pasti. Dia pasti akan mengumpati dirinya sendiri karena merengek saat itu. Jalanan bersalju, tapi dia merengek minta pergi bertemu papa dan Kak Jimin.

Jihoon meremas rambutnya kuat-kuat. Sekuat tenaga dia menahan untuk tidak menangis. Jihoon jangan nangis, ya. Kalo nangis nanti Mama makin sakit. Kalimat itu selalu berputar di kepalanya setiap dia ingin menangis.

Jihoon beranjak dari kasurnya. Berjalan susah payah sambil menekan dadanya. Sangat sesak. Dia mengambil air dingin yang ada di kulkas. Bernapas lega saat sesaknya hilang.

Jihoon mendengar langkah kaki, namun dia tetap terduduk di lantai.

“EH! AYAM COPOT!” Hyunsuk berteriak kaget. “Ya ampun! Ji! Aku kirain tuyul ngobok-ngobok kulkas!” Seru Hyunsuk yang hanya dijawab tatapan tajam dari Jihoon.

Hyunsuk sedikit kikuk, dia menunjukkan tumblr-nya. “Aku mau ambil minum, lagi belajar.” Jihoon berdiri dengan kulkas sebagai tumpuannya.

Hyunsuk menahan gerakan Jihoon. Pelan, Hyunsuk merapikan rambut Jihoon yang berantakan. Jihoon menahan tangan Hyunsuk. Kejadian yang cepat, dan membuat jantung Hyunsuk juga berdetak lebih cepat.

deg deg deg, deg deg deg

Hyunsuk menelan ludah dalam.

“Sana! Lanjut belajar!” Ucap Jihoon sambil melepas tangan Hyunsuk kasar, dan berlalu.

“Apaan sih, bikin kaget aja. Kirain aku mau dibanting sama dia. Lagian ... tidur lasak banget rambutnya ampe kayak orang gila gitu, eh—” Gumam Hyunsuk yang terputus karena Jihoon melirik ke belakang—kearahnya.

Jihoon mengikat tali sepatunya erat-erat. Dia terduduk di kursi terasnya. Berdecak untuk kesekian kalinya. Dia masih menatap layar ponselnya. Jaehyuk terlalu malas datang lebih pagi, entah apa alasannya. Jeno dan Haechan rumahnya terlalu jauh. Hyunsuk? Tentu aja gengsi.

Gerbang besar tingginya tiba-tiba terbuka. Menampakkan kakak kelas sekaligus teman sekelas Hyunsuk yang janji untuk pergi bersama. Jihoon mengerutkan keningnya, pertanyaannya terjawab saat Hyunsuk bergegas keluar. Mengenakan sepatu sambil berlarian.

“Eh?” Hyunsuk hampir terjatuh saat melihat Jihoon di teras.

“Maaf, Ji. Motor aku lagia da di bengkel. Trus Yoshi nawarin berangkat bareng. Aku duluan, ya!” Ucapnya sambil melambaikan tangan.

Jihoon ingin mengigit sesuatu rasanya. Geram sekali. Trus gua sama siapa??!?! gerutunya dalam hati. Dia harus naik angkot? Jalan 800 meter untuk sampai depan jalan raya dan menunggu angkot?

“Ayo!” Ucap Jimin sambil berlalu. Jihoon masih diam di tempatnya.

“Ayo! Nanti telat!” Seru Jimin lagi. Jihoon bergegas mengambil tasnya dan berlari kecil mengejar kakaknya.

Jimin tersenyum simpul. Bagaimanapun juga, Jihoon selalu menjadi adik kecil manisnya.

Jimin tertawa sambil mengelus lembut pucuk kepala Jihoon. Senyum di wajah Jihoon langsung menghilang. Dia berdecak, “Aku bukan anak umur lima tahun lagi, Kak!” Serunya protes.

Dua puluh lima menit lagi bel masuk sekolah berbunyi. Jihoon sedikit was-was. Prinsipnya, lebih baik tidak sekolah dari pada harus telat sekolah.

