Paseafict

Jihoon tidak sadar bahkan, kaosnya sudah terlepas sejak beberapa menit lalu mereka pindah ke kamar. Suara kecupan mereka bergema di langit-langit ruangan, membuatnya mabuk kepayang sampai tidak sadar dengan apa yang dia lakukan.

Hyunsuk mendorong dada Jihoon pelan, melepas bibir mereka. Napasnya menderu, dadanya naik turun, Jihoon bisa melihatnya dari atas sini. “Jadi apa yang Mas Jihoon mau?”

“Aku mau kamu.” Jihoon jawab tanpa berpikir lama.

Hyunsuk terkikik geli, menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Maksud Mas Jihoon, Mas Jihoon mau semua yang aku punya?”

Jihoon menggeleng pelan, wajahnya kembali sayu. Tatapan Hyunsuk ikut sedih. Maksud Jihoon, ini semua bukan tentang malam panas dan tubuh mereka. Dia sayang Hyunsuk, seperti yang dia katakan sebelum-sebelumnya. Dan dia ingin Hyunsuk tau perasaan itu berbeda dengan nafsu yang tengah memuncak di kepala mereka sekarang.

Tangan Hyunsuk yang mengalungi leher Jihoon terlepas. Jihoon menggeleng lagi, kali ini lebih tegas. Dia menuntun salah satu tangan Hyunsuk untuk diletakkan di depan dadanya yang tidak dibalut sehelai pun kain. Wajahnya mengernyit, terlihat seperti menahan sakit di ulu hatinya.

“Hyunsuk,”

Hyunsuk terdiam. Suara Jihoon yang serak seperti membuat Hyunsuk semakin kebingungan, semakin sulit untuk mengerti. Hyunsuk akhirnya menoleh ke arah lain, tidak sanggup menatap mata orang di atasnya.

“Hei,” Jihoon menggapai pipi Hyunsuk, menuntunnya untuk menatapnya lagi. Dia menggeleng pelan sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Aku cuma mau kamu tau, perasaan yang ada di sini,” Ucapannya berhenti, membiarkan Hyunsuk merasakan jantungnya yang berdebar dari balik dadanya. “Perasaan ini cinta, Hyunsuk. Bukan nafsu. Aku ga mau ... perasaan ini berubah. Atau kamu liat perasaan ini dengan hal lain.”

Hyunsuk ikut tersenyum mendengarnya, tipis bahkan hampir tidak terlihat. Namun, dia kembali mengalungkan tangannya dan mengecup lembut bibir Jihoon. “Aku tau tanpa Mas Jihoon kasih tau.” Dia tersenyum lagi, sangat lebar dan terlihag amat tulus. Lantas mengecup bibir Jihoon sekali lagi.

Mereka terdiam. Tersenyum tanpa kata-kata. Mata mereka berbicara, sangat berisik. Mereka memang tidak bisa mendengar suara di balik mata itu, tapi mereka bisa tau dari setiap detakan yang terdengar.

“Aku bersyukuuur banget.” Hyunsuk diam sejenak, matanya penuh dengan air mata. “Aku bisa ketemu orang baik kayak Mas Jihoon. Ketemu orang yang sayang aku kayak Mas Jihoon sayang aku.”

Perlahan, pipi Hyunsuk basah dengan air matanya. Hidungnya tersendat sampai-sampai sulit berbicara. “Aku juga mau Mas Jihoon ngerasain hal yang sama.”

Jihoon mengecup pipi Hyunsuk yang basah bergantian. “Aku udah ngerasain itu—”

“Mas Jihoon belum.” Hyunsuk terisak. “Mas Jihoon belum ngerasain itu.

Hyunsuk dengan pakaian renangnya sudah menunggu Jihoon di pelataran resort mereka yang penuh dengan pasir putih. Resort mereka sangat dekat dengan pantai. Halaman depannya penuh dengan tanaman hias dan taman kecil yang hijau, sedangkan halaman belakangnya penuh pasir putih yang mengarah langsung ke pantai.

Hyunsuk yang bibirnya mengerucut, mengamati ponselnya yang tidak lagi menampilkan pesan singkat dari Jihoon. Apa Mas Jihoon pergi sejauh itu? Hyunsuk yang duduk dengan lutut terlipat di pasir yang hangat celingak-celinguk, mencari keberadaan Jihoon. Dia menghela napas panjang.

Asahi datang dari arah pantai, melemparkannya pasir yang menggumpal karena basah. Dia cekikikan karena Hyunsuk ketakutan dan menghindar.

“IH! BAHAYA TAU NANTI KENA MATA!”

“Lebay!”

Hyunsuk bangkit. Dia berlari menuju pantai. Melakukan hal yang sama, mencomot pasir dan melemparnya pada Asahi.

Asahi reflek menghindar, tapi gerakannya kalah cepat. “YEU! BOCIL!”

Hyunsuk tertawa puas. Dia menjulurkan lidahnya, meledek. “Wlewle! Rasain!”

Asahi tidak mau kalah. Dia balas Hyunsuk dengan menyiram air laut ke arah Hyunsuk dengan brutal. Hyunsuk kelabakan, menghindari air asin yang akan perih terkena mata. Karena geram, Hyunsuk membuat Asahi terduduk ketika ombak tengah surut. Jadi, sewaktu ombak datang, Asahi akan basah kuyup sampai ke ujung rambutnya.

Asahi hanya terdiam. Dia hampir jantungan karena ombak yang datang dari belakangnya, juga bajunya yang basah kuyup. Hyunsuk tertawa puas. Dia meledek Asahi, makanya jangan macem-macem.

Asahi masih tidak mau kalah. Dia bangkit setelah cukup lama melongo. Dia berlari masuk ke arah penginapan mereka.

“Lo mau ke mana, Met?!”

“Ambil gayung! Gue mau ngeguyur lo!”

Hyunsuk cekikikan. “Guyur aja!” Dia berteriak agak keras karena Asahi sudah semakin menjauh. “Gue pinter ngehindar! Syung! Syung! Lo mah gampil!”

Tidak lama Hyunsuk menertawakan Asahi yang berlarian dengan baju basah kuyup. Karena setelahnya, Jihoon datang dengan pakaian lapangnya—pakaian yang sejak siang tadi ia pakai. Ujung celananya sedikit diangkat sampai ke atas betis, sendal jepitnya basah sampai pasir putih tidak bisa terlepas dari sana. Di lehernya ada kamera yang menggantung, yang biasa dia gunakan untuk menjepret burung yang dia lihat. Serta tangan kanannya yang tengah menggenggam plastik ziplock berisi beberapa hewan laut.

Rambut hitam Jihoon sedikit bercahaya kecokelatan, akibat dari pantulan cahaya sore itu. Senyumnya jadi jauh lebih indah jika bersanding dengan pemandangan langit jingga yang luar biasa indah di belakangnya.

“Mas Jihoon!” Hyunsuk melambaikan tangannya senang, seperti anak kecil yang bertemu dengan sekawanan burung yang terbang melintasi kaki langit jingga.

Hyunsuk berlarian, memotong jarak mereka untuk segera memeluk yang baru saja datang. Jihoon terkekeh panjang dan membalas pelukannya tidak kalah erat.

“Mas Jihoon bawa apa?” Tanya Hyunsuk penasaran.

“Spesimen.”

Hyunsuk ikut terkekeh melihat Jihoon yang sangat senang karena membawa beberapa spesies yang baru pertama kali ia identifikasi. “Ayo, kita main air bareng!”

“Hu'um. Aku rapihin ini dulu, ya?”

Hyunsuk mengangguk cepat. “Tapi Mas Jihoon jangan lam—”

BYUR!

Hyunsuk sekarang tercekat. Dia melongo cukup lama, mencerna apa yang terjadi dengannya. Ternyata Asahi benar-benar ingin membalas dendam. Bukan gayung yang dibawa, melainkan ember yang entah dari mana dia ambil.

Asahi cengengesan, “Impas!”

“ASAHI JAMETTT!” Hyunsuk berteriak, ngamuk.

Setengah jam ke depan akhirnya hanya dipenuhi Asahi dan Hyunsuk yang saling balas dendam. Saling siram-menyiram, atau cebur-menceburi. Rambut mereka sudah tidak karuan lagi betuknya. Tapi untungnya agenda balas dendam itu masih dipenuhi dengan gelak tawa. Jaehyuk dan Jihoon masih bisa mengamati mereka dari kejauhan dengan tenang.

“Pacar lu itu ... luar biasa banget, ya, Ji.”

“He'em.”

“Ga ada capek-capeknya.”

Jihoon tertawa pelan. “Liat. Cowok lo juga hebat banget. Ga ada takut-takutnya gangguin pacar gue.”

Jaehyuk tertawa puas sebelum bergabung dengan Asahi dan Hyunsuk yang masih bergelung dengan ombak yang datang dan surut di pinggir pantai.

Jaehyuk mengangkat kedua tangannya, seperti singa yang siap menerkam mangsanya. “RWAR! Siapa yang gangguin ayang gue?!”

Hyunsuk berteriak cempreng. Dia berlari sambil cekikikan menghindar. “Curang! Sahimet ada yang bantuin! Mas Jihoon, bantuin aku dong!”

Jihoon menggeleng pelan sambil terkekeh. Dia ikut bergabung, tidak se-drama Jaehyuk, tapi dia ikut mengejar Asahi untuk membalas kekesalan pacarnya. Tidak ada salahnya menjadi anak kecil, bermain kejar-kejaran di pantai dengan langit sore yang indah ini barang sehari saja. Tidak ada salahnya juga ikut menikmati liburan singkat ini dengan gelak tawa seperti orang-orang di hadapannya.

Ombak semakin tinggi. Angin semakin kencang berhembus. Pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi di antara penginapan bergoyang-goyang karena terpaannya. Mereka akhirnya menyudahi agenda siram-menyiram ini. Sambil menikmati matahari yang hampir ditelan kaki langit, mereka saling berpelukan di atas pasir putih.

Jaehyuk merentangkan tangannya lebar-lebar lima belas menit yang lalu. Asahi hampir melompat untuk masuk ke dalam pelukannya. Dada bidang pacarnya dia gunakan sebagai bantal terempuk yang pernah ada.

Di sebelah mereka, Jihoon menyelipkan tangannya di pinggul Hyunsuk yang duduk di sampingnya. Hyunsuk sandarkan kepalanya ke pundak Jihoon yang selalu menjadi tempat sandaran paling nyaman.

Tanpa sadar mereka akhirnya mengukir senyum paling lebar untuk beberapa minggu yang melelahkan ini. Sunset memang identik dengan perpisahan. Begitu melihat langit jingga di hadapan mereka, rasanya seperti tengah berpisah dengan penat dan sesak.

Hyunsuk menghirup napas dalam-dalam. Tangannya ia renggangkan sebelum memeluk Jihoon di sampingnya. “Seger banget, ya, Mas! Rasanya kayak pergi jauuuuhh banget dari dunia.”

Jihoon tertawa pelan. Dia mengeratkan pelukannya karena angin berhembus lebih kencang dari sebelumnya. Dia melirik Hyunsuk yang memejamkan matanya sambil memeluk Jihoon erat-erat. Seakan-akan pelukannya akan hilang seiring matahari yang tenggelam di depan mereka.

Jihoon tersadar akan sesuatu. Wajahnya yang memerah, jantungnya yang berdebar tak karuan, seluruh sendinya yang bergetar, semua bukan karena matahari tenggelem yang indah. Melainkan karena Hyunsuk yang melampaui kata indah. Jihoon bisa merasakan setiap desiran darah yang mengalir di tubuhnya hanya karena melihat senyuman manis di wajah Hyunsuk.

“Mas Jihoon,”

Jihoon masih bergeming, menatap sudut bibir Hyunsuk yang terangkat.

“Mas.”

“Eh, iya?” Jihoon jadi tertawa pelan. Dia pasti terlihat konyol karena terlalu mengagumi senyuman pacarnya.

“Malem ini, agenda kita apa?”

Jihoon mengeratkan pelukan Hyunsuk sekali lagi. “Mau nyari seafood kan di depan?”

“Yey!” Hyunsuk memeluk Jihoon. Lantas mendongakkan kepalanya. “Terus sebelum tidur apa?” Dia cekikikan.

Senyum Jihoon perlahan-lahan pudar. Suara deburan ombak, suara burung camar di kejuahan, suara desiran angin, bahkan suara daun yang saling bergesekan semuanya membias. Jihoon tiba-tiba teringat bagaimana Hyunsuk menangis, bagaimana Hyunsuk sakit karenanya.

Jihoon menggeleng cepat. “Sebelum tidur? Aku bakalan peluk kamu sampai pagi.”

Hyunsuk tertawa lepas. Juga memeluk Jihoon semakin erat. “Setuju! Mas Jihoon ga boleh lepasin pelukannya sedetik pun!”

Jihoon dan Hyunsuk akhirnya tertawa bersamaan. Belum selesai tawa mereka, Jaehyuk sudah memotongnya. “Udahan, yuk? Itu udah mau gelap.”

Ternyata sekarang hampir pukul jam enam sore. Mau tidak mau, agenda menikmati senja ini perlu ditunda sampai besok. Tidak ada yang keberatan dengan waktu yang berjalan lebih cepat, karena senja esok hari pasti akan sama indahnya.

“Kamu duluan aja yang mandi, Hyunsuk.” Ucap Jihoon yang justru pergi ke arah dapur.

Hyunsuk hanya berdiri di belakangnya, membiarkan air dari bajunya bercucuran. Jihoon menoleh, dia tertawa pelan. “Kenapa, Sayang?”

Hyunsuk menggeleng kecil, “terus Mas Jihoon mandinya kapan, dong?”

“Iya, kan bisa abis kamu. Bajuku ga basah banget kok.”

Hyunsuk akhirnya mengangguk cepat dan berlari kecil menuju kamarnya dan Jihoon.

“Jangan lari-larian, Hyunsuk! Nanti jatoh!” Jihoon sampai balik kanan untuk melihat pacarnya yang berlari itu.

Pintu kamar yang sebelumnya sudah ditutup Hyunsuk, akhirnya terbuka lagi sedikit, menampakkan kepala Hyunsuk yang muncul dari dalam. “Iya, Mas Jihoon! Maaf!” Hyunsuk terkekeh pelan dan kembali menutup pintu.

Jaehyuk yang entah habis melakukan apa di luar, masuk dengan Asahi di gendongannya. “Siapa duluan yang mandi? Cung tangan.”

Asahi yang digendong di punggung angkat tangan, “Aku dulu!”

“Mandi berdua aja gimana?”

Asahi tertawa girang, “Setuju!”

Jihoon hanya menggeleng-geleng pelan. Biarlah, dunia punya mereka berdua sekarang. Akan ada masanya dunia jadi miliknya dan Hyunsuk. Kita hanya tidak tau kapan itu akan terjadi. Mungkin tidak dalam waktu dekat ini.

“Hyunsuk?” Jihoon membuka pintu kamarnya pelan-pelan.

Hyunsuk baru saja selesai memakai bajunya. “Iya, Mas? Aku udah selesai!”

Jihoon tersenyum lebar, “Aku mandi dulu, ya.”

Hyunsuk mengangguk, rambut hitamnya yang basah ikut bergoyang. “Nanti makan malemnya aku tunggu Mas Jihoon, ya.”

“Iya, dong.”

