Hyunsuk dengan pakaian renangnya sudah menunggu Jihoon di pelataran resort mereka yang penuh dengan pasir putih. Resort mereka sangat dekat dengan pantai. Halaman depannya penuh dengan tanaman hias dan taman kecil yang hijau, sedangkan halaman belakangnya penuh pasir putih yang mengarah langsung ke pantai.
Hyunsuk yang bibirnya mengerucut, mengamati ponselnya yang tidak lagi menampilkan pesan singkat dari Jihoon. Apa Mas Jihoon pergi sejauh itu? Hyunsuk yang duduk dengan lutut terlipat di pasir yang hangat celingak-celinguk, mencari keberadaan Jihoon. Dia menghela napas panjang.
Asahi datang dari arah pantai, melemparkannya pasir yang menggumpal karena basah. Dia cekikikan karena Hyunsuk ketakutan dan menghindar.
“IH! BAHAYA TAU NANTI KENA MATA!”
“Lebay!”
Hyunsuk bangkit. Dia berlari menuju pantai. Melakukan hal yang sama, mencomot pasir dan melemparnya pada Asahi.
Asahi reflek menghindar, tapi gerakannya kalah cepat. “YEU! BOCIL!”
Hyunsuk tertawa puas. Dia menjulurkan lidahnya, meledek. “Wlewle! Rasain!”
Asahi tidak mau kalah. Dia balas Hyunsuk dengan menyiram air laut ke arah Hyunsuk dengan brutal. Hyunsuk kelabakan, menghindari air asin yang akan perih terkena mata. Karena geram, Hyunsuk membuat Asahi terduduk ketika ombak tengah surut. Jadi, sewaktu ombak datang, Asahi akan basah kuyup sampai ke ujung rambutnya.
Asahi hanya terdiam. Dia hampir jantungan karena ombak yang datang dari belakangnya, juga bajunya yang basah kuyup. Hyunsuk tertawa puas. Dia meledek Asahi, makanya jangan macem-macem.
Asahi masih tidak mau kalah. Dia bangkit setelah cukup lama melongo. Dia berlari masuk ke arah penginapan mereka.
“Lo mau ke mana, Met?!”
“Ambil gayung! Gue mau ngeguyur lo!”
Hyunsuk cekikikan. “Guyur aja!” Dia berteriak agak keras karena Asahi sudah semakin menjauh. “Gue pinter ngehindar! Syung! Syung! Lo mah gampil!”
Tidak lama Hyunsuk menertawakan Asahi yang berlarian dengan baju basah kuyup. Karena setelahnya, Jihoon datang dengan pakaian lapangnya—pakaian yang sejak siang tadi ia pakai. Ujung celananya sedikit diangkat sampai ke atas betis, sendal jepitnya basah sampai pasir putih tidak bisa terlepas dari sana. Di lehernya ada kamera yang menggantung, yang biasa dia gunakan untuk menjepret burung yang dia lihat. Serta tangan kanannya yang tengah menggenggam plastik ziplock berisi beberapa hewan laut.
Rambut hitam Jihoon sedikit bercahaya kecokelatan, akibat dari pantulan cahaya sore itu. Senyumnya jadi jauh lebih indah jika bersanding dengan pemandangan langit jingga yang luar biasa indah di belakangnya.
“Mas Jihoon!” Hyunsuk melambaikan tangannya senang, seperti anak kecil yang bertemu dengan sekawanan burung yang terbang melintasi kaki langit jingga.
Hyunsuk berlarian, memotong jarak mereka untuk segera memeluk yang baru saja datang. Jihoon terkekeh panjang dan membalas pelukannya tidak kalah erat.
“Mas Jihoon bawa apa?” Tanya Hyunsuk penasaran.
“Spesimen.”
Hyunsuk ikut terkekeh melihat Jihoon yang sangat senang karena membawa beberapa spesies yang baru pertama kali ia identifikasi. “Ayo, kita main air bareng!”
“Hu'um. Aku rapihin ini dulu, ya?”
Hyunsuk mengangguk cepat. “Tapi Mas Jihoon jangan lam—”
BYUR!
Hyunsuk sekarang tercekat. Dia melongo cukup lama, mencerna apa yang terjadi dengannya. Ternyata Asahi benar-benar ingin membalas dendam. Bukan gayung yang dibawa, melainkan ember yang entah dari mana dia ambil.
Asahi cengengesan, “Impas!”