“Kamu mau minum-minum, Ji?” Tanya Jimin random. Dia memang buruk dalam hal mencairkan suasana.

“Dompet aja ga ada,” ucap Jihoon singkat.

“Berarti benerkan mau minum? Mabok-mabokkan,” ucap Jimin lagi. Lama-lama ini seperti introgasi dadakan.

“Ya, engga—” Jihoon menjawab pelan.

“Kakak liat di twitter kamu,” jawab Jimin sambil tertawa jahil.

Jihoon sedikit kikuk, “Ya, bercanda doang, Kak. Astaga.” Jawab Jihoon gugup.

Ini biasanya kakak gua ga perna nanya-nanya soal beginian. Ko jadi serem, sih.

“Ih, Kak. Jangan kepoin twitter Jihoon, dong!” Seru Jihoon akhirnya. “Biarin, Jihoon ganti akun,” ucap Jihoon sambil memalingkan wajahnya.

Jimin tertawa gemas, lihat kan? Dia memang adik kecilnya. “Iya, engga lagi. Lagian kalo pengen mabok beneran juga gapapa,” ucap Jimin setelahnya.

Jihoon menatap Jimin tak percaya. “Ya, asal maboknya sama, Kakak.” Ucap Jimin sambil melirik Jihoon.

Muka Jihoon langsung berubah, “Idih, ogah,” ucapnya sambil menatap jalanan. Jimin tertawa puas. Emang adek sama kakak sama aja.

Jihoon menunggu pintu rumah Hyunsuk terbuka dengan perasaan gelisah. Kalian semua tau, memang seharusnya dia senang karena memiliki kesempatan lagi. Tapi, perasaan dan pikiran Hyunsuk pasti sedang kacau sekarang. Jihoon pun ikut kacau.

Klek

Pintu terbuka pelan, menampakkan pria bertubuh mungil yang menunduk dalam. Jihoon menatapnya prihatin.

Lihatlah! Matanya yang selalu berbinar seperti bayi itu memudar. Wajahnya yang selalu bersinar terang sekarang redup. Rasanya Jihoon ingin sekali menendang perut Yoshi sekarang juga.

“Ji—” panggil Hyunsuk dengan suara lemah.

Jihoon menarik pria mungil yang selalu ingin ia jaga ke dalam pelukannya. Jihoon mengusap pucuk kepala yang lebih kecil dengan pelan. Membiarkan kaos putih polosnya basah karena air mata orang yang ada di pelukannya.

Cukup lama mereka berpelukan, di depan pintu. Sampai isakan Hyunsuk reda, dan membuka suara. “Ji, kenapa kita di depan pintu, sih?”

Jihoon tertawa renyah, “Lagian, Kakak buru-buru aja langsung minta peluk,” canda Jihoon.

Mereka berakhir di sofa tempat favoritnya. Sambil menatap layar televisi dan pundak Jihoon sebagai senderan ternyaman untuk Hyunsuk.

Jika televisi bisa berbicara, mungkin dia akan terus mengomel. Jelas dia akan marah pada dua manusia yang menatapnya namun pikirannya saling berlarian.

Kesekian kalinya Jihoon menatap kepala yang ada di bahunya. Jihoon juga tidak mengerti. Sejak kapan. Dengan alasan apa. Dia hanya mengerti jika ini adalah cinta.

Hyunsuk bangun perlahan, membenarkan posisinya agar menatap Jihoon lebih leluasa.

Lima detik. Lima belas detik. Satu menit. Tiga menit. Mereka terus menatap satu sama lain. Sayangnya, maksud dari tatapan keduanya berbeda.

“Ji,”

“Hm?” Jihoon hanya berdeham pelan sambil mengalihkan pandangannya.

“Janji sama aku, ya.” Ucap Hyunsuk sambil menunjukkan jari kelinglingnya, lantas mengambil jemari indah Jihoon dan mengaitkan kelingking mereka berdua.

“Ini janji apa?” Tanya Jihoon bingung.

“Janji kita ga akan berakhir kayak aku sama Yoshi. Aku ga mau sampe kita suka satu sama lain, trus berakhir benci. Kamu satu-satunya sahabat aku, Ji.” Ucap Hyunsuk sambil tetap mengaitkan jari kelingking mereka.