Jihoon mengambil handuk dan bajunya. Lantas masuk ke bilik yang ada di sudut ruangan. Di tengah-tengah aktivitasnya, dia mendengar sayup-sayup suara di balik dinding. Keningnya mengerut, dia mematikan shower untuk memastikan suara apa yang dia dengar.

“Jaehyuk sialan.” Jihoon menepuk keningnya pelan. Itu ternyata suara Asahi yang entah sedang diapakan Jaehyuk di kamar sebelah.

Jihoon menghela napas panjang. Dia menatap dirinya di balik cermin lamat-lamat. Kadang dia juga memikirkan, apa Hyunsuk juga menginginkan itu? Apa Hyunsuk tidak akan kesakitan jika Jihoon melakukan seperti itu juga? Apa semua itu akan berakhir baik untuk Hyunsuk, atau untuk mereka? Jihoon tidak ingin tenggelam di dalam nafsunya dan salah mengambil langkah. Dia tidak bisa kehilangan Hyunsuk lagi.

Jihoon keluar dari kamar mandi dengan pikiran yang berkecamuk. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak boleh bertingkah konyol malam ini, atau Hyunsuk yang akan kesakitan nantinya.

Hyunsuk justru kelabakan karena Jihoon selesai dengan cepat. Dia seperti menyembunyikan sesuatu di balik bantalnya. Dia tersenyum canggung, “Eh, Mas Jihoon udah selesai?”

Jihoon tersenyum tipis, duduk di sebelah Hyunsuk. Dia menyisir lembut rambut Hyunsuk yang sudah kering dengan jemarinya. Jihoon menangkap mata Hyunsuk yang membulat lucu, berkedip-kedip saat balas menatap matanya.

Mata Jihoon perlahan turun menatap bibir Hyunsuk yang sedikit lembab karena baru saja dioleskan pelembab bibir. Dia terduduk kaku ketika Hyunsuk justru mendekatkan wajahnya perlahan. Jihoon masih terdiam, bahkan ketika Hyunsuk mengecup bibirnya.

Hyunsuk tersentak kaget sampai mundur ke belakang karena Jihoon justru membuka mulutnya. Tidak membalas kecupannya. Tatapan matanya berubah sedih, Jihoon tau ada sedikit rasa kecewa di sana.

“Mas Jihoon ... kenapa?”

Jihoon mengigit bibir bawahnya. Dia menggeleng pelan, “Aku mau keluar sebentar.”

Bibir Hyunsuk melengkung ke bawah. Jihoon tau Hyunsuk tidak ingin dia keluar sekarang. Tapi Jihoon benar-benar berubah jadi pengecut. Dia bahkan tidak bisa menahan ombak yang menggulung di hatinya. Dia tidak bisa menatap bintang-bintang di balik mata Hyunsuk. Entah takut akan apa, tapi dia benar-benar tidak ingin kehilangan Hyunsuk lagi.

Jihoon akhirnya hanya bergeming di halaman belakang resortnya yang mengarah ke pantai. Tangannya saling bertautan di atas teralis balkon. Berkali-kali dia menghela napas berat, berkali-kali juga memaki dirinya sendiri. Dia tidak mengerti dengan perasaan yang dia rasakan sekarang, perasaannya berkecamuk, penuh dengan perasaan ganjil yang sulit diartikan.

Pintu kaca yang menjadi pemisah antara dapur dan halaman belakang resort tiba-tiba terbuka. Jihoon menoleh, Jaehyuk ternyata yang datang.

“Loh, kok lo di sini? Hyunsuk mana?”

Jihoon menghela napas sekali lagi, “Di kamar.”

“Dih, katanya mau nyari seafood di depan. Jadi ga?”

Jihoon kembali menghela napas. Jauh lebih berat dari yang sebelum-sebelumnya. Dia tidak menjawab pertanyaan Jaehyuk sedikitpun, bahkan dengan gelengan kecil sekalipun.

“Asahi mana?” Jihoon justru balik bertanya.

Jaehyuk cengengesan, “Tidur bentar. Ntar kalo jadi keluar gue bangunin.”

Jihoon menghela napas lagi. Kali ini panjang sekali. Sampai-sampai Jaehyuk keheranan.

“Kenapa, sih, Ji? Stres banget kayaknya. Berantem lo sama Hyunsuk?”

Jihoon akhirnya membalas pertanyaan Jaehyuk. Dia menggeleng kecil.

“Hyunsuk ga mau?”

Jihoon diam.

“Atau lo yang ga mau?”

Jihoon langsung menoleh ke arah Jaehyuk, seperti bisa membaca pikirannya. Dia semakin keheranan karena menatap Jaehyuk yang tersenyum tipis. Dia menghisap ujung rokoknya sebelum menghembuskan asapnya perlahan. Jihoon bergeming, seakan-akan menunggu Jaehyuk yang ingin mengucapkan sesuatu.

“Gue tau elo, Ji.”

“Apa?”

Jaehyuk menghisap rokoknya sebelum menjawab pertanyaan Jihoon. “Lo pasti bakalan stres sama semua pikiran lo itu. Lo orang yang selalu siaga satu sama semua hal, terutama sama perasaan orang yang lo sayang.”

Jihoon masih terdiam. Berharap Jaehyuk mengatakan hal lain, setidaknya memberinya solusi terbaik untuk seluruh pikiran buruk dan perasaan ganjilnya ini.

“Apalagi setelah lo putus dari Hyunsuk kemaren. Pasti lo makin takut sama hal-hal yang bakalan lo lakuin atau laluin bareng Hyunsuk.”

Jihoon mengusap wajahnya kasar. Dia menyambar bungkusan rokok yang ada di tangan Jaehyuk.

“Eh?! Lo mau ngapain?”

“Ngerokok. Stres, perlu rokok.”

“Lo ga bisa ngerokok bego!” Jaehyuk menarik rokoknya lagi, “dan lo ga bisa nyium Hyunsuk kalo ngerokok!”

Jihoon mengacak-acak rambutnya, frustrasi.

“Sebenernya gue ga akan pernah paham sih sama semua isi kepala lo itu. Tapi sebaiknya lo omongin semua itu ke Hyunsuk. Minimal lo ngobrol lah sama dia, jangan malah ditinggalin gitu aja. Apa lo ga takut tiba-tiba dia nangis di dalem kamar?”

Jihoon hanya memijat kepalanya pelan selagi mendengarkan “ocehan” Jaehyuk. Setidaknya dia harus menenangkan diri sebelum berbicara dengan Hyunsuk setelah ini. Setidaknya dia harus memikirkan apa yang harus ia katakan pada Hyunsuk setelah membuatnya tersinggung tadi.

“Mas Jek!”

Jaehyuk langsung mematikan rokoknya. “Bentar dulu, ye. Ayang gue manggil, nih.” Jaehyuk terkekeh pelan sebelum berlarian masuk ke kamarnya.

Kembali lagi kepada Jihoon yang tenggelam dengan segala pikiran buruknya. Dia mengacak-acak rambutnya frustrasi. Hanya ada satu hal paling manjur untuk mengatasi permasalahan ini.

Ibu.

Ibu akan memberikannya solusi terbaik untuk setiap pertanyaan-pertanyaannya. Atau setidaknya, ibu akan memberikannya sedikit perasaan tenang saat bercerita tentang segala hal yang mengganggu pikiran dan hatinya.

Dering panggilan dari ponselnya membuat Jihoon semakin stres. Rahangnya mengatup, dia tidak tahan dengan pikiran buruknya.

“Halo, Mas?”

Jihoon langsung mendongak, menatap video ibunya dari balik layar ponsel.

“Loh, Mas bukannya lagi liburan sama Hyunsuk?”

Jihoon tersenyum tipis. Dia mengangguk pelan, “Iya, Bu. Hyunsuknya lagi di kamar.”

“Loh, kok? Lagi sama pacarnya masa malah nelfon Ibu, sih? Nanti Hyunsuk ngambek loh.”

Jihoon tertawa pelan, “Engga mungkin dong. Hyunsuk malah makin seneng deh kayaknya.”

Di balik layar ponselnya, ibu juga tertawa renyah. “Dasar anak ibu. Masuk lagi aja deh ke perut Ibu.”

Jihoon justru terdiam setelah tertawa cukup panjang. Sepertinya ibu melihat perubahan sikap anak sulungnya itu.

“Kenapa, Mas?”

Jihoon menggeleng pelan. Dia menghela napas berat, matanya tiba-tiba terasa panas. “Mas sayang Hyunsuk, Bu.”

Ibunya tertawa lagi, “Ya, Mas bilang Hyunsuk dong. Masa bilang Ibu.”

Jihoon menggeleng lagi. “Selain sayang Hyunsuk, Mas juga takut, Bu. Mas takut bikin Hyunsuk sedih lagi.”

Di seberang sana, ibu juga terdiam. Melihat anak sulungnya yang hampir menangis di balik layar ponselnya. “Mas, coba denger Ibu.”

Jihoon menatap ponselnya lagi, menunggu ibu melanjutkan ucapannya.

“Emangnya apa yang Mas lakuin sampe Hyunsuk sedih?”

Jihoon tidak menjawab. Ternyata sambil menunduk, air matanya sudah perlahan membasahi pipinya.

“Mas, jangan nangis dulu. Coba cerita sama Ibu, Mas ngelakuin apa?”

“Mas ... sayang banget sama Hyunsuk, Bu. Mas takut bikin Hyunsuk sedih karena Mas sayang banget sama Hyunsuk. Kayak bapak yang—”

Ibu memotong ucapan Jihoon begitu saja, “Mas.” Nada bicaranya terdengar marah. “Kenapa masalah itu lagi? Kan kemarin sudah selesai, Mas bukan bapak, dan Hyunsuk bukan Ibu. Ga ada yang perlu Mas takutin, karena Hyunsuk ga akan sedih karena itu.”

Hanya ada suara isakan lembut dari bibir Jihoon yang terdengar selama beberapa menit ke depan. Sampai akhirnya ibu kembali bersuara.

“Sekarang, hapus air mata Mas. Bilang Hyunsuk kalo Mas sayang. Buktiin kalo Mas ga akan bikin Hyunsuk sedih.” Lagi-lagi suara ibu terdengar marah.

Jihoon hanya terdiam. Begitu juga dengan isakannya. Lama-lama dia tidak mengerti dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Terkadang perasaan sayang yang dia rasakan datang bersamaan dengan pikiran buruk tentang hal-hal yang membuat Hyunsuk menangis.

Ketika tidak ada lagi percakapan di antara Jihoon dan ibu, tiba-tiba tangan kecil melingkar di perutnya. Jihoon tersentak kaget sampai-sampai hpnya hampir terjatuh.

“Halo, Ibu!” Hyunsuk menyapa senang.

“Halo, Nak.” Suara tawa ibu yang renyah terdengar merdu ketika didengar bersamaan dengan suara tawa Hyunsuk.

“Mas Jihoon kok ga ajak-ajak nelfon ibu, sih? Kan aku juga mau ngobrol sama ibu!” Hyunsuk protes.

Ibu tertawa lagi, “Kalau Hyunsuk mau ngobrol, nanti main ke rumah aja. Ibu masakin buat Hyunsuk.”

“Wah, Ibu beneran mau masakan buat Suk lagi?”

Dengan cepat atmosfer malam itu berubah. Hyunsuk sudah mengambil alih ponsel Jihoon, berbicara dua arah dengan ibu. Sementara Jihoon di sampingnya tidak bisa berhenti terkagum-kagum dengan semua tentang Hyunsuk.

Suara tawa ibu yang renyah terdengar sekali lagi. “Udah dulu, ya, Nak. Ibu mau bikinin adek makan malam. Nanti dia makin ngambek lagi.”

“Waduh, kenapa tuh si Adek, Bu?”

“Biasalah. Cemburu kalau Masnya jalan-jalan.”

Hyunsuk cekikikan, “Oke deh, Bu. Titip salam buat bapak sama adek, ya, Bu.”

Jihoon kira, canggung akan membuat dada mereka sesak ketika panggilan ibu berakhir. Tapi ternyata, bukan hanya ibunya yang mengerti pikiran dan perasaan buruknya. Hyunsuk juga mengerti ada yang menghantui pikiran Jihoon malam itu.

“Uwah!” Hyunsuk mencondongkan badannya, menikmati angin laut yang berhembus kencang.

“Aku udah lama tau pengen liat laut malem-malem begini sama Mas Jihoon!” Hyunsuk tertawa panjang.

“Tapi serem juga sih, ya, Mas.” Tiba-tiba dia menatap lurus ke depan. Menatap ombak yang menggulung-gulung di bibir pantai. “Di dalem situ ada megalodon ga, ya, Mas? Atau jangan-jangan malah ada duyung?”

Jihoon masih terdiam. Dia menatap Hyunsuk dengan wajah yang tidak berekspresi. Dia kehabisan kata-kata dengan keindahan yang Hyunsuk punya. Keindahan paras dan hatinya.

“Kira-kira, Mas, kalo putri duyung itu beneran ada, dia punyanya insang atau paru-paru kayak paus, ya, Mas? Berarti bakalan lebih gede dari orang beneran dong? Terus, dia lebih berkerabat dekat sama ikan atau sama mamalia, ya? Aku—”

Ucapan Hyunsuk terputus karena Jihoon tiba-tiba membungkuk sedetik sebelumnya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Hyunsuk yang memerah karena bersemangat membicarakan duyung. Dia mengecup bibir Hyunsuk yang beberapa waktu lalu ia tolak.

Hyunsuk jadi terdiam karena kecupan tiba-tiba itu. Sedetik kemudian dia tersenyum tipis. “Aku kira Mas Jihoon udah ga mau cium aku lagi.”

Belum genap ucapan Hyunsuk, Jihoon menyatukan bibir mereka lagi. Kali ini lebih lama, tautan itu berubah menjadi kecupan-kecupan hangat yang mampu membuat wajah Hyunsuk berubah merah sempurna. Tangan Jihoon bergerak ke belakang tengkuk Hyunsuk, sedangkan tangan lainnya memeluk pinggul Hyunsuk erat-erat. Hyunsuk juga membalasnya dengan mengalungkan tangannya ke leher Jihoon. Kepala mereka berputar ke kiri dan ke kanan, mencari posisi ternyaman untuk menikmati kecupan-kecupan itu.

“Aku takut Mas Jihoon ga mau cium aku lagi.” Ucap Hyunsuk ketika tautan mereka terlepas. Tangannya masih setia mengalungi leher Jihoon, begitu juga tangan Jihoon yang masih setia di tempatnya.

“Aku sayang kamu, Hyunsuk.”

Hyunsuk jadi tertawa salting. “Iya, aku tau. Aku juga sayang Mas Jihoon sama besarnya.”

“Maaf,”

Hyunsuk memiringkan kepalanya, bingung. “Kok Mas Jihoon minta maaf?”

Jihoon mengeratkan pelukan di pinggul Hyunsuk. “Maaf karna aku terlalu sayang kamu. Aku jadi takut berlebihan sama apa yang bakalan aku lakuin bareng kamu.”

Sambil membenarkan posisi tangannya, Hyunsuk mengecup pipi Jihoon singkat. Dia tersenyum lebar. “Mas Jihoon ga sendirian! Aku juga punya takut yang sama.”

Hyunsuk tertawa pelan sebelum melanjutkan ucapannya. “Ini aneh banget sih. Aku belakangan ini galau, 'kenapa ya Mas Jihoon ga mau begitu-begituan sama aku?' Aku mikir, 'apa jangan-jangan aku ga cukup menarik buat Mas Jihoon?'”