“ASAHI JAMETTT!” Hyunsuk berteriak, ngamuk.
Setengah jam ke depan akhirnya hanya dipenuhi Asahi dan Hyunsuk yang saling balas dendam. Saling siram-menyiram, atau cebur-menceburi. Rambut mereka sudah tidak karuan lagi betuknya. Tapi untungnya agenda balas dendam itu masih dipenuhi dengan gelak tawa. Jaehyuk dan Jihoon masih bisa mengamati mereka dari kejauhan dengan tenang.
“Pacar lu itu ... luar biasa banget, ya, Ji.”
“He'em.”
“Ga ada capek-capeknya.”
Jihoon tertawa pelan. “Liat. Cowok lo juga hebat banget. Ga ada takut-takutnya gangguin pacar gue.”
Jaehyuk tertawa puas sebelum bergabung dengan Asahi dan Hyunsuk yang masih bergelung dengan ombak yang datang dan surut di pinggir pantai.
Jaehyuk mengangkat kedua tangannya, seperti singa yang siap menerkam mangsanya. “RWAR! Siapa yang gangguin ayang gue?!”
Hyunsuk berteriak cempreng. Dia berlari sambil cekikikan menghindar. “Curang! Sahimet ada yang bantuin! Mas Jihoon, bantuin aku dong!”
Jihoon menggeleng pelan sambil terkekeh. Dia ikut bergabung, tidak se-drama Jaehyuk, tapi dia ikut mengejar Asahi untuk membalas kekesalan pacarnya. Tidak ada salahnya menjadi anak kecil, bermain kejar-kejaran di pantai dengan langit sore yang indah ini barang sehari saja. Tidak ada salahnya juga ikut menikmati liburan singkat ini dengan gelak tawa seperti orang-orang di hadapannya.
Ombak semakin tinggi. Angin semakin kencang berhembus. Pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi di antara penginapan bergoyang-goyang karena terpaannya. Mereka akhirnya menyudahi agenda siram-menyiram ini. Sambil menikmati matahari yang hampir ditelan kaki langit, mereka saling berpelukan di atas pasir putih.
Jaehyuk merentangkan tangannya lebar-lebar lima belas menit yang lalu. Asahi hampir melompat untuk masuk ke dalam pelukannya. Dada bidang pacarnya dia gunakan sebagai bantal terempuk yang pernah ada.
Di sebelah mereka, Jihoon menyelipkan tangannya di pinggul Hyunsuk yang duduk di sampingnya. Hyunsuk sandarkan kepalanya ke pundak Jihoon yang selalu menjadi tempat sandaran paling nyaman.
Tanpa sadar mereka akhirnya mengukir senyum paling lebar untuk beberapa minggu yang melelahkan ini. Sunset memang identik dengan perpisahan. Begitu melihat langit jingga di hadapan mereka, rasanya seperti tengah berpisah dengan penat dan sesak.
Hyunsuk menghirup napas dalam-dalam. Tangannya ia renggangkan sebelum memeluk Jihoon di sampingnya. “Seger banget, ya, Mas! Rasanya kayak pergi jauuuuhh banget dari dunia.”
Jihoon tertawa pelan. Dia mengeratkan pelukannya karena angin berhembus lebih kencang dari sebelumnya. Dia melirik Hyunsuk yang memejamkan matanya sambil memeluk Jihoon erat-erat. Seakan-akan pelukannya akan hilang seiring matahari yang tenggelam di depan mereka.
Jihoon tersadar akan sesuatu. Wajahnya yang memerah, jantungnya yang berdebar tak karuan, seluruh sendinya yang bergetar, semua bukan karena matahari tenggelem yang indah. Melainkan karena Hyunsuk yang melampaui kata indah. Jihoon bisa merasakan setiap desiran darah yang mengalir di tubuhnya hanya karena melihat senyuman manis di wajah Hyunsuk.
“Mas Jihoon,”
Jihoon masih bergeming, menatap sudut bibir Hyunsuk yang terangkat.
“Mas.”
“Eh, iya?” Jihoon jadi tertawa pelan. Dia pasti terlihat konyol karena terlalu mengagumi senyuman pacarnya.
“Malem ini, agenda kita apa?”
Jihoon mengeratkan pelukan Hyunsuk sekali lagi. “Mau nyari seafood kan di depan?”
“Yey!” Hyunsuk memeluk Jihoon. Lantas mendongakkan kepalanya. “Terus sebelum tidur apa?” Dia cekikikan.