Rasanya seperti dihantam sesuatu yang begitu besar. Dada Jihoon terasa sangat sesak. Di mata Hyunsuk, Jihoon benar-benar tidak lebih? Dia tidak mengerti. Memang Hyunsuk yang tidak pernah peka, atau memang Jihoon yang pengecut.

Mungkin keduanya.

Dengan susah payah Jihoon tetap mengutas senyum. Dia mengangguk pelan tanda setuju, membuat Hyunsuk tersenyum senang.

“Iya, aku bakalan selalu ada buat Kakak, sebagai sahabat—” ucapannya menggantung.

Jihoon lama diam, lalu kembali mengangguk. Meyakinkan diri sendiri.

“Iya, Kak. Sebagai sahabat,” ucapnya sambil kembali mengaitkan jari kelingking keduanya.

Bagi Jihoon, itu bukan masalah. Mereka bahkan bisa sedekat ini sejak lima tahun yang lalu. Jihoon bisa tahan perasaan ini bertahun-tahun lamanya.

Lagi pula, ini lebih baik daripada harus merasa kehilangan, kan?

Jihoon tersenyum kecut melihat Hyunsuk yang tersenyum sangat lebar. Sebahagia itu dia bersahabat dengan Jihoon.

Jumat...

“Anjay!! Bang jago!! Keren banget semalem!” Seru Haechan saat Jihoon baru saja sampai di dalam kelas. Jihoon tersenyum bangga mengingat semalam dia menang telak melawan Yeonjun di sirkuit balap.

“Minggu depan berarti lawan si Jaguar dong, Ji?” Tanya Jeno sambil merangkul pundak Jihoon.

Jihoon mengangguk, “Dia ga minta taruhan apa-apa pula.” Ucap Jihoon sambil merapihkan tasnya.

“Jangan-jangan,” Haechan menggantungkan ucapannya. “Jangan-jangan apa, Nyet?” Tanya Jeno tidak sabaran.

“Jangan-jangan taruhannya yang kalah dikeroyokin, Ji. Diakan gengster-gengster gitu, hih.” Lanjut Haechan sambil bergidik ngeri.

Jihoon tertawa, “Bagus lah, kita keroyokin balik.”

Jeno dan Haechan saling tatap, “Sinting lo!” Ucap Jeno. “Idih, ogah gue babak belur nolongin lu. Mending gua rebahan di rumah,” ucap Haechan setelahnya.

Kring!!

Bel pelajaran pertama sudah berbunyi. Kursi Jaehyuk masih kosong. Sudah pasti dia sedang ada di lapangan bersama geng telatnya.

“Selamat pagi, anak-anak.” Sapa Pak Jhonny, kesiswaan mereka. Semua murid di kelas kebingungan, karena sekarang jam pelajaran Matematika, milik Pak Joshua.

“Bapak menemukan rokok di salah satu loker kalian,” ucap Pak Jhonny sambil mengeluarkan rokok dari dalam kantong barang sitaan.

Seisi kelas menoleh ke arah fantastic four yang duduknya di deretan belakang itu. Jeno dan Haechan justru ikut saling bertatapan.

“Elo, Jen? Anjir berani banget lo!” Bisik Haechan. “Boro-boro anjir, bensin buat si Mei aja gua pas-pasan,” balasnya juga berbisik. “Wah, berani banget lo, Ji. Asma lo kambuh baru tau rasa lo, Ji.” Lanjut Hacehan lagi pada Jihoon.

Jihoon mengernyit, “Lo pernah liat gua ngerokok emang? Aneh!” Jawab Jihoon yang ikut berbisik.

“Terus siapa anjir?! masa Jae?? Bakwan aja masi ngutang, apa lagi rokok.” ucap Haechan lagi.

“Jihoon!” Panggil Pak Jhonny sebelum Haechan kembali berbisik.

“Hah?!” Haechan berteriak kaget. “Ga mungkin Jihoon, Pak. Dia bahkan punya asma.” Ucap Jeno sambil mengangkat tangan.