“Engga, Hyunsuk.”

Hyunsuk tertawa lagi. “Iya, iya. Ternyata itu cuma ketakutanku doang. Jadi ... daripada kita sama-sama takut, lebih baik kita tau apa yang kita mau dan ga mau kan, Mas?

Jihoon menatap mata Hyunsuk lamat-lamat. Bulat dengan manik yang berpendar-pendar seperti bintang di langit malam. Tidak ada keraguan di dalamnya, itu menambah keindahan di dalamnya. Jihoon tidak pernah berhenti kagum dengan keindahan ini. Juga tidak pernah berhenti bersyukur karena mereka baik-baik saja.

“Apa yang Mas Jihoon mau dan ga mau dari aku? Nanti aku bakalan bilang juga apa yang aku mau!” Hyunsuk tersenyum sangat tulus.

Jihoon menjawabnya dengan kecupan hangat yang sama seperti beberapa saat lalu. Untungnya, Hyunsuk sudah mengerti hanya dengan kecupan-kecupan itu. Aku mau kamu dan aku ga mau kamu sedih.

Tangan Jihoon yang melingkar di pinggul Hyunsuk perlahan masuk ke dalam kaos putih Hyunsuk. Tangannya yang dingin membuat Hyunsuk terkikik geli.

Dari jarak beberapa meter, Jaehyuk dan Asahi menyimak ciuman panas itu. Jihoon dan Hyunsuk mana sadar jika ada dua orang yang mengamati. Mereka sibuk memutar kapalanya ke kanan dan ke kiri, meraup oksigen sebanyak-banyaknya sebelum kembali tenggelam di dalam rongga mulut masing-masing.

“Walah.” Asahi termangu. Sementara Jaehyuk tersenyum kecut di sampingnya.

“Mana? Katanya si Hyunsuk lagi ngambek. Terus Mas Ji gabrut.” Asahi protes.

Jaehyuk tertawa kikuk, “Kagak ngerti, ya. Kok tau-tau udah cipokan aja itu mereka berdua.”

“Heleh. Emang kamu mah mau gangguin aku tidur aja kan, Mas.”

“Mana ada!” Jaehyuk geleng-geleng. “Udah deh, Ay. Mending kita lanjut cuddle-an aja.”

“Lah, piye? Engga jadi nyari makan ini?”

“Ntar aja, deh. Tunggu mereka selesai aja. Gimana kalo kita dengerin dongeng?”

Asahi berseru malas karena Jaehyuk kembali menariknya ke dalam kamar. “AH MALES! Kamu mah dengerinnya podcast si Om Botak terus, Mas!”

“Engga, engga. Kali ini aku mau nonton Gudetama.”

“LEBIH MALES! Nontonin telor ceplok.”

Bos Bayi Beli Cimol

Hampir setengah jam mereka keliling untuk cari cimol sesuai kriteria Cakra.

“Aku lupa bilang, ya, Mas. Jadi sebenernya aku di Bapak Cimol yang itu bukan beli cimolnya.”

“Hm? Terus beli apanya dong?”

Cakra membentangkan satu tangannya sambil berseru senang. “Beli kentangnya!”

Alam tertawa pelan, “Jadi ini kita cari kentang, ga jadi cimol?”

Cakra menggeleng cepat. “Bukan. Kita cari bapak cimol yang jual kentang juga.”

Alam terkekeh pelan. Sedikit menghela napas pelan. “Oke, meluncur lagi.”

Sebelum satu jam berlalu, akhirnya mereka berhasil menemukan penjual kentang. Ralat. Penjual cimol dan kentang. Alam tidak tau alasan yang membuat Cakra seperti harus menikmati kentang yang dijual bersamaan dengan cimol, meskipun Cakra sendiri tidak suka cimol. Melihat Cakra kegirangan saat membeli kentang di penjual cimol juga sudah membuatnya senang.

Waktu Cakra ditanya, jawabannya pun sama. “Aku juga ga tau kenapa kentang di bapak cimol tuh enak banget. Lebih enak dari kentang mekdi.”

Sekarang Cakra sedang mengunyah kentangnya dengan hikmat. Tentunya di apartemen Alam, lengkap dengan baju tidurnya.

“Mas Alam beneran ga mau? Enak banget tau. Rasanya mirip kayak punya Bapak Cimol naik haji.”

Alam tertawa pelan. Dia menggeleng dan mengusap ujung bibir Cakra yang belepotan dengan bumbu kentang. “Saya ga suka makan malam-malam.”

Cakra lanjut melahap kentangnya. “Ga seru dong. Mas Alam ga pernah jajan malem-malem.”

“Liatin kamu makan aja udah cukup buat saya,” Alam terkekeh pelan. Apalagi melihat wajah Cakra yang tersipu.

“Tapi ini beneran enak banget tau, Mas.” Cakra sedikit hu-ha-hu-ha karena bumbu pedasnya. “Tapi pedes juga, sih.”

Alam dengan sigap menuangkan minum yang selalu dia sediakan di teko kaca meja makan. Cakra menyambar gelas dari tangan Alam dengan kedua tangannya. Dia minum dengan cepat karena semakin lama ternyata semakin pedas.

“Cakra,” Alam mengusap sudut bibir Cakra lagi. “Minumnya pelan-pelan. Nanti tumpah-tumpah.”

Cakra nyengir, “Maaf, Mas Alam. Soalnya pedes banget kentangnya.”

“Yaudah, kalau pedes jangan diabisin.”

Cakra cemberut, “Masa kita udah beli jauh-jauh engga diabisin.”

“Daripada kamu kepedesan.”

Cakra nyengir lagi. Dia minum sekali lagi. Dia menggigit gelas yang diminumnya sedikit. “Mas Alam,” Dia sedikit cekikikan sebelum melanjutkan ucapannya. “Aku boleh nginep di sini, ga, Mas?”

Alam ikut tertawa. Dia mengusap rambut Cakra pelan. Lantas mengangguk pelan. “Boleh, Cakra. Besok kamu kelas jam berapa? Nanti saya bangunin.”

Cakra langsung bangkit dari duduknya. Kesenengan. Dia berputar-putar di depan meja makan. “Yeay, nginep di kamarnya Mas Alam!”

Alam tertawa tenyah. “Cakra, sini duduk dulu. Kamu kelas jam berapa besok, hm?”

Cakra akhirnya duduk lagi di tempatnya. Dia sedikit cemberut. “Besok aku kelas pagi, Mas. Jam 7.30. Soalnya kelasnya Pak Budi masih ada sekali lagi presentasi.”

Alam mengusap rambut keemasan Cakra sekali lagi. “Yaudah. Tidur sekarang, yuk?”

Cakra mengangguk cepat. Tapi takut-takut menatap kentang dan Alam bergantian. Alam terkekeh singkat. Dia mengerti arti tatapan Bos Bayi-nya itu. “Yaudah. Simpen dulu aja kentangnya. Besok makan lagi.”

Cakra nyengir lagi. Dia langsung berlari ke kamar mandi. “Ayo, sikat gigi!”

Alam cekatan merapikan sisa makanan Cakra yang masih tergeletak di atas meja makan. Menyimpan kentang yang mereka cari hampir satu jam ke dalam kulkas. Juga mencuci gelas yang mereka pakai untuk minum.

“Mas Alam!” Baru juga beberapa menit Alam tinggal untuk merapikan dapur, Cakra sudah berteriak memanggilnya.

“Ayo sikat gigi!”

Alam yang sudah berganti pakaian tidur akhirnya datang. Cakra di depan kaca menampilkan giginya yang sudah selesai disikat. Dia ber-iii panjang, menunjukkannya pada Alam. “Aku udah sikat gigi. Iiii. Udah bersih kan, Mas?”

Alam tertawa puas. “Udah bersih, Cakra. Kamu siapin kasurnya gih. Saya sikat gigi dulu.”

Cakra langsung berdiri tegak sambil meletakkan tangannya di atas alis. Hormat. “Siap, Bos Ayah!”

Alam tertawa sekali lagi, “Kok Bos Ayah, sih?”

“Kan lawannya 'bayi' itu 'ayah'. Aku Bos Bayi, Mas Alam Bos Ayahnya.”

Alam mencubit pipi Cakra pelan. “Ada aja jawabnya. Gih ke kasur duluan.”

Cakra nyengir lagi. “Cepetan, ya, Mas Alam. Aku tungguin.”

Tentu saja, Alam tidak ingin Bos Bayinya menunggu lama. Dia keluar tidak lama setelah menyikat giginya. Cakra di atas kasur sudah bergelung di dalam selimut. Tampaknya sudah menyapa mimpi indahnya.

Alam menarik selimutnya pelan-pelan supaya Cakra tidak terbangun. Lantas memeluknya dari belakang dengan nyaman. Tangannya terselip di antara tangan Cakra yang terlipat untuk menopang kepalanya.

Cakra melenguh panjang. Dia yang belum sepenuhnya tertidur akhirnya balik kanan. Memaksa matanya tetap terbuka sambil menatap Alam. “Makasih, ya, Mas.” Cakra terdengar seperti meracau. Suaranya tidak terdengar dengan jelas.

“Hm?”

Cakra masuk ke dalam pelukan Alam, dan menenggelamkan wajahnya di dada Alam yang bidang. “Makasih, ya, Mas Alam. Seharian ini udah temenin aku ke kebun binatang buat liat macan. Terus mau temenin aku beli kentang cimol.”

Kepala Cakra ikut naik-turun karena menempel di atas dada Alam yang terkekeh pelan. “Iya, Cakra. Saya bakalan temenin kamu terus. Juga temenin kamu di dalam tidur kamu. Sekarang, tidur, ya?”

Cakra tidak menjawab. Sepertinya dia sudah benar-benar terlelap. Tidur di dalam pelukan Alam memang posisi paling nyaman yang pernah Cakra rasakan. Dia bahkan tersenyum di dalam tidurnya, karena lagi-lagi ada Mas Alam yang menemani di dalam sana.

Hyunsuk merenggangkan badannya. Tangannya dia tarik ke atas sambil melenguh panjang. Pusingnya jadi anak sekolahan, kalau ga sibuk ngerjain tugas, ya sibuknya ngerjain proker sekolah. Kalau terus sibuk kayak gini, kapan Hyunsuk bisa pacaran?

Hyunsuk merebahkan kepalanya di atas meja belajar. Dia menatap secarik kertas merah muda yang keluar dari kotak pensilnya yang terbuka. Itu kupon ciuman gratis yang teman sekelasnya bagi. Hyunsuk cekikikan. Siapa pula yang mau ciuman sama Hyunsuk. Atau lebih tepatnya, siapa pula orang yang Hyunsuk izinkan untuk menciumnya.

Ting!

Tiba-tiba ide gila datang di kepala penuh dengan materi dan tugas-tugas sekolah full day-nya. Sejak beberapa hari yang lalu, dia sendirian di rumah. Mama dan papanya harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Tapi ... ada satu keajaiban datang. Hyunsuk sendirian di rumah, tapi tidak benar-benar sendirian.

Seekor kucing datang tepat di hari keberangkatan orang tuanya. Ireng namanya. Ternyata Ireng bukan sembarang kucing. Dia bisa menjadi manusia dan membantu segala pekerjaan rumah. Awalnya Hyunsuk kira Ireng itu hantu, tapi ternyata Ireng terlalu tampan untuk disebut hantu.

Hyunsuk jalan berjinjit, menuju dapur, tempat Ireng Raksasa berada. Tangannya ke belakang, menyembunyikan kupon itu. Ceritanya Hyunsuk mau memberikan Jihoon kejutan. Jadi, begitu Hyunsuk datang tiba-tiba di belakang Jihoon, dia bisa langsung mengecup pipinya.

Belum ada beberapa langkah jarak di antara mereka, Jihoon sudah menoleh ke belakang, menyadari kehadiran Hyunsuk. Hufft. Hyunsuk menghela napas malas. Ternyata tentang pendengaran kucing yang tajam itu bukan mitos, ya. Hyunsuk jadi menggerutu.

“Ih, Ireng! Kan aku mau ngagetin kamu tau.”

Jihoon tertawa renyah melihat Hyunsuk yang cemberut. “Maaf, aku ga tau.”

“Ya, kalo aku kasih tau itu namanya bukan ngagetin!” Hyunsuk berteriak kesal, “Au ah, bete!”

Jihoon tertawa sekali lagi. Dia meletakkan makan malam yang baru saja matang di meja makan. “Yaudah, kapan-kapan aku ga noleh lagi sebelum kamu kagetin, ya.”

Hyunsuk masih keliatan bete.

“Ayo, makan dulu.”

Hyunsuk masih diam.

“Kenapa? Tugas kamu belum selesai?”

Hyunsuk geleng-geleng. Dia tersenyum lebar setelah itu, “Aku punya sesuatu tau buat kamu.”

Jihoon terkekeh, “Apa?”

“Tara!” Hyunsuk menunjukkan kupon merah muda yang sedikit lecek karena baru terlepas dari genggamannya.

“Ini apa?” Tanya Jihoon yang belum berhasil membuka selembaran kertas yang lecek itu.

“Itu kupon ciuman gratis buat kamu!”

Jihoon melongo. Ciuman gratis?

“Kamu boleh minta ciuman gratis sama aku!”

Ciuman gratis sama Hyunsuk? Wajah Jihoon langsung memerah. Dia berdeham singkat sebelum beranjak pergi untuk mengambil hidangan lain di meja dapur.

“Ih, Ireng!”

“Jangan bercanda, Hyunsuk. Ini udah malem.”

“Aku engga bercanda, Ireng! Ayo minta cium aku!”

Hyunsuk bergelantungan di tangan kekar Jihoon. “Ireeenggg! Ayo ciuman!”

Hyunsuk tidak menyadari wajah kemerahan dan senyuman tipis di wajah Jihoon. Dia sibuk merengek.

“Ireng, ih! Udah aku kasih juga kuponnya! Tau gitu kan aku aja yang pake!”

Jihoon akhirnya menoleh, tidak lagi membuang muka. “Emangnya mau kamu pake ke siapa?”

“Ke Ireng!” Hyunsuk cekikikan.

Muka Jihoon semakin panas. Dia buru-buru ke meja makan, membawa hidangan lain, dan kabur dari Hyunsuk yang tiba-tiba merengek minta cium.

“Ih, Ireng!” Hyunsuk setengah berteriak. Dia mengejar langkah Jihoon yang panjang. “Ayo, pake kuponnya!”

“Ireng! Jangan diemin aku dong!”

Jihoon kembali ke dapur, melepas celemeknya. Begitu juga Hyunsuk yang masih merengek yang mengikuti langkahnya.

“Ireng! Ayo ciuman!”

Hyunsuk masih merengek. Bahkan menggelantung di tangan Jihoon yang tengah memotong buah. Sampai mangga yang Jihoon potong hanya bersisa biji dan kulitnya, Hyunsuk masih merengek.

“Ireng,” Hyunsuk menahan langkah Jihoon. Tangannya terbentang ke samping agar Jihoon tidak pergi lagi. “Yaudah, kalo Ireng ga mau cium, biar aku yang cium.”

Hyunsuk memejamkan matanya. Tangannya yang sebelumnya terbentang, kini sudah bertengger di dada Jihoon yang berotot. Dia berjinjit, berharap bisa menggapai bibir Jihoon.