Senyum Jihoon perlahan-lahan pudar. Suara deburan ombak, suara burung camar di kejuahan, suara desiran angin, bahkan suara daun yang saling bergesekan semuanya membias. Jihoon tiba-tiba teringat bagaimana Hyunsuk menangis, bagaimana Hyunsuk sakit karenanya.
Jihoon menggeleng cepat. “Sebelum tidur? Aku bakalan peluk kamu sampai pagi.”
Hyunsuk tertawa lepas. Juga memeluk Jihoon semakin erat. “Setuju! Mas Jihoon ga boleh lepasin pelukannya sedetik pun!”
Jihoon dan Hyunsuk akhirnya tertawa bersamaan. Belum selesai tawa mereka, Jaehyuk sudah memotongnya. “Udahan, yuk? Itu udah mau gelap.”
Ternyata sekarang hampir pukul jam enam sore. Mau tidak mau, agenda menikmati senja ini perlu ditunda sampai besok. Tidak ada yang keberatan dengan waktu yang berjalan lebih cepat, karena senja esok hari pasti akan sama indahnya.
“Kamu duluan aja yang mandi, Hyunsuk.” Ucap Jihoon yang justru pergi ke arah dapur.
Hyunsuk hanya berdiri di belakangnya, membiarkan air dari bajunya bercucuran. Jihoon menoleh, dia tertawa pelan. “Kenapa, Sayang?”
Hyunsuk menggeleng kecil, “terus Mas Jihoon mandinya kapan, dong?”
“Iya, kan bisa abis kamu. Bajuku ga basah banget kok.”
Hyunsuk akhirnya mengangguk cepat dan berlari kecil menuju kamarnya dan Jihoon.
“Jangan lari-larian, Hyunsuk! Nanti jatoh!” Jihoon sampai balik kanan untuk melihat pacarnya yang berlari itu.
Pintu kamar yang sebelumnya sudah ditutup Hyunsuk, akhirnya terbuka lagi sedikit, menampakkan kepala Hyunsuk yang muncul dari dalam. “Iya, Mas Jihoon! Maaf!” Hyunsuk terkekeh pelan dan kembali menutup pintu.
Jaehyuk yang entah habis melakukan apa di luar, masuk dengan Asahi di gendongannya. “Siapa duluan yang mandi? Cung tangan.”
Asahi yang digendong di punggung angkat tangan, “Aku dulu!”
“Mandi berdua aja gimana?”
Asahi tertawa girang, “Setuju!”
Jihoon hanya menggeleng-geleng pelan. Biarlah, dunia punya mereka berdua sekarang. Akan ada masanya dunia jadi miliknya dan Hyunsuk. Kita hanya tidak tau kapan itu akan terjadi. Mungkin tidak dalam waktu dekat ini.
“Hyunsuk?” Jihoon membuka pintu kamarnya pelan-pelan.
Hyunsuk baru saja selesai memakai bajunya. “Iya, Mas? Aku udah selesai!”
Jihoon tersenyum lebar, “Aku mandi dulu, ya.”
Hyunsuk mengangguk, rambut hitamnya yang basah ikut bergoyang. “Nanti makan malemnya aku tunggu Mas Jihoon, ya.”
“Iya, dong.”
Jihoon mengambil handuk dan bajunya. Lantas masuk ke bilik yang ada di sudut ruangan. Di tengah-tengah aktivitasnya, dia mendengar sayup-sayup suara di balik dinding. Keningnya mengerut, dia mematikan shower untuk memastikan suara apa yang dia dengar.
“Jaehyuk sialan.” Jihoon menepuk keningnya pelan. Itu ternyata suara Asahi yang entah sedang diapakan Jaehyuk di kamar sebelah.
Jihoon menghela napas panjang. Dia menatap dirinya di balik cermin lamat-lamat. Kadang dia juga memikirkan, apa Hyunsuk juga menginginkan itu? Apa Hyunsuk tidak akan kesakitan jika Jihoon melakukan seperti itu juga? Apa semua itu akan berakhir baik untuk Hyunsuk, atau untuk mereka? Jihoon tidak ingin tenggelam di dalam nafsunya dan salah mengambil langkah. Dia tidak bisa kehilangan Hyunsuk lagi.
Jihoon keluar dari kamar mandi dengan pikiran yang berkecamuk. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak boleh bertingkah konyol malam ini, atau Hyunsuk yang akan kesakitan nantinya.