“Jeno, Haechan, jangan belain dia. Kamu, Jihoon, ikut saya.” Ucap Pak Jhonny sambil menatap tajam Jihoon. “Maaf mengganggu waktunya, semua. Selamat pagi.” Ucapnya sebelum keluar kelas dan disusul Jihoon.

Semua orang ramai membicarakan Jihoon.

“Wah! Dia ternyata asma? Tapi dia ngerokok?”

“Emangnya kenapa? Ga ada masalah tuh! Emang selalu cari perhatiankan anaknya?”

“Dia ga diperhatiin kali ya sama ortunya? Ih serem,”

“Iya, mungkin. Orang kerjaannya tiap malem balapan sama mabok, kan?”

“Kasian banget orang tuanya, ih.”

Bug!

Jeno memukul meja kencang, dia tersenyum memaksa saat seisi kelas melirik ke arahnya, “Eh, sorry, tadi ada kecoa, jadi gua pukul deh,”

Haechan berdiri dari mejanya, menghampiri dua perempuan yang tadi membicarakan Jihoon, “Neng, kalo mau gibahin orang sono ke insert aja, tau tempat juga dong, ngomongin orang di depan temennya, gelo! Sono buka lambe turah aja!”


Pak Jhonny lagi-lagi membanting rokok yang masih disegel bersih, Jihoon menatap Pak Jhonny dengan berani. Ini yang kesekian kalinya Jihoon berada di ruangan 2x2 meter itu.

“Celana dikecilin, bolos, tugas ga ngumpulin, sekarang apa? Rokok? Tolong jangan kayak orang yang tidak diurus ibunya, Jihoon.” Pak Jhonny menatap Jihoon tak habis pikir. Jihoon balas menatap tajam.

“Saya tau kerjaan kamu di luar sekolah seperti apa, tapi saya sudah wanti-wanti kamu dari kelas 1, Jihoon. Jangan bawa perlakuan buruk kamu itu ke sekolah. Jangan mencoreng nama baik sekolah kita karena perlakuan buruk kamu itu,” lanjut Pak Jhonny lagi.

“Pertama-tama surat peringatan, saya panggil orang tua kamu ke sekolah. Untuk hukumannya, setelah orang tua kamu menghadap ke kepala sekolah.” ucap Pak Jhonny sambil mengambil langkah untuk duduk di kursinya. “Silahkan kembali ke kelas,” ucapnya tanpa menatap Jihoon barang sekalipun.

“Saya bisa membela diri, Pak?” tanya Jihoon setelahnya.

“Mau bela apa lagi?” tanya Pak Jhonny sambil menatap Jihoon malas.

“Bapak ga lihat saya secara langsung megang rokok itu, kan?” tanya Jihoon dengan beraninya.

“Tapi rokok ini ada di loker kamu, Jihoon.” jawan Pak Jhonny dengan sabarnya.

“Tapi kenapa Bapak bisa langsung tau kalau ada sesuatu di dalam loker saya?” Tanya Jihoon lagi bahkan sekarang dia sudah maju beberapa langkah mendekat ke meja Pak Jhonny.

“Bapak ga curiga? Sama orang yang laporin saya?” Tanya Jihoon lagi saat Pak Jhonny tak menjawab apapun.

“Bapak pasti lihat sendiri, di dalem loker itu cuma ada rokok. Karena saya ga perna gunain loker itu, bahkan saya udah bayar denda ke koperasi karna kuncinya ilang,” lanjut Jihoon lagi sambil mengangkat bahunya santai. “Bapak bisa periksa ke koperasi kalo Bapak penasaran,”

Jihoon menutup mulutnya terkejut, melebih-lebihkan, “Jangan-jangan, Pak, yang sebenarnya merokok, orang yang ngelaporin saya,”

Pak Jhonny menghela napas panjang, “Sudah, kamu kembali ke kelas, soal Yeonjun, saya periksa lagi nanti. Lama-lama saya bisa jadi detektif kalo kayak gini,” ucap Pak Jhonny sambil melambai-lambaikan tangan mengusir Jihoon.