Jihoon justru tertawa pelan. Ck. Hyunsuk jadi hilang mood lagi. Dia berdecak kesal. “Ih, Ireng nyebelin ah!”

Sebelum Hyunsuk benar-benar marah dan balik kanan kembali ke kamar. Jihoon menarik Hyunsuk mendekat, tangannya melingkar di pinggul Hyunsuk yang ramping.

Hyunsuk hampir terjatuh karena kaget. Dia tercekat ketika Jihoon mengangkatnya ke dalam gendongan. Hyunsuk buru-buru memeluk leher Jihoon dengan tangannya dan memeluk pinggul Jihoon dengan kakinya.

Sekarang bukan hanya Jihoon yang wajahnya berubah kemerahan, tapi Hyunsuk juga. Wajahnya memerah karena dia sangat bersemangat. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti karena Jihoon menaikkan Hyunsuk ke atas meja dapur. Mereka bisa melihat bagaimana wajah satu sama lain berubah kemerahan.

“Ini kuponnya. Sekarang cium aku.”

Hyunsuk hampir berteriak karena Jihoon bersedia untuk dia cium. Hyunsuk menggapai pipi Jihoon yang menghangat. Jemari lentiknya menyapu garis rahang Jihoon yang tajam. Dia terkekeh pelan karena Jihoon terlihat menelan ludahnya lamat-lamat.

Cup! Hyunsuk mendaratkan bibirnya lembut di atas bibir Jihoon yang bergetar.

Hyunsuk menjauhkan wajahnya sebentar. Tidak melanjutkan kecupannya lagi karena ingin melihat keadaan Jihoon. Apa Jihoon menyukainya?

Wajah Jihoon benar-benar merah. Wajah Hyunsuk ikut memerah. Ternyata Jihoon juga suka ketika merasakan panas tubuh Hyunsuk sedekat ini. Hyunsuk akhirnya kembali menyatukan bibir mereka. Tangannya masih setia memeluk leher Jihoon.

“AAK!” Hyunsuk berteriak kaget.

Saat matanya terbuka, dia lebih kaget lagi. “Jihoon?”

Jihoon berdeham pelan, “Maaf. Kamu lucu banget, aku ga bisa tahan.”

Hyunsuk tertawa renyah. Jelas-jelas Jihoon yang paling lucu di sini. Lihat! Hanya karena kecupan-kecupan lembut itu, ekor serta telinga hitam Jihoon muncul, dan gigi taringnya sedikit mencuat. Ekor hitam panjang itu menjuntai ke belakang. Saat mereka berciuman, ekor itu tanpa sadar akan melingkar di kaki Hyunsuk. Bagaimana Hyunsuk tidak terkejut jika tiba-tiba kakinya dipeluk benda berbulu lembut itu.

“Ireng lucu banget!”

Jihoon tertawa pelan. “Kalo gitu, cium lagi dong!”

Tidak perlu disuruh dua kali. Hyunsuk kembali menyatukan bibir mereka agar kembali merasakan panas tubuh masing-masing. Dia kadang terkekeh geli karena ekor hitam di belakang Jihoon tidak mau diam, terus mengusap lembut kaki sampai pahanya.

“Kenapa kamu mau cium aku, Hyunsuk?” Tanya Jihoon selagi mereka menarik napas di jeda ciuman mereka.

“Karena hari ini International Kissing Day! Aku mau kayak orang lain, ciuman sama Ireng!”

Jihoon tersenyum simpul sebelum menyatukan bibir mereka lagi. Hyunsuk memejamkan matanya. Kecupan Jihoon sedikit berbeda kali ini, seperti ada suatu penekanan di dalamnya.

“Aku tanya lagi,” Jihoon menjauhkan wajahnya. “Kenapa kamu mau cium aku?”

“Karena ... aku sayang Ireng.”

Jihoon tampak menunduk. Telinga hitamnya ikut menunduk lemas, begitu pula dengan ekor di belakangnya.

Hyunsuk buru-buru meralat ucapannya. Dia menangkup pipi Jihoon dan mengecupnya sekali lagi.

“Karena aku sayang Ireng Raksasa ... sayang Jihoon!”

Wajah Jihoon kembali memerah. Telinga hitamnya kembali berdiri tegak. Ekor panjang kembali menari-nari di belakangnya. Hyunsuk tertawa lepas karena pemandangan itu, ternyata Ireng atau Ireng Raksasa selalu mudah dibaca.

“Yaudah, sekarang makan malem dulu, yuk?”

Hyunsuk cemberut lagi, “Yah, ntar kalo abis makan kuponnya kan udah ga ada lagi. Ireng minta cium akunya gimana?”

Jihoon terkekeh, “Kan kuponnya unlimited. Nanti sebelum tidur aku minta cium lagi. Jadi, gimana? Mau makan ga?”

Hyunsuk tertawa puas kali ini. Jari telunjuknya mengacung ke udara, “Mau!”

Seminggu ini Hyunsuk sibuk dengan segala urusan sidang akhirnya. Ini sudah di penghujung tahun keempatnya, dia harus cepat-cepat menyelesaikan sarjananya, menyusul Jihoon. Itu motivasinya. Dan sore ini, dia sudah pulang dengan surat sidang.

Karena senang, Hyunsuk dengan sengaja belanja bahan masakan sendiri dan memasak masakan kesukaan Jihoon sendiri, dia ingin membuat perayaan kecil untuknya dan Jihoon malam ini. Dia benar-benar bahagia, bahkan bersenandung riang selama menyiapkan makan malam.

Jihoon datang di waktu yang tepat. Makan malam sudah siap, begitu juga dengan Hyunsuk yang sudah bersolek cantik untuk pacarnya.

“Jihoon! Akhir bulan ini aku sidang!”

Jihoon memeluk Hyunsuk erat. Sangat erat, seperti mengatakan bahwa ia sangat bangga dengan pacarnya. Hyunsuk memang merasa ada yang berbeda dengan pelukan Jihoon malam itu. Sama hangatnya seperti pelukannya yang lain memang, tapi Jihoon tidak terlihat begitu senang. Pelukannya jauh lebih erat, seakan-akan memeluk segenggam pasir yang akan pergi terbawa ombak di lautan.

Hyunsuk akhirnya melepas pelukan mereka, menggapai pipi Jihoon yang dingin karena baru saja dari luar. Hidungnya terlihat merah, suhu malam ini memang suhu paling rendah untuk bulan ini. Hyunsuk tidak curiga dengan wajah sayu itu, awalnya.

“Kamu kenapa, Jihoon? Kenapa kamu malah sedih kalo aku mau sidang?”

Jihoon menggeleng. Tangannya yang jauh lebih dingin menggapai tangan Hyunsuk. Dia memejamkan matanya, menikmati usapan lembut dari tangan Hyunsuk yang hangat. Lantas mengarahkan tangan Hyunsuk ke bibirnya untuk ia kecup.

Hyunsuk tersenyum simpul. Mungkin malam itu hanya ada pikiran buruk yang menghantui Jihoon seperti malam bisanya. Dan beruntungnya Jihoon, ada Hyunsuk yang selalu ada untuknya.

Hyunsuk mengalungkan tangannya di leher Jihoon. Dia tersenyum jahil, “Aku udah mau sidang, nih. Jadi kapan kamu nikahin aku?”

Jihoon jadi tertawa renyah mendengarnya. Dia mencubit hidung Hyunsuk kecil. “Aw! Sakit!” Hyunsuk protes.

“Kamu wisuda dulu dong, baru aku nikahin.”

Hyunsuk mengoceh malam itu. “Kamu lama-lama cari alesan terus! Kamu mau lari dari tanggung jawab, ya?!”

Mereka masih setia berdiri di depan meja makan yang penuh dengan hidangan makan malam. Jihoon terkekeh pelan mendengar ucapan Hyunsuk. Tangannya menarik pinggul Hyunsuk mendekat. “Tanggung jawab apa, sih? Emangnya aku udah apain kamu, Hyunsuk? Udah bikin kamu tambah lucu, hm?”

Hyunsuk mengerucutkan bibirnya, “Kamu udah bikin aku sayaaaang banget sama kamu. Dan kamu harus tanggung jawab buat itu!”

Jihoon tertawa panjang. Hyunsuk tidak merasa ada yang aneh malam itu. Seharusnya Hyunsuk kesal dan mengoceh lebih panjang. Jihoon harus bertanggung jawab! Jika itu yang terus ia katakan, mungkin Jihoon tidak akan pergi.

“Kita jalan-jalan, yuk?”

“Loh, engga makan?”

“Jalan-jalan aja dulu. Aku mau ajakin kamu keliling dan foto sama kamu sebanyak-banyaknya!”

Hyunsuk awalnya curiga, “Emang buat apa foto banyak-banyak?”

“Buat kenang-kenanganlah! Pacarku udah mau sidang.”

Hyunsuk akhirnya kembali tersenyum. Dia sedang berbahagia, tidak terlintas sedikitpun pikiran buruk dengan tingkah aneh Jihoon kala itu. Serta menuruti semua permintaan Jihoon untuk membuat banyak kenangan untuk malam itu.

Hyunsuk tidak berbohong. Dia amat sangat bahagia saat menghabiskan waktu dengan Jihoon. Terlebih lagi malam itu. Hyunsuk banyak tersenyum dan tertawa, seperti orang dungu yang tidak pernah melihat bintang bersinar di langit malam sebelumnya.

Malam menuju pagi. Mereka mencoba untuk memejamkan mata di dalam selimut yang hangat. Di luar sana dingin luar biasa, bahkan sudut jendela sampai sedikit membeku karena suhu udara yang sangat rendah. Hyunsuk jadi tidak keheranan jika Jihoon memeluknya seerat ini.

“Ji,”

Hyunsuk mendongak, menatap Jihoon. Apakah Jihoon benar-benar tertidur?

“Hm?”

Hyunsuk terkikik senang. Jihoon-nya masih bangun!

“Kalo kamu hidup seribu tahun, kamu mau ngapain?”

Jihoon terkekeh. Membuka matanya perlahan. Dia membenarkan posisi tidurnya, agar nyaman menghadap dan menatap mata Hyunsuk lurus ke depan.

“Lama banget seribu tahun? Kayaknya aku ga sanggup hidup selama itu.”

Hyunsuk pura-pura cemberut. “Yah, padahal aku siap hidup seribu tahun bareng kamu.”

Jihoon tertawa panjang. Dia kembali mencubit hidung Hyunsuk sampai memerah.

“Ih, sakit beneran loh, Ji!”

Jihoon hanya terkekeh. Kembali mendekatkan tubuh Hyunsuk untuk masuk ke dalam dekapannya. Lantas mengecup kening Hyunsuk lamat-lamat. Hyunsuk tidak bisa berhenti tersenyum. Seluruh wajahnya menghangat karena panas tubuh Jihoon yang mendekapnya.

Hyunsuk benar-benar merasa bodoh karena harus sangat bahagia malam itu. Hidup bersama seribu tahun? Itu konyol. Hyunsuk konyol. Sekarang, tidak tau siapa yang harus Hyunsuk benci. Jihoon, atau dirinya sendiri.

Hyunsuk mendongakkan wajahnya lagi. Dia tidak ingin tidur meskipun matahari hampir bangun dari peristirahatannya.

Hyunsuk tersentak kaget. Ternyata ada yang jauh tidak ingin tidur. Jihoon masih tersenyum simpul, menatap Hyunsuk seakan-akan itu hari terakhirnya. Hyunsuk yang tidak tau apa yang terjadi—saat itu—ikut tersenyum, sama lebarnya.

Jihoon terkekeh sebelum menyatukan bibir mereka. Hyunsuk buru-buru memejamkan matanya, ingin menikmati kecupan-kecupan hangat Jihoon di musim dingin ini. Hyunsuk ternyata salah, itu bukan kecupan-kecupan, melainkan hanya sebuah kecupan yang terlalu singkat untuk malam panjang ini.

Hyunsuk tidak terima. Dengan wajah bertekuk kesal, dia kembali melumat bibir Jihoon. Tangannya menggapai kedua pipi Jihoon selagi lidahnya mengetuk bibir Jihoon agar membiarkan benda tak bertulang itu menyapa tempat yang dirindukannya.

Hyunsuk tersenyum penuh kemenangan di sela-sela ciuman mereka. Jihoon tidak hanya membalas ciumannya, tapi juga menyelipkan tangannya ke balik piyama Hyunsuk. Dia hampir terkekeh karena merasakan tangan dingin Jihoon menyapu pinggulnya.

Jihoon berpindah untuk mengecup leher Hyunsuk dan meninggalkan bekas kemerahan di sana. Hyunsuk memejamkan matanya, tidak berhenti tersenyum. Hyunsuk berani bersumpah. Seandainya malam itu Jihoon memberikannya kehangatan jauh lebih banyak, pasti kebahagiaannya sempurna malam itu. Seandainya ....

Sayangnya, selagi Hyunsuk melenguh panjang dan mendorong tangan Jihoon yang ada di pinggulnya untuk turun lebih jauh ke bawah, Jihoon justru berhenti. Dia menjauhkan wajahnya dari Hyunsuk, menatap sayu dengan air mata di pelupuk matanya.

Hyunsuk keheranan. Seluruh nafsu yang membakar isi kepalanya tiba-tiba padam, disiram pemandangan menyedihkan itu.

“Jihoon,” Hyunsuk mengusap air mata pertama Jihoon yang turun malam itu, “Kamu kenapa?”

Jihoon menggeleng. Dia bangkit dari tidurnya, menyilakan kaki, dan menatap Hyunsuk lamat-lamat. Dada Hyunsuk terasa semakin ngilu, melihat sudut bibir Jihoon yang terpaksa terangkat.

“Hei, Sayang.” Hyunsuk ikut bangkit. Dia memeluk Jihoon erat.

Alih-alih membalas pelukan Hyunsuk, Jihoon justru melepasnya. Dia menggenggam tangan Hyunsuk sebagai gantinya. Dia tersenyum meski ada air mata yang melewati lengkungan indah itu.

“Hyunsuk,”

Perasaan janggal di hati Hyunsuk semakin besar. Dia berharap bukan kalimat itu yang Jihoon katakan. Dia berharap malam itu tidak pernah terlewatkan olehnya. Seharusnya dia memilih untuk tidur dan terus memeluk Jihoon, bukannya justru menyelesaikan semua perbincangan ini.

“Aku harus ikut papa ke Jepang.”

Hyunsuk sedikit bernapas lega kala itu. Dia tertawa canggung, “Ah, kamu mah bikin kaget! Ke Jepang doang mah ga masalah kali. Aku kan masih bisa telfon atau video call kamu!”

Raut wajah Jihoon tidak berubah sedikitpun. Dia justru menggeleng, mengeratkan genggaman tangannya sebelum mengusap punggung tangan Hyunsuk dengan ibu jarinya. “Hyunsuk, maafin aku.”

“Kenapa kamu minta maaf, Ji?” Hyunsuk tertawa kikuk. “Aku gapapa kok kalo LDR-an.”

Jihoon menggeleng lagi, kali ini lebih tegas. Air mata deras membasahi pipinya, bahkan sampai membuat suaranya semakin parau. “Ada beberapa hal yang harus aku kejar. Dan ada beberapa hal juga yang harus aku patuhin selama bareng papa.”