Hyunsuk justru kelabakan karena Jihoon selesai dengan cepat. Dia seperti menyembunyikan sesuatu di balik bantalnya. Dia tersenyum canggung, “Eh, Mas Jihoon udah selesai?”
Jihoon tersenyum tipis, duduk di sebelah Hyunsuk. Dia menyisir lembut rambut Hyunsuk yang sudah kering dengan jemarinya. Jihoon menangkap mata Hyunsuk yang membulat lucu, berkedip-kedip saat balas menatap matanya.
Mata Jihoon perlahan turun menatap bibir Hyunsuk yang sedikit lembab karena baru saja dioleskan pelembab bibir. Dia terduduk kaku ketika Hyunsuk justru mendekatkan wajahnya perlahan. Jihoon masih terdiam, bahkan ketika Hyunsuk mengecup bibirnya.
Hyunsuk tersentak kaget sampai mundur ke belakang karena Jihoon justru membuka mulutnya. Tidak membalas kecupannya. Tatapan matanya berubah sedih, Jihoon tau ada sedikit rasa kecewa di sana.
“Mas Jihoon ... kenapa?”
Jihoon mengigit bibir bawahnya. Dia menggeleng pelan, “Aku mau keluar sebentar.”
Bibir Hyunsuk melengkung ke bawah. Jihoon tau Hyunsuk tidak ingin dia keluar sekarang. Tapi Jihoon benar-benar berubah jadi pengecut. Dia bahkan tidak bisa menahan ombak yang menggulung di hatinya. Dia tidak bisa menatap bintang-bintang di balik mata Hyunsuk. Entah takut akan apa, tapi dia benar-benar tidak ingin kehilangan Hyunsuk lagi.
Jihoon akhirnya hanya bergeming di halaman belakang resortnya yang mengarah ke pantai. Tangannya saling bertautan di atas teralis balkon. Berkali-kali dia menghela napas berat, berkali-kali juga memaki dirinya sendiri. Dia tidak mengerti dengan perasaan yang dia rasakan sekarang, perasaannya berkecamuk, penuh dengan perasaan ganjil yang sulit diartikan.
Pintu kaca yang menjadi pemisah antara dapur dan halaman belakang resort tiba-tiba terbuka. Jihoon menoleh, Jaehyuk ternyata yang datang.
“Loh, kok lo di sini? Hyunsuk mana?”
Jihoon menghela napas sekali lagi, “Di kamar.”
“Dih, katanya mau nyari seafood di depan. Jadi ga?”
Jihoon kembali menghela napas. Jauh lebih berat dari yang sebelum-sebelumnya. Dia tidak menjawab pertanyaan Jaehyuk sedikitpun, bahkan dengan gelengan kecil sekalipun.
“Asahi mana?” Jihoon justru balik bertanya.
Jaehyuk cengengesan, “Tidur bentar. Ntar kalo jadi keluar gue bangunin.”
Jihoon menghela napas lagi. Kali ini panjang sekali. Sampai-sampai Jaehyuk keheranan.
“Kenapa, sih, Ji? Stres banget kayaknya. Berantem lo sama Hyunsuk?”
Jihoon akhirnya membalas pertanyaan Jaehyuk. Dia menggeleng kecil.
“Hyunsuk ga mau?”
Jihoon diam.
“Atau lo yang ga mau?”
Jihoon langsung menoleh ke arah Jaehyuk, seperti bisa membaca pikirannya. Dia semakin keheranan karena menatap Jaehyuk yang tersenyum tipis. Dia menghisap ujung rokoknya sebelum menghembuskan asapnya perlahan. Jihoon bergeming, seakan-akan menunggu Jaehyuk yang ingin mengucapkan sesuatu.
“Gue tau elo, Ji.”
“Apa?”
Jaehyuk menghisap rokoknya sebelum menjawab pertanyaan Jihoon. “Lo pasti bakalan stres sama semua pikiran lo itu. Lo orang yang selalu siaga satu sama semua hal, terutama sama perasaan orang yang lo sayang.”
Jihoon masih terdiam. Berharap Jaehyuk mengatakan hal lain, setidaknya memberinya solusi terbaik untuk seluruh pikiran buruk dan perasaan ganjilnya ini.
“Apalagi setelah lo putus dari Hyunsuk kemaren. Pasti lo makin takut sama hal-hal yang bakalan lo lakuin atau laluin bareng Hyunsuk.”