Jihoon tetap diam di tempatnya, “Satu lagi, Pak.” ucap Jihoon yang dibalas tatapan binung oleh Pak Jhonny.

“Tolong jangan bawa-bawa keluarga saya, apa lagi ibu saya, ini cuma urusan Bapak sama saya. Terima kasih, Pak.” ucapnya sebelum membungkuk dan balik kanan meninggalkan ruang kesiswaan.

“Astaga! Anak jaman sekarang kelakuannya. Ngurusin anak SMA kayak ngurusin tersangka. Bener kata mama dulu, gua harusnya jadi polisi aja,” gerutu Pak Jhonny sesaat setelah Jihoon menutup pintunya.

Ruang makan keluarga Park dipenuhi dengan suara garpu dan sendok yang beradu dengan piring. Mereka makan dengan hikmat, tidak ada pembiacaraan apapun. Seketika Park Seojun, membuka suara.

“Kamu udah hubungin Jihoon, Suk?”

Hyunsuk yang semula hanya mengaduk makanan tak selera, langsung mendongakkan kepalanya. “Udah, Pa.” jawabnya gugup.

“Tenang aja, Pa. Jimin yakin Jihoon ga akan macem-macem, ko. Dia mungkin nginep di rumah Jaehyuk atau Doyoung.” lanjut Jimin yang menyadari Hyunsuk gugup.

“Mana mungkin Papa bisa tenang kalo dia ga pulang dua hari,” ucap Seojun sebelum menyuap makanan ke mulutnya.


Motor Jihoon membelah jalanan lenggang. Dia telah sampai di depan pagar rumahnya yang tinggi dan besar—terlihat persis seperti penjara baginya. Pagar itu terbuka dan Jihoon langsung menjalankan motornya pelan.

Jihoon masuk ke rumahnya dengan malas. Dia sedikit terkejut melihat Seojun dan Jimin yang duduk di ruang tamu—seakan-akan menunggu kehadirannya.

“Kamu abis dari mana aja?” tanya Seojun sambil melipat tangannya di dada.

Jihoon hanya diam balas menatap papanya. Dia masih mengenakan seragam hari Jumat. Jika ada pertanyaan dia habis darimana. dia sangat bingung menjawabnya. Pasalnya dia pergi ke banyak tempat dua hari ini. Entah rumah Jaehyuk, rumah Doyoung, entah bar, entah sirkuit balap.

“Kamu udah bosen jadi anak Papa, hm?” tanya Seojun lagi. Jihoon menatap Seojun dengan tatapan tajam. Dia tersenyum puas lantas menjawab “Udah.” dengan beraninya.

Seojun berjalan menghampiri Jihoon santai, sedetik kemudian dia melayangkan tamparan yang cukup kuat tepat pada pipi kanan Jihoon.

Jihoon menyeringai, Jimin sudah menahan papanya takut melayangkan tamparan yang lebih kuat. Hyunsuk menatap keributan itu dengan mata berkaca-kaca, dia lalu menghampiri dan menenangkan papanya.

“Udah, kamu ke kamar sana. Abis itu minta maaf sama papa,” ucap Jimin yang dibalas anggukan oleh Jihoon.

Jihoon merebahkan dirinya di kasur. Dia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna kelabu. Dia masih saja mengingat jelas perkataan guru kesiswaannya di sekolah.

“Kamu jangan seperti anak ga diurus ibunya, Jihoon! Tugas ga pernah ngumpulin. Bolos melulu kerjaannya. Sekarang apa? Ngerokok?”

Jihoon terduduk kesal. Dia memang tidak diurus seorang ibu. Tidak seperti biasanya dia yang akan melawan pada kesiswaannya. Dia justru hanya diam. Dia sengaja pergi dari rumah, dia ingin melupakan ucapan kesiswaanya.

Namun sampai detik ini, dia masih saja mengingat kalimat bahkan suara kesiswaannta itu dengan jelas. Jika boleh, dia ingin rasanya mencekik leher kesiswaannya. Bukan dia yang minta hidup tanpa ibu.