Jihoon menunduk. Hanya menatap tangan Hyunsuk yang bergetar dalam diam untuk beberapa saat.

“Aku ga mungkin lanjut bareng kamu, Hyunsuk.”

Hyunsuk tertawa lagi. Kali ini lebih canggung. “Kamu mah bercanda mulu, Ji. Jangan nge-prank terus dong.”

“Hyunsuk, aku serius.”

Raut wajah Hyunsuk ikut berubah. Dia menatap Jihoon dalam, kalau-kalau ternyata Jihoon hanya berusaha lebih keras untuk bergurau. Tapi ternyata tidak. Jihoon sangat serius.

“Aku minta maaf, Hyunsuk.”

Hyunsuk melepas genggaman tangan Jihoon. Dia menggeleng pelan. Jika Jihoon pergi, dia tidak akan pernah memaafkannya, Hyunsuk bisa pastikan seratus persen.

“Aku harus pergi, Hyunsuk. Papa cuma punya aku.”

Belum genap mulut Jihoon tertutup, Hyunsuk berbicara. “Kamu tetep milih pergi meskipun kamu tau aku juga cuma punya kamu, Jihoon?”

“Maaf,” hanya itu yang bisa Jihoon katakan.

Cukup lama mereka membiarkan langit-langit ruangan dipenuhi dengan isakan dan permintaan maaf Jihoon. Hyunsuk juga sudah lama ikut terisak, tapi tidak lama dia mengusap air matanya kasar.

“Gapapa! Gapapa, aku bakalan nunggu kamu pulang lagi.”

Tapi, Jihoon lagi-lagi menggeleng. “Hyunsuk, jangan. Aku harus pergi dan ... ga tau kapan harus pulang lagi. Aku ga mau kamu habisin waktu kamu cuma buat nunggu aku, Hyunsuk.”

Hyunsuk menggeleng cepat, “Yaudah, gapapa. Aku bisa nunggu kamu selama yang kamu butuhin. Bahkan kalo itu artinya nunggu kamu selamanya, aku ga masalah sama sekali.”

“Hyunsuk—”

“Lagian, kamu ga langsung ke Jepang, kan? Kamu harus ngurusin surat-surat dan lainnya. Aku masih punya waktu banyak bareng kamu.”

“Hyunsuk, engga.”

Hyunsuk benar-benar terdiam saat itu.

“Aku pergi pagi ini.”

Pelan-pelan Hyunsuk tertawa. Jihoon sampai ketakutan melihatnya. Hyunsuk seperti orang gila, meskipun nyatanya dia memang gila karena Jihoon.

“Terus kenapa kamu masih di sini?”

Jihoon tercekat.

“Kalo dari kemarin-kemarin kamu mau pergi dari aku, kenapa kamu masih di sini? Kenapa kamu masih terus temenin aku padahal kamu harus pergi? Kenapa kamu masih ada di depan aku, padahal kamu mau pergi ninggalin aku? Kenapa kamu masih di sini kalo kamu ga mau sama aku, Jihoon?” Hyunsuk setengah berteriak, “KENAPA?!”

“Hyunsuk, ini bukan keinginan aku. Aku cuma harus pergi—”

“KENAPA?!” Suara teriakan Hyunsuk bercampur isakannya, memotong ucapan Jihoon.

“Kalo kamu mau pergi dan ga mau pulang lagi, seharusnya kamu ga lebih lama di sini, Jihoon. Dengan kamu kasih aku semua kenang-kenangan itu, cuma bikin aku makin sakit.”

Jihoon siap menggapai tangan Hyunsuk yang kosong. Namun, tangannya ditepis bagai serangga menjijikkan yang siap hinggap di tangan Hyunsuk. “Kamu mau ngapain lagi? Kalo kamu mau pergi, seharusnya kamu pergi dari kemarin.”

“Hyunsuk,”

Hyunsuk menarik lututnya untuk dipeluk erat. “Pergi, Jihoon.” Suaranya tenggelam, tapi tetap lantang sampai-sampai didengar Jihoon.

“Hyunsuk, aku minta—”

“PERGI!”

Hyunsuk menangis sejadi-jadinya malam itu. Dia memeluk lututnya erat sembari mendengar langkah Jihoon yang mulai menjauh. Di kepalanya hanya ada suara tangisan dan denting jam yang terus berputar. Membakar habis waktu yang tersisa dan membiarkan kenangan-kenangan bersama Jihoon terputar layaknya video lama.

Hyunsuk tidak pernah menyangka sebelumnya. 365 hari yang dia habiskan bersama Jihoon, akan berakhir dengan perpisahan. 365 hari yang berlalu ternyata hanya sebuah kenangan. Juga 365 hari yang akan datang hanya sebuah angan-angan. Lalu, bagaimana dengan semua permohonan konyol yang mereka rapalkan setiap malam? Apa mungkin Hyunsuk bisa melalui 365 hari lainnya sendirian, setelah begitu banyak hari yang mereka habiskan bersama?

Antar Bos Bayi Liat Sapi

Mereka udah keliling lima tempat, tapi bukan rezeki Cakra untuk melihat sapi malam ini. Cakra uring-uringan lagi. Dia merengek sepanjang perjalanan karena mau lihat sapi.

“Kita makan sapi aja, yuk?”

Cakra peluk Mas Alam makin erat. “Maunya liat sapi yang masih utuh, Mas!”

Mas Alam hanya terkekeh, mencoba sabar menghadapi pacar bayi yang bersembunyi di balik pria berusia hampir 20 tahun. “Kalo masih ga ketemu juga, mau gimana?”

Cakra mengerucutkan bibirnya. Bener juga sih, ini bahkan mereka udah sampai di kota seberang. Mencari sapi semalam ini di mana? Oke, Cakra kayaknya harus kurang-kurangin sifat kekanak-kanakannya ini.

“Yaudah, kita pulang aja, Mas.”

“Engga mau makan?”

Cakra masih cemberut, geleng-geleng.

“Kenapa masih engga mau? Kamu baru mau makan abis ngeliat sapi, gitu?”

Cakra setengah melotot, “Engga mau aja, ih!”

Mas Alam tertawa panjang, “Yaudah, sayanya jangan dimarahin terus gitu dong.”

Cakra cemberut lagi. Lantas memeluk Mas Alam lebih erat. Mereka melintasi jalan raya tanpa tujuan, tanpa obrolan, dan tanpa gelak tawa. Cakra diam. Mas Alam pun diam. Entah keheranan dengan Cakra yang tiba-tiba diam, atau membiarkan Cakra tenggelam dengan pikirannya sendiri.

“Aku kayak anak kecil, ya, Mas? Iya, kayaknya aku kayak anak kecil. Masa aku minta liat sapi sampe segitunya. Padahal aku tinggal liat aja sendiri di masjid deket kost. Tapi aku malah ngerecokin Mas Alam yang sibuk. Aduh, aku beneran kayak anak kecil.”

Mas Alam tertawa lagi. Suara Cakra tenggelam di dalam helm kebesarannya, tidak semua kalimat-kalimat panjang itu bisa didengar Mas Alam. Tapi sedikit banyak bisa membuat Mas Alam tertawa panjang.

“Gapapa, Cakra. Kamu punya saya kan emang buat direcokin.” Mas Alam berhenti berbicara sebentar, dia menarik tangan Cakra agar kembali memeluknya. “Gapapa. Besok-besok mungkin saya yang recokin kamu.”

Cakra kembali terdiam. Entah tidak mendengar ucapan Mas Alamnya atau tidak bisa berkata-kata dengan balasan Mas Alam. Sebelum Mas Alam ingin kembali bersuara, Cakra akhirnya menjawab.

“Mas Alam jangan gitu ... nanti aku jadi makin sayang.” Cakra setengah bercicit.

“Gimana, Cakra? Tolong ulangi, saya ga kedengeran.”

Cakra menarik napas dalam-dalam, “MAS ALAM JANGAN GITU!” Cakra berteriak, setengah emosi karena sejak tadi suaranya selalu tidak terdengar. “NANTI AKU MAKIN SAYANG MAS ALAM!”

Mas Alam justru tertawa puas. Untungnya motor yang mereka naikin ga sampai oleng. Cakra sampai ikut tertawa karena mendengar tawa Mas Alam yang sangat renyah.

“Sayang aku juga-nya mana?” Tagih Cakra. Suaranya lebih keras kali ini.

“Setiap hari bareng kamu, juga bikin saya makin sayang sama kamu, Cakra.” Suara Mas Alam terdengar lantang dan tegas.

Cakra jadi memerah. Mas Alam selalu sama, dia tidak pernah ragu setiap berbicara maupun bertindak. Dia selalu mengatakan semua yang ada di pikirannya dengan lantang dan tegas, tanpa ada ragu dan kesan mengintimidasi. Siapa sangka, ternyata Mas Alam sama tegasnya dalam mencintai. Dan Cakra merasa sangat beruntung karena dialah orangnya.

Tidak lama Hyunsuk selesai dari kamar mandi, mencuci lukanya dan bersih-bersih untuk tidur, Ireng Raksasa tiba-tiba datang. Mencolek baju tidurnya.

“Ayo, makan dulu.”

Tuh, kan. Ireng Raksasa emang rese! Dia yakin 176 persen kalau yang barusan itu, Ireng yang lagi kesurupan Ireng Raksasa.

“Ga mau.” Hyunsuk memunggungi Jihoon.

“Makan dulu. Kamu belum makan dari siang.”

“Biarin.”

Jihoon akhirnya membuka selimut yang menutupi tubuh Hyunsuk.

“Ireng!” Hyunsuk jadi marah bukan main. “Jangan nakal! Jangan gangguin aku! Jangan gangguin Ochi!”

Wajah Jihoon berubah datar. Untungnya Ireng Raksasa tidak bisa memelas seperti yang biasanya Ireng lakukan. Jika bisa, mungkin Hyunsuk tidak akan pernah bisa marah lagi.

“Liat!” Hyunsuk menunjukkan tangannya yang ditutupi handsaplast. “Untung aku yang berdarah! Kalo Ochi yang berdarah gimana?!”

“Gimana?”

“He?”

“Emangnya kalo Ochi yang berdarah, kamu bakalan gimana?”

“Ha?”

Jihoon menghela napas panjang, “Kalo Ochi yang berdarah kenapa? Kamu bakalan ngelakuin apa? Usir aku dari rumah, iya?”

Hyunsuk mendelik, “Kenapa Ireng begitu? Ireng emang pingin nyakar Ochi juga? Iya?”

Jihoon cuma bisa diam.

“Kenapa Ireng begitu sih? Ireng kan salah, seharusnya Ireng minta maaf bukannya malah ngambek kayak gini. Ireng kenapa jadi nakal?”

“Maaf.”

Hyunsuk makin keheranan, Jihoon justru mengeluarkan suara seperti kucing kejepit. “Ha? Kenapa?”

“Maafin aku. Jadi sekarang kamu harus makan.”

Hyunsuk menahan senyumnya. Ternyata Ireng Raksasa mau minta maaf, ya. “Minta maaf itu yang bener!”

Jihoon akhirnya duduk di sisi kasur. Dia mendekatkan wajahnya ke arah Hyunsuk, tangannya bertumpu di antara tubuh Hyunsuk, kini mereka saling bertatapan. Wajah mereka hanya berjarak lima senti. Dan Jihoon yakin, Hyunsuk bisa melihat ketulusannya. “Maafin aku.”

Cukup lama mereka ada di posisi itu. Jihoon menatap Hyunsuk dalam, matanya berbinar karena mengharapkan sesuatu. Hyunsuk cekikikan. Akhirnya dia meletakkan tangannya di atas kepala Jihoon. Dia selalu paham apa yang Ireng atau Ireng Raksasa inginkan.

“Pinter, Ireng Raksasa!” Hyunsuk mengusap pucuk kepala Jihoon.

“Jihoon!”

Hyunsuk makin cekikikan, “Pinter, Jihoon!”

Jihoon akhirnya tersenyum senang. Matanya sampai terpejam, kepalanya mengikuti gerakan tangan Hyunsuk. Hyunsuk selalu tau, Ireng selalu suka dielus. Begitu juga dengan Ireng Raksasa yang galak, padahal sebenarnya dia juga sama-sama kucing.

“Jadi, sekarang kamu harus makan!”

Hyunsuk sekarang yang menghela napas malas. “Males ah! Udah malem, Ireng!”

“Tapi kamu belum makan dari siang. Kasian perutmu.”

Hyunsuk hendak merebahkan dirinya lagi, tapi Jihoon menahannya kali ini. “Kalo kamu ga mau makan, mau temenin aku makan?

Hyunsuk berpikir cukup panjang. Akhirnya, “Boleh deh! Tapi ....”

“Tapi?”

“Gendong aku!”

Jihoon terkekeh pelan. Dia tidak protes atau menjawabnya. Tapi Jihoon langsung bereaksi, dan meletakkan tangannya di belakang lutut serta punggung Hyunsuk.

Kali ini bukan cuma Jihoon yang kesenengan karena Hyunsuk akhirnya makan. Tapi Hyunsuk juga, karena digendong Ireng Raksasa. “Yeay!”

Jihoon terkekeh sekali lagi.

“Oh!” Hyunsuk meletakkan telinganya di dada Jihoon. “Jantungnya Ireng kenceng banget bunyinya!”

Jihoon tampak tersenyum tulus. Dia harap Hyunsuk tau, jika dia sangat senang bisa makan bersama Hyunsuk melalui suara detakan jantungnya.

“Bener, ya, ternyata. Aku baca di google, katanya jantung kucing itu berdetaknya lebih kenceng. Makanya Ireng Raksasa juga begitu!”

Jihoon hanya bisa tertawa. Dia mengusap-usap kepala Hyunsuk, hal yang Hyunsuk lakukan ketika memuji Ireng. “Pinter, Hyunsuk!”

Hyunsuk jadi malu. “Aku bukan kucing, Ireng! Jangan puji aku kayak gitu!”

“Terus, kalo mau puji manusia kayak gimana?”

Hyunsuk cekikikan. Dia sudah duduk di kursi. Di hadapannya, Jihoon bersimpuh dengan satu kakinya. Jihoon tampak terkejut karena tiba-tiba Hyunsuk mengalungkan tangan di lehernya. “Kalo manusia itu sukanya dicium! Kalo Ireng mau puji aku, caranya cium aku.”

Hyunsuk menyodorkan pipinya untuk Jihoon kecup. “Ayo, cium!”

Jihoon takut-takut ingin mengecup pipi Hyunsuk. Tapi akhirnya ... “Ah engga!” Jihoon mengurungkan niatnya untuk benar-benar mengecup Hyunsuk.

“Kamu kan juga nakal! Engga mau makan dari siang!”

Hyunsuk jadi bete. Akhirnya, selama Jihoon menyiapkan nasi dan lauk pauk, Hyunsuk juga menyiapkan hukuman yang pas untuk Ireng yang nakal.

“Ireng nakal!”

Jihoon balik kanan, meletakkan nasi dan lauk di meja makan. Juga menyodorkannya ke Hyunsuk yang cemberut. “Makan.”

“Ireng nakal! Jadi harus aku hukum.”

Wajah Jihoon berubah galak. “Terserah mau hukum apa, yang penting kamu makan.”

“Ireng harus tidur sama aku!”

“Apaan?” Jihoon kebingungan.

“Iya, itu hukumannya! Ireng harus tidur sama aku.”