Jihoon mengusap wajahnya kasar. Dia menyambar bungkusan rokok yang ada di tangan Jaehyuk.
“Eh?! Lo mau ngapain?”
“Ngerokok. Stres, perlu rokok.”
“Lo ga bisa ngerokok bego!” Jaehyuk menarik rokoknya lagi, “dan lo ga bisa nyium Hyunsuk kalo ngerokok!”
Jihoon mengacak-acak rambutnya, frustrasi.
“Sebenernya gue ga akan pernah paham sih sama semua isi kepala lo itu. Tapi sebaiknya lo omongin semua itu ke Hyunsuk. Minimal lo ngobrol lah sama dia, jangan malah ditinggalin gitu aja. Apa lo ga takut tiba-tiba dia nangis di dalem kamar?”
Jihoon hanya memijat kepalanya pelan selagi mendengarkan “ocehan” Jaehyuk. Setidaknya dia harus menenangkan diri sebelum berbicara dengan Hyunsuk setelah ini. Setidaknya dia harus memikirkan apa yang harus ia katakan pada Hyunsuk setelah membuatnya tersinggung tadi.
“Mas Jek!”
Jaehyuk langsung mematikan rokoknya. “Bentar dulu, ye. Ayang gue manggil, nih.” Jaehyuk terkekeh pelan sebelum berlarian masuk ke kamarnya.
Kembali lagi kepada Jihoon yang tenggelam dengan segala pikiran buruknya. Dia mengacak-acak rambutnya frustrasi. Hanya ada satu hal paling manjur untuk mengatasi permasalahan ini.
Ibu.
Ibu akan memberikannya solusi terbaik untuk setiap pertanyaan-pertanyaannya. Atau setidaknya, ibu akan memberikannya sedikit perasaan tenang saat bercerita tentang segala hal yang mengganggu pikiran dan hatinya.
Dering panggilan dari ponselnya membuat Jihoon semakin stres. Rahangnya mengatup, dia tidak tahan dengan pikiran buruknya.
“Halo, Mas?”
Jihoon langsung mendongak, menatap video ibunya dari balik layar ponsel.
“Loh, Mas bukannya lagi liburan sama Hyunsuk?”
Jihoon tersenyum tipis. Dia mengangguk pelan, “Iya, Bu. Hyunsuknya lagi di kamar.”
“Loh, kok? Lagi sama pacarnya masa malah nelfon Ibu, sih? Nanti Hyunsuk ngambek loh.”
Jihoon tertawa pelan, “Engga mungkin dong. Hyunsuk malah makin seneng deh kayaknya.”
Di balik layar ponselnya, ibu juga tertawa renyah. “Dasar anak ibu. Masuk lagi aja deh ke perut Ibu.”
Jihoon justru terdiam setelah tertawa cukup panjang. Sepertinya ibu melihat perubahan sikap anak sulungnya itu.
“Kenapa, Mas?”
Jihoon menggeleng pelan. Dia menghela napas berat, matanya tiba-tiba terasa panas. “Mas sayang Hyunsuk, Bu.”
Ibunya tertawa lagi, “Ya, Mas bilang Hyunsuk dong. Masa bilang Ibu.”
Jihoon menggeleng lagi. “Selain sayang Hyunsuk, Mas juga takut, Bu. Mas takut bikin Hyunsuk sedih lagi.”
Di seberang sana, ibu juga terdiam. Melihat anak sulungnya yang hampir menangis di balik layar ponselnya. “Mas, coba denger Ibu.”
Jihoon menatap ponselnya lagi, menunggu ibu melanjutkan ucapannya.
“Emangnya apa yang Mas lakuin sampe Hyunsuk sedih?”
Jihoon tidak menjawab. Ternyata sambil menunduk, air matanya sudah perlahan membasahi pipinya.
“Mas, jangan nangis dulu. Coba cerita sama Ibu, Mas ngelakuin apa?”
“Mas ... sayang banget sama Hyunsuk, Bu. Mas takut bikin Hyunsuk sedih karena Mas sayang banget sama Hyunsuk. Kayak bapak yang—”
Ibu memotong ucapan Jihoon begitu saja, “Mas.” Nada bicaranya terdengar marah. “Kenapa masalah itu lagi? Kan kemarin sudah selesai, Mas bukan bapak, dan Hyunsuk bukan Ibu. Ga ada yang perlu Mas takutin, karena Hyunsuk ga akan sedih karena itu.”