Soal rokok, tentu saja itu bukan dia. Menghirup asapnya saja Jihoon batuk-batuk, apa lagi merokok beneran.

tok! tok! tok!

Pintu kamarnya diketuk tiga kali saat Jihoon tengah asik tenggelam dengan pikirannya. Dia melangkah dengan malas ke arah pintu. Dia semakin malas melihat siapa yang mengetuk, ternyata Hyunsuk.

Hyunsuk memberikan nampan berisi sup dan coklat hangat, “Ini, Ji. Kamu pasti belom makan,”

Jihoon meraih nampan itu dan menutup pintu dengan kakinya tanpa berkata apapun.


Jihoon tengah mengeringkan rambutnya sehabis mandi. Matanya tiba-tiba mengarah pada sup dan coklat hangat yang sekarang sudah dingin.

Dia terduduk di kursi belajarnya. Dia selalu ingat, mamanya dulu sangat senang membuatkan sup untuk makan malam. Itu makanan kesukaan papanya.

Jihoon terus menatap sup itu sampai matanya tertutup oleh gumpalan air mata. Bahunya bergetar. Dia cuma mau satu, keluarganya seperti dulu.

Bug!

Satu pukulan melayang tepat mengenai rahang Jihoon. Dia meringis. Belum genap sedetik dia berdiri tegak, lawannya sudah memberikan jejak kaki di baju putihnya.

Jihoon tersungkur di aspal penuh debu. Orang-orang berbadan kekar mengelilinginya.

Jihoon berteriak tertahan, dadanya diinjak oleh salah satunya. Yang lainnya mengambil dagu runcing Jihoon.

“Masih hidup, Bocah?”

Jihoon menyeringai sekaligus meludahi orang di hadapannya.

Marah bukan main, orang-orang itu langsung membabi buta. Menendang. Memukul. Bahkan sampai Jihoon mengeluarkan banyak darah dari mulutnya. Sepertinya bibirnya robek.

Lima belas menit berlalu, Jihoon tergeletak sendirian di gang gelap, bau, dan lembab. Sekarang pukul 3 dini hari. Jihoon bersusah payah bangun dan mengambil tasnya.

Ponselnya mati, dia sengaja. Dia tidak ingin seseorang terus menghubunginya. Mengganggu. Suara ponselnya sangat berisik. Terlebih jika yang menelpon orang itu.

Jihoon akhirnya sampai di apartemen yang tak jauh dari sana. Apartemen yang lusuh dan tak terawat. Dia menekan pin pada pintu dan kunci otomatis terbuka.

Dari dalam seseorang berlari menghampiri suara pintu. “Ji?! Kamu abis ngapain?!” Tanya orang itu panik.

Jihoon merasa kesal karena rumahnya dimasuki seseorang tanpa izin, dan tidak akan pernah dia izinkan. Dia mendorong laki-laki itu, yang didorong meringis.

“Keluar dari apart gue sekarang! Ga usah sok peduli sama gue.” Ucap Jihoon yang dibalas gelengan cepat dari laki-laki yang lebih pendek darinya.

“Kamu harus pulang, Ji. Kamu bisa mati kalo kayak gini terus,”

Jihoon melangkah mengambil air minum di kulkas. Tak memedulikan ucapan laki-laki itu.

“Ji, please. Papa kamu sekarat sekarang. Pulang, obatin luka kamu. Makan sampe kenyang. Abis itu kamu ke sini lagi. Ini demi kebaikan kamu juga,”

“Kak Hyunsuk,” panggil Jihoon sambil melangkah lebih dekat.

“Udah gue bilang, jangan sok peduli. Kenyataannya, lo itu cuma kakak tiri gue.” Ucap dia sembil menekankan kalimatnya.

“Lagi pula papa juga udah dijagain Kak Jimin, kan? Jadi perusahaan juga aman di tangan dia dan biarin gue membusuk di sini.” Lanjutnya lagi sambil mengambil roti di dalam lemari makanan.