Jihoon menunduk, menyembunyikan senyumnya. Dia baru tau, ada hukuman yang ternyata tidak menyiksa.

“Iya. Aku tidur bareng kamu.”

“Di kasur!”

“Iya. Di kasur.”

“Sama aku!”

“Iya, Hyunsuk. Sama kamu, di kasur.”

Hyunsuk memicingkan matanya, “Awas, ya! Pas aku bangun, Ireng ga ada di samping aku!”

“Iya!”

Hyunsuk kegirangan, “Oke, deal! Aku bakalan makan!”

Jihoon jadi tertawa. Ikut girang karena ternyata Hyunsuk segirang itu tidur dengannya.

“Seneng banget bisa tidur sama kucing kesayangan!”

Perlahan senyum Jihoon pudar. Ternyata ... sampai kapanpun tidak akan ada Jihoon yang Hyunsuk lihat. Jihoon akan selalu jadi Ireng Raksasa untuk Hyunsuk. Dan dia tidak akan pernah menjadi Jihoon untuk Hyunsuk.

Tidak lama Hyunsuk selesai dari kamar mandi, mencuci luka dan bersih-bersih untuk tidur, Ireng Raksasa tiba-tiba datang. Mencolek baju tidurnya.

“Ayo, makan dulu.”

Tuh, kan. Ireng Raksasa emang rese! Dia yakin 176 persen kalau yang barusan itu, Ireng yang lagi kesurupan Ireng Raksasa.

“Ga mau.” Hyunsuk memunggungi Jihoon.

“Makan dulu. Kamu belum makan dari siang.”

“Biarin.”

Jihoon akhirnya membuka selimut yang menutupi tubuh Hyunsuk.

“Ireng!” Hyunsuk jadi marah bukan main. “Jangan nakal! Jangan gangguin aku! Jangan gangguin Ochi!”

Wajah Jihoon berubah datar. Untungnya Ireng Raksasa tidak bisa memelas seperti yang biasanya Ireng lakukan. Jika bisa, mungkin Hyunsuk tidak akan pernah bisa marah lagi.

“Liat!” Hyunsuk menunjukkan tangannya yang ditutupi handsaplast. “Untung aku yang berdarah! Kalo Ochi yang berdarah gimana?!”

“Gimana?”

“He?”

“Emangnya kalo Ochi yang berdarah, kamu bakalan gimana?”

“Ha?”

Jihoon menghela napas panjang, “Kalo Ochi yang berdarah kenapa? Kamu bakalan ngelakuin apa? Usir aku dari rumah, iya?”

Hyunsuk mendelik, “Kenapa Ireng begitu? Ireng emang pingin nyakar Ochi? Iya?”

Jihoon cuma bisa diam.

“Kenapa Ireng begitu sih? Ireng kan salah, seharusnya Ireng minta maaf bukannya malah ngambek kayak gini. Ireng kenapa jadi nakal?”

“Maaf.”

Hyunsuk makin keheranan, Jihoon justru mengeluarkan suara kucing kejepit. “Ha? Kenapa?”

“Maafin aku. Jadi sekarang kamu harus makan.”

Hyunsuk menahan senyumnya. Ternyata Ireng Raksasa mau minta maaf, ya. “Minta maaf itu yang bener!”

Jihoon akhirnya duduk di sisi kasur. Dia mendekatkan wajahnya ke arah Hyunsuk, tangannya bertumpu di antara tubuh Hyunsuk, kini mereka saling bertatapan dalam. “Maafin aku.”

Cukup lama mereka ada di posisi itu. Jihoon menatap Hyunsuk dalam, matanya berbinar karena mengharapkan sesuatu. Hyunsuk cekikikan. Akhirnya dia meletakkan tangannya di atas kepala Jihoon. Dia selalu paham apa yang Ireng atau Ireng Raksasa inginkan.

“Pinter, Ireng Raksasa!” Hyunsuk mengusap pucuk kepala Jihoon.

“Jihoon!”

Hyunsuk makin cekikikan, “Pinter, Jihoon!”

Jihoon akhirnya tersenyum senang. Matanya sampai terpejam, kepalanya mengikuti gerakan tangan Hyunsuk. Hyunsuk selalu tau, Ireng selalu suka dielus. Begitu juga dengan Ireng Raksasa yang galak, padahal sebenarnya dia sama-sama seperti kucing.

“Jadi, sekarang kamu harus makan!”

Hyunsuk sekarang yang menghela napas, malas. “Males ah! Udah malem, Ireng!”

“Tapi kamu belum makan dari siang. Kasian perutmu.”

Hyunsuk hendak merebahkan dirinya lagi, tapi Jihoon menahannya kali ini. “Kalo kamu ga mau makan, mau temenin aku makan?

Hyunsuk berpikir cukup panjang. Akhirnya, “Boleh deh! Tapi ....”

“Tapi?”

“Gendong aku!”

Jihoon terkekeh pelan. Dia tidak protes atau menjawabnya. Tapi Jihoon langsung bereaksi, dan meletakkan tangannya di belakang lutut serta punggung Hyunsuk.

Kali ini bukan cuma Jihoon yang kesenengan karena Hyunsuk akhirnya makan. Tapi Hyunsuk juga karena digendong Ireng Raksasa. “Yeay!”

Jihoon terkekeh sekali lagi.

“Oh!” Hyunsuk meletakkan telinganya di dada Jihoon. “Jantungnya Ireng kenceng banget bunyinya!”

Jihoon tampak tersenyum tulus. Dia harap Hyunsuk tau, jika dia sangat senang bisa makan bersama Hyunsuk dengan suara detakan jantungnya.

“Bener, ya, ternyata. Aku baca di google, katanya jantung kucing itu berdetaknya lebih kenceng. Makanya Ireng Raksasa juga begitu!”

Jihoon hanya bisa tertawa. Dia mengusap-usap kepala Hyunsuk, hal yang Hyunsuk lakukan ketika memuji Ireng. “Pinter, Hyunsuk!”

Belajar Bareng Bos Bayi

Sekarang sudah pukul 10 malam. Alam mulai kesal dengan tingkah pacarnya itu. Satu jam belakangan ini, Cakra tidak ada henti-hentinya mengecup bibir, pipi, atau semua permukaan kulit Alam yang bisa ia gapai. Bukan itu yang bikin Alam kesal sebenarnya, tapi ....

“Jangan cium saya lagi, Cakra.”

Cakra seperti orang tuli, tidak mempedulikan ucapan Alam. Dia bahkan memeluk lengan kekar Alam dan berjinjit-jinjit agar bibirnya mendarat sempurna di bibirnya. “Mas Alam bilang 'saya' lagi, jadi harus aku hukum.”

Alam mendengus kasar. Oke. Kalau Cakra tidak ingin mendengarkan, Alam cuma bisa diam. Dia tidak akan berbicara lagi.

Alam kali ini benar-benar kehabisan kata-kata. Dari mana Cakra belajar menjadi begitu egois? Apa panggilan “saya-kamu” itu sangat penting sampai Cakra harus berbuat sejauh ini?

“Mas, cium dulu! Tadi Mas Alam ngomong 'saya' tau!”

Alam tidak mendengarkan. Dia membiarkan Cakra mengecupnya sesuka hati. Alam ikutan seperti orang tuli, tidak mempedulikan ucapan Cakra. Bahkan ketika tangan Cakra bertumpu di meja dapur agar dia bisa berjinjit lebih tinggi pun Alam masih bergeming, mengaduk tehnya dengan hikmat.

“Mas Alam kenapa tinggi banget, sih? Aku susah nih mau cium!”

Kalau situasinya lebih memungkinkan, mungkin Alam sudah tertawa terbahak-bahak sekarang. Pacarnya itu selalu menggemaskan, tapi dia tidak boleh tertawa sedikitpun. Tidak boleh, Alam sedang marah sekarang.

“Mas, Mas! Mau cium dul—”

Prang!

Dengan segala kecerobohannya, Cakra menjatuhkan teh yang akan Alam bawa ke ruang tengah. Wajahnya seketika pucat. Mas Alamnya itu sangat benci kecerobohan. Cakra jadi tersenyum kikuk. Apa dia harus mengecup bibir Alam sekali lagi sebagai permintaan maaf?

Cakra bersiap untuk melangkah maju dan mengecup Alam lagi. Namun, langkahnya ditahan dengan teriakan lantang Alam. “Diem, Cakra!”

Cakra langsung berdiri kaku.

“Saya ingetin sekali lagi. Berenti cium saya! Diem di situ dan jangan coba-coba maju.”

Cakra akhirnya diam. Benar-benar tidak berani maju satu mili pun dari tempatnya. Dia memperhatikan Alam yang mondar-mandir merapikan kekacauan yang Cakra buat sambil menahan air matanya.

Alam memang orang yang tegas, makanya dia diamanahi jadi asisten dosen tergalak di jurusannya. Tapi Alam juga tidak pernah membentak Cakra sampai seperti tadi, ketika Cakra telat makan sekalipun, atau bahkan ketika Cakra telat 1 jam dari waktu kumpul mereka. Kenapa Mas Alam marah besar hanya karena dia tidak bisa berhenti untuk menciumnya?

“Mas Alam,” cicit Cakra ketika dapur sudah bersih dari beling-beling.

Alam tidak mendengarkan. Dia pergi, meninggalkan Cakra yang bergeming di tempatnya.

“Mas Alam,” Cakra panggil lagi. Kali ini agak keras karena Alam sudah berjarak beberapa langkah darinya.

“Mas Alam jangan diemin aku!” Cakra mulai protes. Lantas berlari kecil mengejar Alam dan menahan langkahnya. Enak aja Cakra dicuekin.

Alam sepertinya sudah mulai jengah dengan semua agenda cium-mencium karena “saya-kamu” ini. Sebelum Cakra menarik tangannya, Alam lebih dulu balik kanan dan mendorong Cakra hingga ke sisi meja makan. Gerakannya sangat cepat, Cakra hampir terjatuh sangking kagetnya.

Alam memeluk pinggul Cakra karena sebelumnya hampir terjatuh. Dia cepat menahan tangan Cakra yang ingin menyentuh pipinya.

“Jangan cium lagi.”

Cakra merinding takut, Alam mengatakannya dengan suara rendah serta tatapan dingin. Tapi hukum tetap harus ditegakkan. Demi keadilan, Mas Alam masih harus dihukum. Tidak masalah tubuhnya dikukung lengan besar Mas Alam. Tidak masalah satu tangannya ditahan Mas Alam. Dia hanya perlu berjinjit lebih tinggi untuk mencapai bibir Mas Alam. Dan jangan lupakan tangan lainnya, yang bisa Cakra gunakan untuk mengusap pipi Mas Alam, berharap tatapan dingin itu menghangat.

Namun sayang, Alam yang tubuhnya tinggi besar itu justru ikut berjinjit. Cakra tanpa sepatu dan insole tingginya tidak mungkin bisa mencapai bibir Alam yang berjinjit. Cakra mendengus kasar. Oke, Cakra menyerah.

“Mas Alam curang, pake jinjit segala!”

Alam masih menatap Cakra dingin. Bikin yang ditatap akhirnya menoleh ke arah lain, ketakutan. “Lagian apa yang buat kamu benci banget denger saya ngomong 'saya', hm?”

“Aku ga benci!”

“Terus kenapa kamu ga mau saya ngomong 'saya'? Apa ada strandardisasi perasaan sayang seseorang atas panggilan 'saya-kamu' atau 'aku-kamu' atau 'gue-lo'?”

Kening Cakra mengkerut, “Ga ada! Tapi aku kepikiran. Gimana kalo Mas Alam beneran ga sayang kayak yang orang-orang bilang?”

Belum genap ucapan Cakra, Alam menundukkan kepalanya, menyatukan bibirnya dengan bibir Cakra yang belum sempurna menutup. Alam memejamkan matanya, melumat bibir Cakra dalam-dalam. Di sela-sela lumatannya, dia bisa merasakan Cakra yang tersenyum penuh kemenangan.

Jemari manis Cakra menggapai pipi Alam dan mengusapnya lembut. Perlahan dia memejamkan matanya, menikmati semua lumatan dan kecupan yang kali ini tidak hanya sepihak. Dia melenguh pelan karena Alam menghisap bibir bawahnya dan menggigitnya pelan sebelum menjauhkan wajahnya.

Cakra sedikit kecewa karena ciuman panas tadi harus selesai dengan cepat. Bibirnya mengerucut. Entah kenapa, Alam justru terkekeh pelan. Tidak ada puas-puasnya anak ini, mungkin begitu pikirnya.

“Apa kecupan-kecupan tadi kurang buat liat seberapa sayang saya sama kamu, hm?”

Cakra cemberut. Dengan tubuhnya yang masih dikukung tubuh besar Alam, dia susah payah naik ke atas meja makan. “Nah, gini kan aku bisa liat Mas Alam lebih enak.” Dia terkekeh sambil memeluk leher Alam. Kakinya menggantung di bawah meja makan. Gigi putihnya berjejer rapi di antara senyumnya.

“Jawab dulu pertanyaan saya. Masih kurang, hm?”

Cakra cemberut lagi, dan mengganguk cepat. “Kurang lama ciumnya!”

Alam tertawa pelan. Cakra ikut tersenyum, bersyukur pacarnya itu ga marah lama-lama. “Cium lagi, Mas. Tapi sekarang yang lama.”

Mana mungkin Alam bisa menolak. Dia tertawa lagi sebelum kembali menghapus jarak antara mereka. Kali ini, Alam tidak perlu menunduk lebih lama karena wajah mereka sejajar.

Bibir mereka kembali menyatu. Cakra membiarkan benda kenyal dan basah itu masuk ke dalam rongga mulutnya, menikmati tarian lidahnya dengan lidah Alam. Lumatan mereka terkadang terlepas, entah untuk bernapas atau memiringkan kepala untuk mencari posisi terbaik.

Tangan Alam tidak diam saja. Tangan kanannya meremas pinggul Cakra pelan, dan tangan kirinya diselipkan ke dalam celana joger Cakra yang sedikit kebesaran, mengusap lembut bokong Cakra yang membulat sempurna. Cakra jadi mendesah pelan di antara lumatan mereka.

Cakra tidak ingin kalah. Selagi tangan satunya menelesik di antara rambut-rambut Alam agar ciuman mereka semakin dalam, tangan lainnya ikut masuk ke dalam piyama pacarnya. Dia menyapu pelan otot-otot yang ada di perut Alam. Tubuhnya sedikit gemetar, mungkin karena tangan Cakra yang dingin itu sedikit mengagetkannya.

Cakra mengeluh pelan karena Alam mengigit lidahnya kecil. Ternyata Mas Alam mau isengin dia, ya? Oke. Cakra bisa lebih iseng. Jemari mungil Cakra kembali menyapu perut Alam yang kotak-kotak. Dia terus ke atas, mencari ceruk otot dada yang ada di atas perut. Cakra tersenyum kecil karena sudah menemukan apa yang dia cari. Lantas mendorong lidahnya agar masuk ke mulut Alam lebih dalam dan memilin benda yang tengah ia pegang.

“Akh!” Alam menjauhkan wajahnya. Wajahnya merengut.

“Ih, kenapa, sih?” Malah Cakra yang mengomel.

“Saya kaget.”

Cakra jadi semakin mengoceh, “Lebay! Aku biasanya juga digigit-gigit sama Mas Alam tuh. Mang pernah aku ngeluh-ngeluh gitu? Engga tuh. Terus sampe berenti cium Mas Alam? Engga tuh.”