Hanya ada suara isakan lembut dari bibir Jihoon yang terdengar selama beberapa menit ke depan. Sampai akhirnya ibu kembali bersuara.
“Sekarang, hapus air mata Mas. Bilang Hyunsuk kalo Mas sayang. Buktiin kalo Mas ga akan bikin Hyunsuk sedih.” Lagi-lagi suara ibu terdengar marah.
Jihoon hanya terdiam. Begitu juga dengan isakannya. Lama-lama dia tidak mengerti dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Terkadang perasaan sayang yang dia rasakan datang bersamaan dengan pikiran buruk tentang hal-hal yang membuat Hyunsuk menangis.
Ketika tidak ada lagi percakapan di antara Jihoon dan ibu, tiba-tiba tangan kecil melingkar di perutnya. Jihoon tersentak kaget sampai-sampai hpnya hampir terjatuh.
“Halo, Ibu!” Hyunsuk menyapa senang.
“Halo, Nak.” Suara tawa ibu yang renyah terdengar merdu ketika didengar bersamaan dengan suara tawa Hyunsuk.
“Mas Jihoon kok ga ajak-ajak nelfon ibu, sih? Kan aku juga mau ngobrol sama ibu!” Hyunsuk protes.
Ibu tertawa lagi, “Kalau Hyunsuk mau ngobrol, nanti main ke rumah aja. Ibu masakin buat Hyunsuk.”
“Wah, Ibu beneran mau masakan buat Suk lagi?”
Dengan cepat atmosfer malam itu berubah. Hyunsuk sudah mengambil alih ponsel Jihoon, berbicara dua arah dengan ibu. Sementara Jihoon di sampingnya tidak bisa berhenti terkagum-kagum dengan semua tentang Hyunsuk.
Suara tawa ibu yang renyah terdengar sekali lagi. “Udah dulu, ya, Nak. Ibu mau bikinin adek makan malam. Nanti dia makin ngambek lagi.”
“Waduh, kenapa tuh si Adek, Bu?”
“Biasalah. Cemburu kalau Masnya jalan-jalan.”
Hyunsuk cekikikan, “Oke deh, Bu. Titip salam buat bapak sama adek, ya, Bu.”
Jihoon kira, canggung akan membuat dada mereka sesak ketika panggilan ibu berakhir. Tapi ternyata, bukan hanya ibunya yang mengerti pikiran dan perasaan buruknya. Hyunsuk juga mengerti ada yang menghantui pikiran Jihoon malam itu.
“Uwah!” Hyunsuk mencondongkan badannya, menikmati angin laut yang berhembus kencang.
“Aku udah lama tau pengen liat laut malem-malem begini sama Mas Jihoon!” Hyunsuk tertawa panjang.
“Tapi serem juga sih, ya, Mas.” Tiba-tiba dia menatap lurus ke depan. Menatap ombak yang menggulung-gulung di bibir pantai. “Di dalem situ ada megalodon ga, ya, Mas? Atau jangan-jangan malah ada duyung?”
Jihoon masih terdiam. Dia menatap Hyunsuk dengan wajah yang tidak berekspresi. Dia kehabisan kata-kata dengan keindahan yang Hyunsuk punya. Keindahan paras dan hatinya.
“Kira-kira, Mas, kalo putri duyung itu beneran ada, dia punyanya insang atau paru-paru kayak paus, ya, Mas? Berarti bakalan lebih gede dari orang beneran dong? Terus, dia lebih berkerabat dekat sama ikan atau sama mamalia, ya? Aku—”
Ucapan Hyunsuk terputus karena Jihoon tiba-tiba membungkuk sedetik sebelumnya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Hyunsuk yang memerah karena bersemangat membicarakan duyung. Dia mengecup bibir Hyunsuk yang beberapa waktu lalu ia tolak.
Hyunsuk jadi terdiam karena kecupan tiba-tiba itu. Sedetik kemudian dia tersenyum tipis. “Aku kira Mas Jihoon udah ga mau cium aku lagi.”