“Ji, papa pasti sedih banget kamu kayak gini. Kamu boleh benci aku. Terserah. Benci aku aja. Tapi tolong temuin papa di hari-hari terakhirnya.” Ucap Hyunsuk pelan.

“Papa ga bakal sedih, Kak. Perusahaan papa udah aman. Papa bakalan pergi dengan tenang sekarang. Bahkan gue yakin seratus persen, kalo saham perusahaan papa bakalan naik drastis setelah dipegang Kak Jimin.” Ucap Jihoon sambil membuka bungkusan rotinya.

Hyunsuk menghampiri Jihoon yang di meja makan. Dia menahan tangan Jihoon yang ingin menyantap roti.

“Kita bersihin lukanya dulu, ya, Ji.”

“Ini kesekian kalinya gua bilang ke lo. Ga. Usah. Sok. Peduli. Gue muak sama suara lo yang sok lo lembut ity. Gua muak sama muka kasian lo. Gua ga butuh rasa kasian dari kakak tiri!” Bentak Jihoon sambil membanting rotinya.

Hyunsuk menunduk. Menahan air matanya. “Kalo rasa kasian dari orang yang suka sama kamu gimana, Ji? Kamu pasti butuh, kan?” Hyunsuk mengangkat wajahnya.

Jihoon tercekat mendengar pengakuan Hyunsuk.

“Aku suka sama kamu, Ji.”

Jihoon diam sebentar. Dia benar-benar benci. Dia membenci dirinya sendiri.

“Gue ga akan pernah suka sama lo. Sekarang lo pergi dari sini dan jangan balik lagi. Gue bahkan mau muntah ngeliat lo.” Ucap Jihoon sambil berlalu, namun Hyunsuk masih tetap di tempatnya.

“Lo budeg, hah?!” Bentak Jihoon saat menyadari Hyunsuk tidak berpindah sesenti pun.

“Lo pergi sekarang, atau gue yang pergi?!” Bentak Jihoon lagi.

Hyunsuk bergegas mengambil kunci mobilnya dan menatap Jihoon sekali lagi. Jihoon membalas tatapannya dengan tatapan penuh amarah.

“Aku pergi dulu, Ji. Jangan lupa obatin ya lukanya.” Ucapnya sebelum menghilang di balik pintu.

Hyunsuk berdiri di depan pintu apartemen Jihoon dan menatap pintu itu lamat-lamat.

“Aku kangen banget sama kamu, Ji. Kak Jimin juga, ko. Semua orang di rumah kangen sama kamu.” Ucapnya sambil meletakkan jemarinya di ambang pintu.

“Aku tau, aku cuma kakak tiri kamu, Ji. 12 tahun yang lalu aku benci kenyataan itu. Tapi entah sejak kapan, aku merasa ini yang namanya takdir. Aku suka sama kamu, Ji. Dan aku benci fakta kalo, aku anak buangan.” Hyunsuk menghentikan ucapannya. Bahunya bergetar, tak kuasa menahan tangis.

Hyunsuk kembali berbicara beberapa saat setelahnya, “Ga mungkin, kan? Anak buangan kayak aku bisa dapetin pangeran berkuda putih kayak kamu.” Ucapnya sambil tertawa renyah.

“Semoga jantung aku pas buat papa ya, Ji. Cuma itu yang bisa aku lakuin buat papa. Selamat tinggal, Ji.” Ucap Hyunsuk sebelum berlalu pergi.

Jihoon terduduk di depan pintunya. Jihoon mendengar semuanya. Sejak kalimat pertama sampai kalimat yang amat ia benci.

Jihoon terisak sambil memeluk kakinya. Dia menjadi manusia yang paling lemah sekarang. Napasnya bahkan tercekat karena isakannya. Dia memukul dadanya kuat-kuat. Dia tak pernah kuat untuk kehilangan seseorang lagi. Tapi dia juga tak pernah sanggup untuk menahan orang-orang itu.

“Gue juga suka sama lo, Kak. Gue juga,” ucapnya di sela isakannya. “Dan si Bodoh ini ga mungkin dapetin lo yang sempurna.”