Alam tertawa lepas. Dia kembali menyatukan bibir mereka singkat. “Jangan marahin saya dong.”

“Ya, gimana engga aku marahin!” Cakra setengah berteriak, “Orang Mas Alam masih 'saya-kamu' terus!”

“Makanya, jangan hukum saya.”

Cakra protes lagi, “Ya, Mas Alam dong makanya jangan—”

Alam ber-sst panjang, meletakkan jari telunjuknya di bibir Cakra. “Daripada hukum saya, lebih baik kamu ajarin saya.”

Wajah marah bercampur cemberutnya itu masih ada ketika Alam menjauhkan jarinya dari bibir Cakra. “Ajarin apa?” Tanya Cakra sok galak.

“Ajarin gimana caranya biar saya ga ngomong 'saya-kamu' lagi. Bos Bayi harus bisa ajarin asistennya.”

Cakra jadi tersenyum salting. “Apaan sih, lucu banget Bos Bayi.”

Alam terkekeh pelan, “Jadi gimana? Mau ajarin saya ga, Bos Bayi?”

Cakra ikut terkekeh. Matanya yang menatap mata Alam dalam, sekarang turun ke leher jenjang Alam yang masih bersih dari corak-corak kemerahan. Dia tersenyum jahil, bagian itu belum dia sentuh sama sekali.

“Oke!” Cakra memeluk leher Alam lagi, serta kakinya yang mencapit pinggul Alam kuat-kuat. “Sekarang gendong aku.”

“Hap!” Alam menggendong Cakra sambil mengecup pipinya singkat. “Sekarang kita ke mana, Bos Bayi? Ke kamar?”

Cakra menggeleng cepat, “Ke situ! Ke situ!” Dia menunjuk sofa ruang tengah yang menghadap ke arah tv.

Alam tertawa pelan. “Kenapa ga di kamar aja, Bos Bayi? Bos Bayi ga mau tiduran emangnya?” Dia terdengar protes, tapi kakinya tetap melangkah pelan menuju sofa.

“Engga mau! Kalau belajar sambil rebahan jadinya males tau. Kita harus cari posisi yang nyaman buat belajar.”

Alam tertawa pelan. Membenarkan posisi duduknya agar Cakra si Bos Bayi bisa duduk dengan nyaman. “Jadi saya harus apa sebagai pengawalan belajar ini, Bos Bayi?”

Cakra berdeham pelan, “Ekhem!” Jari telunjuknya naik ke atas, “Yang pertama, Mas Alam ga boleh pake 'saya' harus pake 'mas'. Paham?”

Alam cekikikan, “Paham, Bos Bayi.”

“Yang kedua,” Cakra mengangkat juga jari tengahnya, membentuk isyarat angka dua. “Mas Alam ga boleh protes selama sesi belajar ini.”

“Iya, Bos Bayi.” Alam tertawa lagi.

“Yang ketiga,” kali ini Cakra menurunkan tangannya. Dia kembali melingkarkan tangannya di leher Alam, “Mas Alam ga boleh ngapa-ngapain. Biar aku yang ajarin Mas Alam. Mas Alam paham?”

“Paham, Bos Bayi.” Alam mengecup bibir Cakra singkat setelah ucapannya selesai.

“Hayo, peraturan ketiga kan Mas Alam ga boleh ngapa-ngapain. Biar aku yang cium Mas Alam.”

Alam tertawa singkat. Sudah kehilangan kata-kata dari seluruh kamusnya untuk membalas ucapan Cakra yang gemasnya di luar perkiraan siapapun itu. Dia akhirnya hanya bisa mendesah pelan ketika Cakra mulai melumat lehernya.

Alam terkekeh pelan. Cakra membuka kancing baju tidurnya satu persatu selagi dia terus meninggalkan jejak kemerahan di lehernya. Alam ikut berkontribusi di dalam pembelajaran malam itu, dia membuka piyamanya cepat-cepat, dan melemparnya ke sembarang arah.

Cakra kembali duduk tegak. Dia meniti bagian atas Alam yang terbebas dari sehelai pun kain. Alam ikut tersenyum bangga ketika melihat senyum Cakra yang terlihat seperti memuji tubuh indahnya.

“Bos Bayi mau apa? Mas punya Bos Bayi sekarang.”

Cakra cekikikan. Entah gemas, entah sedikit lucu mendengar ucapan pacarnya. Tapi gemas atau tidak gemas, lucu atau tidak lucu, Cakra tetap tertarik dengan dua choco chips kecil yang ada di dada Alam.

Alam kembali mendesah, kali ini lebih kencang. Cakra hampir tidak pernah memanjakan nipple-nya seperti ini, atau bisa jadi Alam lupa karena terlalu menikmati permainan mereka dua bulan lalu. Ketika malam pertama, dan malam kedua setelah mereka resmi berpacaran. Kalau diingat-ingat, sepertinya itu terakhir kali mereka bertelanjang dan saling berbagi kehangatan.

Cakra memainkan lidahnya di titik cokelat itu, seakan-akan itu benar-benar choco chips yang manis. Mungkin juga memang begitu rasanya, Alam mengerti betapa gemasnya ketika lidahnya bertemu dengan milik Cakra. Nafsunya semakin menjadi-jadi karena tangan Cakra yang dingin bermain-main di dadanya yang lain. Miliknya sudah berdiri tegak di bawah sana bahkan hanya dengan memikirkan yang barusan.

Cakra terkekeh pelan. Dia kembali duduk tegak. Tangannya lurus menyentuh kedua pipi Alam. “Kayaknya belajarnya belum cukup. Soalnya Mas Alam belum ngomong pake 'mas'.”

Alam perlu bersyukur, karena Bos Bayi-nya itu selalu punya cara untuk mengajarkannya dengan cara yang gemas. Sekarang Cakra bersimpuh di atas karpet berbulu, duduk di antara kedua kaki Alam yang melebar. Karena tidak melihat penolakan—dan memang tidak bisa menolak—dari Alam, Cakra menurunkan celana Alam sampai bawah. Dia cekikikan, melihat pinggul pacarnya yang tersentak hanya karena ibu jarinya mengusap kepala penisnya yang kemerahan.

“Cakra, jangan ketawain saya—” ucapan Alam terputus karena Cakra menatapnya tajam. “Jangan ketawain Mas gitu dong, Cakra.”

Cakra jadi sedikit bad mood, awalnya dia mau cepet-cepet aja ajarin Mas Alam. Tapi dia jadi berubah pikiran. Akhirnya, Alam lagi-lagi dibuat mendesah dengan kenikmatan yang Cakra beri. Dia menaik-turunkan kepalanya, sesekali lidahnya memainkan benda panjang nan besar, dan merasakan urat-urat yang mencuat dari kulitnya.

“Cakra, saya mau—” ucapan Alam lagi-lagi terputus. Cakra menatapnya sambil terus menaik-turunkan kepalanya.

“Cakra,” Alam memejamkan matanya kuat. “Jangan giniin Mas dong.”

Cakra akhirnya menjauhkan wajahnya dari kaki Alam yang membuka semakin lebar. Dia membersihkan sisi bibirnya yang berantakan dengan campuran saliva dan precum. “Mas Alam maunya apa?” Cakra akhirnya duduk lagi di atas Alam, menduduki penisnya yang masih berdiri tegak.

“Buka bajunya, Bos Bayi. Mas mau liat juga.”

Cakra tertawa pelan, “Ga boleh.”

“Kenapa? Kan Mas udah ga pake 'saya' lagi. Jangan dihukum terus dong.” Bibir Alam sedikit mengerucut. Bukan sok lucu, tapi dia memang kesal. Apa Bos Bayi-nya tidak bisa langsung ke inti saja? Dia lelah menjadi setengah gila seperti ini.

“Mas Alam ga boleh liat nenenku. Nanti digigit.” Balas Cakra yang ikut cemberut.

Alam jadi tertawa. Ya, lagi pula ada kah yang tahan untuk tidak menyusu di dada putih, lembut, dan manis itu. Alam bahkan berubah sinting saat pertama kali melihat itu.

Alam tertawa lagi karena Cakra benar-benar tidak membuka kaos putihnya yang agak kebesaran. Joger kelabu dan celana dalamnya sudah tergeletak di atas karpet berbulu. Dia kembali naik ke atas Alam sambil mengusap lembut benda yang dua bulan lalu membuatnya menangis karena rasa nikmat.

Alam tersenyum simpul, berharap bibir manis pacarnya mau bertemu dengan bibirnya. Cakra cekikikan, “Mas Alam mau dicium toh?”

“Hu'um,” Alam mengangguk cepat, “Cium Mas, Cakra.”

Cakra akhirnya mengecup bibir pacarnya dalam-dalam. Tangannya mengusap pipi Alam lembut sambil tangannya yang lain menuntun milik Alam masuk ke tempat yang semestinya.

Mereka berdua melenguh panjang ketika akhirnya setelah waktu yang cukup lama mereka kembali menyatu. Cakra memeluk dan menenggelamkan wajahnya cukup lama di bahu lebar Mas Alam. Seluruh tubuhnya menegang seketika, dari dada hingga perut rasanya begitu penuh, entah penuh dengan perasaan sayang tak terkira atau karena benda yang berkedut-kedut di dalam perutnya.

Alam mengecup pipi Cakra singkat. “Kenapa Bos Bayi diem aja?”

Cakra menggeleng-geleng. Dia butuh bernapas sebentar, akhirnya dia memutuskan untuk mengecup bahu dan leher Alam bergantian.

Alam terkekeh pelan dibuatnya, “Kenapa? Sakit, kah?”

Cakra duduk tegak, “Engga! Malah enak tau!”

Alam membulatkan matanya, lantas tertawa pelan. Siapa yang akan tahan dengan segala kegemasan ini. Alam saja hampir ditelan bumi sangking gemasnya.

Cakra sedikit mengangkat pinggulnya. Dia mengeluh pelan, “Aduh, Mas. Jangan goyang-goyang.” Matanya memelas.

Alam memeluk pinggul rampingnya itu, menatapnya khawatir. “Kenapa? Sakit beneran, ya?”

Cakra menggeleng-geleng kecil, “Asisten diem aja. Biar Bos Bayi yang goyang.”

Alam menahan tawanya. Astaga, si Bos Bayi ini, tidak bisakah dia setidaknya berhenti menggemaskan sedetik saja?

Oke. Lupakan segala kegemasan yang dilakukan si Bos yang terperangkap di dalam tubuh bayi itu. Karena Bos Bayi itu benar-benar bisa menggoyangkan pinggulnya dan siap menghancurkan segala kewarasan Alam.

Suara mereka yang semakin rendah terdengar sampai langit-langit ruangan. Nama mereka tertulis di atas sana, bergantian terdengar menghiasi malam Senin yang terasa sangat panas ini. Pinggul ramping Cakra tidak berhenti naik-turun. Dia melingkarkan tangannya di leher Alam sambil mencumbu bibirnya.

Gerakannya mulai melemah. Mungkin dia sudah mulai lelah atau mungkin juga ....

“Sebentar dulu ya, Mas Alam. Istirahat sepuluh menit di sela-sela belajar itu penting.” Ucap Cakra sambil mengatur deru napasnya.

Maaf, Cakra, tapi Mas Alam-mu ini sepertinya akan belajar dengan ugal-ugalan. Kedua tangan besarnya menggenggam pinggul ramping Cakra, lantas menaik-turunkannya cepat. Sama cepatnya seperti yang Cakra lakukan sebelumnya.

Cakra lemas. Dia tidak bisa merasakan tubuhnya. Tapi anehnya dia justru semakin berteriak, menandakan rasa yang begitu nikmat. Tangannya meremas pundak Alam kuat-kuat, bahkan kukunya yang panjang itu hampir merobek kulit Alam. Tubuhnya melengkung dan bergetar hebat.

“Panggil nama saya, Cakra.” Bisik Alam.

Cakra tidak peduli lagi dengan kata “saya” yang baru saja ia dengar. Ada ledakan kenikmatan yang menunggunya di bawah sana. “Mas Alam—akh!”

Tubuhnya lemas seketika, diikuti dengan gelombang hebat yang menjalar dari atas kepala hingga ujung kakinya. Dia tumbang ke bahu Alam yang lebar. Mereka sama-sama mengatur napasnya pelan, “Tuh, kan. Mas Alam sih ga mau diem. Bajuku jadi kotor.”

Alam tidak bisa tertawa kali ini. Dengan sisa kewarasannya, dia mengangkat tubuh Cakra dan bangkit dari sofa. Pautan mereka masih menyatu di bawah sana. Ditambah Alam yang kembali menyatukan bibir mereka.

“Mas, Mas, Mas Alam mau ke mana?” Cakra susah payah memeluk Alam karena tenaganya yang sudah hampir terkuras habis.

“Mau ke kamar. Karna Bos Bayi udah capek, biar sekarang saya yang ajarin.”

Cakra tidak peduli apa yang akan Mas Alam ajarkan. Pinggulnya perlu merebahkan diri. Tubuhnya perlu sedikit pendinginan.

Alam merebahkan tubuh ringan Cakra perlahan. Tangan di kepala Cakra dilepas pelan-pelan. Dia seperti merebahkan tubuh bayi sungguhan, penuh lemah lembut. Tapi sedetik kemudian, Alam membuka lebar-lebar kaki Cakra, dan menghentakkan pinggulnya dalam.

Cakra sedikit meringis, sedikit menggigit bahu Alam yang juga menegang karena rasa nikmat di pangkal pahanya. Cakra mengecup bahu dan leher Alam lagi bergantian, memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja, jadi sebaiknya lanjutkan apa yang sudah ia mulai.

Alam bergerak pelan karena merasakan persetujuan itu. Dia bergerak pelan, lantas menghentakkannya dalam. Kembali bergerak pelan, dan menghentakkannya lagi. Cakra tidak karuan, bahkan mendesah pun rasanya tidak cukup untuk mendeskripsikan semua kenikmatan ini.

“Cakra,” Alam masih bisa berbicara di antara kenikmatan itu. Dia melanjutkan ucapannya, “Biasakan panggil nama saya, Cakra.”

Cakra merengek. Apa Mas Alam tidak tau bagaimana perasaannya sekarang? Dia hampir gila karena semua perlakuannya. “Iya—akh!” Cakra kembali merengek karena Alam menghentakkan pinggulnya sekali lagi.

“Mas Alam.”

Alam mulai menggerakkan pinggulnya lebih cepat.

“Kamu harus tau, Cakra.”

Cakra merengek lagi. Kenapa Mas Alam harus ngajak ngobrol di saat-saat seperti ini? Bahkan untuk mendengar pun dia rasanya sudah tidak sanggup.

“Perasaan saya selalu sama. Rasa sayang saya sama besar. Terlepas dari semua panggilan yang ganggu pikiran kamu itu, saya—”

Mulut Alam dibungkam dengan mulut Cakra. Alam akhirnya memejamkan mata, bersiap menghentakkan pinggulnya sekali lagi, kali ini lebih dalam dan sangat dalam. Lebih dalam dari yang pernah dia lakukan sebelumnya. Perasaannya pada Cakra sekarang jauh lebih dalam. Dia akhirnya ikut tumbang di bahu Cakra.