Belum genap ucapan Hyunsuk, Jihoon menyatukan bibir mereka lagi. Kali ini lebih lama, tautan itu berubah menjadi kecupan-kecupan hangat yang mampu membuat wajah Hyunsuk berubah merah sempurna. Tangan Jihoon bergerak ke belakang tengkuk Hyunsuk, sedangkan tangan lainnya memeluk pinggul Hyunsuk erat-erat. Hyunsuk juga membalasnya dengan mengalungkan tangannya ke leher Jihoon. Kepala mereka berputar ke kiri dan ke kanan, mencari posisi ternyaman untuk menikmati kecupan-kecupan itu.
“Aku takut Mas Jihoon ga mau cium aku lagi.” Ucap Hyunsuk ketika tautan mereka terlepas. Tangannya masih setia mengalungi leher Jihoon, begitu juga tangan Jihoon yang masih setia di tempatnya.
“Aku sayang kamu, Hyunsuk.”
Hyunsuk jadi tertawa salting. “Iya, aku tau. Aku juga sayang Mas Jihoon sama besarnya.”
“Maaf,”
Hyunsuk memiringkan kepalanya, bingung. “Kok Mas Jihoon minta maaf?”
Jihoon mengeratkan pelukan di pinggul Hyunsuk. “Maaf karna aku terlalu sayang kamu. Aku jadi takut berlebihan sama apa yang bakalan aku lakuin bareng kamu.”
Sambil membenarkan posisi tangannya, Hyunsuk mengecup pipi Jihoon singkat. Dia tersenyum lebar. “Mas Jihoon ga sendirian! Aku juga punya takut yang sama.”
Hyunsuk tertawa pelan sebelum melanjutkan ucapannya. “Ini aneh banget sih. Aku belakangan ini galau, 'kenapa ya Mas Jihoon ga mau begitu-begituan sama aku?' Aku mikir, 'apa jangan-jangan aku ga cukup menarik buat Mas Jihoon?'”
“Engga, Hyunsuk.”
Hyunsuk tertawa lagi. “Iya, iya. Ternyata itu cuma ketakutanku doang. Jadi ... daripada kita sama-sama takut, lebih baik kita tau apa yang kita mau dan ga mau kan, Mas?
Jihoon menatap mata Hyunsuk lamat-lamat. Bulat dengan manik yang berpendar-pendar seperti bintang di langit malam. Tidak ada keraguan di dalamnya, itu menambah keindahan di dalamnya. Jihoon tidak pernah berhenti kagum dengan keindahan ini. Juga tidak pernah berhenti bersyukur karena mereka baik-baik saja.
“Apa yang Mas Jihoon mau dan ga mau dari aku? Nanti aku bakalan bilang juga apa yang aku mau!” Hyunsuk tersenyum sangat tulus.
Jihoon menjawabnya dengan kecupan hangat yang sama seperti beberapa saat lalu. Untungnya, Hyunsuk sudah mengerti hanya dengan kecupan-kecupan itu. Aku mau kamu dan aku ga mau kamu sedih.
Tangan Jihoon yang melingkar di pinggul Hyunsuk perlahan masuk ke dalam kaos putih Hyunsuk. Tangannya yang dingin membuat Hyunsuk terkikik geli.
Dari jarak beberapa meter, Jaehyuk dan Asahi menyimak ciuman panas itu. Jihoon dan Hyunsuk mana sadar jika ada dua orang yang mengamati. Mereka sibuk memutar kapalanya ke kanan dan ke kiri, meraup oksigen sebanyak-banyaknya sebelum kembali tenggelam di dalam rongga mulut masing-masing.
“Walah.” Asahi termangu. Sementara Jaehyuk tersenyum kecut di sampingnya.
“Mana? Katanya si Hyunsuk lagi ngambek. Terus Mas Ji gabrut.” Asahi protes.
Jaehyuk tertawa kikuk, “Kagak ngerti, ya. Kok tau-tau udah cipokan aja itu mereka berdua.”
“Heleh. Emang kamu mah mau gangguin aku tidur aja kan, Mas.”
“Mana ada!” Jaehyuk geleng-geleng. “Udah deh, Ay. Mending kita lanjut cuddle-an aja.”
“Lah, piye? Engga jadi nyari makan ini?”
“Ntar aja, deh. Tunggu mereka selesai aja. Gimana kalo kita dengerin dongeng?”
Asahi berseru malas karena Jaehyuk kembali menariknya ke dalam kamar. “AH MALES! Kamu mah dengerinnya podcast si Om Botak terus, Mas!”
“Engga, engga. Kali ini aku mau nonton Gudetama.”
“LEBIH MALES! Nontonin telor ceplok.”