Deru napas mereka saling bersahutan. Dada dan perut mereka naik-turun seirama. Mereka dimandikan keringat dan air mani yang manis. Juga dengan kekehan yang tak kalah manis dari bibir masing-masing.

“Mas,”

“Hm?” Alam rasanya sudah tidak peduli jika Cakra akan terus protes dengan masalah “saya-kamu” itu. Karena menurutnya tidak penting apa yang membuatnya protes, itu justru lebih penting karena menunjukkan seberapa penting dirinya untuk Cakra.

“Mas Alam kalau mau ngomong pake 'saya-kamu' lagi, gapapa, Mas.”

Alam tersenyum di antara ceruk leher Cakra. Itu membuat Cakra terkekeh pelan.

“Beneran gapapa, Mas. Aku ngerti.”

Alam akhirnya bangkit. Tangannya berada di antara kepala Cakra. “Apa yang kamu ngertiin, Cakra?”

Cakra sedikit kikuk, “Um, ngerti kalo itu untuk kenyamanan Mas Alam.”

Alam tersenyum simpul. Terharu ternyata Bos Bayi-nya itu bukan bayi yang seperti dia pikirkan.

“Sebetulnya aku juga ga masalah dengan panggilan itu. Toh, yang bikin aku nyaman kan Mas Alam, bukan panggilan 'saya-kamu' atau lainnya. Kayaknya aku cuma kehasut sama pikiran orang-orang aja.”

Alam mengecup kening, hidung, dan bibir Cakra bergantian. “Saya bersyukur kalau berhasil bikin kamu nyaman, Cakra.”

Cakra cekikikan, “Lagi pula, Mas Alam kalo ewe-in aku sambil ngomong 'saya' ternyata sexy banget.”

Alam hampir tidak terkejut dengan ucapan Cakra. Sepertinya dia sudah mulai terbiasa dengan ucapan-ucapan nakal seperti itu. Lantas dia mencubit kecil hidup Cakra yang kemerahan dan membuatnya semakin kemerahan. Sampai merengak Cakra dibuatnya. “Mas Alam jangan pencet idungku!”

“Abisnya, kamu nakal.”

Cakra mendengus setelahnya. Mereka akhirnya saling diam. Cakra kembali mengalungkan tangannya di leher Alam. Cakra tenggelam di dalam mata Alam dalam sekali. Rambut Alam sudah berubah kehitaman sekarang, semirannya sewaktu pertama kali mereka bertemu telah memudar, matanya jadi terlihat lebih gelap.

Cukup lama mereka tenggelam di dalam mata dan senyum masing-masing, sampai akhirnya Cakra bersuara. “Makasih, Mas Alam.”

“Kok makasih?”

“Makasih Mas Alam udah sayang aku, meskipun aku nakal.”

Alam menggeleng pelan, “Engga. That because you were born to be loved, Sayang.”

Wajah Cakra langsung berubah merah. “Mas Alam!!!” Kakinya menendang-nendang udara kosong. “Aku salting! Jangan panggil 'sayang'!!!”

“Sayang! Sayang! Sayang!” Alam justru meledek.

Cakra melotot, “Mas Alam! Kalo kayak gini caranya, aku bakalan minta satu ronde lagi!”

Wajah tawa Alam langsung memudar, “Engga boleh. Besok Senin, kamu harus ke kampus. Iya, kan? Saya juga harus ngurusin publikasi artikelnya Pak Jamal pagi-pagi.”

Cakra tiba-tiba terdiam. Dia termenung, “Besok itu hari apa, Mas?”

“Senin.”

“Senin?!” Cakra berseru kaget. “Aku ada UAS-nya Pak Budi!”

Bukan cuma Cakra yang berubah bad mood, tapi Alam juga.

“AAA!!” Cakra masih merengek, “Mau sekali lagi!”

“Ga boleh! Belajar!”

Cakra berdiri di depan pintu masuk apartemen Alam. Setengah jam yang lalu, dia tanpa sadar berjalan keluar kostnya, lalu memesan ojek online yang ternyata mengarah ke apartemen Alam. Selagi dia membaca isi reply-an menfess yang Argatha tag sebelumnya, ternyata dia sudah berdiri tepat di lobby apartemen Alam.

Padahal tadi sore mereka sudah puas keliling kota mencari cemilan untuk Cakra malam ini. Apalagi besok Senin, Cakra seharusnya sudah bersiap-siap, setidaknya mencari beberapa jurnal untuk praktikum besok.

“Cakra?” Cakra mendongak dan melihat Alam datang dengan pakaian tidur yang ditutupi jaket hitamnya. Ternyata bukan cuma Cakra yang seharusnya sudah bersiap tidur. Meskipun ini masih pukul 8 malam, tapi sepertinya besok adalah Senin yang mematikan untuk sebagian orang.

Alam mengusap kepala Cakra saat tubuh mungilnya tenggelam di dalam pelukannya. “Kenapa, Cakra?”

Cakra menggeleng kecil, kepalanya tenggelam di dalam pundak Alam yang lebar. Alam jadi tertawa panjang dibuatnya. Dia jadi kehilangan kemampuan untuk menjaga hasratnya sejak dua bulan mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Pacarnya itu suka sekali mengerucutkan bibirnya, apa Alam bisa tahan untuk tidak mengecupnya? Tentu saja tidak.

Mereka akhirnya bersisian naik ke unit apartemennya, tangannya saling bertautan di dalam saku jaket Alam. Cakra masih cemberut, dan Alam tidak henti-hentinya mencoba untuk tetap bersama selama beberapa menit lagi sampai mereka tiba di kasur nyamannya, Tahan, Lam, tahan. Jangan cium dulu, jangan cium dulu.

Ting!

Pintu lift terbuka, mereka masuk ke lift hampir bersamaan. Alam melirik Cakra sekali lagi sebelum menekan tombol lantai yang mereka tuju. Cakra masih cemberut, menatap lurus ke depan.

Sabar, Lam, Sabar.

Cakra tiba-tiba mengeratkan genggaman tangannya. Lantas mendongak menatap Alam dengan matanya yang sayu. Oke. Sepertinya Alam tidak bisa menahannya sedikit lagi.

Alam menunduk, mendekatkan wajahnya, dan menyatukan bibir mereka dalam-dalam. Bahkan saat bibirnya mengirim kecupan yang manis itu, bibir Cakra masih mengerucut. Alam menjauhkan wajahnya lagi, “Tunggu nanti di kamar, ya?”

Tautan tangan mereka terlepas karena Alam perlu membuka kunci apartemennya. Jangan tanya bagaimana ekspresi Cakra sekarang, bibirnya semakin cemberut.

Mereka masuk ke apartemen hampir bersamaan. Alam masuk dan merapikan sendalnya dengan cepat, sedangkan Cakra mengejar langkah panjangnya itu dengan tergesa-gesa.

“Cakra, sepatunya dirapihin dulu.” Ucap Alam yang mengarah ke dapur.

Cakra memutar matanya malas. Oh iya, selain sedikit galak, Mas Alam itu selalu disiplin dan perfectionist. Cakra merapikan sepatunya asal di rak sepatu. Masa bodo deh dimarahin, dia mau peluk Mas Alamnya cepet-cepet.

“Kamu mau minum apa? Teh atau susu?”

Cakra langsung melepas jaketnya, melempar asal ke sofa, lantas berlari kecil untuk memeluk Alam yang tengah memutar badan menatapnya. “Ga mau apa-apa. Mau Mas Alam aja!”

Alam tersenyum tipis, “Kan sambil ngobrol, kita minum yang anget-anget. Jadi kamu mau apa?”

Cakra menggeleng lagi. “Ga mau.”

Dari dulu Alam selalu bermimpi punya adik. Pasti seru kalau mereka bisa main bersama. Sekarang, pacarnya yang berbeda tiga tahun itu ternyata sudah lebih dari cukup menjadi peran adik di hidupnya. Lihat! Cemberut dan ngambeknya luar biasa.

“Terus maunya apa, hm?”

Cakra melompat ke dalam gendongan Alam. Tangannya memeluk leher, serta kakinya mencapit pinggul Alam kuat-kuat. Alam jadi mau tidak mau menopang kedua kaki Cakra agar pacar bayinya itu tidak jatuh.

“Mas Alam jangan pake 'saya-kamu' lagi dong kalo sama aku.” Cakra cemberut.

Alam manggut-manggut. Oh ... jadi masih permasalahan yang sama. Alam mengangkat Cakra lebih tinggi agar posisinya jauh lebih nyaman.

Alam berjalan menyusuri dapur dan berhenti di depan ruang tengah. “Kenapa emangnya?” Dia duduk pelan-pelan di sofa agar Cakra bisa mengatur posisi kakinya dengan nyaman.

“Kok kenapa, sih?” Alis Cakra hampir menyatu karena kesal, “Aku pacarnya Mas Alam loh!”

Alam jadi tertawa panjang, “Iya, kamu emang pacar saya. So what?”

Cakra melotot, mulutnya membulat. Apa? 'So what' katanya? Apa Mas Alam itu ga merasa ada yang aneh dengan orang yang masih memanggil pacarnya dengan 'saya'?! Cakra hampir aja marah besar. Untungnya Mas Alam mengusap jemari mungil Cakra sebelum mengecup punggung tangannya. Emosi Cakra jadi sedikit mereda.

“Orang pacaran seharusnya sayang-sayangan, Mas!”

“Loh? Saya kan sayang kamu. Kamu juga sayang saya, kan?”

Cakra makin kesal. Dia bahkan hampir menggeram karena orang di hadapannya justru tidak menunjukkan wajah yang merasa bersalah. Mas Alam kenapa malah pura-pura engga paham, sih?!

“MAS!” Cakra sudah siap mengangkat tangannya tinggi-tinggi, tapi Alam terkekeh pelan dan menarik tangannya lebih dulu.

“Iya, terus kamu maunya saya kayak gimana, Cakra?” Alam tidak marah sedikitpun, dia justru tersenyum simpul. Pasrah menghadapi pacarnya yang kadang menggemaskan dan kadang sangat menggemaskan. Seperti bayi.

Cakra membenarkan posisinya, dia berdeham panjang sambil tangannya kembali ia kalungkan di leher Alam. “Gini, deh. Aku kalo bilang, 'aku sayang Mas Alam'. Mas Alam jawabnya apa?”

Alam berpikir panjang. Berpikir apakah dia harus meledek pacarnya, atau mengalah? “Jawabnya, 'saya juga sayang kamu'. Gitu, kan?”

Kali ini tangan Cakra benar-benar melayang ke lengan berotot Alam. Membuat yang dipukul kecil jadi tertawa pelan.

“Salah! Seharusnya Mas Alam jawab gini,” Cakra merubah raut wajahnya, memberikan contoh yang sangat spesifik untuk koreksian Alam. “'Mas juga sayaaaaang banget sama Cakra'. Gitu!” Wajahnya langsung berubah seperti semula.

Alam jadi tertawa panjang, “Iya, Mas sayaaaaaang banget sama Cakra.”

Cakra jadi terkekeh karen mendengar balasan Alam dan mendengar nada bicaranya yang diikuti. “Gitu dong! Mulai sekarang, Mas Alam ga boleh pake 'saya' lagi. Kalo pake 'saya', nanti aku hukum.”

“Waduh, ngerinya. Hukumannya apa tuh, Bos Bayi?”

Cakra membenarkan posisi duduknya. Duduknya lebih tegak, telunjuknya mengacung ke atas. “Kalo aku denger atau baca 'saya' dari Mas Alam yang ditujukan buat aku, hukumannya aku cium sebanyak kata 'saya' yang Mas Alam sebutin.”

Alam tertawa puas. Kalo hukumannya itu, bukannya dia justru makin seneng? Aduh, Cakra ini beneran Bos Bayi. Pintar mengaturnya dengan cara yang gemas.

“Mas Alam ngerti ga?”

“Iya, saya ngerti.”

Cakra langsung melotot. Cup! Itu hukuman pertama.

Alam tertawa pelan, “Yaudah, saya mau bikin teh dulu, ya.”

Cup! Itu hukuman kedua.

Alam tertawa lagi. “Ini kamu ga mau bangun? Mau saya gendong aja?”

Cup! Itu hukuman yang ketiga.

“Sampe kapan kamu cium saya, Cakra?”

Cakra mau kecup bibir Alam lagi, tapi Alam justru membuang muka. Cakra jadi makin kesal. “Sampe Mas Alam berenti ngomong 'saya'!”

“Emangnya apa yang salah sama 'saya'?”

Cakra jadi cemberut lagi, “Mas Alam ga salah! Aku cuma kepikiran ... kata Gata kalo masih pake 'saya-kamu' tandanya belum disayang.”

“Kamu lebih percaya Argatha daripada say—”

“Bukan! Aku kepikiran aja, Mas Alam kenapa harus formal-formal sih ke pacar sendiri? Apa aku masih belum bisa bikin Mas Alam nyaman? Atau apa? Kenapa?” Cakra merengek. Dia bahkan hampir menangis.

Alam hampir berdecak kesal, “Kenapa kamu malah mikirin ucapan orang-orang yang belum tentu serius, Cakra? Apa pandangan orang, pemikiran orang, itu lebih penting dari kenyamanan saya?”

Cakra tercekat. Sepertinya dia sudah berlebihan. Iya sih Mas Alam memang jagonya marah. Bahkan gara-gara Cakra nambah satu porsi sambal aja, Mas Alam bisa marah. Tapi kayaknya sekarang Mas Alam benar-benar marah. Lihat aja, Mas Alam bahkan sampai menghindari ciuman Cakra tadi.

“Dari kecil saya emang seperti ini, Cakra. Papa selalu bicara formal sama saya. Awalnya saya juga kurang nyaman, orang-orang di sekitar saya pun begitu. Tapi ini saya yang sekarang, saya justru lebih nyaman ngomong kayak gini. Jadi apa yang kamu pentingin? Omongan orang atau kenyamanan saya?”

Cakra melirik Alam takut-takut. Matanya tajam, terlihat sangat marah. Tapi raut wajahnya tetap sejuk, sehingga tidak membuat Cakra ketakutan. “Tapi aku juga lebih nyaman kalau Mas Alam ga pake 'saya'” Cakra seperti mencicit karena takut.

Alam menghela napas pelan. Dia tidak sanggup dengan pacarnya ini. Apakah ada jalan keluar dari sini? Tidak ada. Tidak ada selain mencintai semua tingkah gemas Cakra.

“Kalau kamu ga nyaman, yaudah. Mas pelan-pelan belajar, ya?”

Senyum Cakra perlahan mengembang. Dia mengangguk cepat, sebelum menggapai kedua pipi Alam dan mendaratkan bibirnya di atas bibir Alam yang sudah tiga kali ia kecup sebelumnya.

Kali ini Cakra tidak hanya mengecup, tapi juga melumat dan bahkan sedikit mengigitnya. Dia tersenyum di sela-sela ciumannya karena merasakan sudut bibir Alam yang sedikit terangkat. Mereka tertawa lepas setelah bibirnya terlepas.

“Kenapa dicium lagi? Kan tadi udah ga pake 'saya'?”

“Itu hukuman buat yang tadi. Mas Alam sepuluh kali ngomong 'saya'!”

Alam kehabisan kata-kata. Apa ada yang bisa menang melawan perdebatan ini dengan Cakra? Dia rasa tidak. Semua orang pasti terlanjur gemas dengan tingkah lucu Cakra yang selalu berada di luar perkiraan siapapun.